• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM

POLDA SUMUT

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DIMAS B SAMUEL SIMANJUNTAK

NIM : 110200477

JURUSAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM

POLDA SUMUT

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DIMAS B SAMUEL SIMANJUNTAK

NIM : 110200477

JURUSAN HUKUM PIDANA

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr.M.Hamdan,S.H,MH)

NIP.195703261986011001

Dosen pembimbing I Dosen pembimbing II

(Dr.Madiasa Albisar,S.H,M.S) (Syafruddin Hasibuan,S.H,M.H,DFM)

NIP.196104081986011001 NIP.196305111989031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas berkat dan anugerah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan

kesehatan bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi,

tetapi semua itu dapat diatasi berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak

yang terkait. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien

sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya atas bimbingan, kerja sama, dan masukan (motivasi) yang penulis terima

selama ini dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh

mahasiswa/I di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing II penulis

(4)

4. Bapak OK Saidin, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

5. Penulis sangat berterima kasih kepada bapak Dr.Madiasa Albisar,S.H,M.S

selaku Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan,

motivasi dan bantuan kepada penulis selama penulisan skripsi ini;

6. Bapak Syaiful Azam, S.H, M.Humselaku Dosen Pembimbing Akademik.

Terimakasih kepada bapak yang selama ini telah memberikan bimbingan dan

nasehat-nasehat kepada penulis dalam menjalankan program studi S1 di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Liza Erwina, S.H, M.H selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Bapak KOMBES POL. Drs. Reynhard S. P. Silitonga, M.Si selaku Direktur

Reserse Narkoba Polda Sumut yang telah memberikan izin kepada penulis

untuk mengadakan riset/studi dan membantu dalam melakukannya;

10. Bapak AKBP Bazawanto Zebua, S.H, M.H selaku Kabag Bin Opsnal

Direktorat Reserse Narkoba Polda sumut yang telah memberikan arahan serta

motivasi kepada penulisuntuk melakukan riset/studi dan membantu dalam

melakukannya;

11. Bapak KOMPOL J. Silaban selaku Kasubbag Min Opsnal Direktorat Reserse

Narkoba Polda Sumut yang telah meluangkan waktu untuk membimbing

penulis selama melakukan riset, serta seluruh staff pegawai yang telah

(5)

12. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar yang telah memberikan ilmu

pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

13. Penulis sangat berterima kasih kepada ayahanda Pukka Simanjuntak dan

Ibunda Sukawatini yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh dan

mendidik serta memberikan dorongan penulis secara moril, materil, dan

spiritual dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan

perkuliahan.

14. Saudara kandung penulis kakak-adek yang selalu memberikan nasihat dan

dukungan : Christin Simanjuntak, Dhenok Simanjuntak, dan Febro Hutabarat

15. Sahabat-sahabatku Billy, Reno, Junita, Rani, Baktiaruddin, dinand, Rendy,

Rencius, Nurul, Vienna, boy, andriano, joces, roy, stanley, pudan, nobel,

andreas alfonso, dan seluruh teman-teman baik di Fakultas Hukum USU

ataupun diluar kampus, dan terkhusus Grup D Stambuk 2011 yang telah

banyak kontribusinya dalam membantu serta mendukung penulis

menyelesaikan skripsi ini.

16. Dan kepada semua pihak yang telah turut membantu didalam penulisan

skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu

dengan segala kerendahan hati penulis menerima komentar dan masukan yang

bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan tugas akhir ini, akhir kata

(6)

Medan, Mei 2015

Penulis

Dimas B Samuel

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. PERUMUSAN MASALAH ... 9

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 10

1. Tujuan Penulisan ... 10

2. Manfaat Penelitian ... 10

D. KEASLIAN PENULISAN ... 12

E. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 12

2. Pengertian Polisi... 21

3. Pengertian Penegakan Hukum ... 25

F. METODE PENELITIAN ... 36

1. Jenis Penelitian ... 36

2. Pendekatan yang digunakan ... 37

(8)

5. Sumber Data ... 38

6. Tehnik Pengumpulan Data ... 39

7. Metode Analisa Data... 40

G. SISTEM PENULISAN ... 41

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA 43 A. PENGGOLONGAN ... 43

B. KETENTUAN PIDANA MENURUT UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA... 49

1. Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika ... 49

2. Menurut Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika... 52

BAB III PERANAN POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA .... 68

A. Pre-emtif ... 68

B. Preventif ... 70

C. Represif... 71

D. Treatment dan Rehabilitasi... 81

E. Peran Serta Masyarakat ... 87

F. Upaya Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika di lingkungan Kampus khususnya wilayah Hukum Polda Sumut ... 90

(9)

MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI

KAMPUS KHUSUSNYA DI WILAYAH HUKUM POLDA

SUMUT ... 92

A. Intern ... 92

B. Ekstern ... 94

BAB V PENUTUP ... 96

A. Kesimpulan... 96

(10)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT

*)Dimas Simanjuntak **)Madiasa Albisar ***)Syafruddin Hasibuan

Narkotika adalah segolongan obat, bahan, atau zat, yang jika masuk ke dalam tubuh, berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif). Semakin hari peredaran narkotika semakin marak terjadi bahkan memasuki dunia pendidikan dengan modus operandi yang semakin canggih terkhusus di lingkungan Kampus wilayah hukum Polda Sumut. Walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana narkotika adalah kejahatan, namun hal ini diatur karena penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan timbulnya hal yang membahayakan pada nyawa manusia. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku masyarakat. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, dimana dengan adanya penegakan hukum tindak pidana narkotika terkhusus di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut dapat terwujud.

Penelitian yang dilakukan ini ditujukan untuk mengetahui terlaksananya penegakan hukum atas tindak pidana narkotika yang terjadi di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut. Oleh karena itu maka metode penelitian yang dilakukan denggan menggunakan 2 (dua) metode, yang pertama yaitu metode Field research (penelitian lapangan) yaitu langsung ke lokasi penelitian yakni Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut dengan mengadakan wawancara, dan mengambil data-data yang dibutuhkan, metode yang kedua ialah Library research (penelitian kepustakaan) melalui sumber-sumber bacaan baik buku, majalah, internet, juga peraturan perundang-undangan.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlunya pembuatan MoU antara pihak Kampus (Rektorat) dengan Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika dalam rangka kerjasama untuk melakukan pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dilingkungan Kampus, sehingga mempermudah Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika melakukan penindakan terhadap para pelaku Tindak Pidana Narkotika yang berada di lingkungan kampus. Diharapkan masyarakat turut serta membantu memberantas peredaran gelap narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.

.

* Mahasiswa

(11)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT

*)Dimas Simanjuntak **)Madiasa Albisar ***)Syafruddin Hasibuan

Narkotika adalah segolongan obat, bahan, atau zat, yang jika masuk ke dalam tubuh, berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif). Semakin hari peredaran narkotika semakin marak terjadi bahkan memasuki dunia pendidikan dengan modus operandi yang semakin canggih terkhusus di lingkungan Kampus wilayah hukum Polda Sumut. Walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana narkotika adalah kejahatan, namun hal ini diatur karena penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan timbulnya hal yang membahayakan pada nyawa manusia. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku masyarakat. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, dimana dengan adanya penegakan hukum tindak pidana narkotika terkhusus di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut dapat terwujud.

Penelitian yang dilakukan ini ditujukan untuk mengetahui terlaksananya penegakan hukum atas tindak pidana narkotika yang terjadi di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut. Oleh karena itu maka metode penelitian yang dilakukan denggan menggunakan 2 (dua) metode, yang pertama yaitu metode Field research (penelitian lapangan) yaitu langsung ke lokasi penelitian yakni Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut dengan mengadakan wawancara, dan mengambil data-data yang dibutuhkan, metode yang kedua ialah Library research (penelitian kepustakaan) melalui sumber-sumber bacaan baik buku, majalah, internet, juga peraturan perundang-undangan.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlunya pembuatan MoU antara pihak Kampus (Rektorat) dengan Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika dalam rangka kerjasama untuk melakukan pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dilingkungan Kampus, sehingga mempermudah Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika melakukan penindakan terhadap para pelaku Tindak Pidana Narkotika yang berada di lingkungan kampus. Diharapkan masyarakat turut serta membantu memberantas peredaran gelap narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.

.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Istilah “narkotika” ini muncul sekitar tahun 1998. Istilah ini bukan

lagi istilah yang asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita,

baik dari media cetak maupun media elektronik yang memberitakan tentang

penggunaan narkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan

usia berjatuhan akibat penggunaannya.

Masalah penyalahgunaan narkotika mempunyai dimensi yang sangat

luas dan kompleks. Penggunaan narkotika dapat merusak tatanan kehidupan

keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah atau kampus,

bahkan langsung atau tidak langsung merupakan ancaman bagi

kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Pada saat ini, Narkotika merupakan musuh terbesar negara yang dimana

orang yang menggunakan narkotika ini tidak mengenal usia baik muda

maupun tua.

Kasus-kasus narkotika yang melibatkan warga masyarakat, narkotika

dapat sampai ke tangan seorang pengguna atau pemakai adalah dari

pedagang gelap. Demikian pula dengan para pemakai narkotika, mereka

(13)

dalam perjalanan, di sekolah ataupun di kampus, di tempat-tempat hiburan

malam, dan sebagainya.1

Ada dua faktor penyebab penyalahgunaan narkotika yaitu faktor

lingkungan dan faktor individu adalah sebagai berikut :2

1. Faktor lingkungan

Faktor ini meliputi keluarga dan lingkungan pergaulan baik di sekitar rumah, sekolah atau kampus, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor orang tua ataupun keluarga merupakan penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna barang haram atau yang biasa disebut dengan narkotika tersebut adalah sebagai berikut : a. Komunikasi yang kurang baik antara orang tua dengan anak; b. Akibat Orang tua yang mengalami perceraian, selingkuh dan

atau kawin lagi;

c. Orang tua yang terlalu sibuk atau tidak acuh terhadap anaknya; d. Orang tua yang serba melarang;

e. Sekolah yang kurang disiplin;

f. Sekolah yang dekat dengan tempat hiburan ataupun dekat dengan tempat penjualan narkotika;

g. Adanya murid atau mahasiswa yang menggunakan narkotika; h. Kurangnya pengawasan.

2. Faktor individu

Faktor ini menjadi salah satu penyebab bagi penyalahguna narkotika dikarenakan adanya perubahan biologik, psikologik, maupun sosial di dalam diri para pengguna narkotika. Terdapat ciri-ciri tertentu bagi para pengguna yang mempunyai resiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna narkotika (NAPZA), antara lain sebagai berikut :

a. Kurangnya Ibadah dari para pengguna yang mengakibatkan Imannya mudah tergoda;

b. Hilangnya rasa percaya diri;

c. Adanya keinginan untung mengikuti mode zaman yang semakin lama semakin tidak terbatas;

d. Bersifat memberontak dan menolak otoritas; e. Keinginan agar diterima di dalam suatu pergaulan; f. Adanya keingintahuan yang besar untuk mencoba;

g. Tidak adanya sikap tegas dan kesiapan mental dalam hal untuk menolak penawaran yang diberikan didalam pergaulan.

1

(14)

Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah

bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi serta dengan

teknologi yang canggih. Dalam hal ini, diharapkan kepada penegak hukum

(polisi) untuk mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan khususnya

dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang guna meningkatkan

moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi

generasi penerus bangsa.3

Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga

diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para

penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan bahwa

narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang

pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan

dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat

merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa adanya

pengawasan yang ketat. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur

menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental

bagi yang menggunakan serta dapat menimbulkan ketergantungan pada

pengguna itu sendiri.4

Maraknya penyalahgunaan narkotika tidak hanya di kota-kota besar,

tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia

3

A.Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan narkotika dan Psikotropika, (jakarta :Sinar Grafika,1994), hal.6)

4

(15)

mulai dari tingkat social economi menengah bawah sampai tingkat social

economi menengah atas. Penyalahgunaan narkotika paling banyak berumur

antara 15-26 tahun. Dimana generasi muda adalah sasaran yang paling

strategis oleh pedagang gelap narkotika.

Akibat maraknya penyalahgunaan narkotika membuat para pasien

pengguna narkotika di panti-panti rehabilitasi medis ataupun non medis di

beberapa kota besar semakin hari semakin bertambah. Dengan situasi

penduduk yang semakin bertambah, pengangguran dan kemiskinan juga

semakin meningkat, maka muncul keinginan orang untuk memperoleh

rejeki dengan cara apapun. Kalau di tahun 1970-an Indonesia hanya sebagai

wilayah pemilik, maka di tahun 1990-an berubah sebagai pemakai dan

sekaligus menjelang tahun 1998 sebagai negara produsen.

Hasil riset di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut bahwa di dapat

pengungkapan Tindak Pidana Narkoba yang dilakukan Direktorat Reserse

(16)

N O

THN JENIS NARKOBA J U M L A H

HEROIN KOKA IN MORFIN GA NJA PUTA UW SHA BU ECSTA SY OBA T/ZA T

BERBA HA YA

PSIKOTROPI KA JENIS PIL

HA PPY FIVE (ERIMIN 5)

KSS TSK

KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK

1. 2. 3. 4. 5. 6. 2010 2011 2012 2013 2014 Maret 2015 -1 -2 1 -3 -2 1 -1 -1 -1.230 854 841 871 784 193 1.956 1.072 1.023 1.123 1.012 228 5 12 1 2 1 -5 15 1 3 2 -1.433 1.795 1.516 2.165 2.811 866 1.720 2.349 2.103 3.019 3.717 1.177 33 38 57 51 68 38 41 47 88 59 89 51 17 28 16 2 1 -14 28 21 2 2 -1 4 2 -1 5 2 2.718 2.728 2.432 3.094 3.670 1.099 3.736 3.514 3.237 4.209 4.828 1.458

J U M L A H 4 6 1 1 - - 4.773 6.414 21 26 10.586 14.085 285 375 64 67 7 8 15.741 20.982

(17)
(18)

Dari data tersebut diatas, dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Tahun 2013 berhasil mengungkap sebanyak 3.094 (tiga ribu sembilan

puluh empat) Kasus dengan 4.209 (empat ribu dua ratus sembilan)

Tersangka

2. Tahun 2014 berhasil mengungkap sebanyak 3.670 (tiga ribu enam

ratus tujuh puluh) Kasus dengan 4.828 (empat ribu delapan ratus dua

puluh delapan) Tersangka

3. Bulan Januari s/d Maret 2015 berhasil mengungkap sebanyak 1.099

(seribu sembilan puluh sembilan) Kasus dengan 1.458 (seribu empat

ratus lima puluh delapan) Tersangka

Hasil pengungkapan tersebut, ditemukan pelaku Tindak Pidana

Narkoba yang berstatus Mahasiswa sebagai berikut :

1. Tahun 2013 sebanyak 46 (empat puluh enam) Tersangka

2. Tahun 2014 sebanyak 65 (enam puluh lima) Tersangka

3. Bulan Januari s/d Maret 2015 sebanyak 15 (lima belas) Tersangka

Dilihat dari jumlah tersangka tersebut, terjadi peningkatan Tahun

2013 ke Tahun 2014 sebanyak 19 (sembilan belas) Tersangka. Hal ini

berarti masih maraknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang

dilakukan para mahasiswa, yang dapat mengakibatkan dampak buruk

(19)

Petugas Reskrim Polsek Medan Timur Polresta Medan Polda Sumut

pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2015 telah melakukan penangkapan

terhadap 2 (dua) Mahasiswa yang berinisial ES ,19 tahun, warga Jalan Pelita

I dan NCS, 20 tahun, warga Jalan Pelita I yang sedang keluar dari Jalan

Mesjid Taufik Medan dan selanjutnya sepeda motor yang dikendarai

mahasiswa tersebu diberhentikan di jalan rakyat Medan kemudian dilakukan

penggeledahan dan ditemukan 2 (dua) amplop yang berisi narkotika jenis

ganja.5

Pada hari Sabtu tanggal 02 Mei 2015 di Jalan Gagak Hitam/Ringroad

Medan, Satresnarkoba Polresta Medan Polda Sumut telah melakukan

penangkapan terhadap seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Kota

Medan berinisial MR (22), warga Jalan BL Kelurahan Helvetia Kecamatan

Medan Helvetia Medan yang diduga terlibat peredaran narkotika jenis sabu

dengan barang bukti satu kilogram sabu, yang seharga Rp 2 miliar, satu unit

timbangan digital, 50 buah plastik klip kosong dan satu handphone.6

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Pasal 13

Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat, sehingga peranan Polisi sangat besar di

(20)

narkotika.7 Dimana di dalam proses penyidikan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika, undang-undang tidak ada mengatur bahwa polisi

tidak diperbolehkan memasuki wilayah kampus. Melainkan polisi

menghindari adanya pertikaian dengan warga kampus agar tidak terjadi

kontak fisik. Oleh karena itu, polisi memerlukan kerjasama berupa

informasi dari dalam maupun luar kampus untuk upaya penegakan hukum

terhadap para pelaku tindak pidana narkotika di area kampus.

Dari uraian dan latar belakang diatas, sebagaimana yang telah penulis

paparkan, maka faktor inilah yang melatarbelakangi penulis untuk

mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan

judul “Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana

Narkotika Di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan

harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Berdasarkan latar

belakang di atas, adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini

adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum Tindak Pidana Narkotika menurut

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ?

2. Bagaimana peran polisi dalam penegakan hukum untuk menangani

Tindak Pidana Narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah

hukum Polda Sumut ?

7

(21)

3. Hambatan yang dihadapi polisi dalam menangani Tindak Pidana

Narkotika di Kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana mengenai Tindak

Pidana Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009

b. Untuk mengetahui peranan Kepolisian Negara Republik

Indonesia (polisi) dalam penegakan hukum untuk menangani

Tindak Pidana Narkotika

c. Untuk mengetahui apa hambatan yang dihadapi polisi dalam

menangani Tindak Pidana Narkotika di lingkungan kampus

2. Manfaat Penelitian

Disamping tujuan, penulis juga mengharapkan dapat memberi

manfaat bagi para pembaca baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :

a. Secara Teoritis

Hasil penulisan skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan

kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang

diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan

(22)

pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan

koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran

kedepannya untuk menyorot dan membahas mengenai

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang tidak

mengenal umur dan terutama para remaja, dimana mereka

adalah generasi muda masa depan bangsa dan juga bagaimana

upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian

dalam menanggulangi dan mencegah serta memberantas tindak

pidana narkotika ini melihat pesatnya perkembangan teknologi

sekarang yang semakin canggih. Dan juga agar para

penerus-penerus bangsa yaitu anak-anak ataupun remaja sekarang tidak

lagi menjadi salah satu dari penyalahguna dan pengedar

narkotika yang semakin lama semakin marak berkembang.

b. Secara Praktis

Hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi

masukan untuk kita dalam membantu para penegak hukum

untuk upaya pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan

kasus-kasus narkotika yang semakin lama marak dan tidak lagi

mengenal usia maupun tempat untuk memakainya.

D. KEASLIAN PENULISAN

Adapun judul penulisan dalam skripsi ini yakni mengenai

Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana

(23)

dimana sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membahas atau

mengangkat hal tersebut kedalam sebuah tulisan ilmiah.

Sebenarnya telah banyak tulisan-tulisan mengenai narkotika, namun

tidak ada penulisan yang secara khusus membahas tentang Penegakan

Hukum oleh Polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus.

Jadi penelitian ini dapat dikatakan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan

yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai

dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang

merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas

dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur

didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu

disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang

tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya

untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila

ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah

merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan

dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi

(24)

Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi

kepentingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri

Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau

lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan,

memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman

papaver,koka dan ganja.9

Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan

sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru

daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial

masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan

mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan

tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi

penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan

narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu

sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang

selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan

pengaturan di bidang narkotika. Peraturan perundang-undangan yang

mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat

diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu

bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis,

menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta

dilakukan secara terorganisir (organizeci crime) dan sudah bersifat

transnasional (transnational crime).

9

(25)

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah

hukum yang telah dikodifikasikan dalam suatu kitab undang-undang

hukum pidana. Dalam hal ini Wirjono Prodjodikoro mengungkapkan

mengenai definisi hukum pidana yaitu “hukum pidana adalah

peraturan hukum mengenai pidana”. Hukum pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan

dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi

berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan

tersebut

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.

Pidana berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana

merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang

mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana

ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana

atau melakukan tindak kejahatan. Dalam ilmu hukum ada perbedaan

(26)

untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah

“pidana” lebih baik daripada “hukuman”. Menurut Muladi dan

Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum

dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah

karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.

Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum,

tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral,

agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang

lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna

sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”.

Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang

sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang

tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai

strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai

strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana

dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta

delik. Di antara istilah-istilah itu, yang paling tepat dan baik

digunakan adalah istilah tindak pidana dengan pertimbangan selain

mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum

juga sangat praktis untuk diucapkan. Disamping itu, di dalam

peraturan perundang-undangan Negara Indonesia pada umumnya

(27)

Berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika Bab XV ketentuan pidana, maka perbuatan-perbuatan yang

dilarang yang berhubungan dengan narkotika adalah :

a. Menanam, memelihara, mempunyai, dalam persediaan,

memiliki, menyimpan untuk dimiliki, atau untuk persediaan atau

menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau

bukan tanaman.

b. Memiliki, menyimpan, untuk dimiliki atau untuk persediaan,

atau menguasai narkotika golongan II dan Golongan III.

c. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi,

merakit atau menyediakan narkotika golongan I, II, III.

d. Membawa, mengirim, mangangkut atau mentransito narkotika

Golongan I, II, dan III.

e. Mengimport, mengeksport, menawarkan untuk dijual,

menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika

golongan I, II, III.

f. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan

narkotika golongan I, II, III untuk digunakan oleh orang lain.

g. Menggunakan narkotika golongan I, II, III. Bahaya narkotika

karena penyalahguna menjadi “addict” (pecandu) setelah

melewati ketergantungan jiwa dan fisik. Belum lagi bahaya

(28)

masyarakat seperti pencurian, penodongan, perampokan,

perampasan, pembunuhan, pemerkosaan.

Menurut Dr.Graham Bline, penyalahgunaan narkotika dapat

terjadi karena beberapa alasan, yaitu :10

a. Faktor Intern (dari dalam dirinya)

1) Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi yang berwenang; 2) Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;

3) Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan penuh resiko;

4) Berusaha untuk mencari atau mendapatkan arti daripada hidup;

5) Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman sensasional dan emosional;

6) Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang kesibukan;

7) Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan setia kawan;

8) Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng. b. Faktor Ekstern

1) Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda kelembah siksa narkotika;

2) Adanya situasi yang disharmoniskan (broken home) dalam keluarga, tidak adanya rasa kasih sayang, renggangnya hubungan antara ayah dan ibu, orang tua dan anak;

3) Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan menjerumuskan generasi muda atau remaja;

4) Penyalahgunaan narkotika merupakan wabah yang harus mendapatkan penanggulangan harus dilakukan dengan prioritas yang tinggi serta terpadu.

Tindakan hukum perlu dijatuhkan secara berat dan maksimum,

sehingga menjadi jera dan tidak mengulangi lagi atau contoh bagi

lainnya untuk tidak berbuat.11 Kebijakan sanksi pidana dan

pemidaannya sebagai berikut :

10

Supramono. G, Hukum Narkotika Indonesia. (Jakarta: Djambatan), hal 26.

11

(29)

a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan,

penjara dalam waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati),

pidana tambahan (pencabutan izin usaha/ pencabutan hak

tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga negara asing).

b. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara

Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana

Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20

tahun dan seumur hidup.

c. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara

kumulatif (terutama penjara dan denda);

d. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana

minimal khusus (penjara maupun denda);

e. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului

dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi,

dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak

belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive).

Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminalisasi dari

undang-undang narkotika tampaknya tidak terlepas dari tujuan

dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :

a. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan

narkotika/psikotropika, dan

(30)

Oleh karena itu, semua perumusan delik dalam Undang-Undang

Narkotika terfokus pada penyalahgunaan dari peredaran narkotikanya

mulai dari penanaman, produksi, penyaluran lalu lintas, pengedaran

sampai ke pemakaiannya, dan pemakaian pribadi, bukan pada

kekayaan (property atau asets) yang diperoleh dari tindak pidana

“narkotika” itu sendiri. Dalam ilmu hukum pidana, orang telah

berusaha memberikan penjelasan tentang siapa yang harus dipandang

sebagai pelaku suatu tindak pidana. Van Hamel telah mengartikan

pelaku dari suatu tindak pidana dengan membuat suatu definisi

sebagai berikut : “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang

tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik

seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik

yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan

secara tegas, jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seseorang diri

telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan”.

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika pada hakekatnya merupakan reformasi hukum aspek–aspek

yang direformasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1997 dan

Undang–undang nomor 5 tahun 1997 yang dimaksud adalah :

a. Realitas gradasi karena variasi golongan dalam narkotika

dengan ancaman hukuman yang berbeda dengan golongan 1

yang terberat di susul dengan golongan II dan III (tidak

disamaratakan), suatu yang patut di puji justru dalam

(31)

(paling singkat). Hal ini adalah hal baru dalam kaedah hukum

pidana.

b. Ketentuan pemberatan selain didasarkan penggolongan juga

realitas bahwa dalam penyalahgunaan narkotika banyak

dilakukan oleh kelompok melalui permufakatan (konspirasi),

maka bila penyalahgunaan beberapa orang dengan konspirasi

sanksi hukumnya diperberat.

c. Demikian pula Penanggulangan dan Pemberantasan di lakukan

bila pelaku penyalahgunaan narkotika terorganisasi. Ini

menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika telah ada

sindikat–sindikat yang terorganisasi rapi dalam operasionalnya.

d. Demikian pula apabila koporasi yang terlibat maka pidana

dendanya diperberat, tetapi pertanggung jawaban pidana

korporasi belum tegas, apakah direkturnya dapat dikenakan

hukum pidana penjara. Hal ini mungkin harus melalui

yurisprudensi.

Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat

dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga

kerjasama internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya

usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam

keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan penjelasan

(32)

korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan

mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu.12

2. Pengertian Polisi

Istilah polisi sepanjang sejarah mempunyai arti yang

berbeda-beda, sehingga pengertian polisi diantaranya adalah sebagai beriku :

a. Polisi sebenarnya berasal dari bahasa yunani “politea” yang

berarti seluruh permintaan negara kota, negara Yunani pada

abad sebelum masehi terdiri dari kota-kota saja yang disebut

sebagai Negara Kota.

b. Di Belanda pada jaman dahulu polisi dikenal melalui konsep

praja van vallenhoven yang membagi pemerintahan menjadi 4

(empat) bagian yaitu :

1) Bestur (pemerintahan)

2) Politie (Polisi)

3) Rechtspaark ;dan

4) Regeling

Dengan demikian polisi dalam pengertian ini sudah

dipisahkan dengan bestur (pemerintahan) tetapi merupakan

bagian dari pemerintahan itu sendiri. Pada pengertian ini polisi

termasuk organ-organ pemerintah yang mempunyai wewenang

melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum.13

12

Ruby Hardiati Jhony, diktat kuliah hukum pidana khusus Tindak Pidana Narkotika, (Purwekerto: Fakultas Hukum. Unsoed. 1985)

13

(33)

c. Lain halnya istilah “polisi” dalam bahasa inggris yang

mengandung arti lain yang dinyatakan oleh Charles Reith dalam

bukunya The blind of history yang menyatakan bahwa polisi

sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan

tata susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini bertolak

belakang dengan pemikiran bahwa manusia adalah mahluk

sosial, hidup berkelompok dan membuat peraturan yang

disepakati bersama. Diantara kelompok-kelompok itu terdapat

anggota-anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama

sehingga tumbuh masalah siapa yang berkewajiban untuk

memperbaiki dan menertibkan kembali anggota kelompok yang

telah melanggar, dari pemikiran tersebut kemudian

diperlukanlah polisi.

Kepolisian yang telah dibentuk sejak tanggal 19 Agustus

1945, mencoba memakai sistem kepolisian federal yang berada

di bawah Departemen Dalam Negeri dengan kekuasaan yang

berada di wilayah Indonesia. Maka mulai tanggal 1 juli 1946,

polisi menganut sistem Kepolisian Nasional (The Indonesian

National Polite). Sistem kepolisian ini dirasa lebih pas dengan

Indonesia sebagai Negara Kesatuan, karena dalam waktu singkat

polisi dapat membentuk komando-komando sampai ke tingkat

sektor (kecamatan) dan sistem inilah yang dipakai polisi sampai

(34)

d. Disamping itu, pengertian polisi menurut Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia pasal 1 ayat (1), di defenisikan bahwa pengertian

Kepolisian yaitu :

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Dari pengertian diatas, maka Kepolisian Negara berarti

berkaitan dengan lembaganya, sedangkan polisi menunjukkan

person atau orang yang termasuk dalam anggota kepolisian

dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dengan

undang-undang. Jadi Polisi adalah anggota atau pejabat kepolisian yang

mempunyai wewenang umum kepolisian yang dimiliki

berdasarkan undang-undang yang berstatus pegawai negeri sipil

yang mempunyai fungsi pemerintahan negara dibidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak

hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

e. Sedangkan menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 dikatakan bahwa kepolisian adalah alat negara yang

menegakkan hukum serta memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

terpeliharanya keamanan dalam negeri.

f. Menurut Sadjijono, istilah “polisi” dan “kepolisian”

(35)

sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara,

sedangkan istilah “kepolisian” adalah sebagai organ dan sebagai

fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintah yang

terorganisir dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan

sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab

lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan

fungsinya, antara lain pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegak hukum, pengayoman dan pelayan

masyarakat.14

3. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk

tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai

pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut

subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang

luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh

subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses

penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap

hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan

diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan

atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi

(36)

aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan

bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam

memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak

hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian

penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu

dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup

makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu

mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya

bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya

menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Karena itu, penerjemahan perkataan “law enforcement” ke dalam

bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan “penegakan hukum”

dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah “penegakan

peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan

hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang

dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri

dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law” versus “the rule of

just law” atau dalam istilah “the rule of law and not of man” versus

istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of man by law”. Dalam

istilah “the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum,

tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula

nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,

(37)

and not of man” dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada

hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan

oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by

law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang

menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan

uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan

penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan

untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun

dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap

perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan

maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan

kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya

norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, penegakan hukum dapat

ditentukan sendiri batas-batasnya.

Penegakan hukum secara objektif, norma hukum yang hendak

ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materil.

Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan

perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materil mencakup pula

pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam

bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara

pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan

(38)

hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam

bahasa inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of

law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau

pengadilan keadilan. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya

mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban

para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum

yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang mendasar. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah,

issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan

ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan

kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam

dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan

penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia

mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak

asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi

manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai

pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran

konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi

warna yang baru terhadap ide-ide demokrasi (negara hukum) dalam

sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi

manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap

negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun

negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional

(39)

sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan

keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya tidaklah terlalu tepat

untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara

tersendiri. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak

asasi manusia”. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi

manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain

di kalangan masyarakat kita pun memang belum berkembang secara

sehat.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai

institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti

sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya

hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim,

dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait

mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau

perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan,

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis

dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali

(resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak

hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

a. institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan

prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;

b. budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai

(40)

c. perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja

kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang

dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum

acaranya.

Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah

memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses

penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat

diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan

berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini,

sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi.

Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan

persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya

menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri

tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan

yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin

keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu

yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang

kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum

tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena

itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian secara

seksama sebagai berikut :

a. Pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule

(41)

b. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum

(socialization and promulgation of law); dan

c. Penegakan hukum (the enforcement of law).

d. Adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan

efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang

bertanggungjawab (accountable).

Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem

hukum dapat disebut sebagai agenda penting dan yang keempat

sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti

luas, “the administration of law” itu mencakup pengertian

pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu

sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan

sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum

yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka

pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan

administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan

(vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat

sampai ke daerah-daerah.

Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi

manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun

disamping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan

hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak

(42)

Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya

menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu

peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan

apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini

memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis

dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak

sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga

melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat sementara. Akibatnya

kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam

masyarakat.

Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas

revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus

mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi

dari masyarakat, maka setidaknya dilakukan dua macam pendekatan

yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.

Melalui sistem pendekatan revisi atau pembentukan

undang-undang yang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual

yang berkaitan erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik,

dan demopolitik, sosiopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak

berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum

mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Sempitnya

pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan

penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan

(43)

tanpa wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dan

menerjemahkan perasaan keadilan hukum di masyarakat.15

Substansi undang-undang sebaiknya di susun secara taat asas,

harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam

pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan

dengan mengabstrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni

menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan

pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum

yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang

bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan

undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang

yang sering tidak berpijak pada dasar moral yang ditetapkan rakyat,

bahkan sering bertentangan.

Pada taraf dan situasi seperti ini kesadaaran moral warga

masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun

dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita

pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun

karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya

dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada

selama ini.16

(44)

Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus

diperhatikan namun hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum

itu bersifat umum dan mengikat setiap orang serta menyamaratakan.

Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan

siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif,

individualistis dan tidak menyamaratakan.17 Adil bagi seseorang

belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.

Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan

“Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni

memberikan pada setiap orang apa yang berhak diterima. Anggapan

ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya

membuat adanya keadilan saja (ethische theorie). Tetapi anggapan ini

tidak mudah dipraktekkan, hal ini tidak mungkin orang membuat

peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia. Apabila itu dilakukan

maka akan tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula hukum harus

membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk

menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak diadakan

untuk menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah hukum hanya

membuat suatu klasifikasi tertentu.18

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana

oleh Satjipto Raharjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan

keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan

17

Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.

18

(45)

hukum yang dimaksud disini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran

badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam

peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang

dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu dijalankan.19

Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu

memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu

sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa

keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan

hukum yang harus dijalankan itu dibuat. 20

Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa

keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya

semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan

Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum

(legal structure), komponen substansi hukum (legal substance), dan

komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal

structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu

sistem. Substansi hukum (legas substance) merupakan aturan-aturan

dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga,

kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati didalam

sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan

(46)

dan pendapat tentang hukum.21 Dalam perkembangannya, Friedman

menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya

komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak

hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan

hukum yang menjadi objek kajian peneliti.

F. METODE PENELITIAN

Adapun metode penelitian yang dipergunakan didalam penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian

perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field

research). Penelitian perpustakaan adalah penelitian tentang aturan

dasar pemidanaan terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika

menurut peraturan perundang-undangan, sedangkan penelitian

lapangan (field research) ini untuk mengetahui sejauh mana

penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika di

kampus khususnya di wilayah hukum Polda Sumut.

2. Pendekatan yang digunakan

Pendekatan yang digunakan dalam memahami dan mendekati

objek penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis (hukum dilihat sebagai norma atau da sollen),

21

(47)

karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menggunakan

bahan-bahan hukum tertulis, kemudian bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Pendekatan empiris (hukum sebagai

kenyataan sosial, kultural atau das sein), karena dalam penelitian ini

digunakan data primer yang diperoleh dari lapangan.

Jadi, pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya

adalah dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara

memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder)

dengan data primer yang diperoleh dilapangan yaitu tentang

penegakan hukum oleh Polisi dalam menangani tindak pidana

narkotika di kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di wilayah hukum POLDA Sumatera Utara

4. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis maksudnya adalah

analisis penelitian yang mengungkapkan suatu masalah atau keadaan

ataupun peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat

mengungkapkan fakta.

5. Sumber Data

Sumber data digolongkan menjadi :

a. Data Primer

Adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan

(48)

b. Data Sekunder

Adalah data yang secara tidak langsung memberikan

keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer.

Data tersebut digolongkan menjadi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang berhubungan erat

dengan permasalahan yang diteliti dan sifatnya mengikat, terdiri

dari :

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika

2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berkaitan

dengan penjelasan bahan hukum primer, terdiri dari :

1) Buku-buku yang membahas tentang narkotika dan

psikotropika

2) Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana

narkotika dan psikotropika

6. Tehnik pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian ini,

maka teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah :

a. Interview atau wawancara

Interview adalah suatu metode pengumpulan data dengan

(49)

berdasarkan pada tujuan penelitian, atau sebuah dialog yang

dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari

narasumber.22 Komunikasi ini dilakukan dalam keadaan

berhadapan dengan aparat penegak hukum di Polda Sumatera

Utara.

b. Observasi

Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap

gejala-gejala subyek yang diselidiki dengan maksud untuk

meyakinkan kebenaran data yang diperoleh dari wawancara.

Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan terhadap wilayah

kampus yang akan diteliti dan dapat dibuktikan keakuratan

sumber datanya.

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah tehnik pengumpulan data

dengan cara membaca, mempelajari, dan mencatat data yang

diperoleh dari berbagai buku hukum, surat kabar, majalah dan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

penelitian.

7. Metode Analisa Data

Data dianalisis secara kualitatif berpedoman kepada peraturan

perundang-undangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif yuridis,

dengan mengadakan penelitian terhadap pelaksanaan peraturan

(50)

kenyataan dilapangan sesuai pemasalahan penelitian ini. Data yang

diperoleh dilapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif, normatif

logis, sistematis menggunakan metode deduktif dan induktif.

Deskriptif artinya data yang diperoleh dari lapangan,

digambarkan sesuai kenyataan yang sebenarnya. Normatif

digambarkan untuk menganalisis data dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya berhubungan dengan

permasalahan logis, artinya dalam melakukan analisis tidak boleh

bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Metode deduktif

artinya peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berhubungan

dengan permasalahan yang bersifat umum dan dijadikan sebagai

pegangan pada data yang diperoleh dari penelitian, untuk memperoleh

kesimpulan. Metode deduktif artinya data bersifat khusus yang

diperoleh dari penelitian serta menarik kesimpulan yang bersifat

umum.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN

Dalam pendahuluan ini akan dijelaskan tentang latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat

penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan

(pengertian Tindak Pidana Narkotika, pengertian polisi,

pengertian penegakkan hukum, Metode penelitian serta

(51)

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA

NARKOTIKA

Didalam BAB II ini, akan dibahas mengenai penggolongan

Narkotika dan Ketentuan Pidana Menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika

BAB III PERANAN DAN HAMBATAN POLISI DALAM

PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENANGANI

TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Didalam BAB III ini akan dibahas mengenai upaya

pre-emptif, preventif, represif dan rehabilitasi yang dilakukan

oleh polisi dalam rangka penegakan hukum, serta peran

serta masyarakat

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI POLISI DALAM

MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI

LINGKUNGAN KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH

HUKUM POLDA SUMUT

Didalam BAB IV ini dibahas tentang bahas mengenai

hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi polisi dalam

menangani Tindak Pidana Narkotika di Lingkungan

(52)

BAB V PENUTUP

Dalam BAB V ini merupakan hasil dari keseluruhan skripsi

yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan

(53)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. PENGGOLONGAN NARKOTIKA

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilan

Referensi

Dokumen terkait

tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota polisi di. wilayah hukum

1. Peran penyidik polisi dalam mengungkap proses penyelesaian tindak pidana narkotika terwujud dalam rangkaian tindakan polisi yang berawal dari adanya informasi masyarakat

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasihNya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang

narkotika, maka polisi sebagai penyidik memandang sama dengan tindak pidana yang lain. Artinya, dalam menangani tindak pidana ini penyidik menerapkan pula

memaksimalkan pemberantasan penyalahgunaan narkotika di masyarakat yang semakin hari kian menunjukkan kekhawatiran, meskipun zat-zat tersebut diperbolehkan

Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Kota Batam, diharapkan Kepolisian Resor Balerang Batam melakukan pendekatan yang lebih maksimal

Penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dari hasil kejahatan tindak pidana narkotika memerlukan kemampuan dalam upaya pembuktian terutama menyangkut masalah-masalah

Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalahbagaimanakah Penegakan Hukum bagi Penyalahgunaan Narkotika di Wilayah Hukum Polisi Resor Kabupaten Kepulauan Meranti Berdasarkan Undang-Undang