• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipologi dan Kesejahteraan Subjektif Keluarga di Perdesaan dan Perkotaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tipologi dan Kesejahteraan Subjektif Keluarga di Perdesaan dan Perkotaan"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN SIKAP PETANI DI

DESA CIHIDEUNG ILIR KABUPATEN BOGOR

HILDA NURUL HIDAYATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konversi Lahan Pertanian dan Sikap Petani di Desa Cihideung Ilir Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

HILDA NURUL HIDAYATI. Konversi Lahan Pertanian dan Sikap Petani di Desa Cihideung Ilir Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola konversi sebagian besar berlangsung secara cepat dan dikonversi dengan cara alih penguasaan terlebih dahulu. Lahan yang dikonversi pada umumnya dimanfaatkan untuk perumahan. Faktor yang menyebabkan konversi lahan dikategorikan menjadi faktor internal seperti kebutuhan ekonomi yang mendesak dan keinginan untuk merubah nasib, serta faktor eksternal seperti pertambahan penduduk dan kebijakan pemerintah. Dampak konversi lahan terhadap kondisi sosial ekonomi antara lain berkurangnya hasil sawah, penurunan pendapatan petani, berkurangnya ketahanan pangan keluarga, berkurangnya peluang kerja dalam pertanian, sulitnya akses petani terhadap lahan, dan lain-lain. Sementara itu konversi lahan juga mempunyai dampak positif, yaitu pembangunan perumahan dapat menunjukkan adanya perkembangan ekonomi desa. Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian tidak memiliki hubungan dengan karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan bertani, jumlah tanggungan dalam keluarga, tingkat pendapatan, serta luas dan penguasaan lahan oleh petani. Kata kunci: pola konversi dan pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor penyebab konversi lahan, dampak konversi lahan, dan sikap petani.

ABSTRACT

HILDA NURUL HIDAYATI. Conversion of Agricultural land and Farmer’s Attitude at Cihideung Ilir Village Bogor Counties . Under the guidance of RILUS A. KINSENG.

This study showed that the patterns of conversion is mostly occurs rapidly and by switching control to others. Converted lands generally used for housing. Factors affecting land conversion can be categorized into internal factors such as urgent economic needs and the desire to change the fate, and external factors such as population growth and government policies. The impact of land conversion on the socioeconomic conditions consist of reduced rice yield, decreased farmers’s income, reduced household food security, reduced employment opportunities in agriculture, farmers’s limited access to agricultural land, and others. However there are positive impact as well, that is construction of housing may indicate the development of rural economy. The attitude of farmers to conversion of agricultural land has no relation to the characteristics of the respondents including gender, age, educational level, farm employment status, number of dependents in the family, income level, as well as broad and land tenure.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

HILDA NURUL HIDAYATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

(6)
(7)

Judul Skripsi : Konversi Lahan Pertanian dan Sikap Petani di Desa Cihideung Ilir Kabupaten Bogor

Nama : Hilda Nurul Hidayati NIM : I34090008

Disetujui oleh

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Konversi Lahan Pertanian dan Sikap Petani di Desa Cihideung Ilir Kabupaten Bogor”. Penulisan skripsi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rilus A Kinseng MA yang telah membimbing, mengarahkan, serta memberikan saran dalam proses penyususnan hingga penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak H. Encep selaku informan utama, Bapak Amit selaku aparat pemerintahan desa yang telah membantu proses penelusuran informasi, serta seluruh masyarakat Desa Cihideung Ilir yang telah membantu, mendukung, dan memberikan informasi serta saran selama proses penelitian di lapang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua (Bapak Iwan Rusdiawan S.Pd dan Ibu Eneng Rosmiati), adik-adik (Rospita Nur Fazriah dan Khairi Septiawan), keluarga, dan teman-teman yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa tulisan ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi dapat

menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ii

PRAKATA vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 7

Konversi Lahan 7

Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi 7

Faktor-faktor Penyebab Konversi Lahan 9

Faktor Sosial atau Kependudukan 9

Faktor Ekonomi dan Kegiatan Pembangunan Ekonomi 10

Kebijaksanaan Pembangunan 11

Dampak Konversi Lahan Pertanian 12

Konversi Lahan dan Ketahanan Pangan 13

Konversi Lahan dan Kesempatan Kerja Petani 14

Penurunan Tingkat Pendapatan Petani 15

Sikap dan Karakteristik Individu 16

Kerangka Pemikiran 17

Hipotesis Penelitian 20

Definisi Konseptual 20

Definisi Operasional 21

PENDEKATAN LAPANGAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

(10)

Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data 27

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 29

Kondisi Wilayah 29

Struktur Agraria 31

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 33

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI DESA CIHIDEUNG ILIR 35

Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi 36 Faktor-faktor Penyebab Konversi Lahan Pertanian 38 Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani 44 Analisis Nilai Lahan dan Sistem Jual Beli Lahan yang Dikonversi 51

SIKAP PETANI TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN 55

Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Sikap Terhadap Konversi

Lahan Pertanian 62

Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Sikap Petani terhadap Konversi Lahan

Pertanian 63

Hubungan Antara Usia dengan Sikap Petani terhadap Konversi Lahan

Pertanian 63

Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Sikap Petani terhadap Konversi

Lahan Pertanian 64

Hubungan Antara Status Pekerjaan Bertani dengan Sikap Petani terhadap

Konversi Lahan Pertanian 64

Hubungan Antara Jumlah Tangungan dalam Keluarga dengan Sikap Petani

terhadap Konversi Lahan Pertanian 65

Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Sikap Petani terhadap Konversi

Lahan Pertanian 65

Hubungan Antara Luas dan Penguasaan Lahan oleh Petani dengan Sikap Petani

terhadap Konversi Lahan Pertanian 66

SIMPULAN DAN SARAN 67

Simpulan 67

Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69

LAMPIRAN 73

(11)

DAFTAR TABEL

1 Pola-pola konversi lahan berdasarkan hasil penelitian 8

2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2012-2013 26

3 Luas wilayah dan persentasenya menurut penggunaan lahan di Desa

Cihideung Ilir tahun 2009 31

4 Jumlah penduduk menurut usia dan jenis kelamin tahun 2009 34 5 Pola-pola konversi lahan berdasarkan lima kasus konversi lahan

pertanian di Desa Cihideung Ilir 38

6 Jumlah responden menurut sikap terhadap konversi lahan pertanian di

Desa Cihideung Ilir 55

7 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan jenis

kelamin 56

8 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan usia 57 9 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan tingkat

pendidikan 58

10 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan status

pekerjaan bertani 59

11 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan jumlah

tanggungan dalam keluarga 60

12 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan tingkat

pendapatan 61

13 Sikap petani terhadap konversi lahan pertanian berdasarkan luas dan

penguasaan lahan oleh petani 62

DAFTAR GAMBAR

1 Representation of an attitude continuum 17

2 Kerangka Analisis Konversi Lahan Pertanian 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 73

2 Kerangka sampling 74

3 Kasus konversi lahan pertanian di Desa Cihideung Ilir 76

4 Pengolahan data 88

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan akan dibahas mengenai pemikiran kuat yang mendasari penelitian ini. Pemikiran tersebut dijelaskan melalui latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Latar belakang yang disusun menggambarkan permasalahan umum dalam penelitian disertai dengan fakta-fakta yang mendukung terhadap persoalan konversi lahan pertanian. Kemudian permasalahan umum dijabarkan menjadi permasalahan-permasalahan khusus yang ditulis dalam perumusan masalah. Tujuan penelitian merupakan jawaban yang diharapkan terhadap permasalahan-permasalahan dalam penelitian. Sementara kegunaan penelitian merupakan manfaat yang diharapkan oleh peneliti setelah penelitian ini dilakukan.

Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya sumberdaya alam. Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Indonesia sangat potensial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Lahan merupakan salah satu sumberdaya yang digunakan untuk menunjang aktivitas manusia terutama untuk kegiatan ekonomi. Manusia modern 1 menggunakan lahan untuk kegiatan pembangunan yang dapat menunjang peningkatan perekonomian. Kegiatan pembangunan yang dilakukan secara terus menerus ternyata berpengaruh terhadap tingginya permintaan terhadap lahan. Akibatnya, lahan pertanian (sawah) menjadi salah satu sasaran bagi para pengguna lahan untuk pembangunan. Berdasarkan data BPS 2002, luas lahan sawah di Indonesia sekitar 7,75 juta ha (tidak termasuk di Papua dan Maluku), sebagian besar terdapat di Jawa 3,32 juta ha (42,8% dari luas sawah Indonesia), kemudian Sumatera 2,10 juta ha (27,2 % dari luas sawah Indonesia), Kalimantan 1,01 juta ha (13,0% dari luas sawah Indonesia), Sulawesi 0,90 juta ha (11,6% dari luas sawah Indonesia), sedangkan Nusa Tenggara dan Bali hanya 042 juta ha (5,4% dari luas sawah Indonesia).2

Berdasarkan data di atas, potensi pertanian sawah banyak ditemukan di Pulau Jawa. Oleh karena itu, sebagian besar penduduk Jawa bermata pencaharian sebagai petani. Keberadaan lahan sawah memiliki arti yang penting bagi penduduk Jawa, khususnya penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani. Sebagaimana Wiradi dan Makali (2009) mengungkapkan bahwa umumnya telah diketahui, ekonomi pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa, didasarkan atas usaha pertanian. Selain bagi petani, keberadaan lahan pertanian juga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun kegiatan pembangunan justru berpusat di Pulau Jawa yang merupakan wilayah dengan sumberdaya yang sangat potensial untuk kegiatan pertanian. Kegiatan pembangunan yang dilakukan tidak terlepas dari faktor lain, seperti pertambahan penduduk. Pertambahan penduduk merupakan salah satu pemicu terhadap

1

Manusia modern yang dimaksud adalah manusia yang memiliki pandangan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan cara-cara yang modern, dalam hal ini pembangunan.

(14)

2

tingginya kebutuhan lahan. Semakin banyak penduduk, semakin gencar kegiatan ekonomi yang dilakukan. Pertambahan penduduk juga memicu terhadap kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, yaitu kebutuhan tempat tinggal. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa pertambahan penduduk ternyata mempengaruhi menyusutnya luas lahan pertanian. Kondisi ini terlihat jelas khususnya di Pulau Jawa sebagai pusat pembangunan. Pertumbuhan pembangunan dan ekonomi di Pulau Jawa menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk Jawa. Kepadatan penduduk ini bukan hanya terjadi karena tingginya angka kelahiran, tetapi juga karena banyak pendatang dari luar Jawa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sihaloho (2004), bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan tempat tinggal yang semakin meningkat. Kebutuhan tempat tinggal ini mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya permintaan terhadap lahan. Salah satu usaha untuk mengatasi kepadatan penduduk, dilakukan melalui konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman.

Selain untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang pesat memiliki andil dalam memicu adanya konversi lahan. Menurut Ashari3, faktor pendorong konversi lahan yang paling utama khususnya di Jawa adalah adanya kesempatan membeli lahan di tempat lain yang lebih murah. Kesempatan membeli lahan ini bermuara pada motif ekonomi yaitu penggunaan lahan untuk aktivitas non pertanian yang dipandang lebih menguntungkan.

Pada umumnya, konversi lahan terjadi pada wilayah yang dekat dengan pusat pertumbuhan Kota. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan cukup pesat karena jaraknya yang relatif dekat dengan pusat pertumbuhan Kota Jakarta. Hal ini menyebabkan pembangunan di wilayah Kabupaten Bogor semakin meningkat. Sejalan dengan itu, pertambahan penduduk di Kabupaten Bogor semakin meningkat baik penduduk asli maupun penduduk pendatang. Kondisi ini berdampak pada tingginya kebutuhan lahan untuk pemanfaatan non pertanian seperti pemukiman, industri, dan fasilitas penunjang lainnya seperti pembangunan rumah sakit, jalur transportasi, dan pasar. Aktivitas konversi lahan telah dilakukan di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor, salah satunya adalah Kecamatan Ciampea. Berdasarkan data penelitian Pambudi (2008), selama kurun waktu tahun 2000 – 2007 luas lahan pertanian di Kecamatan Ciampea mengalami penurunan dari 1.558 ha menjadi 1.286,4 ha. Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian akan berdampak negatif khususnya bagi kehidupan sosial ekonomi petani. Dampak yang ditimbulkan dapat dilihat secara makro maupun mikro. Secara makro, konversi lahan menyebabkan terganggunya ketahanan pangan dalam suatu wilayah karena penurunan stok pangan (beras). Sedangkan secara mikro, konversi lahan berdampak pada terganggunya ketahanan pangan di tingkat keluarga petani, menurunnya pendapatan keluarga petani dalam usahatani, serta hilangnya kesempatan petani dalam pertanian.

Penelitian ini menjadi penting karena konversi lahan semakin sulit dikendalikan. Kondisi ini terlihat jelas di Kecamatan Ciampea yang terus menerus

3

(15)

3 melakukan pembangunan khususnya perumahan di kawasan pertanian (lahan sawah). Kecamatan Ciampea merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi sebagai wilayah pertanian lahan basah. Namun seiring dengan perkembangan zaman, di kecamatan ini telah mengalami perubahan kebutuhan lahan dari sawah menjadi non sawah. Perubahan inilah yang akan menimbulkan pertanyaan besar mengenai faktor apa saja yang menyebabkan konversi lahan dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi petani. Berkaitan dengan perubahan kebutuhan lahan dari sawah menjadi non sawah, penting untuk dilihat lebih jauh mengenai sikap petani terhadap konversi lahan yang dilakukan. Sikap petani dilihat untuk mengetahui penilaian petani terhadap konversi lahan pertanian yang terus dilakukan oleh pihak luar. Hal ini didasari oleh dugaan bahwa pembangunan perumahan merupakan suatu tekanan bagi mereka (petani) untuk melakukan konversi lahan pertanian secara tidak langsung. Sikap ini ditunjukkan dengan sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif ditunjukkan oleh petani apabila mereka setuju terhadap konversi lahan pertanian. Sebaliknya, sikap negatif ditunjukkan oleh petani apabila mereka tidak setuju terhadap konversi lahan pertanian. Sikap negatif memiliki pengertian bahwa mereka tidak siap menerima perubahan dan menginginkan kondisi semula. Artinya, konversi lahan pertanian untuk pembangunan tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh masyarakat khususnya bagi petani.

Perumusan Masalah

Lahan memiliki sifat yang tetap secara kuantitas, sementara manusia beserta semua kebutuhannya bersifat dinamis sepanjang waktu. Artinya jumlah penduduk selalu berubah setiap waktunya. Perubahan ini cenderung ke arah pertambahan penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk, maka kebutuhan manusia akan meningkat pula. Kondisi ini dapat dilihat secara nyata di perkotaan yang secara umum memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Di perkotaan hampir tidak dapat ditemukan lahan kosong. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai pembangunan yang dilakukan sebagai aktivitas manusia untuk bertahan hidup. Artinya manusia memerlukan ruang gerak dengan segala aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara materi. Pembangunan yang dilakukan dapat berupa pembangunan untuk perekonomian maupun pembangunan untuk kebutuhan tempat tinggal, sehingga konversi lahan merupakan alternatif yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan terebut. Konversi lahan bukan hanya dilakukan di perkotaan, tetapi juga dilakukan di wilayah pedesaan yang dekat dengan kota. Hal ini terjadi karena wilayah kota tidak mampu menampung penduduk yang semakin padat. Salah satu fakta mengenai konversi lahan pertanian terjadi di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Konversi lahan memiliki pola yang berbeda baik menurut prosesnya maupun pelaku konversi. Lahan yang dikonversi juga memiliki perbedaan dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu, perlu dianalisis bagaimana pola-pola konversi lahan dan pemanfaatan lahan yang dikonversi di Desa Cihideung Ilir?

(16)

4

lahan yang digunakan. Bagi pengembang, lahan adalah investasi untuk melakukan berbagai pembangunan. Sementara bagi petani, lahan adalah sumber nafkah keluarga. Namun demikian, faktor penyebab konversi lahan tidak selalu berkaitan dengan pembangunan dan pertambahan penduduk. Oleh karena itu, perlu dianalisis lebih lanjut mengenai apa saja faktor yang menyebabkan konversi lahan pertanian di Desa Cihideung Ilir?

Pembangunan memang diperlukan, namun perlu pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya. Konversi lahan perlu dibatasi terutama untuk wilayah-wilayah yang memiliki lahan pertanian produktif. Berbagai kepentingan manusia telah berbenturan antara manusia satu dengan yang lainnya. Artinya, konversi lahan yang dilakukan di Desa Cihideung Ilir telah mengganggu kepentingan atau aktivitas masyarakat sekitar yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Kepentingan masyarakat khususnya petani terhadap lahan pertanian adalah sebagai tempat untuk mencari nafkah. Sementara konversi lahan di Desa Cihideung Ilir yang dilakukan secara besar-besaran hanya menguntungkan pihak-pihak luar yang berinvestasi membangun perumahan di atas lahan pertanian. Kondisi ini menggambarkan bahwa telah terjadi tumpang tindih kepentingan antar pihak. Pada umumnya, aktivitas konversi lahan pertanian memiliki dampak negatif terhadap petani dan masyarakat sekitarnya. Secara logika, ketika luasan sawah mengalami penurunan maka hasil yang diperoleh semakin sedikit, kesempatan kerja petani dalam pertanian semakin berkurang, hingga akhirnya pendapatan petani ikut mengalami penurunan. Bahkan dalam jangka panjang akan berdampak terhadap ketahanan pangan dari skala mikro hingga makro. Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu dianalisis lebih lanjut bagaimana dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani?

(17)

5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Menganalisis pola-pola konversi lahan dan pemanfaatannya setelah konversi

2. Menganalisis faktor-faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian 3. Menganalisis dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial

ekonomi petani

4. Menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai dampak yang terjadi akibat konversi lahan pertanian terhadap berbagai kondisi sosial ekonomi petani. Melalui penelitian ini juga dapat diketahui berbagai faktor penyebab konversi lahan pertanian. Secara umum, penelitian ini dapat berguna bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di suatu daerah dengan memperhatikan potensi wilayah.

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini berguna bagi masyarakat untuk memberikan gambaran mengenai konversi lahan pertanian mulai dari faktor penyebab konversi hingga dampak yang ditimbulkan terhadap kondisi sosial ekonomi petani. 3. Bagi Pelaku Konversi Lahan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penyadaran bagi para pelaku konversi lahan bahwa tindakan konversi lahan pertanian akan menimbulkan berbagai dampak, terutama bagi petani.

(18)
(19)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini akan menjelaskan mengenai acuan-acuan yang melandasi pemikiran terhadap permasalahan dalam penelitian. Beberapa acuan diperoleh dari laporan hasil penelitian, baik cetak maupun elektronik. Acuan tersebut memuat antara lain pola konversi lahan dan pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor penyebab konversi lahan, dampak konversi lahan terhadap kondisi sosial ekonomi petani, dan pengertian sikap, serta faktor yang mempengaruhi sikap.

Konversi Lahan

Konversi atau alih fungsi lahan memiliki pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia (Utomo 1992). Perubahan ini biasa terjadi pada penggunaan lahan untuk pertanian menjadi lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan nonpertanian. Menurut Utomo (1992), alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan bersifat sementara. Konversi lahan bersifat permanen terjadi ketika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri. Tetapi jika perubahan tersebut menjadi perkebunan tebu, maka konversi lahan sawah bersifat sementara, karena suatu saat dapat digunakan menjadi sawah kembali.

Pengertian lain juga diungkapkan oleh Agus (2004) bahwa konversi lahan sawah merupakan suatu proses yang disengaja oleh manusia (anthropogenic), bukan suatu proses yang alami. Artinya, manusia memiliki peranan penting dalam aktivitas konversi lahan pertanian. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai aspek, kebutuhan manusia terhadap lahan pertanian menjadi berkurang. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan konversi lahan banyak dilakukan pada lahan sawah beririgasi teknis. Demikian halnya dengan penelitian Rusastra dan Budhi (1997) yang mengungkapkan bahwa konversi lahan banyak dilakukan terhadap wilayah pertanian. Lebih jauh, Rusastra dan Budhi (1997) menjelaskan bahwa konversi lahan pertanian terjadi akibat adanya rambatan spasial dari pertumbuhan industri di sekitar wilayah pertanian. Dengan demikian, luasan lahan pertanian akan semakin menyusut jika terjadi konversi lahan pertanian secara terus menerus.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian Irawan (2005) menunjukkan bahwa selama tahun 2000-2002 luas konversi lahan untuk kegiatan pembangunan nonpertanian sebesar 110,16 ribu hektar per tahun (58,68% dari total luas sawah yang dikonversi). Menurut Irawan (2005), konversi lahan pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan oleh sektor pertanian dan sektor nonpertanian. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya persaingan terebut. Hal ini berkaitan dengan kepentingan dari masing-masing pihak secara sosial maupun ekonomi.

Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi

(20)

8

dibedakan menjadi dua. Pertama, konversi lahan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Pola ini didasari oleh motif tindakan untuk pemenuhan kebutuhan terhadap tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, maupun kombinasi dari keduanya. Kedua, konversi lahan yang diawali dengan alih penguasaan. Pada umumnya, pola konversi ini terjadi ketika pemilik lahan menjual lahannya kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah. Sedangkan jika ditinjau dari aspek menurut prosesnya, pola konversi lahan dapat dibedakan menjadi lambat dan cepat. Masih merujuk pada Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), alih fungsi secara lambat pada umumnya disebabkan oleh fungsi sawah yang tidak optimal. Sementara alih fungsi secara cepat disebabkan oleh perubahan fungsi lahan pertanian (sawah) menjadi kawasan pemukiman dan atau industri. Pola konversi lahan dapat ditemukan dalam beberapa penelitian yang dijelaskan melalui tabel berikut.

Tabel 1 Pola-pola konversi lahan berdasarkan hasil penelitian

Hasil penelitian

Aspek pola konversi lahan

Pelaku konversi lahan Proses konversi lahan Langsung oleh

Pada penelitian Sihaloho (2004), pola konversi lahan dapat diuraikan

menjadi konversi gradual berpola sporadis, konversi sistematik berpola „enclave‟

(21)

9 tersebut terletak pada pola spesifik konversi lahan. Hariyanto (2010) menguraikan pola konversi lahan menjadi sawah-tegalan, sawah-tegalan-permukiman, empang-tanah kering, empang/rawa-empang-tanah kering-permukiman/industri, empang-sawah, tegalan-permukiman, dan perkebunan-tegalan. Sementara penelitian Sumaryanto et al (1995) menunjukkan bahwa konversi lahan terjadi secara cepat dan sporadis. Konversi terencana ke penggunaan nonpertanian umumnya terjadi secara cepat dan langsung. Sedangkan konversi secara sporadis terjadi akibat makin turunnya kualitas sawah atapun makin rendahnya opportunity lahan tersebut.

Adapun penelitian Yunis (2001), Ilham et al (2005), dan Rusastra dan Budhi (1997) yang secara implisit mengemukakan pola konversi lahan terbagi ke dalam aspek menurut pelaku, yaitu terjadi peralihan penguasaan lahan dan aspek menurut proses konversi lahan yaitu terjadi secara cepat. Pada umumnya, lahan pertanian yang berada di suatu wilayah dikuasai oleh para pendatang dan investor akibat penjualan oleh para pemilik lahan sebelumnya. Secara umum, hal ini terjadi karena keterdesakan ekonomi para pemilik lahan sebelumnya (petani) yang mendorong untuk menjual lahan mereka kepada pihak lain. Disisi lain, masyarakat (petani) ingin melakukan perubahan dari pekerjaan sebagai petani menjadi pekerja di sektor lain (luar pertanian). Pandangan ini pada umumnya didasari oleh adanya persepsi petani terhadap pekerjaan di sawah yang kotor dan tidak bergengsi.

Faktor-faktor Penyebab Konversi Lahan

Pembahasan mengenai konversi lahan di suatu wilayah tidak terlepas dari faktor-faktor yang menyebabkan proses terjadinya konversi lahan, khususnya lahan pertanian. Dibalik praktik-praktik konversi lahan terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya. Merujuk pada Manuwoto (1992), secara umum pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu sosial atau kependudukan, pembangunan ekonomi, penggunaan jenis teknologi, dan kebijakan pembangunan makro.

Adapun Winoto (2005) menyebutkan terdapat lima faktor yang mempengaruhi konversi lahan, antara lain faktor kependudukan faktor ekonomi, faktor sosial budaya, perilaku myopic (mencari keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan kepentingan jangka panjang), serta lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada. Beberapa faktor inilah yang dapat mempengaruhi penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan lain di luar sektor pertanian. Membahas mengenai faktor penyebab konversi lahan selalu berkaitan dengan manusia sebagai pelaku konversi lahan serta segala aktivitasnya.

Faktor Sosial atau Kependudukan

(22)

10

kebutuhan pembangunan tempat tinggal. Persoalan lain adalah aktivitas manusia yang memerlukan lahan sebagai modal dalam melakukan proses produksi. Jika dikalkulasikan menurut jumlah penduduk dan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, maka kebutuhan terhadap lahan akan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar menjelaskan mengenai pertumbuhan penduduk menjadi faktor penyebab konversi lahan. Hasil penelitian Sihaloho (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan tempat tinggal yang semakin meningkat karena besaran keluarga di kelurahan ini meningkat paling tidak satu sampai dua rumah per KK (kepala keluarga) per satu generasi (misalnya 20 tahun). Sama halnya dengan hasil penelitian Sihaloho (2004), penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2005), juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk mempengaruhi peningkatan laju konversi lahan karena kebutuhan terhadap pemukiman. Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian Ruswandi (2005) bahwa semakin padat penduduk suatu desa, ternyata laju konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian semakin kecil. Sementara dalam penelitian Ilham et al. (2005), faktor sosial lainnya disebabkan oleh adanya persepsi bahwa profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi. Selain itu, sistem waris menyebabkan kepemilikan lahan yang semakin sempit yang menyebabkan petani menjual lahannya dan mencari pendapatan baru di bidang nonpertanian.

Faktor Ekonomi dan Kegiatan Pembangunan Ekonomi

Kegiatan ekonomi dan pembangunan sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan finansial masyarakat pada umumnya. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan ekonomi dan pembangunan seringkali harus mengorbankan aspek lain terkait dengan penggunaan lahan. Aspek lain yang dimaksud adalah aspek pertanian. Aktivitas pertanian seringkali dipandang sebelah mata sebagai kegiatan yang kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan aktivitas ekonomi lain yang berbasis industri. Hal ini pula yang mendasari pemerintah untuk melakukan pembangunan di bidang nonpertanian terutama industri. Kecenderungan ini menyebabkan kurangnya perhatian banyak pihak terhadap keberlanjutan kegiatan pertanian.

(23)

11 Penelitian lain juga menjelaskan bahwa alasan petani di Jawa melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, harga lahan yang cukup menarik keinginan petani untuk menjual lahannya, dan kondisi lahan yang berada dalam kawasan industri. Sangat jelas bahwa kegiatan ekonomi memegang peranan penting sebagai penyebab terjadinya konversi lahan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumaryanto et al (1995) memperkuat alasan tersebut, yaitu perubahan struktur perekonomian menyebabkan konversi lahan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya konversi lahan akibat usaha agribisnis seperti usaha tambak di kawasan Pantura. Selain itu, faktor harga tanah sawah juga mempengaruhi konversi lahan yang dapat ditunjukkan oleh hasil penelitian

Syafa‟at et al (1994) dalam Sumaryanto et al (1995) bahwa harga jual lahan yang menarik merupakan alasan utama petani melepaskan lahan sawahnya.

Kebijaksanaan Pembangunan

Merujuk pada Manuwoto (1992), kebijaksanaan pembangunan makro yang diambil oleh suatu pemerintah akan mempengaruhi terhadap pemilihan investasi yang ditanam dan pada gilirannya keadaan tersebut dapat mempengaruhi pengalihan fungsi lahan. Inilah dilema dalam pembangunan, di satu sisi pembangunan sangat diperlukan namun disisi lain pembangunan pada akhirnya dapat merambat pada lahan pertanian produktif.

Beberapa penelitian telah berhasil menggambarkan bahwa kebijaksanaan pembangunan dapat mempengaruhi terjadinya konversi lahan. Pada penelitian Sihaloho (2004) ditemukan bahwa kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah ternyata memiliki andil dalam aktivitas konversi lahan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2005, seluas 269,42 ha lahan Kelurahan Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman, yang terdiri dari 146,42 ha untuk permukiman penduduk dan 123 ha untuk real estate. Dijelaskan pula bahwa seiring dengan perubahan Kelurahan Mulyaharja dari Kabupaten menjadi wilayah Kota maka daerah ini menjadi prioritas pembangunan permukiman baru di Kota Bogor. Berdasarkan RTRW Kota Bogor Tahun 2009, alokasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya agraria adalah 8.942,79 ha (75,47%) wilayah Kota dialokasikan menjadi daerah permukiman.

(24)

12

per tahun (58,58% dari total luas sawah yang dikonversi). Diperoleh juga data bahwa secara nasional, alokasi terbesar konversi lahan digunakan untuk pembangunan perumahan sebesar 48,58%. Sementara alokasi untuk pembangunan jalan dan sarana publik lainnya sebesar 28,29%. Pada penelitiannya, ternyata di Pulau Jawa konversi lahan untuk pemukiman lebih besar daripada di luar Jawa. Tetapi konversi lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana lainnya lebih banyak terjadi di luar Jawa. Sebagian besar, konversi lahan disebabkan oleh kebutuhan manusia terhadap pembangunan di berbagai sektor. Namun dalam hal ini, sektor non pertanian menjadi unggulan dalam setiap pembangunan. Seperti halnya dalam penelitian Sumaryanto et al [tidak ada tahun] yang menunjukkan lebih dari 50 persen konversi lahan sawah digunakan untuk perumahan, prasarana, dan kawasan industri. Adapun Keputusan Presiden No.33 Tahun 1990 dalam Taneko (1992) mengenai penyediaan tanah maupun pemberian lokasi industri. Pada intinya, Keppres tersebut menetapkan bahwa:

“kawasan indsustri harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan tidak mengurangi tanah pertanian. permohonan tanah untuk industri yang berupa sawah irigasi ditolak. Juga permohonan tanah untuk pemukiman akan ditolak jika berada di tengah sawah beririgasi atau lahan pertanian lain.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, ternyata pembangunan dalam berbagai sektor nonpertanian memiliki andil yang cukup besar terhadap adanya konversi lahan pertanian. Peran pemerintah dalam kegiatan pembangunan sangat diperlukan dalam membuat kebijakan pembangunan yang disesuaikan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) pada masing-masing wilayah.

Dampak Konversi Lahan Pertanian

(25)

13 Sementara Firman (2005) mengungkapkan bahwa dampak konversi lahan terbagi atas dampak secara langsung dan tidak langsung. Dampak secara langsung dapat dilihat dari hilangnya lahan pertanian subur (prime agricultural land), hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lansekap, dan masalah lingkungan (seperti eksploitasi air tanah dalam yang berlebihan). Sementara dampak tidak langsung dapat dilihat dari influx penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.

Adapun penelitian Sihaloho (2004) yang menjelaskan bahwa secara umum konversi lahan telah menyebabkan perubahan struktur agraria yang mempengaruhi terjadinya perubahan pada aspek lain. Perubahan tersebut ditunjukkan dengan adanya kesenjangan dalam masyarakat (aspek sosiologis),

kesejahteraan masyarakat dalam kondisi „sulit‟ (aspek ekonomis), kondisi udara

semakin panas (aspek ekologis), perluasan akumulasi modal oleh para pemodal (aspek politis), dan sosial budaya. Perubahan struktur agraria yang terjadi dapat dilihat dari pemilikan tanah yang semakin sempit, hilangnya akses terhadap lahan bagi petani, berkurangnya peluang berusaha di sektor pertanian (seiring dengan perubahan petani pemilik menjadi petani penggarap dan petani penggarap menjadi buruh tani dan buruh tani sebagian tidak dapat bekerja di sektor pertanian). Sedikit berbeda dengan penelitian lainnya, penelitian Maftuchah (2005) menjelaskan bahwa dampak konversi lahan di pinggiran Kota Surakarta dapat memicu potensi konflik yang melibatkan kota lain. Lebih jauh, pada penelitian ini dijelaskan bahwa pengurangan lahan pertanian secara terus menerus akan memiliki dampak jangka panjang yaitu hilangnya lahan pertanian akan menyebabkan hilangnya sumberdaya lahan sebagai penghasil pangan.

Konversi Lahan dan Ketahanan Pangan

(26)

14

Terancamnya ketahanan pangan nasional dapat terlihat dari terpenuhinya ketahanan pangan di tingkat keluarga. Efek dari ketahanan pangan yang tidak tercukupi adalah bahaya kelaparan dan menyebabkan kerugian. Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) menguraikan bahwa kerugian akibat konversi lahan sawah berupa hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4,5 – 12,5 ton hektar/ tahun, tergantung pada kualitas lahan yang bersangkutan.

Penelitian Irawan (2005) telah berhasil menggambarkan bahwa konversi lahan akan berdampak pada terganggunya ketahanan pangan nasional. Penelitian ini menjelaskan bahwa permasalahan substantif ketahanan pangan tidak hanya mencakup kuantitas ketersediaan pangan, tetapi meliputi ketersediaan pangan menurut waktu dan akses masyarakat terhadap pangan. Irawan et al (2003) dalam Irawan (2005) menguraikan konversi lahan sawah sangat berpengaruh pada kuantitias ketersediaan pangan karena sekitar 90 persen produksi nasional dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya dari lahan kering. Secara singkat, Maftuchah (2005) juga menjelaskan mengenai hilangnya lahan pertanian akibat konversi lahan sawah sama dengan hilangnya sumberdaya lahan sebagai penghasil pangan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Hariyanto (2010) mengungkapkan hal yang sama bahwa konversi lahan memiliki dampak terhadap pemerintah yaitu mengganggu program ketahanan pangan nasional. Hasil yang sama dapat tergambar pada penelitian Ilham et al (2005) dan Rusastra dan Budhi (1997) yang menjelaskan mengenai dampak negatif konversi lahan sawah terhadap ancaman ketersediaan pangan nasional karena adanya penurunan produksi padi.

Konversi Lahan dan Kesempatan Kerja Petani

Pada beberapa penelitian, dijelaskan bahwa hilangnya lahan pertanian akan berdampak pada subyek agraria. Subyek agraria yang dimaksud dalam hal ini adalah para petani yang semula memiliki lahan pertanian dengan luas yang berbeda-beda. Dampak yang dirasakan berkaitan dengan sumber nafkah dan pekerjaan mereka dalam sektor pertanian. Telah diketahui bersama bahwa pada umumnya, pekerjaan petani berkaitan erat dengan lahan sawah. Tidak banyak petani yang memiliki pekerjaan sampingan di luar sektor pertanian. Oleh karena itu, hilangnya lahan pertanian akibat konversi lahan khususnya konversi lahan yang bersifat permanen akan cenderung menyebabkan hilangnya kesempatan kerja dalam sektor pertanian. Apalagi jika lahan pertanian telah di konversi menjadi lahan nonpertanian, para petani tersebut belum tentu mampu untuk bersaing jika diberi kesempatan untuk bekerja di luar sektor pertanian.

(27)

15 miskin masyarakat Aceh karena lahan garapan (pertanian) telah hilang dan berubah menjadi kawasan industri. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Ruswandi (2005) dan Rusastra dan Budhi (1997) bahwa pemilikan luas lahan pertanian yang semakin sempit bahkan petani kehilangan lahan berakibat pada semakin banyak jumlah petani yang melakukan usaha di luar sektor pertanian. Lebih jauh Rusastra dan Budhi (1997) menjelaskan bahwa konversi lahan terjadi akibat petani berlahan luas melakukan ekspansi pembelian tanah dan menekan eksistensi petani gurem sehingga mereka (petani gurem) tidak dapat berkecimpung di sektor pertanian. Hasil yang sama ditemukan dalam penelitian Ruswandi (2005) bahwa berkurangnya lahan sawah irigasi dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesempatan kerja buruh tani. Lebih jauh Irawan (2005) menjelaskan bahwa penurunan kesempatan kerja akan berdampak pada penurunan pendapatan petani. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sumaryanto et al [tidak ada tahun] menunjukkan hal yang sama bahwa luasan lahan pertanian yang semakin berkurang di Jawa berdampak pada hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani di wilayah Jawa. Pada penelitian ini, menjelaskan bahwa masyarakat lokal tidak dapat menikmati kesempatan kerja dari aktivitas ekonomi yang baru karena kalah bersaing dengan masyarakat pendatang.

Berdasarkan penelitian-penelitiaan yang ditemukan, secara umum petani sangat dirugikan oleh aktivitas konversi lahan. Hal ini bertentangan dengan pasal 18 UUPA yang berbunyi:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan

undang-undang.”

Dari undang-undang tersebut jelas bahwa seharusnya mereka (petani) mendapatkan ganti rugi yang layak atas hilangnya lahan-lahan pertanian yang mereka miliki sebelumnya. Namun pada kenyataannya tidak seperti itu, sebagian besar dari mereka hanya sedikit atau bahkan tidak memperoleh timbal balik yang positif dari aktivitas konversi lahan.

Penurunan Tingkat Pendapatan Petani

Berbicara mengenai konversi lahan dan dampaknya, petani sawah merupakan pihak yang terkena dampak paling besar dari aktivitas konversi lahan sawah. Sebagian besar dari mereka mengandalkan lahan sawah sebagai sumber nafkah. Oleh karena itu, sangat logis jika lahan pertanian semakin sempit atau bahkan hilang, kondisi ekonomi para petani akan semakin buruk pula. Berdasarkan Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), “pendapatan usahatani padi

adalah sekitar Rp. 2,9 juta/hektar/musim dari nilai output sekitar Rp. 5,2 juta”.

(28)

16

ekonomi pada rumah tangga petani. Data penelitian menunjukkan rata-rata pemilikan telah menurun sebesar 0,2 ha (53%) dibandingkan luas pemilikan tahun 1992 yang menyebabkan penurunan pendapatan usahatani tahun 2002 sebesar 21.738.965/Th (57,96%) dibanding pendapatan usahatani tahun 1992 .

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yunis (2001) mengenai pemisikinan masyarakat Aceh akibat konversi lahan. Kondisi masyarakat Aceh menjadi lebih miskin setelah para investor datang untuk melakukan penanaman modal dan melakukan konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri. Kehadiran para investor mampu mempercepat pemiskinan masyarakat Aceh yang saat itu sedang dilanda krisis moneter. Data mengenai penurunan tingkat pendapatan dapat diperoleh dari hasil penelitian Sumaryanto et al [tidak ada tahun] yang juga menjelaskan bahwa penyebab dari turunnya pendapatan petani adalah konversi lahan pertanian. Berdasarkan data tahun 1994 dan 1999 menunjukkan bahwa petani kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp. 2,3 juta dan kelompok buruh tani sebesar Rp. 900.000/ musim. Data lainnya yang menunjukkan penurunan pendapatan usahatani ditemukan pada penelitian Ruswandi (2005) yang dilakukan di Kecamatan Lembang dan Parongpong yaitu sebesar 21.738.965 (57,96%) pada tahun 2002 dibanding pendapatan usahatani tahun 1992. Kondisi ini disebabkan oleh pemilikan lahan pertanian yang menurun sebesar 0,2 Ha (53%) dibandingkan luas pemilikan tahun 1992. Secara ringkas, Irawan (2005) dan Ilham et al (2005) juga menyebutkan pendapatan petani akan cenderung menurun ketika konversi lahan terus dilakukan, bahkan mereka (petani) akan kehilangan sumber mata pencahariannya (Hariyanto 2010). Sedangkan pada penelitian Rusastra dan Budhi (1997), konversi lahan memiliki dampak positif dan negatif terhadap para petani. Dampak negatif dirasakan oleh petani berlahan sempit karena luas dan pemilikan lahan menurun sehingga terjadi penurunan pekerjaan bagi petani, yaitu menjadi buruh atau di luar pertanian. Sedangkan dampak positif dirasakan oleh petani berlahan luas karena mereka dapat melakukan ekspansi pembelian tanah dan menekan eksistensi para petani gurem. Kedua dampak tersebut akan bermuara pada penurunan dan peningkatan pendapatan petani. Dampak negatif pada petani berlahan sempit cenderung menurunkan tingkat pendapatan mereka. Sedangkan dampak negatif pada petani berlahan luas cenderung meningkatkan pendapatan mereka.

Sikap dan Karakteristik Individu

(29)

17 berasal dari faktor internal individu melainkan sebagai proses kesadaran yang sifatnya individual. Sementara Newcomb et al (1978: 76) mengungkapkan bahwa sikap-sikap dilihat sebagai penentu dalam keseluruhan organisasi individu, beberapa konsekuensi sikap-sikap terhadap tingkah laku adalah tidak langsung karena diperantarai oleh proses-proses psikologis lainnya. Lebih jauh Newcomb et al (1978: 77) mengatakan bahwa afek terhadap suatu objek dapat digolongkan sebagai positif atau negatif. Sikap-sikap positif memiliki kecenderungan bahwa orang yang bersangkutan melakukan pendekatan terhadap objek, sementara sikap-sikap negatif memiliki kecenderungan bahwa orang yang bersangkutan melakukan penghindaran terhadap objek. Newcomb et al (1978: 77) juga menyebutkan bahwa ada derajat-derajat kebaikan atau keburukan yang dapat dikenakan kepada objek. Berkaitan dengan derajat kebaikan atau keburukan dalam sikap, Suchman (1950) dalam Newcomb et al (1978: 77) menggambarkan penempatan orang-orang tentara pada suatu skala sikap yang bergerak dari sikap-sikap sangat negatif ke sikap-sikap-sikap-sikap sangat positif terhadap Korps Tentara Wanita (WAC)x). Berikut ini adalah gambar yang dapat menjelaskan derajat sikap.

Gambar 1 Representation of an attitude continuum Sumber: Suchman (1950) dalam Newcomb (1978: 78)

Adapun penelitian Nurjanah (2011: 53) yang menjelaskan bahwa karakteristik individu dapat mempengaruhi sikap seseorang. Karakteristik individu tersebut meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga, usia, dan pendidikan. Karakteristik sosial ekonomi dilihat dari beberapa variabel antara lain pendapatan, luas lahan pekarangan, status rumah dan pekarangan, dan pengeluaran dalam keluarga. Sementara Pertiwi (2011) mengungkapkan bahwa sikap dibentuk oleh faktor eksternal dan internal individu. Faktor internal individu meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan dalam keluarga.

Kerangka Pemikiran

Konversi lahan adalah perubahan fungsi lahan akibat aktivitas manusia. Konversi lahan yang dikaji adalah perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian (sawah) menjadi lahan non sawah. Lahan sawah pada umumnya terletak di wilayah pedesaan. Namun seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia di sektor non pertanian, keberadaan lahan pertanian semakin tergeser akibat konversi lahan. Wilayah yang mengalami konversi lahan pada umumnya wilayah yang dekat dengan perkotaan. Istilah lain yang digunakan adalah rambatan spasial

(30)

18

wilayah pertanian yang diakibatkan oleh kebutuhan lahan yang semakin tinggi untuk pembangunan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi lahan non sawah antara lain faktor sosial, ekonomi, dan kebijaksanaan pembangunan. Faktor sosial ditunjukkan dengan peningkatan jumlah penduduk yang mendorong kebutuhan lahan yang semakin tinggi. Jumlah penduduk yang semakin tinggi membutuhkan ruang untuk tempat tinggal yang semakin luas. Sementara faktor ekonomi ditunjukkan dengan keterdesakan ekonomi petani sehingga terpaksa menjual lahannya kepada pihak lain yang pada umumnya membutuhkan lahan untuk kegiatan pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan ditunjukkan dengan adanya campur tangan pemerintah dalam hal penggunaan lahan untuk pembangunan wilayah.

Faktor-faktor tersebut dapat mendorong konversi lahan dengan berbagai pola konversi dan pemanfaatan lahan yang dikonversi. Pola konversi lahan dapat dikategorikan konversi lahan menurut pelaku dan prosesnya. Sementara pemanfaatan lahan yang dikonversi meliputi pemanfaatan untuk aktivitas pertanian lain (peternakan, perikanan, atau perkebunan) dan lahan untuk non pertanian (pemukiman, industri, pertambangan, atau pembangunan sarana dan prasarana).

Konversi lahan memiliki dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi petani. Dampak sosial ekonomi petani ditunjukkan dengan ancaman terhadap ketahanan pangan keluarga, kesempatan kerja petani yang semakin berkurang dalam sektor pertanian, semakin menurunnya pendapatan petani dan semakin sempitnya penguasaan lahan (sawah) oleh petani. Penguasaan lahan nampaknya berpengaruh terhadap kehidupan petani yang pada umumnya bertumpu pada lahan pertanian4. Pada umumnya petani menjadikan lahan pertanian sebagai sumber nafkah keluarga. Apalagi bagi petani yang tidak memiliki pekerjaan lain di luar sektor pertanian. Oleh karena itu, sebagian besar aktivitas mereka dihabiskan dengan bercocok tanam di sawah.

Berbicara mengenai kehidupan petani, maka karakteristik petani menjadi penting untuk diuji hubungannya dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian. Karakteristik petani yang diuji meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan bertani, jumlah tanggungan dalam keluarga, tingkat pendapatan, serta luas dan penguasaan sawah oleh petani. Sikap petani terhadap konversi lahan dapat menggambarkan tindakan mereka terhadap aktivitas konversi lahan pertanian. Namun demikian, sikap petani tidak dikaji sebagai penyebab dari konversi lahan pertanian. Sikap ini hanya menunjukkan penilaian positif atau negatif oleh petani terhadap konversi lahan pertanian. Sikap petani yang memiliki penilaian negatif terhadap konversi lahan pertanian menunjukkan bahwa tindakan yang mereka harapkan adalah menghentikan konversi lahan. Sebaliknya, sikap positif terhadap konversi lahan menunjukkan bahwa mereka setuju terhadap konversi lahan. Gambaran sikap petani merupakan suara atau pendapat dari mereka yang memiliki harapan terhadap pertanian. Pendapat mereka dapat digunakan sebagai kritik terhadap pemangku kebijakan untuk bertindak adil terhadap petani dan merencanakan kebijakan-kebijakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.

4

(31)

19 Pada penelitian ini, terdapat variabel yang dikaji secara kualitatif dan kuantitatif. Variabel yang dikaji secara kualitatif adalah pola-pola konversi lahan pertanian dan pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor penyebab konversi lahan, dan dampak konversi terhadap kondisi sosial ekonomi petani. Sedangkan variabel yang dikaji secara kuantitaif adalah karakteristik petani yang terdiri dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan bertani, jumlah tanggungan dalam keluarga, tingkat pendapatan petani, serta luas dan penguasaan lahan (sawah) oleh petani.

Gambar 2 Kerangka Analisis Konversi Lahan Pertanian

Keterangan:

: Pengaruh/ Dampak : Terhadap

: Variabel yang dikaji secara kualitatif : Variabel yang dikaji secara kuantitatif Faktor Penyebab

7. Luas dan penguasaan lahan oleh petani

(32)

20

Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini meliputi hipotesis pengarah dan hipotesis uji. Hipotesis pengarah digunakan untuk variabel yang dikaji secara kualitatif. Sedangkan hipotesis uji digunakan untuk variabel yang diuji secara statistik (variabel kuantitatif).

Hipotesis pengarah dalam penelitian ini antara lain:

1. Faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor kebijakan pembangunan merupakan faktor penyebab konversi lahan

2. Konversi lahan yang terjadi dilihat melalui pola-pola konversi lahan dan pemanfaatan lahan yang dikonversi

3. Konversi lahan memiliki dampak terhadap kondisi sosial ekonomi petani seperti penurunan ketahanan pangan keluarga, penurunan kesempatan kerja dalam pertanian, penurunan pendapatan petani, dan perubahan pola penguasaan lahan oleh petani.

Sementara hipotesis uji dalam penelitian ini antara lain:

1. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

2. Terdapat hubungan antara usia dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

3. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

4. Terdapat hubungan antara status pekerjaan bertani dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

5. Terdapat hubungan antara jumlah tanggungan dalam keluarga dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

6. Terdapat perbedaan antara tingkat pendapatan dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

7. Terdapat hubungan antara luas dan penguasaan lahan oleh petani dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian.

Definisi Konseptual

Definisi konseptual untuk menjelaskan variabel yang diuji secara kualitatif antara lain:

1. Faktor penyebab konversi lahan adalah faktor-faktor yang menyebabkan lahan pertanian terkonversi menjadi lahan nonpertanian. Faktor tersebut antara lain faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor kebijaksanaan pembangunan.

2. Faktor sosial merupakan faktor penyebab konversi lahan akibat pertambahan jumlah penduduk yang memerlukan ruang gerak untuk hidup. 3. Faktor ekonomi merupakan keadaan ekonomi yang mendesak pelaku

konversi lahan untuk melakukan konversi.

(33)

21 5. Pola konversi lahan adalah motif yang mendasari tindakan untuk melakukan konversi lahan pertanian. Pola konversi lahan dapat dilihat dari aspek menurut pelaku konversi lahan dan aspek menurut prosesnya. 6. Penggunaan lahan yang dikonversi adalah cara memanfaatkan lahan

pertanian yang telah dikonversi. Penggunaan lahan yang dikonversi mencakup penggunaan untuk pemukiman, kawasan industri, dan kegiatan pembangunan seperti pembangunan infrastruktur, sarana, dan prasarana. 7. Dampak konversi lahan pertanian adalah dampak yang dirasakan oleh

petani, yaitu dalam kehidupan sosial ekonomi petani.

8. Kehidupan sosial ekonomi petani meliputi ketahanan pangan keluarga, pendapatan petani, dan kesempatan kerja bagi petani dalam sektor pertanian.

9. Pendapatan petani adalah penerimaan petani dalam bentuk uang yang diperoleh dari hasil pengolahan lahan pertanian.

10.Ketahanan pangan keluarga adalah strategi keluarga petani dalam mempertahankan ketersediaan pangan5 dalam keluarga.

11.Kesempatan kerja petani adalah peluang bagi responden untuk dapat bekerja di sawah (mengolah sawah mulai dari penanaman hingga pemanenan).

Definisi Operasional Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain:

1. Jenis kelamin adalah karakteristik biologis yang dimiliki oleh responden sebagaimana yang tercantum dalam kartu identitas.

a. Laki-laki (1) b. Perempuan (2)

2. Usia adalah rentang hidup responden mulai dari masa kelahiran hingga penelitian ini dilakukan. Usia responden dikategorikan berdasarkan sebaran data responden di lapangan. Kategori usia responden dapat dilihat sebagai berikut:

a. Kategori usia muda: < 45 tahun (skor 1) b. Kategori usia sedang: 45-62 tahun (skor 2) c. Kategori usia tua: > 62 tahun (skor 3)

3. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Kategori tingkat pendidikan dapat dilihat sebagai berikut:

a. Tingkat pendidikan tergolong tinggi: ≥ SMA (Skor 3)

b. Tingkat pendidikan tergolong sedang: SMP (Skor 2) c. Tingkat pendidikan tergolong rendah: SD (Skor 1)

4. Status pekerjaan bertani adalah status pekerjaan yang dimiliki oleh responden dalam mengolah sawah. Status pekerjaan bertani dikategorikan menjadi bertani sebagai pekerjaan utama dan bertani sebagai pekerjaan sampingan. Kategori dan skor status pekerjaan bertani dapat dilihat sebagai berikut:

5

(34)

22

a. Skor 2 untuk status pekerjaan bertani sebagai pekerjaan utama b. Skor 1 untuk tatus pekerjaan bertani sebagai pekerjaan sampingan 5. Jumlah tanggungan dalam keluarga adalah jumlah individu yang ada

dalam keluarga responden yang masih ditanggung biaya hidupnya oleh responden. Keluarga responden meliputi anak, istri, saudara, orang tua, atau orang lain yang dianggap keluarga oleh responden. Biaya hidup adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik secara biologis maupun sosial. Biaya hidup meliputi biaya sandang, pangan, pakan, pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Jumlah tanggungan dalam keluarga dikategorikan berdasarkan sebaran data responden di lapangan. Skor ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan dalam keluarga responden. Semakin banyak jumlah tanggungan dalam keluarga responden, skor akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Kategori jumlah tanggungan dalam keluarga dapat dilihat sebagai berikut:

a. Jumlah tanggungan dalam keluarga tergolong sedikit jika responden tidak memiliki tanggungan atau memiliki tanggungan sebanyak 1-2 (skor 1)

b. Jumlah tanggungan dalam keluarga tergolong sedang jika responden memiliki tanggungan sebanyak 3-5 orang (skor 2)

c. Jumlah tanggungan dalam keluarga tergolong banyak jika responden memiliki tanggungan sebanyak 6-7 orang (skor 3).

6. Tingkat pendapatan adalah total pendapatan yang diterima oleh responden (petani) dari hasil pengolahan sawah yang ditambah dengan pendapatan lain (selain mengolah sawah) yang dihitung dalam satu tahun. Tingkat pendapatan dikategorikan berdasarkan sebaran data responden di lapangan. Skor ditentukan berdasarkan tingkat pendapatan responden. Semakin tinggi tingkat pendapatan responden, skor akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Kategori tingkat pendapatan responden dapat dilihat sebagai berikut:

a. Tingkat pendapatan rendah: < Rp. 8.000.000 per tahun

b. Tingkat pendapatan sedang: Rp. 8.000.000 – Rp. 24.000.000 per tahun c. Tingkat pendapatan tinggi: > Rp. 24.000.000 per tahun.

7. Luas dan penguasaan sawah oleh petani adalah ukuran sawah yang dapat diakses oleh petani dan memiliki pola penguasaan didalamnya. Luas dan penguasaan sawah oleh petani dikategorikan menjadi petani berlahan luas, petani berlahan sempit, dan petani tak berlahan. Petani tak berlahan adalah orang yang tidak memiliki lahan sama sekali dan bekerja sebagai buruh di sawah milik orang lain. Penggarap dan penyewa adalah orang yang tidak memiliki lahan tetapi menggarap atau mengolah sawah milik orang lain. Ukuran sawah ditentukan berdasarkan data emik (data lapangan). Kategori luas dan penguasaan lahan oleh petani datap dilihat sebagai berikut:

a. Petani yang tidak memiliki lahan tergolong buruh tani

b. Petani yang memiliki lahan dengan luas < 0,5 ha tergolong petani berlahan sempit

(35)
(36)
(37)

25

PENDEKATAN LAPANGAN

Pendekatan lapangan menggambarkan mengenai pendekatan penelitian yang digunakan di lapangan. Pendekatan lapangan meliputi lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik pengolahan dan analisis data. Lokasi dan waktu penelitian menggambarkan mengenai pemilihan lokasi dan waktu yang diperlukan untuk penelitian mulai penyusunan proposal hingga laporan penelitian. Teknik pengumpulan data merupakan pendekatan yang digunakan untuk menggambarkan cara pengumpulan data baik data kualitatif maupun data kuantitatif. Teknik pengolahan dan analisis data merupakan pendekatan untuk menggambarkan cara pengolahand data yang diperoleh dari hasil penelitian yang kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan dan hipotesis yang diajukan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya terhadap lokasi tersebut. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa Kecamatan Ciampea merupakan kawasan pengembangan perkotaan yang telah mengalami konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi di Kecamatan Ciampea dialami oleh beberapa desa yang dekat dengan lingkungan kampus. Desa Cihideung Ilir merupakan salah satu desa yang terkena konversi lahan pertanian dalam skala besar yang dilakukan oleh pihak luar atau pengembang perumahan. Pembangunan perumahan telah dilakukan sejak tahun 1990-an (masa orde baru) hingga saat ini. Berdasarkan kondisi lokasi, peneliti memperoleh gambaran bahwa di desa ini dapat diteliti mengenai pola konversi serta pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor penyebab konversi lahan, dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani sekaligus melihat sikap petani terhadap konversi lahan pertanian.

(38)

26

Tabel 2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2012-2013

Kegiatan Mei Juni

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diperlukan untuk pengambilan data berupa angka. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik petani dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian. Data kuantitatif diperoleh melalui metode survai, yaitu pengambilan data dari responden yang merupakan sampel dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner (Singarimbun, 1989).

Penentuan responden dilakukan dengan mengambil populasi petani di RW 01 Desa Cihideung Ilir. Penentuan populasi dilakukan dengan mendata penduduk RW 01 Desa Cihideung Ilir yang bekerja sebagai petani dan buruh tani. Data petani dan buruh tani diperoleh melalui data yang tercatat di keanggotaan kelompok tani dan pendataan secara langsung oleh masing-masing ketua RT.

(39)

27 yang terpilih pada masing-masing lapisan adalah responden yang digunakan dalam penelitian.

Pendekatan kualitatif diperlukan untuk pengambilan data yang bersifat deskriptif. Pendekatan ini digunakan sebagai data pendukung bagi data yang bersifat kuantitatif. Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengetahui informasi yang lebih dalam mengenai pola konversi lahan serta pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor-faktor penyebab konversi lahan, dan dampak konversi lahan terhadap kondisi sosial ekonomi petani. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan studi kasus. Studi kasus sekaligus wawancara mendalam dilakukan pada individu yang pernah melakukan konversi lahan pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung (dilakukan alih penguasaan lahan terlebih dahulu).

Penelitian ini menggunakan lima kasus sebagai gambaran mengenai berbagai kasus konversi lahan yang telah dilakukan. Lima kasus tersebut dipilih secara purposive melalui informasi yang diperoleh dari informan. Informan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengetahui tentang permasalahan konversi lahan pertanian di Desa Cihideung Ilir. Informan tersebut meliputi aparat pemerintahan desa dan ketua kelompok tani.

Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil kuesioner diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SPSS 16.0 for windows. Pengolahan data meliputi memasukkan data, membuat tabel frekuensi atau tabel silang, dan mengedit data (Effendi et al, 1989). Data yang diperoleh dimasukkan dalam buku kode (Microsoft Excel 2010) yang disusun berdasarkan variabel penelitian. Setelah data tersusun, dilakukan pengecekan dan pengeditan terhadap data yang salah. Tahap selanjutnya adalah menganalisis data melalui SPSS 16.0 for windows. Analisis data dilakukan dengan uji korelasi Ranking Spearman untuk data yang bersifat ordinal dan Chi Square untuk data yang bersifat nominal.

(40)
(41)

29

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Pada bagian ini akan dibahas mengenai lokasi penelitian yang akan memberikan gambaran umum mengenai kondisi wilayah, struktur agraria, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Gambaran umum tersebut menjadi penting untuk diketahui sebagai bahan pengantar terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan. Gambaran umum mengenai kondisi wilayah dihantarkan dalam lingkup kecamatan terlebih dulu kemudian akan mengerucut pada lingkup desa. Hal ini dilakukan untuk mempertajam pemahaman mengenai lokasi penelitian.

Kondisi wilayah menggambarkan luas wilayah, tata letak serta batas-batas administratif, bentuk wilayah, akses transportasi, dan penggunaan lahan. Penelitian ini berkaitan erat dengan aspek keagrariaan, oleh karena itu perlu diketahui mengenai struktur agraria di lokasi penelitian. Struktur agraria meliputi sumberdaya agraria, penguasaan lahan pertanian, hubungan antar subyek agraria, dan budaya bagi hasil. Kondisi sosial ekonomi masyarakat menggambarkan keadaan masyarakat berdasarkan kependudukan, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan yang menggambarkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Kondisi Wilayah

Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor bagian barat dengan luas wilayah sekitar 3.304,42 Ha. Letak kecamatan tidak jauh dari lokasi kampus IPB Dramaga. Kecamatan ini termasuk salah satu wilayah pengembangan Kabupaten Bogor. Akses yang cukup mudah untuk mencapai pusat kota memberi peluang bagi Kecamatan Ciampea untuk dilakukan berbagai pembangunan. Salah satu pembangunan yang gencar dilakukan adalah pembangunan perumahan. Pembangunan ini merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak luar sebagai salah satu cara untuk melakukan perkembangan ekonomi wilayah. Secara geografis, Kecamatan Ciampea berbatasan dengan beberapa kecamatan lain yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dramaga (Sumber: monografi Kecamatan Ciampea 2012).

Gambar

Gambar  2  Kerangka Analisis Konversi Lahan Pertanian
Tabel 2  Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2012-2013
Tabel 3  Luas wilayah dan  persentasenya menurut penggunaan lahan di Desa Cihideung Ilir tahun 2009
Tabel 4  Jumlah penduduk menurut usia dan jenis kelamin tahun 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

penyebab tertinggi kasus ekstraksi gigi permanen antara daerah Perkotaan dan. daerah Perdesaan di

perdesaan dan perkotaan relatif tidak berbeda. b) Tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga miskin di wilayah perdesaan relatif lebih kecil dibandingkan yang tinggal di wilayah

Analisis Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah Kota Surakarta ... Analisis Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan

pekarangan di perdesaan dan perkotaan dari aspek sosial dan ekonomi serta menyarankan rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan pekarangan yang sesuai untuk kawasan perdesaan

Penelitian dilaku- kan di daerah perkotaan (Kelurahan Kutabanjarnegara dan Parakancanggah) dan perdesaan (Desa Klampok, Tapen, Wana- dadi, dan Singamerta) di

___________, Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak. Bumi dan Bangunan Perdesaan

Di Kabupaten Bolaang Mongondow, persiapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dengan Bidang

Penelitian dilaku- kan di daerah perkotaan (Kelurahan Kutabanjarnegara dan Parakancanggah) dan perdesaan (Desa Klampok, Tapen, Wana- dadi, dan Singamerta) di