ABSTRAK Rani Trisna T Madiasa Ablisar ** Syafruddin Sulung H***
Faktor perizinan merupakan peranan penting untuk melakukan kegiatan usaha terutama dalam bidang industri sangat diperlukan adanya izin usaha. Izin digunakan sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga Negara dan untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah dan mempunyai kekuatan hukum. Salah satu kebijakan dalam upaya mewujudkan suatu industru yang memiliki izin usaha adalah disahkannya UU No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian, UU tersebut di keluarkan untuk mengatasi segala bentuk pelanggaran dan kejahatan di bidang industri salah satunya adalah industri yang tidak memiliki izin usaha.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logikan keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan analisis kualitatif. Pengaturan terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Jo Undang-Undang No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian dan Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, perdagangan, gudang/ruangan dan tanda daftar perusahaan. Sedangkan penjatuhan pidana denda terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri terkhusus industri kecil dimana uang denda diserahkan kepada kas Negara dan pembayaran sanksi denda dapat digantikan dengan pidana kurungan apabila tersangka tidak dapat membayar uang denda tersebut.
Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri berdasarkan kasus yang dianalisis dalam penelitian ini berbentuk vonis majelis hakim berupa vonis sanksi denda subsidair pidana kurungan selama 2 bulan kepada terdakwa pelaku tindak pidana industri kecil tanpa izin. Berdasarkan dakwaan yang dikenakan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa didakwa melanggar ketentuan pasal 24 ayat 1 Jo pasal 13 ayat 1 UU RI No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian. Putusan ini sudah berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang dikarenakan tidak sesuai dengan keadilan untuk proses penegakan hukum pidana.
ABSTRAK Rani Trisna T Madiasa Ablisar ** Syafruddin Sulung H***
Faktor perizinan merupakan peranan penting untuk melakukan kegiatan usaha terutama dalam bidang industri sangat diperlukan adanya izin usaha. Izin digunakan sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga Negara dan untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah dan mempunyai kekuatan hukum. Salah satu kebijakan dalam upaya mewujudkan suatu industru yang memiliki izin usaha adalah disahkannya UU No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian, UU tersebut di keluarkan untuk mengatasi segala bentuk pelanggaran dan kejahatan di bidang industri salah satunya adalah industri yang tidak memiliki izin usaha.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logikan keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan analisis kualitatif. Pengaturan terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Jo Undang-Undang No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian dan Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, perdagangan, gudang/ruangan dan tanda daftar perusahaan. Sedangkan penjatuhan pidana denda terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri terkhusus industri kecil dimana uang denda diserahkan kepada kas Negara dan pembayaran sanksi denda dapat digantikan dengan pidana kurungan apabila tersangka tidak dapat membayar uang denda tersebut.
Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri berdasarkan kasus yang dianalisis dalam penelitian ini berbentuk vonis majelis hakim berupa vonis sanksi denda subsidair pidana kurungan selama 2 bulan kepada terdakwa pelaku tindak pidana industri kecil tanpa izin. Berdasarkan dakwaan yang dikenakan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa didakwa melanggar ketentuan pasal 24 ayat 1 Jo pasal 13 ayat 1 UU RI No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian. Putusan ini sudah berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang dikarenakan tidak sesuai dengan keadilan untuk proses penegakan hukum pidana.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana adalah masalah
pidana dan pemidanaan. Sifat pidana merupakan suatu penderitaan pidana yang
dijatuhkan bagi mereka yang di anggap bersalah merupakan sifat derita yang
harus dijalani, meskipun demikian sanksi pidana bukan semata- mata bertujuan
untuk memberikan rasa derita.
Pemidanaan adalah suatu proses sebelum proses itu berjalan, peranan hakim
sangat penting sekali. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam
suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu.
Penjatuhan pemidanaan pada pelaku tindak pidana itu mempunyai tujuan,
Pemidanaan merupakan efek jera untuk seseorang agar tidak melakukan tindak
pidana. Tujuan dari pemidanaaan adalah :1
a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventive) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventive).
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Teori pemidanaan ada 3 yaitu :2
1. Teori Absolut (Teori Retributif)
Memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, berorientasi pada perbuatan dan terletak pada
1
Wirjono Prodjodikoro, Asas- Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal 19.
2
terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampu yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan.
2. Teori Relatif (Teori Tujuan)
Berporos pada tiap tujuan utama pemidanaan yaitu : preventif, deterrence dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan deterrence dalam pemidanaan adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan.Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.
3. Teori Gabungan
Mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asan pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut :3
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Tujuan pidana berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat, tujuan umum itu merupakan induk dari keseluruhan
pendapat atau teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Aspek atau bentuk-bentuk
perlindungan masyarakat untuk mecapai kesejahteraan masyarakat itu dapat
dikemukakan sebagai berikut :4
1. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat, maka timbullah pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah penanggulangan kejahatan.
2. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya orang (si pelaku), maka timbul terhadap yang menyatakan bahwa tujuan pidana untuk memperbaiki pelaku.
3
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I : Stestel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Malang, 2001, hal 166.
4
3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap pelanggar pidana, maka dikatakan bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya.
4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Sehubungan dengan ini, maka sering pula dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat.
Penjatuhan hukuman untuk setiap orang yang melakukan kegiatan industri
tanpa izin usaha diatur didalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
dan diatur didalam UU (Undang-Undang) yang mengatur tentang Perindustrian.
Sanksi yang dikenakan bukan hanya sanksi pidana penjara saja, melainkan dikenal
juga dengan adanya sanksi pidana denda. Sanksi denda juga dapat di pandang
sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan. 5 Pidana pencabutan
kemerdekaan yang di anggap menderitakan menimbulkan suatu alternatif bentuk
pidana yaitu pidana denda.
Pidana denda merupakan keserasian antara kerugian yang di timbulkan oleh
suatu tindak pidana dengan besarnya denda yang harus dibayar oleh terpidana
dengan mempertimbangkan minimum ataupun maksimum pidana denda yang di
ancamkan terhadap suatu tindak pidana namun kecenderungan seperti ini belum
cukup maksimal dilakukan.
Setiap orang pernah melakukan pelanggaran di berbagai bidang apapun
misalnya di bidang ekonomi tentang menghasilkan keuntungan, salah satunya
dalam melakukan kegiatan usaha, seperti Perdagangan, Industri, Jasa dan lain
5
sebagainya. Dalam melakukan kegiatan usaha setiap orang memiliki hak yang
sama sebagaimana dijelaskan dalam pasal 27 ayat 2 Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia, bahwa setiap Warga Negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, artinya hak- hak manusia tidak
dibeda-bedakan dalam melakukan suatu kegiatan usaha.
Untuk melakukan kegiatan usaha terutama dalam bidang industri di
perlukan adanya izin usaha. Izin merupakan instrument yang paling banyak
digunakan dalam hukum yang oleh pemerintah, izin itu digunakan sebagai sarana
yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga Negara. Selain penting bagi
Pemerintah izin juga penting bagi warga Negara agar mendapat pengesahan dari
pemerintah dan mempunyai kekuatan hukum.
Faktor perizinan juga ikut memainkan peranan penting dalam mewujudkan
tujuan pembangunan. Faktor ini harus mampu memberikan motivasi yang dapat
meningkatkan kesadaran akan perlunya suatu izin dalam mendirikan tempat usaha
seperti kegiatan mendirikan, memperbaharui, mengganti seluruh atau
sebahagiandan memperluas bangunan tempat usaha tanpa mengurus izin tempat
usaha dengan alasan bermacam-macam.
Salah satu kebijakan dalam upaya mewujudkan suatu industri yang memiliki
izin usaha adalah dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian, kebijakan ini merupakan kontribusi terhadap meningkatnya
kegiatan usaha. Salah satu peraturan tentang Industri tanpa izin yang menentukan
masalah pidana denda adalah UU No 5 tahun 1984 tentang Perindustrian. UU
sering terjadi di Indonesia salah satu yang sering terjadi adalah sebuah Industri
yang tidak memiliki izin usaha.
Tanggal 13 Januari 2014 telah diganti UU No. 5 Tahun 1984 menjadi UU
No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU tersebut dibentuk dengan tujuan
untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan
strategis dan skaligus mampu menjadi landasan hukum bagi tumbuh, berkembang
dan kemajuan industri nasional. UU perindustrian yang baru diharapkan dapat
menjadi instrument pengaturan yang efektif dalam pebangunan industri dengan
tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia serta
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kasus industri tanpa izin usaha terdapat di berbagai wilayah Indonesia.
Salah satunya terjadi di Kota Medan, ada pun Peraturan daerah yang menangani
masalah perindustrian adalah Perda kota Medan No. No. 10 Tahun 2002 tentang
Retibusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar
Perusahaan. Dalam ketentuan pidananya menentukan adanya ancaman pidana
terhadap orang perseorangan atau badan hukum yang melanggar perda tersebut.
Salah satu kasus yang terjadi di Kota Medan adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh seorang penjual gas tanpa izin di toko dagangannya. Dengan
barang bukti berupa Tabung gas berisi ukuran 12 Kg sebanyak 24 Tabung,
Tabung gas berisi ukuran 3 Kg sebanyak 141 Tabung, Tabung gas kosong ukuran
12 Kg sebanyak 45 Tabung, Tabung Gas kosong ukuran 12 Kg sebanyak 4
Tabung dan Tabung Gas ukuran 3 Kg sebanyak 3 Tabung, selang plastik yang
sebagai alat pemindah gas dari tabung ukuran 3 Kg bersubsidi ke tabung gas
ukuran 12 Kg ukuran Non subsidi sebanyak 4 set, pipa plastik warna putih
sebanyak 4 (empat) buah, tang besi bersarung karet 1 (satu) buah, gergaji besi 1
(satu) buah, kunci pas 14/17 1 (satu) buah, karet gas warna merah 1 (satu) kantong
plastik, tutup segel gas elpiji ukuran 3 Kg bersubsidi ± 400 (empat ratus) buah.
Hakim yang mengadili kasus tersebut menetapkan pidana denda pada pelaku
pidana adalah sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) subsidair
dua bulan penjara.6
Sanksi denda yang dijatuhkan kepada pelaku merupakan sanksi yang sangat
ringan dikarenakan pelaku merupakan angota kepolisian salah satu aparat penegak
hkum yang seharusnya menjadi panutan serta memberikan contoh yang baik
kepada masyarakat sekitar tetapi dengan adanya kasus ini pelaku memberikan
kergian kepada konsumen yang memakainya.
Berdasarkan ringannya sanksi denda yang dijatuhkan Hakim pada pelaku
Tindak pidana Industri tanpa Izin Usaha yang sebesar Rp. 2.500.000 apakah sudah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku ? Berdasarkan latar belakang yang
diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk membuat penulisan skripsi dengan
judul “Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn)”
6
B. Perumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang tentang Sanksi Denda Terhadap Pelaku
Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil muncul beberapa pertanyaan yang
di jadikan rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimanakah Pengaturan Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan
Industri ?
2. Bagaimana Pengaturan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa
Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil ?
3. Bagaimana Penjatuhan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa
Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam Putusan Pengadilan Negeri
MedanNo. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan:
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui Bagaimana Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin
Melakukan Kegiatan Industri.
2. Untuk mengetahui Bagaimana Penjatuhan Sanksi Pidana Denda Terhadap
Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil.
3. Untuk mengetahui Bagaimana dan apakah sudah adil Hakim Menjatuhkan
Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri
Manfaat Penulisan :
Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas,
adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Manfaat secara Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya
mengenai pertanggungjawaban pelaku yang melakukan industri tanpa izin usaha
dan Perkembangan sanksi Pidana Denda.
b. Manfaat Praktis
Selain Manfaat secara Teoritis, Penulisan skripsi ini dapat memperluas
pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan di
lapangan, serta menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang
pertanggungjawaban Pelaku yang melakukan Industri Tanpa Izin Usaha juga bagi
Pemerintah dan instansi Penegak Hukum dalam memecahkan Pemasalahan-
permasalahan yang terjadi di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana,
tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan
permasalahan yang akan di angkat yaitu tentang “Sanksi Denda Terhadap Pelaku
Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha
penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis
siap bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.
E.Tinjauan Kepustakaan
Disamping teori-teori yang telah penulis kemukakan yang tidak kalah
pentingnya lagi yang harus diperhatikan di dalam menganalisis penjatuhan pidana
denda terhadap pelaku yang melakukan kegiatan industri tanpa izin, adalah
Konstruksi hukum, yang memberikan landasan bagi penjatuhan tindak pidana
Industri tanpa izin usaha tersebut. Oleh karenanya untuk melihat apakah hukum
yang ada telah memberikan dasar yuridis yang jelas dan tegas, maka teori yang
penulis terapkan adalah Hirearki Perundang-undangan, yang penulis tujukan
untuk melihat kesesuaian antara aturan hukum yang satu dengan hukum yang
lainnya, yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi pidana denda terhadap pelaku
tindak pidana industri tanpa izin usaha. Disini penulis menerangkan dan
menguraikan tentang : pengertian sanksi denda, pengertian pelaku tindak pidana,
pengertian industri tanpa izin usaha, klasifikasi industri.
1. Pengertian Pidana Denda
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat
dikatakan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dikenakan atau di jatuhkan
kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana,
sedangkan denda menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah hukuman yang
undang- undang dsb). Jadi, defenisi dari pidana denda adalah suatu hukuman yang
berupa keharusan membayar dalam bentuk uang yang sengaja dikenakan atau
dijatuhkan kepada seseorang yang terbukti melakukan kesalahan.
Tujuan dari penjatuhan denda bukan semata- mata untuk menambah
pemasukan keuangan Negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan- tujuan
pemidanaan. Pengaturan dan penerapan denda baik dalam tahap legislatif
(pembuat undang- undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun
tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang
(eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai
tujuan pemidanaan, oleh karena itu pidana denda senantiasa dikaitkan dengan
pencapaian tujuan pemidanaan.
Efektifitas suatu pemidanaan tergantung pada suatu jalinan mata rantai
tahap- tahap atau proses sebagai berikut :7
a. Tahap penetapan pidana (denda) oleh pembuat undang- undang.
b. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (denda) oleh pengadilan, dan
c. Tahap pelaksanaan pidana (denda) oleh aparat yang berwenang.
Penelusuran sejarah tentang pidana denda, diketahui bahwa cara
pemidanaan pidana denda amat tua, akan tetapi jalan kemenangannya baru
dimulai seratus tahun terakhir. Tentang sejarah penerapan pidana denda ada 4
(empat) periode cara penerapannya yaitu sebagai berikut :8
1. Pada awal abad pertengahan dengan dikenal sebagai sistem ganti rugi atau sistem dimana semua perbuatan pidana diselesaikan dengan sistem
7
https://sudiryona.wordpress.com/2012/05/27/ sejarah-dan-perkembangan-pidana-denda/ tanggal 26 Febuari 2015.
8
pembayaran uang, binatang atau sejenisnya menurut daftar tarif yang sudah ditentukan. Pada periode ini penjara tidak dikenal dan jenis pekerjaan utama adalah pertanian.
2. Terjadi pada akhir abad pertengahan, dengan berkembangnya jumlah penduduk, terjadilah banyak permasalahan sosial, kemerosotan ekonomi dan peningkatan kejahatan terhadap harta kekayaan, sehingga melahirkan suatu sistem untuk menyakiti penjahat melalui penerapan pidana secara kasar.
3. Pada 1600-an sampai Revolusi Industri, yang berkembang pada masa itu adalah penerapan pidana penjara, yang mengalami berbagai macam perubahannya.
4. Pada abad kedelapan belas dengan ditandai munculnya pidana mati, sebagai upaya untuk menakut-nakuti rakyat miskin yang sudah kebal terhadap pidana perampasan kemerdekaan.
Pidana denda sudah dikenal secara meluas di seluruh Indonesia, dalam
menetapkan besar kecilnya denda tergantung pada besar atau kecilnya kesalahan
yang diperbuat, yaitu dapat diperinci sebagai berikut :
a. Berdasarkan kasta orang yang bersalah dan kepada siapa kesalahan itu
diperbuat.
b. Berdasarkan akibat yang diderita oleh orang atau binatang yang terkena.
c. Berdasarkan perincian anggota yang terkena.
d. Berdasarkan berlakunya perbuatan.
e. Berdasarkan niat orang yang berbuat salah.
f. Berdasarkan jenis binatang atau barang yang menjadi objek perbuatan.
Menurut pasal 30 ayat 1 KUHP, jumlah denda sekurang-kurangnya dua
puluh sen . kini, tidak ada diadakan maksimum umum, maka tiap-tiap pasal yang
mengancam dengan hukuman denda, tidak ada batas dalam menentukan
maksimum denda untuk tindak pidana tertentu. Sedangkan menurut UU No. 18
Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Pidana Denda Dalam Kitab
Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 pasal 1 telah terjadi
perubahan tentang pidana denda yang menyebutkan:
“tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam Kitab
Undang-Undang Hukum pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang No. 1 tahun 1960, maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang telah dikeluarkan sebelum taggal 17 agustus 1945, sebagimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang ini (ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidanaekonomi, tidak masuk disini), harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali “
Alasan dilakukannya perubahan pidana denda menurut penjelasan pasal 1
UU No. 18 Tahun 1960 sebagai ukuran bahwa semua harga barang sejak tanggal
17 agustus 1945 rata-ratatelah meningkat sampai lima belas kali harga pada waktu
itu. Oleh karena itu, maksimum jumlah hukuman denda itu, dilipatgandakan
dengan lima belas kali dalam mata uang rupiah.9
Pembayaran denda tidak harus terpidana, maka akan dapat dilakukan oleh
setiap orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayaran
yang demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.10 Membayar denda tentu
saja pertama-tama adalah terhukum sendiri, oleh karena sifat pidana adalah sangat
pribadi. Tetapi dalam prakteknya kerapkali pihak lain yang membayar denda itu,
atau memberikan uang kepada siterhukum untuk membayar denda. Jika hal ini
dilarang maka seharusnya ditentukan dalam undang- undang bahwa pembayaran
dilakukan oleh siterhukum sendiri dan pihak ketiga dilarang melakukan
9
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia, Bogor,1986, hal 393.
10
pembayaran untuk terhukum. Tetapi kini menurut KUHP kita masih berlaku
bahwa denda dapat dibayar oleh pihak ketiga.11
2. Pengertian Pelaku Tindak Pidana
Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan,
dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti
yang diisyaratkan oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif
maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk
melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena
gerakkan pihak ketiga.
Orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat
dikelompokkan kedalam beberapa macam antara lain :
1. Orang yang melakukan (dader plagen)
Orang ini bertindak sendiri untuk mewujudkan segala maksud suatu tindak pidana.
2. yang menyuruh melakukan dan yang menyuruh melakukan, jadi Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen)
Dalam tindak pidana ini perlu paling sedikit dua orang yakni orang bukan pelaku utama yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja.
3. Orang yang turut melakukan (mede plagen)
Turut melakukan artinya disini ialah melakukan bersama-sama dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang atau lebih yaitu yang melakukan (dader plagen) dan orang yang turut melakukan (mede plagen).
4. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalagunaan kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau orang yang dengan sengaja membujuk orang yang melakukan perbuatan. Orang yang dimaksud harus dengan sengaja menghasut orang lain, sedangkan hasutannya memakai cara-cara memberi upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat dan lain- lain sebagainya.
11
Rumusan tindak pidana di dalam buku kedua dan ketiga KUHP biasanya di
mulai dengan kata “barang siapa”. Ini mengandung arti bahwa yang dapat
melakukan tindak pidana atau subjek tindak pidana pada umumnya adalah
manusia. Sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dinyatakan bahwa
bukan hanya manusia yang disebut sebagai subjek hukum pidana tetapi juga
hewan karena hewan juga pernah melakukan tindak pidana tetapi hewan tidak
dapat di minta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukan, namun
setelah itu hanya manusia yang dinyatakan sebagai subjek hukum.
Selain manusia (natuurlijke person), korporasi juga dapat dinyatakan
sebagai subjek tindak pidana dikarenakan korporasi dapat melakukan tindak
pidana, meskipun yang berkedudukan di dalam korporasi adalah pengurus atau
komisaris suatu badan hukum maka dari itu subjek tindak pidana diperluas
termasuk badan hukum. Bentuk pidana terhadap pribadi tidak dapat diterapkan
pada badan hukum, kecuali jika yang harus dipidana adalah pribadi pengurus atau
komisaris badan hukum tersebut.12
Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggung
jawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut :13
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu
penguruslah yang bertanggung jawab;
b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung
jawab; atau
12
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 55.
13
c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang
bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang semula hanya berlaku
untuk tindak-tindak pidana tertentu di luar kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
berlaku juga secara untuk tindak-tindak pidana lain baik di dalam maupun di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sanksi terhadap korporasi dapat berupa
pidana, namun dapat pula berupa tindakan tata tertib.14
Konteks kejahatan yang di lakukan oleh korporasi akan menimbulkan
banyak korban. Yang menjadi korban dalam tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi adalah sebagai berikut :15
1. Perusahaan saingan sebagai akibat kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual, kompetisi yang tidak sehat, praktik-praktik monopoli, dan lain-lain.
2. Negara sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi, dan lain-lain.
3. Karyawan sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum, dan lain-lain.
4. Konsumen sebagai akibat advertensi yang menyesatkan, menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya, dan lain-lain.
5. Masyarakat sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penggelapan, penghindaran pajak dan lain-lain.
6. Pemegang saham sebagai akibat penipuan dan pemalsuan akuntansi, dan lain-lain.
Kesalahan korporasi diidentifikasi dari kesalahan pengurus yang memiliki
kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili korporasi,
mengambil keputusan atas nama korporasi dan kewenangan menerapkan
14
Ibid hal 28.
15
pengawasan terhadap korporasi), yang melakukan tindak pidana dengan
menguntungkan korporasi, baik sebagai pelaku, sebagai orang yang menyuruh
melakukan, sebagai orang yang turut serta melakukan, sebagai penganjur maupun
sebagai pembantu tindak pidana yang dilakukan bawahannya didalam ruang
lingkup usaha atau pekerjaan korporasi tersebut.
3. Pengertian Industri Tanpa Izin Usaha
Pengertian Industri bermacam-macam, menurut Badan Pusat Statistik,
Industri adalah sebuah kesatuan unit usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi
dengan tujuan untuk menghasilkan barang atau jasa yang berdomisili pada sebuah
lokasi atau tempat tertentu dan memiliki catatan administrasi sendiri. UU No. 5
tahun 1984 memberikan defenisi Industri adalah kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi
menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk
kegiatan rancangan bangun dan perekayasaan Industri.16
Jenis usaha didalam produksi/industri adalah jenis usaha yang terutama
bergerak dalam kegiatan proses pengubahan suatu barang/bahan lain yang berbeda
bentuk atau sifatnya dan mempunyai nilai tambah.17 Kegiatan ini dapat berupa
produksi/industri pangan, pakaian, peralatan rumah tangga, kerajinan, bahan
bangunan, dan sebagainya.
Izin merupakan suatu penetapan tertulis dari pemerintah yang bersifat
publik yang diberikan berdasarkan wewenang pemerintah. Menurut para ahli
pengertian izin adalah sebagai berikut :
16
Undang- Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
17
Praduji Atmosudirdjo menyatakan Izin (Vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan suatu larangan oleh undang- undang. Yang
bersangkutan berbunyi “dilarang tanpa izin….(melakukan)…dan seterusnya.” Selanjutnya, larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat- syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan kepada pejabat- pejabat administrasi Negara yang bersangkutan.18
Sistem pemerintahan di Indonesia dalam hal wewenang pemberian izin
merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang pemerintahan pusat kepada
pemerintahan daerah, dalam hal ini pelimpahan pemberian izin ini diatur secara
umum dalam Undang- Undang Dasar Republik Indonesia 1945, pasal 18 ayat (1)
dan (2) yang menyatakan bahwa :
Ayat (1) Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Ayat (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri usaha pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pemerintahan.
Implementasi dari Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18 ayat (1) dan ayat
(2) diatas oleh pemerintahan Kota Medan, dapat dilihat dengan adanya pengaturan
khusus mengenai izin tempat usaha di Kota Medan. Oleh karena itu, setiap
kegiatan mendirikan tempat usaha di Kota Medan harus memiliki izin dari pejabat
yang berwenang. Izin tempat usaha yang dimaksud adalah izin yang diberikan
bagi tempat usaha yang tidak menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan, dan
tercemarnya lingkungan, dikecualikan kepada tempat usaha yang lokasinya telah
ditunjuk pemerintah daerah meliputi kawasan industri dan Zona industri.
18
4. Pengertian Klasifikasi Industri
Indonesia tidak mengenal adanya defenisi yang jelas mengenai apa itu
perusahaan skala menengah atau skala besar. Klasifikasi industri resmi, misalnya
mengelompokkan sebagai berikut :
1. Industri kecil,
2. Industri menengah, dan
3. Industri besar
Pengelompokkan ini menjadi lebih rumit lagi dengan kenyataan bahwa
kategori-kategori tersebut akan berbeda menurut defenisinya tergantung pada
apakah perusahaan-perusahaan itu berada dalam sector pertanian, industri,
perdagangan atau jasa. Adanya keanekaragaman definisi tersebut, maka kajian ini
merupakan konvensi yang paling dekat mewakili konsep usaha kecil dan
menengah sebagaimana diartikan pada kajian-kajian Negara lainnya, sebagai
berikut :19
- Dalam hubungan dengan data sekunder, industri-industri kecil akan
dimasukkan dengan usaha-usaha kecil dan menengah.
- Dalam survai primer kami sendiri, usaha kecil menegah terutama akan
memperoleh gambaran yang lebih lengkap.
Skala perusahaan didefinisikan menurut jumlah pekerja, maka :20
1. Suatu perusahaan skala kecil memperkerjakan 1-10 pekerja. 2. Suatu perusahaan skala menengah memperkerjakan 10-50 pekerja. 3. Suatu perusahaan skala besar memperkerjakan 50 pekerja atau lebih.
19
Ibid hal 16-17.
20
Industri kecil menurut departemen perindustrian meliputi banyak jenis
industri menufaktur, kiranya bermanfaat bila kita mengacu ke berbagai kategori
industri kecil menurut defenisi departemen perindustrian. Dengan cara ini, dapat
dibuat perkiraan mengenai peranan relatif berbagai kategori industri kecil dan
juga keefektifan berbagai program bantuan teknis yang dirancang untuk berbagai
kategori industri kecil ini.
Departemen perindustrian membedakan kategori-kategori industri kecil
berikut ini :21
1. Industri kecil modern
Menurut defenisi departemen perindustrian, industri kecil modern meliputi industri kecil yang :
- Menggunakan teknologi proses madya; - Mempunyai skala produksi yang terbatas;
- Tergantung pada dukungan litbang dan usaha-usaha kerekayasaan (industri besar);
- Dilibatkan dalam sistem produksi industri besar dan menengah dan dengan sistem pemasaran domestik dan ekspor;
- Menggunakan mesin khusus dan alat perlengkapan modal lainnya. 2. Industri kecil tradisional
Berlainan dengan industri kecil modern, industri kecil tradisional pada umumnya mempunyai ciri-ciri :
- Teknologi proses yang digunakan secara sederhana;
- Teknologi pada bantuan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang disediakan oleh Departemen Perindustrian sebagai bagian dari program bantuan teknisnya kepada industri kecil;
- Mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif sederhana;
- Lokasinya di daerah pedesaan;
- Akses untuk menjangkau pasar di luar lingkungan langsungnya yang berdekatan terbatas.
3. Industri kerajinan kecil
Industri kerajinan kecil meliputi berbagai industri kecil yang sangat beragam mulai dari industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan teknologi proses yang maju.
21
Selain potensinya untuk menyediakan lapangan kerja dan kesempatan untuk
memperoleh pendapatan bagi kelompok-kelompok yang berpendapatan rendah,
terutama di daerah pedesaan, industri kecil kerajinan juga didorong atas landasan
budaya yakni mengingat peranan pentingnya dalam pelestarian warisan budaya
Indonesia. Kriteria Industri Kecil adalah sebagai berikut :22
a. Investasi yang mencakup bangunan, mesin dan peralatan dengan nilai seluruhnya tidak lebih dari dua ratus juta rupiah,
b. Pemiliknya adalah Warga Negara Indonesia.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif yakni dengan pengumpulan data secara Studi Kepustakaan yaitu dengan
meneliti bahan-bahan pustaka atau data-data sekunder. di dalam penelitian hukum,
di pergunakan pula data sekunder yang dari sudut kekuatan mengikatnya di
golongkan ke dalam bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder.
2. Bahan Hukum
Penulisan Skripsi ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder
yang diperoleh dari :23
a. Bahan Hukum Primer, yaitu merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
22
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011,hal 130.
23
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan
3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Penulisan Skripsi ini dipergunakan metode Studi Kepustakaan. Metode
melalui kepustakaan yakni melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari
bahan pustaka yang disebut sebagai data sekunder.
4. Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisa
kualitatif, yaitu pengolahan data berdasarkan fakta- fakta yang diperoleh,
kemudian disusun secara sistematis dan kemudian dianalisa secara kualitatif untuk
mendapatkan jawaban atas permasalahan yang di teliti.24
G. Sistematika Penulisan
Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi pesan yang ingin
disampaikan maka dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 5 ( lima ) bab,
yaitu :
BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penulisan sehingga mengangkat permasalahan tersebut,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai
melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan
24
kepustakaan, metode penulisan yang dipakai secara sistematika
penulisan.
BAB II: Pengaturan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri menurut UU No. 5 Tahun 1984, dan
Pengaturan Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan
Kegiatan Industri menurut UU No. 3 Tahun 2014 dan dalam bab
ini diuraikan tentang pengaturan pidana denda di Perda Kota
Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri,
Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan.
BAB III: Penjatuhan Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri melalui jenis-jenis sanksi pidana yang dapat
dijatuhkan, pengaturan sanksi denda di KUHP, kelemahan dan
keuntungan sanksi denda, kedudukan dan manfaat pidana denda
dibandingkan dengan pidana lainnya dalam UU No. 5 Tahun
1984 dan Penjatuhan antara Pelanggaran dan Kejahatan didalam
UU No. 5 tahun 1984.
BAB IV: Kajian yuridis Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Tanpa Izin ditinjau dari Putusan PN
Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn, dalam bab ini diuraikan
tentang posisi kasus dan analisis kasus putusan PN Medan No.
BAB V: kesimpulan dan saran, bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang
BAB II
PENGATURAN TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL
A. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam UU No. 5 Tahun 1984
1. Tindak Pidana dalam hal Perizinan
Setiap industri harus memiliki izin usaha dalam pembangunan industri, pada
pasal 13 dijelaskan tentang izin usaha industri yaitu :
1. Setiap pendirian perusahaan industri baru maupun setiap perluasannya wajib memperoleh izin usaha.
2. Pemberian izin usaha industri terkait dengan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri.
3. Kewajiban memperoleh izin usaha industri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
4. Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 3 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Industri diwajibkan dan diharuskan untuk mempunyai izin disetiap
perkembangan serta perluasannya dan pemberian izin tersebut harus ada kaitannya
dengan perkembangan industri untuk mejadi lebih baik lagi dari sebelumnya.
Penjelasan pasal 13 angka :
Pengecualian untuk mempunyai izin usaha industri ini ditujukan terhadap jenis
industri tertentu dalam kelompok industri kecil yang karena sifat usahanya serta
investasinya kecil lebih merupakan mata pencaharian dari golongan masyarakat
berpenghasilan rendah seperti usaha industri rumah tangga dan industri kerajinan.
Pasal 14
2. Kewajiban untuk menyampaikan informasi industri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
3. Ketentuan tentang bentuk, isi, dan tata cara penyampaian informasi industri sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Setelah mendapatkan izin usaha industri dari instansi pemerintah maka
setiap industri wajib untuk memberikan informasi terkait dengan hasil
produksinya.
Penjelasan pasal 14 ayat 1
Yang dimaksud dengan informasi industri dalam pasal ini adalah data statistik
perusahaan industri yang nyata, benar dan lengkap yang diperlukan bagi dasar
pengaturan, pembinaan dan pengembangan bidang usaha industri seperti yang
dimaksud pada pasal 8.
Pasal 17
Desain produk industri mendapat perlindungan hukum yang ketentuan-ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah.
Setiap desain produk industri yang dihasilkan mendapatkan perlindungan
hukum atas hak cipta masing-masing hasil produksi.
Penjelasan Pasal 17
Yang dimaksud dengan desain produk industri adalah hasil rancangan suatu
barang jadi untuk diproduksi oleh suatu perusahaan industri, yang dimaksud
dengan perlindungan hukum adalah suatu larangan bagi pihak lain untuk dengan
tanpa hak melakukan peniruan desain produk industri yang telah dicipta serta
telah terdaftar.
Pasal 19
Setiap produksi ditetapkan standar produksi dan tidak boleh menyalahi
aturan yang ada.
Penjelasan pasal 19
Penetapan standar industri bertujuan, untuk menjamin serta meningkatkan mutu
hasil industri, untuk normalisasi penggunaan bahan baku dan barang, serta untuk
rasionalisasi optimalisasi produksi dan cara kerja demi tercapainya daya guna
sebesar-besarnya.
Dalam penyusunan standar industri tersebut diatas diikutsertakan pihak swasta,
kamar dagang dan industri Indonesia, asosiasi, balai-balai penelitian,
lembaga-lembaga ilmiah, lembaga-lembaga konsumen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan
dengan proses dalam standarnisasi industri.
Bab VIII pasal 21 menjelaskan tentang industri dalam hubungannya dengan
sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah :
1. Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya krusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya.
2. Pemerintah mengadakan pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri.
3. Kewajiban melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
Setiap perusahaan industri diharuskan untuk menjaga kelestarian lingkungan
tempat dimana produksi di kelola dan di hasilkan sehingga tidak merugikan
Penjelasan pasal 21 ayat 1
Perusahaan industri yang didirikan pada suatu tempat, wajib memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam yang dipergunakan dalam proses
industrinya serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap
lingkungan hidup akibat usaha dan proses industri yang dilakukan.
Dampak negatif dapat berupa gangguan, kerusakan dan bahaya terhadap
keselamatan dan kesehatan masyarakat disekelilingya yang ditimbulkan karena
pencemaran tanah, air dan udara termasuk kebisingan suara oleh kegiatan industri,
dalam hal ini, pemerintah perlu mengadakan pengaturan dan pembinaan untuk
menanggulanginya.
2. Ketentuan Pidana
Ketentuan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan diatas diatur dalam pasal
25-pasal 27, yaitu :
Pasal 24
1. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang Bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,-(dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
2. Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
Penjatuhan sanksi pidana pada pasal 13 ayat (1) dan pasal 14 ayat (1) adalah
perbuatan sbagai berikut mengenai izin perluasan dan tidak adanya pemberitahuan
Pasal 25
Barang siapa dengan sengaja tanpa hak melakukan peniruan desain produk industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dipidana penjara selama -lamanya 2 (dua) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Penjatuhan sanksi pidana pada pasal 17 adalah perbuatan seseorang yang
meniru hak mendesain sebuah industri.
Pasal 26
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,-(dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut Izin Usaha Industrinya.
Penjatuhan sanksi pidana pada pasal 19 adalah apabila standarnisasi industri
tidak terpenuhi.
Pasal 27
1. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,-(seratus juta rupiah).
2. Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana kuruangan selama-lamanya 1(satu) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Penjatuhan sanksi pidana pada pasal 21 ayat (1) adalah terjadi karena tidak
memperhatikan keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam yang
dipergunakan dalam proses industrinya serta pencegahan timbulnya kerusakan
dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat usaha dan proses industri yang
B. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam UU No. 3 Tahun 2014
1. Tindak Pidana dalam hal Perizinan
Pada bab X pasal 101-pasal 108 menjelaskan tentang perizinan, penanaman
modal bidang industri, dan fasilitas yaitu :
Pasal 101
1. Setiap kegiatan usaha industri wajib memiliki izin usaha industri. 2. Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Industri kecil;
b. Industri menengah;dan c. Industri besar.
3. Izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.
4. Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
5. Izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Izin usaha Industri kecil;
b. Izin usaha Industri menengah;dan c. Izin usaha Industri besar.
6. Perusahan industri yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib :
a. Melaksanakan kegiatan usaha industri sesuai dengan izin yang dimiliki; dan
b. Menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan. Serta pengangkutan.
Setiap industri diwajibkan memiliki izin, untuk mendapatkan izin tersebut
melalui menteri, gubernur ataupun bupati atau walikota setempat.
Pasal 102
1. Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (2) huruf a ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Industri menengah sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. 3. Industri besar sebagaiaman dimaksud dalam dalam pasal 101 ayat (2)
4. Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk industri kecil, industri menengah, dan industri besar ditetapkan oleh menteri.
Penjelasan
Ayat 1
Yang dimaksud dengan “nilai investasi” adalah nilai tanah dan bangunan, mesin
peralatan, sarana dan prasarana, tidak termasuk modal kerja.
Pasal 103
1. Industri kecil sebagaiaman dimaksud dalam pasal 102 ayat (1) hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia.
2. Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya bangsa hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia.
3. Industri menengah tertentu dicadangkan untuk dimiliki oleh warga Negara Indonesia.
4. Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat .(3) ditetapkan oleh Presiden.
Penjelasan
Ayat 2
Yang dimaksud dengan “industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan
budaya bangsa” adalah industri yang memiliki berbagai jenis motif, desain
produk, teknik pembuatan, keterampilan, bahan baku, yang berbasis pada kearifan
lokal misalnya batik (pakaian tradisional), ukir-ukiran kayu dari jepara dan
Yogyakarta, kerajinan perak, dan patung asmat.
Pasal 104
1. Setiap perusahaan industri yang memiliki yang memiliki izin usaha industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (6) dapat melakukan perluasan.
2. Perusahaan industri yang melakukan perluasan dengan menggunakan sumber daya alam yang diwajibkan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan wajib memiliki izin perluasan
Pasal 105
1. Setiap kegiatan usaha kawasan industri waajib memiliki izin usaha kawasan industri.
2. Izin usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.
3. Menteri dapat melimpahakan sebagian kewenangan pemberian izin usaha kawasan industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
4. Perusahaan kawasan industri wajib memenuhi standar kawasan industri yang ditetapkan oleh menteri.
5. Setiap perusahaan kawasan industri yang melakukan perluasan wajib memiliki izin perluasan kawasan industri.
Pasal 106
1. Perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di kawasan industri.
2. Kewajiban berlokasi di kawasan industri sebagaimana imaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi perusahaan industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang :
a. Belum memiliki kawasan industri;
b. Telah memiliki kawasan industri tetapi seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.
3. Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi :
a. Industri kecil dan industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
b. Industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
4. Perusahaan industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan perusahaan industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokai di kawasan peruntukan industtri.
5. Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Penjelasan
Ayat 1
Yang dimaksud dengan “perusahaan industri yang akan menjalankan industri”
Pasal 107
1. Perusahaan industri yang tidak memiliki izin usaha industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (1), perusahaan industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (6), dan/atau perusahaan industri yang tidak memiliki izin perluasan sebagaimaana dimaksud dalam pasal 104 ayat (2) dikenal sanksi administratif.
2. Perusahaan kawasan industri yang tidak memiliki izin usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 ayat (1), perusahaan kawasan industri yang tidak memenuhi standar kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 ayat ( 4), perusahaan kawasan industri yang tidak memiliki izin perluasan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 ayat (5), perusahaan industri yang tidak berlokasi di kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 106ayat (1), perusahaan industri yang dikecualikan yang tidak berlokasi di kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (40 dikenai sanksi administratif.
3. Sanksi administratif sebagaimana dimassud pada ayat (11) dan ayat (2) berupa :
a. Peringatan tertulis; b. Denda administratif; c. Penutupan sementara;
d. Pembekuan izin usaha industri atau izin usaha kawwasan industri; dan/atau
e. Pencabutan izin usaha industri atau izin usaha kawasan industri.
Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada pasal 101, izin perluasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 104, izin usaha kawasan industri sebagaiamana dimaksud dalam pasal105 dan kewajiban berlokasi di kawasan industri sebagaimana dimkasud dalam pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda admnistratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 107 distur dalam peraturan pemerintah.
2. Ketentuan sanksi administratif
Penegakan hukum didalam menindaklanjuti kasus pelaku melakukan
kegiatan industri tanpa izin dilakukan dengan adanya penjatuhan sanksi
perizinan. Pemberian izin harus selektif hanya untuk usaha yang tidak merusak
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Penegakan hukum untuk industri kecil dengan menjatuhkan sanksi
administratif berupa pencabutan izin kepada pengusaha industri kecil. Hal ini
dilakukan apabila setelah diadakan pembinaan dan teguran pengusaha tetap tidak
mau memperhatikan. Namun, pemberian sanksi ini sangat jarang dilakukan dan
merupakan upaya akhir. Selain pencabutan izin hukum administratif dilakukan
dengan cara penjatuhan sanksi berupa teguran, tindakan paksa, uang paksa dan
penutupan usaha.
UU No. 3 Tahun 2014 menerapkan sanksi administratif berupa :
a. Peringatan tertulis (peringatan yang sudah menjadi hal yang memaksa, apabila
tidak mampu dipaksa dengan peringatan lisan);
b. Denda administratif (tindakan berbentuk hukuman untuk membayar sejumlah
uang yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha Negara diatur dalam PP No. 28
Tahun 2008 tentang pengenaan sanksi administratif berupa denda)
c. Penutupan sementara (merupakan sanksi yang lebih keras sebelum pencabutan
izin usaha biasanya sebagai suatu peringatan keras terhadap pelaku
pelanggaran izin usaha);
d. Pembekuan izin usaha industri (apabila usaha industri melakukan hal tertentu
diluar apa yang terdapat dalam persyaratan izin industri, sehingga
menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan) dan/atau;
e. Pencabutan izin usaha industri (dilakukan terhadap elanggaran yang dianggap
dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atau pejabat yang memberi
wewenang memberikan izin usaha).
Pasal-pasal yang dapat dijatuhi sanksi administratif adalah :
Pasal 25 ayat 6
Dalam hal menteri menetapkan pemberlakuan standar kompetensi kerja nasional Indonesia secara wajib sebagaimaan dimaksud pada ayat 5, perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri wajib menggunakan tenaga kerja industri yang memenuhi standar kompetensi kerja nasional Indonesia.
Setiap perusahaan industri wajib menetapkan standar kompetensi tenaga
kerja dalam setiap pekerja produksi industri.
Pasal 30 ayat 2
Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib dilakukan oleh :
a. Perusahaaan industri pada tahap perancangan produk, perancangan proses produksi, tahap produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah; dan
b. Perusahaan kawasan industri pada tahap perancangan, pembangunan, dan pengelolaan kawasan industri, termasuk pengelolaan limbah.
Setiap sisa dari pengelolaan industri yaitu berupa limbah diharapkan tidak
menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar pabrik produksi industri tersebut.
Pasal 39 ayat 2
Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci wajib melakukan alih teknologi kepada pihak domestik.
Teknologi produksi wajib melakukan alih teknologi kepada pihak dalam
negeri yang ingin memakai hasil produksi industri.
Pasal 60
2. Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau jasa industri yang tidak menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan jasa industri.
Apabila setiap produksi tidak membuat hasil produksi sesuai SNI makan
barang/jasa tersebut akan ditarik dari peredaran pasar serta dapat dihentikan
kegiatan produksinya.
3. Ketentuan Sanksi Pidana
Ketentuan pidana terdapat pada pasal 120 yaitu :
1. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 2. Setiap orang yang karena kelalaiannya memproduksi, mengimpor,
dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apabila seseorang dengan sengaja atau dengan lalai memproduksi
barang/jasa yang tidak sesuai dengan SNI akan mendapatkan sanksi penjara dan
sanksi denda.
Pasal 121
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Apabila kesengajaan dan kelalaian dalam memproduksi barang/jasa yang
tidak sesuai SNI dilakukan oleh korporasi maka penjatuhan sanksi pidana penjara
Tabel 1 Perbandingan UU No 5 Tahun 1984 dan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
No UU No. 5 Tahun 198425 UU No. 3 Tahun 2014 1
2
3
Hanya ada sanksi pidana (pokok dan tambahan).
Pidana tambahan berupa
“pencabutan izin usaha industri”
(pasal 24 dan pasal 26).
Ada kualifikasi delik sebagai
“kejahatan dan pelanggaran” (pasal
28).
Selain adanya pidana pokok dikenal juga adanya sanksi Administratif (pasal 25 ayat 6, pasal 30 ayat 2, pasal 39 ayat 2, pasal 60)
Adanya kualifikasi kesengajaan dan kelalaian (pasal 120 ayat 1 dan ayat 2)
C. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar perusahaan
Keputusan menteri perindustrian dan perdagangan No
289/MPP/Kep/10/2000 tentang ketentuan standar pemberian izin usaha industri
tertulis pada Peraturan kota medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retibusi Izin
Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan
pada bab I berisi tentang ketentuan umum pada pasal 1 ayat 11 dalam peraturan
daerah ini yang dimaksud dengan Industri adalah :
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang lebih tinggi untuk penggunaannya termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan Industri.
Dan pada pasal 1 ayat 22 berisi tentang izin usaha industri adalah :
izin Usaha Industri pemberian izin kepada orang pribadi atau badan untuk
25
dapat melakukan kegiatan usaha industri.
Bab II pasal 2 dan pasal 3, menjelaskan tentang maksud dan tujuan
diberikannya izin, ada pun maksud pemberian Izin Industri tertulis pada pasal 2
dan Tujuan pemberian Izin Industri tertulis pada pasal 3.
Pasal 2
pemberian izin usaha industri, izin usaha perdagangan, izin usaha gudang/ruangan dan tanda daftar perusahaan dimaksudkan untuk mengatur, mengendalikan, mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap pertumbuhan dan berbagai aktifitas usaha dalam daerah.
Maksud diberikannya izin adalah untuk mengatur setiap aktivitas
pertumbuhan usaha apapun di dalam setiap daerah.
Pasal 3
tujuan pemberian izin usaha untuk mewujudkan tertib usaha baik ditinjau dari segi lokasi maupun hubungan dengan perkembangan perekonomian dan kelestarian lingkungan.
Adapun tujuan diberikan izin usaha adalah untuk mewujudkan usaha yang
tertib serta terjaganya kelestarian lingkungan sekitar produksi.
Bab VI pasal 5 menjelaskan tentang perizinan dimana setiap perusahaan
yang menjalankan kegiatan usaha industri wajib memiliki izin usaha industri dan
wajib didaftar dalam perusahaan. Pasal 5 ayat 2 menjelaskan tentang Izin usaha
industri terdiri dari :
a. izin usaha industri kecil yaitu izin untuk usaha industri dengan nilai investasi sampai dengan Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. izin usaha industri menengah yaitu izin untuk usaha industri dengan nilai Rp.200.000.000, (dua ratus juga rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termaduk tanah dan bangunan tempat usaha.
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Bab V pasal 7 ayat 1 menjelaskan tentang persyaratan pemberian izin
usaha dan tanda daftar perusahaan yaitu :
a. foto copy akte pendirian perusahaan (apabila perusahaan berbadan hukum);
b. foto copy HO bagi yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan izin usaha industri;
c. foto copy NPWP;
d. foto copy kartu tanda penduduk (bukti diri lainnya); e. pas photo 3 x 4 cm sebanyak 2 lembar berwarna;
f. khusus bagi industri kecil yang tidak mengeluarkan limbah B3, dilengkapi surat pernyataan tidak keberatan diketahui oleh kepala kelurahan.
Setiap industri yang ingin mendapatkan surat izin harus memenuhi
syarat-syarat diatas dan dibawa kepada instansi pejabar yang berwenang
untuk diberikan surat izin atas produksi usahanya.
Bab IX pasal 22 ayat 1 menjelaskan tentang struktur tarif retribusi izin
usaha industri yaitu :
a. Perusahaan Usaha Industri Kecil
1. Nilai investasi Rp. 5.000.000, s/d Rp. 50.000.000, sebesar Rp. 150.000
2. Nilai investasi Rp. 50.000.000 s/d Rp. 200.000 sebesar Rp. 300.000
b. Perusahaan Industri Menengah
1. Nilai investasi Rp. 200 juta , s/d Rp. 2 milyar , sebesar Rp. 600.000 2. Nilai investasi Rp. 2 milyar s/d Rp. 5 milyar sebesar Rp. 900.000 c. Perusahaan besar sebesar Rp. 1.500.000
Selain adanya syarat yang ditentukan juga adanya tarif pada setiap industri
yang berbeda-beda yang harus dibayarkan.
Pola penentuan pidana denda dalam peraturan daerah telah ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).26
Pada pasal 38 ayat 2 dan 3 mencantumkan sanksi yang diberikan apabila
setiap perusahaan tidak memiliki izin, sebagai berikut :
Ayat 2: setiap perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana telah diwajibkan pada pasal 5 ayat 1 tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).
Ayat 3: bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha tanpa memiliki izin operasional dan kegiatana tersebut melakukan penghimpunan dana masyarakat dan atau penggandaan uang yang patut disangka akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat, dinacam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.5.000.000 (lima juta rupiah).
Ayat 4 : tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 adalah tindak pidana pelanggaran.
Setiap industri yang tidak memiliki izin usaha akan dikenakan sanksi pidana
kurungan dan pidana denda yang melakukan pelanggaran dibidang industri.
Pola penentuan pidana denda dalam peraturan daerah telah ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 143 UU No 32 Tahun 2004 tersebut menentukan bahwa peraturan daerah
dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Peneuan pidana denda
di atas ditentukan secara maksimum dan pidana denda dapat dialternatifkan
dengan pidana kurungan.27
Penentuan pidana untuk yang telah diatur dalam peraturan daerah,
hendaknya dibatasi pada tindak pidana pelanggaran saja yang sifatnya lokal atau
26
Suhariyono , Pembaharuan Hukum Pidana, Papas Sinar Sinarti, Jakarta, 2010, hal 349.
27
spesifik dan ciri daerah. Kualifikasinya bukan umum yang berlaku secara nasional
sebagaimana tindak pidana yang telah ditentukan dalam KUHP atau
undang-undang di luar KUHP.28
28
BAB III
PENGATURAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL