KARAKTERISASI DAN FORMULASI RENGGINANG
TEPUNG IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata)
ZEHRA KHALISHI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
RINGKASAN
ZEHRA KHALISHI. C34062740. Karakterisasi dan Formulasi Rengginang Tepung Ikan Tembang (Sardinella fimbriata). Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan PIPIH SUPTIJAH.
Ikan tembang sangat berlimpah di lautan, namun memiliki nilai ekonomis yang rendah dikarenakan kurang diminati oleh masyarakat untuk dikonsumsi secara langsung sehingga memerlukan proses lanjutan. Salah satu pemanfaatan dan pengembangan produk hasil perikanan non ekonomis yaitu pembuatan tepung ikan. Pemanfaatan ikan tembang untuk pembuatan tepung ikan dikarenakan pasokan ikan tembang mudah diperoleh tanpa dipengaruhi fluktuasi musim dan harganyapun relatif murah.
Rengginang adalah kerupuk yang berbentuk bundar, tebal dan gurih yang biasanya dikonsumsi sebagai camilan atau pendamping hidangan utama. Rengginang terbuat dari bahan dasar beras sehingga merupakan produk yang kaya akan karbohidrat. Salah satu cara melengkapi kekurangan gizi makanan dari serelia adalah dengan memberikan protein yang bermutu tinggi. Protein tersebut dapat diperoleh dari penambahan tepung ikan tembang sehingga rengginang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif produk cemilan yang bergizi.
Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan protein pada rengginang, mempelajari proses pembuatan rengginang dengan penambahan tepung ikan tembang, mengetahui konsentrasi tepung ikan tembang terbaik dalam pembuatan rengginang dengan menggunakan uji indeks kinerja dan mengetahui karakteristik rengginang dengan penambahan tepung ikan tembang. Konsentrasi air, garam dan bawang putih ditetapkan berdasarkan hasil trial and eror sebelumnya. Tingkat kesukaan panelis terhadap rengginang tepung ikan tembang menggunakan organoleptik dengan uji hedonik yang dilanjutkan dengan pengambilan keputusan dengan Bayes. Konsentrasi tepung ikan tembang yang digunakan pada penelitian sebesar 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi tepung ikan tembang terhadap parameter subjektif dan objektif yaitu RAL.
KARAKTERISASI DAN FORMULASI RENGGINANG
TEPUNG IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata)
ZEHRA KHALISHI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 19580511 198503 1 002
Judul Skripsi : Karakterisasi dan Formulasi Rengginang Tepung Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)
Nama : Zehra Khalishi
NRP : C34062740
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
(Ir. Djoko Poernomo, B.Sc) NIP. 19580419 198303 1 001
Pembimbing II
(Dra. Pipih Suptijah, MBA ) NIP. 19531020 198503 2 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Karakterisasi dan Formulasi Rengginang Tepung Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)” belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar
akademik tertentu. Saya juga menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil
karya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh pihak lain, kecuali bahan sebagai rujukan yang dinyatakan dalam
naskah dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Zehra Khalishi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan akhir skripsi dengan judul “Karakterisasi dan Formulasi Rengginang Tepung Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:
1 Ir. Djoko Poernomo, B.Sc dan Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Kebaikan hati dari Bapak
dan Ibu akan selalu penulis ingat.
2 Ir. Wini Trilaksani, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan nasehat, pengarahan, motivasi dan saran selama penulis
menjalani perkuliahan.
3 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
4 Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Komisi
Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5 Keluarga tercinta: Papa, Mama, Abang Miftah, Kak Sarah, Kak Dina dan
Adikku Nabila yang selalu memberikan dukungan baik moril, materil,
spiritual, kepercayaan dan do’a yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6 Mas Alfian Musthofa, terimakasih atas segala hal yang telah diberikan
baik berupa kasih sayang, perhatian, dukungan, do’a, canda tawa,
kesabaran, nasehat dan kebersamaan yang telah diberikan kepada penulis.
7 Fedwi Anggi, teman satu kostanku. Terimakasih telah menemani penulis
selama setahun terakhir melewati kebersamaan baik suka maupun duka.
8 Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staff dosen dan Tata
Usaha (TU) dan teman-teman THP 43, 42, 41 dan 44 yang telah
9 Teman-teman THP 43: Ridha, Ratna, Arin, Lia, Norita, Hilda, Patma,
Molly, Minal, Merlinda, Yayan, Umi, Rachmawati, Ratih, Wahyu, Rozi,
Trias, Oji, Rio dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
terimakasih atas kebersamaan dan persahabatan selama menjalani
perkuliahan di THP.
10 Teman-teman penulis dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi
yang memerlukan.
Bogor, Juli 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 9 April 1988
dari pasangan Bapak Ir. Muhammad Roem Lubis dan Ibu
Dra. Rita Brisma sebagai anak ketiga dari empat
bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK
Islam Al-Hidayah dan lulus pada tahun 1994, selanjutnya
penulis melanjutkan pendidikan dasar di Madrasah
Ibtidaiyah Pembangunan IAIN Jakarta dan lulus pada
tahun 2000. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Madrasah Tsanawiyah
UIN Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMA
Labschool Cinere dan lulus pada tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan
pada tahun 2007, penulis diterima di Jurusan Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Semasa kuliah di Institut
Pertanian Bogor, penulis aktif sebagai asisten mata kuliah Teknologi Produk
Tradisional Hasil Perairan tahun ajaran 2009-2010, pengurus FPC (Fishering Processing Club) tahun 2007/2008 dan 2008/2009 dan anggota tari tradisional Unit Kesenian Gentra Kaheman.
Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis
melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Karakterisasi dan Formulasi Rengginang Tepung Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)” dibawah bimbingan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc dan Dra. Pipih Suptijah, MBA.
Contents
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)... 4
2.2 Protein Ikan ... 5
2.3 Tepung Ikan ... 7
2.4 Mutu Tepung Ikan ... 8
2.5 Rengginang ... 9
2.5.1 Bahan baku rengginang tepung ikan tembang... 10
2.5.2 Bahan tambahan...11
2.5.2.1 Bawang putih (Allium sativum L.)... 12
2.5.2.2 Garam... 13
3.4.3.1 Analisis kadar air metode oven ... 24
3.4.3.2 Analisis kadar abu metode tanur ... 24
3.4.3.3 Analisis kadar protein metode Kjeldahl ... 25
3.4.3.4 Analisis kadar lemak metode ekstraksi Soxhlet...26
3.4.3.5 Analisis kadar karbohidrat... 27
3.4.3.6 Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC)... 27
3.5 Analisis Data ... 29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN...32
4.1 Karakteristik tepung ikan tembang ... 32
4.2 Formulasi rengginang tepung ikan tembang... 36
4.3.1 Penampakan... 37
4.3.2 Warna...40
4.3.3 Rasa...42
4.3.4 Aroma... 44
4.3.5 Tekstur ... 46
4.4 Karakteristik rengginang tepung ikan tembang ... 48
4.4.1 Kadar protein... 48
4.4.2 Kekerasan ... 50
4.4.3 Volume pengembangan... 52
4.4.4 Total mikroba...54
4.5 Pemilihan rengginang terbaik dengan metode bayes ... 56
4.6 Analisis proksimat produk rengginang tepung ikan tembang ... 58
4.7 Nilai gizi rengginang tepung ikan tembang ... 61
5 KESIMPULAN DAN SARAN...63
5.1 Kesimpulan ... 63
5.2 Saran...64
Daftar Pustaka...65
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1 Persyaratan mutu tepung ikan ... 9
2 Komposisi zat kimia butir beras dan beras ketan ... 11
3 Komposisi zat kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 gram ... 12
4 Lembar penilaian uji sensori dengan skala hedonik ... 22
5 Hasil analisis proksimat tepung ikan tembang ... 33
6 Formula rengginang tepung ikan tembang... 36
7 Karakteristik dan nilai kepentingan parameter objektif dan subjektif ... 57
8 Hasil perhitungan metode Bayes ... 58
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1 Ikan tembang (Sardinella fimbriata) ... 4
2 Diagram alir proses pembuatan tepung ikan tembang ... 20
3 Diagram alir proses pembuatan rengginang tepung ikan ... 21
4 Tepung ikan tembang (Sardinella fimbriata) ... 32
5 Histogram nilai organoleptik rengginang tepung ikan tembang ... 37
6 Histogram hasil uji penampakan rengginang tepung ikan tembang ... 38
7 Histogram hasil uji warna rengginang tepung ikan tembang ... 41
8 Histogram hasil uji rasa rengginang tepung ikan tembang ... 43
9 Histogram hasil uji aroma rengginang tepung ikan tembang ... 44
10 Histogram hasil uji tekstur rengginang tepung ikan tembang ... 46
11 Histogram nilai kadar protein rengginang tepung ikan tembang ... 49
12 Histogram nilai kekerasan rengginang tepung ikan tembang ... 50
13 Histogram volume pengembangan rengginang tepung ikan tembang ... 53
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Rendemen ikan tembang ... 72
2 Uji proksimat bahan baku ... 73
3 Lembar penilaian uji hedonik ... 74
4 Foto rengginang tepung ikan tembang ... 75
5 Rekapitulasi data organoleptik ... 76
6 Hasil perangkingan dan uji kruskal wallis organoleptik ... 81
7 Data pengujian kadar protein rengginang tepung ikan tembang ... 84
8 Data pengujian kekerasan rengginang tepung ikan tembang ... 86
9 Data pengujian volume pengembangan rengginang tepung ikan tembang 88 10 Data pengujian total mikroba rengginang tepung ikan tembang ... 90
11 Hasil perhitungan bayes rengginang tepung ikan tembang... 92
1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai sumberdaya ikan yang
berlimpah, dimana dua pertiga wilayah territorial Indonesia adalah perairan.
Perikanan merupakan sektor penting di dalam perolehan devisa untuk
pembangunan Indonesia dan penyediaan kesempatan kerja. Disamping itu, ikan
juga dipandang mempunyai peranan penting dalam penyediaan protein hewani
untuk perbaikan status gizi bangsa Indonesia. Pada tahun 2007, total produksi
tangkapan laut, sebesar 57,05% dimanfaatkan dalam bentuk basah sebesar
30,19%, bentuk olahan tradisional sebesar 10,90% dan bentuk olahan modern dan
olahan lainnya 1,86%. Sedangkan dari ekspor tahun 2005 sebesar 857,782 ton,
80% diantaranya didominasi produk olahan modern sedangkan produk olahan
tradisional hanya sekitar 6% saja. Apabila dilihat dari tingkat pemanfaatan,
terutama untuk ikan non ekonomis belum optimal. Hal ini disebabkan
pemanfaatannya masih terbatas dalam bentuk olahan tradisional dan konsumsi
segar (Departemen Kelautan dan Perikanan 2007).
Salah satu usaha untuk meningkatkan nilai dan mengoptimalkan
pemanfaatan produksi hasil tangkapan laut adalah dengan pengembangan produk
bernilai tambah. Namun, produk bernilai tambah yang diproduksi di Indonesia
masih dari ikan ekonomis seperti tuna atau udang kaleng, tuna steak, loin dan lain sebagainya yang memiliki nilai jual meski tanpa dilakukan proses lanjutan.
Sedangkan apabila ingin merubah nilai jual ikan non ekonomis, maka salah satu
cara yang bisa ditempuh untuk pengembangan produk hasil perikanan adalah
melalui teknologi produk perikanan (Departemen Kelautan dan Perikanan 2007).
Salah satu pemanfaatan teknologi produk perikanan untuk pengembangan produk
hasil perikanan non ekonomis yaitu pembuatan tepung ikan dari ikan non
ekonomis.
Tepung ikan adalah produk yang diperoleh dari penggilingan ikan yang
diperoleh dari suatu reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian
besar terdiri dari komponen protein ikan (Irianto dan Giyatmi 2002). Tepung ikan
sampai saat ini dimana masih sulit digantikan kedudukannya oleh bahan baku lain
apabila ditinjau dari kualitas maupun harganya. Kandungan protein tepung ikan
relatif tinggi. Protein tersebut disusun oleh asam-asam amino esensial yang
kompleks, diantaranya asam amino lisin dan methionin. Disamping itu juga,
mengandung mineral kalsium dan phospor serta vitamin B kompleks, khususnya
vitamin B12 (Arifudin 1993 dalam Purnamasari et al. 2006).
Salah satu contoh ikan non ekonomis yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber tepung ikan adalah ikan tembang. Ikan tembang berukuran kecil, bersisik
dan berduri banyak. Ikan tembang ditangkap oleh para nelayan dalam jumlah
besar. Ikan tembang sangat berlimpah di lautan, namun memiliki nilai ekonomis
yang rendah dikarenakan kurang diminati oleh masyarakat untuk dikonsumsi
secara langsung sehingga memerlukan proses lanjutan. Pemanfaatan ikan tembang
untuk pembuatan tepung ikan dikarenakan pasokan ikan tembang mudah
diperoleh tanpa dipengaruhi fluktuasi musim dan harganyapun relatif murah
sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tepung ikan.
Tepung ikan yang kita kenal saat ini adalah tepung ikan yang berasal dari
sisa-sisa pengolahan seperti kepala, jeroan, insang, sisik, sirip dan isi perut yang
digunakan untuk pembuatan pakan ikan, sedangkan tepung ikan yang digunakan
untuk pangan berasal dari daging dan tulang ikan. Pemanfaatan tepung ikan dalam
olahan produk pangan masih sangat sedikit, hal ini dikarenakan sebagian besar
pemanfaatan tepung ikan masih dalam bentuk pemberian pakan makanan ternak.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai penambahan tepung ikan dalam
pembuatan produk pangan, yaitu: rengginang.
Rengginang adalah kerupuk yang berbentuk bundar, tebal dan gurih serta
biasanya dijadikan sebagai camilan atau pendamping hidangan utama di meja
makan. Berbeda dengan jenis kerupuk lainnya, rengginang terbuat dari beras
ketan yang tidak dihancurkan sehingga setiap butiran beras ketan tampak di
kerupuk yang renyah ini. Rengginang terbuat dari bahan dasar beras sehingga
merupakan produk yang kaya akan karbohidrat. Salah satu cara melengkapi
kekurangan gizi makanan dari serelia adalah dengan memberikan protein yang
penambahan tepung ikan tembang sehingga rengginang dapat dijadikan sebagai
salah satu alternatif produk cemilan yang bergizi.
1.2 Tujuan
Adapun penelitian ini bertujuan untuk: meningkatkan protein pada
rengginang, mempelajari proses pembuatan rengginang dengan penambahan
tepung ikan tembang (Sardinella fimbriata), mengetahui konsentrasi tepung ikan tembang (Sardinella fimbriata) terbaik dalam pembuatan rengginang dengan menggunakan uji indeks kinerja dan mengetahui karakteristik fisik dan kimia
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)
Ikan tembang memiliki rangka yang terdiri dari tulang benar yang bertutup
insang. Kepala simetris dan badan tidak seperti ular. Tidak seluruh sisik
terbungkus dalam kelopak tebal. Bagian ekor tidak bercincin-cincin. Hidung tidak
memanjang ke depan dan tidak membentuk rostrum. Pipi atau kepala tidak
berkelopak keras dan tidak berduri (Saanin 1984).
Klasifikasi ikan tembang berdasarkan tingkat sistematiknya menurut
Saanin (1984):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Sub kelas : Neopterygii
Infrakelas : Teleostei
Superordo : Clupeomorpha
Ordo : Clupeiformes
Subordo : Clupeoidei
Famili : Clupeidae
Subfamili : Clupeinae
Genus : Sardinella
Spesies : Sardinella fimbriata
Nama lokal : Tembang (Jakarta), Mangida (Bali), Tembang lakara (Bugis),
Sintring (Madura), Jurung (Pekanbaru) dan Matasa (Seram)
Morfologi ikan tembang (Sardinella fimbriata) dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
Gambar 1 Ikan tembang (Sardinella fimbriata)
Sirip punggung ikan tembang terdiri dari jari-jari lemah yang
berbuku-buku dan berbelah. Sirip pada punggung bersisik, tidak bersungut dan tidak
berjari-jari keras. Tidak bersirip punggung tambahan yang seperti kulit, tidak
bercak-bercak yang bercahaya, bertulang dahi belakang dan sirip dada senantiasa
sempurna. Perut sangat pipih dan bersisik tebal yang bersiku. Sirip perut jauh ke
belakang di muka sirip dubur, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain
tidak melekat, bentuk mulut terminal (posisi mulut terletak di bagian depan ujung
hidung), tajam serta bergerigi. Gigi lengkap pada langit-langit, sambungan tulang
rahang dan lidah (Saanin 1984).
Ikan tembang memiliki bentuk badan yang memanjang dan pipih.
Lengkung kepala bagian atas sampai diatas mata agak hampir lurus, dari setelah
mata sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Tinggi badan lebih besar
daripada panjang kepala. Mata tertutup oleh kelopak mata. Awal dasar sirip
punggung sebelum pertengahan badan, dasar sirip punggung sama panjang
dengan dasar sirip anal. Kepala dan badan bagian atas hijau kebiruan, sedangkan
bagian bawah putih keperakan. Sirip-sirip berwarna keputihan. Sirip punggung
mempunyai 18 jari-jari lemah, sirip dada mempunyai 15 jari-jari lemah, sirip anal
memiliki 18 jari-jari lemah dan sirip perut memiliki 8 jari-jari lemah. Ikan
tembang dapat mencapai ukuran 17 cm (Peristiwady 2006).
2.2Protein Ikan
Protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena
selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat
untuk pengatur, pembangun, pertumbuhan dan pemeliharaan serta perbaikan
tubuh dan fungsi-fungsi tubuh. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh
enzim. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk sel-sel dan
jaringan dalam tubuh. Selain itu, protein juga berperan dalam proses
pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh yang mengalami
kerusakan (Winarno 2008).
Secara umum, daging ikan memiliki komposisi protein sebesar 15-25%
dari berat total daging ikan. Molekul protein terutama terdiri dari asam amino
yang merupakan senyawa organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino
konsumsi makanan sehari-hari dan tidak dapat disintesis oleh tubuh dikenal
dengan istilah asam amino esensial. Protein daging ikan mengandung asam amino
esensial, yaitu: valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionin, threonin,
triptofan dan fenilalanin (Irianto dan Giyatmi 2002). Kebutuhan tubuh manusia
terhadap asam amino esensial dapat dipenuhi dari protein yang terkandung di
dalam makanan yang dimakan. Tanaman pangan sering kekurangan satu atau
lebih asam amino esensial sehingga perlu digabungkan dengan bahan protein
lainnya. Dengan demikian, bahan satu dan lainnya akan saling menutupi dan
melengkapi kekurangan dari satu protein dengan asam amino sejenis yang
berlebihan pada protein lain (Wirakusumah 2007).
Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang
dikandungnya. Protein dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi adalah
protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang
sesuai untuk keperluan pertumbuhan dan pemeliharaan. Beberapa jenis protein
mengandung semua macam asam amino esensial, namun masing-masing dalam
jumlah terbatas, akan tetapi cukup untuk perbaikan jaringan tubuh dan tidak
cukup untuk pertumbuhan. Asam amino yang terdapat dalam jumlah terbatas
untuk pertumbuhan dinamakan asam amino pembatas atau limiting amino acid. Lisin merupakan asam amino pembatas pada beras (Almatsier 2006). Penambahan
tepung ikan tembang yang kaya akan lisin dapat saling mengisi untuk
menghasilkan protein yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan.
Kebutuhan protein perorangan tergantung pada laju pertumbuhan dan
berat badan. Orang dewasa memerlukan sekitar 1 gram protein untuk setiap
kilogram berat badan. Selama periode pertumbuhan, protein diperlukan secara
proporsional, misalnya untuk anak-anak usia 5-6 tahun dibutuhkan sekitar 2 gram
protein untuk setiap kilogram berat badan. Kekurangan protein dapat
menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai kwashiorkor dan marasmus.
Penyakit ini disebabkan oleh susunan makanan yang mengandung kandungan
protein yang rendah. Selain itu, kekurangan protein juga dapat menyebabkan
anemia, karena protein penting untuk pembentukan sel-sel butir darah merah
2.3 Tepung Ikan
Tepung ikan adalah komoditas olahan hasil perikanan yang diperoleh dari
suatu proses reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar
terdiri dari komponen protein ikan. Tepung ikan mempunyai kandungan protein
yang tinggi dan merupakan salah satu zat gizi yang paling penting dibutuhkan
oleh tubuh manusia. Tepung ikan mempunyai nilai gizi sepuluh kali lebih besar
dibandingkan dengan tepung yang dibuat dari hewan darat (Kulikov 1971).
Dengan demikian, penggunaan tepung ikan pada produk berfungsi dalam
menyuplai protein (Irianto dan Giyatmi 2002).
Berdasarkan bahan baku, tepung ikan dapat digolongkan menjadi tepung
ikan yang berwarna gelap yang biasanya terbuat dari limbah pengolahan ikan dan
tepung ikan berwarna putih kekuningan yang biasanya terbuat dari rucah. Bahan
mentah untuk produksi tepung ikan dapat dibedakan atas tiga kategori utama,
yaitu (Irianto dan Giyatmi 2002):
a) Ikan yang sengaja ditangkap untuk produksi tepung ikan dan sering
disebut sebagai ikan industri, contoh ikan teri di Peru, ikan teri dan
pilchard di Afrika Selatan, herring dan capelin di Norwegia dan Denmark.
b) Hasil tangkap samping dari kegiatan perikanan lain, contoh perikanan
udang.
c) Limbah ikan dari kegiatan industri pengolahan, misalnya karkas dari
industri fillet serta kepala dan isi perut dari industri pengalengan.
Salah satu syarat pengolahan tepung ikan adalah tersedianya bahan mentah
yang berlebihan dan harganya murah, karena harga tepung ikan juga relatif murah
dipasaran (Moeljanto 1992). Jenis bahan mentah yang digunakan oleh pengolahan
atau pabrik tepung ikan di Indonesia adalah ikan utuh dan limbah dari pengolahan
lainnya. Biasanya ikan utuh yang diolah menjadi tepung ikan adalah ikan yang
bermutu rendah atau ikan yang tidak terserap oleh industri pengolahan yang lain
dan ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan (Irianto dan Giyatmi 2002).
Tinggi rendahnya kadar protein pada tepung ikan selain dipengaruhi oleh
cara pengolahan, juga dipengaruhi oleh bahan mentah yang digunakan. Bahan
mentah ikan yang digunakan dalam pengolahan tepung ikan seharusnya bermutu
bahwa tepung ikan yang dihasilkan akan bermutu baik pula. Apabila ikan yang
digunakan sebagai bahan mentah dalam pengolahan tepung ikan bermutu tidak
baik, maka akan menghasilkan tepung ikan yang mutunya tidak sesuai yang
diharapkan, yaitu kadar protein rendah dan kadar lemak tinggi. Selain bahan
mentah yang digunakan mempunyai mutu yang baik, bahan mentah yang
digunakan juga sebaiknya dari ikan yang memiliki nilai ekonomis yang rendah
(Irianto dan Giyatmi 2002).
Penggolongan teknologi pengolahan tepung ikan didasarkan pada proses
pemasakan dan pengeringan bahan mentah ikan. Terdapat dua metode utama
pengolahan tepung ikan yang telah diterapkan secara komersial, yaitu pengolahan
sistem basah dan pengolahan sistem kering. Proses pengolahan sistem basah
digunakan terutama untuk produksi tepung ikan dengan bahan mentah ikan
berlemak tinggi (>5%), seperti: ikan lemuru. Metode ini telah diterapkan secara
luas dan yang paling umum dijumpai pada pengolahan tepung ikan. Proses
pengolahan sistem basah, meliputi: pengukusan, pengepresan, pengeringan,
penggilingan hingga diperoleh tepung ikan kering. Proses pengolahan sistem
kering dipergunakan untuk bahan mentah ikan yang mengandung kadar lemak
rendah (<5%). Proses pengolahan sistem kering, meliputi: penggilingan kasar,
pengeringan, pengepresan dan penggilingan (Irianto dan Giyatmi 2002).
2.4 Mutu Tepung Ikan
Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan
kesegaran ikan dan teknik atau cara pengolahannya (Irianto dan Giyatmi 2002).
Mutu tepung ikan dapat dinilai secara fisik, kimia, mikrobiologi. Secara fisik,
kriteria yang dinilai adalah bentuk dan keseragaman ukuran partikel tepung.
Penilaian secara kimiawi dilakukan dengan mengukur kandungan protein, lemak,
air dan abu. Secara mikrobiologi, tepung ikan harus terbebas dari bakteri patogen
seperti Salmonella dan kapang. Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: mempunyai butiran yang seragam, bebas dari sisa-sisa
tulang dan benda-benda asing lainnya (Moeljanto 1992). Badan Standarisasi
Nasional telah menetapkan persyaratan mutu tepung ikan melalui SNI
Tabel 1 Persyaratan mutu tepung ikan
- Salmonella (pada 25 gr sampel) Negatif Negatif Negatif Organoleptik:
- Nilai minimum 7 6 6
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1996)
Mutu tepung ikan terutama ditentukan oleh kadar protein. Pada umumnya,
semakin tinggi kadar protein kasar tepung ikan, maka semakin tinggi harga
jualnya. Tepung ikan impor biasanya berkualitas baik, karena kandungan protein
kasarnya berkisar antara 60-74% dengan kadar lemak berkisar antara 6-10%.
Tepung ikan produksi lokal umumnya mengandung protein kasar berkisar antara
31,72-57,02%, kadar lemak berkisar antara 4,57-20,68% dan kadar air berkisar
antara 7,33-11,16% (Purnamasari et al. 2006).
2.5 Rengginang
Rengginang adalah makanan jajanan yang telah lama dikenal di daerah
Jawa Barat. Biasanya rengginang dapat dijual secara umum dalam bentuk sudah
digoreng ataupun bentuk mentah. Bahan dasar yang biasa digunakan pada
pembuatan rengginang yaitu beras ketan yang ditambahkan dengan bumbu sesuai
selera, seperti: garam, MSG (Monosodium Glutamat), bawang putih dan terasi.
Kerupuk berbentuk bundar, tebal, dan gurih ini biasanya ditemui sebagai
camilan atau pendamping hidangan utama di meja makan. Berbeda dengan jenis
kerupuk lainnya, rengginang terbuat dari beras ketan yang tidak dilakukan proses
penggilingan bahan menjadi adonan halus sehingga setiap butiran beras ketan
tampak di kerupuk yang renyah ini. Bahan utama pembuatan rengginang adalah
beras ketan putih maupun hitam. Beras ketan yang sudah dimasak bersama
dikeringkan dengan cara dijemur di panas matahari. Rengginang biasanya dijual
dalam bentuk kering ataupun yang sudah digoreng (Sari 2010).
Pembuatan rengginang dapat dibuat dari beras ketan atau beras biasa.
Perbedaannya terdapat pada tekstur yang dihasilkan. Rengginang yang terbuat
dari beras ketan menghasilkan tekstur yang lebih porus dan halus di mulut,
sedangkan rengginang yang terbuat dari beras biasa menghasilkan tekstur yang
kurang porus dan agak kasar di mulut (Hsieh dan Luh 1991). Karakteristik yang
diperhatikan pada rengginang yaitu tingkat volume pengembangan, kekerasan
atau kerenyahan, aroma dan rasa.
2.5.1 Bahan baku rengginang tepung ikan tembang
Bahan baku adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan
fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain. Sumber bahan baku yang
digunakan dalam proses pembuatan rengginang adalah bahan pangan yang
mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu pati. Pati yang digunakan
sebagai bahan baku dalam proses pembuatan rengginang disebut puffable material. Puffable material adalah bahan yang memegang peranan utama dalam proses pemekaran produk (Wiriano 1984).
Beras adalah suatu bahan makanan yang merupakan sumber pemberi
energi untuk manusia. Beras di Indonesia dikategorikan atas varietas dengan ciri
bentuk butiran agak bulat sampai bulat dan bentuk butiran lonjong sampai sedang.
Butiran beras tersusun atas kulit ari, testa, nukleus, aleuron, lembaga dan
endosperm. Istilah testa adalah sinonim dari integumen. Endosperm merupakan
bagian yang terbesar dalam butir beras yaitu 89-94% dan sisanya kulit ari 1-2%,
testa dan aleuron 4-6% dan lembaga 2-3% (Haryadi 2006).
Beras ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas dari padi dan termasuk famili Graminae. Terdapat beberapa perbedaan antara beras
biasa dan beras ketan secara fisik maupun kimia. Secara fisik, beras ketan
berwarna keruh (ovak), lunak dan apabila dimasak akan bersifat lengket, manis
dan berbau aromatik, sedangkan butir beras biasa berwarna lebih terang dan keras.
Secara kimia, kandungan amilopektin beras ketan lebih tinggi dibandingkan
transparan, sedangkan beras ketan memiliki tekstur lebih rapuh, butirnya besar
dan warnanya putih ovak (Grist 1975).
Ketan sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein dan unsur lain
seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin dan air. Pati merupakan salah satu
polisakarida yang paling sederhana di alam. Pati biasa berbentuk sebagai partikel
yang disebut granula. Lapisan terluar beras kaya akan komponen non pati, seperti:
protein, lemak, serat, abu, pentos dan lignin serta bagian endosperm yang kaya
akan pati. Karbohidrat utama dalam beras adalah pati yang menyusun 90% dari
berat kering endosperm beras. Lipida beras terkumpul dalam butiran lipida atau
sferosom. Bagian lembaga dan lapisan aleuron mengandung lipida tertinggi.
Dalam lipida terdapat 16% isolesitin dalam granula beras, tetapi isolesitin tidak
terdapat dalam lipida terikat dalam pati ketan (Juliano 1976). Secara kimia,
komposisi zat kimia butir beras dan beras ketan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi zat kimia butir beras dan beras ketan
Komponen Beras Biasa Beras Ketan
Ketan Hitam Ketan Putih
Bahan tambahan makanan didefinisikan sebagai bahan-bahan yang
ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dan biasanya dalam jumlah
sedikit dengan tujuan tertentu, seperti: memperbaiki warna, bentuk, citarasa,
tekstur atau memperpanjang masa simpan produk (FAO dan WHO 1956 dalam
Winarno et al. 1980). Peranan bahan tambahan makanan diantaranya adalah untuk mengurangi terjadinya kerusakan, mencegah kehilangan gizi pangan,
meningkatkan nilai gizi dan citarasa, memperbaiki tekstur dan penampakan,
tersebut. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan rengginang adalah
bawang putih, garam dan air.
2.5.2.1 Bawang putih (Allium sativum L.)
Bawang putih (Allium sativum) telah lama digunakan sebagai salah satu bumbu masakan oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat lain di berbagai
belahan dunia, karena aromanya yang khas dan wangi. Penggunaan bawang putih
tidak hanya sebagai bahan penyedap rasa, tetapi juga digunakan sebagai salah satu
bahan yang dapat memberikan efek kesehatan. Lebih dari 1000 publikasi hasil
penelitian menunjukkan bahwa bawang putih merupakan salah satu bahan pangan
yang terbaik untuk mencegah timbulnya penyakit (Saparinto dan Hidayati 2006).
Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi zat kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 gram
Kandungan Jumlah
Air (g) 66,2 – 71,0
Energi (kal) 95,0 – 122,0
Protein (g) 4,5 – 7,0
Lemak (g) 0,2 – 0,3
Karbohidrat (g) 23,1 – 24,6
Ca (mg) 26,0 – 42,0
P (mg) 15,0 – 109,0
K (mg) 346,0
Sumber: Saparinto dan Hidayati (2006)
Bumbu dapat menutupi bau atau rasa yang kurang enak dari bahan atau
makanan. Umbi bawang putih adalah bahan alami yang biasa ditambahkan
sebagai bumbu dalam makanan karena mempunyai aroma khas dan mampu
meningkatkan selera makan. Aroma tersebut berasal dari senyawa allicin yang
berperan memberi aroma bawang putih dan salah satu zat aktif yang bersifat
antibakteri yang dapat membunuh bakteri gram positif maupun negatif, karena
mempunyai gugus asam amino benzoat. Bawang putih juga mengandung
scordinin yaitu senyawa kompleks thioglosida yang berfungsi sebagai antioksidan
2.5.2.2 Garam
Istilah garam biasanya digunakan untuk garam dapur dengan nama kimia
Natrium Klorida (NaCl). Garam yang digunakan dalam pembuatan kerupuk
sebaiknya dipilih yang mempunyai mutu yang baik, warna putih mengkilat,
kotorannya sedikit dan sesuai dengan syarat mutu garam yang telah ditentukan.
Fungsi garam dalam pembuatan kerupuk adalah untuk menambah cita rasa,
memperkuat kekompakan adonan dan memperlambat pertumbuhan jamur pada
produk akhir. Banyaknya garam yang ditambahkan dalam pembuatan kerupuk
biasanya 2,5–3,0% dari total adonan kerupuk yang akan dibuat (Wiriano 1984). Pemakaian garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan
dan tradisi daripada keperluan. Makanan yang mengandung natrium kurang dari
0,3% garam akan terasa hambar sehingga kurang disenangi. Garam juga berfungsi
sebagai bahan pengawet karena garam berperan sebagai penghambat selektif
terhadap mikroorganisme tertentu (Buckle et al. 1987).
2.5.2.3 Air
Fungsi air dalam adonan kerupuk selain untuk melarutkan garam dan
bumbu serta untuk menghomogenkan bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan adonan. Jumlah air yang digunakan dalam adonan akan mempengaruhi
tingkat pengembangan kerupuk, penyerapan minyak dan tingkat kerenyahan
produk akhir. Apabila penambahan jumlah air kurang, maka tidak terjadi
gelatinisasi sempurna selama pengukusan sehingga kerupuk tidak dapat
mengembang dengan baik, sedangkan apabila jumlah air yang ditambahkan
berlebih, maka adonan yang dihasilkan menjadi lembek dan kerupuk lebih lama
dikeringkan (Wiriano 1984).
2.5.3 Proses pembuatan rengginang
Tahapan proses pembuatan rengginang secara garis besar, meliputi:
perendaman beras ketan selama sehari, pengukusan, pencetakan, pengeringan
selama dua hari dan penggorengan. Tiap-tiap tahap mempunyai tujuan tertentu
sehingga pelaksanaannya harus dilakukan dengan baik agar hasil yang didapatkan
sesuai dengan yang diharapkan. Berikut ini merupakan tahapan proses pembuatan
a) Perendaman
Proses perendaman yang dilakukan sebelum pemanasan kering bertujuan
untuk membantu proses gelatinisasi pati (Hariyadi 2001). Granula pati mentah
jika dimasukkan ke dalam air akan menyerap air dan membengkak, akan tetapi
jumlah air yang diserap dan pembengkakannya terbatas. Apabila pati
membengkak, beratnya akan meningkat beberapa kali lipat dibandingkan dengan
berat kering pati. Peningkatan berat tersebut disebut swelling power yang nilainya berbeda-beda pada setiap jenis pati (Belitz dan Grosch 1987).
Perendaman sebelum pemanasan kering memberikan kesempatan penetrasi
air ke dalam biji beras sehingga membantu proses pemasakan biji beras selama
pengukusan. Apabila waktu perendaman beras yang dilakukan kurang atau tidak
dilakukan perendaman sebelum pemanasan kering, maka dapat menyebabkan
pemasakan hanya di lapisan luar biji beras ketan saja sehingga tidak mampu
menghasilkan rengginang dengan baik (antar butiran beras ketan tidak kompak)
(Priwit 2009). Perendaman beras ketan dilakukan selama 24 jam.
b)Pengukusan
Pemanasan dalam proses pembuatan rengginang dapat berupa pemasakan
dan bertujuan untuk memberikan kondisi agar produk tersebut siap untuk
dikonsumsi ataupun siap untuk digunakan pada proses berikutnya. Pengukusan
merupakan proses pemanasan kering yang tidak terjadi kontak langsung antara air
dengan bahan sehingga tahap perendaman diperlukan untuk membantu proses
gelatinisasi pati (Hariyadi 2001).
Pada dasarnya pengukusan adalah proses pemanasan bahan pangan dengan
uap atau air panas secara langsung pada suhu kurang dari 100oC selama kurang
lebih 10 menit. Tujuan pengukusan tergantung pada perlakuan lanjutan terhadap
bahan pangan tersebut. Proses pengukusan yang dilakukan sebelum pengeringan
dapat menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna, cita rasa
dan tekstur. Adapun tujuan dilakukan pengukusan adalah mengurangi kadar air
dalam produk, meningkatkan kekompakan adonan dan agar terjadi sebagian
c) Pencetakan
Pencetakan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bentuk yang
dikehendaki dan ukuran yang seragam. Keseragaman ukuran penting untuk
memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan
proses penggorengan dan menghasilkan kerupuk dengan warna yang seragam
(Lavlensia 1995). Proses pencetakan dilakukan dengan pembentukan rengginang
berbentuk bulat dengan diameter 5 cm dan ketebalan rata-rata 1 cm. Ketebalan
rengginang yang dibuat tipis (tidak terlampau tebal) yang bertujuan rengginang
akan lebih cepat mengering selama proses penjemuran dibawah sinar matahari.
d)Pengeringan
Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan padat dengan cara
menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya dengan menggunakan energi
panas. Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu,
dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan (Muchtadi 2008).
Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan suatu alat pengering
(artificial drying) atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan energi langsung dari sinar matahari. Pengeringan dengan sinar
matahari banyak dilakukan karena energi panas yang digunakan murah dan
melimpah, akan tetapi kerugiannya adalah jumlah panas sinar matahari yang tidak
tetap sepanjang hari disertai dengan kenaikan suhu yang tidak dapat diatur
sehingga waktu penjemuran sukar untuk ditentukan dengan tetap. Selain itu,
penjemuran dilakukan di tempat terbuka yang langsung berhubungan dengan sinar
matahari sehingga kebersihannya sukar untuk diawasi (Winarno et al. 1980). Pengeringan rengginang bertujuan untuk menghasilkan bahan dengan
kadar air tertentu. Adanya kadar air yang terkandung akan mempengaruhi kualitas
dan kapasitas pengembangan rengginang dalam proses pengorengan. Disamping
itu, pengeringan rengginang bersifat mengawetkan dan mempertahankan mutu
(Winarno et al. 1980). Produk yang digoreng tanpa pengeringan akan menghasilkan produk yang tidak mengembang, keras dan permukaan tidak
merata. Agar dapat mengembang, gel pati memerlukan tekanan uap yang
tertentu pada rengginang mentah (Wiriano 1984). Pengeringan rengginang dengan
menggunakan sinar matahari memerlukan waktu selama 2 hari apabila cuaca
cerah dan sekitar 4-5 hari apabila cuaca kurang cerah. Dari proses pengeringan
akan menghasilkan kerupuk mentah dengan kadar air sekitar 14% atau kerupuk
mentah yang mudah dipatahkan.
Bahan pangan yang dikeringkan mempunyai nilai gizi yang lebih rendah
dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan dapat terjadi
perubahan warna, tekstur, aroma dan lainnya, meskipun perubahan-perubahan
tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan cara memberikan perlakuan
pendahuluan terhadap bahan pangan yang akan dikeringkan. Pengurangan kadar
air akan menyebabkan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral pada
bahan pangan terkonsentrasi lebih tinggi, namun sejumlah vitamin dan zat warna
pada umumnya menjadi rusak atau berkurang (Winarno et al. 1980). e) Penggorengan
Penggorengan kerupuk adalah pemasakan kerupuk mentah menjadi
kerupuk matang yang siap dikonsumsi. Cara penggorengan yang umum
digunakan adalah penggorengan dalam wajan dengan minyak goreng. Pada proses
penggorengan, kerupuk mentah mengalami pemanasan sehingga air yang terikat
pada jaringan dapat menguap dan menghasilkan tekanan uap untuk
mengembangkan struktur elastis jaringan kerupuk tersebut (Setiawan 1988).
Proses penggorengan memiliki arti proses dimana bahan makanan yang
dimasukkan ke dalam penggorengan akan segera menerima panas dan kandungan
air dalam bahan pangan akan menguap dan ditandai dengan timbulnya
gelembung-gelembung selama proses penggorengan. Selama berjalannya
penggorengan, bahan pangan menyerap minyak dengan presentase yang cukup
besar. Komponen bahan pangan yang digoreng akan membentuk cita rasa akibat
pemasakan lemak, protein, karbohidrat dan komponen-komponen minor lainnya
yang ada dalam makanan (Moreira 2003).
Penggorengan merupakan suatu proses untuk memasak bahan pangan
dengan menggunakan lemak atau minyak pangan (Ketaren 1986). Teknik
cara menggoreng bahan dengan secara langsung bersentuhan dengan pemanas dan
hanya dibatasi oleh selaput tipis minyak. Teknik terendam merupakan proses
penggorengan dengan bahan terendam seluruhnya oleh minyak dengan batas
minyak minimal 2 cm diatas permukaan produk. Penggorengan dengan minyak
melimpah berlangsung lebih cepat. Minyak tersebut mendidih pada suhu jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan air mendidih yaitu berkisar 160-250oC. Suhu
penggorengan merupakan salah satu faktor yang akan menentukan hasil produk.
Suhu yang dianjurkan berkisar antara 177-201oC atau tergantung bahan yang
digoreng (Winarno 1997).
Waktu yang dibutuhkan bagi bahan pangan untuk tergoreng sempurna
tergantung pada tipe bahan pangan, suhu minyak, metode penggorengan,
ketebalan bahan pangan dan perubahan kualitas yang dihasilkan (Fellows 1992).
Penggorengan dianggap selesai apabila kerupuk tidak mengalami perubahan
bentuk dan pengembangan, tidak adanya gelembung-gelembung udara ke
permukaan minyak dan hilangnya suara berdesis. Setelah proses penggorengan
selesai, kerupuk segera diangkat untuk mencegah kerupuk menjadi hangus
3 METODOLOGI
3.1Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 sampai dengan
Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Preservasi dan
Diversifikasi Produk Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik Hasil Perairan,
Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil
Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan dan Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan rengginang tepung
ikan adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata) yang diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, beras ketan putih, bawang putih, garam, air
dan minyak goreng. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah akuades,
H2SO4, NaOH 40%, H3BO3, K2SO4, HCl 0,1 N, metil biru, metil merah, pelarut
heksana, tablet kjeldahl dan media agar NA (Nutrient Agar).
Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan tepung ikan tembang
adalah timbangan digital, pisau, talenan, stopwatch, termometer, autoklaf, pengepres, penggiling (grinder), oven, blender dan saringan halus (nilon mesh). Alat yang digunakan dalam proses pembuatan rengginang tepung ikan tembang
adalah dandang, tampah, cetakan rengginang, timbangan digital, gelas ukur,
termometer, pisau, ulekan, baskom, saringan kasar atau panci yang berlubang dan
kompor. Alat yang digunakan pada pengujian kimia produk antara lain label,
timbangan digital, cawan porselin, oven, desikator, neraca analitik, tanur
pengabuan, pemanas Kjeldahl, labu Kjeldahl, kertas saring, destruktor,
erlenmeyer, alat ekstraksi soxhlet, tabung reaksi, labu lemak, cawan petri, mortar, bulb, penjepit refluks, waring blender, pipet ukur, buret, gelas piala, gelas ukur dan inkubator. Pengujian fisik produk dilakukan dengan menggunakan alat
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini meliputi proses pembuatan tepung ikan tembang,
perhitungan rendemen tepung ikan tembang, uji proksimat tepung ikan tembang,
pembuatan rengginang dengan penambahan konsentrasi tepung ikan tembang
yang berbeda-beda, penentuan rengginang ikan tembang yang terbaik dengan uji
Bayes, analisis proksimat dan perhitungan nilai gizi rengginang tepung ikan
tembang terpilih dan rengginang komersil (rengginang tanpa penambahan tepung
ikan melainkan ditambahkan terasi) sebagai pembanding. Pembuatan rengginang
tepung ikan tembang terpilih dan rengginang komersil diproduksi pada hari yang
sama. Rengginang komersil diproduksi oleh Kube (Kelompok Usaha Bersama)
yang berada di Kampung Anyar, Desa Semplak Barat, Kecamatan Kemang di
Bogor, Jawa Barat.
Konsentrasi tepung ikan tembang yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Analisis dengan menggunakan metode
Bayes bertujuan untuk melihat penambahan konsentrasi tepung ikan tembang
yang terbaik. Setelah terpilih konsentrasi tepung ikan tembang yang terbaik
berdasarkan uji Bayes, dilakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan
untuk mengetahui kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar
karbohidrat yang dihitung secara bydifference.
Proses pembuatan rengginang diawali dengan pembuatan tepung ikan
tembang. Bahan baku yang digunakan untuk membuat tepung ikan adalah ikan
tembang. Ikan yang digunakan sebelumnya dicuci dan ditimbang untuk
mengetahui bobot awal ikan tersebut. Kemudian, ikan tembang utuh disiangi
dengan membuang bagian kepala, insang, sisik, sirip dan isi perut. Setelah itu,
ikan yang telah disiangi dicuci dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran dan
darah yang masih menempel. Selanjutnya dilunakkan dengan menggunakan
autoklaf pada suhu 121oC selama 1 jam sampai tulang dan duri yang melekat pada
daging menjadi lunak, kemudian dipres dengan pengepres selama 10-15 menit.
Pengepresan bertujuan untuk mengurangi jumlah air dan lemak yang terkandung
dalam daging ikan. Setelah dipres kemudian digiling dengan penggiling (grinder). Kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven dengan lama pengeringan
Ikan tembang
Pencucian dengan air Penyiangan
Penggilingan (grinder)
Penepungan
*Pelunakkan dengan autoklaf
Pengeringan oven Pengepresan
Tepung ikan tembang
6-10%. Setelah ikan dikeringkan, dilakukan penepungan. Daging ikan yang sudah
kering dihaluskan menggunakan blender, kemudian disaring menggunakan
ayakan ukuran 100 mesh sehingga didapatkan tepung ikan tembang dengan
butiran yang homogen dan halus (Amirullah 2008). Tepung ikan tembang yang
dihasilkan dilakukan pengujian terhadap kadar air, abu, protein dan lemak.
Diagram alir pembuatan tepung ikan tembang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan tepung ikan tembang
Sumber: *modifikasi metode Dullah et al. (1985)
Proses pembuatan rengginang tepung ikan diawali dengan beras ketan
putih direndam selama 24 jam, kemudian beras ketan tersebut ditiriskan. Setelah
beras ketan ditiriskan, selanjutnya beras ketan dikukus dengan suhu 100oC selama
10 menit. Beras ketan yang telah dikukus setengah matang dicampur dengan
tepung ikan tembang dan bumbu (bawang putih, garam dan air) secara homogen Analisis Proksimat Bagian yang dibuang:
Beras Ketan Putih
Perendaman selama 24 jam
Pengukusan 100oC selama 10 menit
Penjemuran sinar matahari selama ± 2 hari
Penggorengan pada suhu ± 170oC selama 30 detik Pencampuran secara homogen
Pencetakan rengginang (tipis dan berbentuk bulat dengan diameter sekitar 5 cm) Pengukusan kembali (80oC selama 12 menit)
Penirisan
Rengginang tepung ikan tembang
dan dikukus kembali hingga matang (suhu 80oC selama 12 menit). Beras ketan
yang telah matang kemudian dicetak (bulat, diameter 5 cm dan ketebalan 1 cm)
kemudian ditempatkan pada tampah dan dikeringkan dibawah sinar matahari
sehingga diperoleh rengginang kering mentah. Pengeringan rengginang basah
membutuhkan waktu 2 hari pada keadaan terik matahari atau sekitar 5 hari apabila
kondisi cuaca tidak menentu. Setelah dikeringkan, rengginang siap digoreng dan
diuji organoleptik. Penggorengan rengginang dilakukan dengan sistem terendam
(bahan digoreng dalam minyak yang cukup banyak sehingga bahan tercelup
didalamnya). Penggorengan dilakukan pada suhu tinggi sekitar 170oC. Diagram
alir proses pembuatan rengginang tepung ikan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan rengginang tepung ikan tembang
Sumber: *modifikasi metode Wahyono dan Marzuki (2003)
*Tepung ikan tembang Bawang putih
Garam Air
3.4 Prosedur Pengujian
Teknik pengujian dilakukan secara subjektif dan objektif. Analisis secara
subjektif meliputi uji sensori (penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur) yang
diolah dengan metode Kruskal Wallis, apabila diperoleh hasil analisis ragam beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparison. Analisis objektif meliputi uji fisik, kimia dan mikrobiologis. Analisis fisik yang dilakukan yaitu
kekerasan dan volume pengembangan. Analisis kimia yang dilakukan meliputi
kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat yang
dihitung berdasarkan by difference, sedangkan analisis mikrobiologis yang dilakukan yaitu total mikroba.
3.4.1 Uji organoleptik
Uji organoleptik yaitu uji pangan yang menggunakan indera manusia,
kadang disebut uji sensori indera. Uji organoleptik yang digunakan yaitu hedonic test (uji hedonik). Uji hedonik merupakan metode uji yang digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk dengan menggunakan lembar
penilaian. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji
organoleptik dengan skala hedonik yang meliputi: penampakan, warna, aroma,
rasa dan tekstur yang bertujuan untuk mengetahui respon dari panelis terhadap
produk yang dihasilkan berdasarkan tingkat kesukaan. Sampel diujikan kepada 30
orang panelis (Soekarto 1985). Analisis dari hasil uji ini diolah dengan
menggunakan program SPSS 13.0. Lembar penilaian uji sensori dengan skala
hedonik dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Lembar penilaian uji sensori dengan skala hedonik
x 100% 3.4.2 Analisis fisik
Parameter yang diukur pada analisis fisik meliputi: kekerasan dan volume
pengembangan.
3.4.2.1 Kekerasan (Faridah et al. 2008)
Kekerasan rengginang diukur dengan menggunakan alat rheoner merek Yamaden RE 3305 dengan plunger berbentuk silinder berdiameter 4 mm terhadap
sepotong sampel rengginang. Rengginang diletakkan pada posisi horizontal
dengan arah pergerakan plunger. Pengukuran dilakukan pada sensitivity voltage
0.5 mV atau stadia penuh 500 gf dan 1 mV atau 1000 gf, sampel table speed 5 mm/detik. Setiap tekanan yang diberikan menghasilkan sebuah kurva yang
menunjukkan profil tekstur dari produk tersebut. Puncak yang terbentuk pada
kertas grafik merupakan nilai kekerasan produk yang diuji. Tingkat kekerasan
produk ditentukan berdasarkan resistensi maksimum produk yang dinyatakan
dalam gramforce (gf). Semakin tinggi grafik Chart RE-3305 menunjukkan produk tersebut semakin keras.
3.4.2.2 Volume pengembangan (Zulviani 1992)
Volume pengembangan rengginang merupakan persentase dari
perbandingan antara selisih volume rengginang matang dikurangi dengan volume
rengginang mentah dibagi volume rengginang mentah. Pengukuran volume
rengginang dilakukan terhadap rengginang mentah dan rengginang goreng dengan
metode Muliawan (1991), yang dimodifikasi oleh Zulviani (1992). Alat-alat yang
digunakan dalam pengukuran volume pengembangan adalah manik-manik yang
berbentuk bulat dengan diameter 2 mm, gelas ukur dan neraca analitik.
Pengukuran volume pengembangan rengginang dilakukan pada rengginang
goreng dan rengginang mentah. Pengukuran volume pengembangan rengginang
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
Va = Volume rengginang mentah
3.4.3 Analisis kimia
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
mengetahui komposisi kimia suatu bahan. Analisis proksimat rengginang
menggunakan metode AOAC 2007. Analisis kadar air dilakukan dengan metode
oven, analisis kadar abu dilakukan dengan metode tanur, analisis kadar protein
dilakukan dengan metode Kjeldahl, analisis kadar lemak dilakukan dengan
metode ekstraksi soxhlet dan analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference.
3.4.3.1 Analisis kadar air metode oven (AOAC 2007)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah cawan
porselen yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu
105-110oC selama 15 menit atau sampai berat konstan, kemudian cawan
diletakkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga didapatkan
berat yang konstan (A). Sampel sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan ke
dalam cawan yang sudah dikeringkan (B), kemudian dipanaskan ke dalam oven
pada suhu 105-110oC selama 3-4 jam. Setelah selesai, cawan tersebut didinginkan
dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang kembali (C). Tahap
ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan. Kadar air dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan sampel sebelum dikeringkan (gram)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
3.4.3.2 Analisis kadar abu metode tanur (AOAC 2007)
Cawan yang akan digunakan dikeringkan di dalam oven terlebih dahulu
selama 30 menit pada suhu 100-105oC, kemudian didinginkan ke dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel
basah ditimbang sebanyak 2 gram dan diletakkan ke dalam cawan yang sudah
sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Dilanjutkan dengan pengaburan didalam
tanur dengan suhu 600oC sampai pengabuan sempurna (sesekali pintu tanur
dibuka sedikit agar oksigen masuk). Sampel yang sudah diabukan didinginkan ke
dalam desikator dan ditimbang. Tahap pembakaran dalam tanur diulangi hingga
didapatkan berat yang konstan. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Keterangan:
A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)
B = Berat cawan abu porselen dengan sampel sebelum dikeringkan (gram)
C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
3.4.3.3 Analisis kadar protein metode Kjeldahl (AOAC 2007)
Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Cara penentuan
meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi. Tahap destruksi dilakukan untuk
mengubah protein dalam bahan menjadi garam amonium sulfat. Pada tahap
destilasi, garam ini direaksikan dengan basa dan amonia diuapkan untuk diserap
dalam larutan asam borat. Jumlah nitrogen yang terkandung dapat ditentukan
dengan tahap titrasi dengan HCl.
Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml,
kemudian ditambahkan 1,9 gr K2SO4, kjeltab 40 mg jenis HgO dan 2,5 ml H2SO4
pekat. Sampel didihkan sampai cairan berwarna jernih (sekitar 1-1,5 jam);
didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak 5
sampai 6 kali dengan akuades (20 ml) dan air bilasan tersebut juga dimasukkan
dalam wadah yang terdapat dibawah kondensor dengan ujung kondensor
terendam di dalamnya. Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40%
sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer
125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2%
dalam alkohol dan metilen biru 0,2% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1)
yang diletakkan dibawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh
kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam
perubahan warna dari hijau menjadi merah. Volume titran dibaca dan dicatat.
Penetapan blanko dilakukan dengan prosedur yang sama, akan tetapi sampel
diganti dengan akuades. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko.
Persentase kadar protein dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
*) Faktor Konversi = 6,25
3.4.3.4 Analisis kadar lemak metode ekstraksi Soxhlet (AOAC 2007)
Sampel sebanyak 5 gram (W1) ditimbang dan dibungkus dengan kertas
saring serta dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke
dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan
dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam
labu lemak. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua
pelarut lemak menguap. Saat destilasi, pelarut akan tertampung di ruang
ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak.
Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan
ke dalam oven pada suhu 105oC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan
ke dalam desikator selama 20-30 menit sampai beratnya konstan (W3). Persentase
kadar lemak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
% Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak+ kadar protein) 3.4.3.5 Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2007)
Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar
protein sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal
ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Persentase
kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
3.4.3.6 Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC)(Fardiaz 1992)
Analisis yang dilakukan pada rengginang menggunakan metode TPC.
Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada
di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara
duplo. Cawan petri, tabung reaksi dan pipet sebelum digunakan disterilkan
terlebih dahulu dalam oven pada suhu 180oC selama 2 jam. Media disterilkan
dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm.
Pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan cara melarutkan 8,5 gram NaCl
dalam 1 liter akuades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC
selama 15 menit.
Sebanyak 10 gram sampel yang telah dihaluskan terlebih dahulu,
dilarutkan ke dalam larutan pengencer steril yang telah berisi dengan volume
mencapai 100 ml, kemudian dihomogenkan dengan stomacher selama 2 menit (pengenceran 10-1). Contoh yang telah dihomogenkan dilakukan pengenceran
kembali dengan cara dipipet sebanyak 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan pengencer steril untuk memperoleh
pengenceran 10-2. Demikian seterusnya sampai didapat pengenceran 10-3,
disesuaikan dengan pendugaan total mikroba rengginang tepung ikan pada saat
pengamatan Dari setiap tabung reaksi pengenceran tersebut diambil dengan
menggunakan pipet secara aseptik sebanyak 1 ml, kemudian dimasukkan ke
dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap pengenceran dilakukan secara
duplo. Ke dalam cawan tersebut ditambahkan media nutrient agar (NA) sebagai media, kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar diatas meja
Koloni per ml atau per gr = Jumlah koloni per cawan x
Setelah NA membeku, cawan petri diinkubasi ke dalam inkubator selama 48 jam
pada suhu 35oC, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik dalam inkubator.
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang tumbuh
pada media di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik
untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo
dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah total bakteri yang dihitung adalah cawan
petri yang mempunyai koloni antara 30-300 koloni. Nilai TPC dapat dihitung
dengan memakai rumus berikut:
Data yang dilaporkan sebagai Standart Plate Count (SPC) harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut:
1) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan
kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus
dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.
2) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan kurang
dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah
yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan
faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.
3) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih
dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang
dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor
pengencer.
4) Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah
antara 30-300, dimana perbandingan antara jumlah koloni tertinggi dan
terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil atau sama dengan dua,
maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan
pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi dan nilai terendah
lebih besar dari dua, maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil.
5) Jika digunakan dua cawan petri (duplo) pengenceran, data yang diambil harus
3.5 Analisis Data
A.Pemilihan rengginang terbaik dengan uji indeks kerja (Marimin 2004)
Penentuan formulasi rengginang terbaik dilakukan dengan menggunakan
uji indeks kinerja (metode bayes). Metode Bayes merupakan salah satu teknik
yang dapat digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan
terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang
optimal. Pengambilan keputusan yang optimal akan tercapai apabila
mempertimbangkan berbagai kriteria.
Adanya perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam
pemilihan rengginang terbaik. Pemilihan rengginang terbaik dengan uji indeks
kinerja didasarkan pada total nilai yang paling tinggi dari setiap perlakuan.
Parameter yang dibobot meliputi parameter subjektif yaitu: (penampakan, warna,
rasa, aroma dan tekstur) dan parameter objektif yaitu: kadar protein, kekerasan,
volume pengembangan dan total mikroba. Nilai kepentingan diberikan oleh hasil
kuisioner panelis atau ahli pakar terhadap beberapa parameter. Nilai kepentingan
masing-masing parameter yang digunakan terdiri dari 3 nilai numerik, yaitu 1
mewakili biasa, 2 mewakili penting dan 3 mewakili sangat penting.
Bobot dari masing-masing parameter didapat dari hasil manipulasi matriks
perbandingan nilai kepentingan antar parameter, kemudian matriks tersebut
dikuadratkan. Hasil penjumlahan setiap baris matriks dibagi dengan total
penjumlahan baris matriks tersebut hingga diperoleh nilai eigen. Nilai eigen dari
proses manipulasi matriks merupakan nilai bobot dalam metode bayes. Nilai
bobot kemudian dikalikan dengan nilai rangking. Total nilai hasil perkalian antara
nilai rangking dengan nilai bobot digunakan untuk menentukan rengginang
terbaik. Total nilai yang tertinggi yang didapatkan dari hasil perkalian nilai bobot