TESIS
Oleh
ARFANSYAH PUTRA TANJUNG
097011086/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ARFANSYAH PUTRA TANJUNG
097011086/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 097011086 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Pembimbing Pembimbing
(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
Nama :ARFANSYAH PUTRA TANJUNG
Nim :097011086
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis :ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN KUASA BLANKO
PADA AKTA PERIKATAN JUAL BELI (STUDI
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 51/PDT.G/2009/PN.MDN)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan
saya seniri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister
Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan
saya tersebut.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
kepada pihak kedua dan siapa saja yang ditunjuk secara sepihak oleh pihak kedua yang namanya tidak dicantumkan dalam akta Perikatan Jual Beli (Kuasa Blanko). Apabila pihak pertama (penjual) dan pihak kedua (pembeli) tidak dapat memberikan bantuannya di dalam melangsungkan jual beli dihadapan PPAT. Untuk itu penandatanganan akta jual belinya oleh pihak pertama diwakili oleh penghadap lain yang namanya dicantumkan dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli tersebut sedangkan oleh pihak kedua (pembeli) dapat diwakili oleh penghadap lain sebagai kuasa lisan. Selanjutnya akta jual beli dan persyaratan-persyaratan lainnya yang telah terpenuhi berikut sertipikat hak atas tanahnya didaftarkan dikantor pertanahan setempat, guna pendaftaran peralihan nama dari penjual kepada pembeli, namum setelah selesai sertipikat di balik nama keatas nama pembeli, pihak penjual menggugat pembeli karena merasa tidak pernah menandatangani akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT dan bahkan menggugat notaris serta pegawai notaris yang namanya tercantum dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli, Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk melakukan penelitian dengan menjawab permasalahan. Bagaimana kedudukan akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris, Bagaimana pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah. Bagaimana pemakaian kuasa blanko dan isi kuasa blanko pada akta perikatan jual beli hak atas tanah.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Kedudukan Akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris adalah akta otentik yang merupakan akta awal dari suatu akta jual beli yang nantinya akan dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. Pemberian kuasa tidak hanya terbatas dilakukan oleh seseorang kepada orang lain namun dapat dilakukan oleh lebih dari seseorang kepada orang lain atau lebih, kuasa blanko termasuk dalam jenis kuasa khusus karena hanya digunakan untuk satu kepentingan saja, pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli yakni semata-mata untuk kepentingan yang disebutkan dalam akta tersebut. Pengaturan pemakaian kuasa blanko dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tidak tegas dan jelas ini terlihat dari pasal demi pasal undang-undang tersebut, tidak adanya pengaturan pemakaiannya sehingga perlu penafsiran yang lebih dalam guna pemakaian kuasa blanko tersebut.
signing a Trading Agreement before a Land Certificate Issuing Official. This granting authority by the first party to the second party and whoever appointed by the second party whose name is not included in the Trading Agreement is called Blank Authority. If the first party (the seller) and the second party (the buyer) cannot help in performing the trading before the Land Certificate Issuing Official, the signing of the Trading Agreement by the first party is represented by the other person appearing whose name is included in the Blank Authority of the Trading Agreement while the second party (the buyer) can be represented by the other person appearing in his/her capacity as the one who holds verbal power of attorney. Then, the trading agreement and the other requirements met as well as the land certificate are registered in the local land office to register the transfer of name on the document from the seller to the buyer. After the certificate with the name of the buyer has been issued, the seller sued the buyer because the seller said that he/she never signed the trading Agreement made before the Land Certificate Issuing Official and the seller even sued the notary and the employee of the notary whose name is included in the Blank Authority of the Trading Agreement. This purpose of this study was to analyze the position of right to land trading agreement made by a notary, to answer how the blank authority in a right to land trading agreement is granted, and to find out the contents of blank authority and how the blank authority in a right to land trading agreement is used.
The data for this descriptive analytical study with juridical empirical approach were primary and secondary data obtained through interviews and the study of primary, secondary and tertiary legal materials collected through library research. The obtained were qualitatively analyzed.
The position of the right to land trading agreement made by a notary is an authentic agreement which becomes an initial agreement of a trading agreement to be made before the authorized Land Certificate Issuing Official. The granting of blank authority in the trading agreement is merely for the purpose of signing the trading agreement before the Land Certificate Issuing Official. Granting authority is not limited to be done by a person to another person but it can also be done by more than one person to one or more persons. The blank authority belongs to a special kind of authority because it is used for a single purpose only. The regulation for the use of blank authority in Law on Notary Position is not strict and clear. It is clearly seen from the articles of the law. The absence of regulation of using the blank authority makes it necessary to do a deeper interpretation in using the blank authority.
karuniaNya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Adapun tujuan dan
penulisan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan
program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari bahwa untuk masuk pada
tahapan seperti ini bukanlah ditempuh dengan mudah, halangan dan hambatan penulis
lalui tetapi melalui tahap demi tahap penulis lewati sehingga sampai saat ini. Semua
ini karena ada pihak-pihak yang berperan penting membantu penulis dalam
menyelesaikan ini semua.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
masukan dan saran-saran. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang tidak terhingga
penulis haturkan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., MSc (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis dan
penyempurnaan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Kezeirina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program
penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.
6. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing dengan
penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada
penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.
7. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Dosen Pembimbing yang dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
penulis dalam penyempurnaan tesis ini.
8. Seluruh staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama
menuntut ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
9. Seluruh staf Pegawai Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis demi
kelancaran administrasi penulis dalam menyelesaikan penulisan ini;
10. Bapak-bapak dan ibu-ibu Notaris di Kota Medan yang telah memberikan
masukan-masukan dan keterangan-keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan
tesis ini.
11. Rekan-Rekan Penulis Mahasiswa/I Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara khususnya angkatan 2009 yang tidak penulis
sebutkan namanya satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi penulis
untuk bisa menyelesaikan Tesis ini.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan doa kepada Allah SWT yang
ditujukan kepada ayahanda tercinta Almarhum Haji Bustami Said, SH, semoga arwah
beliau senantiasa berada disisiNya, rasa haru untuk beliau, moga harapan beliau
yang telah memberikan semangat, dorongan dan doanya yang tidak terhingga demi
perjuangan penulis meraih cita-cita dan buat ananda tersayang Irham Habiburrahman
Tanjung yang senantiasa memberikan keceriaan buat penulis disaat penulis
menyelesaikan tesis ini
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa tesis ini tidak luput
dari kekurangan dan kelemahan, baik penulisan maupun substansi yang masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan penulisan tesis ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
penulis pada khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya.
Medan, Juni 2012 Penulis
Nama : Arfansyah Putra Tanjung, SH
Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 22 Juni 1975
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Kawin
Alamat : Jl. Pimpinan gang Rahayu nomor 1 Medan
II. KELUARGA
Nama Isteri : Siti Henizar Hasibuan, SPd
Nama Anak : Irham Habiburrahman Tanjung
Nama Ayah : Alm.H.Bustami Said, SH
Nama ibu : Hj. Mardiah Tanjung
Ayah Mertua : Syamsul Hasibuan
ibu Mertua : Siti Arneti
III. PENDIDIKAN
SD. Swasta Batara Guru Medan (1981-1987)
SMP. Negeri XI Medan (1987-1990)
SMK. Prayatna Medan (1990-1993)
S1 Universitas pembangunan Panca Budi Medan (1998-2002)
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian ... 15
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16
1. Kerangka Teori ... 16
2. Kerangka Konsepsi ... 23
G. Metode Penelitian ... 28
1. Spesifikasi Penelitian ... 28
2. Teknik Pengumpulan Data ... 29
3. Alat Pengumpulan Data ... 30
4. Analisis Data ... 31
BAB II KEDUDUKAN AKTA PERIKATAN JUAL BELI PADA HAK ATAS TANAH YANG DIBUAT OLEH NOTARIS ... 32
A. Pengertian Akta ... 32
1. Akta Notaris ... 32
2. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 38
BAB III PEMBERIAN KUASA BLANKO DALAM AKTA
PERIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH ... 82
A. Pengertian Kuasa ... 82
B. Kuasa Blanko ... 91
C. Kedudukan Hukum Kuasa Blanko ... 95
BAB IV PEMAKAIAN KUASA BLANKO DAN ISI KUASA BLANKO PADA AKTA PERIKATAN JUAL BELI... 97
A. Pemakaian Kuasa Blanko ... 97
B. Isi Kuasa Blanko ... 100
C. Putusan Pengadilan Negeri ... 105
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 110
kepada pihak kedua dan siapa saja yang ditunjuk secara sepihak oleh pihak kedua yang namanya tidak dicantumkan dalam akta Perikatan Jual Beli (Kuasa Blanko). Apabila pihak pertama (penjual) dan pihak kedua (pembeli) tidak dapat memberikan bantuannya di dalam melangsungkan jual beli dihadapan PPAT. Untuk itu penandatanganan akta jual belinya oleh pihak pertama diwakili oleh penghadap lain yang namanya dicantumkan dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli tersebut sedangkan oleh pihak kedua (pembeli) dapat diwakili oleh penghadap lain sebagai kuasa lisan. Selanjutnya akta jual beli dan persyaratan-persyaratan lainnya yang telah terpenuhi berikut sertipikat hak atas tanahnya didaftarkan dikantor pertanahan setempat, guna pendaftaran peralihan nama dari penjual kepada pembeli, namum setelah selesai sertipikat di balik nama keatas nama pembeli, pihak penjual menggugat pembeli karena merasa tidak pernah menandatangani akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT dan bahkan menggugat notaris serta pegawai notaris yang namanya tercantum dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli, Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk melakukan penelitian dengan menjawab permasalahan. Bagaimana kedudukan akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris, Bagaimana pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah. Bagaimana pemakaian kuasa blanko dan isi kuasa blanko pada akta perikatan jual beli hak atas tanah.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Kedudukan Akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris adalah akta otentik yang merupakan akta awal dari suatu akta jual beli yang nantinya akan dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. Pemberian kuasa tidak hanya terbatas dilakukan oleh seseorang kepada orang lain namun dapat dilakukan oleh lebih dari seseorang kepada orang lain atau lebih, kuasa blanko termasuk dalam jenis kuasa khusus karena hanya digunakan untuk satu kepentingan saja, pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli yakni semata-mata untuk kepentingan yang disebutkan dalam akta tersebut. Pengaturan pemakaian kuasa blanko dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tidak tegas dan jelas ini terlihat dari pasal demi pasal undang-undang tersebut, tidak adanya pengaturan pemakaiannya sehingga perlu penafsiran yang lebih dalam guna pemakaian kuasa blanko tersebut.
signing a Trading Agreement before a Land Certificate Issuing Official. This granting authority by the first party to the second party and whoever appointed by the second party whose name is not included in the Trading Agreement is called Blank Authority. If the first party (the seller) and the second party (the buyer) cannot help in performing the trading before the Land Certificate Issuing Official, the signing of the Trading Agreement by the first party is represented by the other person appearing whose name is included in the Blank Authority of the Trading Agreement while the second party (the buyer) can be represented by the other person appearing in his/her capacity as the one who holds verbal power of attorney. Then, the trading agreement and the other requirements met as well as the land certificate are registered in the local land office to register the transfer of name on the document from the seller to the buyer. After the certificate with the name of the buyer has been issued, the seller sued the buyer because the seller said that he/she never signed the trading Agreement made before the Land Certificate Issuing Official and the seller even sued the notary and the employee of the notary whose name is included in the Blank Authority of the Trading Agreement. This purpose of this study was to analyze the position of right to land trading agreement made by a notary, to answer how the blank authority in a right to land trading agreement is granted, and to find out the contents of blank authority and how the blank authority in a right to land trading agreement is used.
The data for this descriptive analytical study with juridical empirical approach were primary and secondary data obtained through interviews and the study of primary, secondary and tertiary legal materials collected through library research. The obtained were qualitatively analyzed.
The position of the right to land trading agreement made by a notary is an authentic agreement which becomes an initial agreement of a trading agreement to be made before the authorized Land Certificate Issuing Official. The granting of blank authority in the trading agreement is merely for the purpose of signing the trading agreement before the Land Certificate Issuing Official. Granting authority is not limited to be done by a person to another person but it can also be done by more than one person to one or more persons. The blank authority belongs to a special kind of authority because it is used for a single purpose only. The regulation for the use of blank authority in Law on Notary Position is not strict and clear. It is clearly seen from the articles of the law. The absence of regulation of using the blank authority makes it necessary to do a deeper interpretation in using the blank authority.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup
bersama-sama dengan manusia lain. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat
hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu,
manusia juga punya hasrat untuk bermasyarakat.
Seorang ahli pikir bangsa Yunani yang bernama Aristoteles menyatakan
bahwa manusia adalah zoon politication yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia.1
Hidup bermasyarakat ialah bercampur dan bergaul dengan sesamanya untuk
dapat memenuhi segala kebutuhan agar dapat hidup layak sebagai manusia
melakukan kerja sama yang positif sehingga kerja sama itu secara konkret dapat
membawa keuntungan yang besar artinya bagi kehidupan anggota masyarakat
tersebut. Kerja sama secara positif adalah dalam upaya mengejar kehidupan yang
layak sebagai manusia. Masing-masing mereka tidak boleh menganggu, tetapi harus
saling membantu. Sebagai individu, manusia tidak dapat hidup untuk mencapai
segala sesuatu yang diinginkannya dengan mudah, tanpa bantuan orang lain atau
harus adanya kontak diantara individu lainnya agar dapat memenuhi segala
kebutuhan mereka. Oleh karena manusia saling mempunyai kebutuhan yang tidak
dapat diwujudkannya seorang diri saja tanpa bantuan dari manusia lainnya maka
untuk itu mereka harus hidup bermasyarakat. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan
tersebut beraneka ragam bentuknya sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Setiap anggota masyarakat mempunyai kebutuhan dan kepentingan.
Seseorang dalam kehidupannya sehari-hari membutuhkan beraneka ragam kebutuhan,
diantaranya kebutuhan pangan, sandang dan papan. Kesemua itu tidak mungkin dapat
dilakukannya tanpa berhubungan dengan orang lain dan kebutuhan tersebut ada yang
sama dan ada pula yang bertentangan, misalnya kepentingan si penjual dan
kepentingan si pembeli. Kepentingan si penjual adalah untuk menerima uang,
sedangkan kepentingan si pembeli adalah untuk menerima barang yang dibelinya.
Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda di dalam
masyarakat tersebut maka sering terjadi pertentangan-pertentangan antara satu
kepentingan dengan kepentingan lainnya. Agar kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan itu tidak menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat. Agar
perdamaian dalam masyarakat tetap terpelihara, ketertiban, kebenaran dan keadilan
dapat ditegakkan, maka masyarakat memerlukan petunjuk hidup yang dinamakan
”hukum”.
Secara umum dapat dilihat bahwa hukum merupakan suatu aturan tingkah
mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap
anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.2
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan,
yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup
tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.3
Secara umum dapat dilihat bahwa hukum merupakan suatu aturan tingkah
laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat
mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap
anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.
Dahulu masyarakat dalam melakukan perbuatan hukum cukup dengan adanya
kata sepakat dari kedua belah pihak secara lisan, dengan dilandasi atas saling percaya
mempercayai. Sebagian besar masyarakat terutama pada masyarakat yang masih
diliputi oleh adat kebiasaan yang kuat masih kurang menyadari pentingnya suatu
dokumen sebagai alat bukti sehingga kesepakatan diantara para pihak cukup
dilakukan secara lisan. Untuk peristiwa-peristiwa yang penting hanya dibuktikan
dengan kesaksian dari beberapa orang saksi, biasanya yang menjadi saksi ialah
tetangga, teman sekampung, pegawai desa atau pengetua adat. Seiring dengan
perkembangan zaman, kebutuhan akan alat bukti tertulis dirasakan semakin penting.
Setiap model hubungan yang dijalin seperti perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh
masyarakat (para pihak) akan melahirkan hak dan kewajiban baru bagi
masing-masing pihak. Hak dan kewajiban ini perlu dibentengi dengan dokumen-dokumen
yang dapat dijamin legalitasnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam
pemenuhan atau pelaksanaan hak dan kewajiban.4
Adanya kesadaran hukum yang tinggi pada masyarakat merupakan salah satu
faktor yang mendorong masyarakat untuk membuat perjanjian dihadapan notaris.
Kesadaran hukum yang tinggi pada masyarakat yang ditandai dengan semakin
meningkatnya permintaan jasa notaris, meningkatnya taraf hidup masyarakat, adanya
kemajuan teknologi yang begitu cepat dan semakin banyaknya lapangan usaha yang
tersedia di berbagai bidang sehingga menimbulkan dan mendorong para pelaku bisnis
meningkatkan kegiatan usahanya di berbagai bidang. Oleh karena itu dirasakan
perlunya akan akta notaris dalam praktek lalu lintas hukum dalam masyarakat yang
semakin maju dan kompleks.5Hal ini adalah logis karena setiap orang yang mengikat
perjanjian dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka, sehingga hal yang
sangat penting mengingat kepastian hukum yang lebih besar yang mengikat bagi
mereka yang mengadakan persetujuan tersebut.
Setiap masyarakat membutuhkan seorang figur yang
keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya tanda tangannya serta segelnya
memberikan jaminan dan bukti yang kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan
penasihat hukum yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), dan
membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di kemudian hari. Kalau seorang
advokat membela hak-hak seorang ketika timbul suatu kesulitan, maka lain halnya
dengan notaris yang harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan.6
Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai ”notariat” ini timbul dari
kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang mengkehendaki adanya alat bukti
baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi di antara
mereka, suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan
umum (openbaar gezag) untuk dimana dan apabila undang-undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang
mempunyai kekuatan otentik.7
Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan manusia semakin bertambah.
Salah satu kebutuhan tersebut adalah papan atau tempat tinggal yang dewasa ini
sangat meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Tempat tinggal
atau rumah tersebut didirikan diatas sebidang tanah yang penguasaan atas tanah
tersebut dapat diperoleh berdasarkan hibah, tukar menukar, jual beli dan sebagainya.
Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kepastian hukum yang diwujudkan
dalam suatu alat bukti yang kuat yaitu berupa akta otentik, maka kedudukan notaris
sebagai Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
(kecuali ditentukan lain oleh undang-undang) juga semakin penting. Akta-akta yang
6 Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2000, Hal. 162
dibuat oleh notaris benar-benar dapat diterima sebagai alat bukti sempurna diantara
para pihak yang membuat perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN)
yang menyatakan bahwa ”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
undang-undang ini”. Perbuatan hukum atas penguasaan dan pemilikan hak atas tanah tidak
terlepas dari peran serta notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Salah satu
tugas notaris dan PPAT adalah dalam hal pembuatan akta pengalihan hak atas tanah.
Pengalihan hak atas tanah yang belum bersertifikat dilakukan oleh Notaris.
Sedangkan pengalihan hak atas tanah yang telah bersertifikat dilakukan dihadapan
PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti
mengenai perbuatan hukum tertentu atas tanah. Dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah8ditegaskan bahwa dalam
melaksanakan pendaftaran tanah, kepala kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT yang
diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu
atas tanah sebagai dasar alat bukti peralihan hak atas tanah.
Alat bukti mengenai perbuatan hukum telah terjadinya peralihan hak dengan
jual beli bagi tanah-tanah yang telah bersertipikat dalam prakteknya pelaksanaan jual
beli atas tanah belum dapat langsung ditandatangani akta jual belinya dihadapan
8Indonesia,Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN
PPAT, walaupun kata sepakat telah terjadi antara calon penjual dan calon pembeli.
Sebelum penandatangan akta jual beli harus terlebih dahulu dipenuhi syarat-syarat
formal, yakni syarat-syarat umum terdiri dari sertifikat hak atas tanah (guna cek
bersih sertipikat di kantor pertanahan setempat), kartu tanda penduduk (KTP), surat
pemberitahuan pajak terhutang pajak bumi dan bangunan tahun terakhir, bukti
pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi pembeli
dan bukti pembayaran pajak penghasilan (PPh) bagi penjual.9
Untuk itu biasanya diadakan suatu perjanjian dan mengikat kedua belah pihak
dimana penjual dan pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk melakukan jual beli
sampai terpenuhi segala sesuatu yang menyangkut jual beli. Perjanjian seperti ini
biasanya disebut Perikatan Jual Beli. Yakni penjual dan pembeli membuat suatu akta
Perikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris bukan di hadapan PPAT. Dimana
syarat-syarat bagi terpenuhinya suatu jual beli tanah bersertifikat belum sepenuhnya
dipenuhi baik oleh penjual maupun pembeli.
Dalam pasal 1 peraturan jabatan Notaris, dikemukakan bahwa Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau
oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse,
9 J Kartini Soedjendro, Perjanjian Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Yogyakarta,
salinaan dan kutipannya, semuanya sepanjang akta itu oleh suatu peraturan tidak juga
ditugaskan atau dikecualikkan kepada pejabat atau orang lain.10
Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh Undang-Undang dalam
membuat akta dan sekaligus notaris merupakan perpanjangan tangan pemerintah.
Dalam menjalankan jabatannya notaris harus bersifat professional dan mematuhi
peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi kode etik notaris. Notaris
sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang
dibuatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral.
Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris11 telah
diatur secara umum tentang tugas-tugas notaris sebagai pejabat umum yang membuat
akta otentik. Akta otentik sebagai alat bukti yang terkuat mempunyai peranaan
penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat yang dapat
menentukan secara jelas hak dan kewajiban sehingga menjamin kepastian hukum dan
sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadi sengketa. Notaris berkewajiban
bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum yang dilakukan dihadapannya menurut
Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004.
Penjual dan pembeli menyatakan kehendak untuk melangsungkan jual beli
yang sesungguhnya yaitu jual beli yang dilangsungkan menurut ketentuan Pasal 26
10Suhrawardi K Lubis,Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.35
11 Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, No. 30 Tahun 2004, LN No. 117
Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria
yang disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria bahwa jual beli merupakan salah
satu cara untuk pemindahan hak kepemilikan atas tanah.
Alasan-alasan yang mendasari dibuatnya akta Perikatan Jual Beli oleh penjual
dan pembeli karena penjual dan pembeli belum dapat memenuhi syarat-syarat untuk
melakukan jual beli yang definitive dihadapan PPAT sedangkan keduanya telah
setuju untuk melakukan transaksi jual beli. Dalam PJB juga dicantumkan harga jual
beli lunas (tunai) yang telah disepakati, cara pembayaran , penyerahan sertipikat dan
hal-hal lainnya.
Kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak berarti menyetujui
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perikatan Jual Beli termasuk didalamnya
pemberian kuasa. Dalam KUHPerdata pemberian kuasa diatur dalam buku III,
dimulai dari pasal 1792 sampai dengan pasal 1819. Pemberian kuasa dapat dilakukan
secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara
umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang atau lebih
dari satu orang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan12. Kemudian makna kata-kata “untuk
dan atas namanya” berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama
12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.
pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian itu menjadi tanggung
jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan.
Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu
tulisan dibawah tangan bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan.
Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari
pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.13
Orang yang telah diberikan kuasa, (ia dinamakan”juru kuasa” atau juga
“kuasa" saja) melakukan perbuatan hukum tersebut “atas nama” orang yang
memberikan kuasa artinya adalah bahwa apa yang dilakukan itu adalah “atas
tanggungan” si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban orang yang memberi
kuasa. Atau bahwa, kalau yang dilakukan itu berupa membuat (menutup) suatu
perjanjian, maka si pemberi kuasalah yang menjadi “pihak” dalam perjanjian itu.14
Atau dengan kata lain penerima kuasa diberikan wewenang untuk mewakili pemberi
kuasa, akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah
merupakan tindakan hukum pemberi kuasa.
Ada beberapa macam pemberian kuasa umum dikenal oleh masyarakat karena
seringkali dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Macam pemberian kuasa itu dapat
dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih,
atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Pemberian
13Ibid, Pasal 1793
kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan
pengurusan.15
Dalam pemberian kuasa terdapat batasan-batasan seperti pasal 1792
KUHPerdata, memberikan batasan sebagai berikut: pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang
menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan.16
Dalam Perikatan Jual Beli juga tercantum pemberian kuasa dari penjual
(pihak pertama), kepada pembeli (pihak kedua) yang dalam pelaksanaannya
dipergunakan untuk penandatanganan Akta Jual Beli di hadapan PPAT, pemberian
kuasa oleh pihak pertama kepada pihak kedua dan siapa saja yang ditunjuk oleh pihak
kedua yang namanya tidak dicantumkan dalam Perikatan Jual Beli. Surat kuasa
dimana penerima kuasa tidak dicantumkan namanya didalam akta atau dikenal
dengan “Kuasa Blanko”.17 Kelak kalau kuasa itu mau dipergunakan, cukup ditulis
identitas penghadap yang akan menjalankan kuasa tersebut di dalam akte perikatan
jual beli.
Setelah persyaratan-persyaratan untuk melakukan jual beli telah terpenuhi
maka dibuatlah akta jual beli dihadapan PPAT. Akta jual beli yang dibuat tersebut
berdasarkan akta Perikatan Jual Beli. Para pihak harus datang kembali menghadap
PPAT untuk menandatangani akta jual belinya. Namun kadang kala pihak pertama
15
Ibid, Hal. 143
16Djaja S. Meliala,Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Bandung, Nuansa Aulia, 2008, hal.2
(penjual) dan pihak kedua (pembeli) tidak dapat memberikan bantuannya di dalam
melangsungkan jual beli dihadapan PPAT. Untuk itu penandatanganan akta jual
belinya oleh pihak pertama dan pihak kedua diwakili oleh penghadap lain yang
namanya dicantumkan dalam kuasa blanko akta PJB tersebut. Dalam praktek
sehari-hari Notaris, didalam kuasa blanko dicantumkan nama pegawai notaris yang
menjalankan akta Jual Beli tersebut yang mewakili pemberi kuasa yang tadinya
berstatus sebagai penjual.
Selanjutnya akta jual beli dan persyaratan-persyaratan lainnya yang telah
terpenuhi berikut sertipikat hak atas tanahnya didaftarkan dikantor pertanahan
setempat, guna pendaftaran peralihan nama dari penjual kepada pembeli, namum
setelah selesai di balik nama pihak penjual menggugat pembeli karena merasa tidak
pernah menandatangani akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT dan bahkan
menggugat notaris serta pegawai notaris yang namanya tercantum dalam kuasa
blanko akta Perikatan Jual Beli, maka siapa yang harus bertanggung jawab akan hal
tersebut.
Akta Perikatan Jual Beli tersebut sudah mewakili sebagai alat bukti yang
otentik tapi mengapa masih ada saja pihak-pihak yang menggugat notaris atas
penggunaan kuasa blanko tersebut. Jika notaris selalu dilibatkan dan diikut sertakan
sebagai tersangka tentu hal tersebut akan mengganggu kelancaran tugas notaris dalam
melaksanakan jabatannya.
Kronologis kasus bermula ketika Tuan THS sebagai Penggugat bertindak
hadapan Notaris R telah mengalihkan sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik
nomor 686 seluas 536 M2, tercatat atas nama IS kepada Tuan AHS selaku Tergugat I
yang dibuat dihadapan Notaris E sebagai Tergugat II.
Pengalihan hak atas tanah tersebut dilaksanakan dengan Akta Pengikatan Jual
Beli karena syarat-syarat untuk Akta Jual Beli yang definitif belum terpenuhi dan
harga jual beli telah dilunasi oleh Tergugat I kepada Penggugat. Setelah syarat-syarat
untuk Akta Jual beli dipenuhi maka dibuatlah Akta Jual Belinya yang kemudian
ditandatangani oleh pegawai notaris selaku Tergugat III bertindak berdasarkan kuasa
blanko yang tertera dalam akta pengikatan jual beli tersebut dan kemudian
didaftarkan balik nama sertifikat keatas nama Tergugat I pada Kantor Badan
Pertanahan Nasional setempat.
Penggugat merasa keberatan setelah mengetahui bahwa sertifikat atas tanah
tersebut telah tercatat atas nama Tergugat I karena Penggugat tidak pernah
menandatangani Akta Jual Belinya ataupun memberi kuasa apapun kepada Tergugat
III bahkan Penggugat tidak mengenal Tergugat III.
Kasus tersebut telah diajukan dan didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Medan pada tanggl 06 Februari 2009 dengan Register nomor :
51/Pdt.G/2009/PN.Mdn dan telah diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
di Medan pada tanggal 17 Desember 2009 dengan putusannya adalah menolak
gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
Berdasarkan gambaran tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun
Blanko Pada Akta Perikatan Jual Beli”dengan studi putusan Pengadilan Negeri di
Medan nomor: 51/Pdt.G/2009/PN.Mdn.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat
oleh Notaris?
2. Bagaimana pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli hak atas
tanah?
3. Bagaimana pemakaian kuasa blanko dan isi kuasa blanko pada akta perikatan
jual beli?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kedudukan akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang
dibuat oleh Notaris.
2. Untuk mengetahui sejauh mana pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan
jual beli hak atas tanah.
3. Untuk mengetahui pemakaian kuasa blanko dan isi kuasa blanko pada akta
perikatan jual beli
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan untuk memecahkan hal-hal
1. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang kenotariatan,
dan berguna bagi Notaris dalam membuat akta Perikatan Jual Beli.
2. Secara praktis, melalui penelitian ini diharapkan :
a. berguna bagi praktisi hukum dalam menjalankan tugasnya sehingga
permasalahan tidak akan terjadi dan segera teratasi.
b. menjadi sumbangan pemikiran bagi para penegak hukum agar penegakan
hukum dapat berjalan dengan baik.
c. dapat menjadi kajian lebih lanjut bagi akademisi yang ingin melakukan
pengembangan ilmu pengetahuan.
d. berguna bagi masyarakat umum dan khususnya pembaca penelitian ini.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, khususnya pada
sekolah Pasca Sarjana program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, ternyata belum ditemukan judul mengenai Analisis Yuridis Pemberian Kuasa
Blanko Pada Akta Perikatan Jual Beli.
Namun demikian dari hasil penelusuraan kepustakaan terdapat penelitian yang
berjudul sebagai berikut :
1. “Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Dengan Akta Perikatan Jual Beli Yang
Dibuat Notaris Dalam Kota Medan.” Oleh Chairani Bustami, NIM 002111046
2. “Kekuatan Dan Kelemahan akta Perjanjian jual beli yang dibuat Notaris” oleh
ZULFAHMY, NIM 027011067 dan permasalahan yang dibahas adalah
bagaimana kesiapan notaris dalam melayani permintaan para pihak dalam
pembuatan perjanjian jual beli yang memberikan kepastian hukum bagi para
pihak, hal-hal apa saja yang menyebabkan dilaksanakannya perjanjian jual beli
dan kendala-kendala apa yang mungkin timbul dari perjanjian jual beli tersebut,
dan bagaimana kekuatan hukum dan kelemahan suatu akta perjanjian jual beli
yang dibuat dihadapan notaris yang dikaitkan dengan pendaftaran peralihan hak
atas tanah.
Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan
yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan hukum
juga mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain
bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat
ditentukan oleh teori.18
Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan
pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari
rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.19
Menurut Snelbecker yang mendefinisikan teori sebagai perangkat proposisi
yang terintegrasi secara sintaksi (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat
dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati)
dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang
diamati.20
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya
yang tertinggi.21 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari
mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.22
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.23
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkan pada
19 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 134
20 Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Hukum, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990,
hal.34
21Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 254 22Ibid, hal. 253
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. Oleh sebab itu, kerangka teori
mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut :
1 Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
2 Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina strukrut konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. 3 Teori biasanya merupaka suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannyaa yang menyangkut objek yang diteliti.
4 Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin factor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
5 Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan penelitian.24
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan
penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi
atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan
pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat
rasional serta harus sesuai dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung
dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya. Teori juga
bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu,
orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai ”pisau
analisis” pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam
masalah penelitian.25
Teori penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan aliran hukum
positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan :
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik buruk.26
Pengertian perintah dari penguasa yang berdaulat tersebut dengan disertai
sanksi. Sanki ini dikatakan sebagai memberikan rasa malu bagi setiap kejahatan yang
terjadi.27 Oleh karena itu, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu
adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Disini letak korelasi antara
persoalan kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan hukum.
Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara,
menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas
yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu
(kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan
pekerjaan tetap.28
Apabila notaris dalam menjalankan profesinya tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan yang telah ada tentunya itu sudah tidak patuh pada UUJN, Persengketaan
antara para pihak dapat terjadi meskipun notaris telah memenuhi
ketentuan-ketentuaan yang berlaku, hal ini bukan karena kesalahaan notaris namun adalah
kesalahan para pihak yang tidak memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
26Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,
hal.55
27
Lili Rasjidi dan Arief Sidarta, filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, CV. Remadja Karya, Bandung, 1989, hal 129
28Habib Adjie,Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009,
sesuai dengan kenyataan, namun notaris juga harus ikut bertanggung jawab atas hal
tersebut. Oleh karena itu, notaris yang merupakan jabatan tertentu yang menjalankan
profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan
dan jaminan demi tercapainya, kepastian, keadilan serta ketertiban umum.
Tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik, dalam pasal 1868
KUHPerdata, dinyatakan bahwa, suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam
bentuknya ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana akta dibuatnya. Adapun
unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1 Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum.
2 Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.
3 Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk
membuatnya ditempat dimana akta itu dibuat.
Alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, pristiwa atau
perbuatan hukum dibutuhkan untuk menjamin kepastian, keadilan dan ketertiban
yang diselenggarkana melalui jabatan tertentu. Notaris dalam menjalankan profesinya
tertentu harus patuh pada UUJN, Kode etik notaris KUHPerdata dan KUHPidana
serta peraturan-peraturan yang berlaku lainnya agar kepastian, keadilan dan
ketertiban hukum dapat tercapai.
Lawrence M. Friedman dalam hubungannya dengan sistem hukum,
1. sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistim itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya.
2. sistem hukum mempunyai substansi, yaitu berupa aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sitem tersebut.
3. sistem hukum mempunyai komponen budaya huku yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sitem hukum itu sendiri, seperti kepercayaan. Nilai, pemikiran serta harapannya.29
Perikatan Jual Beli dapat digolongkan dalam suatu perikatan bersyarat
tangguh sesuai pasal 1253 KUHPerdata, dimana berdasarkan isi perjanjian jual beli
hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam perjanjian tersebut ditangguhkan
pelaksanaanya oleh para pihak, perikatan yang lahir digantungkan pada suatu
peristiwa yang dalam hal ini adalah terpenuhinya syarat-syarat dalam melaksanakan
perjanjian jual beli dihadapan PPAT sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 24
tahun 1997 atau dengan kata lain isi pokok perjanjian dalam perikatan jual beli atas
tanah sebagaimana diatur dalam peraturan tanah nasional akan dilaksanakan para
pihak apabila hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian pengikatan jual beli
tersebut telah terpenuhi.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) jual beli
adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan (hak milik atas) suatu benda kepada pihak lainnya (pembeli) untuk
membayar harga yang telah dijanjikan sesuai dengan pasal 1457 KUHPerdata.
29Lawrence M. Friedman,Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001,
Pasal 1458 KUHPerdata menyebutkan jual beli dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak pada saat dicapai kata sepakat mengenai benda yang diperjual
belikan beserta harganya walaupun benda dianggap telah terjadi antara kedua belah
pihak pada saat dicapai kata sepakat mengenai benda yang belum diserahkan dan
harga belum dibayar.
Dalam KUHPerdata juga disebutkan bahwa penyerahan benda tak bergerak
dilakukan dengan suatu akta otentik, sebagaimana disebutkan dalam pasal 612 sampai
dengan pasal 620 KUHPerdata, atau dengan kata lain kepemilikan suatu benda tak
bergerak harus dibuktikan dengan surat atau akta tertentu dan pihak lain memberikan
pengakuan atas kepemilikan tersebut.
Dalam jual beli tanah dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak
atas tanah yang bersangkutan kepada pihak pembeli dan pihak pembeli berjanji untuk
membayar kepada pihak penjual dengan harga yang telah disepakati bersama. Yang
harus diserahkan oleh penjual kepada pembeli adalah hak milik atas barangnya, jadi
bukan sekedar kekuasaan atas barang tadi.30
Bentuk jual beli harus dilaksanakan dengan akta jual beli, tujuan akta itu
hanya sekedar mensejajarkan jual beli itu dengan keperluan penyerahan yang
kadang-kadang memerlukan penyerahan secara yuridis (juridische levering) disamping penyerahan nyata (feitelijk levering).31
Menurut hukum adat jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak
atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak
harus dilakukan dihadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang
menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga
perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan
pemindahan hak dan pembayaran harga tanah dibayar kontan, atau baru dibayar
sebagian, dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat
menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang
piutang.32
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) istilah jual beli hanya
disebutkan dalam pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah.
Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi
disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan
yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual
beli, hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Jadi, mekipun dalam pasal hanya
disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan
hak atas tanah karena jual beli.
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul
penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkominikasikannya semata-mata kepada
pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun
peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian bersangkutan.33
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.34
Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian
atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.35 Suatu Kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi
dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep
merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.36
Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi
untuk melahirkan suatu konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.37
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala
yang akan diteliti, akan tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu
sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai
33Sanapiah Faisal, Format-Format penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,
Hal. 107-108
34Samadi Suryabrata,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Hal. 3. 35
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU,2002, Hal.35
36Soerjono Soekanto,Op.Cit, Hal. 132
hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.38 kerangka konsep mengandung baginya
atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai sesuatu
permasalahan.39
Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan
perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk
pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari
peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional
tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan
pedoman operasional didalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan
konstruksi data.
Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), menganut
asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian
yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Dalam pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian
“mengikat” kedua belah pihak, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk
membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Tidak saja leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketentuan
yang diatur dalam bagian khusus Buku III. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang
ditetapkan dalam Buku III itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang
berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri.
Perikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian yang
diangkat dan dibuat dari konsepsi Kitab Undang-undang hukum perdata yang
merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat
berdasarkan pasal 1320 jo pasal 1338 Kitab Undang-undang hukum perdata sehingga
dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang
membuatnya.
Demikian dengan pemberian kuasa blanko yang diuraikan dalam pasal 26 ayat
3 Peraturan Jabatan Notaris yang berbunyi “ketentuan dalam pasal ini sebegitu jauh
tidak berlaku terhadap surat-surat kuasa, sehingga diperkenankan untuk tidak mengisi
dalam akta itu nama atau nama kecil dari yang diberi kuasa, kedudukan dan tempat
tinggalnya.40
Pemberian kuasa blanko dipergunakan untuk melaksanakan akta jual beli
yang definitive dihadapan PPAT yang berwenang untuk itu dimana letak objek jual
beli tersebut berada dan mutlak dipergunakan hanya untuk kepentingan pihak
pembeli.
Oleh karena itu definisi operasional dalam penelitian ini yaitu :
a. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.41
b. Kuasa Blanko adalah kuasa dimana penerima kuasa tidak dicantumkan namanya
didalam akta tetapi hanya ada titik-titik atau dikosongkan dalam Akta.
c. Akta adalah akta notaris sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 7
UUJN, akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris.
d. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu
mempunyai hak dan pihak yang lainnya mempunyai kewajiban.42
e. Jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual dengan berjanji
menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikatkan diri dengan berjanji untuk membayar harga.43
f. Perikatan Jual beli adalah perjanjian antara pihak penjual dan pihak pembeli
sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus
dipenuhi untuk jual beli tersebut.44
41
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),Op.Cit,pasal 1792
42J.Satrio,Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal.3 43M. Yahya Harahap,Op.cit, hal 182
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sitematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Saat ini sangat
diperlukan metode yang akan dipergunakan untuk memberikan gambaran dan
jawaban atas masalah yang akan dibahas.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu
analitis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan
teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang
seperangkat data atau menunjukkan komparisi atau hubungan seperangkat data
dengan seperangkat data yang lain.45
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris didukung oleh
pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk melihat
kenyataan secara langsung yang terjadi dalam praktek di lapangan sedangkan
pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat
peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan
terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan mengingat permasalahan yang diteliti pada peraturan-peraturan
45Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
perundang-undangan yaitu hubungan peraturan yang satu dengan peraturan yang
lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan (Library Research) yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer yakni :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Umum Pembuat
Akte Tanah (PPAT).
Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisa dan memahami
bahan hukum primer, antara lain, pandangan ahli hukum atau pendapat para sarjana.
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan primer dan bahan sekunder, antara lain, kamus besar bahasa Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan dua metode pengumpulan
data yaitu studi pustaka dan penelitian lapangan. Untuk melengkapi data sekunder,
maka penelitian ini didukung oleh data primer yang diperoleh melalui penelitian
3. AlatPengumpulan Data a. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
studi kepustakaan (Library Research) yaitu dilakukan untuk memperoleh atau mencari
konsepsi-konsepsi teori-teori atau doktrin-doktrin yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian. Studi kepustakaan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier. Bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro dokumen pribadi dan
pendapat ahli hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder.46
b. Wawancara
Disamping studi kepustakaan, penelitian ini juga melakukan wawancara langsung
dengan narasumber dengan mempergunakan pedoman wawancara yang bertujuan untuk
mendapatkan data pendukung menjamin ketepatan dan keabsahan hasil wawancara.
Wawancara dilakukan dengan beberapa orang Notaris di Kota Medan sebagai
narasumber yaitu :
1. Notaris Soeparno, SH
2. Notaris Darmansyah Nasution, SH 3. Notaris Suprayitno, SH
4. Notaris Alimin Danutirto, SH 5. Notaris Abidin S Panggabean, SH 6. Notaris Mangatas Nasution, SH 7. Notaris Muhammad Syafei, SH 8. Notaris Junita Ritonga, SH 9. Notaris Ekoevidolo, SH 10. Notaris Erna Waty Lubis, SH 11. Notaris Tri Yanty Putri, SH 12. Notaris Iflina Roswani, SH 13. Notaris Dewi Lestari, SH
14. Notaris Irma Yolanda Handayani, SH 15. Notaris Elvina Yuliana, SH
16. Notaris Zulnafriyanti, SH
17. Notaris Adawiyah Nasution, SH, MKn 18. Notaris Agustina Karnawati, SH 19. Notaris Indira Teratai Anniezoen, SH
20. Nyonya Delima (Pegawai Pensiunan Notaris)
4. Analisis Data
Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara
kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, yaitu
metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas.47
Semua data yang telah diperoleh terlebih dahulu diolah untuk mendapatkan
gambaran yang sesuai dengan kebutuhan, kemudian dianalisi dengan menggunakan
analisis kualitatif, data-data primer, data skunder maupun data tertier dikumpulkan
kemudian diseleksi dan kemudian ditentukan data yang penting dan data yang tidak
penting kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan cara deduktif agar
mendapatkan jawaban dari permasalahan.
47 Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-Metode
BAB II
KEDUDUKAN AKTA PERIKATAN JUAL BELI PADA HAK ATAS TANAH YANG DIBUAT OLEH NOTARIS
A. Pengertian Akta
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta adalah surat tanda bukti berisi
pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan) tentang peristiwa hukum yang dibuat,
dan disahkan oleh pejabat resmi.
Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian mengenai akta adalah surat
sebagai alat bukti yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian.48
Subekti mengatakan suatu akta ialah suatu tulisan yang memang dengan
sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.49
A Pitlo menyebutkan akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat,
untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan
siapa surat itu dibuat.50
1. Akta Notaris
Semua akta yang dibuat di hadapan notaris dapat disebut sebagai akta otentik.
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah sebuah akta yang dibuat dalam
48
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, Hal. 149 49Subekti,Hukum Pembuktian, Pradya Paramitha, Jakarta, 1995, Hal 25
50
bentuk akta yang ditentukan oleh undang-undang atau dibuat di hadapan pejabat
umum yang berwenang di tempat pembuatan akta itu. Akta otentik itu proses
pembuatan dan penandataganannya dilakukan dihadapan notaris. Akta otentik dapat
membantu bagi pemegang/pemiliknya jika tersangkut kasus hukum.
Suatu akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh
pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta otentik dapat dibedakan menjadi
akta yang dibuat ”oleh” pejabat umum dan akta yang dibuat ”dihadapan” pejabat
umum. Akta yang dibuat ”oleh” pejabat umum lazimnya disebut dengan istilah ”akta
pejabat” atau ”relaas akta”. Akta tersebut merupakan uraian secara otentik tentang
suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh
pejabat umum yaitu Notaris didalam menjalankan jabatannya.51 Contohnya berita
acara rapat pemegang saham perseroan terbatas. Dalam akta tersebut, notaris hanya
menerangkan atau memberikan kesaksian dari semua yang dilihat, disaksikan dan
dialaminya, yang dilakukan oleh pihak lain.
Sedangkan akta yang dibuat ”dihadapan” pejabat umum, lazimnya disebut
dengan istilah ”akta partij” (akta pihak).52 Akta ini merupakan akta yang berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain
dihadapan Pejabat Umum (Notaris), artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh
51
Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Telematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), hal. 128
52 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta,
para pihak kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya.53Contohnya adalah
akta-akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan di muka
umum atau lelang), wasiat, kuasa dan lain-lain.
Di Indonesia jabatan notaris diatur dalam sebuah undang-undang tersendiri,
yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk
selanjutnya disebut UUJN). Di dalam undang-undang tersebut yang disebut notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya.54 Undang-undang ini mengatur secara detail tentang praktik kenotariatan di
Indonesia.
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya
satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan
notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan notaris Indonesia
harus mengacu kepada UUJN.55
Pasal 1Reglement op het Notaris Ambt in IndonesieStaatsblad 1860 Nomor 3 menyatakan:56
De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen,
53G.H.S Lumban Tobing,Op. Cit., hal. 51 54Pasal 1 angka 1 UUJN
55Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum
Pengaturan Notaris, Renvoi, Nomor 28.Th.III, 3 September 2005, Hal. 38
56Artinya Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta