• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.1 Pelaku Peredaran/Tata Niaga

Pelaku disini merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam rantai tata niaga ular dari berbagai tingkat. Para pelaku yang terlibat dalam perdagangan ular jali di Wilayah Jawa Tengah, adalah sebagai berikut :

1. Eksportir.

Eksportir dalam sistem tata niaga reptil di sini merupakan pihak yang mempunyai ijin untuk eksport satwa liar dan bagian-bagiannya, baik dalam keadaan hidup maupun dalam keadaan mati (berupa kulit maupun daging). Eksportir di dalam tata niaga/peredaran ular jali biasanya juga berperan sebagai pengumpul besar. Di wilayah Jawa Tengah terdapat 3 (tiga) eksportir, yaitu: UD. Welang Sakti (daging), UD. Naga Jaya (daging) dan UD. Santoso (kulit). Mereka mendapat ijin sebagai eksportir satwa liar dari Dirjen PHKA, Kementerian Kehutanan atas rekomendasi dari BKSDA Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (pasal 51; ayat 5) masa berlaku sebagai eksportir adalah selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Para eksportir, baik kulit maupun daging, biasanya mempunyai pembeli (buyer) dan/atau “bos besar” yang berbeda-beda di luar negeri. Tujuan ekspor untuk daging yaitu ke Negara Hongkong, Cina dan Taiwan

(Auliya 2010), sedangkan untuk kulit biasanya ke beberapa negara di Eropa dan Amerika. TRAFFIC (2008) juga menyebutkan bahwa tujuan pasar utama untuk produk ular jali adalah Eropa, Singapura, Hongkong dan Taiwan. Menurut Auliya (2010) menyatakan bahwa dari tiga pelabuhan laut besar di Jawa melakukan pengiriman daging ular jali beku ke China dan Taiwan.

2. Pengumpul Besar

Pengumpul besar merupakan pihak yang menerima berbagai jenis satwa reptil komersial yang tidak dilindungi oleh undang-undang, baik yang masuk appendix II CITES maupun jenis-jenis non-appendix. Pengumpul besar telah mendapat ijin usaha dan ijin tangkap/edar satwa dari BKSDA Jawa Tengah yang berlaku selama 1(satu) tahun sesuai dengan penetapan kuota secara nasional oleh Direktur Jenderal PHKA (sesuai KepMenHut No: 447/Kpts-II/2003). Pengumpul besar yang terdapat di Jawa tengah secara lengkap dapat dilihat dalam Lampiran 1.

Para pengumpul besar mempunyai permodalan yang cukup kuat karena dapat menerima dan membeli hasil tangkapan dengan skala yang besar dan biasanya sekaligus melakukan proses penyembelihan hingga memisahkan kulit dengan daging atau proses selanjutnya sebelum pengiriman ke eksportir. Sama halnya yang disampaikan Semiadi dan Sidik (2011), para pengumpul daerah (pengumpul besar) pada umumnya telah terdaftar di Balai Konservasi Sumber Daya setempat.

3. Pengumpul Antara (Agen).

Pengumpul antara merupakan pihak yang berada di antara pemburu/penangkap dengan pengumpul besar dalam sistem perdagangan reptil di Jawa Tengah. Pengumpul antara ini biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu pengumpul sedang dan pengumpul kecil.

Pengumpul sedang. Pengumpul di tingkat ini, menerima dan atau membeli reptil hasil tangkapan dari pengumpul kecil dan atau ke pemburu/pencari secara langsung, akan tetapi skala pembelian dalam volume tidak begitu besar serta tidak menampung reptil lebih dari 3(tiga) hari dengan pertimbangan susut berat ular (terutama untuk jenis yang

penilaian harga dari berat satwa) sehingga segera menyetorkan ke pengumpul besar. Mereka tidak melaksanakan penyembelihan dan atau proses lainnya, sehingga menyetorkan ke pengumpul besar dalam kondisi hidup.

Pengumpul Kecil. Seperti halnya tingkat pengumpul sedang, pengumpul kecil merupakan pihak yang menerima/membeli hasil tangkapan reptil dari pemburu/penangkap, biasanya karena faktor kedekatan tempat tinggal (tetangga sekitar) dan skala jumlah reptil yang diperoleh tidak banyak. Mereka biasanya tidak lebih dari 1(satu) hari menampung satwa yang ada dan segera menyetorkan kepada pengumpul sedang atau langsung ke pengumpul besar dengan pertimbangan jarak dan biaya transportasi. 4. Pemburu/penangkap.

Pemburu/penangkap ular adalah orang atau pihak yang secara langsung mencari dan menangkap ular jali dan reptil lain secara langsung di lokasi yang merupakan habitatnya. Berdasarkan tingkat kemampuan dan mata pecaharian, terdapat dua kriteria pemburu ular: pertama; pemburu profesional, yaitu mereka yang telah mempunyai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan khusus dalam berburu ular (sesuai dengan pengertian profesional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menurut Poerwadarminta (2007)), serta menjadikan profesi pemburu ular sebagai sumber mata pencaharian utama (Siregar 2012). Kedua; pemburu sambilan, yaitu mereka yang hanya secara kebetulan bertemu dan menangkap jenis ular komersil (biasaya jenis yang tidak berbisa), serta kegiatan menangkap ular dijadikan sebagai sumber pendapatan tambahan, karena utamanya sebagai buruh tani. Bagi para pemburu profesional, mereka mempunyai pengalaman pengenalan lokasi dan ciri-ciri keberadaan berbagai jenis ular serta waktu dan kondisi yang cocok untuk mendapatkan masing-masing jenis ular yang dicari, sedangkan bagi pemburu sambilan biasanya mendapatkan ular ketika beraktivitas di sawah dan mengetahui nilai komersil dari ular tersebut (tidak dengan sengaja/secara khusus mencari ular). Para pemburu ular akan meningkat jumlahnya (terutama pemburu sambilan) pada saat musim menunggu panen dan saat musim bero (sawah dibiarkan tanpa tanaman).

Menurut TRAFFIC (2008), di Jawa Tengah biasanya berlangsung pada Bulan Oktober-Desember dan Februari-April, akan tetapi tergantung juga oleh lokasi geografis dan perubahan musim. Pengurangan jumlah pemburu/penangkap ular jali pada masa banyak pekerjaan di sawah mencapai 50–60 %. Secara ekologis, pengurangan jumlah pemburu pada periode waktu tertentu tersebut menguntungkan bagi ular jali sehingga memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembangbiak dengan tekanan yang berkurang.

Walaupun tidak melakukan perhitungan secara khusus perbandingan jumlah pemburu profesional dan sambilan selama pengamatan, jumlah pemburu profesional ular di Jawa Tengah tidak sebanyak pemburu sambilan. Menurut KKH (2011), dari sejumlah pemburu ular secara keseluruhan yang tercatat oleh IRATA, yaitu sekitar 166 000 orang, hanya sekitar 10 % sebagai pemburu profesional, begitu juga hasil penelitian Siregar (2012), menyebutkan hanya 2 orang dari 29 (sekitar 7%) orang pemburu ular phyton di Sumatera Utara yang diwawancarai, sebagai pemburu profesional. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai pemburu profesional dibutuhkan keahlian khusus, keberanian, ketelatenan dan fisik yang kuat untuk perjalanan jauh saat mencari ular, sedangkan hasilnya terkadang tidak seperti yang diharapkan (tidak sebanding dengan usaha dan resikonya). Selain hal itu, karena semakin banyak orang yang mengetahui nilai ekonomi dari ular jali, termasuk para petani, secara langsung menjadi “pesaing” para pemburu profesional yang ada. Pada pengamatan ini, hanya ditemui 4 pemburu profesional, , 3 pengumpul sedang, 4 pengumpul kecil, 6 pengumpul besar dan 2 diantaranya sekaligus sebagai eksportir.

Hasil wawancara dengan pemburu ular di lokasi pengamatan, diperoleh informsi bahwa, semakin bertambah banyaknya para pemburu/penangkap ular (khususnya ular jali) mengakibatkan hasil tangkapan per orang juga berkurang, walaupun di tingkat pengumpul besar merasa hasil yang diperoleh masih cukup stabil. Berdasarkan hasil pengamatan, di tingkat pemburu/penangkap, pada saat ini mereka hanya berhasil menangkap paling banyak 3 ekor ular jali/orang/hari, bahkan

diantarnya tidak berhasil mendapat tangkapan ular jali. Hal ini dapat dilihat pada tingkat pencari dalam Lampiran 2, yang merupakan beberapa rekap setoran harian dari pemburu ular ke pengumpul sedang (Pak Dalmadi-Boyolali).

Berdasarkan perilaku pemburu atau metode perburuan/cara memperoleh ular, pemburu ular jali dapat dibagi dalam dua katagori, yaitu: pertama; pemburu ular (terutama yang profesional) yang mencari dan menangkap ular jali hanya tertuju pada ular yang sedang berada diluar sarang, biasanya tanpa menggunakan bantuan alat (tangan kosong), sedangkan katagori kedua; adalah pemburu yang selain menangkap ular yang berada di luar sarang, juga berusaha menangkap ular jali yang berada di dalam sarang dengan menggali sarang tersebut menggunakan cangkul atau alat lainnya. Perilaku pemburu tersebut sangat berpengaruh terhadap kelestarian ular jali, dimana katagori pemburu yang menggali sarang akan mengakibatkan rusaknya sarang ular jali, terlebih lagi apabila terdapat telur atau anakan ular jali. Hal tersebut dapat mengurangi potensi perkembangbiakan dan tingkat kelestarian ular jali pada waktu mendatang. Perusakan sarang reptil oleh penangkap (collector) telah mengganggu kondisi kelimpahan dan habitat mikro reptil yang membutuhkan tingkat kelembaban yang tinggi (Goode et al. 1998). Para pemburu yang hanya menangkap ular yang berada di luar sarang, telah mempunyai pemahaman/pengetahuan secara tradisional (traditional knowledge) terhadap kelestarian dan keberlanjutan hasil apabila mencari ular tanpa merusak sarang sebagai tempat perkembangbiakan ular jali.

Perilaku pemburu yang hanya menangkap ular dengan kelas umur optimal dan tanpa merusak sarang tersebut dapat menjadi rekomendasi bagi seluruh penangkap ular jali dan ular lain yang mempunyai habitat lubang sarang. Hal tersebut dapat menjadi faktor yang penting bagi kelestarian dan keberlanjutan populasi ular jali di alam, sekaligus sebagai salah satu faktor yang penting dalam penilaian berdasarkan prinsip Non-detriment finding. 5.1.2. Rantai Tata Niaga

Perdagangan ular jali dan reptil lainnya di Jawa Tengah melibatkan banyak pihak seperti telah dijelaskan sebelumnya sehingga membentuk rantai (saluran) perdagangan seperti pada Gambar 2. Berdasarkan rantai perdagangan tersebut, seperti yang dinyatakan Siregar (2012), terdapat pola umum dalam saluran tataniaga ular yang melibatkan empat tingkatan pelaku tata niaga, yaitu pemburu/penangkap ular (catcher), pengumpul antara (agen), pengumpul besar (supplier) dan eksportir.

Gambar 2 Diagram rantai tata niaga/peredaran ular jali di Jawa Tengah.

Berdasarkan diagram alur diatas, dapat dijelaskan bahwa tidak semua tingkat pelaku secara hirarki melakukan perdagangan ular jali sesuai tingkatannya, dimana terdapat beberapa “jalan pintas” antar tingkatan pelaku. Terdapat para pemburu yang langsung menjual ular ke pengumpul sedang dan besar, bahkan terdapat pengumpul besar yang mempunyai orang-orang yang bertugas “jemput bola” ke pengumpul antara dan pemburu. Kondisi serupa juga disampaikan oleh Soehartono dan Mardiastuti (2002), dimana terdapat keadaan para penangkap bertransaksi secara langsung dengan pengrajin atau eksportir.

Beberapa pengumpul sedang dan besar mengeluh adanya penyimpangan kondisi tersebut, karena mengakibatkan penurunan pendapatan mereka. Hal ini terjadi karena ada orang/pihak yang merupakan perpanjangan tangan pengumpul

Pengumpul antara (agen)

Pemburu/ penangkap

besar lain dan sekaligus eksportir, secara langsung mendatangi pemburu dan pengumpul kecil yang biasanya menjual ular ke pengumpul sedang. Kondisi ini terjadi karena adanya penawaran harga yang lebih tinggi dibandingkan harga yang sanggup dibayar oleh pengumpul sedang. Kondisi tersebut merupakan contoh kasus bagaimana persaingan pasar dalam peredaran ular jali di Jawa Tengah. Oleh karena itu, terdapat beberapa pengumpul antara (agen) dan besar yang mengalami penurunan perolehan ular dan jenis reptil lainnya karena terdapat persaingan diantara mereka. Hal tersebut didorong salah satunya faktor harga dan jarak lokasi antar pengumpul. Auliya (2010) juga menyatakan bahwa beberapa pengumpul besar menyembelih ular sendiri, sedangkan ular yang lainnya disetor ke pengumpul besar lainnya. Para pengumpul besar melakukan penyembelihan sendiri sejak mengetahui keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil sampingan dagingnya.

Tabel 3 Pembagian kuota tangkap dan edar ular jali di Jawa Tengah

No Nama Pengusaha Alamat

Ijin Tangkap 2011

Ijin Tangkap

2012 Ket.

Kulit Hidup Kulit Hidup

1 UD. Indonesia

Fauna Cilacap 21 500 86 18 000 80

2 UD. Welang Sakti Boyolali 9 113 12 7 000 10 Eksportir

Daging

3 UD. Naga Jaya Pati 9 113 6 2 000 10 Eksportir

Daging

4 UD. Naga Puspa Pati 0 6 0 10

5 UD. Santoso Magelang 0 6 5 000 0 Eksportir

Kulit

6 UD. Jari Asih Pati 0 6 0 10

7 UD. Snake Centre Kebumen 0 6 0 0

8 UD. Tukiran Cilacap 0 6 0 0

9 UD Reptil Banyumas 0 6 0 0

10 CV. Bumi Makmur Semarang 0 6 0 0

11 PT. Manta Pratama

Unggul Perkasa Semarang 0 6 0 0

Jumlah 39 726 152 32 000 120

Dinamika yang terjadi dalam perdagangan reptil tersebut mempengaruhi perolehan/penerimaan jumlah ular jali di masing-masing pengumpul besar dan wilayah edar/tangkap. Hal ini dikarenakan adanya pembagian pembatasan

tangkapan oleh Balai KSDA Jawa Tengah, dengan dasar kuota yang ditetapkan oleh management authority.

Beberapa pengumpul besar, yang merupakan salah satu pelaku peredaran/perdagangan di bidang reptil yang terdaftar di KSDA Prop. Jawa Tengah telah mengajukan ijin tangkap dan eksport di bidang reptil. Pada tahun 2011 terdapat 11 pengusaha yang mendapat ijin tangkap dan 3 (tiga) diantaranya juga mendapat ijin eksport, baik berupa kulit maupun daging, sedangkan pada tahun 2012 berkurang menjadi 8 perusahaan yang mendapatkan ijin tangkap. Selain yang tersebut Tabel 3, terdapat 2(dua) pengumpul besar yang pernah mendapat ijin tangkap, berakhir pada tahun 2010, yaitu: UD. Sumber Rejeki Subur (Desa Wasonorejo, Desa Gebang, Masaran, Sragen) dan UD. Minto rejo (Dk. Katukan Desa Gebang Kec. Masaran, Sragen).

Kedua pengumpul besar yang merupakan kakak beradik tersebut hingga saat ini masih melakukan usaha sebagai pengumpul satwa reptil dan juga melakukan peredaran satwa liar, baik dalam keadaan hidup maupun berupa kulit dan atau daging. Selain pengusaha yang telah atau pernah mendapat ijin tangkap maupun peredaran satwa liar, terdapat banyak orang yang menjadi pengumpul hasil penangkapan satwa, terutama reptil, yang biasanya secara bebas melakukan penangkapan di alam dan melakukan kegiatan peredaran satwa, baik dalam satu propinsi maupun lintas wilayah.

Dari 8 (delapan) pengumpul besar yang mendapat ijin tangkap dan edar reptil di Jawa Tengah, hanya 5 diantaranya yang mempunyai jatah kuota tangkap untuk ular jali, dengan ijin edar dalam bentuk kulit maupun hidup. Penetapan proporsi jatah tangkap dan edar tersebut, menurut petugas BKSDA Jawa Tengah, yaitu berdasarkan realisasi pengajuan SAT-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri) dan SAT-LN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri) oleh para pengusaha (pengumpul besar dan eksportir) tersebut pada tahun sebelumnya. Hal ini sebenarnya masih kurang, karena ada hal lain yang seharusnya menjadi pertimbangan penetapan proporsi jatah kuota tangkap masing-masing pengusul ijin, yaitu dalam Keputusan Menteri ut 447/Kpts-II/2003, Pasal 32; ayat 1 (a) dan (b), yang intinya perlu pengkajian dan monitoring

daerah tangkap, kondisi kelimpahan dan laporan realisasi produksi riil tahun sebelumnya.

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor: SK.261/IV-KKH/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar untuk Periode Tahun 2012, untuk ular jali mendapat kuota tangkap sebesar 99 500 (kulit) dan 500 (hidup/pets) yang terbagi ke tiga propinsi, yaitu: Jawa Barat sebesar 10 000 (kulit) dan 100 (hidup); Jawa Tengah sebesar 40 500 (kulit) dan 200 (hidup); serta Jawa Timur sebesar 49 000 (kulit) dan 200 (hidup) (KKH 2010b).

Penetapan jatah kuota tangkap/edar untuk jenis reptil kepada para pengusaha di BKSDA Jawa Tengah pada tahun 2011-2012, tidak sepenuhnya terbagi habis. Dari total kuota wilayah Jawa Tengah untuk ular jali pada tahun 2011-2012 sebesar 40 500 (kulit) dan 500 (hidup) pada tahun 2011 masih ada sisa kuota 774 (kulit) dan 48 (hidup), sedangkan pada tahun 2012 terdapat sisa kuota 13 000 (kulit) dan 80 (hidup). Hal tersebut akan menjadi pertanyaan tersendiri, karena melihat kondisi di lapangan dengan kelimpahan panenan ular jali di tingkat pengumpul besar lebih dari 100 000 ekor per tahun. Salah satu unsur penting yang berpengaruh terhadap tingkat kelestarian pengelolaan satwa liar yaitu pihak pengelola yang mengatur sistem didalamnya. Oleh karena itu diperlukan perbaikan sistem monitoring, evaluasi dan adminstrasi dalam hal pengelolaan peredaran satwaliar di lingkup management authority, dalam hal ini BKSDA Jawa Tengah.

Pengumpul besar yang tidak mempunyai jatah kuota tangkap/edar ular jali dari BKSDA, seperti UD. Sumber Rejeki Subur, UD. Mintorejo, UD. Naga Puspa dan beberapa lainnya (Tabel 1), akan menjual dan atau mengirim ular jali, baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk daging dan kulit ke pengumpul besar lainnya atau eksportir baik yang berada di wilayah Jawa Tengah maupun keluar provinsi tanpa disertai dokumen resmi. Selain eksportir yang ada di wilayah Jawa Tengah para pengumpul besar mengirim barang lewat pengusaha/eksportir di Surabaya, Bandung dan Jakarta. UD. Indonesia Fauna-Cilacap biasanya mengirim daging ular jali dalam bentuk beku (frozen) ke Bandung, sedangkan untuk kulit ular jali lewat eksportir di Jakarta. Demikian juga untuk UD. Mintorejo, selain

mendapat pasokan ular jali hidup dari beberapa kabupaten di Jawa Timur (Ponorogo, Madiun, Ngawi dan Nganjuk), mereka mengirim daging beku dan kulit lewat eksportir di Surabaya.

5.1.3. Harga Ular Jali

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan ular jali adalah faktor harga. Harga ular jali juga “dikendalikan” oleh para pembeli (buyer) yang merupakan “bos besar” dari negara konsumen, terutama Hongkong sebagai tujuan ekspor daging. Hasil wawancara ke beberapa pengumpul, diperoleh informasi harga beli ular jali di tingkat pengumpul besar dan sedang dalam keadaan hidup dan masing-masing kelas ukuran.

Tabel 4 Harga ular jali di tingkat pengumpul besar dan sedang

No Nama

Pengumpul

Alamat Harga Per ekor Ular jali Berdasarkan Grade Berat

Ket. > 1 kg 0.8 kg 0.7 kg 0.6 kg

1 UD. Naga Jaya Pati 60 000 35 000 20 000 7 000 2 UD. Naga Puspa Pati 60 000 41 000 20 000 13 000 3 UD. Jari Asih Pati 35 000 25 000 15 000 10 000

jual hidup 4

UD. Indonesia

Fauna Cilacap 50 000 30 000 15 000 10 000

5 UD. Welang Sakti Boyolali 60 000 40 000 15 000 10 000 6 Pak Waluyo Boyolali 65 000 44 000 23 000 15 000 7

UD. Sumber

Rejeki Sragen 65 000 45 000 20 000 13 000

8 UD. Mintorejo Sragen 60 000 45 000 25 000 13 000

Kondisi harga ular jali di tingkat pengumpul besar untuk ukuran berat >1 kg per ekor, berkisar Rp 50 000.00 hingga Rp 65 000.00, sedangkan di tingkat agen atau pengumpul sedang sekitar Rp 35 000.00. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi permintaan pasar dan didorong oleh kelas ukuran ular jali yang bernilai ekonomis. Tingkat harga ular jali pada saat ini dianggap dalam kondisi yang bagus (harga tinggi) karena permintaan pasar ekspor masih terbuka. Faktor harga sangat dipengaruhi oleh pasar global, sehingga para pengumpul besar maupun eksportir selalu memonitor perkembangan pasar dunia. Harga yang berlaku diinformasikan

kepada para pengumpul kecil. Kisaran harga yang terdapat di masing-masing tingkatan pengumpul biasanya bervariasi hampir sama (Siregar 2011).

Berdasarkan informasi beberapa pengumpul besar, ketika permintaan ular jali rendah, di tingkat pengumpul besar untuk ukuran >1 kg dibeli dengan harga Rp 25 000.00. Apabila dibandingkan dengan jenis ular komersil lainnya dan bernilai ekonomis, ular jali termasuk jenis ular yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Sebagai contoh apabila dibandingkan dengan jenis ular pucuk (Ptyas korros) yang dijual per kilo (komulatif jumlah ular per kilo) dengan harga beli saat ini di pengumpul besar Rp 30 000.00, dimana dalam 1 kg bisa terdapat 3–4 ekor ular pucuk. Selisih harga di beberapa pengumpul besar yang lokasinya tidak terlalu jauh, seperti antara pengumpul besar di Kabupaaten Boyolali dan Sragen, mendorong para pemburu dan atau pengumpul kecil berusaha mencari harga yang lebih tinggi. Hal ini berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai hubungan tertentu, misalnya kekeluargaan atau terkait hutang-piutang. Demikian juga berlaku sebaliknya, menurut Siregar (2011), para pengumpul besar maupun eksportir mempunyai ikatan informasi dan selalu memonitor perkembangan pasar dunia. Harga yang berlaku diinformasikan kepada para pengumpul kecil. Kisaran harga yang terdapat di masing-masing tingkatan pengumpul biasanya bervariasi hampir sama.

5.1.4. Wilayah Pencarian Ular Jali Di Jawa Tengah

Provinsi Jawa Tengah mempunyai keragaman jenis reptil yang cukup tinggi, terutama jenis ular. Selain ular jali (Ptyas mucosus), terdapat beberapa jenis ular yang bernilai ekonomis, baik yang masuk Appendix maupun non-appendix CITES, diantaranya yaitu: ular kobra (Naja sputatrix), ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular lanang sapi (Elaphe radiata), ular air tawar (Homalopsis buccata), ular air asin (Boiga cynodon), ular koros/pucuk (Ptyas koros) dan beberapa jenis lainnya (KKH 2008). Jenis-jenis tersebut tersebar di hampir merata di wilayah Jawa Tengah, mulai bagian timur hingga barat, akan tetapi ada beberapa jenis yang mempunyai wilayah penyebaran tertentu misalnya ular air asin yang banyak terdapat di tambak-tambak di pesisir utara.

Keberadaan ular jali banyak ditemukan hampir merata di Jawa Tengah, akan tetapi terdapat beberapa wilayah dengan kelimpahan rendah dan ada wilayah yang mempunyai kelimpahan tinggi. Berdasarkan para pengumpul dan pemburu ular, apabila di suatu wilayah banyak ditemukan ular jali maka akan jarang ditemukan ular kobra, demikian juga sebaliknya. Belum ada keterangan secara ilmiah menjelaskan hal tersebut, asumsi sementara karena secara umum habitat ular tersebut hampir sama yaitu dominan di daerah persawahan.

Lokasi tangkap atau daerah yang merupakan habitat ular jali di wilayah Jawa Tengah, secara umum dapat disampaikan seperti dalam Tabel 5. Secara administrasi, beberapa wilayah yang mempunyai kelimpahan ular jali cukup banyak berada di Kabupaten Sragen, Boyolali, Wonogiri, Purwodadi, Demak, Magelang, Cilacap, Banyumas, Tegal, Pemalang dan Brebes, sedangkan beberapa wilayah lainnya termasuk mempunyai kelimpahan relatif yang termasuk kurang.

Tabel 5. Daftar pengumpul dan lokasi tangkap ular jali di Jawa Tengah

No Nama

Pengumpul Alamat Lokasi Tangkap Ular Jali Ket.

1 UD. Naga Jaya Pati Jepara, Pati, Blora, Purwodadi, Cepu,

Banjarnegara, Temanggung, Boyolali

Eksportir daging

2 UD. Naga Puspa Pati Sragen, Pati, Jepara, Blora,

Purwodadi

3 UD. Jari Asih Pati sekitar Pati

4 UD. Indonesia

Fauna

Cilacap Cilacap, Tegal, Brebes, Bumiayu, Ajibarang, Purwokerto, Rawaloh, Kebumen, Banyumas, Pekalongan, Banjarnegara, Pemalang, Purworejo

5 UD. Welang Sakti Boyolali Boyolali, Kebumen, Magelang,

Purwodadi, Klaten

Eksportir daging

6 Pak Waluyo Boyolali Purwodadi, Demak, Sleman,

Wonogiri, Ngawi

7 UD. Sumber

Rejeki

Sragen Purwodadi, Kab. Semarang,

Boyolali, Wonogiri, Sukoharjo

8 UD. Mintorejo Sragen Karanganyar, Klaten, Ponorogo,

Ngawi, Purwodadi, Nganjuk, Sragen dari Wilayah Jawa Timur 9 UD. Bumi Makmur

Semarang -tdk ada data- Dominan

tokek

10 UD. Manta Semarang -tdk ada

data-11 UD. Santoso Magelang -tdk ada data- Eksportir

Pengamatan terhadap ular jali sebelumnya di wilayah Jawa Tengah oleh Boeadi et al. (1998), meliputi wilayah penyebaran di Purwodadi, Klaten dan Magelang; Mumpuni (2002) melakukan pengamatan di wilayah Wonogiri, Cilacap, Purwodadi dan Sragen; Sidik (2006) mengambil sampel di wilayah Demak dan Sragen.

Menurut para pemburu ular di wilayah Kabupaten Boyolali dan Sragen, penyebaran ular jali hingga saat ini semakin berkurang, sedangkan jumlah para

Dokumen terkait