• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah (Kasus Peternak Anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah (Kasus Peternak Anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia mempunyai banyak potensi agribisnis yang sangat besar dan beragam yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, potensi yang di miliki tersebut belum dapat di kembangkan sedemikian rupa, sehingga sektor agribisnis dapat menjadi tulang punggung perekonomian yang kuat. Terdapat kekhawatiran dimana sektor ini akan mengalami penurunan seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh sektor ini, sehingga menyebabkan sektor agribisnis Indonesia menjadi semakin tidak terarah dan semakin mengalami keterpurukan.

Sektor agribisnis seharusnya menjadi sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Namun, kenyataannya kebanyakan dari sektor ini kurang mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah, mulai dari proteksi kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini. Meskipun demikian, sektor agribisnis merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan tenaga kerja dan sebagian besar penduduk Indonesia tergantung pada sektor ini. Upaya peningkatan produk-produk agribisnis hanya difokuskan pada komoditas-komoditas tertentu seperti komoditas-komoditas kebutuhan pokok, sedangkan komoditas-komoditas potensial lain seperti pada sub sektor tanaman pangan, peternakan, perkebunan masih belum berkembang dengan baik.

(2)

itu pembangunan sub sektor peternakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan pertanian, perlu dilakukan secara bertahap dan berencana agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan data Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian dari tahun 2006 hingga 2009 terlihat bahwa sektor peternakan memberikan kontribusi yang cukup signifikan untuk perekonomian Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari Nilai Produk Domestik Bruto dari tahun 2006 hingga 2009 dalam Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Tahun 2008-2011

Lapangan Usaha Nilai PDB (Dalam Milyar Rupiah

Trend Rata-rata

(%) 2008 2009 2010* 2011**

Tanaman Bahan Makanan 142.000 148.691 151.500 153.408 2,62

Tanaman Perkebunan 44.785 45.887 47.110 48.964 3,02

Peternakan 35.425 36.743 38.214 39.929 4,07

Kehutanan 16.543 16.793 17.249 17.361 1,63

Perikanan 45.866 48.253 50.661 54.064 5,64

* : Angka Sementara ** : Angka Sangat Sementara Sumber : Badan Pusat Statistik (2009)1

Tabel 1 menunjukkan adanya kecenderungan nilai PDB yang semakin meningkat dari setiap lapangan usaha pertanian, termasuk peningkatan pada lapangan usaha sektor peternakan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,07 persen. Peningkatan nilai PDB tersebut menunjukkan bahwa sektor peternakan mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia karena telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan nasional.

Salah satu komoditas peternakan yang masih mempunyai peluang pengembangan cukup luas di Indonesia adalah sapi perah hal ini dikarenakan produksi susu segar dalam negeri diperkirakan memberikan andil sekitar 25 persen dari kebutuhan susu nasional (dengan tingkat konsumsi sekitar 6 liter/kapita/tahun), dengan demikian, kebutuhan susu nasional sebagian besar masih dipenuhi dari susu impor baik sebagai bahan baku ataupun sebagai produk

1

(3)

olahan (finished products)2. Menurut Daryanto (2007) dilihat dari sisi konsumsi, sampai saat ini konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk susu masih tergolong sangat rendah bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Konsumsi masyarakat Indonesia hanya 8 liter/kapita/tahun itu pun sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung susu.

Seiring bertambahnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk Indonesia, maka akan berpengaruh pada semakin membaiknya kesadaran masyarakat mengenai kesehatan dan gizi sehingga diperkirakan permintaan susu akan meningkat. Peluang peningkatan konsumsi tersebut harus dimanfaatkan dengan baik. Namun, peluang tersebut masih mengalami kendala karena usaha peternakan sapi perah di Indonesia sampai saat ini masih banyak didominasi oleh usaha sapi perah rakyat yang dicirikan dengan banyak ketertinggalannya di dalam memacu peningkatan produksi, baik dari segi hasil maupun kualitasnya. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2, dimana tahun 2001 hingga 2009 jumlah populasi sapi perah dan tingkat produksi susu nasional tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Tabel 2. Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Nasional Tahun 2001-2009

Tahun Sapi Perah

(000 Ekor) Trend (%)

Produksi Susu (Ton)

Trend (%)

2001 347 - 479,947

-2002 358 3,17 493,375 2,8

2003 374 4,47 553,442 12,17

2004 364 -2,75 549,945 -0,63

2005 361 -0,82 535,960 -2,54

2006 369 2,22 616,548 15,04

2007 374 1,36 567,682 -7,93

2008 458 22,46 646,953 13,96

2009 475 3,71 827,247 27,87

Rata-Rata 386 4,23 585,678 7,59

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2010 (diolah)3

2

Model Usaha Agribisnis Sapi Perah. http://agribisnews.com. (diakses tanggal 17 agustus

2011)

3

(4)

Dilihat secara nasional, jumlah populasi sapi perah dari tahun 2001 sampai dengan 2009 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 4,23 persen. Begitu pula dengan produksi susu segar dari tahun 2005 hingga 2009 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 7,59 persen dengan jumlah produksi tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 827.247 ton. Data tersebut mengindikasikan bahwa perkembangan populasi sapi perah terus meningkat seiring meningkatnya permintaan susu segar dipasaran. Kondisi ini di perkirakan akan terus meningkat di tahun mendatang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi susu segar sehingga hal ini akan berpengaruh pada tingginya permintaan susu segar dipasaran, yang akan berdampak pada peningkatan populasi dan produksi sapi perah.

(5)

Tabel 3. Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2010

Tahun Populasi Ternak

(ekor) Trend (%)

Produksi Susu

(Ton) Trend (%)

2001 84.934 - 184.830

-2002 91.219 7,40 198.510 7,40

2003 95.513 4,71 207.854 4,71

2004 98.958 3,61 215.351 3,61

2005 92.770 -6,25 201.852 -6,27

2006 97.367 4,95 211.889 4,97

2007 103.489 6,29 225.212 6,29

2008 111.250 7,50 242.102 7,50

2009 117.337 5,47 256.440 5,92

2010 120.475 2,67 262.176 2,24

Rata-Rata 101.331 4,04 220.622 4,04

Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2010 (diolah)4

Berdasarkan data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dari tahun 2001 hingga 2010 produksi susu sapi perah di Provinsi Jawa Barat rata-rata mengalami pertumbuhan sebesar 4,04 persen. Pada tahun 2002 sampai 2004 produksi susu mengalami peningkatan namun, pada tahun 2005 produksinya mengalami penurunan sebesar 6,27 persen. Penurunan tersebut disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah populasi ternak sapi perah pada tahun tersebut. Selanjutnya, pada tahun 2006 hingga 2010 produksi susu sapi perah mengalami peningkatan kembali seiring dengan bertambahnya jumlah populasi sapi perah. Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah populasi ternak dan produksi susu di Provinsi Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang berfluktuatif.

Kemampuan produksi susu segar di Provinsi Jawa Barat tidak terlepas dari kontribusi masing-masing kabupaten dan kota yang menjadi wilayah sentra penghasil susu segar. Sentra produksi susu sapi di Jawa Barat tersebar di berbagai kabupaten/kota dengan jumlah peternak sapi perah yang beragam, baik yang mengusahakan ternaknya secara perseorangan maupun dengan membentuk

4

(6)

kelompok ternak. Daerah yang menjadi sentra produksi susu sapi perah di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4.Peringkat 10 Besar Daerah Penghasil Susu Di Jawa Barat Tahun 2006-2010 (Ton)

No Kab/Kota

Tahun Trend

Rata-Rata (%)

2006 2007 2008 2009 2010

1 Bandung 115.780 117.438 122.591 126.221 130.389 2,66

2 Garut 30.808 34.730 35.248 36.205 37.653 4,08

3 Sumedang 14.302 18.981 21.205 21.412 20.228 8,99

4 Bogor 11.149 11.464 12.855 15.518 15.860 7,57

5 Kuningan 12.711 11.181 11.297 13.751 14.372 4,60

6 Sukabumi 9.138 9.895 10.224 10.531 10.994 3,80

7 Cianjur 4.146 4.578 6.233 7.088 7.947 16,28

8 Tasikmalaya 3.414 3.578 3.828 4.579 5.271 9,29

9 Kota Depok 2.170 1.943 1.554 1.741 929 -13,02

10 Kota Bogor 1.432 1.782 1.965 2.059 2.022 7,54

Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat , 2010. (diolah)5

Berdasarkan data pada Tabel 4 diketahui bahwa produksi susu segar di Kabupaten Bogor dari tahun 2006 hingga 2010 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 7,57 persen. Data tersebut mengindikasikan bahwa produksi susu di Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan dari setiap tahunnya, artinya permintaan susu segar di wilayah ini terus meningkat.

Perkembangan usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat didukung oleh keberadaan koperasi susu yang menaungi peternak, selain itu juga disukung pabrik pengolahan susu yang kebutuhan pasokan bahan baku susu segarnya terus mengalami peningkatan. Koperasi yang menjadi wadah bagi para peternak sapi perah di Kabupaten Bogor ini adalah Koperasi Unit Desa Giri Tani yang beralamat di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. KUD Giri Tani mempunyai tujuan yaitu untuk membantu para peternak sapi perah yang sebagian besar merupakan peternak kecil sebagai tempat untuk menampung susu

5

(7)

yang nantinya akan dijual ke IPS, penyedia sarana produksi, pelayanan medis dan kesehatan hewan.

Kecamatan Megamendung merupakan salah satu sentra usahaternak sapi perah di Kabupaten Bogor, sehingga beternak sapi perah merupakan mata pencaharian penduduk setempat. Peternak sapi perah di kawasan ini tergabung dalam Kelompok Ternak Mekar Jaya yang merupakan anggota KUD Giri Tani. Usahaternak sapi yang dijalankan masih secara konvensional dengan menggunakan teknologi sederhana. Pada awalnya, orientasi usaha beternak sapi perah ini hanya sebagai pekerjaan sampingan dari usaha bercocok tanam yang merupakan usaha pokok. Namun, seiring perubahan jaman dan perkembangan teknologi usaha, bercocok tanam tidak lagi memberikan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Akibatnya sebagian petani di kawasan ini beralih memilih usaha beternak sapi perah sebagai usaha utama.

Kelompok Ternak Mekar Jaya dibentuk dengan tujuan sebagai wadah organisasi bagi peternak sapi perah di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor yang sebagian besar merupakan peternak rakyat dengan tingkat produksi susu yang masih rendah yitu sekitar 8-10 liter per ekor per hari. Maka dari itu, perlu upaya untuk meningkatkan produksi susu dengan menganalisis faktor-faktor produksi apa yang berpengaruh terhadap produksi susu di tingkat peternak agar penerimaan peternak dari hasil penjualan susu dapat meningkat.

1.2 Perumusan Masalah

Usaha peternakan sapi perah merupakan salah satu usaha di bidang pertanian yang tidak dapat diabaikan perannya dalam menopang perekonomian nasional. Berdasarkan data populasi dan produksi susu sapi perah yang dikeluarkan oleh Dirjen Peternakan-Departemen Pertanian (2008) menyebutkan, bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan produksi susu sapi perah. Namun, peningkatan ini tidak diikuti oleh naiknya produktivitas6.

6

(8)

Sampai saat ini hampir sebagian besar produksi susu segar dalam negeri dihasilkan oleh koperasi, dimana susu segar dari peternak akan ditampung di koperasi. Koperasi berperan sebagai lembaga pengumpul dan penyalur susu dari peternak yang nantinya akan dipasok ke IPS. Disinilah peran penting koperasi sangat dibutuhkan bagi para peternak sapi perah, karena selain sebagai perantara dalam rantai pemasaran antara peternak dengan pihak IPS juga berperan dalam memberikan pelayanan kepada anggotanya sebagai penyedia input dan sarana produksi, pembinaan terhadap peternak, pemberian kredit sapi, simpan pinjam, pelayanan kesehatan dan sebagainya. Hal ini dilakukan oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Kelompok Ternak Mekar Jaya yang juga merupakan anggota Koperasi Unit Desa (KUD) Giri Tani di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Koperasi ini menyalurkan susu segar dari para peternak untuk di salurkan ke IPS yaitu PT Cisarua Mountain Diary atau yang lebih dikenal dengan PT Cimory.

Penerimaan peternak anggota kelompok ternak dari hasil penjualan susu segar sangat dipengaruhi oleh harga susu yang diterima peternak. Sementara itu harga susu yang diterima peternak sangat dipengaruhi oleh beban biaya operasional koperasi, sehingga harga susu yang diterima peternak merupakan harga susu yang telah dikurangi oleh biaya operasional koperasi. Kondisi tersebut tidak akan terjadi apabila produksi susu dari para peternak optimal, namun pada kenyataannya hal tersebut masih menjadi masalah baik bagi koperasi maupun bagi para peternak seperti yang dihadapi oleh peternak anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya.

Produksi rata-rata sapi yang dipelihara peternak masih tergolong rendah yaitu sekitar 8-10 liter per ekor per hari7, sedangkan produksi ideal seharusnya dapat mencapai 12-15 liter per ekor per hari. Jenis sapi yang dipelihara oleh peternak sebagian besar adalah jenis sapi peranakan Fries Holland (FH) yang mempunyai produksi susu paling tinggi diantara jenis sapi yaitu sekitar 15-20 liter per ekor per harinya. Kualitas dan kuantitas susu sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor produksi antara lain faktor pemberian pakan (konsentrat, hijauan, ampas tahu), pemberian obat-obatan dan vitamin, pemberian air, dan tenaga kerja.

7

(9)

Selain itu, terdapat faktor non teknis yang mempengaruhi seperti bangsa atau rumpun sapi, lama bunting, masa laktasi, umur sapi, selang beranak, masa kering serta frekuensi pemerahan.

Peningkatan produksi susu sapi perah yang diusahakan oleh peternak dapat dilakukan dengan penambahan input produksi seperti konsentrat dan air ataupun dengan meningkatkan skala usaha peternak dengan menambah jumlah populasi sapi laktasi yang dipelihara oleh peternak. Namun, usaha peningkatan baik dengan cara penambahan input produksi maupun penambahan jumbah populasi sapi laktasi tersebut masih terkendala pada ketebatasan sumberdaya terutama modal untuk membeli sapi, pakan konsentrat serta obat-obatan dan vitamin. Pengeluaran biaya input yang tinggi akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh peternak.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa harga input terutama konsentrat terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Namun, kondisi tersebut tidak diikuti dengan kenaikan harga jual susu sehingga menyebabkan biaya operasional yang harus dikeluarkan peternak menjadi semakin besar dan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh peternak. Perkembangan harga konsentrat dari tahun 2008 hingga 2012 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perkembangan Harga Pakan Konsentrat di KUD Giri Tani dan Harga Jual Susu Sapi Perah Peternak Anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya Tahun 2007 hingga 2012

No Tahun

Harga Konsentrat

(Rp/Kg)

Trend (%)

Harga Jual Susu (Rp/liter)

Trend (%)

1 2008 1,200.00 - 3,300.00

-2 2009 1,400.00 16,67 3,300.00

-3 2010 1,500.00 7,14 3,350.00 1,52

4 2011 1,800.00 20.00 3,500.00 4,48

5 2012 2,000.00 11,11 3,500.00

-Rata-rata 13,73 3.00

Sumber: KUD Giri Tani dan Kelompok Ternak Mekar Jaya 2012 (diolah)

(10)

untuk harga jual susu tidak mengalami kenaikan disetiap tahunnya dari tahun 2007 hingga 2012 harga jual susu hanya mengalami kenaikan rata-rata sebesar 3.00 persen saja. Dengan demikian biaya operasional yang dikeluarkan oleh peternak untuk membeli input produksi lebih lebih besar dibandingkan dengan penerimaan dari hasil penjualan susu. Ketidakseimbangan ini akan berakibat pada semakin berkurangan pendapatan yang diterima oleh peternak. Hal ini juga merupakan permasalahan yang dihadapi peternak terkait dengan perhitungan pengeluaran dan pendapatan peternak terhadap usahaternaknya . Maka dari itu, perlu dilakukan pengkajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah agar diketahui upaya untuk mengelola produksi susu agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatan peternak sapi perah sehingga peternak dapat mengambil keputusan terbaik untuk kelangsungan usahaternak sapi perah yang diusahakan

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Mengapa produksi susu rendah?. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah yang dipelihara oleh peternak anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya.

2. Bagaimana pengaruh produksi susu terhadap tingkat pendapatan peternak anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya dalam menjalankan usahaternak sapi perahnya.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hasil perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah yang dipelihara peternak anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya

(11)

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para peternak sapi perah di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor dalam meningkatkan produksi susu usahaternak sapi perahnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Memberikan tambahan pengetahuan bagi penulis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sapi perah yang dipelihara peternak anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dibatasi pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu pada bulan Januari Tahun 2012 dan bukan mengenai analisis produktivitas dikarenakan adanya kesulitan dalam memperoleh data produktivitas untuk per ekor sapi.

2. Penetapan variabel atau faktor-faktor produksi yang dianalisis dalam penelitian ini berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu dan disesuaikan dengan input-input yang digunakan untuk memproduksi susu di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Faktor-faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi susu sapi perah dan ditetapkan sebagai variabel dalam penelitian ini adalah masa laktasi, hijauan, konsentrat, ampas tahu, mineral, air dan tenaga kerja. Sedangkan faktor produksi lain seperti umur sapi serta obat-obatan dan vitamin, tidak diakomodasi sebagai variabel dalam penelitian ini, karena kesulitan dalam penaksiran umur sapi serta jumlah penggunaan obat-obatan dan vitamin yang digunakan.

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik mencatat bahwa subsektor peternakan menyumbang Rp. 36,743 Milyar dari jumlah total PDB sektor pertanian secara nasional. Permintaan terhadap komoditi peternakan sebagai sumber protein hewani diperkirakan akan semakin meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran akan gizi masyarakat. Susu sebagai salah satu hasil komoditi peternakan, adalah bahan makanan yang menjadi sumber gizi atau zat protein hewani.

Kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembangunan sub sektor peternakan, khususnya pengembangan usaha sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein. Menurut Despal et al(2008) produksi susu yang dihasilkan dalam negeri baru mampu mencukupi 1/3 permintaan dalam negeri sehingga sebagian susu harus impor. Impor sapi dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan suplai susu hingga saat ini masih belum bisa memenuhi permintaan dalam negeri.

(13)

Dilihat dari struktur produksi susu sapi perah, peternakan sapi perah di Indonesia sebagian besar merupakan usaha rakyat dengan rata-rata kepemilikan sapi sekitar 1-3 ekor sapi (hampir 91 persen) dan pada umumnya merupakan anggota koperasi. Menurut Daryanto (2007) skala usahaternak sapi sekecil ini jelas kurang ekonomis karena keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk kebutuhan hidup. Dengan demikian, dari sisi produksi kepemilikan sapi per peternak perlu ditingkatkan. Menurut manajemen modern sapi perah, skala ekonomis bisa dicapai dengan kepemilikan 10-12 ekor sapi per peternak.

Koperasi sapi perah berbeda dengan koperasi biasa karena koperasi sapi perah beranggotakan peternak sapi perah dimana anggota merupakan pengusaha dan usahanya tersebut menunjang kehidupan koperasi. Koperasi merupakan lembaga yang bertindak sebagai mediator antara peternak dengan industri pengolahan susu, dimana koperasi sangat menentukan posisi tawar peternak dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan dan harga yang akan diterima peternak. Menurut Supeno (1996) dalam penelitiannya yang berjudul kemitraan usaha agribisnis persusuan studi kasus KUD Mandiri Tani Mukti dengan KUD Mandiri Inti Sarwa Mukti di kabupaten Bandung. Penelitian ini menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kemitraan yang terjadi di agribisnis persusuan ditemukan beberapa hambatan dimana terdapat perbedaan kemampuan penguasaan sumberdaya antara koperasi susu dengan IPS sehingga menyebabkan

bargaining powerkoperasi susu terutama peternak menjadi rendah.

(14)

langsung ke konsumen. Keempat, kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah.

2.2 Usaha Peternakan Sapi Perah

Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang mempunyai nilai strategis antara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan rata-rata serta sebagai sarana penciptaan lapangan pekerjaan. Besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia sangat memungkinkan untuk pengembangan subsektor peternakan. Salah satu komponen dari subsektor peternakan yang memiliki banyak manfaat dan berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah agribisnis persusuan. Dilihat dari kondisi geologis, ekologis dan kesuburan tanah dibeberapa wilayah Indonesia mempunyai karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis peternakan sapi perah.

Yusdja (2005) menjelaskan bahwa industri pengembangan sapi perah di Indonesia sudah mempunyai struktur yang cukup lengkap yang terdiri dari peternak, pabrik pakan, industri pengolaha susu yang maju serta adanya kelembagaan yang menaungi peternak sapi perah yang tergabung dalam GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia). Struktur usaha peternakan sapi perah terdiri dari empat skala usaha yaitu usaha skala besar (>100 ekor), usaha skala menengah (30-100 ekor), usaha skala kecil (10-30 ekor) dan usahaternak rakyat (1-9 ekor), usahaternak rakyat inilah yang sebagian besar merupakan anggota koperasi susu.

Sapi perah di Indonesia diperkenalkan sekitar 140 tahun yang lalu, yang dimulai dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, Milking

Shorthorn dari Australia yang kemudian dilanjutkan dengan pengimporan sapi

(15)

a) Peternakan sapi perah merupakan usaha yang tetap, karena fluktuasi harga, produksi dan konsumsi tidak begitu tajam.

b) Sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein hewani dan kalori.

c) Memiliki jaminan pendapatan yang tetap.

d) Penggunaan tenaga kerja yang tetap dan tidak musiman

e) Pakan yang relatif murah dan mudah didapat karena sapi perah dapat menggunakan berbagai jenis hijauan yang tersedia atau sisa-sisa hasil pertanian

f) Kebutuhan tanah dapat dipertahankan dengan memanfaatkan kotoran sapi perah sebagai pupuk kandang.

g) Pedet yang dihasilkan bila jantan bisa dijual untuk sapi potong, sedangkan pedet betina dapat dipelihara hingga dewasa dan menghasilkan susu.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah

Sapi jenis Friesian Holsteinatau yang lebih dikenal dengan Fries Holland (FH) merupakan bangsa sapi yang berasal dari negara Belanda. Jenis sapi ini merupakan populasi terbesar diseluruh dunia, baik dinegara sub-tropis maupun negara tropis seperti Indonesia (Girisonta, 1995). Menurut Sudono (1999) sapi jenis FH merupakan sapi perah yang produksi susunya tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi lainnya, dengan kadar lemak yang rendah. Meskipun produktivitas susu sapi untuk bangsa sapi FH di Indonesia masih tergolong rendah yaitu rata-rata 8-10 liter per hari per ekornya. Maka dari itu perlu dilakukan suatu usaha untuk meningkatkan produktivitas susu sapi perah yang dapat dilakukan dengan pemberian pakan yang berkualitas serta adanya manajemen yang baik dalam menjalankan usahanya, hal ini akan berpengaruh terhadap perbaikan produktivitas susu sapi perah.

(16)

dikonsumsi oleh manusia melainkan untuk anak sapi (pedet). Gambar 1 menjelaskan mengenai siklus yang terjadi pada sapi perah dalam satu tahun .

Keterangan :

= Produksi susu berupa colostrum berlangsung 4-5 hari.

= 60-90 hari sesudah melahirkan adalah masa untuk mengawinkan kembali, sapi yang pernah beranak, paling awal 60 hari sesudah melahirkan boleh mulai dikawinkan kembali, dan paling lambat 90 hari sesudah melahirkan.

= Masa-masa laktasi yang berlangsung kurang lebih 300 hari. = Masa-masa kering berlangsung 1,5-2 bulan

= Masa-masa bunting berlangsung kurang lebih 280-285 hari

Gambar 1. Siklus Sapi Perah Produksi Dalam Satu Tahun Sumber : Girisonta (1995)

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa masa laktasi dimulai sejak sapi itu berproduksi sampai masa kering tiba. Masa kering merupakan masa-masa dimana sapi yang sedang berproduksi dihentikan pemerahannya untuk mengakhiri masa laktasi. Masa kering ini bertujuan untuk mempersiapkan induk yang akan melahirkan kembali dalam kondisi yang sehat dan kuat. Dengan demikian masa laktasi berlangsung selama 10 bulan atau kurang lebih 300 hari, setelah dikurangi hari-hari selama memproduksi colostrum(4-5 hari).

4-5 hari

365hari 300 hari

60-90 hari

(17)

Produksi susu seekor sapi pada umumnya diawali dengan volume yang relatif rendah, kemudian sedikit demi sedikit akan meningkat hingga bulan kedua, dan mencapai puncaknya pada bulan ketiga. Selanjutnya, setelah melewati bulan ketiga produksi mulai menurun sampai tiba pada masa kering. Menurunnya produksi air susu dalam masa laktasi ini akan diikuti dengan peningkatan kadar lemak di dalam air susu. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

2

20

15 4

10 3,5

5 3

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 bulan Masa laktasi Masa Kering Keterangan:

: Produksi susu : Kadar Lemak

Gambar 2. Perubahan Produksi Susu dan Kadar Lemak Sumber: Girisonta (1995)

Berdasarkan grafik pada Gambar 2 diketahui bahwa produksi susu seekor sapi pada umumnya diawali dengan volume yang relatif rendah, kemudian sedikit demi sedikit meningkat naik hingga bulan kedua, dan mencapai puncaknya pada bulan ketiga. Selanjutnya, setelah melewati bulan ketiga produksi mulai menurun sampai masa kering. Menurunnya produksi susu pada masa laktasi ini akan diikuti dengan adanya peningkatan kadar lemak di dalam air susu. Menurut Girisonta (1995) selama masa laktasi berlangsung, baik produksi susu pada awal masa laktasi dan selanjutnya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah faktor genetis, makanan serta tatalaksana, dimana satu sama lain saling mempengaruhi dan menunjang.

(18)

Penelitian yang menjelaskan mengenai faktor-faktor produksi adalah Heriyatno (2009), Apriani (2011) dan Alpian (2009). Ketiga penelitian mengkaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap produksi susu pada sapi sapi perah adalah pemberian pakan yaitu berupa pakan hijauan dan konsentrat sehingga besar kecilnya jumlah pemberian pakan pada sapi perah akan sangat berpengaruh terhadap jumlah susu yang dihasilkan. Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam

Selain itu, Heriyatno (2009) juga menjelaskan bahwa selain pemberian pakan, faktor masa laktasi pada sapi produksi juga berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah. Dalam melakukan penelitiannya Heriyatno (2009) mengelompokkan peternak sapi perah kedalam tiga skala yang berbeda yaitu skala rakyat, skala kecil dan skala menengah. Tujuan dilakukannya pengelompokkan tersebut adalah agar diketahui bagaimana pengaruh tiap-tiap faktor produksi terhadap produksi susu pada skala usaha yang berbeda. Berbeda dengan Heriyatno (2009), Apriani (2011) menjelaskan bahwa selain faktor pemberian pakan ternyata faktor suhu udara juga berpengaruh terhadap produksi susu, hal ini karena Apriani (2011) melakukan penelitian di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang peternakan sapi perah di wilayah Depok dimana suhu udara diwilayah tersebut kurang mendukung untuk usaha budidaya sapi perah, sehingga hal ini berpengaruh terhadap produksi ternak.

(19)

sehingga apabila penggunaan tenaga kerja ditambah hal ini akan menurunkan produktivitas susu sapi perah.

Berdasarkan tingkat produksi susu, Heriyatno (2009) menjelaskan bahwa pada usaha skala rakyat dengan kepemilikan sapi produksi sekitar tiga ekor rata-rata menghasilkan susu sebesar 13,76 liter per hari untuk setiap ekor. Dilihat dari tingkat produksinya, nilai tersebut cukup tinggi mengingat itu merupakan usaha skala rakyat, hal itu karena peternak menyusun sendiri komposisi konsentrat untuk pakan ternaknya sehingga kandungan nutrisi dari masing-masing bahan yang dipakai seimbang. Sedangkan dalam penelitian Apriani (2011) dan Alpian rata-rata produktivitas susu untuk satu ekor sapi produksi lebih rendah yaitu sebanyak 8,07 liter dan 9,14 liter per hari. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan tempat penelitian serta perlakuan dalam pemberian pakan pada ternak yang dipelihara.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang menjelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi sapi perah ini mengungkapkan bahwa terdapat faktor-faktor teknis penentu besarnya kemampuan produksi ternak. Penelitian yang dilakukan oleh Heriyatno (2009), Apriani (2011) dan Alpian (2010) mempunyai beberapa perbedaan hasil mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu. Perbedaan hasil tersebut dikarenakan adanya perbedaan tempat penelitian dan perlakuan pada ternak.

2.4 Analisis Pendapatan Usahaternak

(20)

Berdasarkan hasil penghitungan diketahui bahwa pada penelitian Kuntara, peternak dengan skala usaha menengah (strata tiga) memperoleh tingkat keuntungan paling tinggi dengan nilai R/C ratio sebesar 1,41. Sedangkan pada penelitian Heriyatno peternak dengan skala usaha kecil (strata dua) mempunyai tingkat keuntungan paling tinggi yaitu dengan nilai R/C rasio sebesar 1,31. Perbedaan tersebut dikarenakan penelitian dilakukan pada tempat serta kondisi lingkungan yang berbeda, namun berdasarkan dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa usahaternak sapi perah ini menguntungkan. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2009) meskipun melakukan analisis pendapatan pada komoditas yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuntara (1994) dan Heriyatno (2009) yaitu komoditas ayam broiler.

Lestari (2009) mengelompokkan peternak menjadi dua bagian yaitu usahaternak skala sedang (skala I) dan skala besar (skala II). dari hasli penelitian diketahui bahwa peternak dengan skala usaha skala II lebih efisien di banding beternak skala I bila dilihat dari segi biaya. Namun, bila dari sisi penerimaan harga ayam pada skala usaha I jauh sedikit lebih tinggi sehingga menghasilkan R/C yang lebih tinggi dibanding skala II. Pada kasus ini berarti peternak dengan skala besar tidak menjamin keuntungan yang diperoleh akan lebih besar, justru peternak kecil memperoleh keuntungan lebih tinggi hal ini karena walaupun usahaternak skala kecil bila dilakukan sesuai prosedur maka hasilnya juga akan memuaskan.

Kesamaan dengan penelitian terdahulu dalam faktor-faktor yang mempengaruhi produktsi susu yang dilakukan oleh Heriyatno, Apriani dan Alpian mempunyai kesamaan dalam komoditas yang diteliti serta alat analisis yang digunakan yaitu menggunakan analisis fungsi Cobb-Douglas. Namun, mempunyai perbedaan dalam menentukan faktor-faktor yang digunakan sebagai variabel

independentyang mempengaruhi produksi susu, selain itu juga terdapat perbedaan

(21)

terhadap produksi susu sapi perah. Sedangkan dalam analisis pendapatan peternak yang dilakukan oleh Kuntara, Heriyatno dan Lestari mempunyai kesamaan dalam metode analisis yang digunakan yaitu analisis pendapatan dan R/C rasio. Perbedaannya hanya terdapat pada komoditas yang digunakan dimana Lestari menggunakan komoditas ayam broiler. Adapun kontribusi dari penelitian terdahulu dalam penelitian ini adalah sebagai acuan dalam penerapan maupun penggunaan alat analisis. Sintesis dari hasil penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Tinjauan Penelitian Terdahulu Tinjauan

Pustaka No

Nama

Penulis Pembahasan

Kajian Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah

1 Heriyatno (2009)

Rendahnya kemampuan produksi suatu komoditas dipengaruhi oleh penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan. Faktor pemberian pakan (hijauan, konsentrat, pakan tambahan) merupakan faktor yang dapat meningkatkan produksi susu. Selain faktor teknis faktor non teknis seperti suhu udara serta masa laktasi juga berpengaruh terhadap produksi susu.

2 Apriani (2011) 3 Alpian (2010)

Kajian Analisis Pendapatan Usahaternak

1 Kuntara

(22)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Produksi

Produksi merupakan suatu proses transformasi atau perubahan dari dua atau lebih input (sumberdaya) menjadi satu atau lebih output (produk). Lipsey et al (1995) juga menjelaskan bahwa produksi merupakan suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output. Sumberdaya yang digunakan dalam kegiatan produksi dinamakan sebagai faktor-faktor produksi yang secara umum terdiri dari lahan, tenaga kerja, modal serta pengelolaan atau manajemen. Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kegiatan produksi merupakan suatu kegiatan yang mengkombinasikan berbagai jenis input untuk mengasilkan suatu produk (output). Hubungan antara faktor produksi dengan hasil produksinya dapat diberi ciri khusus berupa suatu fungsi produksi.

Debertin (1986) menjelaskan bahwa fungsi produksi menggambarkan hubungan antara inputdan output. Sedangkan menurut Lipseyet al(1995) fungsi produksi merupakan hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan. Cara terbaik untuk mengetahui konsep fungsi produksi adalah dengan menggunakan contoh pada pengalaman terdahulu misalnya banyak penelitian terdahulu di bidang pertanian yang berusaha untuk menemukan hubungan antara jumlah pakan yang dikonsumsi sapi perah dengan output susunya (Doll dan Orazem, 1987). Jumlah hasil produksi (output) merupakan dependent variable sedangakan jumlah faktor produksinya disebut

independent variable. Faktor produksi merupakan semua korbanan yang diberikan

pada komoditas tersebut agar mampu menghasilkan produk. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Y = f (X1. X2, X3,…,Xn) Dimana:

Y = Hasil produksi (output)

f = Mentransformasikan faktor-faktor produksi kedalam hasil produksi

(23)

Menurut Soekartawi (2002), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih fungsi produksi adalah :

1) Fungsi produksi harus dapat menggambarkan keadaan usahatani yang sebenarnya terjadi

2) Fungsi produksi dapat dengan mudah diartikan khususnya arti ekonomi dan parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut.

3) Fungsi produksi harus mudah diukur atau dihitung secara statistik, untuk mengukur tingkat produksi dari suatu proses produksi terdapat dua tolak ukur yaitu produk marginal dan produk rata-rata. Produk Marginal (PM) yaitu tambahan produksi yang dihasilkan dari setiap menambah satu satuan faktor produksi yang dipakai, sedangkan Produk Rata-Rata (PR) adalah tingkat produksi yang dicapai setiap satuan input. Kedua tolak ukur tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

PM = = ∆

=

=

F(X)

PR =

=

Gambar 3 merupakan Kurva Produksi, menggambarkan mengenai hubungan antara produksi total (TP), produksi rata-rata (PR), dan produk marginal (PM). Kurva produksi tersebut memperlihatkan bahwa ada tiga proses perilaku dalam produksi jika input X2 ditambahkan secara terus menerus (kontinue) pada suatu input yang tetap (misalnya X3, X4 dan X5). Pada proses pertama, setiap tambahan input akan memberikan tambahan produk yang semakin bertambah atau

Increasing Return”. Proses ke dua ditandai dengan tambahan produk yang

semakin berkurang pada setiap tambahan input atau “Diminishing Return”. Pada proses ketiga, setiap tambahan input justru akan menurunkan hasil produksi atau

(24)

STAGE I STAGE II STAGE III

A B C X

Gambar 3.Kurva Fungsi Produksi Total dan Hubungannya Dengan Produk Marginal dan Produk Rata-Rata

Sumber: Debertin (1986) Keterangan:

TPP : Total Produksi MPP : Produk Marginal APP : Produk Rata-Rata

Y : Produksi

X : Faktor Produksi

MPP

APP

0

P Y

(25)

Perubahan dari jumlah produksi yang disebabkan oleh faktor produksi yang digunakan dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (Ep) merupakan persentase perbandingan output yang dihasilkan sebagai akibat dari persentase input yang digunakan atau dinyatakan dalam . Berdasarkan Gambar, maka kurva produksi total dan hubungannya dengan produk marginal serta produk rata-rata dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Tahap I (Stage I)

Tahap I menunjukkan Produk Marginal (PM) lebih besar dari Produk Rata-Rata (PR). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat rata-rata variabel input (X) ditransformasikan kedalam produk (Y) meningkat hingga PR mencapai titik maksimal pada akhir daerah I. Tahap I mempunyai nilai EP>1, artinya dalam setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan output yang selalu lebih besar dari satu persen. Pada tahap ini produksi belum mencapai titik optimal dengan pendapatan yang layak sehingga daerah ini disebut sebagai tahap tidak rasional (irrasional).

2) Tahap II (Stage II)

Tahap II terjadi ketika PM menurun dan lebih rendah dari PR. Pada keadaan ini PM sama atau lebih rendah dari PR. Tahap II berada diantara X2 dan X3 dan mempunyai nila Ep antara 1 dan 0 (0<Ep<1), artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol persen. Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor produksi di tahap ini akan memberikan keuntungan maksimum, sehingga tahap ini disebut sebagai tahap rasional dalam berproduksi.

3) Tahap III (Stage III)

(26)

Berdasarkan hasil uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa sebagai produsen yang rasional maka akan berproduksi pada tahap II, hal ini dikarenakan pada tahap ini setiap tambahan satu unit faktor produksi akan memberikan tambahan produksi total (TP), walaupun produk rata-rata (AP) dan produk marginal (MP) menurun namun kondisinya masih positif sehingga pada tahap ini akan dicapai pendapatan maksimum.

3.1.2. Teori Biaya

Lipsey et al (1995) mendefinisikan biaya total (TC atau Total Cost) merupakan biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Sedangkan Doll dan Orazem (1978) mendefinisikan biaya total sebagai total pembayaran semua sumberdaya yang digunakan dalam proses produksi. Biaya total dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu biaya tetap total (TFC atau Total Fixed Cost) dan biaya variabel total (TVC atau Total Variable Cost). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah, sedangkan biaya biaya yang berkaitan langsung dengan output, yang bertambah besar dengan menngkatnya produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi disebut biaya variabel. Sedangkan menurut Debertin (1986) biaya variabel merupakan biaya produksi yang bervariasi dengan tingkatan output yang dihasilkan petani. Contoh biaya variabel terkait dengan pembelian pakan. Sedangkan biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani meskipun sedang atau tidak berproduksi. Contoh biaya tetap adalah pembayaran untuk pembelian lahan atau penyusutan mesin pertanian, bangunan dan peralatan.

Secara matematis biaya total (TC) dapat dirumuskan sebagai berikut (Lipsey et al):

TC = TFC + TVC Dimana :

TC = Total costatau biaya total (Rp)

TFC = Total fixed costatau biaya tetap total (Rp)

TVC = Total variable costatau biaya variabel total (Rp)

(27)

TC

TC

TVC

TFC

Q

Keterangan:

TC = Total Cost atau biaya total (Rp)

TFC = Total Fixed Cost atau biaya tetap total (Rp)

TVC = Total Variable Cost atau biaya variabel total (Rp)

Q = Quantityatau hasil produksi (satuan)

Gambar 4. Kurva Fungsi Biaya

Sumber : Lipsey et al(1995)

Kurva TFC berbentuk horizontal karena nilainya tidak berubah berapapun output yang dihasilkan. Sedangkan kurva TVC berawal dari titik nol dan semakin lama akan semakin bertambah tinggi hal ini karena pada waktu tidak terdapat produksi TVC = 0, dan semakin tinggi produksi maka akan semakin besar biaya variabel totalnya (TVC). Kurva TC merupakan penjumlahan antara kurva TFC dengan kurva TVC. Maka dari itu kurva TC berawal dari pangkal TFC dan apabila ditarik garis tegak antara TVC dengan TC panjang garis itu adalah sama dengan jarak diantara TFC dengan sumbu datar.

3.1.3. Teori Pendapatan

(28)

penerimaan total merupakan nilai produk total yang diperoleh petani ataupun pengusaha, dimana penerimaan diperoleh dari jumlah total produk yang dihasilkan dengan harga jual atau harga pasar yang konstan/tetap. Secara matematis total penerimaan atau total pendapatan (Total Revenue) dapat dirumuskan sebagai berikut (Debertin, 1986):

TR = p xy Dimana :

TR = Total Revenue atau total pendapatan/penerimaan (Rp)

p = Priceatau Harga Pasar (Rp)

y = Outputatau hasil produksi (satuan)

Total penerimaan atau total pendapatan yang dikurangi dengan biaya total yang dikeluarkan disebut dengan pendapatan bersih atau keuntungan (profit) yang diterima oleh petani ataupun pengusaha. Pendapatan bersih atau keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut (Debertin, 1986):

π = TR – TC

Dimana :

π = Profitatau pendapatan bersih (RP)

TR = Total Revenue atau total pendapatan/penerimaan (Rp)

TC = Total Costatau total biaya (Rp)

(29)

CR

TR

TC

BEP Q

Keterangan:

CR = Cost dan Revenueatau biaya dan pendapatan (Rp)

TR = Total Revenueatau total pendapatan/penerimaan (Rp)

TC = Total Costatau biaya total (Rp)

Q = Quantityatau hasil produksi (satuan)

Gambar 5. Hubungan Antara Biaya Total dan Hasil Penjualan Total Sumber : Lipsey et al(1995)

Gambar 5 menunjukkan bahwa kurva TR berawal dari nol (tidak menjual output satupun), pada saat TR berada diatas kurva TC menggambarkan bahwa usaha tersebut memperoleh keuntungan. Bila TR < TC menggambarkan bahwa usaha tersebut mengalami kerugian. Sedangkan pada saat TR berpotongan dengan TC merupakan tingkat produksi suatu komoditas sedang berada pada kondisi titik impas Break Event Point (BEP) artinya produksi tidak mengalami kerugian maupun keuntungan. Bila TR > TC (output yang dihasilkan lebih besar dari BEP) maka usaha tersebut dikatakan menguntungkan.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

(30)

pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi susu dari 6,8 liter/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 7,7 liter/kapita/tahun pada tahun 2008 (setara dengan 25 gram/kapita/hari) yang merupakan angka tertinggi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2008). Sampai sejauh ini produksi susu dalam negeri baru bisa memenuhi 30 persen kebutuhan bahan baku susu segar Industri Pengolah Susu (IPS), sedangkan yang 70 persen lagi IPS harus mengimpor dari berbagai negara 8.

Produksi susu dalam negeri yang saat ini masih kurang tersebut sebenarnya merupakan peluang bagi para peternak sapi perah untuk mengembangkan usahanya. Namun, peluang pengembangan usaha peternakan sapi perah tersebut masih terkendala pada rendahnya produksi susu sapi perah khususnya pada tingkat peternak rakyat. Begitu pula yang dihadapi oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Kelompok Ternak Mekar Jaya di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari ketua Kelompok Ternak Mekar Jaya menyatakan bahwa sapi yang dipelihara oleh peternak mempunyai kemampuan memproduksi susu yang relatif rendah. Hampir seluruh peternak anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya memelihara sapi jenis Fries Holland ini rata-rata menghasilkan susu sekitar 8-10 liter per ekor per hari bahkan pada waktu tertentu bisa kurang dari 8 liter per ekor per hari, padahal produksi idealnya yaitu sekitar 12-15 liter per ekor per hari.

Kondisi nyata yang dihadapi oleh peternak saat ini adalah kendala dalam hal permasalahan produksi susu yang rendah yang berdampak pula pada rendahnya pendapatan peternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi susu sapi pada tingkat peternak khususnya yang dihadapi oleh peternak anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya. Dasar penentuan jenis maupun jumlah faktor produksi yang mempengaruhi ditentukan berdasarkan pada ketersediaan data historis dan perolehan informasi dari ketua kelompok ternak terkait hal-hal yang

8

(31)

mempengaruhi jumlah produksi susu. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sapi perah yang dipelihara oleh peternak dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan aspek produksi usaha baik faktor teknis maupun non teknis.

Faktor teknis yang mempengaruhi produksi susu sapi perah umumnya berkaitan dengan proses pemeliharaan ternak yang meliputi pemberian pakan, baik pakan konsentrat, pakan hijauan, maupun ampas tahu, pemberian obat-obatan dan vitamin, pemberian mineral, pemberian air dan banyaknya tenaga kerja yang digunakan. Selain itu terdapat faktor non teknis yang dapat mempengaruhi produksi susu sapi perah salah satunya adalah faktor masa laktasi sapi produksi. Produksi susu sapi perah diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi/input yang digunakan yang akhirnya akan berpengaruh terhadap penerimaan yang diterima peternak.

(32)
[image:32.612.106.482.94.630.2]

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Harga Input Produksi

BIAYA : 1. Biaya Tunai 2. Biaya Total

Harga Output

PENERIMAAN: 1. Penerimaan Tunai 2. Penerimaan Total

PENDAPATAN: 1. Pendapatan Tunai 2. Pendapatan total R/C Rasio :

1. R/C Atas Biya Tunai 2. R/C Atas Biaya Total

Produksi Susu

Tenaga Kerja

Air Ampas Tahu Mineral

Hijauan Konsentrat

Masa Laktasi

(33)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor terdapat kelompok ternak Mekar Jaya yang beranggotakan peternak sapi perah. Kelompok ternak ini merupakan anggota KUD Giri Tani dengan jumlah anggota peternak paling banyak. Kegiatan penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2012.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui observasi (pengamatan) dan wawancara langsung dengan para responden, dengan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari hasil laporan perusahaan dan dokumen perusahaan yang berkaitan dengan topik penelitian. Selain dari kedua lokasi penelitian, data sekunder juga diperoleh dari bahan-bahan rujukan seperti: literatur, jurnal, artikel, dan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder berupa data analisis eksternal diperoleh dari dokumen lokasi penelitian, makalah-makalah seminar, dan data-data statistik dari instansi terkait seperti Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Peternakan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Puslitbangnak) dan website (internet) yang relevan dengan topik yang akan diteliti.

4.3.

Metode Pengambilan Sampel
(34)

Jaya dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kelompok Ternak Mekar Jaya merupakan satu-satunya kelompok ternak yang beranggotakan peternak sapi perah dengan jumlah anggota cukup banyak. Proses pengambilan sampel responden dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu dengan pertimbangan dari ketua kelompok ternak bahwa responden yang akan dijadikan sampel tersebut dianggap memiliki informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Jumlah populasi peternak sapi perah yang tergabung dalam Kelompok Ternak Mekar Jaya adalah sebanyak 75 peternak dan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak 35 orang untuk memenuhi aturan umum secara statistik yaitu ≥ 30 orang karena diduga terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang diteliti.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan, studi literatur/pustaka dan wawancara dengan responden. Observasi dilapangan dimaksudkan untuk mengetahui secara langsung kondisi dilapangan sedangkan studi literatur/pustaka dilakukan untuk memperoleh pendalaman informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

(35)

sapi perah yang dipelihara oleh peternak dianalisis dengan analisis regresi berganda dengan menggunakan bantuan software Minitab 14dan Microsoft Excel.

4.5.1 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah

Menurut Sigit et al (2008) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi susu pada sapi perah yaitu meliputi jenis sapi, lama laktasi, kesehatan ternak dan ambing, frekuensi pemerahan, periode laktasi, kondisi lingkungan serta umur ternak. Sedangkan menurut Heriyatno (2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi susu sapi adalah pemberian pakan konsentrat, pakan hijauan, dan masa laktasi sapi produksi.

Terdapat beberapa bentuk fungsi produksi yang dapat digunakan dalam analisis usahatani/ternak yaitu polinominal kuadratik, polinominal akar pangkat dua dan fungsi Cobb-Douglas. Namun, fungsi Cobb-Douglas paling sering digunakan untuk analisis usahatani. Menurut Soekartawi (2002) fungsi produksi

Cobb-Douglasmerupakan suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau

lebih variabel. Varibel yang dijelaskan disebut sebagai variabel dependen (Y) dan variabel yang menjelaskan disebut sebagai variabel independen (X). Variabel dependen berupa output sedangkan variabel independen berupa input. Adapun persamaan matematis mengenai fungsi Cobb-Douglas secara umum adalah sebagai berikut (Gujarati, 1978):

= b0X , X , X ,….., X e Dimana:

Y = Variabel Dependen X = Variabel Independen

0,1 = Besaran yang akan diduga u = Unsur sisa

e = Logaritma natural (e = 2,718)

(36)

atau dihitung secara sistematik, serta 3) fungsi produksi itu dapat dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut.

Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang yang mempengaruhi produktivitas sapi perah ditingkat peternak digunakan model

Cobb-Douglasdimana terdapat dua variabel yaitu variabel Y sebagai peubah tak

bebas (dependent variable) dalam hal ini adalah produksi sapi perah yang dipelihara peternak serta variabel X1, X2, X3, Xn sebagai peubah bebas

(independent variable) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sapi

perah peternak. Dalam menduga parameter dalam persamaan fungsi

Cobb-Douglas maka harus diubah terlebih dahulu kedalam bentuk double logaritme

natural (ln)bentuk persamaanya menjadi (Gujarati, 1978):

Ln Y = lnβ0+ β1lnX1+ β2lnX2+ β3lnX3+ β4lnX4+ β5lnX5+ β6lnX6+ β7lnX7+ ε

Keterangan:

Y = Produksi Sapi Perah (liter/bulan) X1 = Masa Laktasi Sapi Produksi (hari)

X2 = Jumlah Pemberian Pakan Kosentrat Sapi Produksi (kg/bulan) X3 = Jumlah Pemberian Pakan Hijauan Sapi Produksi (kg/bulan) X4 = Jumlah Pemberian Ampas Tahu (kg/bulan)

X5 = Jumlah Pemberian Mineral (kg/bulan) X6 = Jumlah Pemberian Air (liter/bulan)

X7 = Tenaga Kerja (HKP)

β0 = Konstanta

β1,β2,β3,…,β7 = Koefisien Parameter Dugaan X1, X2, X3,….X7

Faktor-faktor produksi yang digunakan diatas diperoleh dari penelitan terdahulu, data historis dan perolehan informasi dari ketua kelompok ternak terkait faktor-faktor yang mempengaruhi produksi. Jika koefisien-koefisien dari parameter dugaan dari fungsi produksi dan varian lebih besar dari nol artinya semakin banyak input yang digunakan untuk proses produksi maka rata-rata hasil dan varian produksi susu akan semakin meningkat. Apabila terdapat coefisien

variance bertanda negatif maka input tersebut adalah faktor produksi yang tidak

(37)

Model fungsi produksi yang lebih banyak digunakan oleh peneliti dalam menganalisis usahatani/ternak adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Alasannya karena perhitungan dan penjelasan fungsi ini lebih mudah dibanding fungsi lain karena lebih mudah ditransfer kedalam bentuk linier. Selain itu fungsi

Cobb-Douglas parameter-parameternya langsung dapat digunakan sebagai elastisitas

produksi untuk setiap faktor produksi. 4.5.2 Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dipergunakan untuk melihat hasil dari model fungsi produksi yang didapat dari proses pengolahan data. Pengujian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah model yang digunakan sudah baik atau tidak.

1) Pengujian Asumsi OLS (Ordinary Least Square)

Didalam melakukan pendugaan model dilakukan dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Namun, sebelum dilakukan pengujian ini terlebih dahulu harus dilakukan uji asumsi-asumsi yang yang sesuai dengan OLS yaitu pengujian multikolinieritas. Multikolinier variabel independent merupakan kondisi yang terjadi didalam analisis regresi berganda dimana terdapat hubungan linier diantara variabel-variabel bebasnya (independent variable). Terdapat beberapa penyebab terjadinya multikolinieritas, salah satunya adalah adanya kecenderungan variabel-variabel yang bergerak secara bersamaan.

Adanya multikolinier menyebabkan ragam variabel menjadi sangat besar, sehingga koefisien regresi dugaan tidak stabil yang akan berimplikasi besar dan arah koefisien variabel menjadi tidak valid untuk diinterpretasikan selain itu juga menyebabkan hasil uji signifikasni koefisien model dugaan menjadi tidak valid. Terdapat beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinier dalam analisis regresi berganda salah satunya adalah dengan menggunakan kriteria

Variance Inflation Factor (VIF) > 10. Apabila nilai VIF > 10 maka terdapat

(38)

2) Pengujian Parameter Model (Uji F)

Uji F digunakan untuk melihat apakah variabel bebas yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tak bebas

(independent). Uji statistik yang digunakan untuk Uji F adalah (Gujarati, 1978):

F hitung= /( )

/( )

Dimana:

R2 = Koefisien determinasi k = Jumlah variabel bebas n = Jumlah sampel Kriteria uji:

F-hitung > F-tabel (k-1, n-k), pada taraf nyata α maka tolak H0 F-hitung < F-tabel (k-1, n-k), pada taraf nyata α maka terima H0

Apabila tidak dilakukan dengan menggunakan tabel maka dapat dilihat berdasarkan nilai P dengan kriteria uji sebagai berikut :

P-value < α, maka tolah H0

P-value > α, maka terima H0

Apabila F-hitung > F-tabel atau P-value < α maka secara bersama-sama variabel bebas dalam proses produksi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi. Sedangkan apabila F-hitung < F-tabel atau P-value > α maka secara bersama-sama variabel bebas dalam proses produksi tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi.

3) Pengujian Parameter Variabel (Uji t)

Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t digunakan untuk mengetahui apakah koefisien regresi dari masing variabel independen (X) yang digunakan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y). Rumusan hipotesis fungsi produksi:

H0: βi < 0, artinya variabel bebas merupakan penjelas yang dapat mengurangi produksi terhadap variabel terikat.

H1: βi > 0, artinya variabel bebas merupakan penjelas yang dapat meningkatkan produksi terhadap variabel terikat.

(39)

Dimana :

βi = Koefisien regresi ke-i yang diduga

Sβi = Standar deviasi dari βi

Kriteria uji :

T hitung > T tabel (α / 2; n– k), maka tolak H0, artinya ada pengaruh antara variabel

bebas terhadap variabel terikat.

T hitung < T tabel (α / 2; n – k), maka terima H0, artinya tidak ada pengaruh antara

variabel bebas dengan variabel terikat. Dimana :

n : Jumlah sampel k : Jumlah variabel

4.5.3 Hipotesis

Suatu kegiatan penelitian perlu dilakukan suatu hipotesis ataupun kesimpulan sementara berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah. Adapun hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :

1. β1> 0 artinya apabila semakin lama masa laktasi sapi produksi maka, produksi susu sapi perah akan semakin meningkat.

2. β2 > 0 artinya apabila semakin banyak pemberian pakan konsentrat maka, produksi susu sapi perah akan semakin meningkat.

3. Β3 > 0 artinya apabila semakin banyak pemberian pakan hijauan maka, produksi susu sapi perah akan semakin meningkat.

4. Β4> 0 artinya apabila semakin banyak pemberian ampas tahu maka, produksi susu sapi perah akan semakin meningkat.

5. Β5 > 0 artinya apabila semakin banyak pemberian mineral maka, produksi

susu sapi perah akan semakin meningkat.

6. Β6 > 0 artinya apabila semakin banyak pemberian air maka, produksi susu sapi perah akan semakin meningkat.

(40)

4.5.4 Analisis Pendapatan Usahaternak Sapi Perah 1) Penerimaan Usahaternak Sapi Perah

Analisis penerimaan diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah total hasil produksi dan harga jual susu per liternya. Analisis penerimaan usahaternak merupakan penerimaan peternak sebelum dikurangi biaya-biaya usahaternak. Analisis penerimaan terdiri dari analisis penerimaan tunai, penerimaan tidak tunai (yang diperhitungkan), dan penerimaan total. Penerimaan tunai usahaternak diperoleh dari nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahaternak yaitu susu, sedangkan penerimaan tidak tunai adalah produk hasil usahaternak yang tidak dijual secara tunai, melainkan digunakan untuk konsumsi sendiri maupun sebagai pakan ternak (susu untuk pedet). Penerimaan total adalah penjumlahan antara penerimaan tunai dengan penerimaan tidak tunai.

2) Biaya Usahaternak Sapi Perah

Menurut Hernanto (1988) pengeluaran atau biaya usahatani (farm

expenses) adalah semua biaya operasional dengan tanpa memperhitungkan bunga

dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani yang meliputi pengeluaran tunai (current expenses), penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris serta nilai tenaga kerja yang tidak dibayar. Biaya total dalam usahaternak sapi perah terdiri dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang, seperti biaya sarana-sarana produksi yang digunakan untuk usahaternak sapi perah, sedangkan biaya yang diperhitungkan adalah untuk menghitung berapa besarnya pendapatan kerja peternak dan modal. Komponen biaya tunai seperti, rumput, konsentrat, ampas tahu, vaselin, mineral, biaya kesehatan hewan (keswan), listrik, transportasi dan tenaga kerja luar keluarga, sedangkan komponen biaya diperhitungkan seperti, sewa lahan milik sendiri (ha), tenaga kerja dalam keluarga dan penyusutan peralatan.

3) Pendapatan Usahaternak Sapi Perah

(41)

diterima peternak. Sedangkan total biaya usahaternak merupakan penjumlahan antara biaya tunai dengan biaya diperhitungkan. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dengan biaya tunai. Sementara itu, pendapatan atas biaya total adalah selisih antara penerimaan total dengan biaya total.

Selain itu, juga dilakukan analisis mengenai penilaian besarnya penerimaan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan dalam usahaternak sapi dapat digunakan dengan menggunakan analisis ratio penerimaan atas biaya (R/C rasio). Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif dari kegiatan usahaternak sapi perah atau indeks efisiensi usahaternak yang dilakukan. Analisis ini dibedakan menjadi dua, yaitu R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh dari hasil pembagian antara total penerimaan dengan total biaya tunai sedangkan R/C rasio atas biaya total diperoleh dari hasil pembagian antara total penerimaan dengan total biaya (penjumlahan antara biaya tunai dan biaya diperhitungkan)

(42)
[image:42.612.120.509.83.346.2]

Tabel 7. Komponen Pendapatan Usahaternak Sapi Perah

No Keterangan Componen

A Penerimaan tunai Harga (Rp) x Hasil yang dijual (Liter) B Penerimaan yang

diperhitungkan

Harga (Rp) x Hasil yang dikonsumsi (Liter)

C Penerimaan Total A + B

D Biaya tunai a. Biaya sarana produksi : hijauan, konsentrat, ampas tahu, mineral, vitamin dan obat-obatan, vaselin. b. Biaya tenaga kerja luar keluarga

(TKLK)

E Biaya yang diperhitungkan a. Biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK)

b. Penyusutan kandang dan peralatan c. Lahan milik sendiri (sewa)

F Biaya Total D + E

G Pendapatan atas biaya tunai A – D H Pendapatan atas biaya total C – F

I R/C atas biaya tunai C : D J R/C atas biaya total C : F

Dalam analisis pendapatan usahatani perlu diperhitungkan biaya penyusutan alat-alat dan bangunan yang mempunyai daya tahan lama. Dalam penelitian ini metode penghitungan nilai penyusutan digunakan Metode Garis Lurus yaitu membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa kemudian dibagi dengan umur ekonomis barang tersebut. Terdapat asumsi nilai sisa bernilai nol (tidak ada) karena barang habis dipakai hingga umur ekonomisnya berakhir. Biaya penyusutan dapat dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi et.al. 2011):

Penyusutan = Keterangan:

(43)

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1 Letak Geografis dan Pembagian Administratif

Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor merupakan satu diantara 11 desa yang terdapat di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak kurang lebih 7 Km dari pusat Kecamatan Megamendung, 30 Km dari Ibukota Kabupaten/Kota Bogor, 118 Km dari Ibukota Provinsi Jawa Barat dan 73 Km dari pusat pemerintahan negara. Desa Cipayung memiliki batas wilayah sebagai berikut (Desa Cipayung 2011) :

Sebelah Utara : Desa Gunung Geulis, Kecamatan Sukaraja

Sebelah Selatan : Desa Gadog, Kecamatan Megamendung dan Desa Kopo, Kecamatan Cisarua

Sebelah Barat : Desa Pandansari dan Desa Cibanon, Kecamatan Sukaraja Sebelah Timur : Desa Cipayung Girang, Kecamatan Megamendung,

(44)

Luas wilayah Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor yaitu 775 hektar, yang terdiri atas pemukiman, persawahan, kuburan, pekarangan, perkantoran, dan prasarana umum lainnya. Secara rinci luas wilayah Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor yang dilihat menurut penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Luas Wilayah Menurut Penggunaannya Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Tahun 2010

No Jenis Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Pemukiman 271,04 34,97

2 Persawahan 116,0 14,97

4 Tegal/Ladang 234,0 30,20

5 Rawa/Lahan Basah 116,03 14,97

7 Kuburan 8,0 1,03

8 Prasarana umum lainnya 29,93 3,86

Jumlah Total 775 100,00

Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2010)

Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar luas wilayah Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor digunakan untuk pemukiman penduduk, yaitu sebesar 271,04 hektar atau mencapai 34,97 persen dari total luas wilayah Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Penggunaan lahan terbesar setelah untuk pemukiman adalah untuk tegal/ladang baik untuk ladang tanaman maupun peternakan yaitu sekitar 234 hektar. Hal tersebut menunjukkan bahwa lahan di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor tidak diprioritaskan sebagai lahan untuk menanam padi. Besarnya penggunaan lahan untuk ladang/tegal ini digunakan sebagai areal pertanian yang lebih variatif seperti untuk menanam tanaman palawija dan lahan hijauan yang biasanya digunakan sebagai pakan ternak.

5.1.2 Kependudukan dan Keadaan Sosial Ekonomi

[image:44.612.127.504.211.362.2]
(45)

Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor berjumlah 22.865 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 11.728 jiwa dan perempuan sebanyak 11.137 jiwa.

Mayoritas penduduk Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor menganut agama Islam dan merupakan penduduk asli daerah dengan suku sunda. Keadaan tingkat pendidikan formal di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor mencerminkan kemajuan pendidikan baik dari kualitas maupun kuantitas pada suatu wilayah tersebut. Pendidikan di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor terus berkembang untuk memperoleh kualitas sumberdaya manusia yang baik. Gambaran mengenai tingkat pendidikan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Tingkat Pendidikan Warga Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor Tahun 2010

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Belum Sekolah 4.669 20,42

2 Tidak Tamat SD 3.820 16,71

4 Tamat SD 8.316 36,37

5 Tamat SMP/Sederajat 4.265 18,65

6 Tamat SMA/Sederajat 1.579 6,91

7 Tamat Akademi 171 0,75

8 S1/S2/S3 45 0,20

Jumlah Total 22.865 100,00

Sumber: Kantor Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor (2010)

[image:45.612.114.507.317.486.2]
(46)

dari adanya masyarakat yang melanjutkan pendidikannya hingga ke tingkat perguruan tinggi baik itu tingkat akademi, sarjana bahkan hingga pascasarjana.

Apabila dilihat dari aspek ekonomi, mata pencaharian pokok yang dilakukan oleh penduduk Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor beraneka ragam, namun sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor adalah sebagai pedagang dan buruh bangunan. Bidang pertanian juga menjadi mata pencaharian yang banyak dilakoni oleh masyarakat Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor termasuk didalamnya adalah peternakan. Komposisi mata pencaharian masyarakat Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Kecamatan Megamendung pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 10.

<

Gambar

Tabel 3. Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2010
Tabel 4. Peringkat 10 Besar Daerah Penghasil Susu Di Jawa Barat Tahun 2006-2010 (Ton)
Gambar 1. Siklus Sapi Perah Produksi Dalam Satu Tahun
Gambar 2. Perubahan Produksi Susu dan Kadar Lemak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan Evaluasi Penawaran, Kami Panitia Pelelangan mengundang Saudara untuk dapat menghadiri Verifikasi dan Klarifikasi terhadap Perusahaan pada Kegiatan :. Pengadaan

Ampas kopi merupakan bahan berupa limbah yang mudah diperoleh dan dapat digunakan untuk membuat karbon aktif, sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar adsorben [2]..

Berdasarkan pendapat diatas, analisis kesalahan sangat bermanfaat bagi para pengajar untuk membuat suatu kesimpulan tentang kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para

MajIis Majlis Mesyuarat Kerajaan dibahagikan kepada dua, Majlis Negeri.. yang mempunyai kuasa perundangan dan Jemaah Menteri yang mempunyai kuasa pe1aksanaan. MB Majlis

1) Desain dan implementasi services provider untuk mendukung layanan web services push PDPT pada sistem informasi akademik Politeknik Negeri Lampung dapat

Pembelajaran problem based learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk

Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu yaitu pada penelitian terdahulu menggunakan kepemilikan institusional sebagai variabel independen, sedangkan

Hasil dari penelitian ini berupa persentase dari persepsi pengguna terhadap pengembangan sarana dan prasarana pelabuhan, mengetahui faktor-faktor yang paling dominan