• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Nonverbal Sebagai Makna Warna Dalam Etnis Tionghoa Pada Perayaan Imlek Di Kecamatan Medan Petisah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Bahasa Nonverbal Sebagai Makna Warna Dalam Etnis Tionghoa Pada Perayaan Imlek Di Kecamatan Medan Petisah"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAN IMLEK KECAMATAN MEDAN PETISAH

SKRIPSI

Sandra Sintauli

050701019

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAAN IMLEK DI KECAMATAN MEDAN PETISAH

Oleh

Sandra Sintauli

050701019

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana dan telah

disetujui oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Hariadi Susilo, M.Si Drs. Pribadi Bangun

NIP. 19580505 197803 1 001 NIP. 19581019 198601 1 002

Departemen Sastra Indonesia

Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi dan sepanjang

sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh

orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa

pembatalan gelar sarjana yang saya peroleh.

Medan, Maret 2010

Penulis,

(4)

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAAN IMLEK DI KECAMATAN MEDAN PETISAH

Oleh Sandra Sintauli

ABSTRAK

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dan menuangkannya dalam

bentuk skripsi sebagai syarat tugas akhir untuk memeroleh gelar sarjana.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orangtua tercinta, Bapak St. Ir. Wilson

Pasaribu (Alm) dan Ibu Indrawati Tunggara Siregar atas dukungan moral, material, kasih

sayang dan doa yang selalu dilimpahkan kepada penulis. Semoga kasih Tuhan selalu

menyertai dan memberkati setiap langkah-langkah kalian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., Sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum., sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah mengesahkan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan

kepada penulis selama perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Bapak Drs. Hariadi Susilo, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah begitu

sabar memberikan bimbingan, semangat, dan dukungan kepada penulis hingga

penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Drs. Pribadi Bangun, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak

membantu penulis dalam memeriksa, mengomentari bahkan memotivasi penulis

untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Ida Basaria, M.Hum., sebagai Dosen Wali penulis yang banyak memberikan

(6)

7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama

penulis mengikuti perkuliahan.

8. Kakak Dedek yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam

menyelesaikan masalah administrasi.

9. Kakak dan Adik Penulis, Rotua Marianne Pasaribu, S.E., Sahala Jesaya Einstein

Pasaribu dan Josep Sahat Hamonangan Pasaribu yang selalu memberikan doa dan

semangat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

10.Teman-teman mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara stambuk 2005, khususnya Lady, Fitri, Lia, Wika dan Stephanie,

terima kasih telah menjadi sahabat yang baik bagi penulis.

11.Teman-teman sepermainan dan sepelayanan penulis, khususnya Anna, Raisa, Debora,

Jhonata, Jhosephine, Riris, Juwita, Ondi dan Dody terima kasih buat doa dan

semangat yang telah diberikan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun

untuk menyempurnakan skripsi ini.

Hormat saya,

(7)

DAFTAR ISI

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.2.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA………..7

2.1 Konsep ... 7

2.1.1 Bahasa Nonverbal ... 7

2.1.2 Makna ... 8

2.1.3 Warna ... 8

2.1.4 Etnis Tionghoa ... 9

2.1.5 Perayaan Imlek ... 10

(8)

2.2.1 Semiotika ... 13

2.2.2 Charles Sanders Peirce ... 13

2.2.3 Roland Barthes ... 14

2.3 Tinjauan Pustaka ... 17

BAB III METODE PENELITIAN………...18

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 18

3.1.2 Waktu Penelitian ... 18

3.2 Populasi dan Sampel ... 18

3.2.1 Populasi ... 18

3.2.2 Sampel... 18

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 19

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 21

BAB IV PEMBAHASAN ... 22

4.1 Bentuk Bahasa Nonverbal sebagai Ikon, Indeks dan Simbol ... 22

4.2 Bahasa Nonverbal sebagai Makna Warna dalam Perayaan Imlek ... 35

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Simpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

(9)

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAAN IMLEK DI KECAMATAN MEDAN PETISAH

Oleh Sandra Sintauli

ABSTRAK

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bahasa memegang peranan yang sangat penting. Bahasa juga memiliki kemampuan

untuk menyatakan lebih dari apa yang disampaikan. Hidayat (dalam Sobur, 2004: 274)

mengatakan bahwa pengertian bahasa adalah percakapan, alat untuk melukiskan sesuatu

pikiran, perasaan atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata yang merupakan penghubung

bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling

mengerti.

Komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan

menerima pesan. Dalam berkomunikasi pasti ada simbol, yaitu sesuatu yang digunakan untuk

mewakili maksud tertentu, misalnya dalam kata-kata verbal yang tertulis maupun lisan, dan

juga nonverbal yang diperagakan melalui gerak-gerik tubuh, warna, artifak, gambar, pakaian,

dan lainnya yang harus dapat dipahami secara konotatif.

Kesulitan dalam komunikasi tidak hanya pada bahasa verbal saja, melainkan juga

pada bahasa nonverbalnya. Bahasa nonverbal dalam suatu kelompok tidak kalah rumitnya

dengan bahasa verbal. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan

kata-kata. Menurut Larry A Samovar dan Richard E Porter (dalam Mulyana, 2000),

“Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam

suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh

individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima”, juga

mencakup perilaku yang disengaja dan tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa

komunikasi secara keseluruhan, mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa

(11)

Wallace (dalam Aminuddin, 2001) mengungkapkan berpikir tentang bahasa

sebenarnya sekaligus juga telah melibatkan makna. Makna adalah pertautan yang ada antara

unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama pada kata-kata). Selanjutnya, Stewart L. Tubbs

(dalam Sobur, 2004) mengatakan bahwa, proses pembentukan makna antara dua orang atau

lebih adalah dengan cara berkomunikasi. Namun, makna yang didapat pendengar dari

pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin dikomunikasikan. Komunikasi

merupakan proses yang digunakan untuk memproduksi, dipikiran pendengar, apa yang ada

dalam pikiran.

Samsuri (dalam Fatimah, 1993) mengungkapkan adanya garis hubungan antara makna

sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya

sehingga dapat saling mengerti.

Menurut Darmaprawira (dalam wikipesia.com), sehubungan dengan tiga tingkat

keberadaan tersebut, makna juga memiliki pengaruh yang sangat besar pada setiap warna

yang dipakai karena warna menunjukkan identitas atau lambang suatu politik, suku, agama

maupun kebudayaan. Warna adalah sebuah gejala visual yang terkadang tidak begitu

diperhatikan oleh manusia. Warna dalam kebudayaan Indonesia beserta dengan aplikasinya

juga membantu pembaca untuk memahami lebih lanjut bahwa sebenarnya warna tidaklah

lepas dari kebudayaan manusia.

Warna memiliki banyak kegunaan selain dapat mengubah rasa, bisa juga

memengaruhi cara pandang, dan bisa menutupi ketidaksempurnaan serta bisa membangun

suasana atau kenyamanan untuk semua orang. Warna adalah satu hal yang sangat penting

dalam menentukan reaksi dari orang. Warna adalah hal pertama yang dilihat oleh seseorang.

Setiap warna memberikan kesan dan identitas tertentu, walaupun hal ini tergantung pada latar

belakang pengamatnya juga. Warna mempunyai sesuatu makna. Makna bisa berbeda, bisa

(12)

Penduduk Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa. Di antara suku

bangsa yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Tionghoa. Tujuan pertama kedatangan

mereka adalah pusat-pusat yang menawarkan berbagai kesempatan pekerjaan. Untuk itulah,

hidup secara berkelompok tidak dapat mereka hindari. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit

dari penduduk umumnya di Medan, namun kehadiran mereka mudah ditandai, yakni dengan

melihat tempat pemukiman atau tempat tinggalnya. Dan, diseluruh pusat perbelanjaan dan

sepanjang jalan inti kota Medan dijadikan rumah tempat tinggal mereka sekaligus membuka

usaha.

Perayaan etnis Tionghoa yang sudah diakui sebagai hari libur nasional adalah

perayaan tahun baru Imlek atau Sin Tjia. Imlek berasal dari kata “Im” yang berarti “bulan”

dan ‘Lek” adalah “kalender”. Imlek merupakan perayaan pergantian musim, dari musim

dingin menuju musim semi atau pergantian tahun. Pesta pergantian itu harus dirayakan. Dan,

perayaan itu juga dalam konteks menjaga keseimbangan relasi manusia dengan alam.

Menurut Sartini (dalam Wikipedia.com), perayaan tersebut sering disebut ucapan

Gong Xi Fa Cai ‘hormat bahagia berlimpah rejeki’. Perayaan ritual itu dalam

kelenteng-kelenteng selalu disertai dengan doa-doa yang mengandung makna dan penuh dengan filosofi

dan nilai kehidupan masyarakat Tionghoa.

Pada perayaan tahun baru Imlek, warna merah dan keemasan menjadi filosofi

tersendiri bagi etnis Tionghoa. Warna merah, yang berarti kebahagiaan dan semangat hidup.

Sebagaimana darah dalam nadi, pengalaman hidup yang penuh semangat dan

membahagiakan itu harus mengalir dan meresapi berbagai bagian tubuh untuk kehidupan

yang lebih baik. Warna merah selain sebagai simbol keberuntungan dan bahagia, juga

melambangkan kegembiraan dan keberhasilan yang pada akhirnya akan membawa nasib

(13)

dari “jin” adalah uang. Warna ini melambangkan sebuah harapan di tahun berikutnya

dilimpahi uang (rejeki).

Kecamatan Medan Petisah adalah daerah pusat perdagangan Kota Medan, dengan

luas wilayah 13,16 KM². Kecamatan Medan Petisah terletak di Pusat Kota Medan, dengan

batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Helvetia

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Barat

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Baru

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Barat

Banyak penelitian yang telah dilakukan para peneliti terhadap segala aspek kehidupan

masyarakat Tionghoa, seperti penelitian tentang kehidupan perkawinan masyarakat Jawa dan

Tionghoa, ritual perayaan Imlek, konsep dan nilai kehidupan masyarakat Tionghoa,

kesusasteraan Tionghoa, perubahan nama masyarakat Tionghoa, tetapi memilih penelitian

terhadap bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada perayaan imlek

ini belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga membuat peneliti tertarik, karena makna

(14)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah :

a. Bagaimana bentuk bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada

perayaan imlek di Kecamatan Medan Petisah?

b. Bagaimana bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada

perayaan imlek di Kecamatan Medan Petisah?

1.3Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, bentuk bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis

Tionghoa objek fokus material penelitian pada tradisi perayaan tahun baru imlek tanggal 26

Januari 2009. Ruang Lingkup kajian dibatasi dengan bahasa nonverbal yang menjadi identitas

masyarakat etnis Tionghoa di Kecamatan Medan Petisah.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mendeskripsikan dan mengungkapkan bentuk bahasa nonverbal sebagai makna warna

dalam etnis Tionghoa pada perayaan imlek di Kecamatan Medan Petisah.

b. Mendeskripsikan dan memahami bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis

(15)

1.4.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian analisis semiotika

terhadap bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa, adalah:

a. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis serta masyarakat mengenai bahasa

nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada perayaan imlek di

Kecamatan Medan Petisah.

b. Menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis pada bidang linguistik kebudayaan

dan memberi manfaat bagi kelestarian etnis Tionghoa yang menjadi salah satu

suku di Indonesia.

c. Menjadi sumber rujukan bagi peneliti lain dalam mengungkapkan penelitian

budaya ilmu pengetahuan fokus objek material yang sama.

1.4.2.2Manfaat Praktis

Hasil penelitian makna warna pada enis Tionghoa ini secara praktis dapat digunakan

sebagai sumbangan pemikiran untuk bahan pengetahuan dalam pemilihan warna terutama

(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) adalah

gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang

digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Oleh karena itu, konsep penelitian ini adalah mengenai :

2.1.1 Bahasa Nonverbal

Bahasa nonverbal sebagai bentuk komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk

mengadakan kontak dengan lingkungannya. Bahasa nonverbal merupakan bentuk

komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata baik lisan maupun tulisan.

Menurut Linda Beamer (dalam www.edwias.com) bahasa nonverbal adalah bahasa

yang tidak memakai kata-kata. Sedangkan menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter,

komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam

suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu yang mempunyai nilai pesan

potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2002). Sejalan dengan ini, Liliweri (1994:

89) menyatakan bahwa bahasa nonverbal ini biasanya dipergunakan untuk menggambarkan

perasaan dan emosi.

(17)

2.1.2 Makna

Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati

bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti, Grice (dalam

Aminuddin, 2001: 53). Dari batasan pengertian tersebut dapat diketahui adanya tiga unsure

pokok yang tercakup di dalmnya, yakni:

1) Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar

2) Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta

3) Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga

dapat saling mengerti.

Berbeda dengan Tubs (dalam Sobur, 2004: 255), yang mengatakan bahwa komunikasi

adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Pearson (dalam Sobur,

2004: 255) juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa komunikasi adalah proses memahami

dan berbagi makna.

2.1.3 Warna

Warna adalah corak rup seperti merah, putih, hitam, hijau, dan sebagainya; untuk

menyatakan corak rupa yang sebagai benda di belakangnya, Kridalaksana (dalam Kartika,

2007: 9). Hal yang senada juga dikemukakan oleh Berlin dan Kay (dalam Matsumoto, 2004)

yang menyatakan bahwa warna adalah sifat-sifat desain universal dari sistem persepsi visual

manusia sangat kuat membatasi sistem terminology yang ditemukan dalam bahasa dunia, dari

subkelompok yang sangat kecil sampai besar. Sejalan dengan kedua pengertian sebelumnya,

Haruyahya (2005) juga menyatakan bahwa warna dipahami sebagai suatu konsep yang

membantu kita mengenali sifat-sifat berbagai objek dan mendefinisikannya dengan tepat.

Jadi, bahasa nonverbal sebagai makna warna adalah komunikasi tanpa kata yang

(18)

dan mendefinisikannya dengan tepat. Dalam penelitian ini, defenisi yang digunakan sebagai

acuan adalah menurut Haruyahya (2005).

2.1.4 Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa mulai datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira

pertengahan abad ke-19. Para imigran dari Tiongkok ini berasal dari beberapa suku bangsa

dan dari daerah yang berbeda. Umumnya mereka berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan

dan Kwantung. Mayarakat Tionghoa di Medan terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa

dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka

gunakan. Sedikitnya, ada empat suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Medan, diantaranya

adalah suku Hokkian, Hakka, Khek, dan Kwan Fu. Dari tahun ke tahun jumlah orang

Tionghoa di Medan terus bertambah. Menurut Harian Medan Bisnis, hingga saat ini, sesuai

dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, jumlah

masyarakat Tionghoa di Medan sekitar 202.839 jiwa.

Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia.

Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat. Mereka mengenal bermacam-macam

perayaan atau festival tradisional. Adat istiadat ini merupakan suatu bentuk penggambaran

kebiasaan sehari-hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat. Kesenian seperti

Barongsai bisa disaksikan pada saat perayaan tahun baru Imlek. Perayaan tahun baru Imlek

adalah dunia simbolis. Cassirer (dalam Sartini, 2006) mengatakan bahwa dunia simbolis

manusia dapat terungkap melalui bahasa, mitos, seni dan religi atau agama. Imlek beserta

wacana ritualnya dikaji dengan penelusuran melalui interpretasi masyarakatnya terhadap

simbol-simbol warna yang digunakannya.

Pada awalnya bermacam-macam perayaan ini mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri,

kemudian hal ini mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai agama di sekeliling

(19)

dikelompokkan (1) Konghucu, (2) Taoisme dan Budha, (3) Kristen Protestan, (4) Kristen

Katolik, (5) Islam, (6) ajaran Tridharma.

2.1.5 Perayaan Imlek

Perayaan tahun baru Imlek adalah tradisi yang sudah diwariskan ratusan tahun yang

lalu. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan

pertama. Ada beberapa tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh kalangan etnis

Tionghoa dalam merayakan Imlek. Di antaranya, hidangan Imlek, pakaian baru, membakar

petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat dan memberi angpao.

Pada perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa selalu menggantungkan lampion/lentera

merah. Dalam perayaan ini, anak-anak atau orang yang lebih muda memberi hormat kepada

orang tua dengan cara mengepalkan kedua tangan sambil digoyang-goyang ke depan dan

belakang lalu mengucapkan Gong Xi Fa Cai. Setelah itu orang tua memberikan angpao.

Angpao adalah amplop berwarna merah yang berisi uang. Lalu, bersama-sama membakar

petasan atau kembang api yang berwarna merah dan keemasan. Ini merupakan simbol

kegembiraan karena rejekinya ”meledak”. Ada pula yang memanggil barongsai, sebagai

tanda untuk mengundang rejeki dan menolak bala. Barongsai merupakan seekor naga yang

berwarna merah dan keemasan yang dimainkan dua sampai delapan pemain.

Perayaan Imlek ini adalah penggambaran harapan-harapan masyarakat Tionghoa

seperti keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Selain itu, perayaan Imlek merupakan

sebuah introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan pada tahun-tahun yang lalu.

Perayaan Imlek juga mempunyai makna spiritual yang perlu digali dari pengalaman

(20)

waktu, Imlek juga dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa yang tersebar di seluru dunia.

Adapun makna spiritual yang terkandung di dalam perayaan Imlek, adalah:

a. Kasih sebagai faktor pemersatu kehidupan.

Imlek memperlihatkan pengalaman perjumpaan etnis Tionghoa dengan kenyataan

kehidupan yang ada di sekitarnya. Bagi masyarakat Tionghoa, kenyataan di dunia ini

disatukan, disemangati, ditumbuhkan oleh kasih. Karena itu, mereka menemukan dan

menggunakan berbagai macam barang, tanaman, atau binatang yang ada di lingkungan

mereka untuk menunjukkan pengalaman kasih yang menghidupkan. Mereka mengungkapkan

harapan kehidupan yang lebih berkualitas dengan menggunakan obyek-obyek tersebut.

b. Perayaan pengalaman kasih yang membahagiakan dan terbagikan kepada sesama.

Bagi masyarakat Tionghoa, kasih yang membahagiakan diterima dari kemurahan

alam. Oleh sebab itu, masyarakat Tionghoa harus belajar bermurah hati kepada sesama.

Kasih yang membahagiakan itu dinikmati dalam kebersamaan dengan orang lain, dalam

semangat solider kepada sesama, terutama yang lemah, miskin, dan papah. Dalam perayaan

Imlek, dibagikan kepada anak-anak, orang-orang miskin, sederhana, dan papah, hal-hal yang

dapat membahagiakan mereka: uang, makanan, hadiah, atau berbagai bentuk bantuan yang

lain. Dengan berbagi kebahagiaan, kasih yang berlimpah diharapkan dapat semakin membuat

kehidupan memberikan kebahagiaan lebih besar lagi.

c. Pengalaman kasih dimulai dari keluarga.

Inti kasih tidak terletak dalam banyaknya kata-kata, tetapi dalam tindakan untuk

saling memberikan diri kepada orang yang dikasihi. Kemampuan mengasihi disadari oleh

masyarakat Tionghoa, berawal di dalam keluarga. Pusat perayaan Imlek terletak pada

kesediaan seluruh anggota keluarga untuk berkumpul bersama, meninggalkan kepentingan

diri, dan berbagi pengalaman kasih dalam keluarga. Puncak perayaan diungkapkan dengan

(21)

membahagiakan, mengampuni, berbagi rezeki, menyampaikan salam berupa doa atau

harapan untuk hidup lebih baik lagi, dan sebagainya.

d. Keempat, Perayaan kebebasan yang inklusif.

Kesederhanaan alam pikiran tidak banyak memberi tempat pada rumitnya aturan yang

harus ditaati. Pada dasarnya Imlek tidak memiliki aturan baku. Seandainya ada, peraturan itu

amat umum, tidak menyertakan hukuman bagi pelanggarnya. Dengan demikian, dunia tidak

mengenal adanya model tunggal perayaan Imlek. Setiap pribadi, keluarga, atau kelompok

masyarakat apa pun, diizinkan merayakan Imlek dengan segala kemampuan, keterbatasan,

latar belakang, simbol, dan sistem pemaknaan masing-masing. Kebebasan seperti ini

menjadikan Imlek perayaan yang inklusif karena tidak mengeliminasi siapa pun untuk tidak

diizinkan merayakannya.

Di Indonesia, selama tahun 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan

di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di

bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa,

diantaranya Imlek.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun

baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor

14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarno Putri menindaklanjutinya dengan

mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan

Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari

(22)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Semiotika

Disiplin ilmu yang relevan dalam penelitian ini adalah teori semiotika. Semiotika

berasal dari kata Yunani: Semeion, yang berarti tanda. Menurut Saussure, semiologi

didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa

makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada dibelakangnya sistem perbedaan dan

konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya,

sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra

yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut

signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek

pertama. Penanda terletak pada tingkatan ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan

bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda

terletak pada tingkatan isi atau gagasan dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan

ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.

2.2.2 Charles Sanders Peirce

Bagi Charles Sanders Peirce (dalam Sobur, 2004: 46) dalam teori Ground Triadik-nya

mengemukakan tiga hubungan tanda. Adapun tiga hubungan tanda yang dimaksudkan adalah

representament (R) “bagian tanda yang dapat dipersepsi”, Objek (O) “sesuatu diwakili

olehnya”, dan interpretant (I) “bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O.

Menurut Hoed (2008: 42), konsep ketiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam

suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sepenuhnya sama pada semua anggota

(23)

Tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretatif. Peirce membedakan tiga

jenis tanda, yakni, ikon, indeks dan simbol. Bagi Peirce tanda bukan sesuatu yang terstruktur.

Pemakaian tanda mengikuti suatu proses tiga tahap.

Contoh: Apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, ia melihat sebuah R yang

membuatnya merujuk pada suatu O, yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya ialah

ia menafsirkannya sebuah mobil sedan berwarna merah miliknya sendiri (I). tanda dengan

proses pemaknaan seperti itu disebut ikon, yaitu hubungan antara R dan O menunjukkan

identitas.

Apabila dalam perjalanan di luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan,

ia melihat R. apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu, yaitu

cerobong pabrik (O). Setelah itu, ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik

ban mobil (I). Tanda dengan proses pemaknaan seperti itu disebut indeks, yaitu hubungan

antara R dan O bersifat langsung.

Apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam

hubungannya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya, ia menafsirkan

bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). tanda seperti itu disebut simbol, yaitu

hubungan antara R dan O bersifat konvensional (seseorang harus memahami konvensi

tentang hubungan antara ‘bendera merah’ dan ‘larangan berenang’)

2.2.3 Roland Barthes

Barthes (dalam Sobur, 2004:viii) menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu

denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). ‘Denotasi’ adalah tingkat pertandaan yang

(24)

realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara, ‘konotasi’

adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang

didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya

terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain itu, Barthes juga melihat makna

yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna

yang bersifat dengan mitos. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean

makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang

dianggap ilmiah.

Menurut Santosa (1993), Roland Barthes menawarkan lima kode untuk mendapatkan

amanat, yaitu :

1. Kode teka-teki, yaitu merupakan sebuah pertanyaan bagi si penerima atau si

penikmat yang dapat meningkatkan hasrat dan kemauan untuk menemukan

jawaban dari sebuah pertanyaan yang dikandung.

Contoh : Mengapa perayaan Imlek identik dengan warna merah dan keemasan?

Warna merah dan keemasan merupakan dua warna yang digunakan dalam

perayaan imlek. Etnis Tionghoa hanya menyukai kemeriahan warna merah dan

suasana yang dianggap dapat lebih menyemarakkan Perayaan Tahun Baru Imlek.

Dan, warna keemasan merupakan simbol dari uang (rejeki).

2. Kode konotatif, yaitu merupakan dunia yang ditransformasikan ke dalam deretan

tanda tulis yang bersifat lihatan.

Contoh : Warna merah sebagai identitas pada perayaan Imlek.

Bermula dari mitos yang mengungkapkan bahwa tepat pada malam tahun baru,

(25)

ternak. Lalu, untuk menghindari monster tersebut, etnis Tionghoa menempel

kertas berwarna merah di depan pintu rumah yang diyakini sangat ditakuti

monster yang bernama Nian ini.

3. Kode simbolik, yaitu merupakan dunia perlambang, yakni dunia personifikasi

manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan.

Contoh : Lampion/Lentera merah

Lampion merupakan simbol penerangan dan keberuntungan bagi etnis Tionghoa.

4. Kode aksian, yaitu merupakan prinsip bahwa di dalam tuangan bahasa secara tulis

perbuatan-perbuatan itu harus disusun secara linier.

Contoh : Angpao

Angpao berupa amplop berwarna merah yang berisi uang. Dan, pada perayaan

tahun baru Imlek setiap anak-anak yang mengucapkan selamat tahun baru imlek

kepada orang yang lebih tua akan diberikan angpao. Yang berarti rejeki yang

sudah diterima pada tahun lalu haruslah dibagi kepada setiap orang, jika tidak

maka di tahun berikutnya, tidak akan menerima rejeki yang berkelimpahan.

5. Kode budaya atau kode acuan, yaitu merupakan peranan metalingual atau

mengacu pada benda-benda yang sudah diketahui dan dikondisikan oleh budaya.

Contoh : Barongsai

Barongsai merupakan seekor naga berwarna merah dan keemasan yang dimainkan

dua sampai delapan pemain. Barongsai ini hanya ada pada perayaan-perayaan

(26)

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau

mempelajari (KBBI, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI,

2003:912).

Sartini (2006), seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya pernah

meneliti konsep dan nilai kehidupan masyarakat Tionghoa. Dalam penelitiannya dinyatakan

bahwa simbol-simbol yang digunakan pada perayaan tahun baru Imlek sarat dengan makna

dan nilai kehidupan. Tidak ada benda yang tidak melambangkan nilai-nilai kehidupan dalam

perayaan tahun baru Imlek. Dan, hampir seluruh peralatan yang digunakan dalam perayaan

tahun baru Imlek berwarna merah dan keemasan.

Kartika, skripsi (2007) : Konsep Warna dalam Bahasa Batak Toba. Skripsi ini

meneliti tentang konsep warna dan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA).

Saul, skripsi (2007) : Wacana Iklan Kematian pada Harian Analisa sebagai Identitas

Budaya Etnis Tionghoa. Skripsi ini mengungkapkan fungsi dan makna wacana iklan

kematian dengan menggunakan teori Barthes tentang pemaknaan tahap kedua pada sebuah

tanda dan teori Peirce tentang tiga hubungan tanda.

Dari uraian diatas, penelitian terhadap Bahasa Nonverbal Sebagai Makna Warna

Dalam Etnis Tionghoa Dalam Perayaan Imlek di Kecamatan Medan Petisah dengan

menggunakan teori ground triadik oleh Charles Sanders Peirce serta pendekatan Barthes

sama sekali belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini peneliti akan meneliti bagaimanakah bentuk ground triadik serta makna kode

amanat yang muncul pada bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis tionghoa pada

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

1.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (KBBI, 2003:680). Yang menjadi lokasi penelitian

penulis adalah Kecamatan Medan Petisah, Medan.

1.1.2 Waktu Penelitian

Penulis melakukan penelitian terhadap bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam

etnis Tionghoa terhitung sejak tanggal 22 Januari sampai dengan 29 Januari 2009.

1.2 Populasi dan Sampel 1.2.1 Populasi

Populasi adalah sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan

sampel; suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah

penelitian (KBBI, 2003:889). Yang menjadi populasi penelitian ini adalah bahasa nonverbal

sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada perayaan imlek di Kecamatan Medan

Petisah.

1.2.2 Sampel

Sampel adalah sesuatu yang digunakan untuk sifat suatu kelompok yang lebih besar,

bagian kecil yang mewakili kelompok atau yang lebih besar; percontoh. Penentuan sampel

(28)

perayaan imlek. Warna yang dipakai pada perayaan Imlek adalah warna merah dan

keemasan.

1.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan suatu

fenomen (Kridalaksana, 2001:136). Dan dalam memperoleh data, penelitian ini menggunakan

data lisan dan data tulis. Data lisan diperoleh dari informan etnis Tionghoa dengan

menggunakan metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1993:132).

Menurut Sudaryanto (1993:133), disebut metode simak atau penyimakan karena

memang berupa penyimakan:dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan

bahasa.

Disebut metode cakap atau percakapan karena memang berupa percakapan dan terjadi

kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto,

1993:137).

Dengan demikian, sumber data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh dari lokasi penelitian melalui cara-cara berikut :

1. Observasi

Observasi yaitu pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan langsung ke

objek penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengenali dan menemukan beberapa

data yang berkenaan dengan kondisi objektif yang ada di Kecamatan Medan Petisah.

Bersamaan dengan obeservasi diadakan pengumpulan atau dokumentasi.

Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan memeriksa, membaca, kemudian

(29)

2. Wawancara

Wawancara yaitu pengumpulan data dengan mengadakan wawancara mendalam

melalui informan yang memahami situasi dan kondisi objek penelitian. Teknik

wawancara yang digunakan adalah wawancara yang tidak berstruktur yaitu dengan

mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung dan sebagai instrument adalah

peneliti sendiri, kemudian dikembangkan dan diperdalam sesuai data yang

dibutuhkan.

Adapun etnis Tionghoa yang menjadi narasumber, ditetapkan dengan

persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Berjenis kelamin pria atau wanita;

2. Berusia 25-48 tahun (tidak pikun);

3. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di lingkungan etnis

tionghoa dan tidak merupakan keturunan;

4. Memiliki kebanggaan terhadap kebudayaannya;

5. Sehat jasmani dan rohani;

6. Mengetahui sejarah dan kebudayaan masyarakat etnis Tionghoa; dan

7. Dapat berbahasa Indonesia (Kartika, 2007: 7).

Data sekunder atau data tulis diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan

semiotika, bahasa nonverbal, warna dan perayaan pada etnis Tionghoa. Selain itu, data dari

(30)

1.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Semua data yang telah terkumpul dianalisis untuk menyelesaikan permasalahan

penelitian yang telah ditentukan. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode simak

dan cakap, yang dilakukan selama proses pengumpulan data, yaitu menyimak, mempelajari

dan memeriksa data yang telah terkumpul.

Metode simak diwujudkan dengan penyadapan. Dalam mendapatkan data yang

dibutuhkan, peneliti haruslah menyadap pembicaraan seseorang atau beberapa orang dan ikut

berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan tersebut. Jadi, peneliti terlibat

langsung dan ikut angkat bicara dalam proses percakapan tersebut. Dan, teknik ini disebut

dengan Teknik Simak Libat Cakap, dengan diri si peneliti sendiri sebagai alatnya.

Selanjutnya, data yang telah dianalisis disajikan secara formal sehingga hasil analisis

dipaparkan secara sistematis dalam bentuk laporan ilmiah berupa skripsi dengan

menggunakan bahasa, teks gambar yang mudah dipahami sedangkan secara informal

(31)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Bentuk Bahasa Nonverbal sebagai Ikon, Indeks dan Simbol

Perayaan tahun baru Imlek merupakan suatu kegiatan yang penuh dengan simbol dan

warna merah.Simbol yang ada pada perayaan Imlek mempunyai makna yang berbeda antara

yang satu dengan yang lain. Adapun perlengkapan perayaan ini terdiri atas makanan dan

benda-benda yang harus ada dalam setiap perayaan Imlek.

1. Angpao, berupa bungkusan merah yang berisi uang.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

angpao, karena ada kemiripan dengan angpao yang sesungguhnya. Dalam gambar angpao di

atas terlihat sebuah tulisan Cina dengan warna emas yang dalam bahasa mandarin berarti

uang, dan di samping angpao tersebut ada sebuah koin yang dikaitkan dengan benang

berwarna merah.

(32)

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

angpao tersebut berisi uang. Hal ini ditandai dengan adanya koin emas yang dikaitkan dengan

benang berwarna merah yang berada di samping angpao.

Gambar di atas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara setiap orang memberikan

angpao. Dari tanda ini sebenarnya bisa tahu bahwa dalam tradisi Tionghoa, yang berhak

memberikan angpao adalah para orangtua kepada anak yang belum menikah dan dari anak

yang sudah menikah kepada orangtua.

2. Lampion atau Lentera Merah, yang melambangkan keberhasilan dan kegembiraan.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

lampion, karena ada kemiripan dengan lampion yang sesungguhnya. Dalam gambar lampion

(33)

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

lampion tersebut berguna untuk menyinari sebuah ruangan. Hal ini ditandai dengan

penempatan lampion pada bagian atas sebuah ruangan yang membantu lampu untuk

menyinari ruangan tersebut.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara meletakkan lampion pada

bagian atas ruangan. Bahwa ketika memasuki sebuah ruangan, bisa menjadi alat penerangan

sebagai pengganti lampu.

3. Kue Keranjang atau Kue Bakul biasa disebut kue tahun baru.

(34)

kue keranjang, karena ada kemiripan dengan kue keranjang yang sesungguhnya. Dalam

gambar di atas terlihat bahwa ada seorang wanita yang sedang menempel kertas berwarna

merah di atas kue yang menyerupai keranjang tersebut.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

kue keranjang yang selalu muncul pada tahun baru Imlek dan disusun ke atas dengan kertas

merah di bagian atasnya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara menyusun kue keranjang

yang merupakan simbolisasi dari sebuah harapan agar di tahun baru ini berlimpah rejeki yang

semakin meningkat dan menanjak seperti tumpukan kue keranjang tersebut.

4. Barongsai, adalah suatu pertunjukan berupa tarian atau gerakan-gerakan

(35)

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

barongsai, karena ada kemiripan dengan barongsai yang sesungguhnya. Dalam gambar

diatas, terlihat barongsai sedang berhenti sesaat untuk menaiki tempat yang lebih tinggi dan

aksinya sedang diamati oleh penonton.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

barongsai yang dimainkan oleh beberapa orang yang bersembunyi di balik kostum singa dan

disaksikan oleh penonton.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara pemain barongsai

memainkan setiap aksinya yang mencuri perhatian penonton. Dalam gambar di atas terlihat

bahwa penonton sangat menikmati aksi yang diperagakan oleh barongsai dan ingin

mengabadikan pertunjukan tersebut.

(36)

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

petasan karena ada kemiripan dengan petasan yang sesungguhnya. Dalam gambar di atas

terlihat petasan berwarna merah dengan sumbu yang siap untuk diledakkan dan diberi gambar

bunga.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

pemilihan warna dan penempatan gambar bunga pada petasan yang sesuai pada perayaan

imlek.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara memilih warna yang

disesuaikan dengan perayaan Imlek. Bahwa seseorang langsung dapat memahami jika

(37)

6. Lilin, adalah alat penerangan yang menjadi simbol bagi etnis Tionghoa.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

lilin, karena ada kemiripan dengan lilin yang sesungguhnya. Dalam gambar diatas, terlihat

lilin sedang bersinar dan berdiri tegak di altar.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

lilin yang bercahaya dan perlahan-lahan mulai mengecil karena membakar dirinya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana lilin menjadi simbol penerangan

(38)

7. Buah Jeruk merupakan simbol kemakmuran bagi etnis Tionghoa.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

buah jeruk, karena ada kemiripan dengan buah jeruk yang sesungguhnya. Dalam gambar

diatas, terlihat buah jeruk tersebut dibungkus di dalam plastik dan diberi kertas berwarna

merah.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

ada orang yang membungkus buah jeruk tersebut setelah dipetik beserta daunnya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara memetik buah jeruk beserta

(39)

8. Ikan, merupakan sajian makanan yang selalu ada pada setiap perayaan imlek.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

ikan, karena ada kemiripan dengan ikan yang sesungguhnya. Dalam gambar di atas terdapat 3

ekor ikan berwarna merah dan keemasan yang diletakkan di atas piring.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

pemilihan warna pada ikan yang sesuai dengan perayaan Imlek.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara memilih warna yang

disesuaikan dengan perayaan Imlek. Bahwa seseorang langsung dapat memahami jika

(40)

9. Tarian Naga atau Liang Liong, pertunjukan berupa tarian atau gerakan-gerakan

seperti naga.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

tarian naga, karena ada kemiripan dengan tarian naga yang sesungguhnya. Dalam gambar

tarian naga diatas, terlihat bahwa benda yang berbentuk naga tersebut sedang dimainkan oleh

beberapa orang dengan bantuan tongkat atau kayu panjang.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

naga yang sedang beraksi itu ingin berputar dan menunjukkan tubuhnya yang panjang agar

penonton mengaguminya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

(41)

memainkan aksinya yang menyimbolkan bahwa naga sebagai bentuk keagungan mampu

menerangi semua orang. Dalam etnis Tionghoa, naga dianggap sebagai makhluk yang suci.

10.Buah Naga

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

buah naga karena ada kemiripan dengan buah naga yang sesungguhnya. Dalam gambar buah

naga di atas terlihat seorang penjual sedang membersihkan buah naga yang akan

dijajakannya.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

baru saja ada orang yang mengantar buah naga. Ini ditandai dengan adanya gerobak yang

mengangkut buah naga hingga sampai ke tempat si penjual berada.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara masyarakat Tionghoa

(42)

11.Buah Pisang

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

buah pisang karena ada kemiripan dengan buah pisang yang sesungguhnya. Dalam gambar

buah pisang di atas terlihat bahwa pisang masih utuh di tangkai dan siap untuk disajikan pada

saat perayaan imlek.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

baru saja ada orang yang membeli buah pisang, dan secara dengan sengaja pisang tersebut

akan disajikan dengan utuh beserta tangkainya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara memilih pisang mas yang

(43)

12.Arak, adalah minuman yang disajikan pada perayaan Imlek.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang

menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar

arak karena ada kemiripan dengan arak yang sesungguhnya. Dalam gambar arak di atas

terlihat bahwa ada seorang pria dengan berbagai macam botol arak yang sedang digantung

dan siap untuk dijual.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan

berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu

seorang pria sedang membersihkan dan mewarnai botol arak tersebut menjadi warna merah

seperti arak-arak lain yang sedang digantung.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang

berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana arak menjadi suatu kebiasaan

yang dilakukan dalam setiap perayaan Imlek yang menegaskan bahwa arak berbeda dengan

(44)

4.2 Bahasa Nonverbal sebagai Makna Warna dalam Perayaan Imlek

Warna merupakan identitas atau simbol bagi si pemakainya. Dalam perayaan Imlek,

warna merah dan keemasan sangat sarat dengan etnis Tionghoa. Jika dilihat secara spesifik,

warna merah dan keemasan terbagi atas 2 makna, yakni makna secara umum (universal) dan

makna secara khusus.

Warna Makna secara umum (universal) Makna secara khusus (pada etnis Tionghoa)

Merah - Berani (pada bendera kebangsaan

Indonesia, warna merah berarti gagah

berani atau pantang menyerah).

- Dukacita (pada masyarakat Kota

Medan, apabila salah seorang

mendapat kemalangan atau dukacita,

maka di ujung jalan atau di depan

rumah akan dibuat bendera berwarna

merah. Hal ini mempunyai arti yang

sama dengan warna merah pada

rambu-rambu lalu lintas, yang

- Kemewahan (karna semua

benda-benda yang bersifat mewah atau mahal

berwarna emas)

- Kata emas dalam bahasa

mandarin adalah ‘jin’, dan makna

lain dari ‘jin’ adalah uang (rejeki).

(45)

Namun, jika dianalisis secara mitologi akan diperoleh suatu mitos mengapa warna

merah dan keemasan sangat sarat dalam perayaan Imlek. Disini, masyarakat Tionghoa

bersedia untuk berbagi cerita.

Dahulu kala ada seekor monster jahat yang memiliki kepala panjang dan tanduk yang tajam.

Monster yang bernama nian ini sangat ganas, dia berdiam di dasar lautan, namun setiap tahun

baru dia muncul ke darat untuk menyerang penduduk desa dan menelan hewan ternak. Oleh

karena itu setiap menjelang tahun baru, seluruh penduduk desa selalu bersembunyi dibalik

pegunungan untuk menghindari serangan monster nian ini. Pada suatu hari saat menjelang

pergantian tahun, semua penduduk desa sedang sibuk mengemasi barang-barang untuk

mengungsi ke pegunungan, datanglah seorang lelaki tua berambut abu-abu ke desa itu. Dia

memohon ijin menginap semalam pada seorang wanita tua dan meyakinkannya bahwa dia

dapat mengusir monster nian ini. Tak ada satupun yang mempercayainya. Wanita tua ini

memperingatkan dia untuk ikut bersembunyi bersama penduduk desa lainnya, tetapi lelaki tua

ini bersikukuh menolaknya. Akhirnya penduduk desa meninggalkannya sendirian di desa itu.

Ketika monster nian mendatangi desa untuk membuat kekacauan, tiba-tiba dia dikejutkan

dengan suara ledakan petasan. Nian menjadi sangat ketakutan ketika melihat warna merah,

kobaran api dan mendengar suara petasan itu. Pada saat bersamaan pintu rumah terbuka

lebar lalu muncullah lelaki tua itu dengan mengenakan baju berwarna merah sambil tertawa

keras. Nian terkejut, dan segera angkat kaki dari tempat itu. Hari berikutnya, penduduk desa

pulang dari tempat persembunyiannya, mereka terkejut melihat seluruh desa utuh dan aman.

Sesaat mereka baru menyadari atas peristiwa yang terjadi. Lelaki tua itu sebenarnya adalah

Dewata yang datang untuk menolong penduduk desa mengusir monster nian ini. Mereka juga

menemukan 3 peralatan yang digunakan lelaki tua itu untuk mengusir nian. Mulai dari itu,

setiap perayaan Tahun Baru Imlek mereka memasang kain merah, menyalakan petasan dan

(46)

Warna merah, yang melambangkan kebahagiaan, keberhasilan dan semangat hidup.

Sebagaimana darah dalam nadi, pengalaman hidup yang penuh semangat dan

membahagiakan itu harus mengalir dan meresapi berbagai bagian tubuh untuk kehidupan

yang lebih baik. Sedangkan warna keemasan, yang dalam bahasa Mandarin disebut jin, dan

makna lain dari kata jin adalah uang. Warna ini melambangkan sebuah harapan agar di tahun

berikutnya berlimpah uang (rejeki). Sehingga seluruh peralatan dan makanan yang disajikan

dalam perayaan tahun baru Imlek berwarna merah dan keemasan, yaitu :

1. Angpao

Angpao pada tahun baru Imlek diberikan untuk anak-anak yang berkaitan dengan

pertambahan umur/pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan,

permen dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa

lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak-anak memutuskan hadiah apa yang

akan dibeli.

Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao

biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas

antara masa kanak-kanak dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang sudah

menikah biasanya lebih mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada

anak-anak, mereka juga wajib memberikan angpao kepada orang yang dituakan.

Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur,

seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang

telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang yang menerima, dalam hal ini

tentunya jodoh. Bila seseorang yang belum menikah ingin memberikan angpao, sebaiknya

(47)

yang ada dalam sebuah angpao haruslah dalam angka genap. Karena, angka genap

melambangkan kebahagiaan.

Angpao adalah bungkusan berwarna merah yang berisi uang. Angpao selalu ada pada

perayaan imlek. Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada sebuah angpao adalah

melambangkan kebahagiaan (sukacita).

2. Lampion atau Lentera Merah

Lampion atau Lentera Merah awalnya hanya benda yang tidak mempunyai suatu

makna khusus bagi masyarakat Tionghoa. Sampai suatu waktu, banjir melanda rumah

penduduk Tionghoa. Mereka berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atap rumah dan

membawa lentera merah. Banjir terus meninggi dan membuat orang-orang mulai putus asa.

Lalu, Jenderal Li memerintahkan anak buahnya untuk menyelamatkan rakyat yang membawa

lentera merah. Untuk memperingati kebaikan hati Jenderal Li dalam menyelamatkan rakyat

jelata, maka bangsa Tionghoa selalu menggantung lentera merah pada setiap perayaan

penting, seperti pada Perayaan Tahun Baru Imlek sebagai makna keberuntungan.

Lampion atau lentera merah selalu ada pada perayaan imlek. Dan makna yang

terkandung dalam warna merah pada sebuah lampion adalah melambangkan keberuntungan.

3. Kue Keranjang atau Kue Bakul

Kue Keranjang atau Nian Gao atau lebih sering disebut kue keranjang (tii

kwee) adalah kue wajib pada perayaan Imlek. Kue ini mendapat nama dari cetakannya yang

terbuat dari keranjang. Nian sendiri berati tahun dan Gao berarti kue dan juga terdengar

seperti kata tinggi, oleh sebab itu kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat. Kue

keranjang disusun makin ke atas makin mengecil, yang memberikan makna peningkatan

(48)

keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah. Biasanya kue keranjang

disusun ke atas dan ditutup dengan kertas berwarna merah dibagian atasnya. Ini adalah

sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan selalu dipenuhi kebahagiaan.

Kue keranjang hanya muncul pada saat perayaan Imlek saja. Kue keranjang ini

disusun makin ke atas makin mengecil dan meletakkan kertas warna merah pada bagian atas

kue. Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada sebuah angpao adalah

melambangkan kebahagiaan (sukacita).

4. Barongsai

Barongsai atau tari singa sering diadakan pada perayaan Imlek. Barongsai adalah

suatu pertunjukan berupa tarian atau gerakan-gerakan tertentu dengan para penari yang

menggunakan kostum seperti singa. Barongsai ini dipercayai dengan pukulan gendang yang

kuat dan bunyi simbal yang memekakkan telinga serta wajah singa yang menari dengan

agresif sekali dapat mengusir roh jahat. Tarian yang menggunakan kostum berwarna merah

dan keemasan ini diharapkan dapat mengusir roh jahat dan mendatangkan kebahagiaan bagi

penonton.

Dan makna yang terkandung dalam warna merah dan keemasan pada kostum

barongsai adalah melambangkan kebahagiaan (sukacita) dan mendatangkan rejeki (uang)

yang berlimpah pada tahun berikutnya.

5. Petasan

Petasan yang selalu diledakkan pada saat malam tahun baru ini bertujuan untuk

menakut i monster jahat dan mengusir roh jahat. Petasan ini berwarna warna merah. Dan

makna yang terkandung dalam warna merah adalah melambangkan kebahagiaan dan

(49)

6. Lilin

Sepasang lilin berwarna merah adalah sebagai alat penerangan yang menyimbolkan

bahwa manusia harus menjadi penerang bagi manusia lainnya. Penerang juga bisa berarti

memberikan jalan keluar bagi orang lain yang punya permasalahan. Dari awal menyala

sampai padam lilin selalu menjadi penerang, demikian halnya dengan manusia

keberadaannya harus menjadi penerang sejak kecil hingga akhir hayatnya.

Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada lilin adalah melambangkan

semangat hidup yang akan terus bertambah di tahun berikutnya.

7. Buah Jeruk

Buah jeruk yang disajikan setiap hari raya Imlek mempunyai kisah dan makna

tersendiri. Dalam bahasa Mandarin, jeruk disebut Jik yang juga berarti selamat. Maka

timbullah ungkapan Mandarin, Tah Jik, yang artinya besar selamat atau amat selamat.

Buah jeruk biasanya diletakkan di atas meja ruang tamu. Buah yang dipilih terutama yang

sepasang atau lebih, terutama yang memiliki daun di dekat buahnya. Jeruk tersebut ditempeli

kertas merah dan juga disajikan di meja altar dekat tempat sembahyang sampai hari Cap Go

Meh. Buah Jeruk yang dipilih pun harus yang rasanya manis, agar kehidupannya selalu diberi

kebahagiaan dan keberhasilan.

Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada kertas merah yang ditempel

pada buah Jeruk adalah melambangkan kebahagiaan dan keberhasilan yang sejalan dengan

makna dari buah Jeruk tersebut.

8. Ikan

Ikan yang disajikan pada saat perayaan Imlek, melambangkan rejeki. Karena

(50)

rejeki. Oleh sebab itu, pada malam tahun baru imlek ikan sebagai makanan utama etnis

Tionghoa, dengan harapan agar tahun berikutnya, rejeki akan mudah didapat.

Ikan yang disajikan pada perayaan Imlek dipilih dengan warna merah dan keemasan.

Dan, makna yang terkandung dalam warna merah dan keemasan pada seekor ikan adalah

keberhasilan dan rejeki pada tahun berikutnya.

9. Tarian Naga atau Liang Liong

Tarian naga ini selalu ada setiap perayaan Imlek. Dalam bahasa Mandarin, naga

disebut long atau juga diartikan agung. Liang artinya terang, berkilauan sehingga tari ini

menyimbolkan bahwa naga sebagai bentuk keagungan mampu menerangi semua orang.

Dalam budaya Tionghoa naga dianggap sebagai makhluk suci perantara atau penjaga

kekayaan dewa-dewa. Karena naga dianggap sebagai penjaga kekayaan dewa-dewa, maka

kostum yang dipakai pada saat memainkan tarian naga ini adalah emas.

Dan makna yang terkandung dalam warna emas pada kostum naga adalah

melambangkan kekayaan atau kemakmuran.

10.Buah Naga

Buah Naga yang selalu hadir menyemarakkan perayaan Imlek dipercaya sebagai

lambang kejayaan. Karena naga tersebut adalah mahkluk suci bagi etnis Tionghoa.

Dan makna yang terkandung dalam warna merah kulit luar dan dalam pada buah

Naga adalah melambangkan keberhasilan yang juga sama dengan makna dari buah naga

(51)

11.Buah Pisang

Buah yang sudah pasti ada pada perayaan Imlek adalah pisang raja atau pisang mas.

Pisang dalam bahasa Mandarin disebut xiangjiao, xiang ‘disukai, digemari’ atau bisa juga

bermakna ‘membantu, menolong’. Tanaman pisang hanya berbuah sekali dalam hidupnya

dan sebelum mati tunas-tunas baru sudah ada sekitarnya. Dalam pandangan etnis Tionghoa,

hal ini melambangkan bahwa manusia sebelum meninggal harus telah melakukan kebajikan

dan memiliki keturunan. Manusia harus bisa menjadi panutan bagi generasinya dan harus

bias tolong menolong dan berbudi luhur agar disukai dan digemari orang lain.

Dan makna yang terkandung dalam warna emas buah Pisang adalah melambangkan

mas atau kemakmuran.

12.Arak

Arak selalu hadir untuk meramaikan perayaan tahun baru atau yang biasa disebut

perayaan Imlek. Arak yang dalam bahasa Mandarin disebut jiu ‘menolong, memberi

bantuan’. Arak merupakan hasil permentasi air tape beras atau ketan. Arak mempunyai

banyak kegunaan, antara lain sebagai penghangat badan di musim dingin, sebagai campuran

obat-obatan tradisional dan juga sebagai penyedap masakan. Arak ini melambangkan bahwa

manusia harus bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.

Kebiasaan minum arak berbeda dengan budaya minum minuman keras yang

memabukkan. Ini hanya merupakan tradisi & kebiasaan orang Tionghoa untuk memeriahkan

perayaan Imlek. Dan, juga merupakan wujud penghargaan tuan rumah terhadap tamu

undangan yang datang. Tuan rumah menyediakan arak tapi bukan berarti tuan rumah

mengajak para tamu undangan untuk mabuk-mabukan tetapi maknanya lebih untuk

(52)

Dan, arak yang diminum ini menggunakan sloki berwarna merah, yang mempunyai

makna sebagai semangat hidup. Agar di tahun berikutnya, etnis Tionghoa semakin

(53)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Penelitian bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa dalam

perayaan Imlek di kecamatan Medan Petisah ini menggunakan teori Semiotika dengan

pendekatan Charles Sanders Peirce dan Roland Barthes. Teori ini memiliki kelebihan dalam

menganalisis makna sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami.

Berdasarkan data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa ditemukannya

bentuk bahasa nonverbal sebagai icon, indeks dan simbol pada perayaan Imlek. Dengan

adanya bentuk bahasa nonverbal tersebut, maka penulis dapat mengetahui makna apa yang

ingin disampaikan oleh si pemakai kepada masyarakat. Selain itu, dalam perayaan Imlek,

tidak ada benda yang tidak melambangkan nilai-nilai kehidupan. Benda-benda tersebut

dilengkapi dengan warna merah dan keemasan yang menjadi ciri khas perayaan Imlek.

Perayaan Imlek adalah perayaan tahun baru yang bersifat simbolis dan sangat

diyakini dapat memberi berkah dan kebahagiaan pada tahun yang mendatang dan atas segala

harapan itu, etnis Tionghoa selalu mengucapkan gong xi fa cai ‘bahagia dengan berlimpah

rejeki’.

5.2 Saran

Indonesia adalah negara multikultural dan sedang berusaha memperbaiki

keadaannya. Beragam budaya dan semua wujud kebudayaan dapat ditemukan di Indonesia.

(54)

tengah-tengah masyarakat mayoritas. Salah satunya masyarakat Tionghoa di Indonesia,

khususnya di Medan, yang dulu tidak mempunyai kebebasan untuk menunjukkan identitas

budayanya. Maka, bagaimana kita bisa membangun bersama jika masih ada prasangka karena

kurang mengenal?

Bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa yang penulis kaji

hanyalah sebagian kecil dari banyaknya media untuk mengetahui mereka. Sebagai saran

normatif dari penelitian ini, marilah kita semua untuk saling mengenal dan menilai dengan

positif satu sama lain terlebih lagi terhadap etnis-etnis minoritas karena kita semua

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Aminuddin. 2001. Semantik. Bandung : Sinar Baru Algensindo

Bisnis, Harian Medan. 2008. Dalam budiawan-hutasoit.blogspot.com

Darmaprawira, Sulasmi. 2002. Warna, Teori dan Kreativitas Penggunanya. Bandung:

Penerbit ITB

(diakses 28 Juli 2009)

Fatimah. 1993. Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung : Eresco

Haruyahya. 2005. Warna Illahi. Dalam http//id/buku/cita rasa 003.htm (diakses 29 November

2009).

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Prakata oleh Haryatmoko.

Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia

Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Penerjemah: Sutikno.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mulyana. 2002. Dalam

Nugroho, Eko. 2008. Pengenalan Teori Warna. Yogyakarta : CV. Andi Offset

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa

Sartini, Ni Wayan. 2007. Tesis. Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa. Fakultas

Sastra, Universitas AirLangga. Surabaya

Sidabutar, Kartika. 2007. Skripsi. Konsep Warna Pada Bahasa Batak Toba. Fakultas Sastra,

Universitas Sumatera Utara. Medan

Sihombing, Saul M. 2007. Skripsi. Wacana Iklan Kematian pada Harian Analisa sebagai

(56)

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana

University Press

Situs:

http:// wikipedia.ac.id (diakses pada 27 Oktober 2009)

Gambar

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang
Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang
Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang
Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Wanti (2008) kecemasan menjelang masa pensiun adalah suatu keadaan atau perasaan tidak menyenangkan yang timbul pada individu karena khawatir, binngung, tidak pasti

Melalui fakta tersebut, sehingga diperlukan sebuah media untuk mendukung promosi dan memberikan rekomendasi kuliner Kota Semarang berupa video promosi yang lebih

Keberadaan Toko Bangunan Sumarno Jaya sangat membantu masyarakat terutama orang yang sedang membangun rumah khususnya yang berada di Depok menerima pesananbahan,

Scene 4 menampilkan porsi tahu gimbal yang disajikan bersama es duren yang menjadi khas kuliner tahu gimbal di Kota Semarang yang dapat dilihat. pada

Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dimana di setiap siklusnya terdiri dari empat tahapan yaitu: perencanaan, pelaksanaan,

Budi, maka perkenankanlah saya selaku mahasiswa S1 Fakultas Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Niaga Universitas Sumatera Utara (USU) memohon kesediaan bapak/

Berdasarkan data-data yang telah dijelaskan di atas, diskusi ber- sama Observer dan Wali Kelas, dapat disimpulkan bahwa penerapan model problem posing untuk meningkatkan hasil

Aspek sosial mendapatkan perhatian yang cukup dalam pendidikan Islam, agar peserta didik mampu dan pandai menempatkan diri pada lingkungannya, tolong menolong dan