• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trading System, Abundance and Habitat Characteristic of Oriental Rat-snake Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) in Central Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Trading System, Abundance and Habitat Characteristic of Oriental Rat-snake Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) in Central Java"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

DI JAWA TENGAH

MUHAMMAD YUSUF SABARNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tata Niaga, Kelimpahan, dan Karakteristik Habitat Ular Jali Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) Di Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(4)
(5)

MUHAMMAD YUSUF SABARNO. Trading System, Abundance and Habitat Characteristic of Oriental Rat-snake Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) in Central Java. Under supervised by YANTO SANTOSA and NANDANG PRIHADI.

The research of oriental rat-snake’s (Ptyas mucosus Linn 1758) abundance and its habitat is still rare. Oriental rat-snake is classified as a commerce species and is listed on Appendix II of CITES. This study was aimed at measuring the abundance and morphometric characteristic of oriental rat-snake in Central Java. In the present study, harvesting abundance was obtained from 7 major collectors, 3 medium collectors, 4 small collectors and 4 hunters/professional catcher. Information was also obtained by interviewing the managers of both of BKSDA and LIPI. The morphometric data collected from 159 living and 131 dead specimens from major collectors. Harvesting abundance derived from the average of rat-snakes that was received by major collectors. Descriptive analysis was used to process data morphometric. The multiple linier regressions were performed to determine the relationship between body mass and body size variables. In the trading system, there were traders, trade’s chain and price factors that influance its. The harvesting abundance of oriental rat-snake in Central Java were estimated annually a 132 000. Its abundance was mainly influenced by natural factor, especially paddy's crops cycles. Based on the descriptive analysis of morphometric data obtained, males had longer SVL and greater body masses than females of the same body length. Average of male’s snout-vent length was 142,67 (SD=14,09) and body mass is 0,95 kg, while for female’s SVL was 140,45(SD=12,99) and body mass is 0,93 kg. The analysis showed insignificant differences in body size between the sexes and in each collector’s level. At present, abundance of oriental rat-snake can support commercial harvesting. Habitat characteristic of oriental rat-snake’s nest were consisted of nine variables, i.e. hole and soil moisture, hole and soil temperature, soil pH, location altitude, distance from water and settlement, and slope. However, further studies are needed to assess sustainable levels of harvesting.

(6)
(7)

MUHAMMAD YUSUF SABARNO. Tata Niaga, Kelimpahan Dan Karakteristik Habitat Ular Jali Ptyas mucosus (Linnaeus 1758) Di Jawa Tengah. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NANDANG PRIHADI.

Pemanfaatan ular jali di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1980-an, dan meruruhipakan komoditas ekspor yang membawa manfaat bagi masyarakat serta devisa negara. Perdagangan ular jali, dalam perkembangannya pernah diberlakukan larangan ekspor ular jali pada tahun 1993-2005. Pemberlakuan kuota tangkap dan edar oleh PHKA dengan rekomendasi LIPI untuk ular jali, diharapkan dapat menjadi kontrol pemanenan di alam sehingga populasinya tetap lestari. Dalam rangka mendukung pengelolaan ular jali yang lestari, diperlukan monitoring berkelanjutan terhadap populasi, sebaran dan pemanfaatannya. Guna memperoleh data-data tersebut maka diperlukan studi tentang aspek tata niaga, kelimpahan panenan dan karakteristik habitat ular jali di wilayah Jawa Tengah. Penelitian yang dilaksanakan pada Bulan April hingga Mei 2012 tersebut bertujuan untuk (1) mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi tata niaga ular jali, (2) menduga kelimpahan relatif dari populasi ular jali, (3) mengukur karakteristik morfometri dan (4) mengidentifikasi karakteristik habitat ular jali di Jawa Tengah.

Data diperoleh dari 2 eksportir, 6 pengumpul besar, 3 pengumpul sedang, 4 pengumpul kecil dan 4 pemburu/penangkap profesional. Informasi juga diperoleh dengan wawancara kepada para pengelola baik dari BKSDA maupun LIPI. Dalam tata niaga ular jali di Jawa Tengah, terdapat para pelaku yang berperan, yaitu eksportir, pengumpul besar, pengumpul antara (skala kecil dan sedang) dan pemburu/penangkap. Para pelaku tersebut saling berhubungan dan membentuk rantai tata niaga, akan tetapi tidak selalu sesuai hirarki. Nilai ekonomis dari ular jali cukup tinggi dibandingkan jenis ular lain per satuan ekornya, akan tetapi harga ular jali di pasar dipengaruhi kelas ukuran, yaitu 0.6 kg, 0.7 kg, 0.8 kg dan > 1 kg. Oleh karena itu para pemburu berusaha mendapatkan kelas ukuran terbesar dengan harapan mendapatkan nilai ekonomis yang tertinggi.

Hasil penelitian ini diperoleh data sex ratio hasil ular jali tertangkap yaitu 1:1.12. Hal ini menunjukkan jumlah ular jali betina lebih banyak tetangkap. Diperlukan monitoring berkelanjutan agar hasil panenan tidak mengganggu tingkat reproduksi/perkembangbiakan ular jali di alam. Ukuran populasi dapat dilakukan dengan pendekatan kelimpahan relatif panenan. Rata-rata kelimpahan relatif panenan ular jali di tingkat pengumpul sebesar 132 186 ekor/tahun, berdasarkan luas pencarian adalah 1 ekor per 24.7197 ha dan berdasarkan waktu pencarian adalah 1 ekor per hari per orang (efektif 3.5–4 jam per hari). Faktor yang paling berpengaruh adalah faktor alam, yaitu adanya siklus tanam padi, yang mendorong para pemburu mencari ular disaat tidak ada pekerjaan di sawah (panen, olah lahan dan tanam padi).

(8)

adalah kelas ukuran yang paling tinggi dengan harga sekitar Rp. 60 000.00 per ekor. Dengan menggunakan analisis regresi berganda, data morfometri tersebut dapat dilakukan pendugaan berat ular. Hasil analisa diperoleh persamaan Y = -1.462 + 0.017 SVL. Persamaan ini dapat memudahkan dalam monitoring maupun dalam kegiatan panenan.

Hasil identifikasi terhadap karakteristik habitat ular jali meliputi beberapa peubah, yaitu: kelembaban lubang sarang dan kelembaban tanah diatas 80%; suhu lubang sarang dan suhu tanah berkisar 30-33 °C, pH tanah pada kondisi agak masam-netral, ketinggian tempat kurang dari 333 m dpl, jarak dari sumber air kurang dari 15 m, dan kelerengan lokasi pada kelas 3 (agak curam). Hanya peubah jarak dari pemukiman yang dipilih ular jali secara merata pada selang kelas yang ada yaitu tersebar pada kisaran 50-300 m.

Kesimpulan dari hasil studi ini diantara lainnya yaitu diperoleh mekanisme tata niaga ular jali melibatkan eksportir, pengumpul besar, pengumpul antara (kecil-besar) dan pemburu, sehingga membentuk rantai tata niaga diantara para pelaku tersebut. Kelimpahan relatif panenan ular jali di Jawa Tengah berdasarkan jumlah ular jali yang ditangkap dan terkumpul di pengumpul besar, luasan pencarian (quadrat searches) dan lama waktu pencarian (time searches). Terkait dengan kondisi karakteristik habitat ular jali, menunjukkan bahwa lubang sarang ular jali mempunyai spesifikasi tertentu sehingga dipilih sebagai habitatnya. Kata kunci : ular jali, tata niaga, kelimpahan, morfometri, karakteristik habitat,

(9)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

DI JAWA TENGAH

MUHAMMAD YUSUF SABARNO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)

Almamater ku tercinta

Kampus Institut Pertanian Bogor

Orangtua ku terhormat

Bapak H. MD Budhyrahardjo (Alm)

Ibu Hj. Saminten (Alm)

Bapak H. Widodo (Alm)

Ibu Hj. Sri Rahayu

Istriku terkasih

Hj. Hesti Noviasari

Anak ku tersayang

(16)
(17)

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT atas segala nikmat dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tugas Akhir ini disusun berdasarkan hasil penelitian sejak April 2012 sampai dengan Mei 2012.

Terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. dan Dr. Nandang Prihadi, S.Hut, M.Sc. selaku komisi pembimbing atas pencerahan, bimbingan, arahan, koreksi, masukan, dan saran yang sangat membangun selama penyusunan tugas akhir ini. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc. yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dan memberi sentuhan akhir untuk menyempurnakan tugas akhir ini.

Terima kasih disampaikan kepada Bapak George Saputra (IRATA) yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini, Bapak Cristanto, M.Sc.For. selaku Ka.Balai KSDA Jawa Tengah, bapak-bapak Pemburu/penangkap ular, para Pengumpul dan Eksportir Reptil di wilayah Jawa Tengah serta mas Ragil (staf BPK Solo) atas petanya. Terima kasih disampaikan kepada Parjoni, S.Hut, Septi E.W., S.Hut.di tim ular dan tim labi-labi, beserta seluruh kawan Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati karyasiswa Ditjen PHKA – Dephut tahun 2012 lainnya untuk beragam dialog dan beraneka diskusi yang memberi banyak inspirasi kepada penulis untuk mengatasi rintangan dan hambatan dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Secara istimewa terima kasih disampaikan kepada istiku tercinta Hesti Noviasari, S.E. dan anakku tersayang Ahmad Salman Mubarak serta mami Hj. Sri Rahayu dan seluruh keluarga besar di Boyolali dan di Solo yang senantiasa memberikan dukungan, doa, dan limpahan cintanya sehingga menguatkan penulis melewati setiap perjuangan untuk menuntaskan tugas akhir ini.

Disampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam segala hal sehingga pada akhirnya tesis ini dapat sampai di tangan setiap pembaca sekalian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(18)
(19)

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Juli 1976 di Surakarta, Jawa Tengah, merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan bapak H. M.D. Budhyrahardjo dan ibu Hj. Saminten. Pada tahun 1988 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 49 Premulung, tahun 1991 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Surakarta, dan tahun 1994 menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Batik Surakarta.

Pada tahun 1994 melalui jalur PMDK, penulis diterima sebagai mahasiswa S-1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan menyelesaikan studi dan lulus pada tahun 1999.

Sejak bulan September 2000 sampai tahun 2010, sebelum mendapat tugas belajar karya siswa sekarang ini, penulis bertugas sebagai Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan di Balai Taman Nasional Baluran, Jawa Timut. Pada bulan Oktober 2010 penulis mendapat beasiswa S-2 dan ditugaskan sebagai karyasiswa Kementerian Kehutanan pada Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(20)

x

Halaman

DAFTAR TABEL

... xii

DAFTAR GAMBAR

... xiii

DAFTAR LAMPIRAN

... xiv

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ...

1

1.2 Tujuan Penelitian ...

2

1.3 Manfaat Penelitian ...

3

1.4 Perumusan Masalah ...

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tata Niaga Ular Jali ...

5

2.2 Aspek Kelestarian Pemanfaatan Satwaliar ...

6

2.3 Bio-ekologi Ular Jali ...

10

2.4 Karakteristik Habitat ...

16

III. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

3.1 Kondisi Umum ...

20

3.2 Kondisi Biofisik ...

21

3.3 Kondisi Sosial Budaya .. ...

22

3.4 Kondisi Spesifik Kabupaten Lokasi Penelitian .. ...

23

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu ...

27

4.2 Alat dan Bahan ...

27

4.3 Kerangka Pemikiran ...

27

4.4 Jenis Data yang Dikumpulkan ...

28

4.5 Metode Pengumpulan Data ...

28

4.5.1 Pola Tata Niaga ...

29

4.5.2 Data Kelimpahan Relatif ...

29

4.5.3 Data Morfometri ...

30

4.5.4 Karakteristik Habitat ...

30

4.6 Analisa Data ...

32

4.6.1 Pola Tata Niaga ...

32

4.6.2 Morfometri ...

33

4.6.3 Analisa Kelimpahan ...

34

4.6.4 Karakteristik Habitat ...

35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Tata Niaga Ular Jali ...

37

(21)

xi

5.2. Parameter Demografi ...

49

5.2.1 Sex Ratio ...

50

5.2.2 Kelimpahan Ular Jali ...

51

5.3. Morfometri Ular Jali ...

59

5.3.1 Kelas Ukuran Panenan ...

63

5.3.2 Pendugaan Berat Berdasar SVL ...

65

5.4. Karakteristik Habitat Ular Jali ...

66

5.4.1 Peubah-Peubah Karakteristik Habitat ...

66

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... ...

80

6.2 Saran .... ...

81

DAFTAR PUSTAKA

... ...

78

(22)

xii

Halaman

1

Luas wilayah di beberapa kabupaten lokasi penelitian ... 23

2

Metode pengukuran dan analisa data ... 32

3

Pembagian kuota tangkap dan edar ular jali di Jawa Tengah ... 43

4

Harga ular jali di tingkat pengumpul besar dan sedang ... 46

5

Daftar pengumpul dan lokasi tangkap ular jali di Jawa Tengah ... 48

6

Estimasi kelimpahan panenan ular jali per tahun di Jawa Tengah ... 53

7

Hasil analisis deskriptif morfometri ular jali (gabungan) ... 60

8

Hasil analisis deskriptif morfometri ular jali (tiap jenis kelamin) ... 60

9

Ukuran ular jali berdasarkan jenis kelamin periode tahun 1996-2012 ... 62

(23)

xiii

Halaman

1 Peta Provinsi di Jawa Tengah ... 20

2 Diagram rantai perdagangan/peredaran ular jali di Jawa Tengah ... 42

3 Telur dan bakal telur (

folikel

) di indivudi ular jali betina ... 51

4 Tanda-tanda keberadaan dan kondisi habitat (sawah) ular jali. ... 57

5 Perbandingan rata-rata ukuran ular jali ... 61

6 Persentase penerimaan ular jali berdasarkan kelas ukuran ... 63

7 Perbandingan persentase penerimaan ular jali ... 64

8 Frekuensi sarang terhadap kelembaban lubang... 68

9 Frekuensi sarang terhadap kelembaban tanah ... 69

10 Frekuensi sarang terhadap suhu lubang ... 70

11 Frekuensi sarang terhadap suhu tanah ... 71

12 Frekuensi sarang terhadap pH tanah ... 72

13 Frekuensi sarang terhadap ketinggian tempat ... 74

14 Frekuensi sarang terhadap jarak dari sumber air ... 75

15 Lokasi lubang sarang dengan sumber air ... 75

16 Frekuensi sarang terhadap jarak dari permukiman ... 76

(24)

xiv

Halaman

1

Daftar pengumpul dan lokasi pencarian ular jali ... 88

2

Rekapitulasi morfometri ular jali ... 89

3

Rekapitulasi penerimaan ular jali di pengumpul ... 94

4

Hasil analisis T-test ... 97

5

Hasil analisis Kruskal Wallis ... 99

6

Hasil analisis Regresi Linier Berganda ... 100

7

Hasil analisis korelasi

Pearson ... 104

(25)

1.1. Latar Belakang

Diantara kekayaan jenis reptil yang ada, Indonesia mempunyai sekitar 400 jenis dan anak jenis ular, dari sekitar 5000 jenis ular yang ada di seluruh dunia (Supriatna 1995), salah satunya yaitu ular jali (Ptyas mucosus). Ular jali masuk daftar satwaliar yang diperdagangkan sejak tahun 1980-an dan pada tahun 1990 masuk daftar CITES (Auliya 2010). Menurut KKH (2010), ular jali termasuk salah satu dari 49 jenis reptilia yang masuk dalam daftar Appendix II CITES.

Menurut Kartikasari (2008) di Jawa Tengah dan Situngkir (2009) bahwa sebagian besar reptil yang dimanfaatkan diperoleh dari hasil tangkapan di alam sehingga berpengaruh terhadap tingkat panenannya Kegiatan ini tentunya membawa dampak terhadap kelestarian reptil di alam, apabila tidak ada monitoring dan upaya pengendalian. Eksploitasi yang terjadi terus-menerus tanpa menerapkan prinsip kelestarian akan mengancam populasi reptil di alam.

Pada tahun 1993 Komite Satwaliar CITES mencatat adanya penurunan penentuan kuota perdagangan internasional untuk ular jali di Indonesia, akan tetapi volume ekspornya melampaui yang telah ditetapkan, sehingga Indonesia mendapat larangan ekspor dalam perdagangan internasional jenis ular tersebut (Auliya 2010). Larangan tersebut dicabut pada tahun 2005 dengan jaminan akan dilaksanakannya mekanisme perdagangan dengan prinsip Non-detriment finding (NDF).Menurut Shine (1998); Melisch (1998) dan Lee et al.(2011), dalam rangka melestarikan dan mengembalikan kondisi kelimpahan jenis-jenis reptil yang ada di alam, harus diketahui ekologi dasar dari jenis ular tersebut, termasuk di dalamnya informasi tentang distribusi, penggunaan habitat, fisik lingkungan, pola pergerakan dan ukuran populasi (Dodd Jr 1993). Hingga saat ini, walaupun ular jali masih banyak ditemukan di alam, sangat riskan apabila informasi tersebut diatas diabaikan sehingga akan mempengaruhi kelestarian panenan (Shine 1998).

(26)

kepentingan-kepentingan ekologi dan lingkungan (KKH 2010a). Selain itu, penilaian terhadap sumberdaya yang diperoleh dari alam tersebut masih sangat rendah, sehingga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan secara tidak terkendali tanpa memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian. Salah satu upaya pengendalian pemanfaatan satwa liar yaitu dengan penetapan kuota pemanenan di alam dan ekspor satwaliar. Hal tersebut menjadi pengontrol agar hasil yang diambil dari alam tidak melampaui daya reproduksinya (Semiadi & Sidik 2011). Menurut KKH (2010b) penentuan kuota didasarkan pada: (1) monitoring kondisi populasi dan habitat reptil, (2) informasi teknis dan ilmiah, (3) kuota tangkap aktual reptil dari tahun sebelumnya dan (4) pengetahuan tradisional. Namun demikian, hingga saat ini data dan informasi yang representatif untuk penentuan kuota tersebut, terutama ukuran populasi dan kondisi habitat masih minim (Iskandar & Erdelen 2006; Auliya 2010). Pertimbangan penentuan kuota juga seharusnya berpegang kepada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) (KKH 2010a).

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dalam pemanfaatan ular jali di Indonesia sebagai salah satu jenis satwa yang mempunyai nilai perdagangan yang cukup tinggi diharapkan tetap bepegang kepada prinsip-prinsip pemanfaatan lestari. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tata niaga dan beberapa aspek bio-ekologi (kelimpahan, ciri morfometri dan karakteristik habitat) ular jali.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tentang tata niaga, kelimpahan dan karakteristik habitat ular jali (Ptyas mucosusLinn 1758) di Jawa Tengah ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis beberapa faktor yang mempengaruhi tata niaga ular jali di Jawa Tengah

(27)

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

1. Informasi tentang tata niaga, beserta mekanisme jalur niaga, para pelaku dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Kelimpahan relatif yang didasarkan atas panenan di tingkat pengumpul besar, luas dan waktu pencarian di habitat ular jali.

3. Informasi berupa karakteristik habitat ular jali di wilayah Provinsi Jawa Tengah.

4. Informasi yang dapat digunakan sebagai salah satu dasar ilmiah dalam menduga kelas ukuran optimal panenan, menduga ukuran berat dengan model yang berdasarkan data morfometrik penentu.

5. Pertimbangan dalam upaya pengelolaan populasi dan habitat ular jali di habitat alaminya.

1.4. Perumusan Masalah

Beberapa tantangan dalam pengelolaan ular jali sebagai satwa yang diperdagangkan yaitu perlunya data dan informasi yang memadai sebagai bahan monitoring dan evaluasi dalam pemanfaatannya. Menurut Iskandar dan Erdelen (2006), salah satu permasalahan utama dalam konsevasi reptil di Indonesia yaitu masih sedikitnya data dan informasi tentang kondisi habitat dan ukuran populasi masing-masing jenis, termasuk jenis-jenis ular yang hingga saat ini telah dimanfaatkan dan diperdagangkan. Data dan informasi tersebut meliputi aspek tata niaga, bio-ekologi (morfometri) dan karakteristik habitat dari ular jali.

(28)

menentukan jumlah populasi sesungguhnya serta atribut-atribut lain (tingkat natalitas, mortalitas, fekunditasdll) yang berhubungan dengan populasi tersebut. Pada kenyataannya, ukuran populasi satwa liar di alam seringkali tidak dapat diketahui selama pemanenan berlangsung, sehingga nilai MSY jarang dapat dihitung. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan melihat tingkat kelimpahan relatif berdasarkan panenan/tangkapan tahunan (annual yield) dari alam. Nilai kelimpahan tersebut diharapkan dibawah dari nilai MSY dengan syarat populasi dapat dimonitoring secara terus menerus melalui indikasi dari kelimpahan panenan yang tidak mengalami penurunan (Rosser & Haywood 2002).

Menurut Seber (1982), pemanenan adalah salah satu komponen dari tingkat kematian (mortalitas), disamping kematian yang disebabkan oleh sebab alami (tua), penyakit dan predator. Oleh karena itu, tingkat pemanenan dapat dijadikan ukuran untuk menduga tingkat kematian ular jali di alam yang diharapkan tidak melebihi tingkat kelahiran (natalitas), sehingga kelangsungan populasi di alam tetap lestari.

Berdasarkan hal tersebut diatas, khususnya untuk ular jali, diperlukan upaya penggalian data dan informasi secara berkelanjutan untuk menjamin pemanfaatan berupa panenan di alam tetap lestari. Beberapa kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tata niaga ular jali. 2. Bagaimana kondisi populasi (kelimpahan) ular jali di Jawa Tengah? 3. Bagaimana karakteristik biologi (morfometri) hasil panenan saat ini? 4. Apakah kondisi habitat di alam masih mendukung kelestarian ular jali?

(29)

2.1. Tata Niaga Ular Jali

Tata niaga atau sistem perdagangan reptil di Indonesia sudah sejak lama memegang peranan penting, Arifin (1998) menyatakan bahwa industri kulit, termasuk dari reptil, merupakan salah satu sektor terpenting dalam perekonomian Indonesia. Sektor tata niaga reptil menyangkut jutaan spesimen per tahun, juga merupakan sumber makanan dan nafkah untuk orang banyak, terutama masyarakat pedesaan (Webb & Vardon 1998). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2002), perdagangan satwaliar dan bagian-bagiannya merupakan bisnis yang besar dengan nilai jutaan dolar setiap tahun dan terutama untuk reptil, dalam bentuk daging, kulit dan kegunaan lainnya telah berlangsung berabad-abad menjadi sumber ekonomi penting dan memperoleh harga tunai yang layak.

Komponen utama dalam tata niaga reptil di Indonesia adalah perdagangan kulit dan pet (Yuwono 1998). Spesies yang ditangkap untuk perdagangan kulit lebih sedikit daripada untuk pet. Namun jumlah kuota untuk tiap spesies jauh lebih banyak daripada untuk pet. Mardiastuti dan Soehartono (2003) mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini, kulit reptil mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan membanjiri pasar internasional, termasuk diantaranya dari Indonesia. Mulai tahun 1980-an, tujuh jenis reptil Indonesia mulai dimanfaatkan untuk skala besar perdagangan dunia

(30)

dari penangkap, pengumpul daerah, agen, sub-agen dan pengasong baik tetap maupun tidak tetap. Secara peran para pelaku dalan rantai tata niaga reptil di Indonesia hampir sama, hanya saja berbeda dalam pendefinisian.

Para pelaku dalam perdagangan reptil, biasanya membentuk jaringan kerjasama, seperti yang disampaikan oleh Prasetyo et al. (2008), terutama di tingkat pengumpul apabila salah satu pengumpul tidak dapat memenuhi permintaan pasar, maka pengepul tersebut akan menawarkan kepada pengepul lain yang mampu memenuhi permintaan tersebut. Bagi pengumpul besar yang mendapat ijin edar dan ijin ekspor dari kantor BKSDA akan mendapat alokasi dari kuota tangkap yang diperoleh dari PHKA, sehingga mereka dengan jaringan pengumpul kecil (middle man) dan penangkap dapat mengumpulkan ular jali sesuai alokasi kuota yang dimiliki.

Tata niaga reptil di Indonesia mempunyai rantai tata niaga yang secara umum berlangsung yaitu penangkap menjual satwa atau kulitnya ke kolektor (pengumpul) yang juga dikenal dengan penyalur (dealer), dan penyalur kembali menjual spesimen kepada pengrajin kulit (tanneries) atau kepada eksportir yang terdaftar. Namun terdapat juga keadaan dimana penangkap bertransaksi secara langsung dengan pengrajin atau eksportir (Soehartono & Mardiastuti 2002). Auliya (2010) juga menyatakan bahwa beberapa pengumpul besar menyembelih ular sendiri, sedangkan ular yang lainnya disetor ke pengumpul besar lainnya. Para pengumpul besar melakukan penyembelihan sendiri sejak mengetahui keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil sampingan dagingnya.

Terkait dengan harga, menurut Siregar (2011), para pengumpul besar maupun eksportir selalu memonitor perkembangan pasar dunia. Harga yang berlaku diinformasikan kepada para pengumpul kecil. Kisaran harga yang terdapat di masing-masing tingkatan pengumpul biasanya bervariasi hampir sama.

2.2. Aspek Kelestarian Pemanfaatan Satwaliar

(31)

konservasi yang ideal. Perdagangan satwaliar seringkali dianggap membawa dampak yang negatif terhadap spesies dan habitatnya, akan tetapi apabila dikelola secara secara berkelanjutan, keuntungan dari perdagangan satwaliar tersebut dapat memberikan insentif yang positif untuk konservasi biodiversitas (Siregar 2012).

Peningkatan populasi manusia membawa konsekuensi adanya kerusakan habitat berbagai satwaliar, sehingga meningkatkan derajat keterancaman dari jenis-jenis satwaliar tertentu (Amir et al. 1998). Ketergantungan manusia terhadap tumbuhan dan satwaliar untuk berbagai pemenuhan kebutuhan hidup juga semakin meningkat (Webb & Vardon 1998). Menyadari permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tentang CITES dalam Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978. Sebagai implementasinya, ditunjuklah Direktorat Jenderal PHKA sebagai Management Authority(MA) dan LIPI sebagai Scientific Authority (SA), yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mengelola perdagangan satwaliar baik nasional maupun internasional (Amir et al. 1998).

Oleh karena itu, menurut KKH (2010a), konservasi keanekaragaman hayati harus mendapat prioritas utama dalam menghindari terjadinya kepunahan hidupan liar. Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan jenis adalah dengan perlindungan dan pengendalian terhadap pemanfaatannya.

Perdagangan makhluk hidup liar yang legal maupun ilegal mempunyai andil dalam menurunnya banyak populasi spesies (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan satwaliar secara berlebih biasanya menunjukkan pola yang sama. Ketika suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan terjadilah permintaan dari pasar yang menyebabkan eksploitasi untuk memenuhi permintaan tersebut..

(32)

lanjut dalam PP No.8/1999 disebutkan bahwa TSL yang diperdagangkan bisa diperoleh dari penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam (Sekditjen PHKA 2007c).

Perdagangann satwaliar telah diatur dan didukung dengan masuknya Indonesia sebagai anggota dari CITES. Menurut Siswomartono (1998) kebijakan Indonesia dalam implementasi CITES, dilaksanakan dengan beberapa tahap, yaitu:

1. Menetapkan ketentuan AAC (Annual Allowable Catch) yang menunjukkan penetapan quota untuk ekspot dan perdagangan domestik. Kuota ini ditentukan oleh LIPI berdasarkan hasil dari studi biologi dari spesies, populasinya, distribusi geografi, biologi reproduksi dan kemungkinan ancaman terhadap spesies tersebut. Kuota ditetapkan dalam dua tipe, yaitu untuk quota ekspor dan perdagangan domestik.

2. Mengembangkan program penangkaran. Dua tujuan dari penangkaran ini, yaitu untuk re-stockingdan keperluan komersial.

3. Pengawasan. Kegiatan ini untuk mengawasi perdagangan satwaliar baik domestik maupun internasional serta dalam hal perijinannya.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003, kuota didefinisikan sebagai batas maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwaliar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun kalender. Kuota pengambilan di alam ditetapkan oleh Dirjen PHKA dengan memperhatikan rekomendasi dari otoritas keilmuan (LIPI) untuk kurun waktu satu tahun kalender dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember (Sekditjen PHKA 2007c). Ketika kuota pengambilan sudah ditetapkan, bisa dilakukan peninjauan kembali kuota tersebut pada tahun berjalan dengan tetap memperhatikan rekomendasi dari otoritas keilmuan.

(33)

Kuota yang sudah ditetapkan oleh Dirjen PHKA menjadi dasar untuk pemberian ijin pengambilan TSL oleh Kepala Balai KSDA untuk jenis dilindungi dan termasuk dalam Appendix CITES dan oleh Kepala Dinas propinsi setempat untuk jenis tidak diliindungi yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Kepala Balai KSDA dan Kepala Dinas dilarang menerbitkan ijin tanpa didasarkan pada kuota yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA (Sekditjen PHKA 2007c).

Perkembangan pemanfaatan ular jali di Indonesia mengalami banyak dinamika, sebelum dimasukkan dalam Appendix II CITES, pada tahun 1986 tercatat bahwa volume ekspor kulit ular jali sebesar 1.8 juta kulit, dan menurun menjadi 581 000 kulit pada tahun 1989 (Traffic 2008). Pada periode tahun 1993-2005 Indonesia mendapat larangan eksport ular jali, karena ditemukan ekspor ular jali melebihi kuota yang telah ditetapkan. Pada tahun 2007 ditetapkan kembali kuota tangkap di alam untuk ular jali sebesar 95 500 untuk kulit dan 500 untuk petsdan pada tahun 2008 menjadi 89 500 untuk kulit dan 450 untuk pets. (Traffic 2008). Periode Tahun 2012, untuk ular jali mendapat kuota tangkap sebesar 99 500 (kulit) dan 500 (hidup/pets) yang terbagi ke tiga propinsi, yaitu: Jawa Barat sebesar 10 000 (kulit) dan 100 (hidup); Jawa Tengah sebesar 40 500 (kulit) dan 200 (hidup); serta Jawa Timur sebesar 49 000 (kulit) dan 200 (hidup).

Ijin pengambilan dari alam harus menjamin kelestarian populasi, maka lokasi pengambilan harus dirotasi. Jangka waktu rotasi didasarkan pada kondisi populasi, habitat dan sifat-sifat biologis serta perilaku jenis yang ditetapkan. Penetapan lokasi pengambilan harus memperhatikan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana penggunaan lahan dan aspek sosial budaya masyarakat setempat (Sekditjen PHKA 2007c).

(34)

program dan tujuan pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan di dalam batas waktu yang telah ditentukan.

Secara khusus, beberapa hal yang perlu diketahui guna menunjang kegiatan sustainable useadalah sebagai berikut (Erdelen 1998) :

1. Analisis terhadap tingkat panen tahunan (perbedaan secara geografi, berhubungan dengan populasi individu).

2. Monitoring dari penangkapan atau unit usaha dan perubahan dalam kelimpahan relatif, jenis kelamin, jenis kelamin dan struktur umur.

3. Penggunaan regim pengelolaan konservatif

4. Top to buttom coorperation dari ilmuwan dan pemerintah dengan eksportir, pengumpul dan pencari lokal (tingkat yang berbeda dengan hirarki dari sistem perdagangan).

5. Menguji kelayakan dari penangkaran komersil berskala besar.

2.3. Bio-ekologi Ular Jali (Ptyas mucosusLinnaeus, 1758)

Ular jali (Ptyas mucosus Linn. 1758) diklasifikasikan masuk dalam famili Colubridae dengan genus Ptyas. Nama lain (sinonim) dari P.mucosus ini adalah P.mucosa sedangkan dalam bahasa internasional disebut Dhaman atau Oriental Ratsnake, sedangkan menurut UNEP-WCMC (2001) dalam Sidik (2006), bahasa daerah untuk ular ini dikenal sebagai Ulo Priting, sedangkan dalam bahasa asing disebut Common/Oriental Rat Snake. Menurut van Hoesel (1959), terdapat kemiripan dengan spesies satu genus, Ptyas korros(Indochinese rat snake) (David et al.2004). Menurut David dan Das (2004)dalamDavid (2004), penamaan Ptyas pada umumnya berhubungan dengan sifat feminim, sehingga seharusnya Ptyas mucosa, karena mucosus lebih bersifat maskulin. Apabila bertemu dengan kedua jenis ini pertama kali akan sulit membedakannya. P.mucosus di dalam famili colubridae termasuk dalam kelompok Old World Colubrids bersama dengan Elaphe longissima dan Coronela austriaca dengan ciri mempunyai pola ketinggian dari tubuh bagian depan (Ford & Burghardt 1993).

(35)

Bangladesh, Srilanka, Myanmar, China, Taiwan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand hingga Malaysia (Rooij 1915; Smith 1935 dalamsidik 2006).

Kebanyakan ular di daratan adalah tidak berbisa. Dari 10 suku ular yang menghuni kawasan Indonesia, ada 5 suku ular yang tidak bergigi bisa, yaitu suku Colubridae, anggotanya ada yang bergigi bisa tetapi ada juga yang tidak. Pada ular yang bertipe gigi aglypha, giginya ada yang besar, sedang dan ada juga yang tidak begigi sama sekali (Supriatna 1995). Menurut van Hoesel (1959), ciri-ciri lain yang dimiliki P.mucosus adalah memiliki panjang badan hingga 360 cm, dengan rata-rata 250 cm. Menurut Boeadi et al. (1998), ukuran tubuh jenis kelamin jantan lebih besar (dan panjang) dibandingkan betina.

Kepala berbentuk oval sedikit segitiga, tubuh ramping dan ekor yang panjang. Tubuh bagian atas dan ekor berwarna coklat terang hingga gelap, sementara sebagian sisik memiliki batas coklat tua hingga hitam. Lidah besar dan panjang (van Hoesel 1959), berwarna hitam atau biru-hitam dengan ujung garpu. Pada bagian kepala terdapat sisik-sisik bibir bertepi hitam, bagian punggung lonjong dan berwarna dasar coklat tua kehitam-hitaman sertam terdapat beberapa palang hitam dibagian badan belakang. Pada bagian perut dan kepala di bawah terdapat perisai-perisai bertepi hitam. Ciri pada anak ular jenis ini mempunyai jalur-jalur melintang itu hanya nyata dibagian badan dimuka. Tiap satu cluthper individu betina dewasa terdapat telur antara 7–16 buah (van Hoesel 1959).

Ular jali bermata besar dan bulat. Menurut van Hoesel (1959), mata ular tidak berkelopak, anak matanya berbentuk bulat pada jenis-jenis yang mencari pakan pada siang hari (diurnal) dan berbentuk oval apabila mencari pakan pada malam hari (nokturnal). Ular tidak mempunyai telinga dan lubang telinga, akan tetapi bisa merasakan adanya getaran. Ular ini bergerak cepat dan sangat bersemangat, aktif di siang dan malam hari (Sidik 2006). Menurut van Hoesel (1959), ular jali sangat gesit dan dapat bergerak sangat cepat, secepat orang pelari.

(36)

Menurut Shine 1998; Melisch 1998; Iskandar dan Erdelen (2006); Lee et al. 2011, dalam rangka melestarikan dan mengembalikan kondisi kelimpahan jenis-jenis reptil yang ada di alam, harus diketahui ekologi dasar dari jenis-jenis ular tersebut. Termasuk didalamnya informasi tentang distribusi, penggunaan habitat, fisik lingkungan, pola pergerakan dan ukuran populasi (Dodd Jr 1993). Informasi ekologi yang sangat penting dalam pengelolaan satwaliar adalah parameter populasi. Menurut Bailey (1984); Santosa (1993) dan Santosa (2008), harus diperoleh informasi parameter demografi (tingkat kelahiran, kematian, sex rasio, dan ukuran populasi) dalam mempelajari perkembangan populasi satwaliar tersebut. Informasi tersebut juga merupakan data dasar dalam perencanaan dan penentuan kuota pemanenan (CEMAGREF 1984 dalamSantosa 1993).

Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang menempati suatu tempat tertentu pada waktu yang sama (Krebs 1978), serta mampu menghasilkan keturunannya yang sama dengan tetuanya (Alikodra 1990), sedangkan menurut Odum (1994) mendefinisikan populasi satwaliar sebagai kelompok kolektif organisme-organisme dari kelompok yang sama (atau kelompok-kelompok lain dimana individu-individu dapat bertukar informasi genetiknya) yang menduduki ruang atau tempat tertentu, memiliki berbagai ciri atau sifat yang menjadi milik kelompok dan bukan milik individu dalam kelompok itu. Populasi, menurut Tarumingkeng (1994), merupakan sehimpunan atau sekelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan.

(37)

populasi yang dieksploitasi, biasanya mortalitas total dibagi menjadi mortalitas akibat eksploitasi tersebut dan mortalitas karena proses alami (predasi, karena penyakit dan akibat kondisi iklim).

Menurut Dodd Jr (1993) dan Garel et al. (2005), monitoring terhadap ukuran populasi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting, akan tetapi sensus terhadap populasi satwaliar adalah tugas yang berat. Sebagai alternatifnya, pendekatan kelimpahan sebagai contoh perhitungan yang telah distandarisasi telah dikembangkan(Eberhardt and Simmons 1987; Link and Sauer 1997; Williams et al. 2002 dalamGarel et al.2005). Menurut Krebs (1978); Seber (1982) dan PBC (1998), perhitungan untuk menduga kelimpahan absolut dapat diperoleh dengan

metode capture-mark-recapture, akan tetapi secara prakteknya sangat sulit dilakukan pada jenis ular.

Berdasarkan sifat ular yang seringkali mempunyai warna dan perilaku yang tidak jelas /sulit dideteksi, serta sulit ditemukan ketika dicari, sehingga menjadi masalah dalam hal pendugaan ukuran populasinya. Menurut PBC (1998), ular juga biasanya berkelompok kecil dan tersebar, baik secara spasial maupun

temporal, sehingga sering ditemukan melimpah disuatu tempat pada kondisi waktu tertentu. Oleh karena itu diperlukan upaya dan tenaga yang intensif untuk mendapatkannya.

Kelimpahan relatif digunakan untuk memperkirakan ukuran populasi ular walupun seringkali bias. Namun demikian apabila dilakukan dengan metode yang

benar dan sesuai serta dengan sumberdaya yang intensif, pada data yang terkumpul banyak akan memberikan data dan informasi yang valid dan bermanfaat (PBC 1998). Pengambilan data untuk mendapatkan informasi kelimpahan relatif, juga dipengaruhi peubah lingkungan (waktu pencarian, musim, cuaca dll) dimana seharusnya dalam kondisi stabil, karena akan mempengaruhi aktivitas ular. Beberapa metode yang dapat digunakan sebagi

(38)

pendugaan ukuran populasi dapat juga dilakukan dengan pendekatan CPUE (Cacth per unit effort) yang selama ini sering dilakukan terhadap populasi ikan.

Hingga saat ini untuk data kelimpahan ular jali di alam masih sangat jarang, begitu juga dengan ular jenis lainnya di Indonesia. Data yang tersedia selama ini merupakan stok (jumlah yang terkumpul) di pengumpul ular yang sering dianggap

sebagai kelimpahan panenan, padahal jumlah (stok) tersebut belum dapat menggambarkan hasil panenan sebenarnya di tingkat penangkap.

Parameter utama yang berpengaruh terhadap ukuran populasi adalah natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), imigrasi dan emigrasi Krebs (1978), sehingga akan mempengaruhi kepadatan suatu populasi satwa.

Populasi meningkat dengan adanya natalitas, yang ditandai dengan dihasilkannya individu baru dengan kelahiran (birth), penetasan (hacthing), perkecambahan (germination) atau pembelahan diri (fission) (Krebs 1978). Tingkat kelahiran merupakan jumlah organisme yang dilahirkan oleh individu betina per unit waktu. Ular jali, dalam satu cluth per individu betina dewasa terdapat telur antara 7–16 buah (van Hoesel 1959), sedangkan yang dipelihara di penangkaran, menurut Aji (2011) telah dapat matang kelamin pada umur 11–18 bulan dan dapat berkembangbiak selama 2–3 kali dalam satu tahun dengan rata-rata satu cluth sebanyak 15 butir telur yang akan menetas dalam rentang waktu 56-69 hari (terutama dipengaruhi oleh suhu kandang/sarang).

(39)

dari adanya kuota tangkap sebesar 95 000 ekor (KKH 2011), disamping kebutuhan untuk konsumsi lokal dan kematian karena penyakit dan faktor alami lainnya.

Informasi biologi dari suatu spesies yang mempunyai peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan, baik pertimbangan ekologis maupun ekonomis (dalam hal pemanfaatan) adalah informasi morfologi. Berdasarkan Campbell dan Lack (1985) dalam Nopiansyah (2007), menyatakan bahwa morfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk pada spesies dalam populasi khususnya polimorfolisme. Morfologi anggota tubuh dari suatu jenis binatang merupakan hasil sebuah proses adaptasi terhadap lingkungan yang antara lain berupa seleksi terhadap ukuran tubuh bila mana terdapat beberapa tekanan seperti kelimpahan mangsa, kompetisi makanan secara interspesifik dam intraspesifik, seleksi ukuran mangsa dan sistem sosial intraspesifik (Kurniati et al.1997).

Di dalam cabang ilmu hayat terdapat pengukuran morfometri, yang merupakan pengukuran bentuk tubuh yang dilakukan pada spesies. Pengukuran panjang tulang-tulang mempunyai ketelitian yang lebih baik dalam pendugaan umur dibandingkan dengan pengukuran terhadap bobot badan (Campbell & Lack 1985dalamNopiansyah 2007).

Pertambahan panjang dari ukuran-ukuran tubuh bisa dijadikan dasar untuk pendugaan umur lebih lanjut (Caughley 1977 dalam Nopiansyah 2007). Keragaman ukuran tubuh hewan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan (Mansjoer et al. 1989 dalam Nopiansyah 2007). Parameter morfometrik yang digunakan merupakan bagian-bagian tubuh yang mudah terlihat dan mudah diukur, untuk jenis ular yang sering diukur adalah panjang kepala, SVL (snout-vent lenght), panjang ekor dan berat badan (Boeadi et al.1998; Auliya 2010).

(40)

2.4. Kharakteristik Habitat

Kegiatan pelestarian jenis satwaliar sangat erat kaitannya dengan upaya pelestarian dan perlindungan habitat dari satwaliar tersebut. Meningkatnya tekanan terhadap hidupan liar dan ekosistem alami erat kaitannya dengan kemiskinan, tekanan penduduk, pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan hutan serta krisis ekonomi yang melanda Indonesia sangat berpengaruh dalam degradasi habitat satwa. Pada gilirannya faktor-faktor tersebut akan mendorong berlanjutnya kerusakan habitat, meningkatnya pemanfaatan yang tidak berazaskan pada prinsip konservasi (KKH 2010).

Parameter lain yang juga sangat penting diketahui dalam pengelolaan

satwaliar adalah karakteristik habitat. kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiak satwaliar disebut habitat. Habitat yang sesuai bagi satu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda.

Menurut van Hoesel (1959), berdasarkan perilaku ular jali yang suka

berburu mangsa di sawah-sawah dan semak belukar dekat lahan pertanian lainnya, maka perlu diketahui berbagai karakteristik habitat yang berpengaruh sehingga dipilih oleh ular jali. Bailey (1984) menyatakan bakwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi habitat satwaliar, yaitu faktor biotik (kualitas dan kuantitas pakan, predasi, penyakit dll), faktor fisik (suhu, kelembaban, curah hujan dll) dan

faktor edaphic/tanah(kedalaman, struktur, tekstur, kandungan kimia dll.). Alikodra (1990) juga menyatakan bahwa Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwaliar yaitu terdiri dari makanan, air, temperatur, kelembaban, tekanan udara dan tempat berlindung maupun kawin.

Paramater tersebut perlu diketahui, terutama untuk melihat pemilihan habitat oleh ular jali yang menyukai tipe habitat sawah dan lahan pertanian

(41)

Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa kurun waktu tahun 1990-an diperkirakan mencapai 43 000 ha per tahun (Mawardi 2006), sedangkan hasil sensus pertanian tahun 2003 luas alih fungsi lahan sawah nasional selama periode 2000-2003 rata-rata sebesar 55 720 ha per tahun (Irawan 2008) dan menurut Mustopa (2011) selama periode tahun 2006 – 2009, terjadi di beberapa daerah di

Jawa tengah sebesar (per tahun ): Kab. Demak 57.95 ha, Kab. Kudus 14.05 ha, Kab. Semarang 25.42 ha, Kab. Grobogan 17.65 ha, Kab. Kendal 29.91 ha dan Kab. Batang 10.54 ha. Hal ini terutama disebabkan karena peningkatan populasi manusia (Amir et al. 1993) yang membawa konsekuensi pesatnya laju pembangunan di sektor permukiman (Mawardi 2006), industri, perkantoran, jalan dan sarana publik lainnya (Irawan 2008). Dari aspek kelestarian ular jali dan satwaliar lainnya yang mempunyai ketergantungan dengan tipe habitat persawahan dan lahan pertanian lainnya, perlu monitoring lebih lanjut dari dampak alih fungsi lahan tersebut.

Perilaku ular jali sering membuat sarang untuk meletakkan telur-telurnya didalam lubang atau dicelah-celah tanah yang basah, dibawah batu, dibawah akar pohon atau diantara sisa-sisa tumbuhan yang sudah busuk (van Hoesel 1959), maka kondisi-kondisi spesifik tersebut perlu dijaga untuk melestarikan jenis tersebut (Lee et al2011).

Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka beberapa peubah lingkungan yang dianggap berpengaruh terhadap karakteristik lingkungan ular jali adalah :

(42)

disampaikan Krebs (1978), bahwa suhu berpengaruh dalam reproduksi, hasil pengamatan Aji (2011) mendapatkan interval suhu yang sesuai untuk penetasan ular jali di penangkaran adalah 30oC–36oC (optimal: 32oC–34

o

C), dengan keberhasilan > 80 % menetas. Oleh karena itu, akan sangat bermanfaat apabila dapat diketemukan sarang ular jali di habitat alaminya, sehingga dapat diukur suhu dan peubah lainnya, yang akan sangat berguna dalam hal pemanfaatan lebih lanjut.

b. Kelembaban. Faktor ini bersama suhu merupakan faktor pembatas kehidupan makhluk hidup.

c. Sifat fisik dan kimia tanah. Sifat fisik tanah disini dibatasi hanya terhadap jenis tanah dan kondisi tekstur tanah, sedangkan sifat kimia tanah hanya dibatasi pada pH tanah. Menurut Alikodra (1990), tanah mempunyai pengaruh terhadap penyebaran satwaliar. Tekstur dan komposisi tanah merupakan faktor fisik yang penting dalam pertumbuhan vegetasi, yang kemudian menentukan struktur kehidupan satwaliar yang menempatinya. Masih sangat terbatas informasi tentang pengaruh satwaliar terhadap kondisi tekstur tanah. Terkait dengan kondisi pH tanah, kandungan bahan kimia tanah juga bervariasi, beberapa jenis tanah ada yang bersifat alkalis (pH tinggi), yang lainnya asam (pH rendah) atau netral.

d. Ketinggian tempat. Ular jali adalah jenis ular yang mempunyai kebiasaan tinggal dalam liang-liang tanah di sekitar lokasi pertanian dan belukar di perbukitan hingga mencapai ketinggian 800 m dpl (Sidik 2006). Jenis ular ini juga dapat ditemukan di ketinggian hingga 1000 m dpl.

(43)

karena itu informasi jarak ditemukannya ular jali di habitat alaminya dengan sumber air dan pemukiman perlu diketahui.

Faktor ekologi suatu satwa yaitu adanya interaksi dengan jenis satwa lainnya, baik yang bersifat asosiasi maupun predasi. Semua jenis ular adalah satwa predator (Tweedie 1998). Ular jali adalah jenis ular yang bersifat oportunistik dan dapat mengembara kemana-mana dalam mencari makanan yang telah tersedia di habitatnya (Sidik 2006). Selain tikus, jenis ular ini juga memangsa katak dan anak burung (van Hoesel 1959), kadal, mamalia kecil.

Berdasarkan pengamatan isi lambung (Sidik 2006), diketahui bahwa bahwa kandungan isi perut ular jali mengandung unsur pati (14.7%), selulosa (30.85%), lignin (12.43%), serangga (12.76%) dan partikel-partikel yang tidak dapat teridentifikasi (29.26%). Kenyataan ini mendukung dugaan bahwa ular jali lebih banyak memakan kelompok hewan herbivora dan omnivora (hewan pengerat) dari pada hewan insectivora (hewan amfibia). Setelah dilakukan pengujian jumlah massa makanan yang dikonsumsinya, ternyata amfibia menjadi sumber utama makanan baik individu betina maupun jantan.

(44)

3.1. Kondisi Umum

Penelitian ular jali ini dilaksanakan di wilayah Jawa Tengah dan merupakan wilayah kerja dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian yang terutama berada di Kabupaten Boyolali, Pati, Sragen, Cilacap dan Kabupaten Semarang (Gambar 1).

[image:44.612.104.503.430.656.2]

Kondisi umum dari provinsi yang beribukota di Kota Semarang ini, berdasarkan administratif merupakan sebuah propinsi yang ditetapkan dengan Undang-undang No. 10/1950 tanggal 4 Juli 1950. Propinsi ini berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Propinsi Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Secara geografis berada pada koordinat antara 5°40’- 8°30’ LS dan 108°30’ - 111°30’ BT. Propinsi Jawa Tengah dibagi ke dalam beberapa wilayah administrasi, meliputi: 29 Kabupaten, 6 Kota, 565 Kecamatan, 764 Kelurahan dan 7 804 Desa.

(45)

3.2. Kondisi Biofisik

Luas Wilayah Jawa Tengah sebesar 3 254 412 ha atau sekitar 25.04% dari luas pulau Jawa (1.70% luas Indonesia). Luas yang ada terdiri dari 1 juta ha (30.80%) lahan sawah dan 2.25 juta ha (69.20%) bukan lahan sawah (Anonim 2012). Lahan di Propinsi Jawa Tengah sebagian besar telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, industri, dan permukiman. Selain itu, wilayah ini memiliki sumber daya pertambangan dan kelautan yang potensial untuk dikembangkan, yang dewasa ini belum dimanfaatkan secara optimal.

Pembagian luas wilayah berdasarkan topografi Propinsi Jawa Tengah, terdiri dari wilayah daratan sebagai berikut:

1. Ketinggian antara 0-100 m dpl yang memanjang di sepanjang pantai seluas 1 736 602 ha (53.3%).

2. Ketinggian antara 100-500 m dpl yang memanjang pada bagian tengah pulau seluas 891 709 ha (27.4%).

3. Ketinggian antara 500-1000 m dpl seluas 478 399 ha (14.7%). 4. Ketinggian diatas 1000 m dpl seluas 149 703 ha (4.6%).

Menurut tingkat kemiringan lahan di Jawa Tengah, 38% lahan memiliki kemiringan 0-2%, 31% lahan memiliki kemiringan 2-15%, 19% lahan memiliki kemiringan 15-40%, dan sisanya 12% lahan memiliki kemiringan lebih dari 40%. Menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1969, jenis tanah wilayah Jawa Tengah didominasi oleh tanah latosol, aluvial, dan grumusol, sehingga hamparan tanah di provinsi ini termasuk tanah yang relatif subur (Anonim 2012).

(46)

Terkait dengan habitat utama ular jali merupakan lokasi persawahan (van Hoesel 1959), menurut penggunaannya, luas lahan sawah 991 ribu ha (30.45%), luas bukan sawah 2.26 juta ha (69.55%) (Dishutprovjateng 2010). Luas lahan sawah terbesar berpengairan teknis (38.26%), selainnya berpengairan setengah teknis, tadah hujan dan lain-lain. Dengan teknik irigasi yang baik, potensi lahan sawah yang dapat ditanami padi lebih dari dua kali sebesar 69.56%. Berikutnya lahan kering yang dipakai untuk tegalan/kebun/ladang/huma sebesar 34.36% dari total bukan lahan sawah. prosentase tersebut merupakan yang terbesar, dibandingkan presentase penggunaan bukan lahan sawah yang lain (Anonim 2012).

Berdasarkan SK Penunjukkan Menteri Kehutanan No 359/Menhut-II/2009 tahun 2004 luas kawasan hutan negara di Provinsi Jawa Tengah adalah 647 133 ha (19.88% terhadap luas daratan Jawa Tengah) dan luas kawasan konservasi perairan sebesar 110 117 hektar. Sementara itu luas hutan rakyat di wilayah Jawa Tengah seluas 469 195 ha, sehingga jumlah luas kawasan berfungsi hutan secara keseluruhan di Jawa Tengah adalah 1 226 445 ha atau sekitar 37.68% dari luas wilayah Jawa Tengah (Dishutprovjateng 2010).

3.3. Kondisi Sosial Budaya

(47)

persegi, rata-rata penduduk per rumah tangga 3.9 jiwa (Dishutprovjateng 2010). Jumlah penduduk ini, 47% diantaranya merupakan angkatan kerja. Mata pencaharian paling banyak adalah di sektor pertanian (42.34%), diikuti dengan perdagangan (20.9%), industri (15.71%), dan jasa (10.98%).

3.4. Kondisi Spesifik Kabupaten Lokasi Penelitian

Tabel 1 Luas wilayah di beberapa kabupaten lokasi utama penelitian

No Lokasi Luas

Wil.(ha)

Luas Sawah

Luas Non Sawah

Luas Hutan

1. Kab. Cilacap 213 851 63 092 150 759 49 720.58

2. Kab. Pati 149 120 58 348 90 772 22 703.28

3. Kab. Boyolali 101 507 23 070 78 437 17 493.00

4. Kab. Semarang 94 686 23 316 69 370 12 174.75

5. Kab. Sragen 94 649 40 339 54 310 5 244.40

Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Povinsi Jateng 2010 3.4.1. Kabupaten Cilacap

Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah, dengan batas wilayah sebelah selatan Samudra Indonesia, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar Propinsi Jawa Barat. Terletak diantara 10804-300- 1090300300 garis Bujur Timur dan 70300- 70450200 garis Lintang Selatan, mempunyai luas wilayah 225.360,840 Ha, yang terbagi menjadi 24 Kecamatan 269 desa dan 15 Kelurahan. Wilayah tertinggi adalah Kecamatan Dayeuhluhur dengan ketinggian 198 m dpl dan wilayah terendah adalah Kecamatan Cilacap Tengah dengan ketinggian 6 m dpl. Jumlah penduduk

1 860 240, terdiri dari laki-laki 941 527 dan perempuan 918.539.

(48)

3.4.2. Kabupaten Pati

Kabupaten Pati merupakan salah satu dari 35 daerah kabupaten / kota di Jawa Tengah bagian timur, terletak diantara 1100, 50’ - 1110, 15’ bujur timur dan 60, 25’ – 70,00’ lintang selatan. Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara pulau jawa dan di bagian timur dari Propinsi Jawa Tengah. Secara administratif Kabupaten Pati mempunyai luas wilayah 150 368 ha yang terdiri dalam 21 kecamatan, 401 desa, 5 kelurahan, 1106 dukuh serta 1474 RW dan 7524 RT. Dari segi letaknya Kabupaten Pati merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi sosial budaya dan memiliki potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dapat dikembangkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, pertambangan dan pariwisata.

Sebelah utara dibatasi wilayah Kab. Jepara dan Laut Jawa. Sebelah barat dibatasi wilayah Kab. Kudus dan Kab. Jepara. Sebelah selatan dibatasi wilayah Kab. Grobogan dan Kab. Blora. Sebelah timur dibatasi wilayah Kab. Rembang dan Laut Jawa. Kabupaten Pati mempunyai luas wilayah 150 368 ha yang terdiri dari 58 448 ha lahan sawah dan 91 920 ha lahan bukan sawah. Jenis tanah, bagian utara terdiri dari tanah Red Yellow, Latosol, Aluvial, Hidromer dan Regosol. Sedangkan bagian selatan terdiri tanah Aluvial, Hidromer, dan Gromosol.

Berdasarkan curah hujan wilayah di Kabupaten Pati terbagi atas berbagai type iklim (oldeman) antara type D hingga E, dengan rata – rata curah hujan pada tahun 2008 sebanyak 1.002 mm dengan 51 hari hujan, untuk keadaan hujan cukup, sedangkan untuk temperatur terendah 230C dan tertinggi 390C.

Kabupaten Pati pada tahun 2008 mempunyai luas wilayah sebesar 1 503.68 km2. Dengan jumlah penduduk mencapai 1 256 182 pada akhir tahun 2008, maka Kabupaten Pati secara umum mempunyai kepadatan penduduk 830 jiwa per km2. Angka tersebut sama dibandingkan pada tahun 2007 sebesar 830 jiwa per km2. (http://www.patikab.go.id).

3.4.3. Kabupaten Boyolali

(49)

antara 110022’ BT – 110050’ BT dan 7036’ LS – 7071’LS dengan ketinggian antara 100 meter sampai dengan 1.500 meter dari permukaan laut. Sebelah timur dan selatan merupakan daerah rendah, sedang sebelah utara dan barat merupakan daerah pegunungan. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Grobogan. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Klaten dan DIY. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang. Luas wilayah Kabupaten Boyolali 101 510.0965 ha terdiri dari: lahan sawah 23 287.4945 ha (23,0 %), lahan kering 56 186.0830 ha (55,3 %), tanah lain 22 036.5190 ha (21,7 %) (http://www.boyolalikab.go.id).

3.4.4. Kecamatan Semarang

Kabupaten Semarang merupakan salah satu Kabupaten dari 29 kabupaten dan 6 kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Terletak pada posisi 1100 14' 54,74" - 110039' 3" Bujur Timur dan 703’ 57” – 7030’0” Lintang Selatan. Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Semarang adalah 95 020.674 ha atau sekitar 2,92% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Ibu kota Kabupaten Semarang terletak di kota Ungaran.

Secara administratif Kabupaten Semarang terbagi menjadi 19 Kecamatan, 27 Kelurahan dan 208 desa. Batas-batas Kabupaten Semarang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Boyolali. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Kendal.

(50)

memiliki volume air + 65 juta m3dengan luas genangan 2 770 ha pada ketinggian muka air maksimal, sedangkan dengan ketinggian permukaan air minimal memiliki volume + 25 juta m3 dengan luas genangan 1760 ha (http://www.semarangkab.go.id)

3.4.5. Kabupaten Sragen

Secara geografis, Kabupaten Sragen terletak pada 7º 15’ LS dan 7º 30’ LS dan 110º 45’ BT DAN 111º 10’ BT dan berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batas batas wilayah Kabupaten Sragen: Sebelah Timur adalah Kabupaten Ngawi (propinsi jawa timur), Sebelah Barat adalah Kabupaten Boyolali, Sebelah Selatan adalah Kabupaten Karanganyar, Sebelah Utara adalah Kabupaten Grobogan. Luas wilayah Kabupaten Sragen adalah 941 55 km2 yang terbagi dalam 20 kecamatan, 8 kalurahan dan 200 desa.

Secara fisiologis, wilayah Kabupaten Sragen terbagi atas: 40 037.93 ha (42,52%) berupa lahan basah(sawah) dan 54.117,88 ha (57,48%) berupa lahan kering. Luas lahan sawah di Kabupaten Sragen Tahun 2008/2009 mencapai 39 759 ha yang terdiri dari: sawah pengairan teknis 18 974 ha, setengah teknis 3 761 ha, sederhana 2 234 ha, non PU 800 ha, tadah hujan 13 739 ha dan lain-lain 251 ha (http://www.sragenkab.go.id). Wilayah Kabupaten Sragen berada di dataran dengan ketinggian rata rata 109 m dpl. Sragen menpunyai iklim tropis dengan suhu harian yang berkisar antara 19-31 ºC.Curah hujan rata-rata di bawah 3000 mm per tahun dengan hari hujan di bawah 150 hari per tahun.

Jumlah penduduk Sragen berdasarkan data tahun 2005 sebanyak 865.417 jiwa, terdiri dari 427.253 penduduk laki laki dan 438.164 penduduk perempuan. Kepadatan penduduk rata rata 919 jiwa/km2. (http://www.sragenkab.go.id)

(51)

4.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di beberapa lokasi (kabupaten/kota) di Provinsi Jawa Tengah terutama di beberapa kabupaten sebagai berikut: Kabupaten Boyolali, Sragen, Pati, Cilacap, Semarang dan Sukoharjo. Penelitian ini dilaksanakan selama ± 2 bulan, yaitu pada bulan April s/d Mei 2012.

4.2. Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta kerja, thermo-higrometer (digital), GPS, pita meter, termometer tanah, pH-moisture (stick) meter, timbangan pegas, kaliper, kamera digital, tambang plastik, kantong plastik, karung terigu/kain, alat tulis, tally sheet, software SPSS 19 serta komputer.

4.3. Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan satwaliar secara lestari dapat tercapai dengan adanya perlindungan spesies dan habitat serta pengendalian pemanenan. Secara umum, terdapat mekanisme yang telah disepakati secara internasional dalam hal pemanfaatan satwaliar, yaitu diatur oleh CITES. Terdapat 3 katagori di dalam mekanisme CITES terhadap pemanfaatan satwa liar, yaitu spesies yang masuk dalam Appendix I, Appendix II dan Appendix III.

(52)

dijadikan dasar pertimbangan pengelolaan populasi dan habitat ular tersebut. LIPI sebagai Scientific authority dan PHKA sebagai Management authority bertanggung jawab dalam hal monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan terhadap status populasi dan kondisi habitat ular jali agar tetap lestari.

4.4. Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa:

1. Data kelimpahan relatif ular jali di lokasi tangkap (habitat). 2. Data kelimpahan relatif ular jali panenan di lokasi pengumpul. 3. Data karakteristik habitat (habitat mikro) ditemukannya ular jali

4. Data morfometri dari ular jali yang tertangkap dan panenan (pengumpul). 5. Informasi faktor-faktor yang mempengaruhi tata niaga ular jali

Data sekunder berupa: jenis ular yang ditemukan di habitat ular jali, literatur yang mendukung, keadaan iklim dan topografi, peta kawasan, dan data pendukung lainnya.

4.5. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dari wawancara dengan pengelola kawasan Balai KSDA Jawa Tengah, baik yang berada di kantor balai (1 orang Ka.Balai dan 2 orang staf bidang pemanfaatan) di Semarang maupun yang ada di seksi wilayah (2 orang Ka. Seksi Wilayah), para pengumpul ular, para pemburu/penangkap ular, studi literatur berupa text book, data hasil penelitian sebelumnya, jurnal serta literatur yang relevan dengan penelitian ini.

(53)

tangkap di lokasi pencarian ular jali tersebut.

4.5.1. Pola Tata Niaga

Kebutuhan manusia akan satwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kehidupan manusia. Baik untuk keperluan asupan energi dan protein (daging, susu dll) maupun untuk kepentingan kesenangan (piaraan) dan bahan eksporasi bagi para peneliti. Peningkatan kebutuhan tersebut membentuk pasar perdagangan satwa (Yuwono 1998).

Oleh karena itu, perlu diketahui kondisi tata niaga dan kondisi pasar reptil, khususnya ular jali, terutama di Jawa Tengah sebagai salah satu wilayah penghasil/penangkapan di alam. Informasi diperoleh dengan melakukan wawancara kepada asosiasi (1 orang), eksportir (2 orang), para pengumpul besar (6 orang), pengumpul sedang (3 orang), pengumpul kecil (4 orang) dan pemburu/penangkap di lapangan (4 orang). Beberapa informasi yang dikumpulkan adalah : para pelaku, struktur dan rantai tata niaga ular jali di wilayah Jawa Tengah

4.5.2. Data Kelimpahan Relatif

Populasi ular di suatu wilayah dapat diketahui dengan mengetahui kelimpahan satwa tersebut dalam suatu habitat. Kelimpahan ini ada dua kelompok, yaitu kelimpahan absolut dan kelimpahan relatif (PBC 1998). Masing-masing kelimpahan ini ada kelemahan dan kekuatan Masing-masing-Masing-masing, tergantung dari tujuan penelitian dan sumberdaya yang tersedia dalam pelaksanaannya. Masing-masing kelimpahan tersebut juga mempunyai metode pengambilan data yang berbeda-beda, yang disesuaikan dengan pendekatan tujuan penelitian, sumberdaya yang ada dan situasi serta kondisi lapangan. Kelimpahan relatif digunakan untuk memperkirakan ukuran populasi ular walupun seringkali bias. Namun demikian apabila dilakukan dengan metode yang benar dan sesuai serta dengan sumberdaya yang intensif, pada data yang terkumpul banyak akan

(54)

relatif dengan metode Quadrat Searches dan Time-constained Search (berdasarkan Inventory Methods for Snakes – Standards for Components of British Colombia’s Biodiversity No. 38. Tahun 1998) (PBC 1998). Pemilihan metode ini dengan memperhitungkan karakteristik dan kondisi spesies ular yang diamati dan kemampuan pengamat, dengan keterbatasan waktu, tenaga pengamat dan biaya.

4.5.3. Data Morfometri

Data morfometri ular jali tersebut diperoleh dengan metoda focal animal sampling, dengan mencatat berbagai karakteristik morfologi dari ular jali yang tertangkap atau diperoleh di pengumpul dengan kondisi ular masih hidup. Diperoleh 159 ekor ular yang dapat dicatat morfometrinya. Data yang dikumpulkan yaitu :

1. Panjang Ular.

Panjang ular yang diukur meliputi panjang total (yaitu panjang dari ujung kepala ke ujung ekor), SVL/Snout-vent length (yaitu panjang dari ujung kepala hingga lubang kloaka) dan panjang ekor (yaitu panjang total – SVL atau panjang dari kloaka hingga ujung ekor).

2. Berat tubuh.

Berat tubuh ini diukur dengan memasukkan ular ke dalam karung kain dan ditimbang menggunakan timbangan pegas.

3. Jenis kelamin.

Perbedaan jenis kelamin pada ular dapat diketahui dengan pemeriksaan keberadaan hemipenisdengan cara menekan tepi kloaka. Apabila kelihatan maka jenis kelamin jantan dan apabila tidak nampak berarti betina.

4.5.4. Karakteristik Habitat

(55)

dari sumber air dan kelerengan. Metode pengumpulan data komponen habitat ular jali tersebut adalah sebagai berikut :

4.5.4.1. Kelembaban dan suhu lubang sarang. Digunakan alat Thermo-higrometer (digital), dengan memasukkan ujung alat, berupa sensor yang terhubung kabel ke alat tersebut dan akan muncul pada layar nilai dari kelembaban dan suhunya. Satuan alat ini adalah Relative Humidity (RH) untuk kelembaban dan oC (derajat celsius) untuk suhu.

4.5.4.2. Kelembaban tanah dan pH tanah. Komponen habitat ini diukur dengan menggunakan pH-moisture meter, berupa stick ganda (panjang sekitar 25 cm), yaitu dengan menancapkan ke dalam tanah, maka akan terlihat jarum menunjukkan angka yang merupakan nilai dari kelembaban dan pH tanah. 4.5.4.3. Suhu tanah. Suhu tanah diukur dengan termometer air raksa khusus

tanah, yaitu berupa tabung kaca kapiler berisi air raksa dengan penutup besi anti karat dengan bagian terbuka untuk membaca skala derajat celsius yang akan bergerak sesuai suhu tanah, ketika ditancapkan di tanah.

4.5.4.4. Ketinggian tempat. Pengukuran ketinggian tempat digunakan GPS receiver yang didalamnya terdapat pengukuran ketinggian tempat dari informasi GPS tersebut. GPS receiver sebelum digunakan telah dilakukan kalibrasi ke tepi pantai atau di lokasi yang telah distandarkan posisi koordinatnya, seperti lokasi Lapangan/Bandara Udara. Satuan dari ketinggian tempat ini adalah meter dari permukaan laut (m.dpl).

4.5.4.5. Jarak pemukiman dan jarak dari sumber air. Jarak tersebut diukur dengan meteran dan dibantu dengan perhitungan dengan GPS receiver dengan mengukur antar titik koordinat yang ditentukan di lubang sarang dan lokasi pemukiman terdekat. Satuan yang digunakan adalah meter (m). 4.5.4.6. Kelerengan. Pengukuran kelerengan dilakukan dengan bantuan peta

DEM (Digital elevation model) dengan pengkelasan menurut SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.

(56)

4.6. Analisa Data

4.6.1. Analisa pola tata niaga ular jali di Jawa Tengah

Analisis pola tata niaga ular jali di Wilayah Jawa Tengah dilakukan secara deskriptif bagaimana peran para pelaku, rantai dan pola tata niaga ular jali di wilayah Jawa Tengah.

No Tujuan Peubah Yang

Diukur

Unit Pengamatan Metode Pengukuran Analisis Data

1. Pola tata niaga

Pelaku Individu (orang) Wawancara Deskriptif

Rantai tata niaga Individu (orang) Wawancara

Harga ular jali Individu (orang) Wawancara

2. a. Populasi di habitat tangkap

Kelimpahan tertangkap

Lokasi tangkap Time search/ quadrat

searches Uji beda nilai tengah (T-Test ), Quadrat search dan time search

Jenis kelamin Individu ditangkap Lihat ciri morfologi

Nisbah kelamin Individu ditangkap Perbandin

Gambar

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian di Propinsi Jawa Tengah.
Tabel 2. Metode Pengukuran dan Analisa Data Pada Tiap Peubah yang Diukur
Gambar 2 Diagram rantai tata niaga/peredaran ular jali di Jawa Tengah.
Tabel 3 Pembagian kuota tangkap dan edar ular jali di Jawa Tengah
+7

Referensi

Dokumen terkait