• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Dan Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia Terhadap Penduduk Sipil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Dan Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia Terhadap Penduduk Sipil"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Agus Fadillah. Hukum Humaniter Suatu Perspektif. Jakarta : Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Trisaksi. 1997.

AK, Syahmin. Hukum Internasional Humaniter 1. Bandung : Armico.

Ambarwati. Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 2009.

Amiruddin. Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 2004.

Anshari Siregar, Tampil. Metodologi Penelitian Hukum. Medan : Pustaka bangsa Pres. 2005.

Haryomataram, GPH. Bunga Rampai Hukum Humaniter. Jakarta : Bumi Nusantara Jaya. 1988

Istanto. F. Sugeng. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional. Yogyakarta : Andi Offset. 1992.

Kumpulan Tulisan Hukum Humaniter. Jakarta : Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Trisakti. 1999.

Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi-konvensi Palang Merah Tahun 1949.

Bandung : PT. Binacipta.

Mulhadi. Hak Azasi Manusia. Bandung : PT. Refika Aditama. 2007.

Permanasari, Arlina, Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta : Miamita Print, 1999.

B. UNDANG-UNDANG

(2)

C. INTERNET

www.Esay for student.com. Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Hukum Humaniter. Kasus The Early Warning Procedure Israel dan Palestina (Sipil Sebagai Tameng). 29 Maret 2010.

Januari 2011

D. KONVENSI

Konvensi Den Haag Tahun 1899 _________Tahun 1907

Konvensi Jenewa Tahun 1864 ________ Tahun 1949

Protokol Tambahan I dan II 1977

PERJANJIAN INTERNASIONAL LAINNYA

Convention on the Prohibitions or Restristions on the Use of Certain Weapons which May be Deemed to Be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects,1980.

Deklarasi ST. Petersburg Tahun 1868

Geneva Protocol for the Prohibition of Poisonous Gases and Bacteriological Methods of Warfare, 1925.

Instruksi Lieber Tahun 1863

International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR

International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights/ICESCR.

Protocol Addition I to the Geneva Conventions of 1949, 1977.

(3)

BAB III

PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM HUMANITER

A. Masalah Hak Asasi Manusia Dalam Konflik

Hak asasi adalah hak universal yang dimiliki oleh seorang individu sejak lahir dan tidak boleh ditiadakan oleh orang lain. Istilah hak disini mengacu pada nilai-nilai khusus manusia yang dianggap sedemikian fundamental pentingnya sehingga nilai-nilai itu harus ditegakkan apabila aspirasi terpenting dalam tatanan sosial ingin diwujudkan. Aspirasi terpenting manusia itu menjelma menjadi hak-hak asasi. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak-hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannnya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya.34

Namun, hak asasi manusia akan mengalami hambatan dalam situasi konflik bersenjata, baik itu konflik antarnegara maupun konflik dalam negari. Dalam konflik bersenjata, penduduk sipil suatu negara atau wilayah sering menjadi sasaran langsung dan menderita karenanya. Penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik terkadang mengalami pembantaian massal, diperkosa, disandera, dilecehkan, diusir, dijarah, dan dihalang-halangi aksesnya terhadap Termasuk dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Adalah tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya sendiri dari pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya.

34

(4)

makanan, air, dan layanan kesehatan. Dalam situasi seperti itu, bagaimana menjamin agar hak asasi manusia penduduk sipil terlindungi adalah masalah yang terus diperjuangkan para aktor kemanusiaan. Dalam situasi konflik, negara tidak bisa melindungi hak asasi para warganya secara optimal. Pihak lawan akan berusaha untuk menghalangi peran negara dalam situasi ini. Di samping itu, pihak lawan akan berusaha untuk mengurangi peran negara dalam perlindungan tersebut.

Akses terhadap sumber ekonomi merupakan masalah utama yang dihadapi oleh penduduk sipil korban konflik. Ketika pecah perang terbuka, sasaran-sasaran sipil sering kali juga menjadi target dari serangan, hal ini akan mengakibatkan dampak beruntun pada sumber kehidupan masyarakat selanjutnya. Dlam kondisi konflik masyarakat sipil akan menanggung akibat terputusnya sumber-sumber ekonomi. Sumber-sumber ekonomi mereka menjadi target serangan sehingga mereka kehilangan pekerjaan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, para pedagang juga takut untuk beraktifitas karena tidak ada jaminan keselamatan.

(5)

Pemerintah yang sedang terlibat konflik tidak mampu menangani kondisi ekonomi masyarakatnya. Ini disebabkan lebih banyak energi dan sumber daya dicurahkan untuk menangani konflik. Pada sisi yang lain kerusakan fasilitas yang harus dibenahi semakin parah. Distribusi barang dan jasa tidak bisa menjangkau seluruh daerah konflik, sementara pihak swasta enggan untuk mengambil risiko.

Masalah sosial yang timbul akibat konflik bersenjata bermacam-macam baik yang berkaitan dengan masalah ekonomi maupun yang tidak. Tidak sedikit para wanita di daerah konflik menjadi pelampiasan para combatans. Para wanita tersebut menjadi budak nafsu, kekerasan seksual, dan berbagai bentuk pelecehan yang lain. Hal ini pun sebenarnya juga dimaksudkan untuk melemahkan moral pihak yang bersengketa. Banyak orang yang mati sia-sia karena terkena senjata atau bom yang sebenarnya tidak ditujukan bagi mereka. Rumah mereka hancur dan mereka pun terpaksa mengungsi.

(6)

B. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Hukum Humaniter Internasional

Pengertian Hak Asasi Manusia yang sangat kompleks seringkali diinterpretasikan dalam berbagai pengertian yang berbeda-beda. Hingga kini, banyak negara masih menganggap bahwa persoalan Hak Asasi Manusia merupakan urusan dalam negerinya sendiri (internal affair). Dari pandangan tersebut akan muncul suatu konsekuensi, bahwa penyelesaian terhadap persoalan tersebut cukup dilakukan intern negara yang bersangkutan. Campur tangan oleh pihak asing atau instusi di luar negaranya dianggap melanggar kedaulatan negara.

Perlindungan Hak Asasi Manusia adalah conditio sine qua non bagi negara modern yang telah menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi. Berdasarkan Deklarasi Wina (Vienna Declaration) tahun 1993, Universalitas Hak Asasi Manusia sebagai suatu sistem nilai telah diterima oleh masyarakat internasional. 35

Dua alasan yang mendukung pernyataan diatas adalah, pertama, persoalan Hak Asasi Manusia dewasa ini telah diatur oleh suatu lembaga internasional yanitu Perserikatan Bangsa-Bangsa/ PBB ( United Nations ) dan telah ada instrumen hukum internasional yang melandasi pengaturan Hak Asasi Manusia yaitu The International Bill of Human Rights, yang terdiri dari : Universal Declaration of Human Rights ; International Covenant on Civil and Political Rights ( ICCPR ) dan dua Optinal Protocols; International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR). Kedua, esensi HAM yang

35

(7)

bersifat universal sehingga substansinya adalah sama pada setiap tempat dan telah diformulasikan kedalam pengertian yang bernilai yuridis.36

Sebagai contoh misalnya pengertian penganiayaan (torture) yang tercantum dalam Pasal 1ayat (1) Konvensi anti Penyiksaan ( Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment ), merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Di manapun dan apapun bentuknya, secara universal penganiayaan tidak dapat dibenarkan. Namun demikian implementasi Hak Asasi Manusia dapat dilakukan dengan cara yang berbeda, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kaidah-kaidah hukum internasional.37

Dari persoalan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM tidak melulu terjadi di negara miskin atau negara yang sedang berkembang,

Hingga saat ini berbagai macam bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia masih terus terjadi, walaupun telah banyak negara yang meratifikasi berbagai instrumen Hak Asasi Manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa sedemikian banyak negara yang meratifikasi instrumen Hak Asasi Manusia, tidak selalu berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas perlindungan Hak Asasi Manusia. Banyak fakta menunjukkan hal itu justru terjadi pada masa damai, antara lain seperti yang dialami oleh masyarakat etnis minoritas Moro ( Filipina ) dan Negro ( Amerika Serikat ). Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat asli (indigeneous people), seperti masyarakat Aborogin (Australia ), Indian ( Amerika Serikat ).

36

Ibid.

37

(8)

namun hal itu terjadi pula di negara-negara maju. Dengan demikian maka pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat terjadi di manapun, tidak tergantung dari sistem politik, ekonomi yang dianut oleh suatu negara maupun sistem sosial dan budaya yang hidup di negara tertentu.

Dalam masa damai, di lingkup nasional, perlindungan Hak Asasi Manusia sangat tergantung dari kemauan politik ( political will ) suatu negara dari pada kehendak puhak lain, seperti institusi internasional ( misalnya PBB) atau penerapan instrumen hukum internaisonal ( misalnya suatu international treaty). Sebab, setiap negara akan menggunakan kedaulatannya secara penuh untuk menentukan setiap kebijakan dalam mengatur negaranya. Institusi internasional seperti PBB atau suatu instrumen hukum Hak Asasi Manusia internasional memiliki berbagai keterbatasan untuk ’memaksakan’ kekuatan dan kewenangannya.

Dalam konteks persoalan Hak Asasi Manusia, kemauan polotik biasanya diwujudkan dalam bentuk politik (political statement) yang ditindak lanjuti dengan meratifikasi instrumen hukum internasional, kemudian diformulasikan menjadi aturan hukum nasional ( national regulation ) yang dimaksudkan untuk menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia.

(9)

menimbulkan penderitaan terhadap umat manusia dan kerusakan lingkungan hidup.

Senjata nuklir, kimia dan biologi merupakan senjata-senjata permusuhan massal yang sangat berbahaya. Masih melekat dalam ingatan kita ketika senjata biologi dan kimia dipergunakan selama Perang Teluk antara Irak melawan Iran, betapa dahsyat akibat yang ditimbulkannya. Walaupun penggunaan senjata kimia dan biologi telah dilarang, namun banyak negara yang masih menyimpan, mempergunakan atau bahkan memproduksinya untuk kepentingan militer.

Sesungguhnya berbagai instrumen hukum internasional telah mengatur sarana-sarana yang boleh dan dilarang untuk dipergunakan dalam berperang. Instrumen-instrumen tersebut antara lain, yaitu :38

38

Arlina Permanasari, Op.Cit, hal. 22-46

1. St. Petersburg Declaration Renouncing the Use in War of Certain Explosive Projectiles, 1868.

Tujuan Deklarasi ini adalah untuk melarang penggunaan peluru yang apabila mengenai benda yang keras permukaannya dapat menyebabkan terjadinya ledakan.

2. The Hague Declaration, 1899.

(10)

3. The Hague Convention IV, 1907.

Konvensi ini mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat, yang judul lengkapnya adalah Convention Respecting to the Laws and Customs of War on Land merupakan penyempurnaan konvensi II Den Haag Tahun 1899. 4. Geneva Protocol for the Prohibition of Poisonous Gases and Bacteriological

Methods of Warfare, 1925.

Protokol ini dirumuskan dan ditndatangani dalam suatu konfrensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi. Larangan itu mencakup larangan pemakaian gas air mata dalam perang dan pemakaian herbisida untuk kepentingan perang.

5. Protocol Addition I to the Geneva Conventions of 1949, 1977.

Protokol I tambahan konvensi Jenewa merupakan tambahan dari konvensi-konvensi Jenewa 1949. Protokol ini memuat tentang perbaikan perawatan bagi anggota-anggota angkatan bersenjata didarat yang luka dan sakit, serta sarana dan metode berperang.

6. Convention on the Prohibitions or Restristions on the Use of Certain Weapons which May be Deemed to Be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate

Effects,1980.

Konvensi ini juga merupakan landasan hukum untuk melarang atau membatasi penggunaan senjata lainnya yang dapt mengakibatkan penderitaan yang berlebihan.

(11)

kaidah hukum humaniter, karena mereka beranggapan bahwa prinsip-prinsip hukum humaniter bertentangan dengan tujuan dan kepentingan perang.

Berkenaan dengan Hak Asasi Manusia, perlakuan terhadap tawanan perang bagi kombatan ( combatan ) merupakan suatu hal yang sangat penting. Sebab, menurut hukum humaniter seorang kombatan mempunyai status sebagai tawanan perang sehingga harus dilindungi dengan aturan hukum tersebut, dan tidak dianggap atau diperlakukan sebagai krimina.

Para pihak yang bertikai dalam suatu peperangan sering mengabaikan aturan hukum humaniter yang berlaku. Genocide atau pemusnahan secara ”massive” terhadap pihak yang dianggap sebagai musuh, merupakan suatu contoh untuk menunjukkan betapa kejamnya perang tanpa pembatasan, sebagaimana yang dilakukan oleh rezim Nazi yang telah membantai sekitar dua juta bangsa Yahudi, Gipsi dan Slavia sebelum dan selama Perang Dunia II.39

Berdasarkan instrumen hukum Hak Asasi Manusia internasional, ruang lingkup perlindungan Hak Asasi Manusia pada hakikatnya meliputi keseluruhan sebstansi yang dimuat dalam ”Universal Declaration of Human Rights/UDHR”,

yang telah dianggap sebagai suatu ”common standard of achivement for all peoples and nations”. Selanjutnya, untuk memperkuat UDHR, PBB telah menyusun dua perjanjian internasional (covenant) yang bersifat mengikat secara hukum yaitu,”International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR”

39

(12)

beserta dua Protokol Tambahan dan ”International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights/ICESCR”.40

40

Ibid, hal. 97

Berdasarkan uraian terdahulu dapat kita simpulkan bahwa Hak Asasi Manusia tetap mendapat perlindungan di segala keadaan, dalam berbagai instrumen hukum internasional.

Dilihat dari keterkaitan pelaksanaan dan situasi yang terjadi ( damai atau perang ), Hak Asasi Manusia dapat kita bedakan lagi menjadi dua ketegori dan masing-masing memliki sifat yang khas, yaitu Hak Asasi Manusia yang merupakan derogable rights dan non derogable rights.

Derogable rights adalah hak-hak yang dapat ditunda pelaksanaannya apabila dalam suatu negara terjadi keadaan darurat yang mengancam kehidupan dan eksistensi negara. Hak-hak yang dimaksud dan syarat-syarat untuk melakukan

derogation diatur dalam Pasal 4 ayat (3) ICCPR. Non-derogable rights adalah hak-hak yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya dalam situasi bagaimanapun karena telah dianggap sebgai ’ius cogens’.

Menurut van Boven, hak-hak yang mempunyai karakteristik sebagai ’ius cogens’ mengikat setiap negara, sekalipun tidak ada kewajiban yang diharuskan oleh konvensi atau tidak ada pernyataan persetujuan atau komentar apapun secara khusus.

(13)

Selanjutnya, didalam bentuknya yang modern sebagai suatu asas dasar dari hukum humaniter internasional, maka asas prikemanusiaan ini untuk pertama kali dirumuskan dengan tegas oleh J.J.Rousseau yang dinyatakan dalam contract social yaitu:41

Dalam Mukadimah UDHR alinea ke-5 dinyatakan bahwa: “ Member State have pledged themselves to achieve, in cooperation with the United Nation, the

promotion of universal respect for and observance of human rights and

fundamental freedoms”, dengan demikian setiap negara anggota PBB mempunyai kewajiban (moral) untuk menghormati dan memajukan perlindungan Hak Asasi ” War then is a relation, not between man and man but between State and State and individuals are enemies only accidentally, not as a men, nor even citizen

as but as soldiers, not as members of the country but as its defenders… The object

or war being the destruction of hostile State, the other side has a right to kill its

defenders, while they are bearing arms; but as soon as they lay them down and

surrender, they cease to be enemies or instruments of the enemy, and become once

more merely men, whose life no one has any right to take”.

Maksud uraian diatas adalah bahwa dalam perang, pihak-pihak yang secara langsung terlibat didalamnya tidak merupakan individu-individu sebagai perorangan ataupun sebagai warga negara, namun dalam kapasitasnya sebagai seorang prajurit. Karena itu ketika salah satu dari mereka meletakkan senjata dan menyerah, maka statusnya kembali sebagai ‘manusia’ yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan.

41

(14)

Manusia, dan terlebih lagi setiap negara merupakan bagian dari komunitas internasional yang saling bergantung satu sama dengan yang lainnya ( inter-dependence ).42

Kewajiban tersebut diatas selanjutnya ditingkatkan “derajatnya” menjadi kewajiban hukum yang mengikat negara peserta, seperti yang dinyatakan dalambagian Mukadimah alinea ke-4 dari ICCPR dan ICESCR yaitu: “…the obligation of State under the Charter of the United Nation to promote universal respect for, and observance of, human rights and freedoms”.43

Dalam bidang hukum tersebut humaniter, dengan terbentuknya Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 satu tahun setelah lahirnya UDHR, perlindungan Hak Asasi Manusia menjadi semakin kuat khususnya dalam situasi perang. Hal itu dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 Konvensi-Konvensi Jenewa bahwa “The High Contracting Parties undertake to respect and to ensure respect for this

convention in all circumstances”. 44

Dalam hukum humaniter, perlindungan Hak Asasi Manusia tetap diberikan walaupun dalam kondisi tidak ada aturan hukum tertulis yang mengaturnya, yaitu berdasarkan hukum kebiasaan internaisonal (internasional

Pernyataan diatas juga ditemukan dala Pasal 1 ayat (1) Protokol I 1977, yaitu apabila Protokol ini tidak mengatur persoalan-persoalan yang terjadi dalam suatu konflk bersenjata, maka perlindungan (Hak Asasi Manusia) secara otomatis tetap diberikan berdasarkan asas-asas hukum internasional yang diturunkan dari kebiasaan, asas0asas kemanusiaan dan rasa kesadaran umum.

42

Kumpulan Tulisan Hukum Humaniter, Op.Cit, hal. 100

43

Ibid

44

(15)

customary law ). Hal itu diakomodasi di dalam Martens Clause, seperti yang dinyatakan dalam Mukadimah Konvensi Den Haag IV tahun 1970 (The Hague Convention IV 1970) bahwa :45

Salah satu aspek penting dari suatu hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum baru dapat dikatakan efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang

“Until a more complete code of the laws of war has been issued, the High

Contracting Parties deem it expedient to declare that, in case not included in the

Regulation adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the

protection and the rule of principles of the law of nations, as they result from the

usages established among civilized people, from the laws of humanity, and

dictates of public conscience”.

Secara ringkas, khususnya ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur sebuah ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab yakni berdasarkan hukum kemanusiaan serta dari pendapat masyarakat.Klausula Materns sangat penting karena, dengan mengacu pada hukum kebiasaan internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-norma kebiasaan dalam pengaturan sengketa bersenjata.

C. Mekanisme Penegakan Hak Asasi Manusia

45

(16)

melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka di dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan.

Aktor atau pelaku adalah pihak-pihak yang memainkan peranan dalam hubungan internasional atau dalam politik lokal, termasuk di dalamnya adalah orang perorangan, organisasi atau lembaga dan negara. Aktor terdiri atas aktor negara dan bukan negara. Interaksi antar aktor itu membentuk hubungan internasional. Dalam situasi konflik dengan bantuan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan pada mulanya diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh negara kepada negara lain karena bencana alam, seperti tsunami, gempa bumi, banjir, kebakaran hutan, kelaparan, dan lain-lain.

Pengertian ini kemudian dikembangkan tidak hanya mencakup bencana alam yang bersifat temporer, tetapi juga bencana sosial dan endemik. Diantara aktor-aktor yang melakukan kegiatan kemanusiaan didaerah konflik, terdapat beberapa organisasi internasional. Di antaranya Perserikatan Bangsa-Bangsa, ICRC, dan Amnesty Internasional.

1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

(17)

bencana akibat ulah manusia yang tidak bisa di tangani pemerintah negara yang bersangkutan.

Untuk mengoordinasikan tindakan kemanusiaan, majelis umum PBB pada tahun 1991 membentuk komite yang mengoordinasikan resepons internasional terhadap krisis kemanusiaan. The United Nations Emergency Relief Coordinator

bertindak sebagai penasehat kebijakan, koordinator dan pendukung terhadap darurat kemanusiaan. Office for The Coordinator of Humanitarian Affairs

(OCHA) mengoordinasikan bantuan PBB dalam krisis kemanusiaan yang tidak bisa ditangani sebuah badan PBB. Badan-badan PBB yang berperan penting dalam memberikan perlindungan dan bantuan dalam krisis kemanusiaan adalah UNICEF, WFP, dan UNHCR. UNICEF bekerja didaerah konflik karena anak-anak dan wanita merupakan bagian terbesar dari para pengungsi. UNICEF membantu mengadakan pelayanan sanitasi dan air, sekolah, imunisasi, dan obat-obatan. WFP memberikan bantuan pangan yang sangat cepat dan efesien jutaan orang korban konflik. Sementara itu, masalah pengungsi internasional ditangani oleh UNHCR.46

2. Internasional Committee of The Red Cross ( ICRC )

International Committee of The Red Cross/Komite Palang Merah Internasional (atau yang disebut ICRC) bukan suatu organisasi yang dimiliki berbagai negara, tetapi suatu lembaga kemanusiaan yang bersifat mandiri. ICRC adalah suatu organisasi non-pemerintahan yang mandiri.

46

(18)

ICRC melakukan tindakan kemanusiaan dalam bentuk bantuan dan perlindungan. ICRC selalu berusaha memberikan bantuan dan perlindungan kepada para korban, baik dalam pertikaian bersenjata internasional maupun dalam negeri, serta pada waktu kekacauan internasional. Apabila dibutuhkan, ICRC mengorganisir program pertolongan kemanusiaan dan operasi media bagi korban perang, penduduk sipil dibawah penduduk musuh, serta bagi pengungsi.

Suatu aspek penting dari kegiatan ICRC adalah kunjungan ke tempat penahan. Berdasarkan konvensi Jenewa, untuk melindungi tawanan perang, ICRC berwenang untuk mengunjungi segala tempat penahan (termasuk rumah sakit, tempat kerja, penjara). Tujuan kunjungan ini adalah untuk melihat kondisi tawanan / termasuk selama tawanan / ditahan dan bukanlah untuk mengetahui sebab-sebab atau alasan mereka ditawan / ditahan. Dalam kunjungannya ICRC melihat kondisi materil, perlakuan, memeriksa kesehatan fisik dan mental dari orang yang dikunjungi. Disamping itu ICRC memberikan bantuan yang dibutuhkan, baik kepada tawanan / tahanan maupun keluarganya, dan menjamin bahwa komunikasi dengan keluarganya masing-masing tidak terputus.47

Dalam usahanya untuk selalu memberikan perlindungan dan bantuan kepada rakyat sipil dan militer yang menjadi korban dalam pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional, serta pada waktu kekacauan dalam negari, ICRC bertindak sebagai penengah yang netral. Penengah yang netral harus diartikan bahwa dalam melaksanakan kegiatannya harus berhubungan dengan semua pihak yang terlibat tanpa memihak pada siapapun, karena hanya mengutamakan kepentingan humaniter tanpa mempertimbangkan aspek politis dari konflik. Peranan ICRC sebagai penengah yang netral menjadi semakin

47

(19)

penting. Alasannya yakni dari satu sisi, jenis konflik yang berlangsung dimasa kini dengan melibatkan semakin banyak pihak yang berbeda (antara lain kelompok bersenjata, pemberontakan, milisi, dan lainnya) bersifat semakin kompleks sehingga suatu penengah dirasakan sangat perlu. Dari sisi lain, badan yang dapat berperan sebagai penengah yang netral, selain ICRC sulit ditemukan. Disini kenetralan berarti tidak memihak pada siapapun, tetapi mengutamakan kepentingan para korban, tanpa mempedulikan kebangsaan ras, agama, status atau pandangan politisnya. Dan prinsip ini harus teguh dipatuhi, tanpa adanya perkecualian dalam penerapannya.48

3. Amnesti Internasional

Amnesti Internasional dikenal sebagai aktor pembela kemanusiaan yang gigih. Organisasi non-pemerintahan ini dibentuk di London pada tahun 1961 oleh Peter Benenson. Peter Benenson mengajukan permohonan agar para tahanan politik di dunia di berikan amnesti. Organisasi ini berhasil berkembang dan mendapat kepercayaan masyarakat internasional sehinga memperoleh hadiah Nobel untuk Perdamaian tahun 1977.

Fokus perhatian utama Amnesti Internasional adalah penghormatan terhadap hak sipil dan politik. Secara khusus organisasi ini memperjuangkan kebebasan para tahanan yang dihukum karena pendapat politik, agama, atau karena alasan diskriminasi. Namun demikian, aktivitas organisasi termasuk meliputi pengiriman misi ke negara-negara tempat terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.49

48

Ibid, hal. 114-115

49

Ambarwati, Op.Cit, hal. 134-135

(20)

BAB IV

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PENDUDUK SIPIL

A. Penerapan Hukum Humaniter Internasional Terhadap Orang Sipil

Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional pada orang sipil

tergantung pengaturan orang sipil itu dalam Hukum Humaniter Internasional dan

pengaturan orang sipil dalam Hukum Nasional yang bersangkutan. Hal itu

disebabkan karena Hukum Humaniter Internasional yang hendak diterapkan

merupakan bagian dari hukum internasional sedang orang sipil yang hendak

diterapi ketentuan Hukum Humaniter Internasional itu berada dalam yuridiksi

Hukum Nasional suatu negara. Berdasarkan kenyataan itu uraian ini akan

menelaah kemungkinan penerapan Hukum Humaniter Internasional beserta

perlindungan yang ditetapkan pada orang sipil menurut pengaturan Hukum

Humaniter Internasional dan diikuti penelaahan kemungkinan penerapan Hukum

Humaniter Internasional beserta perlindungan yang ditetapkan menurut

pengaturan Hukum Nasional.

Pengaturan orang sipil dan perlindungannya dalam Hukum Humaniter

Internasional dapat dibedakan menurut bentuk isinya. Menurut bentuknya

pengaturan Hukum Humaniter Internasional itu tertuang dalam hukum

internasional kebiasaan dan dalam hukum internasional perjanjian. Jumlah

(21)

itu berdiri sendiri. Satuan pengaturan yang satu terlepas berlakunya dari satuan

pengaturan yang lain. Dari jumlah pengaturan itu Hukum Humaniter Internasional

kebiasaan yang hendak dibicarakan dalam uraian ini terutama adalah Instruksi

Lieber tahun 1863. Adapun Hukum Humaniter Internasional perjanjian yang

hendak dibicarakan dalam naskah ini terutama Konvensi Jenewa tahun 1861.

Konvensi Den Haag tahun 1899/1907, Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol

tahun 1977 Tambahan pada Konvensi Jenewa tahun 1949.50

Instruksi Pemerintah Amerika Serikat, yang dianggap sebagai kodifikasi hukum perang internasional dengan menggunakan kata-kata seperti ”unarmed citizens”, ”private citizens”, inoffensive citizens”, ”private individuals” dan

”non-combatant” merupakan beberapa ketentuan yang mengatur orang sipil menurut pengertian naskah ini. Instruksi ini membedakan orang sipil dalam tiga kelompok, yakni orang sipil yang ”inoffensive”, orang sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan, dan orang sipil yang terkait dala pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Bagi mereka Instruksi tersebut menetapkan perlindungan dan larangan.

1. Instruksi Lieber Tahun 1863

51

Orang sipil yang ”inoffensive” mendapatkan perlindungan pribadi, harta dan kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindahpaksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesucian hubungan keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Orang disipil yang turut serta

50

Fadillah Agus., Op.Cit., hal. 42

51

(22)

langsung dalam permusuhan sebagai peserta ”levee en masse” diberi kedudukan sebagai ”belligerent”. Orang sipil yang terkait aktif dalam pelaksanaan tugas angkatan bersenjata bila tertangkap musuh berhak mendapatkan status tahanan perang. Disamping perlindungan itu Instruksi tersebut juga menetapkan larangan bagi penduduk sipil, misalnya larangan dilakukannya perbuatan perang oleh orang sipil. Di wilayah penduduk orang sipil dilarang melakukan perlawanan bersenjata.

Ketentuan Hukum Humaniter Internasional dalam Intruksi Lieber 1863 yang mengatur penduduk sipil itu berlaku pada penduduk sipil beserta perlindungan yang ditetapkannya sebagai ketentuan Hukum Humaniter Internasional kebiasaan.52

Konvensi Jenewa tahun 1949 mengatur perlindungan korban perang dan terdiri dari empat konvensi. Konvensi yang pertama, kedua dan ketiga tahun 1949 mengatur perlindungan korban perang anggota angkatan perang. Di samping itu Konvensi Jenewa keempat tahun 1949 mengatur perlindungan korban perang 2. Konvenesi Jenewa Tahun 1864 dan 1949

Konvensi Jenewa Tahun 1864 merupakan perjanjian internasional Hukum Humaniter Internasional pertama yang menetapkan perlindungan bagi korban perang. Konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi korban perang itu menetapkan perlindungan bagi mereka yang luka dimedan perang, personil dan kesatuan medik beserta peralatannya. Ketentuan ini juga mengatur tingkah laju orang sipil dalam pertikaian bersenjata beserta perlinduangannya.

52

(23)

orang sipil. Walaupun demikian secara eksplisit Konvensi Jenewa I, II dan III tahun 1949 itu tidak menetapkan batasan pengertian ”belligerent” kombatan ataupun anggota angkatan perang, Konvensi Jenewa IV tahun 1949 juga tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil. Tetapi konvensi-konvensi itu menetapkan orang yang dilindungi masing-masing Konvensi tersebut.

Orang yang dilindungi Konvensi Jenewa I, II dan III tahun 1949 terdiri dari enam kelompok orang yang sama, yakni :53

1. Anggota angkatan perang dari Pihak yang bertikai ;

2. Anggota milisi, anggota barisan sukarelawan, anggota gerakan perlawanan dari Pihak yang tertikai yang memenuhi persyaratan tertentu ;

3. Anggota angkatan perang dari Penguasa yang tidak diakui Negara Penahan ;

4. Anggota yang menyertai angkatan perang tanpa menjadi anggotanya ; 5. Anggota awak kapal sipil atau pesawat terbang sipil dari pihak yang

bertikai ;

6. Peserta ”levee en masse”.

Konvensi Jenewa IV merupakan perjanjian internasional yang khusus mengatur perlindungan penduduk sipil di masa perang. ”Prinsip yang mendasari perlindungan penduduk sipil ini ialah prinsip penghormatan pribadi manusia dan prinsip tidak dapat diganggu gugatnya hak-hak dasar pribadi manusia baik pria maupun wanita”54

53

Ibid, hal. 46

54

(24)

Orang sipil yang dilindungi Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 itu tidaklah mencakup semua orang sipil. Orang sipil yang dilindungi Konvensi ini pada umumnya hanyalah orang sipil yang berada di tangan musuh, baik di wilayah musuh, di wilayah yang diduduki, maupun diwilayah pertempuran. Adapun perlindungan yang ditetapkan bagi mereka itu di antaranya ialah :55

1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang musuh yang menguasainya di wilayah pihak yang tertikai, di wilayah pendudukan, di interniran ;

2. Bantuan kantor penerangan ; 3. Penghormatan pribadi manusia ;

4. Penghormatan hak-hak dasar pribadi manusia pria ataupun wanita ; 5. Larangan penghukuman kolektif, penyanderaan, penghinaan ; 6. Kesempatan meninggalkan wilayah musuh ;

7. Jaminan mendapatkan makan dan obat-obatan di wilayah pendudukan. Protokol tahun 1977 tambahan pad konvensi Jenewa tahun 1949.

Sesuai dengan namanya Protokol tahun 1977 tambahan pada KJ tahun 1949 (Protokol tahun 1977) merupakan tambahan dari Konvensi Jenewa tahun 1949. Penambahan itu ditetapkan karena adanya perkembangan pengertian pertikaian bersenjata, kebutuhan perlindungan yang lebih luas bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam serta perkembangan cara dan sarana perang beberapa waktu yang lalu. Namun dilihat dari isi Protokol tahun 1977 itu juga merupakan tambahan Konvensi Den Haag, karena Protokol yang juga mengatur cara dan sarana pertikaian bersenjata.

55

(25)

Protokol tahun 1977 terdiri dari dua Protokol, yaknik Protokol I dan Protokol II tahun 1977. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang Perlindungan korban pertikaian bersenjata yang bersifat internasional. Protokol II tahun 1977 mengatur Perlindungan korban pertikaian bersenjata yang bersifat non internasional.

Berbeda dengan perjanjian internasional yang lain. Protokol I tahun 1977 secara eksplisit menetapkan batasan pengertian orang sipil. Pada dasarnya orang sipil, menurut Protokol 1977, diartikan sebagai setiap orang yang bukan anggota angkatan bersenjata adalah kombatan, yakni mereka yang berhak ikut serta dalam permusuhan.56

Protokol I dan II Tahun 1977 menetapkan perlindungan bagi orang sipil. Protokol I tahun 1977 menetapkan : 57

1. Larangan menyerang orang sipil ;

2. keharusan dilakukannya penghati-hati dalam melakukan perbuatan perang demi untuk melindungi orang sipil ;

3. Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil ; 4. Larangan permindahan paksa orang sipil ;

5. Jaminan mendapatkan bantuan ;

6. Kesempatan memberi bantuan korban pertikaian bersenjata. Protokol II tahun 1977 menetapkan : 58

1. Perlindungan terhadap operasi militer ;

2. Larangan dijadikannya orang sipil sebagai sasaran pertikaian bersenjata ;

56

Arlina Permanasari., Op.Cit., hal. 204.

57

Fadillah Agus, Op.Cit., hal 49.

58

(26)

3. Larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian ;

4. Larangan menyerang bangunan dan instalasi yang mengandung kekuatan berbahaya ;

5. Larangan pemindahan paksa orang sipil ;

6. Perlindungan kumpulan dan orang sipil penolong korban pertikaian bersenjata.

3. Deklarasi ST. Petersburg Tahun 1868

Deklarasi St. Petersburg tahun 1868 merupakan perjanjian interasioal pertama yang melarang penggunaan senjata tertentu di dalam perang. Meskipun Deklarasi ini secara eksplisit tidak mengatur orang sipil. Deklarasi ini secara implisit menetapkan perlindungan bagi orang sipil. Perlindungan itu ditetapkan dengan dicantumkannya asas pembedaan antara orang sipil dan kombatan didalam konsideransnya. Konsiderans itu menetapkan bahwa satu-satunya sasaran sah yang dapat dituju dalam perang adalah melemahkan angkatan bersenjata musuh. Yang bukan anggota angkatan bersenjata musuh. Yang bukan anggota angkatan bersenjata musuh, yakni orang sipil. Dalam pada itu ketentuan PDH itu menjelang tahun 1939 telah diakui oleh semua negara dan dianggap sebagai perumusan hukum kebiasaan perang.

4. Konvensi Den Haag Tahun 1899 dan Tahun 1907

(27)

sama isinya. Peraturan Den Haag tahun 1907 mema ng dimaksudkan sebagai penyempurnaan dari Peraturan Den Haag dari tahun 1899. Karena penyempurnaan itu hanya sedikit dua Peraturan itu lazim dibahas bersama.

Peraturan Den Haag tersebut terutama mengatur ”belligerents”, baik kualifikasi maupun hak dan kewajibannya. ”Belligerents” adalah mereka yang tunduk pada hukum perang. Dalam istilah sekarang mereka itu adalah kombatan. Peraturan Den Haag tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil. Namun dalam PDH itu terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur orang-orang yang tidak tergolong ”belligerents”, yaitu orang-orang yang tidak ikut dalam permusuhan. Mereka itu adalah orang sipil. Peraturan Den Haag melindungi orang sipil yang berada di wilayah pendudukan. Perlindungan yang ditetapkan Peraturan Den Haag itu merupakan perlindungan orang sipil terhadap tindakan sewenang-wenang dari musuh yang menguasainya. Perlindungan itu memang ditetapkan dalam rangka mengatur kekuasaan militer atas wilayah mushu. Garis besar perlindungan itu adalah sebagai berikut :59

1. Larangan pemaksaan orang sipil memberikan informasi tentang angkatan bersenjata pihak lawan bertikai atau tentang pelengkapan pertahannya ;

2. Larangan meminta sumpah kepada orang sipil untuk setia kepada penguasa pendudukan ;

3. Penghormatan hak-hak pribadi dan harta orang sipil ; 4. Larangan menjarah-rayah penduduk sipil ;

5. Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain yang sewenang-wenang ; 6. Larangan penghukuman kolektif para orang sipil ;

7. Larangan pencabutan hak milik orang sipil secara sewenang-wenang.

59

(28)

B. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil

Sebelum membahasa pengertian dari penduduk sipil, ada baiknya diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai perbedaan antara kombatan dan penduduk sipil (civilion). Pembedaan ini berkaitan dengan pemberian status antara kombatan dan civilion.

Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Demikian, salah satu ketentuan Hukum Humaniter Interasional yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran.

Prinsip atau asas pembedaan (distriaction Principle) merupakan suatu asas yang penting dalam Hukum Humaniter, yaitu suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata kedalam dua golongan, yaitu kombatan dan penduduk sipil. Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam konflik bersenjata, sedangkan penduduk sipil (civilion) adalah orang atau sekumpulan orang yang bukan anggota angkatan bersenjata yang karenanya tidak berhak ikut serta dalam permusuhan.60

Prinsip pembedaan antara kombatan dan penduduk sipil adalah untuk mengetahui siapa saja yang boleh ikut dala konflik bersenjata, sehingga boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan. Hal ini penting untuk diketahui karena

60

(29)

sejak perang mulai dikenal, sesungguhnya hanya berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dan negara-negara yang terlibat dalam peperangan. Sedangkan penduduk sipil harus dilindungi dari tindakan-tindakan peperangan tersebut. Keadaan ini sudah diakui sejak zaman dahulu, setiap modifikasi hukum moderen kembali menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau kekerasan perang.61

Asas umum ini memerlukan penjabatan lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principles of application), yakni :

Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ritione personae yang menyatakan, ”the civilian population and individual civilians shall enjoy general protction against danger

arising from military operation”.

62

a. Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil. b. Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh

dijadikan objek serangan walaupun dalam hal pembalasan (reprisals).

c. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.

d. Pihak – pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah penegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidak-tidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak di sengaja menjadi sekecil mungkin.

e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

61

Arlina Permanasari, Op.Cit, hal. 76

62

(30)

Uraian tersebut menunjukkan bahwa, sebagaimana tersirat dalam pernyataan Jean Pictet itu, meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para pada waktu perang atau konflik bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik kombatan. Karena, dengan adanya prinsip pembedaan itu, akan dapat diketahui siapa yang boleh turut serta dalam permusuhan dan karena itu boleh dijadikan objek kekerasan (dibunuh) dan siapa yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan dan karenanya tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan. Jadi secara normatif, prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Ini berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja.

Melihat perkembangan teknologi dan peradaban manusia semakin maju pada setiap tahunnya. Hal tersebut memicu berkembangnya peralatan dan teknik-teknik berperang baru. Sejalan dengan hal tersebut, norma-norma yang akan melandassi Hukum Humaniter Internasional dituntut untuk berkembang pula.

(31)

perang, baik mereka yang terlibat secara aktif dalam permusuhan (kombat), maupun mereka yang tidak terlibat dalam permusuhan (penduduk sipil).

Perlindungan Hukum Humaniter Internasional bagi penduduk sipil menurut Mochtar Kusumaatmadja63

Pada setiap peperangan, kedua belah pihak yang sedang melakukan konflik bersenjata (berperang) selalu menyatakan bahwa tindakan yang telah mereka lakukan tidak melanggar kaidah Hukum Humaniter Internasional atau

didasarkan pada prinsip kemanusiaan. Penekanan pada masalah tersebut timbul atas banyaknya pelanggaran hak-hak sipil dalam konflik bersenjata merupakan dampak dari semakin berkembangnya teknologi persenjataan modern. Masyarakat sipil sering turut merasakan kerugian akibat perang dimana terkadang sipil sendiri digunakan sebagai tameng bagi kepentingan militer. Sipil digunakan sebagai tameng dalam banyak hal, seperti penempatan sipil dalam military object maupun sebagai alat untuk mencapai kepentingan militer dari masing-masing pihak. Saat perang berlangsung, hak asasi masyarakat sipil lebih sering terabaikan daripada diperjuangkan dan diperhatikan. Hak asasi masyarakat sipil dalam konflik bersenjata inilah yang perlu untuk dilindungi.

Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia

63

(32)

tindakan tersebut dapat dibenarkan dengan alasan tertentu. Dasar pembenar yang sering digunakan adalah alasan military necessity dan proportionality.

Military necessity adalah suatu prinsip dalam hukum internasional humaniter. Prinsip ini merupakan suatu pagar pembatas dalam melakukan peperangan (conduct of armed conflict). Prinsip ini juga merupakan pembenaran atas keadaan darurat (conduct of armed conflict). Prinsip ini juga merupakan pembenaran atas keadaan darurat (perang) dimana pihak yang berperang diperbolehkan melakukan segala sesuatu untuk kepentingan militer, termasuk kekerasan. Namun, penggunaan kekerasan tersebut harus dibatasi oleh kepentingan militer, kekerasan yang berlebihan untuk mencapai suatu tujuan tidak dapat dibenarkan.

Sedangkan Proportionality dapat diartikan sebagai keseimbangan antara keuntungan militer dalam sebuah konflik bersenjata dengan kerugian yang akan ditimbulkan. Hal tersebut menimbulkan dua nilai yang saling bertolak belakang namun perlu pemenuhan yang saling sesuai dan tidak berlebihan. Nilai yang terkandung dalam proportionality adalah kepentingan pihak militer dan kepentingan penduduk sipil saat terjadi kontak bersenjata.

Konvensi Jenewa itu sendiri tidak mengatur secara jelas mengenai asas

(33)

C. Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Penduduk Sipil (Israel dan Palestina)

Untuk melengkapi tulisan ini penulis memasukkan pembahasan kasus mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap penduduk sipil :

The Early Warning Procedure dapat dipersamakan dengan Neighbour Procedure. Prosedur tersebut dilakukan oleh tentara Israel yang menginginkan seseorang (wanter person) pada daerah pesisir barat. The Early Warning Procedure dilakukan pada waktu dini hari dengan cara mengepung rumah orang yang diinginkan (target). Waktu dini hari ditentukan oleh tentara Israel untuk menghindari pergolakan yang mungkin akan terjadi sewaktu-waktu saat mereka datang untuk meminta target yang mereka maksud. Tidak hanya itu saja tentara Israel sengaja mendatangi rumah target pagi hari dan diam-diam (tidak dengan helikopter, megafone, ataupun sarana perang lainnya) untuk meminimalkan segala macam kemungkinan mereka diserang balik (perlawanan) oleh masyarakat sipil tersebut.

(34)

Israel menyatakan apa yang telah mereka lakukan terhadap target tersebut telah memenuhi military necessity dimana menekankan bahwa kekerasan berlebihan dalam konflik bersenjata tidak dibenarkan dan mereka hanya memperkecil dampak kekerasan yang berlebihan tersebut dengan cara menekankan pada salah satu target yang mereka maksud. Israel juga menyebutkan apa yang telah mereka lakukan sesuai dengan proportionality dimana mereka tidak membunuh secara membabi – buta. Mereka hanya memerlukan target yang mereka inginkan tersebut dan tidak membunuh orang lain selain target. Mereka juga menganggap hal tersebut legal karena tetangga target yang dimaksud oleh Israel bersifat sukarela.64

Berdasarkan ketentuan yang berlaku pada Konvensi Jenewa dan ketentuan terkait Human Humaniter Internasional lainnya, asas Propotionality merupakan Pada kasus Israel dan Palestina dalam The Early Warning Procedure

banyak terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hak asasi yang sering dilanggar dan sering terabaikan adalah hak asasi para penduduk sipil. Dalil pembenaran yang dilakukan oleh Israel adalah ilegal menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Hal yang dilakukan oleh tentara Israel bukan merupakan suatu dasar yang patut dibenarkan atau bersifat legal. Military necessity yang merupakan alasan sebagai dasar pembenar sudah menyimpang jauh dari semestinya. Begitu juga dengan asa proportionality yang didalilkan sebagai pembenaran atas tindakannya dengan hanya mengambil target tanpa harus melukai orang lain yang tidak terkait.

64

Hak Asasi Manusia dalam Kaitannnya dengan Hukum

(35)

asas yang tidak dijelaskan secara langsung dalam Hukum Humaniter Internasional. Dalam Hukum Humaniter Internasional, sehingga tidak terdapat jelas standar yang pasti apakah yang telah dilakukan oleh tentara Israel tersebut telah memenuhi asas proportionality atau belum. Namun, dapat dilihat bahwa apa yang telah dilakukan oleh tentara Israel sangat merugikan penduduk sipil karena dengan adanya tindakan tersebut hak sipil banyak terlanggar.

Pelanggaran yang telah dilakukan tentara Israel terhadap masyarakat sipil Palestina adalah :

a. Melakukan pemanfaatan terhadap penduduk sipil dengan cara menjadikannya sebagai tameng dalam konflik bersenjata.

b. Melakukan propaganda atau tekanan-tekanan terhadap masyarakat sipil. c. Melibatkan penduduk sipil dalam konflik bersenjata.

d. Memanfaatkan penduduk sipil sebagai alat untuk kepentingan tentara Israel dalam konflik bersenjata.

Pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Israel tersebut merupakan suatu hal yang dilarang secara tegasl dalam Konvensi Jenewa dan ketentuan hukum internasional lainnya.

Pasal 27 (1) Konvensi Jenewa IV menegaskan bahwa orang-orang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan harus dilindungi secara khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan penghinaan.65

Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa sipil juga termasuk kedalam orang-orang yang harus dilindungi saat konflik senjata berlangsung dan segala bentuk

65

(36)

pemanfaatan yang telah dilakukan oleh tentara Israel telah melanggar kaidah Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia, terutama hak penduduk sipil.

Hak-hak penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional dikemukakan dalam Additional Protocol to the Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts.

Pasal 13 menyatakan segala bentuk perlindungan sipil, yaitu : 66 a. Sipil berhak untuk memperoleh perlindungan umum. b. Sipil tidak boleh menjadi sasaran peperangan.

c. Sipil dapat diungsikan bila dimungkinkan, ketika konflik bersenjata semakin bergejolak dan dikhawatirkan akan memakan korban jiwa pada penduduk sipil.

Pada Protokol Tambahan I tersebut dapat terlihat jelas bahwa hak penduduk sipil sangat perlu untuk dipentingkan dan diperhatikan. Maka, segala bentuk pemanfaatan tersebut tidak diperkenankan terlebih meemanfaatkan sipil sebagai tameng dan demi keuntungan militer.

Pasal 28 Konvensi Jenewa IV juga menyatakan bahwa seseorang yang dilindungi tidak boleh digunakan untuk menyatakan sasaran tertentu kebal dari operasi militer.67

66

Mochtar Kusumaatmadja., Op.Cit., hal. 59.

67

Syahmin Ak., Op.Cit., hal. 121.

(37)

Penduduk sipil berhak atas perlindungan dibawah Konvensi Jenewa IV. Perlindungan tersebut menitik beratkan pada perlindungan sipil yang ada di wilayah yang diduduki. (sipil tidak diungsikan) berhak atas suatu hak asasi terkait dengan hak atas rasa aman. Sipil berhak atas perlindungan dibawah naungan Konvensi Jenewa dan bebas dari segala rasa takut.

Pasal 51 Konvensi Jenewa IV menyatakan bahwa pendudukan terhadap suatu wilayah tetap tidak membenarkan tindakan propaganda atau tekanan-tekanan yang bertujuan untuk memperoleh tenaga militer sukarela.68

Terkait dengan kasus tersebut, hukum nasional Indonesia juga dapat membuktikan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Israel adalah salah dan merupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Undang-Undang

Pada kasus tersebut, Israel memanfaatkan tetangga target untuk kepentingan militer Israel. Israel mengemukakan bahwa tetangga tersebut merupakan seorang sukarelawan yang rela membantu tentara Israel. Hal yang dikemukakan Israel tersebut tidak dapat dibuktikan secara nyata karena dimungkinkan adanya suatu tindakan propaganda yang telah dilakukan tentara Israel. Tetangga tersebut dinyatakan sebagai sukarela hanya bila dia melakukan tanpa tekanan dari tentara Israel. Namun, bila ternyata tetangga tersebut di bawah tekanan atau propaganda tentara Israel maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebut saja bila tentara Israel ternyata menyuruh tetangga tersebut untuk mengikuti perintah Israel dengan senjata mengarah dibelakang punggung si tetangga, maka hal tersebut bukan termasuk sebagai sukarelawan.

68

(38)

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia meruakan salah satu hukum nasional yang menjadi dasar perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata.

Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Berdasarkan definisi di atas apa yang telah dilakukan oleh tentara Israel telah bertentangan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana sekelompok orang (tentara Israel) telah sengaja melakukan pelanggaran terhadap hak asasi penduduk sipil Palestina. Hak yang terkait dengan Hak Asasi Manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadian persamaan di hadapan hukum.

Pasal 20 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba.69

69

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 20.

(39)

Pasal 30 Undang-Undang Hak Asasi Manusia juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat.70

Ketakutan penduduk sipil timbul atas dasar pertanyaan pada diri masing-masing, siapakah yang akan menjadi target selanjutnya dan siapakah yang akan dipaksa sebagai perantara antara tentara Israel dan target. Ketakutan mereka menjadi suatu bukti bahwa mereka tidak mendapat pemenuhan hak atas rasa aman.

Berdasarkan pasal tersebut, penduduk sipil Palestina tidak seharusnya selalu merasakan takut, karena mereka adalah bagian yang harusnya terlindungi ketika konflik bersenjata berlangsung. Penduduk sipil tersebut juga tetap berhak atas hak-hak kebebasan pribadi dan hak atas rasa aman kerap kali dilanggar oleh pihak yang melakukan konflik militer.

71

Pelanggaran tersebut juga didalihkan dengan segala alasan pembenar, yaitu military necessity dan proportionality. Sesungguhnya prinsip military necessity digunakan sebagai pelaksana dari tujuan hukum humaniter, yaitu menyeimbangkan antara keperluan militer dengan perlindungan terhadap korban perang. Sedangkan Iproportionality seharusnya digunakan untuk meminimalisir Ketika konflik bersenjata muncul, penduduk sipil kerap kali timbul sebagai bagian yang menderita kerugian. Hak-hak asasi yang melekat pada penduduk sipil lebih sering terlanggar dan terabaikan. Pelanggaran tersebut dapat berbentuk segala macam hal, mulai dari sipil sebagai tameng hingga pemanfaatan sipil untuk ikut berperang dengan dasar propaganda atau tekanan.

70

Ibid., Pasal 30.

71

(40)

segala dampak yang terjadi saat konflik bersenjata tersebut berlangsung. Namun, kedua prinsip tersebut ternyata malah menjadi dalih pembenaran bagi segala tindakan yang dilakukan saat konflik bersenjata tersebut berlangsung.

Sipil seharusnya adalah bagian yang harus dilindungi dan dihindari dari segala bentuk kekerasan yang terkait. Sipil tidak boleh dimanfaatkan dengan alasan apapun untuk keuntungan dan kepentingan militer. Larangan pemanfaatan sipil diatur tidak hanya dalam konvensi Jenewa, namunjuga diatur dalam Protokol tambahan, Peraturan Den Haag, dan ketentuan hukum internasional lainnya. Sedangkan hukum nasional Indonesia mengatur mengenai perlindungan atas Hak Asasi dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia.

Kasus yang terjadi antara Israel dan Palestina tidak dapat dibenarkan dengan ketentuan hukum maupun, baik ketentuan internasional maupun ketentuan hukum nasional negara Republik Indonesia. Segala hal yang telah dilakukan oleh tentara Israel dinyatakan salah karena segala bentuk pemanfaatan penduduk sipil dalam konflik bersenjata demi keuntungan pihak militer adalah pelanggaran dan dinyatakan dilarang.

Pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Israel dapat digolongkan sebagai bentuk dari kejahatan perang yang dijelaskan dalam Statuta International Military Tribunal.72

a. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi terhadap orang yang dilindungi (yaitu kombatan yang terluka atau sakit, tawanan perang, dan penduduk sipil).

Beberapa hal yang telah dilanggar oleh tentara Israel tersebut, yaitu :

72

(41)

b. Penyerangan terhadap penduduk sipil.

c. Pembunuhan atau tindakan melukai secara licik terhadap orang –orang dari bangsa atau tentara lawan.

Berdasarkan analisa terhadap hukum internasional tersebut, jelas sekali apa yang telah dilakukan oleh Israel telah melanggar kaidah hukum humaniter Internasional. Maka, segala hal yang telah dilakukan oleh tentara Israel merupakan suatu kejahatan perang yang berupa penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi terhadap orang yang dilindungi, dan penyerangan terhadap penduduk sipil. Sedang berdasarkan analisis terhadap hukum nasional di Indonesia, tindakan Israel dapat dipersalahkan berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Israel jelas-jelas telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya hak asasi penduduk sipil dan saat terjadi konflik bersenjata. Hak asasi penduduk sipil yang telah dilanggar oleh Israel berdasarkan ketentuan hukum nasional Indonesia adalah Hak atas rasa aman dan hak kebebasan pribadi.

D. Kajian Hubungan Hukum Humaniter Dengan Hak Asasi Manusia

Kiranya wajar apabila dipertanyakan apakah ada hubungan antara

Humanitarian Law dengan Human Rights, karena kedua istilah mengandung kata

human dan oleh karena itu pasti ada sangkut pautnya dengan manusia atau perikemanusiaan.

(42)

Internasional diterapkan apabila terjadi pertikaian bersenjata, baik Internasional maupun dalam negeri. Hukum Humaniter Internasional terdiri dari peraturan tentang perlindungan korban perang atau hukum Jenewa, dan peraturan tentang metode dan sarana peperangan serta operasi militer yang disebut juga hukum Den Haag. Sekarang, sebagian besar dari kdua jenis peraturan ini telah disempurnakan dan dikembangkan dalam kedua Protokol tambahan Konvensi Jenewa.73

Ketentuan-ketentuan Ham dimaksudkan untuk menjamin hak dan kebebasan baik sipil, politik, ekonomis, sosial maupun budaya setiap orang. Jadi, setiap orang harus dapat mengembangkan diri dalam masyarakat dan apabila perlu harus dilindungi terhadap penyalahgunaan kekuasaan instansi pemerintahnya. Hak-hak tersebut terdapat pada hukum Internasional dan hak-hak yang bersifat paling penting dimuat pula dalam Undang-Undang Dasar berbagai negara, tetapi yang disini dengan Hak Asasi Manusia yaitu segala peraturan tentang kemanusiaan yang harus dipatuhi oleh semua negara.74

Kita telah mengetahui bahwa Hukum Humaniter Internasional merupakan nama baru bagi Hukum Perang (Hukum Sengketa Bersenjata). Perubahan nama ini disebabkan karena setelah Perang Dunia ke dua. Perkembangan hukum perang sangat dipengaruhi oleh hak-hak asasi manusia. Hukum Perang lebih mengutamakan perlindungan terhadap orang yang menjadi korban perang, baik

Sedangkan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum darurat bertujuan memberikan perlindungan dari ancaman dan bahaya yang timbul sebagai akibat dari sengketa bersenjata atau pada kekerasan lainnya yang disebabkan oleh manusia.

73

Fadillah Agus, Op.Cit, hal. 84

74

(43)

dia anggota angkatan bersenjata maupun orang sipil. Tetapi yang menonjol adalah perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil (civilian). Diusahakan juga agar hak-hak asasi manusia, juga dalam keadaan perang atau sengketa bersenjata sejauh mungkin dilindungi. Mengingat adanya trend semacam itu tidaklah mengherankan bahwa Law of war atau law of Armed Conflict diganti menjadi

International Humanitarian Law (Hukum Humaniter Internasional). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dismpulkan bahwa kedua sistem hukum itu memang saling mempengaruhi dan saling mengisi.75

Namun, Konvensi-konvensi Jenewa dan konvensi mengenai Hak Asasi Manusia masih berkaitan. Tetapi kaitan tersebut tidak disengaja. Dari satu sisi, ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa tahun 1949 tidak hanya sebagai kewajiban bagi negara penadatangan, melainkan sebagai hak individu sebagai orang yang dilindungi. Setiap konvensi dari keempat Konvensi Jenewa menegaskan bahwa orang yang dilindungi tidak bisa menolak hak-hak yang diberikan oleh perjanjian ini (Pasal 7 dari Konvensi I, II dan III, Pasal 8 Konvensi IV). Apalagi, Pasal 3 yang sama dalam keempat Konvensi Jenewa memberikan kewajiban kepada setiap negara penandatangan untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan, jika terjadi pertikaian

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 tidak menyinggung penghormatan Hak Asasi Manusia pada waktu pertikaian bersenjata. Demikian pula Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 tidak menyinggung soal Hak Asasi Manusia.

75

(44)

bersenjata yang tidak bersifat internasional ; dengan demikian, Pasal 3 ini mengatur tentang hubungan antara pemerintah dengan warganegaranya sendiri, jadi mencakup bidang tradisional Hak Asasi Manusia.76

Dari sisi lain, dalam konvensi-konvensi mengenai Hak Asasi Manusia, terdapat pula beberapa ketentuan yang mengatur tentang penerapannya pada waktu pertikaian bersenjata. Konvensi Eropa Hak Asasi Manusia tahun 1950 menegaskan dalam Pasal 15, bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang terjamin dalam Konvensi ini dapat dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, tetap ada 7 hak yang mutlak dihormati, karena merupakan intisari fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan yang non-diskriminatif dan hak atas keamanan. Ketentuan-ketentuan yang sama ditegaskan dalam Pakta PBB mengenai hak sipil dan politis, Pasal 4 dan dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika, Pasal 27. dengan demikian, pada prinsipnya, konvensi-konvensi Hak Asasi Manusia dapat diterapkan pula pada waktu pertikaian bersenjata. Jika berlangsung pertikaian bersenjata yang tidak sampai mempengaruhi stabilitas nasional (yang dapat terjadi, apabila operasi militer dilakukan secara terbatas di atas wilayah negara lain), konvensi-konvensi Hak Asasi Manusia diterapkan sepenuhnya bersama dengan hukum humaniter.77

Dulu hubungan antara Hak Asasi Manusia dan hukum humaniter tidak pernah diperhatikan. Baru akhir tahun enam puluhan disadari adanya hubungan yang ada antara kedua bidang hukum ini. Kesadaran ini meningkat dengan adanya

76

Fadillah Agus, Op.Cit, hal 92-93

77

(45)

pertikaian bersenjata seperti perang kemerdekaan di Afrika, konflik di Timur Dekat, konflik di Nigeria dan di Vietnam yang menimbulkan permasalahan yang dapat dipandang baik dari segi hukum perang maupun dari segi Hak Asasi Manusia. Konferensi Internasional mengenai Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran tahun 1968, secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional. Dalam Resolusi XXIII tertanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan Ham pada waktu pertikaian bersenjata”, Konferensi meminta supaya konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru dalam hal ini. Dengan demikian, resolusi tersebut mendorong PBB untuk menangani pula hokum humaniter. Sejak itu, topik tersebut mendapat perhatian, baik dalam laporan-laporan tahunan Sekretaris Jendral PBB, maupun dalam berbagai Resolusi Majelis Umum PBB. Tetapi, hanya setelah diadakan Konferensi di Teheran para negara baru bersedia untuk melengkapi Konvensi-konvensi Jenewa sedangkan sebelumnya “Peraturan-peraturan untuk membatasi resiko bagi masyarakat sipil pada waktu perang” yang diusulkan oleh ICRC pada tahun 1956 tidak berhasil menarik perhatian mereka.78

Pengaruh Hak Asasi Manusia terhadap Hukum Humaniter dicerminkan dalam kedua buah Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977. banyak ketentuan yang langsung diilhami Pakta PBB mengenai hak sipil dan politis

78

(46)

seperti misalnya Pasal 75 Protokol I (Jaminan asasi) dan Pasal 6 Protokol II (Pengadilan pidana).79

79

Ibid., hal. 94.

Keterkaitannya antara Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia membuktikan bahwa perang dan perdamaian, perang saudara dan pertikaian bersenjata internasional, hukum internasional danhukum internasional mempunyai hubungan yang semakit erat. Jika dulu hukum perang dan hukum perdamaian, hukum internasional dan hukum nasional mempunyai lingkup yang terbatas dan terpisah, nampaknya sekarang ini sering dapat diterapkan bersama secara sejajar.

Ketentuan-ketentuan Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjamin penghormatan hak dan kebebasan setiap orang agar terlindung dari penyalahgunaan kekuasaan dari instansi pemerintah sehingga mereka dapat mengembangkan dirinya sepenuhnya dalam masyarakat. Sedangkan Hukum Humaniter Interasional sebagai sistem hukum darurat bertujuan memberikan perlindungan dari ancaman dan bahaya yang timbul sesbagai akibat dari sengketa bersenjata atau pada keadaan kekerasan lainnya disebabkan oleh manusia.

(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan, dapat kita simpulkan bahwa dalam situasi konflik / perang Hukum Humaniter telah membuat beberapa Peraturan Internasional mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil untuk menjamin kepastian perlindungan Hak Asasi Manusia bagi para penduduk sipil yang sering menjadi korban dalam peperangan. Penelaah keputusan-keputusan tersebut dalam hubungannya dengan perlindungan penduduk sipil di masa perang akan dilakukan sesuai dengan waktu perkembangannya meskipun disadari bahwa sebenarnya keputusan-keputusan tersebut masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai lingkup pengaturan materi yang berbeda satu dengan yang lain.

Tujuan hukum Hak Asasi Manusia adalah melindungi individu-individu dari kesewenang-wenangan negara. Sedangkan hukum humaniter dimaksudkan untuk memberikan batasan-batasan sampai seberapa jauh suatu perang diperbolehkan. Tetapi hal itu bukan berarti hukum humaniter melegalisasi perang, namun untuk mengurangi secara maksial akibat negatif yang tidak perlu dari perang.

(48)

B. Saran

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua sistem hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional tidak saling bersaing, melainkan saling melengkapi. Diharapkan dalam perkembangan masing-masing, kedua sistem ini dapat saling mempengaruhi agar perlindungan yang diberikan oleh hukum humaniter internasional dan Hak Asasi Manusia akan semakin kuat, sehingga hak dan kebebasan setiap manusia semakin terjamin dalam hukum internasional.

(49)

BAB II

PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA

A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan,5 bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan jenis kemudian membawa keinsyafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu merugikan umat manusia sehingga kemudian orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.6

Perang berarti adanya pembunuhan besar-besaran dan sering terjadi kekejaman-kekejaman, ini hanya merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pada naluri untuk mempertahankan diri yang berlaku dalam pergaulan antar manusia, maupun dalam pergaulan antar bangsa. Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah umat manusia.7

5

Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 9

6

Ibid.

7

Syahmin AK.,Op.Cit, hal. 6

(50)

Istilah yang dimaksud adalah International Humanitarian Law diterjamahkan dengan Hukum Humaniter Internasional.

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum “humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur hukum perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.” Panitia tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan merumuskan “Hukum Humaniter sebagai keseluruhan azas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak azasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.8

Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu :

9

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws) ;

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws).

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut : 10

1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata ;

8

Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Comitee of The Red Cross., Jakarta., 1999., hal. 9-10.

9

Ibid., hal. 5

10

(51)

2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war).

Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa.

Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed confilict) sebagai pengganti hukum perang (law of war) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan kedua prokol tambahannya. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity principle).

Perlakuan Hukum Humaniter Internasional, sebagai ius in belo (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, Hukum Humaniter Internasional mengikat para pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut.

Hukum Humaniter Internasional sendiri berkembang ketika use of force

Referensi

Dokumen terkait

Hasil evaluasi materi ajar menunjukkan materi tergolong sangat bagus dengan rerata skor 3,60; hasilevaluasi media menghasilkan katergori layak dengan rerata skor 3,19, dan ujicoba

[r]

Kehadiran masyarakat muslim dayak ngaju dalam pelaksanan upacara tewah, yaitu Upacara Tiwah adalah upacara terbesar yang hanya dilakukan oleh masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa krim ekstrak biji mengkudu ( Morinda citifolia ) dapat mencegah peningkatan jumlah melanin kulit mamut (

fu:ovasi Hukunl Kontrak Elektronik: Anaiisis Karakteristik, Kesahan, Fembuktian, dan Fengamanan F{ut<urr Terhadap Kontrak Elekironik Menurut KfIEi Ferdata dan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: tidak terdapat interaksi yang terjadi antara pembelajaran yang mengguna- kan LKS terhadap KPS

To minimize the impact of the tree crowns represented in the raster on water flow modeling, we classified high vegetation and removed it from the point clouds using a

[r]