REHABILITASI DALAM UPAYA PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DIHUBUNGKAN
DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kerja Praktek
Disusun Oleh :
Ramadhani Fathima Zahra K.
NIM : 31609012
Pembimbing :
Febilita Wulan Sari, S. H
NIP. 4127.33.00.007
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
Nama
: Ramadhani Fathima Zahra Kuncoro
Tempat Tanggal Lahir
: Bandung, 11 April 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Tegal Kawung Rt/Rw 001/118, Cmahi Utara
Telepon
: +6285721327960
Pendidikan Formal
: - SDN Cimahi 18
- SLTPN 6 Cimahi
- SMA Darul Hikam Bandung
Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada
iv DAFTAR ISI
Lembar pengesahan...
Kata Pengantar...i
Daftar Isi...iv
Daftar Lampiran...vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Permasalahan Hukum...3
C. Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)...4
D. Visi dan Misi Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)...5
E. Struktur Organisasi...5
F. Waktu dan Tempat Kerja Praktek...6
BAB II : KEBIJAKAN INTEGRAL DALAM PENANGGULANGANKEJAHATAN DENGAN HUKUM PIDANA A. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan ...7
B. Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana...12
C. Pidana dan Tujuan Pemidanaan...17
D. Perbedaan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan Dihubungkan dengan Tujuan Pemidanaan...25
BAB III : KEGIATAN KERJA PRAKTEK A. Pembagian Tugas...28
v TUJUAN PEMIDANAAN
A. Penetapan Sanksi Rehabilitasi dihubungkan Dengan Tujuan
Pemidanaan dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkotika...34
1. Sanksi Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika Dilihat dari Aspek Perlindungan
Masyarakat...38
2. Penetapan Sanksi Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika Dilihat dari Aspek Perbaikan Si
Pelaku...41
B. Penetapan Sanksi Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan dengan Tujuan Pemidanaan
untuk Masa yang Akan Datang...44
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan...47
B. Saran...50
Daftar Pustaka ...
Daftar Riwayat Hidup...
i
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah
memberikan segala rahmat dan karunia-nya, shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W, bahwa penulis masih
diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-nya, berkat taufik
dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan laporan kerja praktek dengan
judul “REHABILITASI DALAM UPAYA PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN.”
Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan laporan Kerja Praktek
(KP) jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun tata bahasa,
sehingga kiranya masih banyak yang perlu didalami dan diperbaiki. Oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang insyaallah dengan jalan
ini dapat diperbaiki kekurangan dikemudian hari.
Pada proses penyusunan laporan ini banyak bantuan dan dukungan dari
banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih
dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Febilita Wulan Sari, S.H selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya
untuk membimbing dalam penulisan Laporan Kerja Praktek ini, selain itu juga
penulis ingin mengucapkan trima kasih kepada :
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc selaku Rektor
ii
2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., A.K., M.S selaku
Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;
3. Yth. Bapak Prof. Dr. Moh. Tajuddin, M.A. selaku Pembantu Rektor II
Universitas Komputer Indonesia;
4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Pembantu Rektor III
Universitas Komputer Indonesia;
5. Prof. Dr I Gde Pantja Astawan S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H selaku Ketua Jurusan Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
7. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H selaku
Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
8. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
9. Yth. Ibu Febilita Wulan sari, S.H selaku Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia;
10. Yth. Ibu Farida Yulianty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
11. Yth. Bapak Asep Iwan Iriawan, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas
iii
13. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md., selaku Staff Administrasi Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia;
14. Yth. Bapak Muray, selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas
Komputer Indonesia;
15. Yth. Bapak Deni Yusdanial. SIP. MH. pembimbing kerja praktek di
Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat;
16. Karyawan dan staff Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat;
17. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer
Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
Khususnya Kedua Orang Tua atas do‟a dan dukungannya baik moril
maupun materil sehingga Penulis dapat menyelesaikan pembuatan Laporan
Kerja Praktek (KP), semoga mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Penyayang serta kita semua berada dalam lindungan-Nya.
Bandung, Januari 2013
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Hoefnagels,The Other Side Of Criminology, Kluwer-Deventer, Holland, 1969; Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981;
, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981; , Toeri-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992; Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010;
Nawawi, Masalah Penegakan Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 2001;
Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, CV.Utomo, Bandung, 2004;
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
LAIN-LAIN
Hasil wawancara dengan narasumber Deni Yus Danial. SIP.MH. Seksi
Pengawasan Tahanan, Barang Bukti dan Aset pada tanggal 13
Agustus 2012
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Tentang Organisasi dan Tata Kerja
(OTK) Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerja praktek adalah bentuk penyelenggaraan perkuliahan yang
pelaksanaannya merupakan perpaduan teoritis dalam materi perkuliahan
dengan dunia praktisi dalam pekerjaan yang berkaitan di bidang hukum.
Berdasarkan hal tersebut maka kerja praktek sangat membantu mahasiswa
mengenali gambaran ketika memasuki dunia kerja.
Pelaksanaan kerja praktek wajib diikuti semua mahasiswa, karena
kerja praktek adalah mata kuliah wajib sebelum menempuh skripsi. Kerja
praktek merupakan salah satu usaha untuk menciptakan lulusan
Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) khususnya Fakultas Hukum
yang berkualitas, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual, sehingga dapat berguna dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kerja Praktek (KP) merupakankegiatan mahasiswa atau mahasiswi
untuk mencari pengalaman kerja sebelum memasuki dunia kerja yang
sesungguhnya, yang tercermin dalam pendidikan nasional yang
berdasarkan pancasila yang bertujuan meningkatkan kecerdasan,
kreativitas dan mengasah keterampilan agar dapat menumbuhkan manusia
yang dapat membangun dirinya sendiri, bertanggungjawab di dalam dunia
kerja serta dapat memecahkan permasalahan-permasalahan hukum.
Adapun tujuan mengikuti kegiatan kerja praktek (KP) di Badan
Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) diharapkan mahasiswa dapat
2
1. Mengetahui lebih jauh tentang Badan Narkotika Nasional Provinsi
(BNNP) dan sistem kerja di dalam Badan Narkotika Nasional Provinsi
(BNNP) ;
2. Mempelajari persoalan-persoalan yang terjadi di Badan Narkotika
Nasional Provinsi (BNNP);
3. Mempelajari aplikasi dan relevansi antara bahan kuliah dengan dunia
praktis;
Pelaksanaan kerja praktek (KP) di Badan Narkotika Nasional Provinsi
(BNNP) diharapkan para mahasiswa dan mahasiswi memperoleh
pengetahuan dan memperdalam wawasan secara luas serta mendapatkan
pengalaman mempelajari Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan,
dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN).
Untuk itu, Penulis membuat laporan kerja praktek (KP) ini dengan judul
“REHABILITASI DALAM UPAYA PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN
B. Permasalahan Hukum
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hubungan tujuan pemidanaan dikaitkan dengan
rehabilitasi sebagai upaya penanggulangan penyalahgunaan
narkotika?
2. Bagaimanakah konsep penanggulangan penyalahgunaan
narkotika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan untuk masa
yang akan datang?
C. Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)
Pada tanggal 12 Oktober 2009, Presiden Republik Indonesia telah
mengesahkan dan memberlakukan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 menggantikan Undang-undang Nomor 22 tahun
1997 tentang Narkotika yang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini yaitu tindak
pidana penyalahgunaan narkotika.
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika di Jawa Barat
semakin mengalami peningkatan yang sangat mengkhawatirkan baik
ditinjau dari kualitas ataupun kuantitasnya, hal ini merupakan ancaman
paling serius terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika telah memasuki
kehidupan masyarakat secara luas hingga ke pelosok pedesaan bahkan
dilingkungan pendidikan sekalipun.
Kebijakan Pemerintah khususnya Badan Narkotika Nasional dalam
4
Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia dengan membentuk Vertikalisasi ke
Provinsi dan Kabupaten/Kota dan BNNP Jawa Barat terbentuk sejak bulan
Mei 2011 dengan Peraturan kepala Badan Narkotika Nasional Nomor
PER/04/V/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika
Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.
Tugas pokok Badan Narkotika Nasional Provinsi sebagai satuan kerja
(satker) vertikal Badan Narkotika Nasional melakukan kegiatan
pencegahan, pemberdayaan masyarakat, dan pemberantasan dengan
didukung oleh kegiatan ketatausahaan. Pada bulan januari 2012 BNNP
Jawa Barat telah melakukan kegiatan konsolidasi dengan beberapa pihak
dalam pelaksanaan substansi dan pemenuhan kebutuhan sumber daya
manusia serta mengikuti kegiatan-kegiatan pembekalan dari Badan
Narkotika Nasional Pusat.1
D. Visi dan Misi Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)
Visi : Bersama mewujudkan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba Tahun 2015.”
Misi : Melakukan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
serta peredaran gelap narkoba secara komprehensif dan sinergis.
E. Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Kepala : Anang Pratanto, Drs
Bagian Tata Usaha :
1. Subbagian Perencanaan : Cecep Suherman, S.sos
1
2. Subbagian Logistik : Eka Suryana, S.sos
3. Subbagian Administrasi : Yohanes Eko Arianto, A.pt,M.Si
Bidang Pencegahan :
1. Seksi Desiminasi Informasi : Tri Wahyu Astuti, S.E
Bidang Pemberdayaan Masyarakat : Anas Saefudin, Drs
Bidang Pemberantasan :
1. Seksi Intelijen :
2. Seksi Penyidikan, Penindakan, dan Pengejaran : Chusnul
Waton, S.sos, S.H
3. Seksi Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, dan Aset : Deni
Yusdanial, S.Ip,M.H
F. Waktu dan Tempat Kerja Praktek
Penulis melakukan Kerja Praktek selama 120 jam, terhitung dari
pukul 08.00 – 16.00 WIB, sejak tanggal 23 juli 2012 sampai dengan 10 Agustus 2012, bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)
6
BAB II
KEBIJAKAN INTEGRAL DALAM PENANGGULANGAN
KEJAHATAN DENGAN HUKUM PIDANA
A. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
Prof. Soedarto S.H., mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :
1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa
pidana.
2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur Penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari Pengadilan dan
Polisi.
3. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen)
adalah keseluruhan kebiakan yang dilakukan melalui Perundang-
undangan dan Badan- badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan norma – norma sentral dari masyarakat.
Prof. Soedarto S.H mengungkapkan definisi singkat, bahwa politik kriminal ialah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan. Definisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang
merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by
society”.
Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G Peter
organization of the sosial reaction to crime”2. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah :
Criminal policy is the science of responses; Criminal policy is the science of crime prevention;
Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; Criminal policy is a rational total of the responses to crime.
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare),
oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.”
Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah
dinyatakan dalam salah satu laporan Khusus Latihan Ke- 34 yang
diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 19733, sebagai berikut
Most of group members agreed some discussion that
“protection of the society” could be accepted as the final qoal of
criminal policy, although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like “happiness of citizens” ,
“a wholesome and cultural living”, ”social welfare” or equality” .
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik kriminal pada
hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu
kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial).
Istilah “kebijakan hukum pidana” dapat disebut dengan istilah “politik
hukum pidana.” Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana”
sering dikenal dengan berbagai istilah, “Penal Policy”, “Criminal Law
Policy”,atau “Strafrechtspolitiek.”
2
G.Peter Hoefnagels, The Other Side Of Criminology, Kluwer-Deventer, Holland, 1969, hlm 57.
3
8
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari
politik hukum maupun dari politik kriminal, menurut Prof. Soedarto, “politik hukum” adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi tertentu. Kebijakan dari Negara melalui
Badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
yang dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan.4
Politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan
atau membuat dan merumuskan suatu Perundang-undangan pidana yang
baik. Terlihat juga dalam definisi “Penal Policy” dari Marc Angel dinyatakan sebagai suatu ilmu dan seni yang bertujuan untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan Hukum
Positif (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel adalah Peraturan Perundang – undangan Hukum Pidana.
Menurut A. Mulder,5 ”strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk
menentukan : seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku
perlu diubah atau diperbaharui, apa yang dapat diperbuat untuk mencegah
terjadinya tindak pidana ; cara bagaimana penyidikan, penuntutan,
peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Strafrechtspolitik is de beleidslijn om te bepelen: in welk opzicht de bestaande strafbepalingen herzien dienente te worden; wat degaan kan worden omstrafrechtelijk gedrad te voorkomen); hoe de opsporing, vervolging, berechting en tenuitvoerlegging van straffen dient te verlopen.
Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum
pidana” menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:
4
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 159.
5
Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya suatu prosedur hukum
pidana, dan suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).6
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang
baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian
dari politik kriminal, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum
pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.”
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada
hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
(khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering juga
dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana juga merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum (Law enforcement policy).
Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang
(hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat (sosial defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial
(sosial policy). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian
”sosial policy” sekaligus tercakup di dalamnya “sosial welfare policy” dan
“sosial defence policy”. Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana material,
dalam bidang hukum pidana formal dan bidang hukum pelaksanaan
pidana.
6
10
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “Penal” lebih menitikberatkan pada sifat “Repressive” (Penindasan/ Pemberantasan/ Penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non-penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (Pencegahan/ Penangkalan) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar,
karena tindakan refresif pada hakikatnya dapat dilihat sebagai tindakan
preventif dalam arti luas.7
Penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal lebih bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuh suburkan kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal secara
makro dan global, maka upaya-upaya non-penal menduduki posisi kunci
dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.
Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan
kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan dalam berbagai kongres
PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”
sebagai berikut :
Pada Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 di Caracas, Venezuela, antara
lain dinyatakan dalam pertimbangan resolusi mengenai “Crime trends and
Crime prevention strategis.”
Penyebab utama dari kejahatan di berbagai negara ialah
ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar
hidup yang rendah, pengangguran dan buta huruf (kebodohan) di antara
7
golongan besar penduduk ; the main causes of crime in many countries are sosial inequality, racial and national discrimination, low standard of living, unemployment and illiteracy among broad sections of the population.
Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka dalam resolusi itu
dinyatakan antara lain : “Menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus
kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan
menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah pengangguran,
kemiskinan, kebutahurufan (kebodohan), diskriminasi rasial dan nasional
serta bermacam-macam bentuk dari ketimpangan sosial”. (their power to eliminate theconditions of life which detract from human dignity and lead to crime, including unemployment, poverty, illiteracy, racial and national discrimination and various forms of sosial inequality).
B.
Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan kebijakan,
dalam arti : ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan
kejahatan dengan “penal” dan “non-penal”.
Penegasan adanya upaya penanggulangan kejahatan diintegrasikan
dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan.
Bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi
segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat/ modernisasi (antara lain
penanggulangan kejahatan), maka hendaknya dilihat dalam hubungan
12
Dalam Deklarasi Caracas yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke-6 tahun 1980, antara lain ditegaskan :
Crime prevention and Criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and cultural values and social change, as well as in the context of the new international economic order (Deklarasi No. 2)
It is a matter of great importance and priority that programmers for crime prevention and the treatment of offenders should be based on the sosial, cultural, political and economic circumstances of each country, in a climate of freedom and respect for human rights, and that Member states should develop and effective capacity for formulation and planning of kriminal policy, co-ordinated with strategies for sosial, economic, political and cultural development.
Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Havana, Cuba, juga masih
mengakui perlunya pendekatan kebijakan integral seperti yang digariskan
dalam kongres-kongres terdahulu. Hal ini terlihat di dalam dokumen
kongres yang berkode A/CONF.144/L.5 mengenai “internasional
cooperation for crime prevention and criminal justice in the context of
development” yang menyatakan :8
Convinced that crime prevention and kriminal justice in the context of development should be oriented towards the observance of the principles contained in the Caracas Declaration, the Milan Plan of action, the Guiding Principles for Crime Prevention and Kriminal Justice in the Context of Development and a New International Economic order and other relevant resulations and recommendations of the Sevent United Nations Congress on the of prevention Crime and the Treatment of Offenders.
Dilihat dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justru harus
ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi sosial secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Penanganan
masalah-masalah merupakan posisi kunci dan strategis dari sudut politik
kriminal. Oleh karena itu, wajar apabila Kongres PBB ke-6 Tahun 1980
sangat memperhatikan masalah ini. Dalam pertimbangan resolusi
8)
mengenai “Crime trends and crime prevention strategis” antara lain
dikemukakan :
Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian
kualitas hidup yang pantas bagi semua orang :
1) the crime problem impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people
Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan;
2) crime prevention strategis should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime
Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah
ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional,
standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan
(kebodohan) di antara golongan besar penduduk;
3) the main of crime in many countriesare sosial inequality, racial and national discrimination, low standard of living, unemployment and illiteracy among broad sections of the populations
Kebijakan integral dengan penekanan pada pengurangan atau
penghapusan kondisi-kondisi yang memberikan kesempatan untuk
timbulnya kejahatan juga sangat mendapatkan perhatian dari Kongres PBB
ke-7 Tahun 1985. Ditegaskan di dalam dokumen Kongres mengenai
“Crime prevention on the context of development” (dokumen
A/CONF.121/L.9), bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi
yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi pencegahan yang
14
Cuba. Dalam dokumen Kongres No. A/CONF.144/L/17 (tentang “sosial aspects of crime preventionand kriminal justicein the context of development”) antara lain dinyatakan :
Bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan strategi penanggulangan kejahatan dan harus diberikan prioritas paling utama, tujuan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kerjasama ekonomi internasional hendaknya ditujukan untuk menjamin hak-hak asasi manusia untuk suatu kehidupan yang bebas dari kelaparan, kemiskinan, kebutahurufan, kebodohan, penyakit dan ketakutan akan perang serta memberi kemungkinan bagi manusia untuk hidupdalam lingkungan yang sehat
Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti,
bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus dipandang sebagai
bagian dari politik kriminal. Sehubungan dengan hal ini, Kongres PBB
menekankan, bahwa ”the over all organization of society should be
considered as anti criminogenic” dan menegaskan bahwa “community
relations were the basis for crime perevention programs.” Perlu untuk membina dan meningkatkan efektivitas “extra-legal system” atau “informal system” yang ada di masyarakat dalam usaha penanggulangan kejahatan, antara lain kerjasama dengan organisasi sosial dan keagamaan,
lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi volunteer yang ada di masyarakat. Sehubungan dengan pemanfaatan “extra-legal system” atau “informasi
system”, maka di dalam “Guilding Principles” yang dihasilkan Kongres PBB
ke-7 juga diberikan pedoman mengenai “traditional forms of sosial control”
sebagai berikut :9
“when new crime prevention measures are introduced necessary
precautions should be taken not to disrupt the smooth and effective functioning of traditional system, full attantion being paid to the preservation of cultural identitas and the protection of human rights”.
9
Mengenai kebijakan penanggulangan bahaya Penyalahgunaan
Narkoba di Indonesia telah dimulai sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius
(Verdoovende Middelen Ordonnantie, Stbl. 1927 Nomor 278 jo. Nomor 536). Organisasi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1976 tentang Narkotika yang dinyatakan berlaku sejak 26 Juli 1976.
Dalam perkembangan terakhir, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009, Undang-Undang tentang Narkoba menggunakan sarana “penal”
(hukum pidana) untuk penanggulangan bahaya narkoba. Kebijakan “penal”
yang tertuang dalam undang-undang tersebut.
Penanggulangan penyalahgunaan zat/ obat psikotropika telah
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Lahirnya ketiga undang-undang itu didahului dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika
1971 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan
Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika
Tahun 1988.
Perangkat perundang-undangan untuk memberantas Narkoba itu
(Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997) dilengkapi dengan
berbagai Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan), antara lain tentang
Peredaran Psikotropika (Permenkes Nomor 688/Menekes/Per/VII/1997)
dan tentang Ekspor dan Impor Psikotropika (Permenkes Nomor
16
C. Pidana Dan Tujuan Pemidanaan
Upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba, berhubungan
dengan masalah sanksi pidana atau masalah “pidana dan pemidanaan”.
Menurut Sudarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.10
Roeslan Saleh menyatakan bahwa, pidana adalah reaksi atas delik yang berwujud suatu nestapa dengan sengaja ditimpakan Negara pada
pembuat delik itu.11
Bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran itu, maka syarat
pemidanaan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik
antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, antara faktor
objektif dan faktor subjektif. Oleh karena itu, syarat pemindanaan juga
bertolak dari 2 (dua) pilar yang sangat fundamental di dalam hukum
pidana, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan “asas kemasyarakatan”) dan “asas kesalahan/asas culpabilitas” (yang merupakan “asas kemanusiaan”). Dengan perkataan lain, pokok pemikiran mengenai pemidanaan berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak
pidana dan pertanggung jawaban pidana.
Pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
(1) Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan;
10
Soedarto, Toeri-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 2.
11
(2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
(3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut Undang- Undang.
Ketiga unsur tersebut pada umunya terlihat dengan definisi-definisi
diatas, kecuali Alf Ross yang menambahkan secara tegas dan eksplisit
bahwa di dalam praktek perbedaan antara pidana dan tindakan didasarkan
atas ada atau tidaknya unsur pencelaan. Pada “tindakan” unsur pencelaan ini tidak ada.
Menurut Alf Ross,“concept of punishment” bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu :
(1) Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang
yang bersangkutan. (punishment is aimed suffering upon the person whom it is imposed); dan
(2) Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap
perbuatan si pelaku (the punishment is an expression of disapproval of the action for which it is imposed).
Dengan demikian menurut Alf Ross tidak dapat dipandang sebagai
“punishment” hal-hal sebagai berikut:
(1) Tindakan-tindakan yang bertujuan pengenaan penderitaan
tetapi tidak merupakan pernyataan pencelaan;
Contoh : pemberian “electric shock” pada binatang dalam
suatu penelitian agar tingkah lakunya dapat diamati
atau dikontrol.
(2) Tindakan-tindakan yang merupakan pernyataan pencelaan
18
Contoh : teguran, peringatan atau penyingkiran oleh
masyarakat.
(3) Tindakan-tindakan yang disamping tidak dimaksudkan untuk
mengenakan penderitaan, juga tidak merupakan pernyataan
penderitaan.
Menurut Alf Ross perbedaan antara “punishment” dan “treatment”
tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama (penderitaan), tetapi
harus didasarkan pada ada tidaknya unsur kedua (unsur pencelaan).
Herbet L. Packer juga berpendapat bahwa tingkatan kekejaman, bukanlah ciri yang membedakan antara “punishment” dan “treatment”. Perbedaannya harus dilihat dari tujuannya dan seberapa jauh peranan dari
perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan perlakuan.
Tujuan utama “punishment” untuk memberikan keuntungan atau memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada
perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan
untuk memberikan pertolongan kepadanya. Dasar pembenaran dari
“punishment” adalah pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Sedangkan “punishment” menurut Herbert L. Packer pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan sebagai berikut :
(1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah
fokusnya pada perbuatan salah atau tindak pidana yang telah
dilakukan oleh si pelaku. Dengan perkataan lain, perbuatan itu mempunyai
peranan yang besar, dan merupakan syarat yang harus ada, untuk adanya
“punishment” ditegaskan selanjutnya oleh Herbert L. Packer bahwa dalam
hal “punishment” kita memperlakukan seseorang karena telah melakukan suatu perbuatan salah dengan tujuan, baik untuk mencegah terulangnya
perbuatan itu maupun untuk mengenakan penderitaan atau untuk
kedua-duanya.
Tujuan utama adalah melakukan pencegahan terhadap perbuatan
salah itu dan bukan perbaikan terhadap diri si pelanggar. Sepanjang
perhatian ditujukan pada :
a. Aktivitas seseorang di masa yang akan datang untuk sesuatu yang telah dilakukannya pada masa lalu (a person’s future activity to something he has done in the past)
b. Perlindungan terhadap orang lain daripada perbaikan terhadap diri si
pelaku (the protection of other rather than the betterment of the person being dealt with), maka perlakuan yang demikian disebut
“treatment”.
Menurut Roeslan Saleh, keragu-raguan masyarakat terhadap hukum
pidana semakin menjadi besar sehubungan dengan praktek
penyelenggaraan hukum pidana yang terlalu normative-sistematis. Dengan pendekatan yang demikian, maka banyak bagian-bagian dari informasi
mengenai kenyataan yang berkaitan dan berhubungan satu sama lain
dengan perbuatan pidana seseorang, dengan perilaku tindak pidana, dan
dengan masyarakat itu sendiri, telah dikesampingkan oleh penegak hukum
20
Muladi menyatakan tindakan ini tidak dimaksudkan untuk
menerapkan penderitaan, melainkan untuk memperbaiki, menyembuhkan,
dan mendidik orang-orang tertentu, guna melindungai masyarakat. Apabila
sampai membawa penderitaan, hal ini jelas tidak dimaksudkan.
Teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama
pemidanaan, yaitu; preventif, deterrence dan reformatif. Tujuan prevention
dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan
menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam
kepustakaan pemidanaan, hal ini disebut incapacitation.
Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini dibedakan dalam
tiga bagian, yaitu : tujuan yang bersifat individual, tujuan yang bersifat
publik dan tujuan yang bersifat jangka panjang. Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk kembali
melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan deterrence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan.
Tujuan deterrence yang bersifat jangka panjang atau long term deterrence
agar dapat memelihara sikap masyarakat terhadap pidana. Teori ini sering
disebut sebagai educative theory atau denunciation theory.12
Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai
tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan teori tersebut muncul tujuan
pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pecegahan khusus yang
ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada
12
masyarakat. Menurut Leonard Orland, teori relatif dalam pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus
dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang
berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Karena itu, teori relatif
lebih melihat ke depan.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang terpidana,
dapat dibenarkan secara moral karena si terpidana sudah terbukti
bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung
konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga orang lain dalam
masyarakat. Teori ini disebut sebagai teori konsekuensialisme.
Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok teori relatif
ini, yaitu :
1. Tujuan pidana adalah pencegahan;
2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat
dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan
atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat
pencegahan kejahatan;
Pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif dan mengandung
unsur pencelaan, baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak
dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk
22
Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukan sekedar untuk
melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan,
tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat. Pidana
ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan. Dalam pemidanaan,
maka teori relatif sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory).
Ada 3 (tiga) bentuk tujuan pemidanaan :
Pertama : Tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan penangkalan (deterrence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang
sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal, pemidanaan berfungsi
sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi
penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu
bentuk kontrol sosial. Asumsi dasarnya setiap orang pada hakikatnya
berkepentingan untuk menjauhkan diri dari sakit dan penderitaan.
Pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi sikap dan perilaku si
terpidana maupun warga masyarakat. Pengaruh itu dapat berdaya-hasil
bila dikomunikasikan secara negatif, yaitu dengan menakut-nakuti orang,
atau menurut perkataan Philip Bean, “maksud di balik penjeraan ialah
mengancam orang-orang lain” untuk kelak tidak melakukan kejahatan.13
Kedua : Pemidanaan sebagai rehabilitasi, teori tujuan menganggap pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada
si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu
13
penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca sebagai simpton disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, conselling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya.
Dalam bahasa utilitarianisme dapat dikatakan bahwa efek preventif dalam proses rehabilitasi ini terutama terpusat pada si terpidana.14
Ketiga : Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Tujuan ini
merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses
reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan
terpidana adalah salah, tidak dapat diterima oleh masyarakat bahwa
terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat.
Karena itu, dalam proses pemidanaan si terpidana dibantu untuk
menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya.
Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan, dilukiskan sebagai tempat
pendidikan moral, yaitu tempat refleksi-refleksi moral dan spiritual diadakan
serta „penebusan dosa‟. Para terpidana perlu diberikan pengajaran moral dan agama agar keyakinan dan pandangannya diperbaharui,
kecenderungan-kecenderungan jahatnya dikendalikan dan hidupnya
disegarkan.
Suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat.
Kejahatan itu dibaca sebagai simpton disharmoni mental atau
ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris,
conselling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya.
14
24
D. Perbedaan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan Dihubungkan dengan Tujuan Pemidanaan.
Sanksi pidana bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan
sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan
tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang
lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera),
maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar
berubah, sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan
(pengimbalan) yaitu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang
pelanggar, Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar
perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat.
Menurut J.E.Jonkers, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang
diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan
mempunyai tujuan yang bersifat sosial.
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga
bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi
penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar agar merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan
terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan
pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.
Mengenai perbedaan secara tradisional antara pidana dan tindakan
ini, Soearto mengemukakan sebagai berikut :
“Pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedang tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan
itu untuk orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu
bertanggung jawab, sebab orang yang tidak mampu bertanggung jawab
tidak mempunyai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan
tidak mungkin dipidana. Terhadap orang ini dapat dijatuhkan tindakan”.
Van Bemmelen menyatakan perbedaan antara pidana dan
tindakan,adalah sistem untuk memasukan tindakan-tindakan (maatregelen)
disamping pidana (Straf) sehingga bersifat “zweispurig” di Holland,
diterapkan sedemikian rupa sehingga pidana juga bertujuan mendidik
penjahat, sedangkan tindakan juga membawa penderitaan karena hampir
selalu disertai dengan perampasan atau pembatasan kemerdekaan.
Perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan
terletak pada ada tidaknya unsur celaan, bukan pada ada tidaknya unsur
penderitaan. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.
Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan
merupakan sanksi yang tidak membalas. ditujukan pada prevensi khusus,
yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan
kepentingan masyarakat itu. Sanksi pidana berorientasi pada ide
pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi
tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.
Perbedaan orientasi ide dasar dari dua jenis sanksi tersebut (sanksi
pidana dan sanksi tindakan), sebenarnya memiliki kaitan dengan paham
filsafat, yakni filsafat indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber ide sanksi tindakan. Sebagaimana diketahui, asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah manusia memiliki kehendak bebas, termasuk melakukan kejahatan. Sebagai konsekuensi
pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada
26
Sedangkan determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok
masyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis,
psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. Dengan
demikian, perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh
berbagai faktor. Pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud
merehabilitasi pelaku.
Tipe retributif yang proportionality mendapatkan dukungan dari van Bemmelen yang mengatakan bahwa untuk hukum pidana dewasa ini,
pemenuhan keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aan de vergeldingsbehoefte) tetap merupakan hal yang penting sekali dalam
penerapan hukum pidana agar tidak terjadi “main hakim sendiri” (vermijding van eigenrichting). Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh suatu sanksi harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit. Selain itu,
beratnya sanksi tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak
27
KEGIATAN KERJA PRAKTEK
A. Pembagian Tugas
Kegiatan kerja praktek merupakan perkuliahan yang telah dilakukan
selama kurang lebih satu bulan terhitung dari pukul 08.00 – 16.00 WIB sejak tanggal 23 Juli 2012 sampai dengan tanggal 10 Agustus 2012 Kegiatan kerja
bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) yang berlokasi di Jl.
Terusan Jakarta No. 50 Antapani Bandung. Penulis telah melakukan berbagai
hal dengan mempelajari sistem kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)
Bandung, kegiatan yang telah dilakukan antara lain :
1. Mencari data dari setiap bidang di Badan Narkotika Nasional Provinsi
untuk memenuhi kebutuhan pembuatan laporan kerja praktek. Badan
Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) melaksanakan tugas, fungsi,
dan wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam wilayah
Provinsi, tugas dari berbagai bidang yang terdapat dalam Badan
Narkotika Nasional Provinsi adalah sebagai berikut :
a) Bagian Tata Usaha terdiri atas :
1) Subbagian Perencanaan : mempunyai tugas melakukan
penyiapan penyusunan rencana program dan anggaran,
bahan bantuan hukum dan kerjasama serta evaluasi dan
28
2) Subbagian Logistik : mempunyai tugas melakukan urusan
tata persuratan, pengelolaan logistik dan urusan rumah
tangga BNNP.
3) Subbagian Administrasi : mempunyai tugas melakukan
urusan kepegawaian, keuangan, kearsipan, dokumentasi
dan hubungan masyarakat.
b) Bidang Pencegahan mempunyai tugas melaksanakan
kebijakan teknis P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah
Provinsi. Bidang Pencegahan terdiri atas :
1) Seksi Desiminasi Informasi : mempunyai tugas
melakukan penyiapan desiminasi informasi P4GN di
bidang pencegahan dalam wilayah Provinsi dan
penyiapan bimbingan teknis desiminasi informasi kepada
Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.
2) Seksi Advokasi : mempunyai tugas melakukan penyiapan
advokasi P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah
Provinsi, dan penyiapan bimbingan teknis advokasi
kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.
c) Bidang Pemberdayaan Masyarakat : mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan teknis. P4GN di bidang
pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi dalam wilayah
Provinsi. Bidang Pemberdayaan Masyarakat terdiri atas :
1) Seksi Peran Serta Masyarakat : mempunyai tugas
melakukan penyiapan peran serta masyarakat P4GN di
wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis peran
serta masyarakat kepada Badan Narkotika Nasional
Kabupaten/ Kota.
2) Seksi Pemberdayaan Alternatif : mempunyai tugas
melakukan penyiapan pemberdayaan alternatif P4GN di
bidang pemberdayaan masyarakat dalam wilayah
Provinsi, dan penyiapan bimbingan teknis advokasi
kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.
d) Bidang Pemberantasan : mempunyai tugas melaksanakan
P4GN di bidang pemberantasan dalam wilayah Provinsi.
Bidang Pemberantasan terdiri atas :
1) Seksi Intelijen : mempunyai tugas melakukan penyiapan
pelaksanaan kegiatan intelijen berbasis teknologi dalam
wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis
kegiatan intelijen berbasis teknologi kepada Badan
Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.
2) Seksi Penyelidikan, Penindakan, dan Pengejaran
mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan
penyidikan, penindakan dan pengejaran dalam rangka
pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,
psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol dalam wilayah
30
interdiksi kepada Badan Narkotika Nasional
Kabupaten/Kota.
3) Seksi Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, dan Aset :
mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan
pengawasan tahanan, barang bukti dan aset dalam
wilayah Provinsi.
2. Membaca dan mempelajari buku tentang bahaya dalam
penyalahgunaan narkotika yang ada di kantor Badan Narkotika
Nasional Provinsi
3. Mencari bahan untuk menambah data – data laporan kerja praktek berupa :
a) Laporan kegiatan Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa
Barat bulan April 2012.
b) Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat.
c) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional tentang Organisasi
dan Tata Kerja (OTK) Badan Narkotika Nasional Provinsi dan
Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.
d) Mempelajari Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
4. Melakukan wawancara dengan staff dan ahli yang berada di bagian
pemberantasan narkotika, diantaranya :
a) Kepala Bidang Pencegahan : Drs. Wuryanto Sugiri
b) Kepala Bidang Pemberantasan : Deni Yus Danial. SIP.MH.
c) Subbagian Perencanaan : Cecep Suherman, S.sos
e) Seksi Penyidikan, Penindakan, dan Pengejaran : Chusnul
Waton, S.sos, S.H
f) Membuat rancangan laporan kerja praktek dengan Pembimbing
Bapak Deni Yus Danial. SIP. MH.
B. Kasus- Kasus
Angka korban penyalahgunaan narkoba menunjukkan adanya
peningkatan, berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) jumlah
pecandu narkoba pada tahun 2010 mencapai 3,6 juta orang dan diperkirakan
akan meningkat pada tahun 2013 menadi 4,5 juta. Berasal dari berbagai
kalangan mulai dari kelas bawah sampai dengan kelas atas yang akan merusak
generasi penerus bangsa di kemudian hari.
Pemerintah telah memberlakukan Undang- undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, dalam Undang – undang ini disebutkan bahwa setiap pengguna narkoba yang setelah vonis pengadilan terbukti tidak mengedarkan
atau memproduksi narkotika, dalam hal ini hanya sebatas pengguna saja, berhak
mengajukan untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi baik secara medis
maupun sosial.
Contoh kasus yang terjadi mengenai narkoba, antara lain :
1. Iptu R
Kamis, 15 Maret 2012 Iptu R yang berprofesi sebagai Polisi terbukti
menggunakan narkoba jenis ekstasi, akan tetapi hanya dikenakan sanksi
disiplin, karena menurut POLRI pada saat dilakukan test urine tidak
32
2. Raka Widyarma
Sabtu, 10 Maret 2012 Raka widyarma terbukti melakukan transaksi jual – beli narkoba melalui media online dengan memesan 5 (lima) buah pil
ekstasi. Menurut hukum yang berlaku Raka dikenakan sanksi sesuai
dengan Undang – undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 112 ayat (2), yang berbunyi :
“Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).”
Pasal 114 ayat (2), yang berbunyi :
“ Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual – beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
Vonis rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika saat ini belum optimal,
Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menganggap hak rehabilitasi
34 BAB IV
REHABILITASI DALAM UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN
A. Penetapan Sanksi Rehabilitasi Dihubungkan dengan Tujuan Pemidanaan
dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika
Kebijakan pidana (Penal Policy) merupakan kebijakan yang rasional, ukuran rasionalitasnya dapat dihubungkan dengan masalah keberhasilan
pidana tersebut dalam mencapai tujuannya yaitu tujuan pemidanaan. Hakim
tidak hanya memberikan pemidanaan kepada terdakwa dalam perkara
pennyalahgunaan narkotika, akan tetapi hakim juga dapat memberi putusan
terhadap terdakwa untuk menjalani pengobatan dan perawatan melalui fasilitas
rehabilitasi.
Putusan Hakim berkaitan dengan rehabilitasi dijatuhkan terhadap
terdakwa yang terbukti mengalami ketergantungan akibat penyalahgunaan
narkotika, keadaan tersebut terungkap dalam persidangan dan hakim
mengetahui betul kondisi terdakwa yang harus mendapatkan perawatan dan
pengobatan untuk direhabilitasi. Rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika
dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan mengembangkan
kemampuan fisik, mental dan sosial penderita.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai
1. Pasal 54 yang berbunyi :
“Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
2. Pasal 55 yang berbunyi :
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
3. Pasal 56 yang berbunyi :
(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit
yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan
rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat
36
4. Pasal 103 yang berbunyi :
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat : a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
5. Pasal 127 yang berbunyi :
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54, 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Menurut Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, ada
2 (dua) macam rehabilitasi :
1. Rehabilitasi Medis : Suatu proses kegiatan pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
Rehabilitasi medis pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit
2. Rehabilitasi Sosial : Suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu
fisik, mental maupun sosial agar pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Penyalahguna narkotika yang telah menjalani proses rehabilitasi dan
sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis, dapat
menjalani rehabilitasi melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Rehabilitasi sosial terhadap bekas pecandu narkotika dapat dilakukan pada
lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan baik oleh Pemerintah, maupun
masyarakat yang ditunjuk langsung oleh Menteri Sosial.
Tindakan rehabilitasi merupakan penanggulangan yang bersifat Represif,
yaitu penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana.
Diharapkan dengan dilakukan upaya-upaya pembinaan dan pengobatan bagi
penyalahguna narkotika, dapat berperilaku lebih baik dalam kehidupan
bermasyarakat.
Majelis Hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi
yang terdekat dalam putusannya15 untuk menjatuhkan lamanya proses
rehabilitasi, Hakim harus bersungguh- sungguh mempertimbangkan kondisi
atau taraf kecanduan terdakwa, sehingga diwajibkan adanya keterangan ahli
sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi.
Kesesuaian sanksi rehabilitasi dalam upaya penanggulangan
penyalahgunaan narkotika dengan tujuan pemidanaan dapat dilihat dari 2 (dua)
aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu :
15
38
1. Aspek Perlindungan Masyarakat : bertujuan mencegah, mengurangi
(mengendalikan tindak pidana), memulihkan keseimbangan
masyarakat.
2. Aspek Perbaikan Si Pelaku : meliputi berbagai tujuan, antara lain
melakukan rehabilitasi, memasyarakatkan kembali si pelaku dan
melindunginya dari perlakuan sewenang- wenang di luar hukum, dlam
hal ini bagi penyalahguna narkotika dilakukan rehabilitasi medis dan
sosial.
Tujuan utama dari pemidanaan adalah penderitaan yang setimpal
terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan untuk masyarakat. Pidana bukan
hanya suatu kebutuhan melainkan bentuk kontrol sosial yang disesalkan,
karena menggunakan penderitaan atas nama tujuan pencapaiannya juga untuk
memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh perbuatan pidana.
1. Sanksi Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dilihat dari Aspek Perlindungan Masyarakat
Upaya penanggulangan pidana berhasil, apabila upaya tersebut sejauh
mungkin dapat mencegah atau menanggulangi kejahatan. Upaya
penanggulangan narkotika terletak pada seberapa jauh efek pencegahan
Sanksi tindakan ditujukan pada prevensi khusus, yaitu melindungi
masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan dan berorientasi
pada ide perlindungan masyarakat.
Penetapan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Perilaku
menyimpang seseorang atau masyarakat ditentukan oleh faktor-faktor fisik
geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan, karena itu
setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi
pelaku.
Tujuan utama pemidanaan ada 3 (tiga), yaitu :
a) Tujuan Preventif : bertujuan melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat
(incapacitation).
b) Tujuan Deterrence : untuk menimbulkan rasa takut untuk melakukan kejahatan, tujuan ini dibedakan dalam 3 (tiga) bagian,
yaitu :
1) Tujuan yang bersifat individual : dimaksudkan agar pelaku
tidak mengulangi kembali kejahatan yang telah
diperbuatnya.
2) Tujuan yang bersifat publik : dimaksudkan agar anggota
masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan.
3) Tujuan yang bersifat jangka panjang (long term deterrence)
: dimaksudkan agar dapat menjaga keseimbangan sikap
40
Pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan
oleh Hakim dibandingkan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Faktor yang
menyebabkan meningkat dan menurunnya penyalahguna narkotika digunakan
sebagai ukuran untuk menentukan penetapan sanksi rehabilitasi maka
berdasarkan hal tersebut sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Mengetahui apakah penetapan sanksi rehabilitasi dalam upaya
penanggulangan penyalahgunaan narkotika sudah sesuai dengan tujuan
pemidanaan tidaklah mudah, karena keefektifan hukum pidana harus dilihat
dari keseluruhan konteks kulturalnya, adanya saling pengaruh antara hukum
dengan faktor-faktor lainnya hal inilah yang sangat sulit untuk melakukan
evaluasi terhadap efektifitas dari general deterrence, karena awal pencegahan
(deterrence) itu tidak diketahui hubungan yang sebenarnya antara sebab dan akibat.
Indikator meningkat dan menurunnya penyalahgunaan narkotika tidak
dapat begitu saja digunakan sebagai ukuran untuk menentukan penetapan
sanksi rehabilitasi dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika
dan sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan. Terdapat aspek perlindungan
masyarakat yaitu pemidanaan bertujuan untuk memulihkan keseimbangan
masyarakat.
Penetapan rehabilitasi dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan
narkotika tidak dapat diukur dengan indikator meningkat dan menurunnya suatu