• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Parameter Demografi

5.2.2 Kelimpahan Ular Jali

Keberhasilan reproduksi satwaliar sangat menentukan kepadatan populasi (Alikodra 1990), yang merupakan besaran populasi dalam suatu unit ruang. Hingga saat ini informasi terkait dengan kondisi populasi ular jali di Jawa Tengah masih sangat sedikit bahkan belum tersedia datanya. Menurut Auliya (2010) masih sangat sedikit data terkait dengan status populasi ular jali di Jawa dan wilayah lain di Indonesia, tidak ada data kuantitatif yang tersedia, tidak ada bukti atau keterangan terkait peningkatan populasi bahkan selama pelarangan ekspor ular jali pada periode 1993–2005.

Salah satu kelemahan dalam pengelolaan populasi satwa liar, terutama jenis yang telah dimanfaatkan oleh manusia dengan pengambilan dari alam, dikhawatirkan tiba-tiba akan terjadi kelangkaan jenis tanpa ada pengendalian dalam pemanfaatannya karena tidak adanya data dan informasi yang memadai terkait kondisi populasinya. Pendugaan ukuran populasi ular jali sangat diperlukan, akan tetapi dengan metode sensus akan sangat sulit dilakukan karena merupakan tugas yang sangat berat (Dodd Jr 1993 & Garel et al. 2005). Berdasarkan kondisi tersebut, pada pengamatan ini diupayakan untuk dapat memperoleh data dan informasi terkait dengan kondisi populasi ular jali, walaupun masih bersifat kelimpahan relatif. Menurut (PBC 1998), seringkali hasil dari pengukuran kelimpahan relatif untuk memperkirakan ukuran populasi ular masih dianggap bias, akan tetapi apabila dilakukan dengan metode yang

benar dan sesuai serta dengan sumberdaya yang intensif, pada data yang terkumpul banyak akan memberikan data dan informasi yang valid dan bermanfaat.

Oleh karena itu dilakukan pengumpulan data ukuran populasi dengan pendekatan kelimpahan relatif ular jali yang berasal dari hasil tangkapan/panenan di tingkat pengumpul dan di tingkat pencari yang diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dengan kelimpahan di habitatnya.

5.2.2.1. Kelimpahan Panenan

Kelimpahan panenan ini dikumpulkan dari para pengumpul, terutama yang berskala usaha sedang hingga besar. Proses menggumpulkan data dari pengumpul ternyata cukup sulit, karena sebagian besar dari mereka adalah orang tua yang menjalankan usaha mereka secara sederhana dan tradisional dalam hal administrasi. Para pengumpul belum terbiasa dengan pencatatan (recording data) dari ular yang masuk dan keluar. Meskipun mereka menghitung jumlah dan bobot satwa (sesuai spesifikasi satuan masing-masing jenis untuk menentukan harga), akan tetapi hanya dalam catatan nota yang sekali pakai yang kemudian dibuang atau disertakan kepada penyetor. Pengamat mencoba memberikan tally sheetyang sangat sederhana untuk diisi catatan harian penerimaan jumlah serta kelas ukuran ular jali yang masuk, akan tetapi mereka tidak mengisi catatan tersebut dengan berbagai kendala yang sifatnya teknis.

Data dan informasi hasil panenan yang dapat dicatat secara rutin tersebut merupakan salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan ukuran populasi ular jali dan penentuan kuota tangkap/edar di suatu wilayah. KepMenHut 447/Kpts-II/2003, Pasal 32; ayat 1 (a) dan (b), merupakan salah satu ketentuan menekankan perlunya pengkajian dan monitoring daerah tangkap, kondisi kelimpahan dan laporan realisasi produksi riil tahun sebelumnya. Demikian juga seperti yang disampaikan Seber (1982), pemanenan adalah salah satu komponen dari tingkat kematian (mortalitas), disamping kematian yang disebabkan oleh sebab alami (tua), penyakit dan predator. Oleh karena itu, tingkat pemanenan dapat dijadikan ukuran untuk menduga tingkat kematian ular jali di alam yang diharapkan tidak

melebihi tingkat kelahiran (natalitas), sehingga kelangsungan populasi di alam tetap lestari.

Terdapat 3 pengumpul besar yang menyampaikan catatan rekapitulasi, walaupun kurang lengkap (hanya catatan jumlah), sedangkan yang lainnya merupakan hasil wawancara, sehingga diperoleh rata-rata jumlah ular jali yang mereka terima dari pemburu/penangkap langsung dan atau dari para pegumpul dibawahnya. Hasil rekapitulasi yang merupakan perkiraan kelimpahan panenan hasil perolehan ular jali tersaji pada Tabel 6, sebagai berikut:

Tabel 6. Estimasi kelimpahan panenan ular jali per tahun di Jawa Tengah

No Nama Pengumpul Alamat

Jumlah rata2 terima ular jali

per tahun

Keterangan

1 UD. Naga Jaya Pati 63 000

2 UD. Naga Puspa Pati 1 710

3 UD. Indonesia Fauna Cilacap 40 032

4 UD. Welang Sakti Boyolali 7 884

5 Pak Waluyo Boyolali 8 400

6 UD. Mintorejo Sragen 11 160

Perkiraan Jumlah untuk

wilayah Jawa Tengah 132 186 per thn

Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa pengumpul baik dengan pencatatan langsung maupun hasil wawancara dengan pengumpul, diperoleh data berupa jumlah ular jali yang diterima baik per hari, per minggu dan atau per bulan. Jumlah yang tercatat tersebut (minimal dari data 1–3 bulan) dihitung rata-rata per bulan dan per hari. Diantara para pengumpul yang ada di Jawa Tengah, diperoleh 6 pengumpul yang mempunyai skala usaha pengumpul ular yang cukup besar. Sebagian besar (5 pengumpul) telah mempunyai ijin usaha, sedangkan 1 pengumpul belum mempunyai ijin usaha. Apabila perolehan ular jali yang diterima masing-masing pengumpul dari hasil rata-rata per bulan diasumsikan dalam satu tahun maka diperoleh kelimpahan panenan di tingkat pengumpul sebanyak 132 186 ekor ular jali per tahun untuk wilayah Jawa Tengah.

Kelimpahan relatif berdasarkan panenan yang terkumpul di beberapa pengumpul besar tersebut lebih dari 2 kali lipat jatah kuota tangkap ular jali untuk

wilayah Jawa Tengah yang sebesar 40 700 ekor (40 500=kulit; 200=hidup). Menurut Sugardjito et.al. (1998), tingkat tangkapan dalam setahun ular jali di Jawa Tengah sekitar 24 671–117 551 ekor. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi management authority dan scientific authority, apakah meningkatkan jumlah kuota wilayah atau melakukan pengendalian pemanenan di alam. Penentuan kebijakan tersebut harus didukung kegiatan penelitian lanjutan yang lebih intensif dan mendalam. Menurut Seber (1982), hasil dari perhitungan kelimpahan relatif terutama berguna untuk membandingkan populasi jenis yang sama di lokasi pengamatan yang berbeda.

Penerimaan ular jali rata-rata per bulan untuk masing-masing pengumpul dari 6 pengumpul besar di Jawa Tengah dapat dilihat pada Lampiran 3. Selain dari 6 pengumpul besar tersebut, sebenarnya terdapat beberapa pengumpul yang termasuk berskala usaha cukup besar, akan tetapi tidak banyak menerima ular jali, karena mereka mempunyai fokus jenis reptil lain (misalnya UD. Jari Asih-Pati terutama menerima jenis tokek; UD. Snake Center terutama menerima ular kobra) dan atau menjadi “posisi” agen dengan menjual hidup ular jali yang diperolehnya dalam jumlah sedikit ke pengumpul besar yang menerima dan memproses ular jali.

Hasil wawancara dengan beberapa pemburu hingga pengumpul besar, diperoleh bahwa beberapa faktor mempengaruhi jumlah penerimaan jumlah ular jali di masing-masing pengumpul. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Faktor Harga. Faktor harga mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mengendalikan peredaran ular jali. Adanya kelas ukuran ular jali yang ditangkap juga dipengaruhi/didorong oleh faktor harga. Fluktuasi dan selisih harga diantara para pengumpul besar yang terdapat di wilayah Jawa Tengah mempengaruhi tujuan para pengumpul sedang, agen dan pemburu/penangkap langsung untuk menjual ular jali yang mereka kumpulkan. Pada saat ini harga ular jali cukup tinggi, yaitu berkisar Rp 50 000.00–Rp 65 000.00 di tingkat pengumpul besar untuk kelas ukuran > 1 kg/ekor.

2. Faktor Lokasi Pengumpul. Keberadaan para pengumpul besar ular jali yang ada di Jawa Tengah tersebar di beberapa lokasi/wilayah kota/kabupaten,

yaitu di Kabupaten Cilacap, Boyolali, Sragen dan Pati. Beberapa pengumpul besar tersebut mempunyai jarak yang berdekatan (satu wilayah Kabupaten), terutama di Kabupaten Boyolali, Pati dan Sragen yang masing-masing terdapat pengumpul besar. Secara simultan terkait dengan harga pasar, para pengumpul sedang, agen dan atau para pemburu/penangkap langsung, berusaha mendatangi pengumpul besar yang berani membeli dengan harga tertinggi. Hal ini dijumpai langsung, seorang agen dari wilayah Kabupaten Boyolali (Kecamatan Simo) menjual ular jali ke pengumpul besar di Kabupaten Sragen (UD. Sumber Rejeki) padahal di Boyolali terdapat 2 pengumpul besar (UD. Welang Sakti dan Pak Waluyo). Sebaliknya dengan pengumpul di Pati, yang berjauhan dengan pengumpul besar lainnya, memperoleh ular jali dengan jumlah yang cukup banyak dari wilayah sekitarnya.

3. Faktor Keterikatan Hubungan Para Pengumpul. Keterikatan hubungan antar para pengumpul besar terjadi di dalam peredaran satwa liar, terutama ular jali, di Wilayah Jawa Tengah dalam bentuk hubungan kekerabatan (saudara sedarah atau karena pernikahan), akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya berlaku secara umum. Contoh kasus yang dijumpai yaitu adanya alur peredaran satwa ketika terjadi hubungan pernikahan antar anak pengumpul besar (UD. Sumber Rejeki-Sragen dengan UD. Naga Puspa-Pati), dimana ular jali yang berasal dari UD. Sumber Rejeki dijual hidup ke UD. Naga Puspa semenjak adanya ikatan pernikahan tersebut, untuk diproses potong dan olah kulit dan daging, dimana sebelumnya UD. Sumber Rejeki menjual ke UD. Welang Sakti-Boyolali. Pada kondisi yang berbeda, walaupun ada beberapa pengumpul besar tersebut bersaudara, tapi karena permasalahan pribadi/keluarga, sehingga tidak saling berkomunikasi dan bahkan menjadi pesaing dalam peredaran/perdagangan reptil, hal ini terjadi antara UD. Sumber Rejeki-Sragen dengan UD. Mintorejo-Sragen dan UD. Welang Sakti-Boyolali dan Pak Waluyo-Boyolali yang keduanya mempunyai hubungan kakak beradik.

4. Faktor siklus tanam padi. Faktor ini bisa disebut juga faktor alam, dimana para pemburu ular jali yang 80 % sebagai pemburu sambilan, dipengaruhi

oleh siklus tanam di sawah beririgrasi teknis. Pada masa-masa panen dan tanam padi, para pemburu sambilan fokus pada pekerjaan di sawah. Sawah di lokasi pengamatan biasanya panen dua kali setahun, dengan periode panen, mengolah lahan hingga menanam padi pada bulan April-Mei dan Oktober-November, sehingga pada periode tersebut perolehan tangkapan ular jali berkurang. Periode waktu sawah dengan tanaman muda (< 2 bulan), adalah waktu yang optimal para pemburu mencari ular jali di habitat sawah. Oleh kerena itu siklus tanam padi (faktor alam) merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi hasil kelimpahan panenan ular jali di tingkat pengumpul besar di wilayah Jawa Tengah. Berdasarkan hal tersebut, apabila perburuan dilakukan pada individu ular jali yang sedang beraktivitas di luar sarang saja, maka secara tidak langsung akan menjaga kelestarian populasi ular tersebut, karena ada waktu jeda yang cukup lama (2 x 2 bulan dalam setahun) dimana para pemburu sambilan fokus kepada pekerjaan di sawah sehingga ular jali juga mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang biak.

5.2.2.2. Kelimpahan Relatif Tangkapan Langsung

Penentuan kelimpahan di habitat reptil dan khususnya jenis ular sangat sulit dilakukan. Hingga saat ini belum ditemukan metode yang secara umum dapat digunakan untuk menentukan kelimpahan jenis ular di alam. Beberapa jenis reptil telah berhasil (jenis kura-kura) untuk dilakukan perhitungan dengan CMR (Capture Mark-Recapture), akan tetapi untuk ular sangat sulit dilakukan, karena perbedaan kondisi/ciri fisik satwa, perilaku dan kondisi habitatnya(Krebs 1978; Seber 1982 & PBC 1998). Kesulitan lainnya karena jenis ular jali merupakan jenis komersil yang setiap waktu dapat tertangkap oleh pemburu ular. Pendekatan yang mungkin dilakukan yaitu dengan perkiraan kelimpahan relatif, dengan berdasarkan lama waktu pencarian dan luas areal pencarian, akan tetapi harus cermat dan disesuaikan dengan kondisi spesifik habitat dan perilaku dari jenis tersebut.

Ular jali mempunyai habitat utama berupa sawah, terutama yang mempunyai sistem pengairan teknis dan atau yang menjamin keberadaan air hampir sepanjang tahun. Perilaku ular tersebut juga spesifik, yaitu aktif di siang

Gambar 4 Tanda-tanda keberadaan dan kondisi habitat (sawah) ular jali. hari (diurnal), mempunyai kemampuan pergerakan yang sangat cepat dan gesit sehingga oleh van Hoesel (1959) sering menyebut ular jali sebagai ular pelari.

Para pemburu/penangkap ular yang profesional telah paham dengan kondisi dan spesifikasi masing-masing jenis ular yang diburu, oleh karena itu mereka mempunyai teknik dan metode yang berbeda-beda dalam mengidentifikasi lokasi, mencari dan menangkap ular-ular tersebut. Beberapa hal yang mereka perhatikan adalah sebagai berikut :

1. Kondisi habitat. Habitat utama ular jali yaitu sawah, akan tetapi tidak semua kondisi sawah yang cocok untuk perburuan ular jali. Walaupun lokasi sawah tersebut diketahui merupakan habitat ular jali, bagi pemburu yang profesional akan memilih masa atau periode waktu pencarian dengan harapan optimal mendapatkan hasil, yaitu pada saat sawah dibiarkan setelah pengolahan sawah sebelum ditanami (kondisi tergenang air) dan kondisi tanaman padi muda (< 1 bulan), dimana tanaman belum tinggi dan rapat, sehingga memudahkan dalam pencarian dan penangkapan. Kondisi sawah seperti itu juga merupakan saat melimpahnya sumber pakan ular jali, terutama jenis katak dan kadal, sedangkan tikus biasanya banyak muncul saat tanaman padi sudah cukup tua (> 2 bulan).

2. Teknik identifikasi keberadaan ular jali. Para pemburu mengidentifikasikan lokasi yang dianggap habitat ular jali dengan melihat tanda-tanda yang ada, diantaranya yaitu (gambar 4) : keberadaan jejak yang ditinggalkan berupa jejak/jalur pergerakan, kulit bekas hasil pergantian kulit (jw: nglungsungi), kotoran ular jali dan suara (biasarnya bunyi katak dalam proses dimakan tapi belum mati/tertelan sepenuhnya). Apabila para pemburu telah

mendapati tanda-tanda tersebut, maka mereka berusaha mencari di sekitar tempat tersebut, baik dengan tujuan bertemu dengan lubang sarang dan atau menemukan ular yang sedang beraktivitas di luar sarangnya.

3. Teknik penangkapan. Pada saat mendapati tanda-tanda keberadaan ular jali, para pemburu mencoba menemukan individu ular jali tersebut, dengan kemungkinan di lobang, baik sarangnya maupun lubang mangsa (katak atau tikus). Ular jali, ketika beraktifitas mencari makan selain di tempat terbuka (sawah) juga mencari mangsa dengan memasuki lubang sarang katak dan atau tikus. Ketika melihat keberadaan ular jali tersebut, secara hati-hati akan tetapi dengan gerakan yang cepat, para pemburu akan menangkap/menarik ular yang sebagian tubuhnya masuk lubang atau mencoba menggali lubang tersebut apabila memungkinkan, tergantung keberadaan lubang, di pematang yang kecil atau cukup besar agar tidak merusak pematang sawah tersebut. Seringkali ular jali lolos dari tangkapan karena lebih cepat pergerakannya sehingga para pemburu kehilangan jejaknya dan atau karena masuk lubang yang tidak mungkin digali. Untuk memastikan keberadaan ular jali di lokasi tersebut, para pemburu biasanya mengitari lokasi yang sama hingga beberapa kali dengan jeda waktu tertentu dengan berharap akan menemukan ular jali yang dimaksud, sehingga dalam satu hari para pemburu akan mengkonsentrasikan wilayah pencarian pada hamparan sawah tersebut.

4. Kondisi cuaca. Ular jali selain sangat cepat dalam pergerakannya, aktivitas di luar sarang dipengaruhi kondisi cuaca setempat. Kondisi cuaca yang disukai oleh ular jali yaitu adanya mendung dan atau adanya hembusan angin yang sedang (jw: semribit), karena ular jali jarang keluar pada kondisi cuaca yang panas. Berdasarkan Webb et al.(2010), cuaca memiliki dampak yang besar terhadap pergerakan ular, sehingga menurut Cagle (2008), seringkali ular beradaptasi terkait dengan warna dan variasi perilaku. Ketika adaptasi berupa perubahan warna, misalnya karena suhu tinggi mengakibatkan kulit ular tampak kusam, sehingga meningkatkan kesulitan saat akan ditangkap (Webb et al. 2010) .

Beberapa hal tersebut diatas merupakan kondisi dan juga tantangan para pemburu dalam mendapatkan ular jali. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan kecermatan dan pertimbangan yang baik dalam penentuan metode untuk merumuskan dasar dari kelimpahan relatif yang akan digunakan. Kelimpahan relatif ular jali, berdasarkan hasil pengamatan ini, lebih didasarkan pada dua hal, yaitu : (1) luas areal sawah yang menjadi habitat ular jali dan (2) waktu pencarian efektif per hari per orang pada kondisi cuaca yang optimal.

Hasil perhitungan berdasarkan luasan diperoleh bahwa dari luasan daerah perburuan dari 6 kali ulangan yaitu 247.197 ha, diperoleh total 10 ekor ular tertangkap, sehingga kelimpahan relatif 1 ekor per 24.7197 ha. Berdasarkan waktu pencarian efektif per hari, para pemburu ular mulai mencari ular jali pada pukul 09.00 WIB hingga 15.00 WIB, dikurangi waktu istirahat, sehingga diperoleh bahwa rata-rata setiap pemburu ular jali mendapatkan 1 ekor ular jali per hari dengan waktu efektif selama 3.5–4 jam perburuan. Menurut Chettri et al.(2009), memperoleh kelimpahan relatif untuk jenis Trachischium guentheri di Himalaya-India dengan rata-rata tangkapan sebanyak 0.35 ekor per orang per jam. Pertemuan dengan ular tersebut meningkat pada saat musim hangat, disaat temperatur udara meningkat.

Dokumen terkait