PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM
POLDA SUMUT
SKRIPSI
Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
DIMAS B SAMUEL SIMANJUNTAK
NIM : 110200477
JURUSAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM
POLDA SUMUT
SKRIPSI
Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
DIMAS B SAMUEL SIMANJUNTAK
NIM : 110200477
JURUSAN HUKUM PIDANA
Disetujui,
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Dr.M.Hamdan,S.H,MH)
NIP.195703261986011001
Dosen pembimbing I Dosen pembimbing II
(Dr.Madiasa Albisar,S.H,M.S) (Syafruddin Hasibuan,S.H,M.H,DFM)
NIP.196104081986011001 NIP.196305111989031001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan anugerah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan
kesehatan bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi,
tetapi semua itu dapat diatasi berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak
yang terkait. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien
sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas bimbingan, kerja sama, dan masukan (motivasi) yang penulis terima
selama ini dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh
mahasiswa/I di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing II penulis
4. Bapak OK Saidin, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
5. Penulis sangat berterima kasih kepada bapak Dr.Madiasa Albisar,S.H,M.S
selaku Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan,
motivasi dan bantuan kepada penulis selama penulisan skripsi ini;
6. Bapak Syaiful Azam, S.H, M.Humselaku Dosen Pembimbing Akademik.
Terimakasih kepada bapak yang selama ini telah memberikan bimbingan dan
nasehat-nasehat kepada penulis dalam menjalankan program studi S1 di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
8. Ibu Liza Erwina, S.H, M.H selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
9. Bapak KOMBES POL. Drs. Reynhard S. P. Silitonga, M.Si selaku Direktur
Reserse Narkoba Polda Sumut yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk mengadakan riset/studi dan membantu dalam melakukannya;
10. Bapak AKBP Bazawanto Zebua, S.H, M.H selaku Kabag Bin Opsnal
Direktorat Reserse Narkoba Polda sumut yang telah memberikan arahan serta
motivasi kepada penulisuntuk melakukan riset/studi dan membantu dalam
melakukannya;
11. Bapak KOMPOL J. Silaban selaku Kasubbag Min Opsnal Direktorat Reserse
Narkoba Polda Sumut yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
penulis selama melakukan riset, serta seluruh staff pegawai yang telah
12. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
13. Penulis sangat berterima kasih kepada ayahanda Pukka Simanjuntak dan
Ibunda Sukawatini yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh dan
mendidik serta memberikan dorongan penulis secara moril, materil, dan
spiritual dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan.
14. Saudara kandung penulis kakak-adek yang selalu memberikan nasihat dan
dukungan : Christin Simanjuntak, Dhenok Simanjuntak, dan Febro Hutabarat
15. Sahabat-sahabatku Billy, Reno, Junita, Rani, Baktiaruddin, dinand, Rendy,
Rencius, Nurul, Vienna, boy, andriano, joces, roy, stanley, pudan, nobel,
andreas alfonso, dan seluruh teman-teman baik di Fakultas Hukum USU
ataupun diluar kampus, dan terkhusus Grup D Stambuk 2011 yang telah
banyak kontribusinya dalam membantu serta mendukung penulis
menyelesaikan skripsi ini.
16. Dan kepada semua pihak yang telah turut membantu didalam penulisan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu
dengan segala kerendahan hati penulis menerima komentar dan masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan tugas akhir ini, akhir kata
Medan, Mei 2015
Penulis
Dimas B Samuel
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... viii BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. PERUMUSAN MASALAH ... 9
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 10
1. Tujuan Penulisan ... 10
2. Manfaat Penelitian ... 10
D. KEASLIAN PENULISAN ... 12
E. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 12
2. Pengertian Polisi... 21
3. Pengertian Penegakan Hukum ... 25
F. METODE PENELITIAN ... 36
1. Jenis Penelitian ... 36
2. Pendekatan yang digunakan ... 37
5. Sumber Data ... 38
6. Tehnik Pengumpulan Data ... 39
7. Metode Analisa Data... 40
G. SISTEM PENULISAN ... 41
BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA 43 A. PENGGOLONGAN ... 43
B. KETENTUAN PIDANA MENURUT UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA... 49
1. Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika ... 49
2. Menurut Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika... 52
BAB III PERANAN POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA .... 68
A. Pre-emtif ... 68
B. Preventif ... 70
C. Represif... 71
D. Treatment dan Rehabilitasi... 81
E. Peran Serta Masyarakat ... 87
F. Upaya Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika di lingkungan Kampus khususnya wilayah Hukum Polda Sumut ... 90
MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI
KAMPUS KHUSUSNYA DI WILAYAH HUKUM POLDA
SUMUT ... 92
A. Intern ... 92
B. Ekstern ... 94
BAB V PENUTUP ... 96
A. Kesimpulan... 96
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT
*)Dimas Simanjuntak **)Madiasa Albisar ***)Syafruddin Hasibuan
Narkotika adalah segolongan obat, bahan, atau zat, yang jika masuk ke dalam tubuh, berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif). Semakin hari peredaran narkotika semakin marak terjadi bahkan memasuki dunia pendidikan dengan modus operandi yang semakin canggih terkhusus di lingkungan Kampus wilayah hukum Polda Sumut. Walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana narkotika adalah kejahatan, namun hal ini diatur karena penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan timbulnya hal yang membahayakan pada nyawa manusia. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku masyarakat. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, dimana dengan adanya penegakan hukum tindak pidana narkotika terkhusus di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut dapat terwujud.
Penelitian yang dilakukan ini ditujukan untuk mengetahui terlaksananya penegakan hukum atas tindak pidana narkotika yang terjadi di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut. Oleh karena itu maka metode penelitian yang dilakukan denggan menggunakan 2 (dua) metode, yang pertama yaitu metode Field research (penelitian lapangan) yaitu langsung ke lokasi penelitian yakni Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut dengan mengadakan wawancara, dan mengambil data-data yang dibutuhkan, metode yang kedua ialah Library research (penelitian kepustakaan) melalui sumber-sumber bacaan baik buku, majalah, internet, juga peraturan perundang-undangan.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlunya pembuatan MoU antara pihak Kampus (Rektorat) dengan Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika dalam rangka kerjasama untuk melakukan pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dilingkungan Kampus, sehingga mempermudah Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika melakukan penindakan terhadap para pelaku Tindak Pidana Narkotika yang berada di lingkungan kampus. Diharapkan masyarakat turut serta membantu memberantas peredaran gelap narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.
.
* Mahasiswa
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT
*)Dimas Simanjuntak **)Madiasa Albisar ***)Syafruddin Hasibuan
Narkotika adalah segolongan obat, bahan, atau zat, yang jika masuk ke dalam tubuh, berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif). Semakin hari peredaran narkotika semakin marak terjadi bahkan memasuki dunia pendidikan dengan modus operandi yang semakin canggih terkhusus di lingkungan Kampus wilayah hukum Polda Sumut. Walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana narkotika adalah kejahatan, namun hal ini diatur karena penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan timbulnya hal yang membahayakan pada nyawa manusia. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku masyarakat. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, dimana dengan adanya penegakan hukum tindak pidana narkotika terkhusus di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut dapat terwujud.
Penelitian yang dilakukan ini ditujukan untuk mengetahui terlaksananya penegakan hukum atas tindak pidana narkotika yang terjadi di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut. Oleh karena itu maka metode penelitian yang dilakukan denggan menggunakan 2 (dua) metode, yang pertama yaitu metode Field research (penelitian lapangan) yaitu langsung ke lokasi penelitian yakni Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut dengan mengadakan wawancara, dan mengambil data-data yang dibutuhkan, metode yang kedua ialah Library research (penelitian kepustakaan) melalui sumber-sumber bacaan baik buku, majalah, internet, juga peraturan perundang-undangan.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlunya pembuatan MoU antara pihak Kampus (Rektorat) dengan Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika dalam rangka kerjasama untuk melakukan pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dilingkungan Kampus, sehingga mempermudah Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika melakukan penindakan terhadap para pelaku Tindak Pidana Narkotika yang berada di lingkungan kampus. Diharapkan masyarakat turut serta membantu memberantas peredaran gelap narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah “narkotika” ini muncul sekitar tahun 1998. Istilah ini bukan
lagi istilah yang asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita,
baik dari media cetak maupun media elektronik yang memberitakan tentang
penggunaan narkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan
usia berjatuhan akibat penggunaannya.
Masalah penyalahgunaan narkotika mempunyai dimensi yang sangat
luas dan kompleks. Penggunaan narkotika dapat merusak tatanan kehidupan
keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah atau kampus,
bahkan langsung atau tidak langsung merupakan ancaman bagi
kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Pada saat ini, Narkotika merupakan musuh terbesar negara yang dimana
orang yang menggunakan narkotika ini tidak mengenal usia baik muda
maupun tua.
Kasus-kasus narkotika yang melibatkan warga masyarakat, narkotika
dapat sampai ke tangan seorang pengguna atau pemakai adalah dari
pedagang gelap. Demikian pula dengan para pemakai narkotika, mereka
dalam perjalanan, di sekolah ataupun di kampus, di tempat-tempat hiburan
malam, dan sebagainya.1
Ada dua faktor penyebab penyalahgunaan narkotika yaitu faktor
lingkungan dan faktor individu adalah sebagai berikut :2
1. Faktor lingkungan
Faktor ini meliputi keluarga dan lingkungan pergaulan baik di sekitar rumah, sekolah atau kampus, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor orang tua ataupun keluarga merupakan penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna barang haram atau yang biasa disebut dengan narkotika tersebut adalah sebagai berikut : a. Komunikasi yang kurang baik antara orang tua dengan anak; b. Akibat Orang tua yang mengalami perceraian, selingkuh dan
atau kawin lagi;
c. Orang tua yang terlalu sibuk atau tidak acuh terhadap anaknya; d. Orang tua yang serba melarang;
e. Sekolah yang kurang disiplin;
f. Sekolah yang dekat dengan tempat hiburan ataupun dekat dengan tempat penjualan narkotika;
g. Adanya murid atau mahasiswa yang menggunakan narkotika; h. Kurangnya pengawasan.
2. Faktor individu
Faktor ini menjadi salah satu penyebab bagi penyalahguna narkotika dikarenakan adanya perubahan biologik, psikologik, maupun sosial di dalam diri para pengguna narkotika. Terdapat ciri-ciri tertentu bagi para pengguna yang mempunyai resiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna narkotika (NAPZA), antara lain sebagai berikut :
a. Kurangnya Ibadah dari para pengguna yang mengakibatkan Imannya mudah tergoda;
b. Hilangnya rasa percaya diri;
c. Adanya keinginan untung mengikuti mode zaman yang semakin lama semakin tidak terbatas;
d. Bersifat memberontak dan menolak otoritas; e. Keinginan agar diterima di dalam suatu pergaulan; f. Adanya keingintahuan yang besar untuk mencoba;
g. Tidak adanya sikap tegas dan kesiapan mental dalam hal untuk menolak penawaran yang diberikan didalam pergaulan.
1
Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah
bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi serta dengan
teknologi yang canggih. Dalam hal ini, diharapkan kepada penegak hukum
(polisi) untuk mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan khususnya
dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang guna meningkatkan
moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi
generasi penerus bangsa.3
Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga
diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para
penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan bahwa
narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa adanya
pengawasan yang ketat. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur
menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental
bagi yang menggunakan serta dapat menimbulkan ketergantungan pada
pengguna itu sendiri.4
Maraknya penyalahgunaan narkotika tidak hanya di kota-kota besar,
tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia
3
A.Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan narkotika dan Psikotropika, (jakarta :Sinar Grafika,1994), hal.6)
4
mulai dari tingkat social economi menengah bawah sampai tingkat social
economi menengah atas. Penyalahgunaan narkotika paling banyak berumur
antara 15-26 tahun. Dimana generasi muda adalah sasaran yang paling
strategis oleh pedagang gelap narkotika.
Akibat maraknya penyalahgunaan narkotika membuat para pasien
pengguna narkotika di panti-panti rehabilitasi medis ataupun non medis di
beberapa kota besar semakin hari semakin bertambah. Dengan situasi
penduduk yang semakin bertambah, pengangguran dan kemiskinan juga
semakin meningkat, maka muncul keinginan orang untuk memperoleh
rejeki dengan cara apapun. Kalau di tahun 1970-an Indonesia hanya sebagai
wilayah pemilik, maka di tahun 1990-an berubah sebagai pemakai dan
sekaligus menjelang tahun 1998 sebagai negara produsen.
Hasil riset di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut bahwa di dapat
pengungkapan Tindak Pidana Narkoba yang dilakukan Direktorat Reserse
N O
THN JENIS NARKOBA J U M L A H
HEROIN KOKA IN MORFIN GA NJA PUTA UW SHA BU ECSTA SY OBA T/ZA T
BERBA HA YA
PSIKOTROPI KA JENIS PIL
HA PPY FIVE (ERIMIN 5)
KSS TSK
KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK
1. 2. 3. 4. 5. 6. 2010 2011 2012 2013 2014 Maret 2015 -1 -2 1 -3 -2 1 -1 -1 -1.230 854 841 871 784 193 1.956 1.072 1.023 1.123 1.012 228 5 12 1 2 1 -5 15 1 3 2 -1.433 1.795 1.516 2.165 2.811 866 1.720 2.349 2.103 3.019 3.717 1.177 33 38 57 51 68 38 41 47 88 59 89 51 17 28 16 2 1 -14 28 21 2 2 -1 4 2 -1 5 2 2.718 2.728 2.432 3.094 3.670 1.099 3.736 3.514 3.237 4.209 4.828 1.458
J U M L A H 4 6 1 1 - - 4.773 6.414 21 26 10.586 14.085 285 375 64 67 7 8 15.741 20.982
Dari data tersebut diatas, dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Tahun 2013 berhasil mengungkap sebanyak 3.094 (tiga ribu sembilan
puluh empat) Kasus dengan 4.209 (empat ribu dua ratus sembilan)
Tersangka
2. Tahun 2014 berhasil mengungkap sebanyak 3.670 (tiga ribu enam
ratus tujuh puluh) Kasus dengan 4.828 (empat ribu delapan ratus dua
puluh delapan) Tersangka
3. Bulan Januari s/d Maret 2015 berhasil mengungkap sebanyak 1.099
(seribu sembilan puluh sembilan) Kasus dengan 1.458 (seribu empat
ratus lima puluh delapan) Tersangka
Hasil pengungkapan tersebut, ditemukan pelaku Tindak Pidana
Narkoba yang berstatus Mahasiswa sebagai berikut :
1. Tahun 2013 sebanyak 46 (empat puluh enam) Tersangka
2. Tahun 2014 sebanyak 65 (enam puluh lima) Tersangka
3. Bulan Januari s/d Maret 2015 sebanyak 15 (lima belas) Tersangka
Dilihat dari jumlah tersangka tersebut, terjadi peningkatan Tahun
2013 ke Tahun 2014 sebanyak 19 (sembilan belas) Tersangka. Hal ini
berarti masih maraknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang
dilakukan para mahasiswa, yang dapat mengakibatkan dampak buruk
Petugas Reskrim Polsek Medan Timur Polresta Medan Polda Sumut
pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2015 telah melakukan penangkapan
terhadap 2 (dua) Mahasiswa yang berinisial ES ,19 tahun, warga Jalan Pelita
I dan NCS, 20 tahun, warga Jalan Pelita I yang sedang keluar dari Jalan
Mesjid Taufik Medan dan selanjutnya sepeda motor yang dikendarai
mahasiswa tersebu diberhentikan di jalan rakyat Medan kemudian dilakukan
penggeledahan dan ditemukan 2 (dua) amplop yang berisi narkotika jenis
ganja.5
Pada hari Sabtu tanggal 02 Mei 2015 di Jalan Gagak Hitam/Ringroad
Medan, Satresnarkoba Polresta Medan Polda Sumut telah melakukan
penangkapan terhadap seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Kota
Medan berinisial MR (22), warga Jalan BL Kelurahan Helvetia Kecamatan
Medan Helvetia Medan yang diduga terlibat peredaran narkotika jenis sabu
dengan barang bukti satu kilogram sabu, yang seharga Rp 2 miliar, satu unit
timbangan digital, 50 buah plastik klip kosong dan satu handphone.6
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Pasal 13
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat, sehingga peranan Polisi sangat besar di
narkotika.7 Dimana di dalam proses penyidikan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, undang-undang tidak ada mengatur bahwa polisi
tidak diperbolehkan memasuki wilayah kampus. Melainkan polisi
menghindari adanya pertikaian dengan warga kampus agar tidak terjadi
kontak fisik. Oleh karena itu, polisi memerlukan kerjasama berupa
informasi dari dalam maupun luar kampus untuk upaya penegakan hukum
terhadap para pelaku tindak pidana narkotika di area kampus.
Dari uraian dan latar belakang diatas, sebagaimana yang telah penulis
paparkan, maka faktor inilah yang melatarbelakangi penulis untuk
mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan
judul “Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana
Narkotika Di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan
harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Berdasarkan latar
belakang di atas, adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini
adalah :
1. Bagaimana pengaturan hukum Tindak Pidana Narkotika menurut
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ?
2. Bagaimana peran polisi dalam penegakan hukum untuk menangani
Tindak Pidana Narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah
hukum Polda Sumut ?
7
3. Hambatan yang dihadapi polisi dalam menangani Tindak Pidana
Narkotika di Kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana mengenai Tindak
Pidana Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009
b. Untuk mengetahui peranan Kepolisian Negara Republik
Indonesia (polisi) dalam penegakan hukum untuk menangani
Tindak Pidana Narkotika
c. Untuk mengetahui apa hambatan yang dihadapi polisi dalam
menangani Tindak Pidana Narkotika di lingkungan kampus
2. Manfaat Penelitian
Disamping tujuan, penulis juga mengharapkan dapat memberi
manfaat bagi para pembaca baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :
a. Secara Teoritis
Hasil penulisan skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan
kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang
diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan
pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan
koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran
kedepannya untuk menyorot dan membahas mengenai
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang tidak
mengenal umur dan terutama para remaja, dimana mereka
adalah generasi muda masa depan bangsa dan juga bagaimana
upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian
dalam menanggulangi dan mencegah serta memberantas tindak
pidana narkotika ini melihat pesatnya perkembangan teknologi
sekarang yang semakin canggih. Dan juga agar para
penerus-penerus bangsa yaitu anak-anak ataupun remaja sekarang tidak
lagi menjadi salah satu dari penyalahguna dan pengedar
narkotika yang semakin lama semakin marak berkembang.
b. Secara Praktis
Hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi
masukan untuk kita dalam membantu para penegak hukum
untuk upaya pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan
kasus-kasus narkotika yang semakin lama marak dan tidak lagi
mengenal usia maupun tempat untuk memakainya.
D. KEASLIAN PENULISAN
Adapun judul penulisan dalam skripsi ini yakni mengenai
“Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana
dimana sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membahas atau
mengangkat hal tersebut kedalam sebuah tulisan ilmiah.
Sebenarnya telah banyak tulisan-tulisan mengenai narkotika, namun
tidak ada penulisan yang secara khusus membahas tentang Penegakan
Hukum oleh Polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus.
Jadi penelitian ini dapat dikatakan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan
yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai
dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang
merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas
dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur
didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu
disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang
tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya
untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila
ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah
merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan
dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi
Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi
kepentingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri
Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau
lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan,
memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman
papaver,koka dan ganja.9
Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan
sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru
daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial
masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan
mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan
tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi
penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan
narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu
sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang
selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan
pengaturan di bidang narkotika. Peraturan perundang-undangan yang
mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat
diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu
bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis,
menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta
dilakukan secara terorganisir (organizeci crime) dan sudah bersifat
transnasional (transnational crime).
9
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah
hukum yang telah dikodifikasikan dalam suatu kitab undang-undang
hukum pidana. Dalam hal ini Wirjono Prodjodikoro mengungkapkan
mengenai definisi hukum pidana yaitu “hukum pidana adalah
peraturan hukum mengenai pidana”. Hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
Pidana berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana
merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang
mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana
ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana
atau melakukan tindak kejahatan. Dalam ilmu hukum ada perbedaan
untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah
“pidana” lebih baik daripada “hukuman”. Menurut Muladi dan
Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum
dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah
karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.
Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum,
tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral,
agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang
lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna
sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”.
Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang
sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang
tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai
strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana
dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta
delik. Di antara istilah-istilah itu, yang paling tepat dan baik
digunakan adalah istilah tindak pidana dengan pertimbangan selain
mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum
juga sangat praktis untuk diucapkan. Disamping itu, di dalam
peraturan perundang-undangan Negara Indonesia pada umumnya
Berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika Bab XV ketentuan pidana, maka perbuatan-perbuatan yang
dilarang yang berhubungan dengan narkotika adalah :
a. Menanam, memelihara, mempunyai, dalam persediaan,
memiliki, menyimpan untuk dimiliki, atau untuk persediaan atau
menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau
bukan tanaman.
b. Memiliki, menyimpan, untuk dimiliki atau untuk persediaan,
atau menguasai narkotika golongan II dan Golongan III.
c. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi,
merakit atau menyediakan narkotika golongan I, II, III.
d. Membawa, mengirim, mangangkut atau mentransito narkotika
Golongan I, II, dan III.
e. Mengimport, mengeksport, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika
golongan I, II, III.
f. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan
narkotika golongan I, II, III untuk digunakan oleh orang lain.
g. Menggunakan narkotika golongan I, II, III. Bahaya narkotika
karena penyalahguna menjadi “addict” (pecandu) setelah
melewati ketergantungan jiwa dan fisik. Belum lagi bahaya
masyarakat seperti pencurian, penodongan, perampokan,
perampasan, pembunuhan, pemerkosaan.
Menurut Dr.Graham Bline, penyalahgunaan narkotika dapat
terjadi karena beberapa alasan, yaitu :10
a. Faktor Intern (dari dalam dirinya)
1) Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi yang berwenang; 2) Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;
3) Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan penuh resiko;
4) Berusaha untuk mencari atau mendapatkan arti daripada hidup;
5) Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman sensasional dan emosional;
6) Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang kesibukan;
7) Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan setia kawan;
8) Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng. b. Faktor Ekstern
1) Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda kelembah siksa narkotika;
2) Adanya situasi yang disharmoniskan (broken home) dalam keluarga, tidak adanya rasa kasih sayang, renggangnya hubungan antara ayah dan ibu, orang tua dan anak;
3) Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan menjerumuskan generasi muda atau remaja;
4) Penyalahgunaan narkotika merupakan wabah yang harus mendapatkan penanggulangan harus dilakukan dengan prioritas yang tinggi serta terpadu.
Tindakan hukum perlu dijatuhkan secara berat dan maksimum,
sehingga menjadi jera dan tidak mengulangi lagi atau contoh bagi
lainnya untuk tidak berbuat.11 Kebijakan sanksi pidana dan
pemidaannya sebagai berikut :
10
Supramono. G, Hukum Narkotika Indonesia. (Jakarta: Djambatan), hal 26.
11
a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan,
penjara dalam waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati),
pidana tambahan (pencabutan izin usaha/ pencabutan hak
tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga negara asing).
b. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara
Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana
Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20
tahun dan seumur hidup.
c. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara
kumulatif (terutama penjara dan denda);
d. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana
minimal khusus (penjara maupun denda);
e. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului
dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi,
dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak
belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive).
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminalisasi dari
undang-undang narkotika tampaknya tidak terlepas dari tujuan
dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :
a. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
narkotika/psikotropika, dan
Oleh karena itu, semua perumusan delik dalam Undang-Undang
Narkotika terfokus pada penyalahgunaan dari peredaran narkotikanya
mulai dari penanaman, produksi, penyaluran lalu lintas, pengedaran
sampai ke pemakaiannya, dan pemakaian pribadi, bukan pada
kekayaan (property atau asets) yang diperoleh dari tindak pidana
“narkotika” itu sendiri. Dalam ilmu hukum pidana, orang telah
berusaha memberikan penjelasan tentang siapa yang harus dipandang
sebagai pelaku suatu tindak pidana. Van Hamel telah mengartikan
pelaku dari suatu tindak pidana dengan membuat suatu definisi
sebagai berikut : “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang
tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik
seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik
yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan
secara tegas, jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seseorang diri
telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan”.
Pemberlakuan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika pada hakekatnya merupakan reformasi hukum aspek–aspek
yang direformasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1997 dan
Undang–undang nomor 5 tahun 1997 yang dimaksud adalah :
a. Realitas gradasi karena variasi golongan dalam narkotika
dengan ancaman hukuman yang berbeda dengan golongan 1
yang terberat di susul dengan golongan II dan III (tidak
disamaratakan), suatu yang patut di puji justru dalam
(paling singkat). Hal ini adalah hal baru dalam kaedah hukum
pidana.
b. Ketentuan pemberatan selain didasarkan penggolongan juga
realitas bahwa dalam penyalahgunaan narkotika banyak
dilakukan oleh kelompok melalui permufakatan (konspirasi),
maka bila penyalahgunaan beberapa orang dengan konspirasi
sanksi hukumnya diperberat.
c. Demikian pula Penanggulangan dan Pemberantasan di lakukan
bila pelaku penyalahgunaan narkotika terorganisasi. Ini
menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika telah ada
sindikat–sindikat yang terorganisasi rapi dalam operasionalnya.
d. Demikian pula apabila koporasi yang terlibat maka pidana
dendanya diperberat, tetapi pertanggung jawaban pidana
korporasi belum tegas, apakah direkturnya dapat dikenakan
hukum pidana penjara. Hal ini mungkin harus melalui
yurisprudensi.
Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat
dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga
kerjasama internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya
usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam
keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan penjelasan
korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan
mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu.12
2. Pengertian Polisi
Istilah polisi sepanjang sejarah mempunyai arti yang
berbeda-beda, sehingga pengertian polisi diantaranya adalah sebagai beriku :
a. Polisi sebenarnya berasal dari bahasa yunani “politea” yang
berarti seluruh permintaan negara kota, negara Yunani pada
abad sebelum masehi terdiri dari kota-kota saja yang disebut
sebagai Negara Kota.
b. Di Belanda pada jaman dahulu polisi dikenal melalui konsep
praja van vallenhoven yang membagi pemerintahan menjadi 4
(empat) bagian yaitu :
1) Bestur (pemerintahan)
2) Politie (Polisi)
3) Rechtspaark ;dan
4) Regeling
Dengan demikian polisi dalam pengertian ini sudah
dipisahkan dengan bestur (pemerintahan) tetapi merupakan
bagian dari pemerintahan itu sendiri. Pada pengertian ini polisi
termasuk organ-organ pemerintah yang mempunyai wewenang
melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum.13
12
Ruby Hardiati Jhony, diktat kuliah hukum pidana khusus Tindak Pidana Narkotika, (Purwekerto: Fakultas Hukum. Unsoed. 1985)
13
c. Lain halnya istilah “polisi” dalam bahasa inggris yang
mengandung arti lain yang dinyatakan oleh Charles Reith dalam
bukunya The blind of history yang menyatakan bahwa polisi
sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan
tata susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini bertolak
belakang dengan pemikiran bahwa manusia adalah mahluk
sosial, hidup berkelompok dan membuat peraturan yang
disepakati bersama. Diantara kelompok-kelompok itu terdapat
anggota-anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama
sehingga tumbuh masalah siapa yang berkewajiban untuk
memperbaiki dan menertibkan kembali anggota kelompok yang
telah melanggar, dari pemikiran tersebut kemudian
diperlukanlah polisi.
Kepolisian yang telah dibentuk sejak tanggal 19 Agustus
1945, mencoba memakai sistem kepolisian federal yang berada
di bawah Departemen Dalam Negeri dengan kekuasaan yang
berada di wilayah Indonesia. Maka mulai tanggal 1 juli 1946,
polisi menganut sistem Kepolisian Nasional (The Indonesian
National Polite). Sistem kepolisian ini dirasa lebih pas dengan
Indonesia sebagai Negara Kesatuan, karena dalam waktu singkat
polisi dapat membentuk komando-komando sampai ke tingkat
sektor (kecamatan) dan sistem inilah yang dipakai polisi sampai
d. Disamping itu, pengertian polisi menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia pasal 1 ayat (1), di defenisikan bahwa pengertian
Kepolisian yaitu :
“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”
Dari pengertian diatas, maka Kepolisian Negara berarti
berkaitan dengan lembaganya, sedangkan polisi menunjukkan
person atau orang yang termasuk dalam anggota kepolisian
dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dengan
undang-undang. Jadi Polisi adalah anggota atau pejabat kepolisian yang
mempunyai wewenang umum kepolisian yang dimiliki
berdasarkan undang-undang yang berstatus pegawai negeri sipil
yang mempunyai fungsi pemerintahan negara dibidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
e. Sedangkan menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 dikatakan bahwa kepolisian adalah alat negara yang
menegakkan hukum serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
f. Menurut Sadjijono, istilah “polisi” dan “kepolisian”
sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara,
sedangkan istilah “kepolisian” adalah sebagai organ dan sebagai
fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintah yang
terorganisir dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan
sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab
lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan
fungsinya, antara lain pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegak hukum, pengayoman dan pelayan
masyarakat.14
3. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut
subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang
luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh
subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan
diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan
atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak
hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian
penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup
makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya
bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Karena itu, penerjemahan perkataan “law enforcement” ke dalam
bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan “penegakan hukum”
dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah “penegakan
peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan
hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law” versus “the rule of
just law” atau dalam istilah “the rule of law and not of man” versus
istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of man by law”. Dalam
istilah “the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum,
tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula
nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,
and not of man” dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada
hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan
oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by
law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang
menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan
uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan
untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun
dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya
norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, penegakan hukum dapat
ditentukan sendiri batas-batasnya.
Penegakan hukum secara objektif, norma hukum yang hendak
ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materil.
Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan
perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materil mencakup pula
pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam
bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara
pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan
hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam
bahasa inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of
law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau
pengadilan keadilan. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya
mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum
yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang mendasar. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah,
issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan
ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan
kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam
dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan
penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia
mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi
manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai
pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran
konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi
warna yang baru terhadap ide-ide demokrasi (negara hukum) dalam
sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi
manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap
negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun
negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya tidaklah terlalu tepat
untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara
tersendiri. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak
asasi manusia”. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi
manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain
di kalangan masyarakat kita pun memang belum berkembang secara
sehat.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai
institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti
sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya
hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim,
dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait
mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis
dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali
(resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak
hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:
a. institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan
prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
b. budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai
c. perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang
dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum
acaranya.
Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah
memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses
penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat
diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan
berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini,
sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi.
Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya
menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri
tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan
yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin
keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu
yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang
kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum
tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena
itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian secara
seksama sebagai berikut :
a. Pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule
b. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum
(socialization and promulgation of law); dan
c. Penegakan hukum (the enforcement of law).
d. Adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan
efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang
bertanggungjawab (accountable).
Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem
hukum dapat disebut sebagai agenda penting dan yang keempat
sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti
luas, “the administration of law” itu mencakup pengertian
pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu
sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan
sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum
yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka
pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan
administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan
(vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat
sampai ke daerah-daerah.
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi
manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun
disamping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan
hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya
menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu
peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan
apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini
memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis
dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak
sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga
melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat sementara. Akibatnya
kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas
revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus
mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi
dari masyarakat, maka setidaknya dilakukan dua macam pendekatan
yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui sistem pendekatan revisi atau pembentukan
undang-undang yang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual
yang berkaitan erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik,
dan demopolitik, sosiopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak
berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum
mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Sempitnya
pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan
penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan
tanpa wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dan
menerjemahkan perasaan keadilan hukum di masyarakat.15
Substansi undang-undang sebaiknya di susun secara taat asas,
harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan
dengan mengabstrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni
menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan
pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum
yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang
bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan
undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang
yang sering tidak berpijak pada dasar moral yang ditetapkan rakyat,
bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi seperti ini kesadaaran moral warga
masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun
dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita
pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun
karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya
dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada
selama ini.16
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus
diperhatikan namun hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum
itu bersifat umum dan mengikat setiap orang serta menyamaratakan.
Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan
siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan.17 Adil bagi seseorang
belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan
“Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni
memberikan pada setiap orang apa yang berhak diterima. Anggapan
ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya
membuat adanya keadilan saja (ethische theorie). Tetapi anggapan ini
tidak mudah dipraktekkan, hal ini tidak mungkin orang membuat
peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia. Apabila itu dilakukan
maka akan tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula hukum harus
membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk
menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak diadakan
untuk menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah hukum hanya
membuat suatu klasifikasi tertentu.18
Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana
oleh Satjipto Raharjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan
17
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
18
hukum yang dimaksud disini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran
badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang
dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan.19
Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu
memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu
sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa
keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan
hukum yang harus dijalankan itu dibuat. 20
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa
keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya
semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan
Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum
(legal structure), komponen substansi hukum (legal substance), dan
komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal
structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu
sistem. Substansi hukum (legas substance) merupakan aturan-aturan
dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga,
kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati didalam
sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan
dan pendapat tentang hukum.21 Dalam perkembangannya, Friedman
menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya
komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak
hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan
hukum yang menjadi objek kajian peneliti.
F. METODE PENELITIAN
Adapun metode penelitian yang dipergunakan didalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian
perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field
research). Penelitian perpustakaan adalah penelitian tentang aturan
dasar pemidanaan terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika
menurut peraturan perundang-undangan, sedangkan penelitian
lapangan (field research) ini untuk mengetahui sejauh mana
penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika di
kampus khususnya di wilayah hukum Polda Sumut.
2. Pendekatan yang digunakan
Pendekatan yang digunakan dalam memahami dan mendekati
objek penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris.
Pendekatan yuridis (hukum dilihat sebagai norma atau da sollen),
21
karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menggunakan
bahan-bahan hukum tertulis, kemudian bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Pendekatan empiris (hukum sebagai
kenyataan sosial, kultural atau das sein), karena dalam penelitian ini
digunakan data primer yang diperoleh dari lapangan.
Jadi, pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya
adalah dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara
memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder)
dengan data primer yang diperoleh dilapangan yaitu tentang
penegakan hukum oleh Polisi dalam menangani tindak pidana
narkotika di kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di wilayah hukum POLDA Sumatera Utara
4. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis maksudnya adalah
analisis penelitian yang mengungkapkan suatu masalah atau keadaan
ataupun peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat
mengungkapkan fakta.
5. Sumber Data
Sumber data digolongkan menjadi :
a. Data Primer
Adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
b. Data Sekunder
Adalah data yang secara tidak langsung memberikan
keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer.
Data tersebut digolongkan menjadi :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang berhubungan erat
dengan permasalahan yang diteliti dan sifatnya mengikat, terdiri
dari :
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berkaitan
dengan penjelasan bahan hukum primer, terdiri dari :
1) Buku-buku yang membahas tentang narkotika dan
psikotropika
2) Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana
narkotika dan psikotropika
6. Tehnik pengumpulan data
Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian ini,
maka teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah :
a. Interview atau wawancara
Interview adalah suatu metode pengumpulan data dengan
berdasarkan pada tujuan penelitian, atau sebuah dialog yang
dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari
narasumber.22 Komunikasi ini dilakukan dalam keadaan
berhadapan dengan aparat penegak hukum di Polda Sumatera
Utara.
b. Observasi
Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap
gejala-gejala subyek yang diselidiki dengan maksud untuk
meyakinkan kebenaran data yang diperoleh dari wawancara.
Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan terhadap wilayah
kampus yang akan diteliti dan dapat dibuktikan keakuratan
sumber datanya.
c. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah tehnik pengumpulan data
dengan cara membaca, mempelajari, dan mencatat data yang
diperoleh dari berbagai buku hukum, surat kabar, majalah dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penelitian.
7. Metode Analisa Data
Data dianalisis secara kualitatif berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif yuridis,
dengan mengadakan penelitian terhadap pelaksanaan peraturan
kenyataan dilapangan sesuai pemasalahan penelitian ini. Data yang
diperoleh dilapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif, normatif
logis, sistematis menggunakan metode deduktif dan induktif.
Deskriptif artinya data yang diperoleh dari lapangan,
digambarkan sesuai kenyataan yang sebenarnya. Normatif
digambarkan untuk menganalisis data dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya berhubungan dengan
permasalahan logis, artinya dalam melakukan analisis tidak boleh
bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Metode deduktif
artinya peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berhubungan
dengan permasalahan yang bersifat umum dan dijadikan sebagai
pegangan pada data yang diperoleh dari penelitian, untuk memperoleh
kesimpulan. Metode deduktif artinya data bersifat khusus yang
diperoleh dari penelitian serta menarik kesimpulan yang bersifat
umum.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan ini akan dijelaskan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat
penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan
(pengertian Tindak Pidana Narkotika, pengertian polisi,
pengertian penegakkan hukum, Metode penelitian serta
BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA
NARKOTIKA
Didalam BAB II ini, akan dibahas mengenai penggolongan
Narkotika dan Ketentuan Pidana Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
BAB III PERANAN DAN HAMBATAN POLISI DALAM
PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENANGANI
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Didalam BAB III ini akan dibahas mengenai upaya
pre-emptif, preventif, represif dan rehabilitasi yang dilakukan
oleh polisi dalam rangka penegakan hukum, serta peran
serta masyarakat
BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI POLISI DALAM
MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI
LINGKUNGAN KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH
HUKUM POLDA SUMUT
Didalam BAB IV ini dibahas tentang bahas mengenai
hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi polisi dalam
menangani Tindak Pidana Narkotika di Lingkungan
BAB V PENUTUP
Dalam BAB V ini merupakan hasil dari keseluruhan skripsi
yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan
BAB II
PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. PENGGOLONGAN NARKOTIKA
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilan