2 TINJAUAN PUSTAKA
2.6 Kearifan Lokal
Keraf (2002), menyatakan bahwa kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan
atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sunaryo (2003), juga menjelaskan kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).
Kearifan secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Menurut Ardhana (2005), kearifan lokal dapat diartikan sebagai perilaku bijak yang selalu menggunakan akal budi, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam suatu wilayah geografis tertentu. Dalam kearifan lokal ada karya atau tindakan manusia yang sifatnya bersejarah, yang masih diwarisi masyarakat setempat. Perilaku bijak ini biasanya adalah tindakan, kebiasaan atau tradisi, dan cara-cara masyarakat setempat yang menuntun untuk hidup tenteram, damai dan sejahtera.
Ardhana (2005), menjelaskan bahwa menurut perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka, termasuk mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tatanan sosial. Memahami kearifan lokal dapat dilakukan melalui pendekatan struktural, kultural dan fungsional. Menurut perspektif struktural, kearifan lokal dapat dipahami dari keunikan struktur sosial yang berkembang di masyarakat, yang dapat menjelaskan tentang institusi atau organisasi sosial serta kelompok sosial yang ada. Di Suku Baduy, di desa Cikartawana, Cikeusik, Cibeo dan masyarakat Baduy Luar, mencirikan adanya sebuah struktur sosial yang unik.
Ada beberapa penelitian ilmiah maupun makalah dalam jurnal yang mengemukakan betapa kuatnya kearifan dalam masyarakat dengan adat istiadat yang melekat dengan alamnya, misalnya Sasaoka (2012) mengenai praktek kearifan lokal masyarakat adat di Seram tengah Maluku dalam pengelolaan sumber daya alam; Byer et al. (2001) meneliti peran keyakinan agama tradisional dalam melestarikan hutan lahan kering di Zimbabwe utara. Virtanen (2002) melihat di Mozambik tentang berfungsinya kelembagaan sosial budaya atas hutan keramat. Contoh lain juga dipraktekan oleh masyarakat adat Yi di Yunan China melalui pemetaan kawasan penting mereka yang memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan hutan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam komunitasnya (Jinlong, 2012). Di Indonesia sendiri ada beberapa penelitian ilmiah seperti yang dilakukan oleh Wadley dan Pierce (2004) tentang hutan keramat di kalimantan barat yang adalah wilayah penting bagi satwa liar.
Menurut perspektif fungsional, kearifan lokal dapat dipahami sebagai bagaimana masyarakat menjalankan fungsi-fungsinya, yaitu fungsi adaptasi,
integrasi, pencapaian tujuan dan pemeliharaan pola. Contohnya dalam hal beradaptasi menghadapi era globalisasi (televisi, akulturasi dan lain-lain). Sementara itu Nababan (2003) berpendapat bahwa sudah sejak lama masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati karena sebagian besar masyarakat adat memiliki sistem- sistem lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan dan ditumbuh- kembangkan terus menerus secara turun temurun.
Kearifan nilai adat Suku Malind di merauke melalui wujud ruang yang disebut ‘Tempat penting’ tidak terlepas dari kisah sejarah mula penciptaan, salah satu tokoh kunci Suku Malind menyatakan :
Awal mula alam semesta ini masih diliputi oleh kabut yang luas menyelimuti bumi dan pada waktu itu bumi masih merupakan suatu cairan lumpur hidup yang bergoyang. Ketika sang pencipta atau di sebut “Ala-Alawi” melayang-layang di udara di antara kabut tebal dan menggalungi lehernya dengan kantong yang berisi bongkahan tanah atau “wan”. Gebze (2000)
Mitologi ini merupakan sistem religi yang melekat dalam pemahaman budaya Suku Malind dan “Dema” adalah leluhur mereka, atau pusat dari sistem religi yang dianut. Seluruh tumbuhan dan satwa endemic dan benda benda lain bahkan gejala alam yang hidup di atas wilayah adat Malind telah dijelmakan untuk membantu manusia didalam setiap penamaan marga atau boan, semua sudah terbagi dalam kepemilikan marga. Oleh karena itu setiap marga sangat menjunjung tinggi dan menghargai serta melindungi wujud-wujud “Dema” mereka, terutama mereka menganggap sebagai lumbung sumber kehidupan yang tidak boleh diperlakukan sembarangan oleh siapapun dan dimanapun sampai kapanpun. Berdasarkan mitologi ini maka ajaran “Mayo” identik disebut sebagai suatu kepercayaan yang mengajarkan totemisme dan pelestarian alam.
Pengelolaan komponen biologis yang menjadi simbol-simbol tersebut dianggap sebagai tugas suci sepanjang masa. Air penyubur kehidupan genetik dikelola dengan penuh kasih sayang, selanjutnya kata Gebze :
Api penggerak kehidupan meliputi segala komponen kehidupan lainnya. Angin mengisi semua ruang kehidupan. Tanah oleh kelengkapan komponen-komponen kehidupan lainnya menumbuhkan aneka spesies tumbuhan, aneka spesies satwa, dan pengelompokan klen-klen/boan. Cakrawala pagi, siang, senja, malam, dan pagi penuh puja akan keagungan semesta buah karya abadi Amai yang tak terlihat. Cakrawala itu mahkota (gali) kehidupan yang terus berlanjut sepanjang masa.
Sofyandi (2010) dalam tesisnya mengemukakan pengertian lingkungan dalam masyarakat hukum adat Malind dipahami dengan sebutan alam atau “unam”. Alam semesta mempunyai hubungan kekerabatan antara satu dengan yang lain terutama dengan manusia. Hubungan kekerabatan ini muncul dalam ajaran “totemisme”, dimana kekerabatan antara manusia dengan tumbuhan, manusia dengan hewan, tumbuhan dengan tumbuhan, hewan dengan hewan, tumbuhan dengan hewan, tumbuhan dengan unsur alam, hewan dengan unsur alam, manusia dengan unsur alam dan seterusnya. Gambar 1 menunjukan ilustrasi hubungan kekerabatan antara alam, manusia, tumbuhan, hewan. (Sofyandi 2010)
Gambar 1. Denah hubungan kekerabatan antara alam dan manusia
Pengetahuan tentang adat sangat tergantung dengan tingkatan status adat seseorang dalam kepengurusan adat. Seseorang yang telah mencapai tingkatan adat tertentu dapat menyampaikan cerita atau peristiwa tentang adat mereka kepada orang lain atau Suku lain, tetapi tidak semuanya dapat di ceritakan terutama yang menyangkut hal yang di anggap sakral. Hal ini tidak terlepas dari kepemilikan wilayah-wilayah adat yang sudah dibagi habis dan telah di atur berdasarkan mitologi Suku Malind.
Secara bioetik masyarakat adat Malind terbingkai dalam aliran Totemisme yang menempatkan alam sebagai leluhur (amai) yang pemurah. Pelestarian alam dan komponen-komponen biologis merupakan kewajiban setiap orang dan hal tercermin dalam langgam lagu tradisional yang sering dikumandangkan dalam berbagai upacara adat.