• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Aspek Kelestarian Pemanfaatan Satwaliar

Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam menjamin kelestarian satwa liar yang dimanfaatkan secara komersil adalah aspek perdagangan, baik di dalam negeri atau internasional. Menurut Amir et al.(1998), satwaliar komersil harus dilakukan secara pemanfaatan lestari, sebagai cara

konservasi yang ideal. Perdagangan satwaliar seringkali dianggap membawa dampak yang negatif terhadap spesies dan habitatnya, akan tetapi apabila dikelola secara secara berkelanjutan, keuntungan dari perdagangan satwaliar tersebut dapat memberikan insentif yang positif untuk konservasi biodiversitas (Siregar 2012).

Peningkatan populasi manusia membawa konsekuensi adanya kerusakan habitat berbagai satwaliar, sehingga meningkatkan derajat keterancaman dari jenis-jenis satwaliar tertentu (Amir et al. 1998). Ketergantungan manusia terhadap tumbuhan dan satwaliar untuk berbagai pemenuhan kebutuhan hidup juga semakin meningkat (Webb & Vardon 1998). Menyadari permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tentang CITES dalam Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978. Sebagai implementasinya, ditunjuklah Direktorat Jenderal PHKA sebagai Management Authority(MA) dan LIPI sebagai Scientific Authority (SA), yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mengelola perdagangan satwaliar baik nasional maupun internasional (Amir et al. 1998).

Oleh karena itu, menurut KKH (2010a), konservasi keanekaragaman hayati harus mendapat prioritas utama dalam menghindari terjadinya kepunahan hidupan liar. Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan jenis adalah dengan perlindungan dan pengendalian terhadap pemanfaatannya.

Perdagangan makhluk hidup liar yang legal maupun ilegal mempunyai andil dalam menurunnya banyak populasi spesies (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan satwaliar secara berlebih biasanya menunjukkan pola yang sama. Ketika suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan terjadilah permintaan dari pasar yang menyebabkan eksploitasi untuk memenuhi permintaan tersebut..

Pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar untuk kegiatan ekonomi yang komersial, diijinkan sesuai dengan Undang-undang No 5 Tahun 1990 (UU No. 5/1990) yang menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan yang salah satunya adalah pemanfaatan secara lestari dan salah satu bentuk pemanfaatannya adalah untuk perdagangan (Sekditjen PHKA 2007a). Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 (PP No. 8/1999) juga menyebutkan bahwa pemanfaatan jenis TSL dilaksanakan dalam bentuk yang salah satunya adalah perdagangan (Sekditjen PHKA 2007b). Lebih

lanjut dalam PP No.8/1999 disebutkan bahwa TSL yang diperdagangkan bisa diperoleh dari penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam (Sekditjen PHKA 2007c).

Perdagangann satwaliar telah diatur dan didukung dengan masuknya Indonesia sebagai anggota dari CITES. Menurut Siswomartono (1998) kebijakan Indonesia dalam implementasi CITES, dilaksanakan dengan beberapa tahap, yaitu:

1. Menetapkan ketentuan AAC (Annual Allowable Catch) yang menunjukkan penetapan quota untuk ekspot dan perdagangan domestik. Kuota ini ditentukan oleh LIPI berdasarkan hasil dari studi biologi dari spesies, populasinya, distribusi geografi, biologi reproduksi dan kemungkinan ancaman terhadap spesies tersebut. Kuota ditetapkan dalam dua tipe, yaitu untuk quota ekspor dan perdagangan domestik.

2. Mengembangkan program penangkaran. Dua tujuan dari penangkaran ini, yaitu untuk re-stockingdan keperluan komersial.

3. Pengawasan. Kegiatan ini untuk mengawasi perdagangan satwaliar baik domestik maupun internasional serta dalam hal perijinannya.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003, kuota didefinisikan sebagai batas maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwaliar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun kalender. Kuota pengambilan di alam ditetapkan oleh Dirjen PHKA dengan memperhatikan rekomendasi dari otoritas keilmuan (LIPI) untuk kurun waktu satu tahun kalender dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember (Sekditjen PHKA 2007c). Ketika kuota pengambilan sudah ditetapkan, bisa dilakukan peninjauan kembali kuota tersebut pada tahun berjalan dengan tetap memperhatikan rekomendasi dari otoritas keilmuan.

Kuota pengambilan dari alam ditetapkan untuk jenis tumbuhan dan satwaliar yang termasuk maupun tidak termasuk dalam Appendix CITES, baik dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang. Khusus untuk jenis satwaliar yang dilindungi undang-undang, sebelum ditetapkan kuota pengambilannya, satwaliar tersebut harus ditetapkan sebagai satwa buru (Sekditjen PHKA 2007c).

Kuota yang sudah ditetapkan oleh Dirjen PHKA menjadi dasar untuk pemberian ijin pengambilan TSL oleh Kepala Balai KSDA untuk jenis dilindungi dan termasuk dalam Appendix CITES dan oleh Kepala Dinas propinsi setempat untuk jenis tidak diliindungi yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Kepala Balai KSDA dan Kepala Dinas dilarang menerbitkan ijin tanpa didasarkan pada kuota yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA (Sekditjen PHKA 2007c).

Perkembangan pemanfaatan ular jali di Indonesia mengalami banyak dinamika, sebelum dimasukkan dalam Appendix II CITES, pada tahun 1986 tercatat bahwa volume ekspor kulit ular jali sebesar 1.8 juta kulit, dan menurun menjadi 581 000 kulit pada tahun 1989 (Traffic 2008). Pada periode tahun 1993-2005 Indonesia mendapat larangan eksport ular jali, karena ditemukan ekspor ular jali melebihi kuota yang telah ditetapkan. Pada tahun 2007 ditetapkan kembali kuota tangkap di alam untuk ular jali sebesar 95 500 untuk kulit dan 500 untuk petsdan pada tahun 2008 menjadi 89 500 untuk kulit dan 450 untuk pets. (Traffic 2008). Periode Tahun 2012, untuk ular jali mendapat kuota tangkap sebesar 99 500 (kulit) dan 500 (hidup/pets) yang terbagi ke tiga propinsi, yaitu: Jawa Barat sebesar 10 000 (kulit) dan 100 (hidup); Jawa Tengah sebesar 40 500 (kulit) dan 200 (hidup); serta Jawa Timur sebesar 49 000 (kulit) dan 200 (hidup).

Ijin pengambilan dari alam harus menjamin kelestarian populasi, maka lokasi pengambilan harus dirotasi. Jangka waktu rotasi didasarkan pada kondisi populasi, habitat dan sifat-sifat biologis serta perilaku jenis yang ditetapkan. Penetapan lokasi pengambilan harus memperhatikan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana penggunaan lahan dan aspek sosial budaya masyarakat setempat (Sekditjen PHKA 2007c).

Pemanfaatan berkelanjutan (Sustainable use) juga dapat didefinisikan sebagai upaya pemanfaatan yang tidak mengurangi potensi pemanfaatan pada masa mendatang atau merusak ketersediaan dalam jangka panjang, dari jenis-jenis yang mempunyai kemanfaatan jangka panjang yang dapat mendukung dan menyokong kelestarian ekosistem (Erdelen 1998). Menurut Webb & Vardon (1998), berdasarkan tiga kata kunci (use, sustainable, impact),maka “Sustainable use” diartikan sebagai upaya pemanfaatan hidupan liar yang berhubungan dengan

program dan tujuan pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan di dalam batas waktu yang telah ditentukan.

Secara khusus, beberapa hal yang perlu diketahui guna menunjang kegiatan sustainable useadalah sebagai berikut (Erdelen 1998) :

1. Analisis terhadap tingkat panen tahunan (perbedaan secara geografi, berhubungan dengan populasi individu).

2. Monitoring dari penangkapan atau unit usaha dan perubahan dalam kelimpahan relatif, jenis kelamin, jenis kelamin dan struktur umur.

3. Penggunaan regim pengelolaan konservatif

4. Top to buttom coorperation dari ilmuwan dan pemerintah dengan eksportir, pengumpul dan pencari lokal (tingkat yang berbeda dengan hirarki dari sistem perdagangan).

5. Menguji kelayakan dari penangkaran komersil berskala besar.

Dokumen terkait