• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak asuh akibat istri nusyuz : analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur perkara no. 377/pdt. g/2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak asuh akibat istri nusyuz : analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur perkara no. 377/pdt. g/2006"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

HAK ASUH ANAK AKIBAT ISTRI NUSYUZ

(Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara No. 377/Pdt. G/2006)

Disusun oleh : Hadi Zulkarnain

106044201462

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Hadi Zulkarnain

NIM 106044201462

Di Bawah Bimbingan

Dr. Hj. Mesraini, M.Ag Hj. Hotnidah Nasution, M.Ag

NIP. 197602132003122001 NIP. 197106301997032002

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya penulisan skripsi ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 Desember 2010

(4)

i

Alhamdulillah, segala pujian serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw yang telah menebarkan cahaya islam ke seluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya islam.

Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Berbagai hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis

lalui. Semua ini karena do’a dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah:

(5)

ii

2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH dan Bapak Kamarusdiana, M.Ag selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan program studi Ahwal Asy Syakhshiyyah yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama

menempuh pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag dan Hj. Hotnidah Nasution, M.Ag selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

5. Dr. Juaini Syukri, Lcs, MA dan Dr. Azizah, MA selaku dosen penguji yang sudah menyempatkan waktunya untuk menguji penulis.

6. Bapak/Ibu dosen pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen.

7. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

(6)

iii

All. You are the best friend. “SEMANGAT”

Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai kebaikan di sisi Allah swt dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 4 Februari 2011

(7)

iv

Kata Pengantar i

Daftar Isi iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Review Study Terdahulu ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PANDANGAN FUQAHA TENTANG HADHANAH DAN PERMASALAHANNYA A. Pengertian Hadhanah ... 15

B. Dasar Hukum Hadhanah ... 18

C. Syarat-syarat untuk Mendapatkan Hak asuh ... 19

D. Pihak-pihak yang Berhak Atas Hak Asuh ... 26

E. Hak Asuh Anak jika Istri Nusyuz ... 27

BAB III HADHANAH & PERMASALAHANNYA MENURUT ATURAN PERKAWINAN di INDONESIA A. Pengertian Hadhanah ... 30

B. Syarat-syarat untuk Mendapatkan Hak Asuh ... 32

C. Pihak-pihak yang Berhak Atas Hak Asuh ... 34

(8)

v

Pt. G/2006 ... 48 C. Analisa Penulis Terhadap Putusan No. 377/Pt. G/2006 PA Jaktim ... 49

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 56 B. Saran-Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut pasal 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk membentuk keluarga yang bahagia dibutuhkan rasa saling memahami antara suami istri sehingga dapat tercipta keharmonisan, ketenangan dan kasih sayang karena ketiga poin tersebut merupakan kunci dari tujuan perkawinan.

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Rum ayat 21 menyatakan :





































:

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum : 21)

(10)

...











...

“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.

(QS. Al-Baqarah : 187)

Ayat diatas mengibaratkan suami istri sebagai pakaian bagi pasangannya karena masing-masing saling melindungi pasangannya.

Oleh karena itu, keperluan suami kepada istri dan keperluan istri kepada suami adalah seperti keperluan masing-masing kepada pakaian. Pakaian diperlukan untuk menutupi seluruh badan dan menghindari suatu yang menyakitkan begitu juga dengan suami dan istri, masing-masing akan menjaga kemuliaan, kehormatan serta memberikan kebahagiaan kepada pasangan masing-masing.

Namun tidak setiap pasangan yang terikat dalam perkawinan tersebut dapat menyelesaikan misinya dengan sempurna, dalam perkawinan akan terjadi pergolakan dalam rumah tangga yang berawal dari faktor-faktor tertentu. Pergolakan tersebut akan membawa pernikahan kepada perceraian antara suami istri yang tidak menemui jalan penyelesaian. Suami istri sendiri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil keputusan bercerai walaupun perceraian tersebut dibolehkan.1 Perceraian merupakan jalan terakhir karena dampaknya yang tidak sedikit dan sangat serius, sehingga dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Nabi SAW menyatakan :

1

(11)

ل

احْلا ضغْبا

:

ل اق مّس و ْيّع ٔه ىّص يب لا ّا ٔ ْع ٔه يضر رمٔع نْبا ْنع

ق اّْلا ه دْع

(

دواد اوبا اور

)

2

“ Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda : sesuatu

yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian. (HR. Abu Daud)

Terjadinya perceraian ini membawa berbagai konsekuensi logis yang harus diterima masing-masing pihak, termasuk anak hasil perkawinan mereka sebagai pihak yang paling dirugikan.

Salah satu hal penting yang mungkin kurang dipertimbangkan ketika terjadi perceraian adalah tanggung jawab pemeliharaan anak atau hak asuh anak. Pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua, baik ketika kedua orang tuanya masih hidup rukun dalam ikatan perkawinan maupun ketika mereka gagal karena terjadi perceraian. Pemeliharaan ini meliputi berbagai hal, diantaranya masalah ekonomi, pendidikan dan masalah-masalah lain yang menjadi kebutuhan pokok anak.

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai dengan adanya globalisasi di semua aspek kehidupan manusia, terminologi anak perlu dipahami lebih luas dan menyeluruh agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhi kebutuhan materil anak saja, tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan cinta dan kasih sayang, turut menjadi faktor penentu pembentuk kepribadian anak.3

2

(12)

Sehingga kualitas komunikasi antara anak dan orang tua mutlak perlu mendapatkan perhatian. Bila hal ini tidak terpenuhi, maka pada akhirnya anak akan mencari konpensasi diluar yang besar kemungkinan akan lebih mendatangkan pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis, hadhanah ini berarti disamping atau berada dibawah ketiak. Sedangkan secara terminologisnya, hadhanah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kuang mampu kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.4

Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.5

Namun yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan bersifat materil dan tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat pengasuhan.

3

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2000), cet. Keempat, h.240.

4

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta. Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), h.415

5

(13)

Tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dalam konsep Islam merupakan kewajiban ayah. Sedangkan tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat pengasuhan, dalam berbagai literature fiqh, prioritas utama hak pengasuhan anak diberikan kepada ibu selama anak tersebut belum mumayyiz. Apabila anak tersebut sudah mumayyiz, hendaklah diselidiki oleh yang berwajib (hakim) siapakah diantara kedua orang tuanya yang lebih baik dan lebih pandai untuk mendidik anak itu, selanjutnya si anak hendaklah diserahkan kepada yang lebih cakap untuk mengatur kemaslahatan itu. Akan tetapi kalau keduanya sama saja, anak itu harus disuruh memilih kepada siapa diantara keduanya yang lebih disukai oleh si anak.6

Secara umum, sudah dapat diketahui bahwa bagi anak yang belum mumayyiz hak pengasuhannya diprioritaskan kepada ibu, tetapi bagaimanakah jika perceraian orang tuanya itu terjadi karena nusyuz yang dilakukan oleh ibunya. Artinya, si ibu adalah orang yang sudah pernah terbukti melalaikan kewajibannya sebagai istri. Apakah si ibu masih layak diberi prioritas untuk melakukan pengasuhan terhadap anaknya ?

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 49 ayat 1 disebutkan bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

6

(14)

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali

Sementara itu dalam KHI pasal 105 point a disebutkan bahwa : “Pemeliharaan

anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”.

Kedua aturan diatas merupakan pegangan para hakim dalam memutuskan perkara hadhanah, selain juga memakai rujukan lainnya. Karena itu bagaimanakah para hakim memutuskan perkara yang berkaitan dengan hak asuh anak pasca perceraian karena istri nusyuz. Apakah para hakim akan tetap memberikan prioritas hak asuh kepada ibu ? ataukah mengalihkan kepada selain ibu ?

(15)

Berdasarkan masalah diatas penulis tertarik untuk mengkaji dan melihat lebih jauh permasalahan tersebut yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul

Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusyuz (Analisa Putusan nomor 377/Pdt.

G/2006/PA Jaktim).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Karena pembahasan mengenai hak asuh anak akibat istri nusyuz demikian luasnya, maka perlu kiranya penulis memberikan batasan masalah agar tidak melebar dan lebih terarah, pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pembahasannya mengenai hak asuh anak setelah perceraian karena istri nusyuz dalam putusan No. 377/Pdt. G/2006/PAJT.

2. Perumusan Masalah

Menurut pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan

bahwa “ Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap

seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali

(16)

nusyuz hanya merujuk pada pasal 105 poin a Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi

“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak

ibunya”.

Berdasarkan permasalahan diatas, penulis merincikan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pendapat fuqaha tentang hak asuh anak pasca perceraian karena istri nusyuz ?

2. Bagaimana perundang-undangan perkawinan di Indonesia mengatur tentang hak asuh anak pasca perceraian karena istri nusyuz ?

3. Bagaimana pandangan hakim yang menyelesaikan perkara No. 377/Pdt. G/2006/PA Jaktim tentang hak asuh anak pasca perceraian karena istri nusyuz ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun hasil yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah terjawabnya semua permasalahan yang dirumuskan, yaitu :

1. Untuk mengetahui pendapat fuqaha tentang hak asuh anak pasca perceraian karena istri nusyuz.

(17)

3. Untuk mengetahui pandangan hakim yang menyelesaikan perkara No. 377/Pdt. G/2006/PA Jaktim tentang hak asuh anak pasca perceraian karena istri nusyuz.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar S1 dalam bidang hukum Islam

2. Menjadikan bahan pertimbangan para penegak hukum dalam hal ini hakim, untuk lebih mengedepankan prinsip keadilan dalam memutuskan perkara selain mengedepankan pertimbangan hukum.

3. Memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan hak hadhanah pada istri yang nusyuz

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan hukum normatif yang memiliki persamaan dengan penelitian doktrinal.7 Yaitu cara mendekati masalah yang akan diteliti dikonsepkan sebagian kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia dianggap pantas atau sebaliknya, benar atau salah dan sebagainya. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif, menggambarkan sebuah permasalahan lalu diambil kesimpulan.

7

(18)

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dapat dikategorisasi menjadi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Adapun bahan hukum primernya mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian putusan No. 377/Pdt. G/2006/PAJT, selanjutnya bahan hukum sekundernya terdiri dari buku, jurnal, karya ilmiah yang ada kaitannya dengan objek penelitian, sedangkan bahan hukum tersiernya adalah kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan study dokumentasi terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Disamping itu, penulis juga akan melakukan wawancara terhadap hakim yang memutus perkara No. 377/Pdt. G/2006/PAJT dan juga kepada para pihak dalam perkara.

4. Teknik Pengolahan Data

Dalam pengolahan data dilakukan dengan cara mengedit data, lalu disusun agar dapat menjadi bagian yang menyatu dari teks-teks, diberikan pengkodean data berdasarkan kategorisasi dan diklasifikasikan berdasarkan masing-masing permasalahan yang dirumuskan secara deduktif. Dari data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

(19)

Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data-data dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat membantu menjawab permasalahan penelitian.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Teknik penulisan dan penyusunan juga berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum, Cet Ke-1 tahun 2007.

E. Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan review studi terdahulu sebelum menentukan judul proposal, dalam review studi terdahulu penulis menemukan beberapa skripsi yang ada kaitannya dengan hadhanah. Diantaranya adalah :

1. Hak Hadhanah Menurut UU Keluarga Islam di Mahkamah Syari’ah Negeri Selangor, Malaysia, oleh: Khaslaili binti Lahuri (106044103565).

Skripsi ini membahas tentang hadhanah yang di dalam Undang-undang Keluarga Islam di Negeri Malaysia dijelaskan bahwa ibu lebih berhak atas hak hadhanah setelah perceraian berlaku.

(20)

Seksyen 83 Enakmen No. 2 tahun 2003 adalah Islam, akal yang sempurna, berumur yang melayakkan dia memberi penjagaan dan kasih sayang yang diperlukan oleh anak-anak itu, berkelakuan baik dan tinggal di tempat di mana anak itu tidak akan mungkin dihadapkan oleh sesuatu hal yang berdampak negatif dari akhlak dan jasmani.

2. Hadhanah Persfektif Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/ Pdt. G/2006/PAJS) oleh: Sabaruddin (204044103057).

Skripsi ini membahas tentang Hak Asuh Anak dalam pandangan Madzhab

Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Bahwasanya secara teoritis, Imam Hanafi tidak mensyaratkan beragama Islam bagi yang akan melakukan hadhanah terhadap anak yang beragama Islam selama anak itu belum mumayyiz (di bawah umur tujuh tahun).

Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan pendapat mayoritas mujtahid, orang tua yang murtad setelah putusnya perkawinan tidak memiliki hak asuh anaknya, karena salah satu syarat bagi orang yang melakukan hadhanah adalah beragama Islam. Artinya, bilamana seorang ibu tidak beragama Islam, maka gugurlah hak hadhanah terhadap anaknya.

(21)

(murtad), demi menjaga kemashlahatan dan menjaga akhlak anak dan menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan serta kehormatan anak.

3. Kekerasan Karena Istri Nusyuz (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan) oleh: Nur Shollah (102044225103).

Skripsi ini membahas tentang suami yang melakukan kekerasan karena istri tidak taat pada suami. Hal ini juga dapat di katakan nusyuz.

Kekerasan dalam pandangan hukum Islam bahwa suami hendaknya jangan sampai memukul wajah dan bagian tubuh lainnya yang dapat melukai apalagi mencelakakan terhadap diri istri.

Dengan demikian skipsi yang akan penulis angkat berbeda dengan skripsi-skripsi yang sudah dibahas terdahulu, karena skripsi-skripsi penulis akan membahas tentang hak hadhanah terhadap anak yang sudah mumayyiz dalam kasus perceraian karena istri nusyuz dengan menganalisa putusan No. 377/Pdt. G/2006/PAJT.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelasan berikut :

BAB I: Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, review study terdahulu serta sistematika penulisan.

(22)

untuk mendapatkan hak asuh anak, pihak-pihak yang berhak atas hak asuh, hak asuh anak jika istri nusyuz.

BAB III: Membahas tentang Hadhanah dan permasalahannya menurut aturan perkawinan di Indonesia, meliputi pengertian hadhanah, syarat-syarat untuk mendapatkan hak asuh, pihak-pihak yang berhak atas hak asuh anak, hak asuh anak jika istri nusyuz.

BAB IV: Dalam bab ini berisi tentang pandangan hakim PA Jaktim tentang hak asuh anak pasca perceraian akibat istri nusyuz.

(23)

BAB II

PANDANGAN FUQAHA TENTANG HADHANAH DAN

PERMASALAHANNYA

A. Pengertian Hadhanah

Secara etimologi (Bahasa), hadhanah (pemeliharaan anak) berarti “al-janb” yang berarti disamping atau berada di bawah ketiak1, atau bisa juga berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan.2 Maksudnya adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya, karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri.

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah hadhanah berasal dari

kata (

نضح ا

) yang artinya lambung, seperti kalimat

نضح ا

نم خأم ناضح ا

Artinya hadhanah diambil dari kata al hidhan, hal ini diungkapkan dalam bentuk

ض ب ێاّ ا نضح

” yang artinya burung itu menghimpit dibawahnya, begitu pula

dengan perempuan (ibu) yang menghimpit anaknya.3

1

Abu Yahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab, (Beirut. Dar Al-Kutub, 1987), Juz II. h. 212

2

Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta. Kencana, 2004), h. 166

3

(24)

Secara terminologi hadhanah menurut Zahabi adalah melayani anak kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukannya sendiri.4

Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tapi kehilangan akal (kecerdasan berpikir)-nya. Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan oleh perceraian atau karena meninggal dunia di mana anak belum dewasa dan tidak mampu mengurus diri mereka, karenanya diperlukan adanya orang-orang yang bertangggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.

Menurut Husein Bahreisj, hadhanah adalah melakukan pemeliharaan dan mendidik anak5, dan menurut ahli fiqh lainnya hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan yang sudah besar tapi belum mumayyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.6

4 Muhammad Husein Zahabi, Al-Syari’ah al Islamiyah: Dirasah Muqaranah Baina Mazahib

Ahlu Sunnah Wal al-Mazahib al-Ja’fariyah, (Mesir. Dar al Kutub al Hadisah, 1968), h. 398

5

Husein Bahreisj, Masalah Agama Islam, (Surabaya. Al-Ikhlas, 1980), h. 56

6

(25)

Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa hadhanah adalah menjaga seseorang

yang tidak mampu untuk mengurus diri sendiri dan mendidiknya dengan pelbagai elemen sesuai dengan perkembangan.7

Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hadhanah adalah untuk mendidik anak-anak yang sepatutnya mendapatkan hak penjagaan dan Madzhab Maliki berpendapat bahwa hadhanah adalah sebagai penjagaan anak-anak dan menunaikan kemashlahatan mereka dan melayani urusan mereka.8

Menurut hukum Islam hadhanah (mengasuh anak atau memelihara anak) adalah wajib dan merupakan hak anak agar anak menjadi manusia yang beragama untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat, Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6 menyatakan :

































































































“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya

kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim : 6)

Yang dimaksud tentang memelihara keluarga dalam ayat di atas adalah mengasuh, memelihara serta mendidik mereka sehingga berguna bagi agama bangsa

7 Mustofa AL-Khin, Mustofa Al-Bugho dan Ali Asy-Syarbaji, Kitab Nikah Madzhab Syafi’i,

(Kuala Lumpur. Pustaka Salam, 2005), h. 951

8Muhammad ibn Ahmad ibn „Arafah al

(26)

dan negara. Kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya dipertegas lagi dengan hadist Nabi :

اق ع ها ض

با نع

:

م س ع ها ص ا اق

:

م ك

ّف ا ع

,

نا

ا بٲف

,

نا ص ا

,

م ا جت ت م ا ثمك ناسجم ا

ءاع ج ا ف ت

(

ی ا ا ا

)

9

“ Dari Abi Hurairoh ra: Nabi SAW bersabda: tiap-tiap anak dilahirkan

menurut fitrahnya (suci bersih) maka ibu bapaknya yang menjadikan Yahudi, Nasroni, Majusi, sama halnya dengan seekor hewan ternak maka ia akan melahirkan

ternak pula tiada kamu lihat kekurangannya “ (H.R.Bukhori )

B. Dasar Hukum Hadhanah

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 233 menyatakan :

...





























...

“ Adalah kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian anak dan istrinya “.

(QS. Al-Baqarah : 233)

9

(27)

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian. Dalam haditsnya Rasulullah SAW bersabda :

ت اق ٲ ما ّا مع نب ها ع نع

:

ءاع ّب ّ اك ا با ّا ها س ا

ءاقس ث

,

ءا ح

ح

,

اقف م عزت ّا ا ا ق ط ابا ّا

م س ع ها ص ها س ا

:

ح ت م ام ب ّحا تنا

(

ا با ا

)

10

Artinya : “ Dari Abdullah Ibnu Amr bahwa sesungguhnya seorang perempuan berkata : Wahai Rasulullah, ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang memberi minumnya dan pangkuankulah yang memangkunya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan dia hendak merampasnya dariku. Sabda Rasulullah SAW,

„Sesungguhnya engkaulah yang lebih berhak selama engkau belum menikah dengan orang lain.”

Untuk memelihara, merawat dan mendidik anak kecil diperlukan kesabaran, kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang tidak dibolehkan mengeluh dalam menghadapi berbagai persoalan mereka, bahkan Rasulullah SAW sangat mengecam orang-orang yang merasa bosan dan kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka.

C. Syarat-syarat Mendapatkan Hak Asuh

Tidak semua orang bisa mendapatkan hak asuh. Ada sejumlah ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pengasuhan.11

10

Abi Daud Sulaiman bin As-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut. Daarul Fikr, 1994), h. 525

11

(28)

Pemeliharaan atau pengasuhan anak memiliki dua rukun, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara hasil perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.

Seseorang yang bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut :12

1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.

3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang bukan Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.

12

(29)

4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :

1. ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapa pun.

Sedangkan menurut Abd. Rahman Ghazaly dalam fiqh munakahat, dikatakan syarat-syarat untuk hadhin adalah sebagai berikut :13

1. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan tempat si anak atau hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja.

2. Hendaklah ia orang mukallaf, yaitu telah baligh, berakal, dan tidak terganggu ingatannya. Hadhanah adalah suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab,

13

(30)

sedangkan orang yang belum mukallaf adalah orang yang tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

3. Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah

4. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti anak.

5. Hendaklah hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak, jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan si anak maka hadhinah itu berhak melaksanakan hadhanah, seperti ia kawin dengan paman si anak.

6. Hadhinah hendaklah orang yang tidak membenci si anak, jika hadhinah orang yang membenci si anak dikhawatirkan anak berada dalam kesengsaraan. Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah karena ibu memiliki rasa kasih sayang yang lebih dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia sangat muda dibutuhkan kasih sayang.

Sedangkan ulama fikih mengemukakan beberapa syarat yang terkait dengan pengasuhan anak yang harus dimilki oleh pengasuhnya, baik wanita maupun laki-laki. Syarat-syarat itu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu syarat umum untuk para pengasuh wanita dan pria, syarat khusus untuk wanita, dan syarat khusus untuk pria.

(31)

b. Berakal, ulama Madzhab Maliki menambahkannya dengan cerdas, dan ulama Madzhab Hambali menambahkan bahwa pengasuh tidak menderita penyakit yang berbahaya/menular.

c. Memiliki kemampuan dalam mengasuh, merawat dan mendidik anak. d. Dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik

e. Beragama Islam.14

Fuqaha berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh oleh nonmuslim.15 Ulama Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh harus seorang muslim atau muslimah, karena orang non Islam tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, di samping itu dikhawatirkan juga pengasuh akan menyeret anak itu masuk ke dalam agamanya. Akan tetapi ulama Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki tidak mensyaratkan pengasuh itu seorang muslimah, jika ia wanita. Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyuruh memilih pada anak untuk berada di bawah asuhan ayahnya yang muslim atau pada ibunya yang musyrik, tetapi anak itu memilih ibunya. Lalu Rasulullah SAW bersabda :

ا خأف ا بأ إ ص ا ت امف ا ا م ا

ا با ا

16

“Ya Allah, tunjuki anak itu, condongkan hatinya kepada ayahnya” (HR. Abu Daud).

14

Satria Efendi, op. cit, h. 172

15

Abdurrahman al-Juzairi, Al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut. Dar al-Fikr), jilid IV, h. 596-598

16

(32)

Dalam hal pengasuh anak adalah laki-laki, timbul pertanyaan apakah disyaratkan ia seorang muslim. Ulama Madzhab Hanafi mensyaratkan pengasuh laki-laki harus sama-sama muslim dengan anak yang diasuhnya. Akan tetapi, ulama Madzhab Maliki tidak mensyaratkan laki-laki pengasuh harus seorang muslim.17

Akan tetapi alangkah lebih baik kalau seandainya anak tersebut, baik anak laki-laki ataupun anak perempuan jika diasuh oleh orang yang seagama dengannya (Islam), dan tidak dibenarkan anak tersebut diasuh oleh nonmuslim. Dasarnya adalah demi kemaslahatan dan sebagai sarana preventif (sadd al-dzari’ah)18 agar anak tersebut tetap konsisten dengan agamanya dan tidak terpengaruh dengan agama pengasuhnya. Karena secara praktis biasanya anak-anak akan mengikuti agama dan tradisi orang tua atau orang-orang yang sering berkomunikasi dengan mereka.

2. Syarat khusus untuk pengasuh wanita19

Menurut para ahli fikih syarat khusus untuk pengasuh wanita adalah sebagai berikut :

a. Wanita pengasuh tidak mempunyai suami (belum kawin) setelah dicerai suaminya. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW:

...

ح ت ا ام ّحأ تنأ

(

محا ا

20

ا با

21

ق ا

22

مكاح ا

)

17

Andi Syamsu Alam dan H. M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Hukum Islam, (Jakarta. Prenada Media Group, 2008), cet ke 1, h. 123

18

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut. Dar al-Ma’rifah, 1973), jilid II, h.

198

19

Andi Syamsu Alam dan H. M. Fauzan,op. cit, h. 124

20

(33)

“Engkau lebih berhak mengasuhnya, selama engkau belum kawin

dengan lelaki lain”. (HR. Abu Daud dan Baihaqi dan Hakim).23 Akan

tetapi, apabila wanita tersebut kawin dengan kerabat anak asuhnya, maka ia boleh mengasuhnya.

b. Wanita pengasuh merupakan mahram (haram dinikahi) anak, seperti ibu, saudara perempuan ibu dan nenek. Oleh sebab itu, menurut ulama fikih, saudara perempuan ibu tidak boleh menjadi pengasuh anak itu, karena bukan mahramnya.

c. Menurut ulama Madzhab Maliki, pengasuh tidak boleh mengasuh anak tersebut dengan sikap yang tidak baik, seperti marah dan membenci anak itu. Ulama fikih lain tidak mengemukakan syarat ini. d. Ulama Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali menambahkan syarat,

apabila anak asuh masih dalam usia menyusu pada pengasuhnya, tetapi ternyata air susu pengasuhnya tidak ada atau ia enggan untuk menyusukan anak itu, maka ia tidak berhak menjadi pengasuh.

3. Syarat-syarat khusus bagi laki-laki

Jika anak kecil tersebut tidak memiliki pengasuh wanita, maka pengasuhnya dapat dilakukan oleh kaum pria, selagi ia memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

a. Jika pengasuhnya adalah mahram (haram dinikahi).

21

Abu Daud Sulaiman Asy Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut, Daar Ibn Hazm, 1952), juz I, h. 351, hadits ke 2276

22

Baihaqi, As-sunan Al-Kubro, (Beirut, Daarul Fikr), jilid 8, h. 4, hadits ke 1

23

(34)

Para fuqaha membolehkan untuk melakukan hadhanah bagi wanita oleh pria yang muhrim baginya, baik anak tersebut masih kecil, disenangi atau tidak disenangi pengasuh laki-laki, ketika tidak ada wanita yang berhak melakukan hadhanah baginya.

b. Pengasuh yang bukan mahram (boleh dinikahi).

Jika ada orang yang bukan muhrim bagi anak, maka itu diperbolehkan dengan syarat pengasuh tersebut memenuhi kriteria hadhanah, yakni adanya wanita yang ikut membantu laki-laki tersebut dalam mengasuh anak.24

D. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Hak Asuh

Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah ini milik wanita (ibu atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh tersebut.

Ulama Madzhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat dan mendidik anak merupakan hak pengasuh (ibu atau yang mewakilinya). Dengan alasan bahwa apabila pengasuh ini menggugurkan haknya, sekalipun tanpa imbalan, boleh ia lakukan dan hak itu gugur. Akan tetapi jika hadhanah ini hak anak, maka menurut mereka, hak itu tidak dapat digugurkan.25

24

Huzemah T. Yanggo, Fiqih Anak, Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Jakarta. Al-Mawardi, 2004), h. 134

25

(35)

Sedangkan menurut jumhur ulama bahwa hadhanah itu menjadi hak bersama, antara kedua orang tua dan anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili (guru besar fikih Islam di Universitas Damascus, Suriah) hak hadhanah itu berserikat antara ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.26

Akibat hukum dari perbedaan pendapat para ulama tentang hak hadhanah ini adalah sebagai berikut :27

a. Apabila kedua ibu bapak enggan untuk mengasuh anaknya, maka mereka bisa dipaksa, selama tidak ada yang mewakili mereka mengasuh anak tersebut.

b. Apabila ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, seperti nenek dan bibinya, maka ibu tidak boleh dipaksa. Karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk menggunakan haknya.

c. Menurut ulama Madzhab Hanafi, apabila istri menuntut khulu’ pada suaminya dengan syarat anak dipelihara oleh suaminya, maka khulu’nya sah, tetapi syaratnya batal, karena pengasuhan anak merupakan hak ibu. Akan tetapi jumhur ulama tidak sependapat dengan ulama Madzhab Hanafi, karena menurut mereka hak pengasuhan anak adalah hak berserikat yang tidak bisa digugurkan. Apabila terjadi perpisahan antara suami istri tersebut, maka boleh

26

Andi Syamsu Alam dan H. M. Fauzan, op.cit, h. 117

27

(36)

saja anak berada di bawah asuhan ibu, tetapi biaya pengasuhan harus ditanggung ayah.

d. Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa ayah tidak bisa mengambil anak

dari ibunya apabila mereka bercerai, kecuali ada alasan syara’ yang

membolehkannya, seperti ibu itu gila atau dipenjara.

E. Hak Asuh Anak Jika Istri Nusyuz

Pada umumnya fuqaha sepakat bahwa ibu mempunyai keutamaan hak hadhanah. Namun, hak hadhanah dapat digugurkan dan dicabut dengan alas an si ibu telah melakukan nusyuz terhadap suami seperti murtad28, berperilaku tidak terpuji, berbuat maksiat seperti berzina, mencuri, tidak dapat dipercaya, sering keluar rumah dan mengabaikan anak yang diasuhnya.29 Tujuan dari keharusan tidak adanya perilaku diatas adalah dalam upaya memelihara dan menjamin kesehatan, pertumbuhan moral dan perkembangan psikologis anak.30

Di samping alasan-alasan yang dikemukakan diatas, menurut jumhur ulama istri yang menikah lagi dengan laki-laki lain dapat menggugurkan hak hadhanahnya. Akan tetapi, jika laki-laki tersebut memiliki kasih sayang pada anak, maka hak hadhanah ibu tersebut masih berlaku.31 Berbeda dengan pendapat jumhur ulama

Madzhab Syi’ah Imamiyah mengemukakan bahwa hak hadhanah ibu gugur secara

28

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus. Dar al-Fikr, 1989), cet ke-3, h. 7306

29

Ibid, h. 7298

30

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta. Lentera, 2001), h. 308

31

(37)

mutlak disebabkan perkawinannya dengan laki-laki lain, baik laki-laki tersebut memiliki kasih sayang atau tidak.32

Prinsip dasar yang dapat dijadikan alasan hak hadhanah ibu gugur adalah adanya situasi dan kondisi pada ibu yang dapat merugikan kepentingan dan kesejahteraan serta membahayakan agama anak. Dasar dan orientasi dalam hadhanah adalah kemaslahatan dan kemanfaatan bagi anak tanpa memperhatikan hak ibu atau ayahnya. Hak hadhanah ibu atau ayah dapat gugur jika anak dikumpulkan dengan orang yang dibencinya.33

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa fikih tidak mengatur secara rinci tentang hal yang dapat menggugurkan hak hadhanah. Pengguguran hak hadhanah dapat dipahami dari persyaratan-persyaratan terhadap pemegang hak hadhanah. Adapun alasan-alasan digugurkannya hak hadhanah seseorang antara lain tidak bisa dipercaya, berperilaku tidak terpuji, membahayakan kepentingan anak.

32

Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Hukum Islam, (Jakarta. Prenada Media Group, 2008), cet ke 1, h. 132

33

(38)

BAB III

HADHANAH DAN PERMASALAHANNYA MENURUT ATURAN

PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian Hadhanah

Pemeliharaan anak (hadhanah) terdiri dari dua kata yaitu, kata “pemelihara”

dan kata “anak”, pemelihara berasal dari kata “pelihara” yang memiliki arti jaga,

rawat. Sedangkan kata pemeliharaan berarti proses, cara, perbuatan, memeliharakan, penjagaan, perawatan, pendidikan.1

Menurut Yahya Harahap pemeliharaan adalah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya, serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua.2

Jadi pemeliharaan anak tersebut meliputi pengawasan, pelayanan dan pembelanjaan dalam arti yang luas. Pengawasan berarti membentuk lingkungan anak dalam suasana yang sehat, baik jasmani maupun rohani, sehingga anak menjadi manusia yang memiliki jiwa sosial. Pelayanan berarti menanamkan rasa kasih sayang orang tua terhadap anak.3 Sedangkan kebutuhan hidup adalah kebutuhan primer atas tempat tinggal. Makanan dan pakaian menjadi kebutuhan hidup yang lebih ditekankan pada soal nafkah.

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta. Balai Pustaka, 1989), cet ke-2, h. 661

2

Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan. CV. Zahir Trading, 1975), cet ke-1, h. 204

3

(39)

Yahya Harahap tidak memasukkan pendidikan sebagai bagian dari pemeliharaan, hal ini berdasarkan Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang memisahkan pemeliharaan dengan pendidikan, namun keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggunakan istilah pemeliharaan anak yang dimuat dalam bab XIV pasal 98, pasal 105, dan pasal 106. Dalam pasal 98 dijelaskan bahwa batas usia anak mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 12 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum menikah.

Pasal 105 dan 106 secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak dan harta. Dalam pasal tersebut dijelaskan jika terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur 12 tahun adalah hak ibunya, jika sudah mumayyiz maka anak tersebut disuruh memilih siapa diantara ayah atau ibu yang memegang hak pemeliharaannya.

Namun biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya, selain itu juga orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa, dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban orang tua tersebut.

(40)

Begitu juga pasal 156 point a menjelaskan akibat putusnya perkawinan karena perceraian, bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila telah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan.

Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 point c dinyatakan apabila pemegang hadhanah ternyata tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah, dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

Mengambil dari syarat-syarat yang terdapat pada pasal 49 ayat 1 Undang-undang Perkawinan dan pasal 156 point c Kompilasi Hukum Islam (KHI) maka seorang pengasuh harus dapat dipercaya dan mampu untuk melaksanakan kewajiban dalam pemeliharaan dan pengasuhan anak (hadhanah), di samping itu seorang pengasuh harus taat beribadah.

Berdasarkan uraian diatas pemeliharaan dan pendidikan anak pada dasarnya adalah usaha-usaha untuk memelihara, menjaga kelangsungan hidup anak dengan memperhatikan segala kebutuhan hidupnya baik kebutuhan jasmani maupun rohani, semata-mata demi kesejahteraan anak sehingga anak dewasa atau telah berumur 21 tahun.

B. Syarat-syarat Untuk Mendapatkan Hak Asuh

(41)

tertentu, yakni yang tertuang dalam pasal 49 Undang-undang Perkawinan. Pasal tersebut terbagi dalam dua ayat, yang berbunyi sebagai berikut :

Ayat 1

“Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang

anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali

Ayat 2

“Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk

memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut”.

Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam juga mengatur syarat-syarat untuk mendapatkan hak asuh, yakni dalam pasal 156 poin c yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani

dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak

hadhanah kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”.

(42)

1. Dapat dipercaya

2. Mampu untuk melaksanakan kewajiban dalam pemeliharaan dan pengasuhan anak

3. Seorang pengasuh harus taat beribadah dan

4. Dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak

Selain kedua Undang-undang di atas, para fuqaha juga menjelaskan bahwa syarat-syarat yang harus dimilki seorang pengasuh adalah dewasa, berpikiran sehat, beragama islam, dapat dipercaya untuk memegang amanah dan berahklak baik serta berlaku adil dalam pemeliharaannya.

C. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Hak Asuh

Secara global sebenarnya Undang-ndang Perkawinan memberi aturan tentang pemeliharaan anak yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan, di dalam pasal 41 disebutkan4 :

“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan

pengadilan memberikan keputusannya”.

Dari penjelasan di atas bahwa Undang-undang perkawinan tidak menjelaskan secara terperinci mengenai siapa yang lebih berhak untuk memelihara anak yang masih dibawah umur jika terjadi perceraian. Tetapi bila dilihat dari pasal 41 diatas

4

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta. PT Pradnya Paramita, 2008), cet. 39, h 549

(43)

tadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya ibulah yang berhak untuk memelihara anaknya, kecuali terdapat sesuatu yang dapat menghalangi ibunya untuk melaksanakan tugas tersebut, dan pengadilan memutuskan siapa yang berhak untuk memelihara anak itu, dan jika anak tersebut ikut ibunya maka bagi bapaknya untuk bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anaknya, disamping itu seorang bapak berkewajiban untuk selalu memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan jiwa anaknya, dengan mengunjunginya secara berkala sehingga anak tersebut merasa aman dan tentram seolah-olah tidak ada perpisahan antara ibu dan bapaknya.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam tentang siapa yang berhak untuk memelihara dan mendidik anak (hadhanah) terdapat dalam pasal 105 yang menyebutkan bahwa :

“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak

ibunya, sedangkan pemeliharaan yang sudah mumayyiz atau sudah berumur 12 tahun

disuruh memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan”.

Maksud dari penjelasan diatas, bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz berada ditangan ibunya, tetapi setelah anak tersebut mumayyiz, maka si anak berhak untuk memilih diantara ayah atau ibunya yang akan menjadi pemeliharanya.

D. Hak Asuh Anak Jika Istri Nusyuz

Dalam Pasal 49 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah dijelaskan

(44)

seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali

Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam juga mengatur syarat-syarat untuk mendapatkan hak asuh, yakni dalam pasal 156 poin c yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani

dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak

hadhanah kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”.

Selain dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, penjelasan tentang hak asuh anak apabila istri telah melakukan nusyuz juga diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 30 No. 23 Tahun 2002 yang berbunyi :5

1. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau hak asuh orang tua dapat dicabut.

5

(45)

2. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Penjelasan pasal 26 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa :

1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : 1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak

2. menumbuhkembangkan anak sesuia dengan kemampuan, bakat, dan minatnya 3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak

2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan dan Undang-undang Tentang Perlindungan Anak telah mengatur tentang pengasuhan anak yang dapat dicabut oleh pengadilan apabila si istri benar-benar telah melalaikan kewajibannya sebagai orang tua terhadap anaknya serta berkelakuan buruk yang akan menimbulkan dampak negatif bagi kesejahteraan dan masa depan anak.

(46)

BAB IV

PANDANGAN HAKIM PA JAKTIM TENTANG HAK ASUH

ANAK PASCA PERCERAIAN AKIBAT ISTRI NUSYUZ

A. Gambaran Putusan No. 377/Pdt. G/2006/PA Jaktim

A.1 Penemuan Fakta (duduk perkara)

Duduk perkara ini sesuai yang didaftarkan pada kepaniteraan tertera pada Nomor 377/Pdt. G/2006/PA Jaktim adalah perkara tentang cerai talak antara Muhamad Harsono bin Alif Rosidin yang berkedudukan sebagai pemohon dengan Mas Indahyati binti Sirotol Mustakim yang berkedudukan sebagai termohon.

Adapun duduk perkaranya adalah pemohon telah mengajukan permohonannya pada tanggal 13 Maret 2006 yang pada pokoknya pemohon memberikan alasan-alasannya sebagai berikut :

1. Bahwa pada hari Minggu, tanggal 22 Juli 1989 telah dilangsungkan pernikahan antara pemohon dan termohon yang tercata di KUA Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur dengan Kutipan Akta Nikah Nomor 364/141/VII/1989.

(47)

September 1990, Nur Rahman Azzahra yang lahir tanggal 27 Januari 1992 dan Nurul Mutmainah yang lahir pada tanggal 12 November 1993.

3. Sejak 1 Januari 2000 sampai dengan 2001 kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon mulai tidak harmonis dan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang memang sulit diatasi sehingga perselisihan tersebut sudah tentu membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup berumah tangga yang selama ini telah dibina dan memuncak pada tanggal 8 Juli 2001.

4. Terjadinya pertengkaran dan perselisihan tersebut disebabkan karena : a. Bahwa termohon mempunyai sifat egois dan berwatak keras b. Termohon berani memukul pemohon

c. Termohon tidak memperdulikan, memperhatikan pemohon dan lebih mementingkan diri sendiri

d. Termohon berkata minta cerai sehingga pemohon merasa tersinggung sebagai suami sah

5. Dalam hal ini pemohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan cara bermusyawarah secara baik, tetapi tidak berhasil sehingga pemohon merasa bahwa rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh karena itu, pemohon mengambil kesimpulan untuk bercerai dengan termohon. 6. Bahwa anak-anak pemohon dan termohon tinggal bersama termohon karena

(48)

dalam pemeliharaan termohon, sedangkan biaya pemeliharaan dan pengasuhan ditanggung oleh pemohon.

Dalam petitum (tuntutan) yang dimohon oleh pemohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya

2. Memberi izin kepada pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak satu raj’i terhadap termohon

3. Menetapkan anak permohon dan termohon yang bernama Muhamad Syaeful Jabbar yang lahir tanggal 13 September 1990, Nur Rahman Azzahra yang lahir pada tanggal 27 Januari 1992 dan Nurul Mutmainah yang lahir pada tanggal 12 November 2003 berada dalam pemeliharaan dan pengasuhan pemohon

4. Menghukum pemohon untuk memberikan nafkah anak melaui termohon untuk setiap bulannya sampai anak tersebut dewasa

5. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(49)

1. Bahwa termohon telah mengerti semua dalil-dalil dan alasan-alasan yang dikemukakan pemohon

2. Bahwa benar antara pemohon dan termohon telah pisah rumah dan terjadi pertengkaran sejak Juli 2001

3. Bahwa benar penyebabnya tersebut pernah memukul, egois dan tidak memperhatikan pemohon

4. Bahwa termohon tidak keberatan namun termohon tetap menginginkan pengasuhan 3 orang anak dan nafkahnya setiap bulan

Untuk menguatkan alasan-alasan permohonannya, pemohon telah mengajukan bukti tertulis yang berupa :

1. Fotokopi Kutipan Akta Nikah atas nama pemohon dan termohon yang terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang dengan nomor register 364/141/VII/2004 yang diberi tanda P-1

2. Surat izin dari atasan tanggal 10 Agustus 2004 yang diberi tanda P-2

3. Surat kesepakatan bersama yang dibuat tanggal 4 Mei 2004 yang diberi tanda P-3

Selain bukti tertulis pemohon juga mengajukan saksi-saksi sebagai berikut : Saksi 1 (satu) yang bernama Mulkarin Akbar bin Kadar, agama islam, menerangkan dibawah sumpahnya sebagai berikut :

(50)

b. Bahwa sejak nikah tahun 1989 rumah tangga pemohon dan termohon baik-baik saja sampai tahun 2000, lalu pemohon dan termohon telah pisah tempat tinggal selama 5 tahun

c. Bahwa penyebab pisah tersebut karena masing-masing egois ingin menang sendiri dalam pengaturan rumah tangga

d. Bahwa saksi mengetahui sejak pisah tersebut

e. Bahwa saksi sudah menasehati namun tidak berhasil

Saksi 2 (dua) yang bernama Sirotol Mustakin bin Muhaja, agama islam, menerangkan dibawah sumpahnya sebagai berikut :

a. Bahwa saksi adalah bapak kandung termohon

b. Bahwa pemohon dan termohon tidak rukun dan masing-masing telah pisah rumah selama 5 tahun

c. Bahwa penyebabnya diawali pertengkaran karena masing-masing egois d. Bahwa saksi telah memberi nasehat kepada termohon namun tidak

berhasil

Menimbang, bahwa atas keterangan dua orang saksi tersebut, para pihak membenarkan dan menerimanya.

Menimbang, bahwa pemohon dalam kesimpulannya menyatakan ia tetap pada permohonannya dan mohon putusan.

Menimbang, bahwa untuk menyingkat uraian putusan ini, pengadilan menunjuk hal-hal yang tercantum dalam berita acara persidangan perkara ini.

(51)

Dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim menimbang bahwa pemohon dan termohon adalah suami isteri yang sah menikah pada tanggal 23 Juli 1989 yang tercatat di KUA Kecamatan Tanah Abang dengan Kutipan Akta Nikah Nomor 364/141/VII/1989 tanggal 24 Juli 1989 (P1).

Menimbang, bahwa majelis hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak, namun tidak berhasil.

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini adalah pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus yang disebabkan karena termohon mempunyai sifat egois dan berwatak keras, termohon berani memukul pemohon, termohon tidak memperdulikan pemohon, dan sejak 1 April 2001 pemohon dan termohon telah pisah tempat tinggal. Dan untuk menguatkan dalil-dalilnya, pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis seperti P-1 dan saksi-saksi sebagaimana tersebut diatas.

Menimbang, bahwa terhadap bukti-bukti serta keterangan para pihak dalam jawaban di persidangan akan diadakan penilaian sebagai berikut :

(52)

hakim dapat menilai bahwa bukti P adalah akta autentik yang telah memenuhi syarat formil dan materil, sehingga berdasarkan pasal 165 HIR Jo. Pasal 285 Rbg, alat bukti tersebut kekuatan pembuktiannya sempurna dan mengikat, serta sesuai dengan pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam bahwa akta nikah adalah satu-satunya buku tentang sahnya suatu perkawinan.

2. Bahwa sebagian dari keterangan/kesaksian pemohon dan termohon Mulkarin Akbar bin Kadar dan Sirotul Mustakim bin Muhaja adalah saling bersesuaian dan berhubungan antara keterangan yang satu dengan yang lainnya yang menyatakan :

1. Bahwa rumah tangga pemohon dan termohon tidak rukun lagi karena sering cekcok

2. Bahwa termohon mempunyai sifat egois dan berwatak keras 3. Bahwa termohon berani memukul pemohon

4. Bahwa termohon tidak memperdulikan, memperhatikan pemohon dan lebih mementingkan diri sendiri

5. Bahwa antara pemohon dan termohon sejak 1 April 2001 telah pisah tempat tinggal

(53)

Menimbang, bahwa dari bukti-bukti pemohon dihubungkan dengan keterangan para saksi serta dihubungkan pula dengan keterangan kedua belah pihak dalam jawab menjawab dipersidangan dapat disimpulkan bahwa sebagai berikut :

1. Bahwa rumah tangga pemohon dan termohon sudah tidak dapat diharapkan untuk rukun lagi karena terbukti antara pemohon dan termohon sejak 1 Januari 2000 sudah sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang mengakibatkan kedua belah pihak pisah tempat tinggal dan sudah tidak pernah kumpul lagi, sehingga hal tersebut untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah tidak dapat diwujudkan lagi, karena hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sudah tidak berjalan lagi sebagaimana mestinya

Menimbang, bahwa fakta-fakta tersebut diatas kedua belah pihak telah kehilangan hakikat dan makna suatu perkawinan, oleh karena itu majelis hakim berpendapat ikatan perkawinan pemohon dan termohon sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena mempertahankan suatu ikatan perkawinan yang telah rapuh seperti itu tidak akan membawa maslahat bahkan akan menyebabkan mudlarat yang lebih besar bagi kedua belah pihak.

(54)

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam oleh karena majelis hakim dapat menerima alasan dan mengabulkan permohonan pemohon.

Menimbang, bahwa dengan memperhatikan kesanggupan/kemampuan pemohon majeis hakim menganggap cukup adil pemohon memberikan akibat cerai sesuai dengan surat kesepakatan bersama yang dibuat pemohon dan termohon.

Menimbang, bahwa mengenai anak pemohon dan termohon yang bernama Muhamad Syaeful Jabbar yang lahir tanggal 13 September 1990, Nur Rahman Azzahra yang lahir pada tanggal 27 Januari 1992 dan Nurul Mutmainah yang lahir pada tanggal 12 November 1993 tetap berada pengasuhan dan pemeliharaan termohon sebagai ibu kandungnya dan kepada pemohon tetap dibebani untuk memberikan nafkah anak setiap bulannya. Minimal sesuai dengan ketentuan Pasal 105 huruf a dan Pasal 156 huruf a dan d Kompilasi Hukum Islam.

Menimbang, bahwa berdasrkan ketentuan Pasal 89 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama maka pemohon dibebani membayar biaya perkara ini.

Mengingat segala ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku dan

dalil-dalil syar’i yang kaitannya dengan perkara ini.

A.3 Penetapan Hukumnya

(55)

2. Mengizinkan pemohon untuk menjatuhkan thalak satu raj’ie terhadap termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur

3. Menetapkan tiga orang anak dari perkawinan pemohon dan termohon yang bernama Muhamad Syaeful Jabbar yang lahir tanggal 13 September 1990, Nur Rahman Azzahra yang lahir pada tanggal 27 Januari 1992 dan Nurul Mutmainah yang lahir pada tanggal 12 November 1993 tetap berada pengasuhan dan pemeliharaan termohon

4. Menghukum pemohon untuk memberikan Nafkah anak sejumlah Rp 2.000.000,- (dus juta rupiah) setiap bulannya hingga anak tersebut dewasa dan dapat berdiri sendiri

5. Menetapkan akibat cerai sesuai dengan surat kesepakatan bersama yang dibuat tanggal 4 Mei 2006

6. Membebankan kepada pemohon untuk membayar semua biaya perkara ini sejumlah 275. 000,- (dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah)

(56)

B. Pertimbangan Hakim PA Jaktim dalam Memutuskan Perkara No. 377/Pdt.

G/2006

Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Nurroh Sunah, S.H (HakimPengadilan Agama Jakarta Timur) di Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah

sebagai berikut :

Untuk mengajukan sebuah perkara, dapat diajukan secara bersamaan dan dapat juga diajukan secara terpisah. Proses persidangannya pun seperti persidangan pada biasanya.

“ gugat hak asuh anak dapat diajukan bersama dengan perceraian dan dapat juga

terpisah, kalau prosesnya ya seperti persidangan biasa.”

Dalam putusan perkara Nomor 377/Pdt.G/2006/PAJT, majelis hakim menetapkan bahwa 3 orang anak bernama Muhammad Syaeful Jabbar, Rahman Azzahra dan Nurul Mutmainah berada dibawah asuhan dan pemeliharaan termohon sebagai ibu kandungnya yang benar-benar telah terbukti melakukan nusyuz terhadap pemohon.

(57)

“ ketika terjadi perceraian bila anak yang belum mumayyiz hak asuhnya jatuh pada

ibunya sesuai peraturan dengan syarat ibunya tidak kehilangan hak/layak untuk

mendidik.”

Di samping itu, juga demi kepentingan si anak serta rasa kasih sayang terhadap mereka, dan si anak tersebut juga sudah terbiasa tinggal bersama ibunya. Maka, dari pihak ibu menerima atas persetujuan suami walaupun pada petitumnya suami menginginkan agar hak asuh anaknya terhadap suami dikabulkan oleh majelis hakim. Oleh karena itu, secara tidak langsung telah terjadi kesepakatan diantara keduanya dan majelis hakim memerintahkan kepada para pihak untuk mentaati dan melaksanakan kesepakatan tersebut.

Kemudian Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa perkara tersebut belum mencapai dalam tahap nusyuz yang dapat membahayakan kepen

Gambar

gambaran umum bagi hakim dalam mengambil keputusan, sehingga dalam

Referensi

Dokumen terkait

Seperti dalam contoh kasus perceraian antara Desi Firdaningsih selaku Penggugat dengan surya atmadja selaku Tergugat, Penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan

tidak terjadi perceraian dan anak hasil perkawinan tersebut dapat merasakan. cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh kedua

Dalam hal ini Hakim Pengadilan Agama Bogor dalam kasus cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga mencoba dan mengkombinasikan beberapa Undang-Undang yang

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dari pertanyaan-pertanyaan yang menjadi rumusan masalah: “Bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dan kedudukan tentang

terjadi perceraian, maka menurut Pasal 128 “H arta kekayaan bulat dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-. masing, tanpa

ilmiah dengan judul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian. Orangtua” (Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan