KAPANG
Trichoderma reesei
SEBAGAI PENDEGRADASI
POLISAKARIDA MANNAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PENAMPILAN AYAM PEDAGING
ACHMAD JAELANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENINGKATAN KUALITAS BUNGKIL INTI SAWIT OLEH
KAPANG
Trichoderma reesei
SEBAGAI PENDEGRADASI
POLISAKARIDA MANNAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PENAMPILAN AYAM PEDAGING
ACHMAD JAELANI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya
dengan judul: Peningkatan Kualitas Bungkil Inti Sawit oleh Kapang
Trichoderma reesei
sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan
Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging adalah benar-benar asli
karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau
tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun
Bogor, Agustus 2007
ACHMAD JAELANI. Peningkatan Kualitas Bungkil Inti Sawit oleh Kapang Trichoderma reesei sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging. Dibimbing oleh WIRANDA GENTINI PILIANG, SURYAHADI dan IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO.
Bungkil inti sawit (BIS) merupakan By product dari pengolahan Crude Palm Oil (CPO) yang proses produksinya dapat melalui expeller extractionatau chemical extraction. Perbedaan pengolahan inilah yang menyebabkan kualitas BIS bervariasi baik kandungan nutrisi maupun sifat fisik bahan tersebut. Pada proses pengolahan bahan pakan, diperlukan kualitas yang keragamannya rendah karena akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengolahannya. Dengan hal tersebut perlu dilakukan pengujian terhadap keragaman BIS baik dari segi fisik maupun kandungan nutrisinya dengan mengambil sampel dari beberapa pabrik yang memproduksi BIS.
Sifat fisik bahan sangat diperlukan untuk menerapkan teknologi pengolahan lanjutan yang tepat agar kualitas bahan dapat ditingkatkan. Uji sifat fisik yang umum dilakukan pada bahan pakan yakni : uji berat jenis (BJ), kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang, kehalusan bahan dan faktor higroskopis. Uji ini sering dilakukan pada industri pakan ternak, karena berhubungan dengan proses penggilingan, pencampuran, dan pembuatan pellet.
Rancangan acak lengkap digunakan pada penelitian Tahap I ini, dengan sampel 3 sumber produksi BIS (Lampung, Langkat, dan Banten) sebagai perlakuan. Data dianalisis keragaman (anova), dan koefisien keragamannya. Dari semua sifat fisik diklasifikasikan berdasarkan koefisien keragamannya.
Sifat fisik BIS yang memiliki koefisien keragaman yang tinggi (diatas 10%) adalah sudut tumpukan yakni mencapai 12.79%. Sifat fisik BJ dan diameter bahan memiliki koefisien variasi berkisar antara 5-10%, dan sifat fisik yang memiliki koefisien keragaman di bawah 5% yakni daya ambang, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan tingkat kehalusan.
Sifat fisik umumnya jadi pertimbangan kedua setelah kandungan nutrisi. Kandungan nutrisi BIS yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari proses produksi BIS di Lampung, dengan kandungan protein kasar 16.5%, lemak kasar 5.65%, serat kasar 24.22% dan energi bruto 3,543 Kkal/kg.
Pengolahan yang sering digunakan pada bahan pakan ternak adalah pemanfaatan mikroorganisma kapang. Dalam proses fermentasi harus diketahui kemampuan kapang tersebut dalam mendegradasi suatu bahan pakan. Trichoderma reesei merupakan salah satu kapang yang mampu mendegradasi komponen polisakarida mannan yang banyak terdapat pada BIS. Sebelum kapang digunakan, diuji karakteristik pertumbuhannya yang meliputi jumlah optimum koloni, diameter koloni, pengamatan visual kemampuan perkembangan hifa disamping faktor-faktor lingkungan lain seperti pH dan temperatur media.
NO3- serta penggunaan asam amino sebagai sumber karbon. Perubahan pH juga disebabkan terbentuknya asam-asam organic selama proses fermentasi berlangsung seperti asam asetat, asam laktat dan CO2. Setelah waktu tersebut terjadi kenaikan pH sampai akhir fermentasi , namun pH akhir fermentasi di bawah pH awal.
Kapang Trichoderma reesei pada 24 jam pertama sudah terlihat hifa berwarna putih dan mampu tumbuh secara cepat, hingga dicapai pertumbuhan optimum pada 60 jam umur pertumbuhan dengan jumlah koloni 2.13 x 106 CFU/cc.
Pengujian optimalisasi fermentasi dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor yang diukur meliputi 3 perlakuan dosis kapang(104, 105, dan 106 CFU/cc) dan 3 perlakuan ketebalan media (1, 2, dan 3 cm). Data dianalisis dengan menggunakan anova dan jika menunjukan perbedaan yang nyta dilanjutkan dengan uji jarak Berganda Duncan menggunakan program SAS ver. 6.12. Fermentasi optimum BIS oleh kapang Trichoderma reesei dibutuhkan dosis kapang 2.13 x106 CFU/cc untuk setiap 100 gram media, dengan ketebalan media 2 cm. Dosis kapang dan ketebalan media tersebut maka diperoleh produk fermentasi yang lebih baik dari BIS sebelum difermentasi. Terjadi peningkatan protein kasar, ADF dan NDF, namun terjadi penurunan kandungan hemiselulosa. Aktifitas kapang pada waktu fermentasi cenderung terjadi pembentukan selulosa daripada hemiselulosa, karena hemiselulosa bersifat lebih mudah terlarut daripada selulosa sehingga aktifitas penguraian hemiselulosa lebih tinggi dari selulosa.
Penelitian Tahap III tentang degradasi polisakarida mannan BIS oleh kapang Trichoderma reesei, dapat diketahui dengan mengukur perubahan nutrisi yang erat kaitannya dengan degradasi mannan seperti retensi nitrogen, energi metabolisme sejati, total gula, kandungan mannan, dan kecernaan mannan. Data dianalisis dengan menggunakan uji t. Disini dibandingkan antara BIS dengan Bungkil inti sawit fermentasi (BISF).
Proses fermentasi BIS menyebabkan terjadinya penurunan polisakarida mannan sekitar 45.85%. Hal ini disebakan kapang Trichoderma reesei yang mampu mendegradasi mannan dengan menghasilkan enzim β-mannanase. Proses fermentasi mampu meningkatkan kecernaan mannan pada ayam pedaging. BISF memiliki kecernaan mannan yang lebih baik dibanding BIS. Kecernaan mannan BIS pada ayam pedaging mencapai 8.33% sedangkan kecernaan mannan pada BISF mencapai 30.68%.
Terjadi peningkatan energi metabolisme sejati disebabkan perombakan komponen serat yang masuk kategori polisakarida bukan pati menjadi komponen olisakarida dan komponen sederhana lain. Hal ini terbukti dengan peningkatan nilai total gula pada BISF dibandingkan nilai total gula pada BIS. Kandungan total gula pada BIS mencapai 5,196.27 ppm, sedangkan pada BISF mencapai 10,178.25 ppm. Kandungan total gula menunjukan apakah degradasi polisakarida mannan sudah berjalan dengan baik atau tidak. Kandungan retensi nitrogen pada BISF terjadi penurunan. Hal ini diduga ada keterkaitan dengan tingginya kadar serat kasar. Semakin tinggi serat kasar akan menurunkan kecernaan nitrogen.
ACHMAD JAELANI. Improving the quality of Palm Kernel Cake by Fungi Trichoderma reesei that Degrades Mannan Polysaccharides and Its Effects on Broiler Chicken Performances. Under the supervisions of WIRANDA GENTINI PILIANG, SURYAHADI, and IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO.
Palm kernel cake (PKC) is defined as what is left after oil extraction from the palm nuts. The use of PKC in poultry diet is very limited. Due to its high fiber content, PKC has caused some nutritional problems such as mannan polysaccharides and its digestability. An effort to hydrolyze mannan polysaccharides
by fungi Trichoderma reesei, was conducted as to improve the PKC quality. The
objective of this study was to find the capability of Trichoderma reesei to degrade
mannan polysaccharides in PKC.
This research consisted of four steps. The first step was to study the physical characteristics and to analyze the nutrient contents of PKC from different locations (Lampung, Langkat and Banten). The second step was to study the fermentation proccess. The third step of the research was to study the degradability
of mannan polysaccharides from PKC with Trichoderma reesei by analyzing the
true metabolizable energy (TME), total sugar, nitrogen retention, the mannan contents, and the digestability of mannan. The fourth step was to study the broiler performances fed either fermented or unfermented PKC at different levels in the diet (0, 10, 15 and 20%). A total of 350 day old chicks were randomly allotted to seven dietary treatments. All diets were formulated to be isonitrogenous (22% CP) and isocaloric (3 000 Kkal/kg). Data were analyzed by analysis of variance and followed by the Orthogonal Contrast Test if the treatments were significant.
The result from the first step indicated that the best physical characteristics and nutrient contents of PKC was obtained from Lampung with specific gravity 1.390 g/ml, bulk density 0.582 g/ml, angle of repose 29.98°, diameter of material particles 0.285 cm, floating rate 0.594 m/sec, 16.5% crude protein, 22.4% crude fiber. Angle of repose has the highest coefficient of variation (12.79%).
The second step of this research showed that the thickness of the media
(2 cm) with colony 2.13 x 106 CFU/cc gave the best content of crude protein, ADF,
NDF and hemicellulose, indicating the best fermentation procedure.
The third step showed that the TME, total sugar, and the digestibility of mannan increased, while the retention of the nitrogen and the mannan content
decreased. These results indicating that Trichoderma reesei could improve the
PKC quality.
The fourth step of the research indicated that the broiler performances (final live body weight, average daily gain, feed consumption, and dressing weight percentage) fed the fermented PKC were higher than that of the unfermented PKC. The level of the unfermented PKC in the diet (15%) decreased the broiler performances, while the fermented PKC in the diet gave the significantly lower than
that of the control. It was concluded that Trichoderma reesei had the capability to
degrade mannan polysaccharides from PKC and improve the nutrient content of the PKC.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
Trichoderma reesei sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging
N a m a : Achmad Jaelani
NIM : D016010071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, MSc. Ketua
Dr. Ir. H. Suryahadi, DEA Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu Hidayati S., MS. Anggota Anggota
Diketahui,
Koordinator Mayor INP Dekan Sekolah Pascasarjana Ketua,
Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Komang Gde Wiryawan, MSc.
Penguji pada Ujian terbuka : 1. Dr. Ir. Pius Ketaren, MSc.
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 7 Januari 1967 sebagai anak ke-dua dari empat bersaudara, pasangan H. Saripudin (almarhum) dan Hj. Djuariah. Pendidikan SD Brawijaya I diselesaikan Tahun 1980, SMP Negeri 2 Tahun 1983 dan SMA Negeri 1 Tahun 1986 (yang semuanya berada) di Sukabumi. Tahun 1988 penulis menyelesaikan Diploma 2 pada Teknisi Usaha Ternak Unggas (TUTU) Fakultas Politeknik Pertanian Institut Pertanian Bogor, kemudian melanjutkan pada Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung dan lulus Tahun 1993.
Tahun 1993 penulis diterima sebagai staf pengajar Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Tahun 1994 penulis bertugas di Kopertis Wilayah XI Kalimantan Dpk. Fakultas Pertanian, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjary di Banjarmasin. Penulis juga pernah menjadi dosen luar biasa (DLB) pada Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan, Universitas Bung Karno (UBK) Tahun 2002-2006 (Kopertis Wilayah III DKI Jakarta) di Jakarta
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penyusunan disertasi, dengan judul Peningkatan Kualitas Bungkil Inti Sawit oleh Kapang Trichoderma reesei Sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging.
Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof.Dr.Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc., sebagai ketua komisi pembimbing, Dr.Ir. Suryahadi, DEA, dan Prof.Dr.Ir. Iman Rahayu Hidayati Soesanto, MS., masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, fikiran dan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan dalam proses pembimbingan selama penulis menempuh pendidikan S3.
Ucapan terima kasih penulis, disampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan, Rektor Universitas Islam Kalimantan dan Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Pemerintah Daerah Propinsi TK I Kalimantan Selatan dan pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan belajar dan bantuan biaya pendidikan dan penelitian kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai, Ketua Program Studi Ilmu Ternak (PTK) beserta staf dan pegawai, atas kelancaran administrasi, serta kepada semua pihak yang telah terlibat dalam membantu penyelesaian studi.
Penghargaan penulis disampaikan kepada Ibu Yani dan Bapak Rahmat yang dengan sabar membantu penelitian di Laboratorium Mikrobiologi, Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si dan Dr. Ir. Nevi Diana Hanafi, M.Si serta Ir. Yatno, M.Si yang berbagi suka dan duka serta selalu memberikan motivasi selama proses penelitian.
Rasa haru dan terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga atas bantuan dan dukungan moril maupun materil kepada penulis, serta kepada istri tercinta Early Yolanda dan ananda tersayang Nasywa As Salamiyah dan Itqan Athaya Al Khalily, guru kami tercinta Maulana Syeikh H. Muhammad Ma’mun dan Syeikh H. Asy’ari Al Hakim, Umi Mariah, Hj. Elida Hanum, Erwinda Eri Purnama, H. Abubakar Siddik (alm), keluarga besar H. Saripudin (alm) dan Hj. Juariah atas segala do’a, pengertian, kesabaran, dorongan, semangat dan kasih sayang yang diberikan selama mendampingi penulis dalam menyelesaikan pendidikan S3.
Akhirnya, semoga disertasi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan khususnya dalam bidang peternakan.
Bogor, Agustus 2007.
Halaman
DAFTAR TABEL ……….. ii
DAFTAR GAMBAR ……….. iii
DAFTAR LAMPIRAN ……… iv
PENDAHULUAN ……….. 1
Latar Belakang ………. 1
Tujuan Penelitian ………. 3
Hipotesis ……….……….. 3
Manfaat Penelitian ……….. 3
Kerangka Penelitian ……… 3
TINJAUAN PUSTAKA ……….…………. 8
Produksi dan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit ……… 8
Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS ……… 9
Polisakarida Mannan Pada BIS ……… .………… 12
Mikroba Pendegradasi Polisakarida Mannan ……… 15
Kapang Trichoderma reesei ………. 16
Pemanfaatan BIS sebagai Pakan Ternak …..……..……. 19
Upaya Meningkatkan Nilai Nutrisi BIS ……….. ....… 20
Energi Metabolisme ……….. 21
Retensi Nitrogen ………. 23
Penampilan Ayam Pedaging ………. 24
Pertambahan Bobot Badan ……….. 26
Bobot Karkas ……… 26
Konsumsi Ransum ………..……… 26
Konversi Ransum ……….………. 27
Mortalitas ………. 27
Indeks Prestasi (IP) dan Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) ……… 28
Perkembangan Penelitian tentang Polisakarida Mannan dan BIS ………. 28
BAHAN DAN METODE ………. 32
Penelitian Tahap I : Uji Keragaman Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS ……… 32
Penelitian Tahap II : Optimalisasi Proses Fermentasi BIS oleh Kapang Trichoderma reesei … 36
Penelitian Tahap III : Degradasi Polisakarida Mannan BIS oleh Kapang Trichoderma reesei … 41
Penelitian Tahap IV : Pengaruh Tingkat BIS dan BISF dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Pedaging ……… 45
HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 51
A. Keragaman Sifat Fisik BIS………. 51
1. Berat Jenis (BJ) ………. … 51
2. Kerapatan Tumpukan ………. 52
3. Kerapatan Pemadatan Tumpukan ………... 52
4. Daya Ambang ……….. 53
5. Sudut Tumpukan ……… 53
6. Tingkat Kehalusan dan Diameter Bahan ……….. 53
7. Koefisien Keragaman BIS ………..………… 54
B. Kandungan Nutrisi BIS ……….. 55
Penelitian Tahap II : Optimalisasi Proses Fermentasi BIS oleh Kapang Trichoderma reesei ………… 56
A. Karakteristik Pertumbuhan kapang Trichoderma reesei … 56 1. Jumlah Koloni Kapang ………. 57
2. Diameter dan Persentase Perubahan Diameter Koloni Kapang ……… 59
B. Pengaruh Konsentrasi kapang Trichoderma reesei dan Ketebalan Media BIS terhadap Hasil Fermentasi ……... 60
1. Perubahan pH Media Selama Fermentasi ……… 61
2. Perubahan Suhu Media Selama Fermentasi …... 63
3. Kandungan Bahan Kering dan Penyusutannya Selama Fermentasi ……….... 65
4. Kandungan Protein Kasar ……… ……….. 67
5. Kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF) …….. 68
6. Kandungan Acid Detergent Fiber (ADF) …….….. 69
7. Kandungan Hemiselulosa ……… 70
8. Penampilan Secara Visual Media BIS Selama Fermentasi ……… 71
Penelitian Tahap III : Degradasi Polisakarida Mannan BIS oleh Kapang Trichoderma reesei …………. 73
1. Total Gula Terlarut ………. 73
2. Kandungan Mannan pada BIS dan BISF …………. 74
3. Kecernaan Mannan ……….. 75
4. Energi Metabolisme Sejati ………. 77
5. Retensi Nitrogen Semu ………..… 78
Penelitian Tahap IV : Pengaruh Tingkat BIS dan BISF dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Pedaging ……….. 79
1. Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan .. 79
2. Konsumsi dan Konversi Ransum ……… 82
3. Persentase Bobot Karkas ……… 85
4. Mortalitas ……… 87
5. Indeks Prestasi ………. 88
6. Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) ……… 89
PEMBAHASAN UMUM ……….……… 91
SIMPULAN DAN SARAN ……….……… 96
DAFTAR PUSTAKA ……….. 98
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Luas areal perkebunan dan produksi minyak sawit dan
minyak inti sawit di Indonesia tahun 1990-2005 ………. 8
Tabel 2 Kandungan nutrisi BIS ………….. ………...……. 10
Tabel 3 Komposisi asam amino BIS ………. ……….……… 11
Tabel 4 Persentase (%) komponen gula netral pada BIS ……. 12
Tabel 5 Mikroba pendegradasi polisakarida mannan ………. 16
Tabel 6 Kandungan nutrisi pada beberapa bahan pakan berikut enzim yang efektifnya ……… 21
Tabel 7 Perkembangan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum ayam pedaging ……… 25
Tabel 8 Perkembangan penelitian pemanfaatan mikroba dan enzim dalam mendegradasi polisakarida mannan ……….…… 29
Tabel 9 Perkembangan penelitian pemanfaatan bungkil inti sawit pada ternak ……….………. 30
Tabel 10 Susunan ransum penelitian ……….……….. 47
Tabel 11 Kandungan nutrisi ransum perlakuan …….………. 47
Tabel 12 Hasil uji kualitas sifat fisik BIS dari beberapa sumber produksi ………... 51
Tabel 13 Koefisien keragaman (%) beberapa sifat fisik BIS ……… 54
Tabel 14 Hasil analisis proksimat BIS dari beberapa proses produksi BIS ……… 55
Tabel 15 Jumlah dan diameter koloni kapang Trichoderma reesei selama pertumbuhan ………..……….. 57
Tabel 16 Perbandingan kandungan nutrisi BIS dan BISF………….. 61
Tabel 17 Rataan perubahan pH media BIS selama fermentasi oleh Kapang Trichoderma reesei ……….…… 61
Tabel 19 Rataan persentase bahan kering BISF (%) pada tebal
media dan konsentrasi kapang yang berbeda …………... 65
Tabel 20 Rataan penyusutan bahan kering (g) BISF pada ketebalan
media dan konsentrasi kapang yang berbeda …………... 66
Tabel 21 Rataan kandungan protein kasar (%) BISF pada ketebalan
media dan konsentrasi kapang yang berbeda …………. 67
Tabel 22 Rataan kandungan NDF (%) BISF pada ketebalan media dan konsentrasi kapang yang berbeda ………. 68
Tabel 23 Rataan kandungan ADF (%) BISF pada ketebalan media dan konsentrasi kapang yang berbeda ………. 69
Tabel 24 Rataan kandungan hemiselulosa (%) BISF pada ketebalan media dan konsentrasi kapang yang berbeda ………. 70
Tabel 25 Tampilan makroskopis kapang Trichoderma reesei pada media bungkil inti sawit selama fermentasi ……… 71
Tabel 26 Kandungan total gula terlarut pada BIS dan BISF ……… 74
Tabel 27 Kandungan mannan pada sampel bahan BIS dan BISF serta pada feses ……….. ……. 75
Tabel 28 Degradasi dan kecernaan mannan pada BIS dan BISF… 76
Tabel 29 Nilai rataan beberapa peubah dalam pengukuran energi
Metabolisme ……… 77
Tabel 30 Nilai rataan beberapa peubah dalam pengukuran retensi nitrogen ………..…. 78
Tabel 31 Rataan bobot badan akhir (g) dan pertambahan bobot badan (g) ayam pedaging selama pemeliharaan 7- 42 hari 80
Tabel 32 Rataan konsumsi (g) dan konversi ransum ayam pedaging selama pemeliharaan 7-42 hari ………. 82
Tabel 33 Rataan bobot karkas (g) dan persentase bobot karkas (%) ayam pedaging umur pemeliharaan 7-42 hari ..………. 85
Tabel 34 Mortalitas (%) ayam pedaging umur pemeliharaan 7-42 hari 87
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian ……… 4
Gambar 2 Skema seluruh tahapan penelitian ………. 5
Gambar 3 Persentase (%) bagian-bagian kelapa sawit berikut hasil
ikutannya………..…………... 9
Gambar 4 Klasifikasi polisakarida non pati ………. …….. 13
Gambar 5 Struktur kimia polisakarida mannan ………... 14
Gambar 6 Finger print hasil analisis polisakarida mannan, glukomannan dan galaktomannan dinding sel Arabidopsis thaliana dengan karbohidrat gel-elektroforesis (PACE) ………..……… 14
Gambar 7 Perbandingan mannan yang belum terdegradasi dengan mannan yang terdegradasi melalui pengamatan dengan
transmission electron microscopy (TEM) Philips CM 200 CRYO ……… 17
Gambar 8 Rantai jalur metabolisme fruktosa dan mannosa ...……… 18
Gambar 9 Skema fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei .. 40
Gambar 10 Biakan kapang Trichoderma reesei FNCC 6041 ………… 57
Gambar 11 Kurva pertumbuhan jumlah koloni kapang Trichoderma reesei ……… 58
Gambar 12 Kurva pertumbuhan diameter koloni kapang Trichoderma reesei ……… 59
Gambar 13 Kurva persentase perubahan diameter koloni kapang
Trichoderma reesei ………. 60
Gambar 14 Kuva perubahan pH media selama fermentasi oleh kapang Trichoderma reesei ………. 62
Gambar 15 Kuva perubahan suhu media selama fermentasi oleh Kapang Trichoderma reesei ………. 64
Gambar 16 Penampilan mikroskopis bungkil inti sawit fermentasi yang
Berasal dari sumber produksi di Lampung menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dengan pembesaran 1000 kali ……….. 73
Gambar 18 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap pertambahan bobot badan ayam pedaging 81
Gambar 19 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap konsumsi ransum ayam pedaging ……….. 84
Gambar 20 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap persentase bobot karkas ayam pedaging …. 86
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Analisis varian dan uji Duncan berat jenis bungkil inti sawit 108
Lampiran 2 Analisis varian dan uji Duncan kerapatan tumpukan bungkil inti sawit ……….. 108
Lampiran 3 Analisis varian dan uji Duncan kerapatan pemadatan tumpukan bungkil inti sawit ………. 109
Lampiran 4 Analisis varian dan uji Duncan sudut tumpukan (SDT) bungkil inti sawit ……… 109
Lampiran 5 Analisis varian dan uji Duncan daya ambang bungkil inti Sawit ……….. 110
Lampiran 6 Analisis varian dan uji Duncan modulus of fineness (MF) bungkil inti sawit ……….… 110
Lampiran 7 Analisis varian dan uji Duncan rataan diameter (cm) bungkil inti sawit ………. 111
Lampiran 8 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan bahan kering media ……….. 111
Lampiran 9 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap penyusutan bahan kering media ……….. 112
Lampiran 10 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan Protein Kasar media ………. 113
Lampiran 11 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan NDF media ………. 115
Lampiran 12 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan ADF media ………. 116
Lampiran 13 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan hemiselulosa media ………. 117
Lampiran 14 Grafik kandungan mannan pada BIS ………..…… 119
Lampiran 15 Grafik kandungan mannan pada BISF……… 120
Lampiran 16 Grafik kandungan mannan pada feses ayam pedaging yang diberi BIS ……… 121
Lampiran 18 Nilai absorban yang terukur pada penentuan kurva standar gula ………. 123
Lampiran 19 Data deskriptif tentang DOC yang digunakan dalam penelitian ……….... ….. 123
Lampiran 20 Pembandingan orthogonal yang digunakan dalam Penelitian ……… 123
Lampiran 21 Analisis varian dan uji kontras orthogonal konsumsi ransum ayam pedaging ………. 124
Lampiran 22 Analisis varian dan uji kontras orthogonal pertambahan bobot badan ayam pedaging ….………. 125
Lampiran 23 Analisis varian dan uji kontras orthogonal bobot akhir ayam pedaging ………. 125
Lampiran 24 Analisis varian dan uji kontras orthogonal konversi ransum ayam pedaging ……….. 126
Lampiran 25 Analisis varian dan uji kontras orthogonal mortalitas ayam pedaging ………. 127
Lampiran 26 Analisis varian dan uji kontras orthogonal persentase karkas ayam pedaging ………. 128
Lampiran 27 Rataan IOFCC (Rp) ayam pedaging umur 7-42 hari … 129
Latar Belakang
Indonesia, Malaysia, dan Nigeria merupakan 3 negara di dunia yang
memproduksi sekitar 84% minyak kelapa sawit dunia. Indonesia merupakan
negara kedua terbesar setelah Malaysia dalam menghasilkan kelapa sawit. Luas
areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 5 000 000
hektar dengan total produksi crude palm oil (CPO) sekitar 14 500 000 ton (LRPI,
2006).
Disamping produk utama, terdapat beberapa produk ikutan yang
dihasilkan. Menurut Sindu (1999), rata-rata hasil ikutan tersebut adalah bungkil
inti sawit sekitar 0.3–0.6 ton, serat buah sekitar 1.5–3.5 ton dan lumpur minyak
sawit sekitar 3–6 ton/ha tanaman/tahun. Bungkil inti sawit (palm kernel cake)
merupakan hasil ikutan pada proses pemisahan minyak inti sawit yang diperoleh
secara kimiawi (chemical extraction) atau dengan proses fisik (expeller extraction). Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar protein lebih rendah bila dibandingkan dengan bungkil kedele dan bungkil kacang tanah yaitu sekitar
15.73–17.19% (Chong et al. 1998).
Pemberian BIS pada ternak belum optimal karena beberapa kendala
diantaranya palatabilitasnya rendah, bersifat gritty, defisiensi asam amino
methionin, triptophan, sistin dan mineral Zn, Se serta daya cerna yang rendah
akibat tingginya kandungan serat kasar yaitu 12.47–16.09% (Chong et al. 1998).
Komponen mannan pada BIS merupakan komponen polisakarida yang
berbentuk linier. Formasi linier mannan berbentuk kristal yang cukup tinggi dan
ikatan β-(1,4) yang sulit didegradasi, karenanya pendegradasi mannan harus
secara total mampu memecah ikatan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Daud dan Jarvis (1992), jumlah persentase
gula sederhana dari total dinding sel BIS yang dideteksi dengan HPLC diperoleh
mannosa sebanyak 56.4% , selulosa 12% dan xylan 4%. Polisakarida mannan
dan selulosa merupakan 95% dari total polisakarida bungkil inti sawit.
Purwadaria (2002) menyatakan bahwa pada bahan pakan bungkil kelapa
sawit, kandungan mannan dan galaktomannan merupakan yang terbesar.
Mannan merupakan polisakarida yang penyerapannya terbatas pada
unggas khususnya ayam pedaging. Agar pemanfaatan BIS sebagai pakan ayam
pedaging optimal, maka polisakarida mannan harus didegradasi menjadi
monosakarida yang mudah dicerna dan diserap. Salah satu caranya adalah
melalui hidrolisa mannan BIS dengan menggunakan mikroba yang benar-benar
mampu mendegradasi polisakarida mannan.
Pemilihan mikroba pendegradasi polisakarida mannan harus didasarkan
pada beberapa ketentuan diantaranya tidak toksik, mudah dalam aplikasi, biaya
murah, dan produksinya cukup baik. Dari beberapa ketentuan tadi, pemilihan
kapang merupakan hal yang tepat karena telah memenuhi ketentuan tadi.
Mikroba pendegradasi polisakarida mannan telah diteliti oleh Coulombel
et al. (1981) dengan menggunakan Streptomyces olivochromogenes yang ditumbuhkan pada media yang mengandung galaktomannan. Enzim yang
dihasilkan mampu menghidrolisa mannan pada kopra menjadi manno
oligosakarida, mannobiosa dan mannosa. Glenn dan Roger (1988) mengisolasi
mutan asporogenous kapang Aspergillus niger yang mampu menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi mannan (mannanase, selulase dan
β-glukosidase).
Dengan dihidrolisanya polisakarida mannan menjadi beberapa
oligosakarida dan monosakarida yang mudah dicerna/diserap tubuh. Hal ini
menunjukkan terjadinya peningkatan nilai nutrisi baik dari segi kecernaan
nutrisinya (kualitasnya), maupun peningkatan dari segi kuantitasnya.
Penggunaan BIS pada pakan ayam pedaging masih sedikit dan
umumnya tanpa pengolahan sebelumnya. Maksud pengolahan pakan adalah
untuk meningkatkan kualitas pakan menjadi lebih baik, sehingga penggunaannya
bisa lebih banyak. Fermentasi BIS dengan maksud mengurangi keberadaan
polisakarida mannan menggunakan kapang Trichoderma reesei belum banyak
dilakukan, karena biasanya kapang ini lebih diarahkan sebagai pendegradasi
selulosa. Dengan hal tersebut ingin dilihat bagaimana produk BIS fermentasi
(BISF) ini digunakan sebagai pakan ayam pedaging, apakah dapat memperbaiki
penampilannya atau tidak berbeda jauh dengan penampilan ayam pedaging
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui sifat fisik dan keragamannya serta kandungan nutrisi bungkil inti
sawit
2. Optimalisasi proses fermentasi bungkil inti sawit oleh kapang Trichoderma
reesei
3. Mempelajari kemampuan kapang Trichoderma reesei dalam mendegradasi
polisakarida mannan
4. Mempelajari penampilan ayam pedaging yang diberi bungkil inti sawit maupun
bungkil inti sawit fermentasi dalam ransum.
Hipotesis
Berdasarkan uraian tersebut di atas diajukan hipotesis hasil fermentasi
bungkil inti sawit akan optimum dengan memperhatikan karakteristik sifat fisik
dan kandungan nutrisi media fermentasi BIS, kemampuan kapang yang
digunakan sesuai tujuan untuk mendegradasi polisakarida mannan sehingga
mampu meningkatkan nilai nutrisi BIS dan produk hasil degradasinya jika
digunakan sebagai ransum, akan berpengaruh positif terhadap penampilan ayam
pedaging.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini berguna dalam meningkatkan pemanfaatan by product
dari minyak kelapa sawit menjadi pakan ternak unggas, sehingga dapat
meningkatkan alternatif penggunaan bahan pakan lokal. Selain itu diharapkan
dapat menjadi salah satu alternatif pengolahan pakan guna menurunkan
keberadaan polisakarida mannan, menjadi bentuk yang lebih mudah dicerna
pada ransum ayam pedaging. Manfaat lain yang dapat diraih adalah penerapan
hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan untuk komoditi limbah perkebunan lain
yang tinggi mannannya.
Kerangka Pemikiran
Pemanfatan BIS bagi ternak unggas masih terbatas karena berbagai
kendala diantaranya kualitas BIS dari berbagai tempat produksi sangat beragam
tergantung proses produksinya. Keragaman ini akan menyulitkan dalam
penyusunan ransum. Untuk mengatasi hal ini perlu mempelajari karakteristik BIS
sehingga apabila dilakukan pengolahan lanjutan, produk yang dihasilkan akan
yang sulit didegradasi. Pemilihan mikroba dalam proses pengolahan (fermentasi)
dan optimalisasi proses fermentasinya, akan diperoleh hasil sesuai tujuan yang
diharapkan. Trichoderma reesei merupakan salah satu kapang yang mampu-
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran
Permasalahan :
•
Pemanfaatan TIDAK optimal•
Tinggi polisakarida mannan 1)
•
Palatabilitas rendah•
Bersifat gritty•
Tinggi serat kasar 12.47-16.09%•
def. Met, tryp, Zn, SeUPAYA
MENGATASI ?
SIFAT FISIK
KAND. NUTRISI
PENELAAHAN
KARAKTERISTIK BIS
PENGOLAHAN LANJUTAN (FERMENTASI)
PEMILIHAN MIKROBA
KAPANG
TRICHODERMA
REESEI
KARAKTERISTIK :
•
PERTUMBUHAN•
OPTIMALISASI FERMENTASI DOSIS DAN KETEBALAN MEDIA PENDEGRADASIMANNAN
KUALITAS NUTRISI HASIL FERMENTASI
INVITRO RANSUM PENAMPILAN AYAM PEDAGING
BUNGKIL INTI
SAWIT
mendegradasi polisakarida mannan, sehingga diharapkan terjadi peningkatan
kualitas nutrisi BIS. Kualitas hasil degradasi BIS ini selain dilihat secara invivo,
perlu diamati juga secara biologis pada ternak unggas, agar hasilnya lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
TAHAP I Bungkil Inti Sawit
Sumber Produksi
Lampung (A) Langkat (B) Banten (B)
3 3 3 3 3 3 3 3 3
Sifat Fisik Koefisien Keragaman Kandungan Nutrisi Berat Jenis KV tinggi > 10% Protein kasar Kerapatan tumpukan KV sedang 5-<10% Serat kasar Kerapatan pemadatan KV rendah < 5% Lemak kasar
tumpukan Energi bruto
Sudut Tumpukan
Daya ambang Diameter bahan Kehalusan bahan
BIS Terpilih
TAHAP II
BIS Trichoderma reesei
• Karakteristik Pertumbuhan
• Umur fermentasi
• Jumlah koloni
Optimalisasi Fermentasi
Tebal Media (cm) Konsentrasi Kapang 1 2 3 2.13 x 104 CFU/cc
2.13 x 105 CFU/cc
2.13 x 106 CFU/cc
Fermentasi
Proses fermentasi Kualitas produk
- Perubahan Suhu - ADF
- Perubahan pH - NDF
- Penampilan visual - Hemiselulosa - Protein kasar - Bahan kering - Penyusutan BK
Kualitas Fermentasi Terbaik
TAHAP III
Perbanyakan Hasil Fermentasi
Optimum
Pengujian Kualitas Hasil Degradasi Mannan
Secara Invivo
TAHAP IV
Perbanyakan Hasil Fermentasi Optimum
Pengujian kualitas Hasil fermentasi
Secara invitro
Ransum
BIS BISF Kontrol
10% 15% 20% 10% 15% 20% 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
Penampilan ayam pedaging
Bobot badan Pertambahan Konsumsi Konversi Mortalitas Indeks IOFCC Akhir Bobot badan Ransum Ransum Prestasi
Produksi dan Komposisi Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat yang
mempunyai iklim tropis. Tanaman ini mula-mula dikembangkan oleh perusahaan
besar seperti perkebunan negara dan swasta asing, kemudian diikuti perusahaan
swasta nasional dan rakyat. Adapun luas areal perkebunan kelapa sawit sampai
proyeksi tahun 2005 diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas areal perkebunan, produksi minyak sawit dan minyak inti sawit di Indonesia Tahun 1990-2005
Tahun Luas areal (ha)
Produksi minyak sawit (ton/tahun)
Produksi minyak inti sawit (ton/tahun)
1990 1 126 677 2 412 612 503 803
1991 1 310 996 2 657 600 551 345
1992 1 467 470 3 266 250 559 274
1993 1 613 187 3 421 449 602 229
1994 1 804 149 4 008 662 796 537
1995 2 024 986 4 479 670 942 063
1996 2 049 514 4 898 658 1 084 676
1997 2 516 079 5 380 447 1 229 333
1998 2 779 882 5 005 903 1 175 286
1999 2 957 079 5 659 010 1 245 202
2000 3 180 614 6 166 154 -
2001 3 431 000 6 689 899 -
2002 3 718 541 7 225 956 -
2003* 4 045 012 7 919 614 -
2004* 4 409 306 8 709 064 -
2005* 4 843 205 9 607 981 -
Sumber : Statistik Perkebunan dalam Jakarta Future Exchange (2002) Keterangan : * angka proyeksi
Hasil utama pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit (Crude Palm Oil) dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil). Adapun hasil ikutannya berupa bungkil inti sawit (BIS), serat perasan buah, tandan buah kosong, lumpur minyak
sawit dan tempurung sawit. Hasil sampingan serat perasan buah dan tempurung
sawit digunakan sebagai arang bakar. Adapun tandan kosong dan lumpur sawit
merupakan sumber selulosa yang dapat digunakan sebagai komponen makanan
ternak (Naibaho 1990).
Menurut Devendra (1977), persentase jumlah produk kelapa sawit berikut
hasil ikutannya dapat dilihat pada Gambar 3. Disini terlihat bahwa BIS memiliki
dengan hasil ikutan kelapa sawit lainnya termasuk yang paling rendah (4–5%
dari tandan buah segar).
TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT
Tandan Kosong Serat Kelapa Sawit Minyak Sawit Inti Sawit Tempurung (55–58%) (12%) (18–20%) (4–5%) (8%)
Lumpur Minyak sawit Kering (2%)
Minyak Inti Sawit Bungkil Inti Sawit (45–46%) (45–46%)
Gambar 3 Persentase (%) bagian-bagian kelapa sawit berikut hasil ikutannya.
Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS
Proses pengolahan minyak kelapa sawit di Indonesia kebanyakan
dilakukan secara expeller extraction. Proses ini ada yang dilakukan satu tahap, akan tetapi adapula yang dilakukan dua tahap ekstraksi. Proses produksi BIS
yang berbeda akan menghasilkan sifat fisik dan kandungan nutrisi yang
beragam.
Sifat fisik adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk diketahui.
Karakteristik fisik bahan dapat mencakup aspek yang sangat luas mulai dari
sifat-sifat fisik itu sendiri seperti ukuran, bentuk, tekstur, warna, sifat-sifat optik
dan penampakan. Sifat-sifat fisik ada juga yang menyangkut dengan panas
seperti panas jenis, panas laten, konduktifitas dan difusi panas. Chung dan Lee
faktor yang mempengaruhi sifat fisik disamping distribusi ukuran partikel, bentuk
dan karakteristik permukaan partikel suatu bahan. Keberhasilan teknologi pakan
dalam hal homogenitas pengadukan pakan, laju aliran pakan dalam organ
pencernaan, proses absorpsi dan deteksi kadar nutrisi semuanya terkait erat
dengan sifat fisik bahan (Chung & Lee 1985).
Secara umum sifat fisik bahan pakan tergantung dari jenis dan ukuran
partikel bahan. Sekurang-kurangnya ada 6 sifat fisik pakan yang penting yaitu
berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut
tumpukan, daya ambang dan faktor higroskopis.
Berat jenis juga disebut berat spesifik, yakni merupakan perbandingan
antara massa bahan terhadap volumenya dan memegang peranan penting
dalam proses pengolahan, penanganan dan penyimpanan. Berat jenis
merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan (Khalil 1999).
BIS di Indonesia sudah ditetapkan standar kualitasnya, yakni tertera pada
SNI 01-0001-1987. Adapun secara lengkap tentang kandungan nutrisi BIS
[image:30.612.135.529.397.665.2]diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan nutrisi BIS
Kandungan Nutrisi Peneliti
1 2 3 4
A. Analisis Proksimat a b
Energi metabolisme, Kkal kg-1 1 480* - - - 1 480
Bahan kering, % 91 86.0 86.0 88.57 90.30
Protein kasar, % 14 12.9 15.4 16.86 16.10
Lemak kasar, % 8 9.4 4.6 6.82 0.80
Serat kasar, % 23 16.9 9.6 15.12 15.70
Abu, % 6 5.6 9.6 6.58 4.00
Beta-N, % 49 41.2 52.8 54.62 63.50
B. Kandungan Mineral
Kalsium (Ca), % 0.29 0.21 0.24 - 0.29
Posfor (P), % 0.79 0.53 0.44 - 0.79
Natrium (Na), % - 0.17 0.18 - -
Khlor (Cl), % - - - - -
Kalium (K), % - 0.61 0.69 - -
Magnesium (Mg), mg kg-1 - 290 310 - -
Mangan (Mn), mg kg-1 225 - - - -
Tembaga (Cu), mg kg-1 28.5 - - - -
Selenium (Se), mg kg-1 - 0.10 0.11 - -
Besi (Fe), mg kg-1 4.05 - - - -
Seng (Zn), mg kg-1 77.0 - - - -
Sumber : * Mustaffa et al. (1991) 1 Yeong et al. (1983), 2 Hartadi et al. (1980) (Ekstrasi :
Berdasarkan Tabel 2 tentang komposisi nutrisi BIS, terlihat bahwa
kandungan serat kasarnya bervariasi mulai dari 9.6% (ekstraksi proses kimia)
hingga tertinggi mencapai 23%. Demikian pula halnya dengan protein kasar
yang dapat mencapai 21%, sedangkan terendah mencapai 12.9% (ekstraksi
proses mekanik). Kandungan energi metabolismenya cukup rendah, karena
sebagian besar minyak sawit yang menjadi sumber energinya sebagian besar
sudah diambil. Beberapa mineral menjadi pembatas karena jumlahnya yang
relatif kecil antara lain Se dan Zn.
Komposisi asam amino BIS bisa dilihat pada Tabel 3. Dilihat dari
komposisi asam aminonya, triptofan, metionin dan serin memiliki kandungan
yang rendah. Kedua asam amino tersebut kecuali serin merupakan asam amino
[image:31.612.136.504.325.605.2]yang esensial bagi unggas.
Tabel 3 Komposisi asam amino BIS
Peneliti
Asam amino 1 2 3 4 5 6 7
a b
………..….%... Protein 16.06 18.63 18.70 12.90 15.40 18.7 14.51 14.8
Alanin 0.92 0.77 0.73 - - 0.82 0.81 0.62
Arginin* 2.18 2.54 2.79 1.72 1.99 2.20 2.68 2.03
Asam aspartat 1.55 1.59 1.78 - - 1.60 1.69 1.33
Asam glutamat
3.15 3.30 4.08 - - 3.42 3.62 2.75
Glisin 0.82 0.88 0.92 0.52 0.57 0.84 0.91 0.70
Histidin* 0.29 0.46 0.44 0.30 0.30 0.34 0.41 0.34
Iso leusin* 0.62 0.69 0.61 0.60 0.67 0.61 0.60 0.66
Leusin* 1.11 1.17 1.19 0.80 1.03 1.14 1.23 1.04
Metionin* 0.30 0.49 0.33 0.26 0.25 0.34 0.47 0.40
Phenilalanin* 0.73 0.88 0.72 0.60 0.69 0.74 0.82 0.43
Prolin 0.62 0.61 0.61 - - 0.60 - 0.96
Serin 0.69 0.89 0.99 - - 0.77 0.90 0.74
Sistin 0.20 0.35 0.27 0.34 0.34 0.23 - 0.29
Treonin 0.55 0.64 0.70 0.54 0.43 0.60 0.66 0.53
Triptofan* 0.17 0.51 0.21 0.17 0.17 0.19 - 0.24
Tirosin 0.38 0.49 0.55 0.56 0.43 0.47 0.58 0.43
Valin* 0.93 1.04 0.98 0.90 0.69 0.80 0.43 0.86
Keterangan : * asam amino esensial untuk unggas 1 Yeong et al. (1983) 2 Hartley
(1970) 3 Fetuga et al. (1973) 4. Hartadi et al. (1980) (Ekstraksi : a mekanik dan b
kimia) 5 Hutagalung dan Jalaludin (1982) 6 Nwokolo et al. (1976) 7 Hutagalung (1978)
BIS tinggi akan serat kasar yakni berkisar antara 13.0–15.7%, ADF
kecernaan bahan kering BIS 35.2%, sedangkan kecernaan proteinnya 58%.
Keadaan seperti ini diduga bahwa bungkil inti sawit tinggi akan polisakarida.
Polisakarida yang tidak larut dalam minyak inti sawit adalah
galaktomannan dan (1,4)-D-mannan yang memiliki rantai kristal linear (Alang et al. 1988, diacu dalam Hew dan Jalaludin 1996), namun terdapat sedikit galaktosa pada sisi rantainya (Daud & Jarvis 1992). Lebih lanjut dikatakan bahwa mannan
dan galaktomannan diharapkan tidak berpolimerisasi pada saluran pencernaan
unggas (Daud et al. 1993).
Terdapat tiga metoda dalam mendeterminasi komposisi dan struktur
polisakarida pada dinding sel BIS yaitu HPLC, NMR melalui pelarutan dan
ekstraksi, serta secara padat. Ekstraksi BIS dilakukan dengan metoda neutral detergent dan pemurnian untuk memisahkan protein dengan phenol-acetic acid water (PAW).
Komponen gula netral pada BIS dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan
analisis menggunakan HPLC, komponen gula netral dari total dinding sel pada
BIS yang terbesar adalah mannosa yakni sebesar 56.4% (Daud & Jarvis 1992).
Tabel 4 Persentase (%) komponen gula netral pada BIS
Komponen gula netral Persentase dari dinding sel (%)
Mannosa 56.4 ± 7.0
Selulosa 11.6 ± 0.7
Xylosa 3.7 ± 0.1
Galaktosa 1.4 ± 0.2
Total 73.1 ± 7.2
Sumber : Daud dan Jarvis (1992)
Polisakarida Mannan pada BIS
Polisakarida adalah polimer monosakarida yang bergabung dengan
ikatan glikosidik dan klasifikasinya berdasarkan struktur : jenis monosakarida,
posisi ikatan glikosidik, konfigurasi ikatan glikosidik α dan β serta ada tidaknya substituen non karbohidrat. Dalam pengelompokkan polisakarida bukan pati (Non Starch Polysaccharides), terdiri atas 3 kelompok besar yakni selulosa, polimer non selulosa, dan pektic polisakarida. Komponen polisakarida non pati
atau NSP (Non Starch Polisaccharides) antara lain hemiselulosa, dimana dalam bahan akan menghalangi proses penyerapan karbohidrat, asam amino dan
ruminansia termasuk unggas mempunyai aktivitas anti nutrisi yang mempunyai
pengaruh menekan pencernaan dan penyerapan serat serta menyebabkan
kotoran menjadi basah. Adapun klasifikasi polisakarida non pati diperlihatkan
pada Gambar 4.
Polisakarida Non Pati
Selulosa Polimer Pektic non selulosa polisakarida
Arabinoxylan Asam poligalakturonik glukan, mannan, yang bergabung
araban, galaktan, dengan galaktan dan xyloglukan arabinogalaktan
Gambar 4 Klasifikasi polisakarida non pati (Vranjes & Wenk 1995)
Polisakarida mannan termasuk ke dalam polisakarida non selulosa,
dengan tipe struktur utama mannan, galaktomannan dan glukomannan.
Polisakarida mannan adalah polimer dari mannosa atau heteroglucans dengan
α-D-mannan sebagai rantai utama (back-bone). Adapun perbedaan konfigurasi dari mannosa yaitu terdapatnya D glukosa pada C-2 (Chanzy et al. 1987). Dalam kenyataannya rantai mannan ini sangatlah panjang. Adapun rumus kimia
mannan adalah (C6H10O5)n dan dapat dihidrolisa menjadi mannosa (C6H1206).
Mannan ini terdapat pada fraksi hemiselulosa dari biomass BIS (Daud & Jarvis
1992).
Struktur kimia polisakarida mannan bisa dilihat pada Gambar 5. Dilihat
dari struktur bangunnya, mannan terdiri dari suatu inti bagian dalam, rantai
sebelah luar, dan base-labile oligomannosides. Rantai sebelah luar (
-D-mannan merupakan rantai linier yang memiliki ikatan β-D-mannopyranosyl.
[image:34.612.268.390.381.624.2]Beberapa alga hijau dan biru dilaporkan mengandung porsi yang lebih besar dari
Gambar 5 Struktur kimia polisakarida mannan.
β(1,4)-D-mannan pada dinding selnya. β-mannan terutama terdapat pada
gymnospermae (softwoods). Ukuran molekul mannan berbeda antar tanaman. Formasi linier mannan berbentuk kristal polymorphism yang cukup tinggi dan ikatan β-(1,4) sulit untuk dipecah.
Di alam mannan murni sangatlah jarang ditemui. Polimernya selalu
berikatan dengan galaktosa pada variabel panjang rantai α(1,6). Hal ini dapat
dibedakan dari mannan dimana lebih dari 5% residu galaktosa dinyatakan
sebagai galaktomannan.
Sejak mannan diketahui sebagai komponen utama dalam BIS, maka
dikembangkan produk degradasinya yang berupa mannosa. Kegunaan nutrisi
mannosa dipertahankan kemampuannya untuk diserap pada saluran pencernaan
melalui membran mucus ke dalam aliran darah dan lymph.
Goubet et al. (2002) melakukan analisis polisakarida mannan, glukomannan dan galaktomannan pada dinding sel Arabidopsis thaliana dengan metoda Polysaccharide Anaysis using Carbohydrate gel Electrophoresis (PACE).
Mikroba Pendegradasi Polisakarida Mannan
Pada penelitian pendahuluan tentang mikroba pendegradasi polisakarida
mannan dilakukan oleh Coulombel et al. (1981) dengan menggunakan Streptomyces sp. yang ditumbuhkan pada media yang mengandung galaktomannan. Streptomyces diisolasi dan dimurnikan dengan ion-exchange chromatography dan filtrasi gel. Enzim yang dihasilkan mampu menghidrolisa mannan pada kopra menjadi manno oligosakarida, mannobiosa dan mannosa
akan tetapi mannobiosa bukan merupakan substrat.
Reaksi transglycoylation ditemukan dengan strain Streptomyces lainnya yang mendegradasi mannotetraosa atau mannopentosa menjadi mannobiosa
dan mannotriosa dalam keadaan mannosa tidak bebas. Terlihat bahwa enzim
mentransfer satu unit mannosa dari mannooligosakarida ke mannobiosa
(Coulombel et al. 1981).
Penelitian lain Glenn dan Roger (1988) menggunakan kapang
Aspergillus niger dengan mengisolasi mutan asporogenous Aspergillus niger dan mampu menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi mannan (mannanase,
Aspergillus niger menghasilkan enzim α-amilase, glukoamilase, selulase, β
-D-galaktosidase, laktase, endo 1,3 (4) glukanase, gluko-oksidase. Beberapa
[image:36.612.118.505.168.474.2]mikroba pendegradasi polisakarida mannan diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Mikroba pendegradasi polisakarida mannan
Jenis mikroba Substrat Peneliti
A. Bakteri
Bacillus sp. M50 - Chen et al. (2000)
Thermomonospra fusca Limbah pulp kertas Hilge et al. (1998) Clostridium tertium KT-5A Methanogenic sludges Kataoka dan Tokiwa
(1998)
Pyrococcus furiosus Coconuts Samonte (2003)
Pseudomonas fluoescens - Braithwaite (2001)
Bolam dan Gilbert (1996)
Cellvibrio japonicus
B. Kapang
- Deborah et al. (2003)
Trichoderma reesei Blue mussel Ivory nut Waste Coffee
Xu et al. (2002) Hagglund et al. (2003) Regalado et al. (1995a) Aspergillus niger Guar gum (Cyamopsis
tetragonoloba)
Kusakabe (1990)
Aspergillus orizae Copra and coffee wastes
Regalado et al. (1995b)
Kapang Trichoderma reesei
Kapang adalah jasad renik eukaryotik dan terdiri atas yeast, molds atau
suatu kombinasi kedua-duanya. Beberapa kapang dapat menyebabkan penyakit
yang berkenaan dengan kulit, subkutan, alergi atau sistemik. Yeast adalah
kapang mikroskopik yang terdiri dari solitary cell yang bereproduksi dengan budding (McGinnis & Trying 2003).
Molds terlihat jelas seperti kawat pijar panjang dan dikenal sebagai
hyphae, yang tumbuh dengan perluasan apikal. Hyphae dapat terbentuk dari septat yang renggang secara teratur dan memiliki suatu jumlah variabel nukleus.
Ukuran atau bentuk semua kapang adalah heterotrophic dan mampu mencerna makanan secara eksternal dengan pelepasan enzim hidrolisis ke dalam
Klasifikasi Trichoderma reesei menurut Frazier dan Westhoff (1978) adalah divisi Thallophyta, kelas Deuteromycetes, famili Moniliaceae dan ordo Moniliales. Koloni kapang yang tua berwarna hijau tua dan bentuknya bola-bola
konidia yang berwarna hijau yang melekat satu sama lain. Ciri spesifik kapang
ini adalah (1) miselium septat, (2) konidia bercabang banyak, septat dan ujung
percabanganya merupakan sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang dan berbentuk bola-bola (Fardiaz 1998).
Sabini et al. (2000) melakukan penelitian degradasi polisakarida mannan dan hasilnya bisa dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.
Ket : A bagian kiri : Mannan yang belum terdegradasi A bagian kanan : Mannan yang sudah terdegradasi
B bagian insert , area yang dilingkari merupakan diagram difraksi elektron
Gambar 7 Perbandingan mannan yang belum terdegradasi (A bagian kiri) dengan mannan yang terdegradasi (A bagian kanan) melalui pengamatan dengan transmission electron microscopy (TEM) Philips CM 200 CRYO.
Pada mannan yang belum terdegradasi, kristal memiliki rata-rata diagonal
terpanjang 0.8 µm dan bagian yang terpendek 0.4 μm. Kristal memiliki bentuk morphologi platelet pada permukaan. Setelah terdegradasi kontur permukaan
mannan tidak jelas namun masih memperlihatkan bentuk yang memanjang.
Lebih lanjut jalur metabolisme mannan menjadi mannosa secara lengkap
diperlihatkan pada Gambar 8.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa metabolisme mannan menjadi D mannosa
dibantu dengan adanya enzim mannan 1,2-(1,3)-α-mannosidase dengan Enzyme Commission Number (EC) E.C. 3.2.1.77 dan enzim mannan
exo-1,2-1,6-α-mannosidase (E.C 3.2.1.37). Adapun untuk 1,4-β-mannan, dapat
-mannosidase (E.C 3.2.1.78). D mannosa kemudian diubah menjadi D mannosa
6P dengan bantuan enzim hexokinase (E.C. 2.7.1.1), glucokinase (E.C. 1.7.1.2) dan mannokinase (E.C 2.7.1.7). D Mannosa 6P dapat dihidrolisis menjadi D mannosa 1P dengan bantuan enzim phospho mannomutase (E.C. 5.4.2.8), selanjutnya D mannosa 1P dihidrolisis menjadi GDP-D-mannosa dengan
[image:38.612.125.507.195.663.2]bantuan enzim nicotinamide-nukleotide denylyltransferase (E.C. 2.7.7.13).
Gambar 8 Rantai jalur metabolisme fruktosa dan mannosa
Pemanfaatan BIS sebagai Pakan Ternak
Pemanfaatan BIS banyak dilakukan pada ternak ruminansia. Di beberapa
negara Afrika, BIS banyak diberikan pada ternak sapi pedaging. Sapi bakalan
yang diberi pakan BIS tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
rata-rata pertambahan bobot badan harian, konsumsi pakan, namun berpengaruh
nyata terhadap efisiensi pakan. Pengaruh tingkat pemberian BIS tidak
mempengaruhi kecernaan bahan kering dan nitrogen. Ada kecenderungan
dengan semakin tinggi tingkat pemberian BIS, maka akan menurunkan
kecernaan Nitrogen. Hal ini diduga ada keterkaitan dengan tingginya kadar serat
kasar (Umunna et al. 1980). Chin (2002) melaporkan bahwa BIS baik sekali untuk sapi perah Sahiwal-Friesian karena selama 170 hari periode produksi
mampu menghasilkan 7.9 kg susu per ekor (BIS melalui proses solvent extraction) dan 4.8 kg susu per ekor (BIS melalui proses expeller extraction).
Di Nigeria telah dicobakan BIS ini pada babi dan terlihat pengaruhnya
terhadap peningkatan bobot badan. Hutagalung dan Jalaludin (1982)
menyatakan bahwa penggunaan BIS pada babi berkisar 15–25% dengan
pembagian 5% periode starter, 10% periode grower dan 20% periode finisher. Penggunaan BIS pada ayam petelur dapat mencapai 20%. Ada
kecenderungan bahwa BIS lebih baik untuk petelur daripada untuk ayam
pedaging, hal ini mungkin disebabkan ayam petelur membutuhkan energi lebih
sedikit. Di Nigeria pemanfaatan BIS untuk menggantikan kacang tanah yang
memang harganya lebih mahal (Onwudike 1986c). BIS dapat menggantikan
kebutuhan protein kacang tanah sebesar 60% atau dapat dimanfaatkan pada
petelur starter sebesar 34% tanpa memberikan efek yang merugikan terhadap laju produksi telur, bobot telur, dan konsumsi ransum (Onwudike 1986b).
Penggunaan BIS pada ayam petelur disarankan tidak melebihi 40%, karena
apabila diberikan melebihi dari yang disarankan akan menunjukkan penurunan
produksi telur (Perez etal. 2000).
Ketaren et al. (1999), menyatakan bahwa penggunaan BIS maupun bungkil inti sawit yang telah difermentasi (BISF) hingga 5% tidak menunjukkan
pengaruh yang jelek terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan
maupun konversi pakan. Menurut Chin (2002), pemanfaatan BIS pada unggas
dapat mencapai 20%. Hal ini disebabkan tingginya dinding sel, komposisi serat
Menurut Yeong (1983), penggunaan BIS pada pakan ayam pedaging 5–
30% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi pakan dan
bobot badan dibandingkan kontrol, namun untuk konversi pakan mulai terjadi
penurunan ketika mencapai 20%. Lubis (1980) melaporkan hasil penelitiannya
yang menggunakan BIS pada tingkat penggunaan 0%, 5%, dan 10% dari ransum
ayam pedaging sampai umur 8 minggu. Dalam percobaan ini terdapat
pertambahan bobot badan 220.3 g, 217.7 g, dan 211.0 g, konsumsi pakan 584.6
g, 560.9 g dan 565.4 g serta konversi pakan berturut-turut 2.62, 2.46, dan 2.61.
Dari hasil percobaan ini disimpulkan bahwa penggunaan BIS sampai 10% dalam
ransum ayam pedaging tidak mengganggu penampilan produksi.
BIS pada ayam pedaging dapat dimanfaatkan hingga 28% bahkan pada
masa finisher dapat mencapai 35% tanpa memberikan efek yang merugikan serta dapat menurunkan lemak abdominal, (Onwudike 1986a). Namun berbeda
halnya dengan Osei dan Josephine (1987), yang menyatakan bahwa pemberikan
BIS pada ayam pedaging hingga 12.5% secara nyata dapat menurunkan
konversi pakan namun untuk konsumsi dan bobot badan hingga umur 8 minggu
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan kontrol. Menurut
Rizal (2000), penggunaan 10% BIS dapat menggantikan 40% bungkil kedele
dalam ransum ayam pedaging, tanpa menunjukkan pengaruh yang jelek
terhadap konsumsi pakan, rata-rata pertambahan bobot badan, efisiensi pakan,
persentase karkas dan bobot lemak abdominal.
Menurut Soesanto (2000), penggunaaan BIS hingga 25% dalam ransum
finisher tidak menunjukkan pengaruh yang jelek terhadap penampilan ayam hutan merah dan ayam pedaging. Lebih lanjut dikatakan bahwa bobot badan,
total konsumsi ransum dan konversi ransum dari ayam hutan merah dan ayam
pedaging dari umur 21 hari hingga 56 hari masing-masing adalah 241 g dan
2043 g; 956 g dan 4700 g; 3.9 dan 2.3. Ransum yang mengandung bungkil inti
sawit akan menurunkan kadar lemak dan kolesterol pada otot dada dan sayap
pada ayam hutan merah dan ayam pedaging (Soesanto 2000).
Upaya Meningkatkan Nilai Nutrisi BIS
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam meningkatkan nilai
nutrisi BIS diantaranya adalah dengan pemanfaatan jasa mikroorganisme
(biofermentasi). Bahan pakan yang berkualitas rendah dapat ditingkatkan
nutrisinya dengan bantuan suplementasi enzim. Adapun masing-masing enzim
Tabel 6 Kandungan nutrisi pada beberapa bahan pakan berikut enzim efektifnya
Bahan Pakan Kandungan nutrisi Enzim yang Efektif
Singkong fermentasi Pati α - amilase
Bungkil kelapa sawit Mannan dan β - mannanase
Galaktomannan α - galaktosidase
β - xilosidase Bungkil kedelai Stasiosa dan raffinosa α - galaktosidase
Gandum Pati α - amilase
β - glukan β - glukanase
Selulosa Selulase
Sorghum Pektin Pektinase
Selulosa Selulase
Xylan Xylanase
Dedak Fitat Fitase
Oat β - glukan β - glukanase
Sumber : Purwadaria (2002)
Penggunaan enzim driselase yang diproduksi dari Irpex lacteus termasuk dalam kelompok Basidiomycetes. Driselase ini mampu menghidrolisa Carob dan L-Leucocephala D-galacto-D-mannan. Penggunaan enzim ini karena pada BIS
mengandung lebih dari 70% kristal mannan pada dinding selnya (Daud & Jarvis
1993). Adapun Hogg et al. (2003) menggunakan enzim β-1,4 mannanase dalam menghidrolisis mannan maupun glukomannan, yang diisolasi dari Cellvibrio japonicus.
Berdasarkan hasil penelitian Daud dan Jarvis (1993) produksi gula
terlarut dari BIS yang didegradasi dengan enzim driselase menghasilkan 5.30% gula terlarut pada waktu inkubasi 4 jam, dan 6.20% dengan waktu inkubasi
semalam. Adapun total energi metabolismenya 2 157 Kkal/kg. Lebih jauh beliau
mengemukakan bahwa penggunaan enzim driselase meskipun mampu melarutkan komponen mannan pada BIS, namun dinilai kurang efektif karena
yang dihasilkan masih dalam bentuk oligosakarida, sedangkan bagi unggas
bentuk monosakarida yang efektif diserap tubuh.
Energi Metabolisme
Energi merupakan faktor tunggal yang paling dibutuhkan dalam ransum
ternak unggas (Anggorodi 1995). Kemampuan makanan atau ransum untuk
menyediakan energi adalah penting guna menentukan nilai makanannya (Tillman
kuantitatif sangat penting (McDonald et al. 1995). Adapun Scott et al. (1982) menyatakan bahwa energi bahan makanan terkandung dalam karbohidrat, lemak
dan protein.
Anggorodi (1995) menyatakan bahwa energi bahan makanan umumnya
dibagi kedalam empat bagian : energi bruto, energi tercerna, energi metabolisme
dan energi netto. Menurut NRC (1994) energi bruto adalah jumlah panas yang
dilepaskan jika suatu zat makanan mengalami oksidasi sempurna menjadi
karbondioksida dan air dalam bomb calorimeter dengan tekanan 25–30 atmosfer
oksigen. Energi tercerna adalah energi bruto bahan pakan atau ransum dikurangi
dengan energi bruto feses (NRC 1994).
Menurut Ensminger et al. (1995) tidak semua energi yang terkandung dalam ransum dapat digunakan oleh ayam, akan tetapi sebagian terbuang
melalui feses dan urine. Definisi energi metabolisme menurut Scott et al. (1982) adalah pengurangan dari energi bruto pakan dengan energi yang terbuang
melalui feses dan urine, sedangkan energi netto adalah energi yang dapat
dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh yaitu dipergunakan untuk hidup pokok
dan produksi (Blakely & Bade 1991).
Energi metabolisme merupakan energi yang dapat dimanfaatkan oleh
unggas (Blakely & Blade 1991). Nilai energi metabolisme antara lain dipengaruhi
oleh kandungan energi bahan pakan atau ransum, jumlah ransum yang
dikonsumsi dan jenis ternak (Storey & Allen 1982). Menurut Sibbald (1983)
selain dipengaruhi oleh jumlah ransum yang dikonsumsi, energi metabolisme
juga dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam memetabolisme ransum di
dalam tubuhnya.
Energi metabolisme merupakan nilai energi yang paling umum
digunakan dalam perhitungan ketersediaan energi dalam ransum unggas (NRC,
1994). Menurut Wahju (1997) nilai energi metabolisme dari bahan-bahan pakan
adalah penggunaan yang paling banyak dan aplikasi yang praktis dalam ilmu
nutrisi ternak unggas, karena pengukuran energi ini tersedia untuk semua tujuan,
termasuk hidup pokok, pertumbuhan, penggemukan dan produksi telur.
Penentuan kandungan energi metabolisme bahan makanan dengan
pengujian secara biologis pertama kali dilakukan oleh Hill et al. (1960). Metode Hill prinsipnya mengukur energi intake (konsumsi energi) dan energi ekskreta dengan menggunakan Cr2O3 sebagai indikator, sehingga tidak perlu
Nilai energi metabolisme dinyatakan dengan empat peubah yaitu energi
metabolisme semu (EMS), energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn),
energi metabolisme murni (EMM) dan energi metabolisme murni terkoreksi
nitrogen (EMMn) (Sibbald & Wolynetz 1985). Selanjutnya Sibbald (1983)
mengatakan bahwa energi metabolisme semu adalah hasil pengurangan antara
energi bruto dalam ransum dengan energi yang hilang melalui ekskreta,
sedangkan energi metabolisme murni adalah selisih energi bruto pakan dan
energi ekskreta yang dikoreksi oleh energi metabolik
Feses dan urine endogenous, yaitu energi yang diekskresikan oleh ternak
tanpa dipengaruhi oleh konsumsi ransum. Nilai EMS dan EMSn bervariasi pada
tingkat konsumsi pakan, sedangkan nilai EMM relatif tetap pada tingkat konsumsi
pakan yang sama (Sibbald 1989).
Scott et al. (1982) menyatakan bahwa perhitungan energi metabolisme terkoreksi nitrogen digunakan untuk keseragaman, maka semua perhitungan
disesuaikan pada kondisi retensi nitrogen sama dengan nol, yaitu dengan
menambahkan energi dari sejumlah asam urat yang setara dengan retensi
nitrogen sebesar 8.22 kkal per gram nitrogen pada energi ekskreta.
Retensi Nitrogen
Protein dalam bahan makanan termasuk dalam zat-zat yang
mengandung nitrogen. Oleh karena itu untuk mengetahui kandungan protein dari
suatu bahan makanan, terlebih dahulu ditentukan kandungan nitrogennya secara
kimiawi (Anggorodi 1995). Tidak semua protein yang masuk ke dalam tubuh
dapat diretensi, tapi tergantung pada faktor genetik dan faktor umur (Wahju
1997). Sejumlah nitrogen dalam protein pakan yang mampu ditahan dan
dipergunakan oleh tubuh ternak, inilah yang dinamakan retensi nitrogen (Sibbald
& Wolynetz 1985).
Menurut Scott et al. (1982), kualitas protein dapat diukur melalui retensi nitrogen atau satuan-satuan seperti nilai biologis, rasio efisiensi protein dan
neraca nitrogen. Perhitungan retensi nitrogen adalah untuk mengetahui nilai
kecernaan protein bahan organik suatu bahan makanan. Retensi nitrogen
adalah jumlah konsumsi nitrogen dikurangi dengan ekskresi nitrogen dan
nitrogen endogenous. Nitrogen endogenous menurut Sibbald (1989) adalah
nitrogen ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yaitu peluruhan sel
Pengukuran retensi nitrogen dapat dilakukan dengan beberapa metode
antara lain dengan menggunakan koleksi ekskreta. Shanon dan Brown (1969)
menyatakan bahwa kehilangan nitrogen pada pengeringan beku sebesar 4.8%
sedangkan pengeringan dengan suhu 60 oC yaitu 4.6%. Kehilangan tersebut
kecil jika dibandingkan dengan cara lain yaitu pengeringan pada suhu 40 oC, 100 o
C dan 120 oC.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Hill dan Anderson diacu dalam NRC (1994)
bahwa jika nitrogen tidak diretensi akan muncul sebagian asam urat dengan nilai
koreksi sebesar 8.22 Kkal/kg retensi nitrogen yaitu nilai energi yang dihasilkan
ketika asam urat dioksidasi secara sempurna.
Nilai retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif yang dipengaruhi
oleh konsumsi nitrogen. Akan tetapi meningkatnya konsumsi nitrogen tidak selalu
disertai peningkatan bobot badan (Wahju 1997). Apabila nitrogen yang
dikonsumsi lebih besar daripada nitrogen yang diekskresikan, berarti hewan
tersebut dalam keadaaan retensi nitrogen yang positif, sedangkan retensi
nitrogen yang negatif terjadi bila nitrogen yang dikonsumsi lebih kecil daripada
nitrogen yang diekskresikan. Retensi nitrogen positif berarti hewan tersebut
mendapatkan pertambahan bobot badan karena tenunan ototnya bertambah.
Retensi nitrogen negatif menunjukkan hewan telah kehilangan nitrogen dan
kejadian ini tidak selalu ditunjukkan oleh turunnya bobot badan, terutama jika
energi dalam ransum tinggi (Llyod et al. 1978). Ditambahkan oleh Soeharsono (1976) bahwa nilai retensi nitrogen yang tinggi menyebabkan protein dapat
dikurangi tanpa mempengaruhi pertumbuhan ternak.
Menurut Wahju (1972) tingkat retensi nitrogen bergantung pada konsumsi
nitrogen dan energi metabolis ransum, akan tetapi peningkatan energi metabolis
ransum tidak selalu diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen. Meningkatnya
konsumsi nitrogen diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen tetapi tidak
selalu diikuti dengan peningkatan pertambahan bobot badan bila energi ransum
rendah.
Penampilan Ayam Pedaging
W