• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Komplikasi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUP H Adam Malik Medan pada Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Komplikasi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUP H Adam Malik Medan pada Tahun 2009"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI KOMPLIKASI TUBERKULOSIS PARU

PADA PASIEN DIABETES MELLITUS

DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN

PADA TAHUN 2009

Oleh:

YUEN KOK FOONG

070100248

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Prevalensi Komplikasi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUP H Adam Malik Medan pada Tahun 2009

Nama : Yuen Kok Foong

NIM : 070100248

Pembimbing Penguji I

(dr. Tetty Aman Nasution, M.Med.Sc.) (dr. Tri Widyawati, MSi)

NIP: 19700109 199702 2 001 NIP: 19760709 200312 2 001

Penguji II

(dr. Almaycano Ginting, M.Kes)

NIP: 19750524 200312 1 001

Dekan

Fakulatas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

(3)

NIP: 19540220 198011 1 001

ABSTRAK

Latar Belakang : Diabetes Mellitus (DM) dan tuberkulosis (TB) paru adalah dua keadaan yang berhubungan erat dan kedua-duanya merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan penanganan yang benar. DM sering dikatakan sebagai salah satu faktor resiko untuk terjadinya TB paru.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui prevalensi kejadian komplikasi TB paru pada pasien DM di RSUP H Adam Malik Medan pada tahun 2009.

Metode Penelitian : Data penelitian ini diperoleh dari bagian rekam medis di RSUP H Adam Malik Medan. Desain penelitian ini adalah retrospective dan bersifat deskriptif. Sebanyak 208 rekam medis telah diteliti. Informasi dari rekam medis yang diteliti adalah diagnosis DM dengan melihat gejala-gejala klinis DM (polidipsia, polyuria atau penurunan berat badan), hasil tes casual plasma glucose concentration, hasil tes FPG atau hasil tes 2hrPPG. Selepas dipastikan bahawa pasien menderita DM, maka ditelusuri rekam medisnya apakah pasien menderita TB paru dengan melihat, hasil tes BTA, foto thoraks atau kultur. Pengambilan sampel telah diizinkan dengan adanya surat ethical clearance.

Hasil Penelitian : Ditemuka n sebanyak 10,6% pasien dari 208 orang pasien yang menderita DM, juga menderita TB paru sebagai komplikasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahawa pasien DM laki-laki adalah lebih prevalen untuk mendapat dibanding dengan pasien DM perempuan, kelompok umur yang paling banyak menderita DM dengan TB paru adalah kelompok umur >60 tahun, hasil diagnosis TB paru paling prevalen adalah BTA positif 3 dan interval waktu antara diagnosis DM dan TB paru paling banyak adalah antara 3-4 tahun.

Kesimpulan : Angka prevalensi komplikasi TB paru dari penelitian ini menunjukkan bahawa ada resikonya bagi pasien DM untuk berlanjut menjadi DM dengan TB paru. Hal ini juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang lain. Saran dari penelitian ini adalah kepada petugas medis dan pemerintah agar mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah pasien DM mendapat TB paru.

(4)

ABSTRACT

Background : Diabetes mellitus (DM) and tuberculosis (TB) are two conditions very well connected and both diseases remain a medical problem that need to be solved. DM is always said to be a risk factor for TB.

Aim of Study : To determine the prevalence of TB complication among DM patients in H Adam Malik Hospital, Medan in the year 2009.

Methods : The data from this study was obtained from the medical record department in H Adam Malik Hospital, Medan. The design of this study is retrospective and to describe the prevalence of TB complication among DM patients. A total of 208 medical records were studied. Information that had been studied in these medical records are history of patients having typical DM symptoms such as, polydypsia, polyuria and weight loss, results from casual plasma glucose concentration test, fasting plasma glucose test and the 2 hour post prandial test. After a patient was determined to have DM, further details were studied to find out whether the patient has TB as a complication in a later course of the patient’s disease. Results from the sputum smear, chest radiography and culture were used to determine the diagnosis of TB. The procedure of data collection is ethically cleared.

Results : A total of 22 DM patients among the total number of 208 DM patients, developed TB complication in the course of their disease, which gives a prevalence of 10.6%. The result from this study also shows that male DM patients are more likely to have TB complication compared to females, DM patients who aged above 60 years old are at a greater risk for developing TB, the more prevalent result from the diagnosis of TB is a 3 positive out of 3 sputum smears and most of the DM patients developed TB 3-4 years after DM was diagnosed. Conclusion : In conclusion, this study shows that DM can be a risk factor in developing TB complication. This was proven by other studies done earlier on the same matter. Hence, the government should take preventive measures to prevent this condition.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan berkat-nya, karya tulis ilmiah ini dapat saya selesaikan. Penelitian ini yang berjudul Prevalensi Komplikasi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUP H Adam Malik Medan pada Tahun 2009 merupakan salah satu tugas yang harus diselesaikan oleh sarjana kedokteran yang mengikuti system Kurikulum Berbasis Kompetensi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah saya untuk ucapan terima kasih kepada:

1. Dosen pembimbing saya, dr. Tetty Aman Nasution, M. Med. Sc., yang dengan sepenuh hati mendorong, membimbing dan mengarahkan saya mulai dari pembuatan proposal penelitian sampai akhir selesai penelitian ini.

2. Teman-teman sekelompok saya, karena walaupun tugasan ini merupakan tugasan individu, tetapi mereka tetap banyak membantu saya dan bekerjasama dalam menyelesaikan tugasan ini.

3. Orang tua saya yang member semangat kepada saya sepanjang pelaksanaan penelitian saya, saya ucapkan ribuan terima kasih.

Saya menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, Namun demikian, besar harapan saya sekiranya tulisan ini dapat member manfaat kepada para pembaca. Sekian.

Medan, 15 Disember 2010

(6)

YUEN KOK FOONG DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN…..……… i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI………. v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR……….... viii

DAFTER LAMPIRAN... ix

BAB 1 PENDAHULUAN... ... 1

2.1.4.1 Riwayat Keluarga……… 7

2.1.4.2 Penyakit Autoimun……… 8

2.1.4.3 Berhentinya Pemberian Air Susu Ibu Yang Dini………. 8

2.1.4.4 Ras……… 8

2.1.4.5 Riwayat Infeksi Virus……….. 8

2. 1.5 Etiologi……… 9

2. 1.6 Patofisiologi………. 11

2. 1.7 Diagnosis………... 12

2. 1.8 Penatalaksanaan……… 13

2. 1.9 Komplikasi……… 14

2.2Tuberkulosis Paru……….. 17

2. 2.1 Definisi………. 17

2. 2.2 Patogenesis……… 17

2. 2.3 Klasifikasi………. 18

2.2.3.1 Berdasarkan Lokasi atau Organ Tubuh Yang Sakit………. 18

(7)

2.2.3.3 Berdasarkan Tingkat Keparahan

Penyakit………. 19

2.2.3.4 Berdasarkan Tipe Pasien……… 20

2. 2.4 Faktor Resiko……… 22

2. 2.5 Gambaran Klinis………... 22

2. 2.6 Diagnosis……… 23

2. 2.7 Pengobatan………. 27

2.2.7.1 Obat Anti Tuberkulosis……….. 27

2.2.7.3Prinsip Pengobatan………. 28

2.2.7.3 Panduan OAT dan Peruntukannya………. 29

2.2.7.4 Hasil Pengobatan……… 29

2.2.8. Komplikasi……… 30

2.3 Tuberkulosis Paru dan Diabetes Mellitus……….. 31

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 33

3.1 Kerangka Konsep... 33

3.2 Definisi Operasional... 34

BAB 4 METODE PENELITIAN…... 35

4.1 Rancangan Penelitian... 35

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian…... 35

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 35

4.4 Metode Pengumpulan Data... 36

4.5 Metode Analisis Data... 36

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 37

5.1 Hasil Penelitian... 37

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 37

5.1.2 Deskripsi Karateristik Responden... 38

5.1.3 Hasil Analisis Statistik... 39

5.2 Pembahasan... 42

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1 Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin 38

5.2 Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Umur 38

5.3 Distribusi Pasien DM Dengan TB Paru dan Pasien

DM Tanpa TB Paru 39

5.4 Perbandingan Prevalensi Kejadian Mengikut

Kategori Umur 40

5.5 Perbandingan Prevalensi Kejadian Mengikut Jenis

Kelamin 40

5.6 Distribusi Hasil Diagnosis Tuberkulosis Paru 41

5.7 Distribusi Interval Waktu Antara Kejadian Diabetes

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru 26

Gambar 2 Kerangka Konsep Prevalensi Komplikasi

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1 Master Data 50

Lampiran 2 Hasil Analisis Data SPSS 58

Lampiran 3 Daftar Riwayat Hidup 61

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian 62

(11)

NIP: 19540220 198011 1 001

ABSTRAK

Latar Belakang : Diabetes Mellitus (DM) dan tuberkulosis (TB) paru adalah dua keadaan yang berhubungan erat dan kedua-duanya merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan penanganan yang benar. DM sering dikatakan sebagai salah satu faktor resiko untuk terjadinya TB paru.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui prevalensi kejadian komplikasi TB paru pada pasien DM di RSUP H Adam Malik Medan pada tahun 2009.

Metode Penelitian : Data penelitian ini diperoleh dari bagian rekam medis di RSUP H Adam Malik Medan. Desain penelitian ini adalah retrospective dan bersifat deskriptif. Sebanyak 208 rekam medis telah diteliti. Informasi dari rekam medis yang diteliti adalah diagnosis DM dengan melihat gejala-gejala klinis DM (polidipsia, polyuria atau penurunan berat badan), hasil tes casual plasma glucose concentration, hasil tes FPG atau hasil tes 2hrPPG. Selepas dipastikan bahawa pasien menderita DM, maka ditelusuri rekam medisnya apakah pasien menderita TB paru dengan melihat, hasil tes BTA, foto thoraks atau kultur. Pengambilan sampel telah diizinkan dengan adanya surat ethical clearance.

Hasil Penelitian : Ditemuka n sebanyak 10,6% pasien dari 208 orang pasien yang menderita DM, juga menderita TB paru sebagai komplikasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahawa pasien DM laki-laki adalah lebih prevalen untuk mendapat dibanding dengan pasien DM perempuan, kelompok umur yang paling banyak menderita DM dengan TB paru adalah kelompok umur >60 tahun, hasil diagnosis TB paru paling prevalen adalah BTA positif 3 dan interval waktu antara diagnosis DM dan TB paru paling banyak adalah antara 3-4 tahun.

Kesimpulan : Angka prevalensi komplikasi TB paru dari penelitian ini menunjukkan bahawa ada resikonya bagi pasien DM untuk berlanjut menjadi DM dengan TB paru. Hal ini juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang lain. Saran dari penelitian ini adalah kepada petugas medis dan pemerintah agar mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah pasien DM mendapat TB paru.

(12)

ABSTRACT

Background : Diabetes mellitus (DM) and tuberculosis (TB) are two conditions very well connected and both diseases remain a medical problem that need to be solved. DM is always said to be a risk factor for TB.

Aim of Study : To determine the prevalence of TB complication among DM patients in H Adam Malik Hospital, Medan in the year 2009.

Methods : The data from this study was obtained from the medical record department in H Adam Malik Hospital, Medan. The design of this study is retrospective and to describe the prevalence of TB complication among DM patients. A total of 208 medical records were studied. Information that had been studied in these medical records are history of patients having typical DM symptoms such as, polydypsia, polyuria and weight loss, results from casual plasma glucose concentration test, fasting plasma glucose test and the 2 hour post prandial test. After a patient was determined to have DM, further details were studied to find out whether the patient has TB as a complication in a later course of the patient’s disease. Results from the sputum smear, chest radiography and culture were used to determine the diagnosis of TB. The procedure of data collection is ethically cleared.

Results : A total of 22 DM patients among the total number of 208 DM patients, developed TB complication in the course of their disease, which gives a prevalence of 10.6%. The result from this study also shows that male DM patients are more likely to have TB complication compared to females, DM patients who aged above 60 years old are at a greater risk for developing TB, the more prevalent result from the diagnosis of TB is a 3 positive out of 3 sputum smears and most of the DM patients developed TB 3-4 years after DM was diagnosed. Conclusion : In conclusion, this study shows that DM can be a risk factor in developing TB complication. This was proven by other studies done earlier on the same matter. Hence, the government should take preventive measures to prevent this condition.

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. DM sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan

menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi dan dapat timbul secara perlahan-lahan, sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil yang lebih banyak ataupun berat badan yang menurun. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter untuk memeriksakan kadar glukosa darahnya. Pada tahun 1992, lebih dari 100 juta penduduk dunia menderita DM dan pada tahun 2000 jumlahnya meningkat menjadi 150 juta yang merupakan 6% dari populasi dewasa. Amerika Serikat mempunyai jumlah penderita DM pada tahun 1980 mencapai 5,8 juta orang dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 13,8 juta orang (Andi, 2007).

(14)

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. WHO dalam Annual report on global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam menyumbang jumlah kasus TB di dunia. Estimasi angka insidens TB di Indonesia berdasarkan pemeriksaan sputum (basil tahan asam/BTA) positif adalah 128 per 100.000 untuk tahun 2003, sedangkan untuk tahun yang sama estimasi prevalensi TB adalah 295 per 100.000 (WHO, 2005).

Berdasarkan sistem pencatatan dan pelaporan tersebut diperkirakan program TB telah mencapai angka penemuan kasus (Case Detection Rate/ CDR) sebesar 33 persen (2003) dan angka kesembuhan (Cure Rate) dengan Directly Observed Treatment of Short-course (DOTS) sebesar 86 persen untuk tahun 2002

(WHO, 2005). Hasil temuan Survei Prevalensi Tuberkulosis (SP-TBC) 2004 memberikan estimasi prevalensi TB berdasarkan pemeriksaan mikroskopik BTA positif sebesar 104 per 100.000 dengan selang kepercayaan 95%. Prevalensi TB di Jawa Bali (59 per 100.000) jauh lebih rendah dibanding luar Jawa Bali (174 per 100.000) dan prevalensi TB di kawasan Sumatera (160 per 100.000). Berdasarkan kultur yang dilakukan di 11 provinsi diperkirakan prevalensi TB (definite case) sebesar 186 per 100.000 (Survei Prevalensi Tuberkulosis, 2004).

(15)

dengan diagnosa secara radiologi dan 6% dengan diagnosa melalui sputum (Kant, 2003).

Di Indonesia, dari analisis lanjut yang dilakukan dari set data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, didapati prevalensi nasional untuk TB adalah 400 per 100.000, DM adalah 700 per 100.000 dan DM berserta TB adalah 150 per 100.000 (Badan Litbang Kesehatan, 2009). Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Prevalensi TB paru pada DM di Indonesia masih cukup tinggi yaitu antara 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar negeri maka prevalensi di Indonesia masih tinggi (Sanusi, 2006). Suatu studi yang dilaksanakan di Jakarta didapati 12,8% dari penyakit DM mengalami komplikasi TB paru. Selain itu, penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta, dari 126 penderita DM ternyata 9 orang menderita TB paru (7,15%) (Nasution, 2007).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan seperti berikut :

- Berapakah prevalensi kejadian komplikasi tuberkulosis paru pada penderita Diabetes Mellitus di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2009?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

(16)

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka prevalensi pasien DM

2. Mengetahui angka prevalensi pasien DM dengan komplikasi TB

3. Mengetahui angka prevalensi golongan umur pasien DM dengan komplikasi TB

4. Mengetahui angka prevalensi jenis kelamin pasien DM dengan komplikasi TB

5. Mengetahui angka prevalensi hasil tes diagnosis TB paru pada pasien DM dengan komplikasi TB paru

6. Mengetahui angka prevalensi interval waktu antara diagnosis DM dan TB paru

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini boleh memberikan informasi bagi sarana pelayanan kesehatan dalam mengurangkan penderita DM dengan komplikasi TB. 2. Hasil dari penelitian ini boleh dijadikan sumber informasi kepada

penderita-penderita DM supaya mereka mengetahui bahawa penyakit mereka mempunyai kecenderungan untuk terjadinya komplikasi TB dan mereka akan mengambil inisiatif untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus

2.1.1. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolik dengan etiologi yang multipel dengan karakteristik hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein yang disebabkan oleh defek pada sekresi insulin, fungsi insulin atau kedua-duannya. Efek dari DM merupakan kerusakan yang jangka panjang, disfungsi dan hilangnya fungsi dari suatu organ. Gejala klinis seperti haus, polyuria, pandangan kabur dan penurunan berat badan merupakan gejala klinis bagi DM. Pada tahap yang lebih parah, ketoasidosis atau non-ketotic hyperosmolar state mungkin terjadi dan menyebabkan kesadaran

(18)

2.1.2. Klasifikasi

Diabetes Mellitus Tipe 1 :

Etiologi DM tipe 1 boleh dibagikan kepada immune-mediated dan idiopatik (Powers, 2005). Dalam kategori immune-mediated, terjadinya destruksi sel beta pankreas akibat dari proses autoimun. Dalam DM tipe 1 akan menyebabkan terjadinya defisiensi insulin dan lebih cenderungnya terjadinya ketoasidosis (WHO, 1999).

Diabetes Mellitus Tipe 2 :

DM tipe 2 merupakan kelompok kelainan dengan karakteristik seperti resistensi insulin, gangguan sekresi insulin dan meningkatnya produksi glukosa. DM tipe 2 didahului dengan suatu periode homeostasis glukosa yang abnormal yaitu impaired fasting glucose (IFG) atau impaired glucose tolerance (IGT) (Powers,

2005).

Diabetes Mellitus Tipe Spesifik Lain

(19)

Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

Intoleransi glukosa boleh terjadi semasa kehamilan. Semasa kehamilan, terdapatnya perubahan metabolik yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat dan terjadinya IGT (Powers, 2005).

2.1.3. Gejala Klinis Diabetes Mellitus

Gejala-gejala klasik DM merupakan poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering minum), polifagia (sering makan) dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan-keluhan lain dapat berupa mata kabur, dry mouth, infeksi vagina pada wanita, gatal pada kulit dan lemah badan (Seibel, 2009).

2.1.4. Faktor Resiko

Faktor-faktor resiko untuk DM tipe 1 adalah seperti berikut :

2.1.4.1. Riwayat Keluarga

(20)

2.1.4.2. Penyakit Autoimun

Kehadiran penyakit autoimun yang lain seperti penyakit tiroid akan meningkatkan resiko terjadinya DM tipe 1 (National Diabetes Information Clearinghouse, 2008).

2.1.4.3. Berhentinya Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Yang Dini

Riset menunjukkan ASI sekurang-kurangnya 3 bulan mengurangkan resiko DM tipe 1 dan terdapat juga riset lain yang menunjukkan pemberian susu sapi pada usia sebelum 1 tahun akan meningkatkan resiko DM tipe 1 (National Diabetes Information Clearinghouse, 2008).

2.1.4.4. Ras

Di Amerika Serikat, Caucasians mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit DM tipe 1. Secara global, negara Finlandia mempunyai insidensi yang tertinggi untuk DM tipe 1 (National Diabetes Information Clearinghouse, 2008).

2.1.4.5. Riwayat Infeksi Virus

Virus yang sering terkait dengan DM tipe 1 adalah coxsackie B, enterovirus, adenovirus , rubella, cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus

(National Diabetes Information Clearinghouse, 2008).

Faktor-faktor resiko untuk DM tipe 2 adalah seperti berikut :

a. Tekanan darah tinggi

b. Kadar trigliserida darah yang tinggi

(21)

d. Diet tinggi lemak

e. Konsumsi alkohol yang sering f. Gaya hidup yang kurang olahraga g. Obesitas

h. Herediter yaitu apabila orang tua atau saudara yang menderita DM tipe 2 atau GDM

i. Usia lanjut akan meningkatkan resiko mendapat diabetes (Ferry, 2008).

2.1.5. Etiologi

DM tipe 1 disebabkan oleh destruksi beta pankreas dan mengakibatkan defisiensi insulin absolut dan etiologinya terbagi kepada :

a. Immune-mediated

b. Idiopatik

DM tipe 2 adalah disebabkan oleh defek genetik dan metabolik pada fungsi insulin dan/atau sekresinya.

Etiologi DM tipe spesifik yang lain boleh dibagi kepada:

1. Defek genetik pada fungsi sel beta dengan mutasi di gen-gen seperti berikut :

a. Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4α (MODY 1) b. Glukokinase (MODY 2)

c. HNF-1α (MODY 3)

d. Insulin promoter factor (IPF) 1 (MODY 4)

e. HNF-1β (MODY 5)

f. NeuroD1 (MODY 6) g. Mitokondrial DNA

h. Proinsulin atau insulin conversion

(22)

a. Penyakit pada eksokrin pankreas seperti pankreatitis, pankreatektomi, neoplasia, kistik fibrosis, hemokromatosis dan fibrokalkulus pankreatopati.

b. Endokrinopati seperti akromegali, Cushing’s syndrome, glukagonoma,

pheochromocytoma, hipertiroidisme, somatostatinoma dan

aldosteronoma.

c. Drug- or chemical induced misalnya Vacor, pentamidine, nicotinic acid, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxide, β-adrenergik agonis, thiazide, fenitoin, α-interferon, protease inhibitors, clozapine, beta blocker.

d. Infeksi misalnya rubella congenital, cytomegalovirus dan coxsackie.

e. Uncommon forms of immune-mediated diabetes misalnya “stiff-man”

syndrome dan antibody anti reseptor insulin.

f. Sindrom genetik yang lain yang berkaitan dengan diabetes misalnya sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram, ataksia Friedreich, Huntington’s chorea, sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porphyria dan sindrom Prader-Willi.

g. GDM disebabkan oleh intoleransi glukosa boleh terjadi semasa kehamilan. Semasa kehamilan, terdapatnya perubahan metabolik yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat dan terjadinya IGT

(Powers, 2005).

(23)

DM tipe 1 merupakan suatu kelainan katabolik dimana insulin di sirkulasi adalah sangat rendah atau absen, glukagon plasma meningkat dan sel beta pankreas gagal respon kepada semua stimuli sekresi insulin. Pasien memerlukan insulin eksogen untuk membaiki kondisi katabolik, mencegah ketosis, mengurangkan hiperglukagonemia dan mengembalikan metabolisme lipid dan protein ke tahap normal (Hussain, 2010).

DM tipe 1 merupakan suatu penyakit autoimun. Pankreas menunjukkan infiltrasi limfosit dan destruksi sel yang mensekresi insulin (islets of Langerhans) yang menyebabkan defisiensi insulin. Sekitar 85% pasien mempunyai antibodi sel islet di sirkulasi dan kebanyakannya juga mempunyai antibodi anti-insulin yang boleh dideteksi sebelum diberi terapi insulin. Kebanyakan antibodi sel islet berkerja terhadap glutamic acid decarboxylase (GAD) dalam sel beta pankreas (Hussain, 2010).

Suatu teori yang menyatakan DM tipe 1 merupakan kerusakan pada sel beta pankreas yang disebabkan oleh suatu agen infeksi atau agen lingkungan. Faktor-faktor ini akan memicu sistem imun pada individu yang secara genetik lebih cenderung untuk menimbulkan respons autoimun terhadap antigen sel beta pankreas atau molekul dalam sel beta yang menyerupai protein viral. Pada masa ini, autoimun merupakan faktor major untuk patofisiologi DM tipe 1. Prevalensi meningkat pada pasien yang mempunyai penyakit autoimun, misalnya Graves disease, Hashimoto thyroiditis, dan Addison disease. Agen lingkungan yang

dihipotesakan akan menyebabkan kerusakan pada fungsi sel beta termasuk virus, misalnya mumps, rubella, Coxsackie B4, zat-zat toksik, pemberian susu sapi yang dini dan sitotoksin (Hussain, 2010).

(24)

dalam otot, peningkatan produksi glukosa dari hepar dan peningkatan proses lisis lemak (Ligaray, 2010).

Kebanyakan pasien dengan resistensi insulin, juga mempunyai defisiensi insulin, tetapi resistensi insulin bukan merupakan sine qua non untuk DM tipe 2 karena banyak orang dengan resistensi insulin, terutama individu yang obesitas, tidak berlanjut menjadi intoleransi glukosa. Oleh karena itu, defisiensi insulin adalah penting dalam terjadinya hiperglikemia (Ligaray, 2010).

Patofisiologi untuk GDM adalah disebabkan oleh meningkatnya estrogen, progestins dan hormon lain yang berkaitan dengan kehamilan yang akan mengakibatkan menurunnya kadar glukosa, meningkatnya deposisi lemak, pengosongan lambung yang lambat dan bertambahnya selera makan. Berlanjutnya kehamilan, glukosa postprandial akan meningkat manakala sensitivitas insulin menurun. GDM terjadi apabila terdapat insufisiensi sekresi insulin untuk mengatasi penurunan sensitivitas insulin yang disebabkan oleh kehamilan (Evans

et al, 2008).

2.1.7. Diagnosis

Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah dan dalam kriteria diagnostik DM terbaru menyatakan bahawa diagnosis DM boleh ditegakkan jika terdapat hasil positif pada dua dari tes-tes berikut yang dilakukan pada hari yang berlainan. Pertamanya, pasien mempunyai gejala-gejala klinis DM (polidipsia, polyuria atau penurunan berat badan) dan hasil tes casual plasma glucose concentration adalah > 200mg/dl. Keduanya, hasil tes fasting plasma glucose (FPG) > 126mg/dl. Ketiganya, hasil tes two-hour postprandial plasma glucose (2hrPPG) > 200mg/dl selepas diberi 75g glucose

load. Jika hasil menunjukkan FPG adalah dari 100 - <126mg/dl, dikatakan IFG

(25)

2.1.8. Penatalaksanaan

Diabetes Mellitus tipe 1

DM tipe 1 membutuhkan pasien diterapi dengan insulin terapi untuk mengontrol hiperglikemia inisial dan harus menjaga keseimbangan elektrolit serum dan hidrasi. Selain itu, transplantasi pankreas juga merupakan salah satu pilihan terapi. Diet pasien DM tipe 1 juga harus dikontrol dan distribusi kalori yang direkomendasikan adalah 20% kalori untuk sarapan pagi, 35% untuk makan siang, 30% untuk makan malam dan 15% untuk late evening snack. Minimum protein yang dibutuhkan untuk memperoleh nutrisi yang baik adalah 0,9g/kg/hari tetapi pada kasus nefropati, protein yang dikonsumsi harus dikurangkan. Konsumsi lemak harus ditetapkan pada 30% atau kurang dari jumlah kalori dan direkomendasikan diet rendah kolesterol. Pasien juga direkomendasi supaya lebih berolahraga. Insulin yang diinjeksi secara subkutan merupakan first-line therapy dalam penatalaksanaan DM tipe 1. Insulinnya terbagi kepada short-, intermediate- dan long-acting (Hussain, 2010).

Diabetes Mellitus tipe 2

Tujuan utama dalam menangani pasien DM adalah mengeliminasi gejala klinis, misalnya untuk gejala klinis mikrovaskular (penyakit mata dan ginjal), mengurangi resiko dengan mengontrol kadar gula darah (KGD) dan tekanan darah, gejala klinis makrovaskular (koronari, serebrovaskular dan peripheral vascular), mengurangi resiko dengan mengontrol lipid dan hipertensi, tidak merokok dan terapi aspirin. Tujuan-tujuan ini boleh dicapai dengan melakukan monitoring komplikasi, memodifikasi diet dan banyakkan olahraga, medikasi, appropriate self-monitoring of blood glucose (SMBG) dan pemeriksaan laboratori. Obat-obat

(26)

a. Sulfonylureas, fungsi jenis obat ini adalah menstimulasi sekresi insulin dari sel beta pankreas.

b. Meglitinides adalah short-acting insulin yang menstimulasi sekresi insulin. c. Biguanides, fungsi obat ini adalah menurunkan produksi glukosa dari hati

dan boleh membaiki sensitivitas insulin.

d. Thiazolidinediones, fungsi obat ini adalah meningkatkan respons insulin terhadap target sel tanpa meningkatkan sekresi insulin.

e. Alpha-glucosidase inhibitors, fungsinya dalah melambatkan absorbs

glukosa dan mencegah peningkatan glukosa postprandial.

f. Incretin mimetics, fungsinya adalah mimik glucose-dependent insulin

secretion, suppresi peningkatan sekresi glucagon dan melambatkan

pengosongan lambung.

g. Agen insulin digunakan karena pankreas gagal menghasilkan insulin yang mencukupi, walaupun telah diberi obat yang menstimulasi sekresi insulin, untuk mengontrol kadar glukosa (Ligaray, 2010).

2.1.9. Komplikasi

DM merupakan suatu penyakit kronik dengan banyak komplikasi. Kedua-dua tipe DM boleh menimbulkan komplikasi yang sama. Komplikasi DM boleh dibagi kepada komplikasi jangka pendek yaitu :

a. Hypoglikemia

Hipoglikemia adalah KGD rendah. Hipoglikemia biasanya terjadi pada DM tipe 1 dan boleh terjadi pada DM tipe 2 apabila medikasi yang digunakan adalah terlalu poten (Manzella, 2006).

b. Hiperglikemia

(27)

c. Ketoasidosis diabetik

Pada penyakit diabetes, terjadinya hiperglikemia, yaitu KGD tinggi dan keadaan ini yang berlanjutan akan mengakibatkan tubuh mulai lisis lemak yang disimpan dalam tubuh sebagai sumber energy alternatif. Keadaan ini menghasilkan keton dalam darah. Apabila kadar keton dalam meningkat, ini akan menyebabkan darah menjadi lebih asam. Keadaan ini yang disebut sebagai ketoasidosis diabetik (Manzella, 2006).

Komplikasi jangka panjang pula adalah seperti berikut :

a. Nefropati

Ginjal terdiri dari jutaan filter yang disebut sebagai nefron. KGD yang tinggi boleh menyebabkan kerusakan pada nefron dan ini menggangu fungsi ginjal untuk memfiltrasi darah. Kerusakan ini biasanya mengambil masa yang lama untuk terjadi (Manzella, 2008).

b. Neuropati

Neuropati merupakan salah satu komplikasi jangka lama untuk diabetes. Hal ini terjadi karena paparan syaraf terhadap KGD yang tinggi, yang boleh merusak syaraf, untuk jangka waktu yang lama (Manzella, 2009). c. Retinopati

Retinopati diabetik merupakan suatu komplikasi untuk DM tipe 1 dan 2. Apabila KGD meningkat untuk jangka waktu yang lama, pembuluh darah yang terdapat di retina akan mengalami perubahan dan seseorang itu akan mempunyai keluhan seperti penglihatan kabur atau terdapat dark spots pada penglihatan mereka (Manzella, 2006).

(28)

a. Disfungsi ereksi

Disfungsi ereksi adalah kondisi dimana laki-laki tidak dapat ereksi dan akhirnya mengganggu kepuasan seksual. Hal ini terjadi karena KGD yang meningkat akan merusak pembuluh darah dan syaraf dan mengakibatkan gangguan kepada aliran darah ke penis (Manzella, 2008).

b. Depresi

Depresi dan diabetes merupakan dua kondisi yang saling berkait. Pertama, diabetes boleh meningkat resiko mendapat depresi. Depresi juga boleh meningkatkan resiko untuk mendapat DM tipe 2 menurut beberapa riset. Komplikasi diabetes boleh memperparahkan keadaan depresi sehingga penderita tidak coba untuk memperbaiki keadaan diabetes mereka dan mengakibatkan terjadinya komplikasi-komplikasi jangka lama, misalnya retinopati, nefropati dan neuropati (Manzella, 2008).

c. Penyakit kardiovaskular

Individu dengan DM mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskular. Hal ini karena DM mempercepatkan proses aterosklerosis. Hal ini boleh terjadi apabila kadar kolesterol meningkat. Dalam keadaan diabetik, glukosa dalam darah akan menyebabkan low-density lipoprotein (LDL) menjadi “sticky” dan menyebabkan kolesterol

menumpuk di dinding pembuluh darah lebih cepat (Manzella, 2006). d. Hipertensi

Hipertensi dan DM merupakan dua keadaan yang boleh terjadi pada waktu yang sama. Jadi, tekanan darah tinggi akan menambahkan kerja jantung, arteri dan ginjal. Keadaan ini menimbulkan kerusakan pada ginjal, terjadinya penyakit kardiovaskular dan strok (Manzella, 2006).

e. Infeksi, misalnya tuberkulosis

Individu dengan DM tipe 2 mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit TB (Manzella, 2009).

2.2. Tuberkulosis

(29)

Tuberkulosis adalah suatu infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran

panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Dan ditandai adanya pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi akibat reaksi hipersensitifitas yang diperantai oleh sel (Bahar, 2001).

2.2.2. Patogenesis

Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Myobacterium tuberculosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, kuman TB akan

mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, yang disebut sebagai focus Gohn. Melalui aliran limfe, kuman TB akan mencapai kelenjar limfe hilus. Focus Gohn dan limfadenopati hilus membentuk kompleks primer TB. Melalui kompleks primer, kuman TB akan menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh.

Respon tubuh terhadap infeksi kuman TB berupa respon imun seluler hipersensitifitas tipe lambat yang terjadi 4-6 minggu setelah terinfeksi. Banyaknya kuman TB serta kemampuan daya tahan host menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada sebagian besar kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang kurang baik, respon imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga host akan sakit beberapa bulan kemudian. Berdasarkan penularannya, maka tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu :

a. Tuberkulosis primer. Terdapat pada anak-anak. Setelah 6-8 minggu akan mulai terbentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga test tuberkulin akan positif. Pada pasien ini akan terbentuk kompleks primer TB dan selanjutnya dapat menyebar secara hematogen ke apeks paru yang kaya oksigen.

(30)

disebut sebgai tuberkulosis postprimer. Kuman akan disebarkan secara hematogen ke segmen apikal posterior. Reaktifasi dapat juga terjadi melalui metastase hematogen ke berbagai jaringan tubuh.

c. Reinfeksi. Keadaan ini terjadi pada saat adanya penurunan imunitas tubuh atau terjadi penularan secara terus-menerus oleh kuman TB dalam satu keluarga (Bahar, 2001).

2.2.3. Klasifikasi

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu ‘definisi kasus’ yang meliputi empat hal, yaitu :

2.2.3.1. Berdasarkan Lokasi atau Organ Tubuh Yang Sakit

a. Tuberkulosis paru: TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru dan tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis ekstra paru: TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar getah bening, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

2.2.3.2. Berdasarkan Bakteriologi/Hasil Pemeriksaan Dahak (BTA) a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah :

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif

(31)

sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan TB aktif

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif

2.2.3.3. Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

a. TB paru BTA negatif foto toraks positif : dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses ‘far advanced’), dan atau keadaan umum pasien buruk.

b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :

- TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

- TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Catatan:

• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.

(32)

2.2.3.4. Berdasarkan Tipe Pasien a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

- Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.

- Infeksi jamur

- TB paru kambuh

Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.

c. Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

- Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)

- Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan

(33)

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik f. Kasus Pindah (Transfer In) :

Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.

g. Kasus Bekas TB :

- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung

- Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik (PDPI, 2002).

2.2.4. Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor risiko terjangkitnya penyakit TB, termasuk :

a. Sistem imunitas tubuh yang lemah

Imunitas tubuh yang sehat biasanya dapat melawan bakteri TB. Namun terdapat beberapa hal yang dapat melemahkan sistem imunitas tubuh seperti penyakit HIV/AIDS, diabetes, gagal ginjal terminal, kanker, pengambilan kortikosteroid, obat kemoterapi. Keadaan-keadaan ini akan menyebabkan infeksi TB semakin mudah terjadi.

(34)

Mereka yang menghabiskan jangka waktu lama dengan pesakit TB yang masih dalam fase aktif akan lebih mudah terinfeksi dengan bakteri TB, contohnya kontak langsung dengan keluarga, teman sekamar dan lain-lain.

c. Usia

Usia yang lebih tua mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit TB.

d. Malnutrisi

Diet yang kurang baik atau kurang kalori meningkatkan faktor risiko terkena TB (MayoClinic, 2009).

2.2.5. Gambaran Klinis

Keluhan yang dirasakan oleh pasien TB dapat bervariasi atau terkadang ditemukan banyak pasien dengan TB paru tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang biasa ditemukan pada pasien dengan TB paru adalah diantaranya demam, batuk dengan atau tanpa darah, sesak nafas, nyeri dada, malaise. (Bahar, 2001)

Demam pada pasien dengan TB paru biasanya subfebris tetapi kadang dapat mencapai 40-41 oC. Demam ini biasanya hilang timbul sehingga pasien merasa tidak pernah bebas dari serangan demam. Keadaan ini berhubungan dengan daya tahan tubuh pasien serta berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk (Bahar, 2001).

(35)

darah yang pecah. Batuk darah kebanyakan timbul akibat kavitasi namun dapat pula terjadi pada ulkus dinding bronkus (Bahar, 2001).

Sesak nafas pada penyakit ringan belum akan dirasakan. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit paru yang sudah lanjut, yang infiltrasinya meliputi setengah bagian paru. Nyeri dada agak jarang ditemukan. Timbul biasanya bila infiltrasi radang sudah mencapai pleura sehingga terjadi pleuritis (Bahar, 2001).

Penyakit TB merupakan penyakit radang yang menahun sehingga gejala malaise sering ditemukan yang dapat berupa anorexia (tidak nafsu makan), berat badan yang menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Bahar, 2001).

2.2.6. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan dahak mikroskopis, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya :

a. Pemeriksaan jasmani: Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum (PDPI, 2002).

(36)

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SPS :

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

- P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (DepKes, 2006).

c. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:

- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura (PDPI, 2002).

Seseorang itu ditegakkan menderita TB paru apabila :

(37)

- Ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.

(38)

- Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

- Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

- Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (DepKes, 2006).

2.2.7. Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

2.2.7.1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat yang dipakai:

a. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

- Rifampisin (R)

- INH (H)

- Pirazinamid (Z)

- Streptomisin (S)

- Etambutol (E)

b. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

- Kanamisin

- Amikasin

- Kuinolon

- Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

- Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

· Kapreomisin

· Sikloserino PAS (dulu tersedia)

(39)

· Thioamides (ethionamide dan prothionamide) (PDPI, 2002)

2.2.7.2. Prinsip Pengobatan

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut :

- OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

- Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung Directly Observed Treatment (DOT) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

- Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap awal (intensif) :

- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

b. Tahap Lanjutan

- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama (4 bulan)

(40)

2.2.7.3. Paduan OAT dan Peruntukannya a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

- Pasien baru TB paru BTA positif.

- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

- Pasien TB ekstra paru

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

- Pasien kambuh

- Pasien gagal

- Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

2.2.7.4. Hasil Pengobatan

a. Sembuh: Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada SP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya

b. Pengobatan Lengkap: Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

c. Meninggal: Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

d. Pindah: Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

(41)

f. Gagal: Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan (DepKes, 2006).

2.2.8. Komplikasi

Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi seperti :

a. Komplikasi dini:

- pleuritis

- efusi pleura

- empiema

- laringitis

- TB usus

b. Komplikasi lanjut

- obstruksi jalan napas

- kor pulmonale

- amiloidosis

- karsinoma paru

- sindrom gagal nafas (Bahar, 2001)

2.3. Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus

(42)

dari 1373 pasien diabetes rawat inap adalah penderita TB paru. Selepas mengobservasi kaitan antara TB dan DM, beliau menyimpulkan bahwa TB lebih mudah terjadi pada juvenile diabetics, 85% dari pasien mendapat TB selepas onset DM dan kejadian TB paru meningkat dengan durasi DM (Guptan et al, 2000).

DM boleh dikatakan sebagai suatu faktor resiko independen untuk infeksi saluran pernafasan bawah. Infeksi dengan Staphylococcus aureus, bakteri gram negative dan jamur adalah lebih sering. Frekuensi terjadinya TB pada DM adalah lebih tinggi dibanding dengan bakteri-bakteri lainnya. Meningkatnya reaktivasi lesi TB juga sering terjadi dengan DM. Pada masa yang sama, TB boleh memperburukkan keadaan DM dengan pasien DM membutuhkan dosis insulin yang lebih tinggi dibanding dengan normal (Guptan et al, 2000).

Ada teori yang mengatakan bahawa disfungsi sistem imun merupakan suatu faktor untuk terjadinya TB. Teori ini menyatakan bahawa fungsi makrofag menurun setelah dipapar dengan KGD 200mg%. Selain itu, abnormalitas sistem imun yang lain adalah abnormal kemotaksis, adherence, fagositosis dan fungsi mikobisidal dari sel polimorfonuklear, penurunan monosit perifer dengan gangguan fungsi fagositosis, kurangnya transformasi blast dari limfosit dan defek pada fungsi opsonik C3. Manakala, disfungsi yang terdapat pada pulmonal adalah hilangnya reaktivitas bronchial, penurunan elastic recoil dan volume paru, penurunan kapasitas difusi, penyumbatan jalan nafas oleh lendir dan penurunan respons ventilator terhadap hipoksemia (Guptan et al, 2000).

Menurut sebuah riset oleh University of Texas School of Public Health Brownsville Regional Campus (UTSPH), diketahui bahawa KGD yang tinggi

secara kronis saling berkaitan dengan gangguan pada respons imun terhadap TB. Selain itu, pasien dengan DM dan TB membutuhkan masa yang lebih lama untuk respons terhadap terapi anti-TB. Pasien dengan DM dan TB aktif juga lebih cenderung terjadinya multi-drug resistant TB (Manzella, 2009).

(43)

mempunyai kira-kira 3 kali ganda resiko untuk mendapat TB dibanding dengan orang yang tidak mempunyai TB. Studi yang dilakukan ini juga menegaskan bahawa DM mengganggu respons imun yang penting untuk mengatasi proliferasi TB sehingga DM merupakan suatu faktor resiko untuk TB (Jeon et al, 2008).

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

(44)

Pada penelitian yang telah dilakukan, kerangka konsep adalah tentang prevalensi TB pada penderita DM:

Gambar 3.1. Kerangka konsep prevalensi komplikasi TB paru pada pasien DM

3.2. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel-variabel yang akan diteliti adalah DM dan TB paru. Definisi DM yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien-pasien yang mempunyai gejala-gejala klinis DM (polidipsia, polyuria atau penurunan berat badan) dan hasil tes casual plasma glucose concentration adalah > 200mg/dl. Keduanya, hasil

Diabetes mellitus

Diabetes mellitus +

Tuberkulosis paru Faktor resiko TB paru:

-DM -Usia

(45)

tes FPG > 126mg/dl. Ketiganya, hasil tes 2hrPPG > 200mg/dl selepas diberi 75g glucose load.

Definisi TB paru yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif, hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif dan hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. Cara ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan data dari rekam medis. Alat ukur yang akan digunakan adalah rekam medis.

Definisi TB paru sebagai komplikasi pada penderita DM adalah pasien dengan gejala-gejala klinis DM (polidipsia, polyuria atau penurunan berat badan) dan hasil tes casual plasma glucose concentration adalah > 200mg/dl. Keduanya, hasil tes FPG > 126mg/dl. Ketiganya, hasil tes 2hrPPG > 200mg/dl selepas diberi 75g glucose load yang turut menunjukkan hasil BTA positif sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak, hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif dan hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

Prevalensi didefinisikan sebagai bilangan kasus baru dan lama pada tahun 2009 di RSUP H Adam Malik Medan. Dalam penelitian ini yang diambil adalah angka prevalensi komplikasi TB paru pada pasien penyakit DM.

BAB 4

METODE PENELITIAN

(46)

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mencari prevalensi kejadian TB paru pada pasien-pasien yang menderita DM. Rancangan penelitian ini adalah retrospective study dimana dilakukan pengumpulan data berdasarkan rekam medis di RSUP H Adam Malik Medan.

2.4. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di RSUP H Adam Malik Medan karena lokasi ini merupakan rumah sakit milik pemerintah Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit ini terletak di pingg iran kota Medan, Indonesia. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah setelah pembuatan proposal yaitu dari bulan Agustus hingga Oktober 2010.

2.5. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah semua pasien yang pernah dirawat di Departemen Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan dan telah didiagnosa dengan penyakit DM dan menderita TB paru sebagai suatu komplikasi dari penyakit DM. Jumlah populasi tersebut diambil dari rekam medis yang terdapat di Departemen Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan. Pengambilan sampel telah diizinkan dengan adanya surat ethical clearance.

(47)

ditegakkan terlebih dahulu sebelum DM dan penyakit TB paru ditegakkan di luar jangka waktu yaitu tahun 2009.

2.6. Teknik Penggumpulan Data

Data-data diambil dari rekam medis dari RSUP H Adam Malik dimana data yang diperlukan adalah diagnosis DM atau hasil pemeriksaan casual plasma glucose concentration, pemeriksaan FPG pemeriksaan 2hrPPG. Diagnosis TB

paru diperlukan data dari hasil pengambilan dahak SPS, hasil foto thoraks dan hasil kultur. Penggumpulan data dalam penelitian ini juga telah diizinkan dengan adanya surat ethical clearance.

2.7. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang diperoleh dari rekam medis telah dikoreksi oleh peneliti supaya tidak berlaku kesalahan membaca data dari rekam medis tersebut. Setiap ketidaklengkapan informasi telah diperbaiki sebelum meninggalkan lokasi penelitian. Data-data tersebut kemudiannya dimasukkan ke dalam komputer untuk dianalisa. Analisa data ini dilakukan dengan menggunakan SPSS.

BAB 5

(48)

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A pada tahun 1990 sesuai dengan Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Pada tahun 1991 pula ia dijadikan sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991, dan RSUP H Adam Malik Medan juga sebagai Pusat Rujukan Wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. RSUP H Adam Malik Medan mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni.

Menjelang tahun 1993, pada tanggal 11 Januari 1993 secara resmi Pusat Pendidikan Fakultas Kedokteran USU Medan dipindahkan ke RSUP H Adam Malik Medan sebagai tanda dimulainya Soft Opening. Kemudian diresmikan oleh Bapak Presiden RI pada tanggal 21 Juli 1993. Mulai tahun 2007, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 280/KMK.05/2007 dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan dengan No.756/Menkes/SK/VI/2007 tepatnya pada Juni 2007 RSUP H Adam Malik Medan telah berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU) bertahap dengan tetap mengikuti pengarahan yang diberikan oleh Ditjen Yanmed dan Departemen Keuangan untuk perubahan status menjadi BLU penuh.

RSUP H Adam Malik Medan memiliki berbagai pelayanan kesehatan dengan tujuan untuk memberikan diagnosis, perawatan, dan konsultasi untuk berbagai jenis penyakit. Dalam kaitannya untuk memberikan pelayanan dalam hal pencegahan kepada masyarakat, rumah sakit juga memberikan konsultasi atas berbagai jenis penyakit dan memberikan informasi sebagai pendidikan kepada masyarakat dan pengembangannya.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

(49)

Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Pasien DM Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah %

Laki-laki 84 40,4

Perempuan 124 59,6

Total 208 100,0

Dari 208 responden, terdapat jumlah perempuan adalah lebih banyak dibanding dengan jumlah laki-laki.

Tabel 5.2 Distribusi Jumlah Pasien DM Berdasarkan Umur

Umur Jumlah %

<30 tahun 1 0,5

31-40 tahun 14 6,7

41-50 tahun 36 17,3

51-60 tahun 74 35,6

>60 tahun 83 39,9

Total 208 100,0

Umur responden yang paling muda adalah 3 tahun dan umur responden yang paling tua adalah 89 tahun. Dari 208 orang responden, tabel di atas menunjukkan suatu pola yang meningkat dan jumlah responden yang berumur >60 tahun adalah paling banyak dibanding dengan kelompok-kelompok umur yang lain.

5.1.3. Hasil Analisis Statistik

(50)

diagnosa TB pada pasien yang menderita DM dan TB paru dan interval waktu terjadinya TB paru pada pasien DM. Sebanyak 208 rekam medis telah diperoleh dari bagian rekam medis RSUP H Adam Malik Medan.

Tabel 5.3 Distribusi Pasien DM Dengan TB Paru dan Pasien DM Tanpa TB Paru

Hasil Komplikasi Jumlah (%)

DM dengan TB paru 22 (10,6)

DM tanpa TB paru 186 (89,4)

Total 208 (100,0)

Dari 208 orang responden, hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi terjadinya komplikasi TB paru pada pasien DM adalah 22 orang pasien (10,6%) dari jumlah responden yaitu 208 orang pasien. Pasien DM yang tidak mempunyai komplikasi TB paru adalah 186 orang (89,4%).

Tabel 5.4 Perbandingan Prevalensi Kejadian Mengikut Kategori Umur

Umur Jumlah (%)

<30 tahun 0 (0)

31-40 tahun 1 (4,5)

41-50 tahun 7 (31,8)

51-60 tahun 4 (18,2)

>60 tahun 10 (45,5)

(51)

Berdasarkan tabel 5.4 di atas, pembagian dibuat mengikut kelompok umur 1-5. Kelompok umur 1 (<30 tahun), 2 (31-40 tahun), 3 (41-50 tahun), 4 (51-60 tahun) dan 5 (>60 tahun). Umur responden yang paling muda adalah 40 tahun dan umur responden yang paling tua adalah 76 tahun. Terdapat 22 kasus yang dicatatkan. Kelompok umur 5 menunjukkan persentase yang paling tinggi dan dari hasil tabel di atas juga boleh dilihat suatu pola yang meningkat apabila umur pasien tersebut semakin tua.

Tabel 5.5 Perbandingan Prevalensi Kejadian Mengikut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (%)

Laki-laki 14 (63,6)

Perempuan 8 (36,4)

Total 22 (100,0)

Berdasarkan tabel di atas ini, analisa juga dibuat terhadap prevalensi kejadian DM dengan TB paru mengikut jenis kelamin. Hasil menunjukkan golongan laki-laki adalah lebih prevalen dibandingkan dengan golongan perempuan.

Tabel 5.6 Distribusi Hasil Diagnosis Tuberkulosis Paru

Hasil Diagnosis TB Paru Jumlah (%)

BTA +++ 18 (81,8)

BTA ++ 2 (9,1)

BTA +, foto thoraks positif 2 (9,1)

(52)

Tabel di atas menunjukkan distribusi dari hasil diagnosis pasien DM dengan TB paru. Hasil dari tabel di atas menunjukkan bahawa dari 22 orang yang mempunyai DM dan TB paru, hasil BTA positif 3 merupakan hasil yang paling banyak.

Tabel 5.7 Distribusi Interval Waktu Antara Kejadian Diabetes Mellitus dan Tuberkulosis Paru

Interval Waktu Jumlah (%)

1-2 tahun 6 (27,3)

3-4 tahun 7 (31,8)

5-6 tahun 4 (18,2)

>6 tahun 5 (22,7)

Total 22 (100,0)

Hasil dari tabel di atas menunjukkan interval waktu antara diagnosis DM dan TB paru. Dari tabel di atas, dapat dilihat persentase paling tinggi adalah pada interval waktu 3-4 tahun dan persentase paling rendah pada interval waktu 5-6 tahun.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Prevalensi Kejadian Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus

(53)

Menurut Sanusi, prevalensi TB paru pada pasien DM di Indonesia masih cukup tinggi dan diperkirakan angka prevalensinya adalah 12,8-42% (Sanusi, 2006). Kenyataan ini menyokong dan bersetuju dengan hasil penelitian ini, yang menunjukkan 10,6% dari 208 orang pasien DM, yang menderita TB paru dan menunjukkan bahawa pasien yang menderita DM ada resikonya untuk terjadinya komplikasi TB paru.

Menurut Kiran, umur dan keparahan penyakit DM merupakan faktor yang signifikan untuk timbulnya TB paru. Diperkirakan bahawa insidensi terjadinya TB paru adalah paling tinggi untuk pasien yang umurnya lebih dari 65 tahun. Menurut Kiran lagi, insidensi terjadinya TB paru pada pasien DM adalah sebanyak 69% pada pasien yang umurnya lebih dari 40 tahun (Kiran et al, 1999). Kenyataan ini juga menyokong hasil penelitian ini yaitu 95,5% dari 22 orang yang menderita TB paru dengan riwayat DM adalah dari kelompok yang umurnya lebih dari 40 tahun.

Selain itu, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahawa interval waktu yang diperlukan untuk mendiagnosa TB paru selepas DM adalah semakin lama durasi pasien menderita DM, semakin banyak yang berlanjut menjadi DM dan TB paru. Menurut Kiran, insidensi terjadinya TB paru meningkat dengan lama durasi penyakit DM (Kiran et al, 1999). Kenyataan dari penelitian Kiran adalah berbeda dengan hasil penelitian ini. Menurut Tatar dan kawan-kawannya pula, interval waktu yang diperlukan untuk mendiagnosis TB paru pada pasien DM adalah <10 tahun (40%) dan > 10 tahun (24,6%) (Tatar et al, 2009). Jadi, kenyataan ini mendukung hasil dari penelitian ini yang menunjukkan bahawa kebanyakkan interval waktunya tidak melebihi 10 tahun.

(54)

Dalam penelitian ini juga, didapatkan cara mendiagnosis TB paru pada pasien dengan DM pada awalnya menunjukkan kadar yang lebih tinggi dengan hasil BTA positif 3 dan hal ini sama dengan hasil yang didapat dari Tatar dan kawan-kawannya (Tatar et al, 2009).

Di samping itu, penelitian ini juga ada beberapa kelemahannya sehingga terjadi limitasi dari informasi yang dibutuhkan. Kelemahannya adalah dari data-data dari beberapa rekam medis yang kurang lengkap dan kesingkatan waktu sepanjang durasi proses pengambilan data sehingga hasil dari penelitian ini ada sedikit perbedaan jika dibanding dengan penelitian-penelitian lain.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Sebanyak 22 orang pasien DM (10,6%) dari 208 orang pasien yang menderita DM, juga mempunyai komplikasi TB paru

(55)

3. Penderita TB paru dengan riwayat DM lebih banyak pada laki-laki yaitu 63,6% dibandingkan dengan perempuan yang hanya 36,4% dari total 22 orang pasien yang menderita TB paru dengan riwayat DM 4. Penderita TB paru dengan riwayat DM juga menunjukkan

kecenderungan mendapat BTA positif 3 dari hasil diagnosis TB paru yaitu sebanyak 81,8%

5. Interval waktu yang diperlukan untuk pasien DM untuk mendapat komplikasi TB paru adalah paling prevalen pada kelompok 3-4 tahun dengan persentase sebanyak 31,8%

6.2. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan hasil dari penelitian yang dilakukan adalah :

1. Suatu penelitian hubungan secara analitik disarankan untuk dilakukan pada masa hadapan agar dapat mengetahui segala penyebab dan hubungannya yang boleh menyebabkan berlakunya TB paru pada pasien dengan riwayat DM. Melalui penelitian ini, segala faktor resiko dan penyebab boleh diantisipasikan dari awal untuk menghambat perkembangan TB paru pada pasien DM sekaligus menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit tersebut.

2. Selain itu, penelitian tentang kaedah kontrol yang lebih baik dan komprehensif juga harus dilaksanakan. Hal ini adalah penting supaya para petugas kesehatan dan orang umum lebih banyak mengerti tentang segala sesuatu yang boleh dilakukan oleh mereka untuk menghindari DM atau bagi yang telah menderita DM untuk tidak berlanjut menjadi DM dengan komplikasi TB paru.

(56)

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2009. Standards of Medical Care In Diabetes. Diabetes Care 1 (32) : 13-15.

Badan Litbang Kesehatan, 2009. Prevalensi TB Paru, DM dan TB/DM Hubungannya dengan Faktor Resiko Merokok di Indonesia. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Available from: http://digilib.litbang.depkes.go.id [Accessed 18 Maret 2010].

(57)

Broxmeyer, L., 2005. Diabetes Mellitus, Tuberculosis and The Mycobacteria:

Two Milleniao of Enigma. Elesevier. Available from :

http://intl.elsevierhealth.com/journals/mehy [Accessed 5 April 2010]. Coker, R., et al, 2005. Risk Factors for Pulmonary Tuberculosis In Russia:

Case-Control Study. European Centre on Health of Societies in Transition, Department of Public Health and Policy, London School of Hygiene and

Tropical Medicine, London. BMJ. Available from:

www.bmj.com/cgi/content/short/332/7533/85 [Accessed 5 April 2010]. Departemen Kesehatan RI, 2004. Buku Pedoman Nasional: Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Penderita Diabetes Indonesia Urutan ke-4 di Dunia. Available from: http//www.depkes.go.id.17/06/2006 [Accessed 18 Maret 2010].

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, 2009. Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Available from: http://www.penyakitmenular.info [Accessed 18 Maret 2010].

Evans, E., Patry, R., 2008. Gestational Diabetes: Pathophysiology. Gestational

Diabetes. WebMD. Available from: www.medscape.com/viewarticle/483810 [Accessed 6 April 2010].

Ferry, R. J., et al, 2008. Diabetes Causes. Diabetes. Division of Pediatric Endocrinology and Diabetes, Le Bonheur Children’s Medical Center, University of Tennessee Health Science Center, Memphis. eMedicineHealth. Available from: http://www.emedicinehealth.com/diabetes/page2_em.htm [Accessed 5 April 2010].

Golsha R et al, 2009. Pulmonary Tuberculosis and Some Underlying Conditions In Golestan Province of Iran, During 2001-2005. Journal of Clinical and Diagnostic Research. Available from: http://www.jcdr.net/back_issues [Accessed 23 April 2010].

Guptan, A., Shah, A., 2000. Tuberculosis and Diabetes : An Appraisal. In: Indian Journal of Tuberculosis, 47: 3-6.

Hill, P. C. et al, 2006. Risk Factors for Pulmonary Tuberculosis: A Clinic-Based Case Control Study In The Gambia. Available from:

Gambar

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru (DepKes, 2006)
Gambar 3.1. Kerangka konsep prevalensi komplikasi TB paru pada pasien DM
Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Pasien DM Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.3 Distribusi Pasien DM Dengan TB Paru dan Pasien DM Tanpa TB Paru
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini mengenai jangka waktu menderita Diabetes Mellitus Tipe II pada pasien Diabetik Nefropati dapat diketahui kebanyakan pasien Nefropati telah menderita

retinopati diabetik berdasarkan lama menderita diabetes melitus yang paling banyak. adalah kurang dari 10 tahun sebanyak 26 orang (65,0%), lalu diikuti

lengket atau susah lepas dari mukosa bukal.. Nor Azee Azwa Binti Kamarudin : Prevalensi Komplikasi Oral Akibat Kemoterapi Pada Pasien Kanker Di RSUP H. USU Repository © 2009. d)

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan di tempat yang sama pada tahun 2007 oleh Syukri dimana pasien yang lebih banyak menderita diabetes mellitus tipe

Hasil penghitungan korelasi Somers’d juga tidak menunjukkan hubungan atau korelasi yang signifikan antara kontrol glikemik pada pasien wanita DM tipe 2 dengan kejadian BAS

Untuk mengetahui Gambaran karakteristik pasien Tuberkulosis Paru pada pasien rawat inap Diabetes Melitus tipe 2 inap di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014..

Variabel penentu atau yang paling besar hubungannya dengan perilaku pasien dalam pencegahan penyakit DM adalah dukungan keluarga dengan OR=4,260, berarti responden yang

Kesimpulan Dari 33 pasien yang didapatkan kelompok umur 0-4 tahun paling banyak mengalami tuli kongenital, dan didapatkan rasio perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki,