• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Dinamika Spatio Temporal Komunitas Gulma di Lanskap Persawahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Cisadane

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Dinamika Spatio Temporal Komunitas Gulma di Lanskap Persawahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Cisadane"

Copied!
243
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

! "

# $ %&&'

(3)

! ) *

+ , + - . . ,

-* + . .

, - ,

-"

/

0 "

1

2 3

2 "

" "

" !

,4- / + .

. ,%- /

2 5 ,6- /

"

5 ,7- /

" " " "

,8- / " " "

"

" "

8

+ . .

,%-,6- "

,7- " "

" " ,8- "

" " "

4

, 5 2

-" " , 0)- !

2

% 489

2 7

2 " "

2 " "

2 6

"

" 7

"

(4)

2 %

"

" "

" "

8

" " "

" "

3 + . .

6' :4& 4' 7% ; *

, - ,

-2 5

5 2

"

5

< "

5 2 " " "

+ . .

67 4= 4'

" '& 77 %6

5

$ 2 "

> "

> 2 "

> "

2 #

" " , 0)- 9

2 " 6

"

" "

%

"

# 0) "

2 1 "

" 2 "

"

" "

" " 2 "

"

1

(5)

! "

"

1 "

#

" " "

2 " "

5 2 1

" "

" " "

2 " "

1

" "

" 2 " "

" "

#

+ . .

" " "

"

1

" " "

"

3 2

" "

" " "

? "

" " "

"

"

, + - "

(6)

0)-! " @ . A <

* " . . @ ,B 2 "

.

" + 2 .

-! " " " . . @

" , - , - )

" " "" !

"" " "" " @

" 2 @ "

B "

2 2 " C !

2 2 " "

" "" " 2 " "

2 ! 2 "

,4- D " " . . @

,%- D "

2 5 " ,6- D

" " 2

5 " ,7- D

" " " " "" "

" ,8- " "" " 2

2 " 2

"" " "

! 2 " 2 ,4- " "

. . @ ,%- " "

,6-" " 2 "

,7-" " " "

"" " " ,8- " "

" "" " " 0 ?

" " , 5 2

-" ,)0 - ?2 " "

" " 2 " 2

E 0 ! " 489 "

"

2 " "

2 2 " 2 " 2 2 "

2 " # "

2 0 !

E " " 2 "

" # "

" " 2

0 < " " "

" 2

2 " 2 "

"

!

(7)

" " "

" " ""

0 < 2 "

2 " 2 "

"" 2

"

A " " . . @

6' :4& ,4' 7% ;- " " "

"" " " 2 5 5 2

E +2 "

2 2

" "" "

" 2 E "

! " " 2 2 "

"" "

. " " " . . @

" 67 2 4= 4' "

" '& 77 %6 " !

5

2 2 "

> 2 "

>

2 2 "

>

2 "

" " 2 2 "

# " ,)0 - " 8

2 2 " 6

2 + 2

" 2 " %

+ 2 "

C 2 " A "

"

+ )0 E "

" 2 2 # " 2

" 2 2 2

" + " "

2 "

0 2 " 2 " 3

" " 2 2 2

" 1 " D "

" " " F " D

" E " C "

" # "

"" " " #

" " 2 2

2 " " " " F 5 2

(8)

" " "

" E " C " D

!

" " 2 2

2 1 " D " " "

" F " "

" E " C " D

" " +

" 2 2 2 "

" "" " "

# " " "

. . @

" 2 " 2

! " " " "

"

" E " C

1 " D " D

! " 2

" " 2 @

" 2 2 " ""

! " "

2 "

C

" E E " " 2

/ " F

" 2 ! " "

2 "

" " " " 2 " "" "

" "

" 2

" 2 ! " "

(9)

-G3

!"#$#%# &'#(!$(!

)*)'

%&&'

3

D

0

#

(10)

+&,-$"&'#("$

).#)'

(11)

$

! ! " # $ % "

%

1 /

-1A

-/ 4

" 0 / + . D / +

" 0 3 + " / 0 ! /

+ +

0 ) /

+

% + 6

0 0 / " 0 + 1 /

(12)

+ @!

1

+ 0 #

! %

, %&&65%&&7- A

+ , + - . .

#

,

- 1 "

/ "

" "

!

?

4 " 0 / + . D / +

% " 0 3 + " / 0 ! / 0

) / +

6 A B 2 0 # <

B 2

, 6- 0 # #

7 # ,# - $

!

,

6-8 ! B 2 " ! 50 #

(13)

9 50 # #

! !

5 "

' A / / , 2

2 - / , 2

-H 3 , - ,

- 0 / + / ,

-0 + 3 # / ,

- &

: ,0 #

-+ @!

,' ( ) - /

! , *

-= 0 ,! - ,+

D-,

6-4&

"

"

5 "

+

(14)

! ,$ ! - %4 1 4=9%

+ 0

4==7 + /

2 < D .

1 0 ! 4='7 !

! 4='' / + 1 ! 4=:4

4=:4 < B 2 /

%4 4=:8 47

< I %9 / 4=:= + '

# # % 4==&

0 # / 44 / 4==6

49 < %&&4 ,

6-+ 0 #

! 4 / 4=:' "

$ # < B 2 ,B1

A0-0 4=='

0 ! B1 A0 H "

(15)

3

+<!+A !+#H* C2

+<!+A )+/#+A CC

+<!+A *+/ 0A+1 CC

0 H1 +3B*B+1 4

4 4 * # 4

4 % ! 6

4 6 3 6

00 !01$+B+1 B !+ + 7

% 4 H * 7

% % + , + - 8

% 6 ) A '

% 7 ) * :

000 H1 H +!+1 +1+*0 0 4%

6 4 4%

6 % ! 46

0J +$0+1 0 !A0#B 0 *+3+1 +@+3 0 +@+ +1

+ .0*0@B1) .0 + +1H 49

7 4 * # 49

7 % ! 4'

7 6 / 4'

! @ 4'

# + 4'

4:

7 7 3 4:

5 %&

5 2 %8

%: 64 69

7 8 6=

J +$0+1 ?/B10!+ )B*/+ 0 HA!+1+/+1 + 0 +@+3

+ .0*0@B1) .0 + +1H 74

8 4 * # 74

8 % ! 7%

8 6 / 7%

(16)

# + 7% 76

8 7 3 79

" 79

8%

" 99

8 8 '&

J0 +$0+1 0 !A0#B 0 $H10 )B*/+ ?/01+1 +1

!01) +! 01<H !+ 0 )B*/+ + 0 +@+3 '%

9 4 * # '%

9 % ! '6

9 6 / '6

! @ '6

# + '6

'7

9 7 3 '8

'8

" =6

9 8 4&'

J00 3B#B1)+1 +1!+A <+ !?A <+ !?A (+1) #HA H1)+AB3 +*+/ 01<H !+ 0 )B*/+ A? B 0 +1 H<0 0H1 0

B +3+!+10 + 0 +@+3 4&=

' 4 * # 4&=

' % ! 44&

' 6 / 44&

! @ 44&

# + 44&

444

' 7 3 446

3 " " 447

3 " " 4%7

' 8 46%

J000 <+ !?A <+ !?A (+1) #HA HA+1+1 +*+/ 01<H !+ 0

)B*/+ A? B 0 +1 H<0 0H1 0 B +3+!+10

+ 0 +@+3 467

: 4 * # 467

: % ! 468

: 6 / 468

! @ 468

# + 468

(17)

: 7 3 46'

" " 46'

" " 479

: 8 488

0K H/#+3+ +1 B/B/ 48'

K H 0/ B*+1 +1 +A+1 4':

4& 4 4':

4& % 4:&

+<!+A B !+ + 4:4

(18)

3

4 A + . . %&

% * 5

+ . . %%

6 * + .

. %'

7 * + .

. 6&

8 * + . . 66

9 * + . . 6:

' A 5

+ . . 7'

: 2 "

5 2 86

= "

5 2 88

4& 2 "

5 2 8'

44 "

5 2 8=

4% 5

+ . . 9%

46 $ , 1

-2 " '9

47 $ , 1

-" ':

48 $ , 1

-2 " :4

49 $ , 1

-" :6

4' 5

+ . . :'

4: ! " " ,

-=7

4= ! " " ,

-==

%& " 5

(19)

%4 $ "

44%

%% 3 ,

-, " & &4- 448

%6 3 ,

-, " & &8- 449

%7 3 ,

-, " & &4- 4%8

%8 3 ,

-, " & &8- 4%9

%9 1 " " " "

" 46:

%' 1 " " " "

(20)

3

4 # 47

% + . . 4=

6 5

+ . . %4

7

5 + . . %6

8 5 2

+ . . %9

9

5 2 + . . %'

'

+ . . %=

:

+ . . 6&

= + . . 6%

4&

+ . . 67

44 + . . 6'

4%

+ . . 6:

46 + . . 77

47 5

+ . . 7=

48 " 5

+ . . 7=

49

5 + .

. 94

4' 5 2

, - 2 " , - "

, - 2 " , - "

9'

4: 2 "

+ . . ''

4= "

+ . . '=

%& 2 "

(21)

%4 "

+ . . :7

%% 5

+ . . ::

%6

5 2 , - 2 " ,

-" , - 2 "

, - " =%

%7 " 2 "

+ . . =8

%8 " "

+ . . =9

%9 " 2 "

+ . . 4&&

%' " "

+ . . 4&4

%: " 5

+ . . 4&7

%= "

5 2 , - 2 " ,

-" , - 2 "

, - " 4&8

6& 3 5 2 "

, - 2 " , - " 4%4

64 3 1 "

, - 2 " , - " 4%%

6% 3 " , - 2 "

, - "

4%6

66 3 "

, - 1 ,

-4%=

67 3 , - "

" , - " "

46&

68 3 " "

, - , - A5.

(22)

3

4 5

+ . . 4=4

% + .

. 4=%

6 !

5 2 2 " %&6

7 !

5 2 " %&6

8 !

5 2 2 "

%&7

9 !

5 2 "

%&7

' "

%&8

: "

%4&

= / ,

-%48

4& / ,

-%49

44 "

2 " ,(4

-%4'

4% "

" ,(%

-%4'

46 ,(6

-%4:

47 ,(7

-%4:

48 "

,(8

-%4=

49 "

2 " ,(4

(23)

4' " " ,(%

-%%&

4: ,(6

-%%&

4= ,(7

-%%4

%& "

,(8

(24)

Lanskap adalah hamparan heterogen yang tersusun dari sekelompok ekosistem yang

saling berinteraksi. Kajian mengenai struktur, interaksi antar komponen penyusun, dan

perubahan yang terjadi di dalam lanskap dikenal sebagai ekologi lanskap (Forman dan

Godron, 1986). Pelaksanaan kajian pada tingkat lanskap akan memberikan gambaran dan

tolok"ukur yang sesuai untuk mengekspresikan hubungan struktural dan fungsional dari pola

spasial dan temporal ekosistem yang beragam (Backes, 1999; Lioubintseva dan Defourny,

1999; Noss, 1996). Menurut Risser (1985), ekologi lanskap memperdalam kajian ekosistem

sampai ke interaksi antar ekosistem dan melibatkan atribut"atribut ekosistem alami maupun

ekosistem buatan termasuk ekosistem pertanian (agroekosistem). Suatu lanskap dimana di

atasnya terdapat aktivitas ekosistem pertanian adalah lanskap pertanian. Lanskap pertanian

memiliki karakteristik yang sangat beragam, dengan komoditas yang dihasilkan bervariasi

sesuai dengan kondisi biofisik yang mempengaruhinya (Huizing, 1990).

Perbedaan kondisi biofisik antara daerah dataran rendah (hilir) dan daerah dataran

tinggi (hulu) menghasilkan formasi lanskap pertanian dengan struktur yang bervariasi

(Yokohari dan Kato, 1995). Dalam hal ini terdapat hubungan antara hulu dan hilir yang

saling berpengaruh satu sama lain baik dalam aliran energi, bahan, maupun pengaruh

lainnya. Karena itu pengelolaan lanskap pertanian sebaiknya tidak hanya didasarkan pada

luasan daerah berdasarkan wilayah administratif, tetapi juga perlu mempertimbangkan

luasan daerah secara ekologis dalam suatu unit daerah aliran sungai (DAS)(Irawan

., 1993; Pakpahan dan Syafaat, 1999). Hal ini penting seiring dengan paradigma

baru dalam pembangunan yang menerapkan otonomi daerah, sehingga antara kawasan

hulu dan hilir perlu diharmonisasikan. Dengan demikian pengelolaan lanskap pertanian

tidak dapat dikerjakan secara parsial, tetapi memerlukan pendekatan secara holistik

berdasarkan pertimbangan kondisi biofisik, praktik budidaya, sosial"ekonomi, dan

aksesibilitas (Arifin dan Takeuchi, 2001; Sudaryanto ., 2000). Pendekatan seperti ini

perlu dilakukan berdasarkan penelitian pada tingkat wilayah melalui analisis data primer

dan data sekunder, serta mengintegrasikannya dalam sistem informasi geografik (SIG) pada

suatu DAS (Gandasasmita dan Nugroho, 1999).

DAS Ciliwung"Cisadane merupakan salah satu DAS prioritas yang pengelolaannya

perlu dilakukan secara holistik. DAS Ciliwung"Cisadane mencakup wilayah pada kawasan

Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane yang masing"masing mempunyai hulu utama (

) di Gunung Gede"Pangrango (3019 m dpl) dan Gunung Salak (2300 m dpl) di

Kabupaten Bogor, dengan muara masing"masing di Teluk Jakarta (DKI Jaya) dan Teluk

(25)

perindustrian, dan kehidupan rumah"tangga pada daerah"daerah yang dilaluinya, sehingga

sangat penting bagi wilayah Bogor, DKI Jaya, dan Tangerang. Dari segi ekologis Sungai

Ciliwung dan Sungai Cisadane mempunyai pengaruh yang saling tumpang"tindih, sehingga

kawasan di kedua aliran sungai tersebut dapat dianggap sebagai satu DAS dan disebut

DAS Ciliwung"Cisadane. Kawasan DAS Ciliwung"Cisadane mempunyai penggunaan

lahan yang beragam, yaitu terdiri dari industri, pemukiman, kehutanan, dan pertanian.

Penggunaan lahan untuk pertanian mencakup perkebunan, kebun campuran, tegalan, dan

persawahan. Lanskap persawahan terdapat dari dataran rendah hingga ketinggian di bawah

1200 m dpl (Bey, 1994; BRLKT, 1989).

Kondisi lanskap persawahan di dataran rendah secara gradual menunjukkan

perbedaan dengan di dataran tinggi. Pada kondisi biofisik yang berbeda, vegetasi yang

tumbuh pada matriks dari lanskap persawahan juga berbeda (Ohkuro ., 1995). Tak

jarang selain vegetasi tanaman padi, juga terdapat vegetasi lain termasuk gulma. Masalah

gulma selalu muncul sebagai bagian yang harus dihadapi dalam praktik budidaya tanaman

padi di lanskap persawahan. Infestasi gulma di lanskap persawahan menimbulkan

persaingan terhadap tanaman padi, sehingga mengakibatkan kerugian. Persaingan gulma

dapat menurunkan produksi padi sawah sekitar 15 – 42 % atau rata"rata 28 % (Bangun, 1986;

Bangun, 1999; Burhan dan Zakaria, 1999). Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya

kerugian dan memperoleh produksi tanaman padi yang tinggi, maka pengendalian gulma

perlu dilakukan. Dalam kaitan ini agar dapat dilakukan pengendalian gulma yang efektif,

maka pengetahuan tentang komunitas gulma dan karakteristiknya menjadi sangat penting

(Aldrich, 1984; Radosevich ., 1997). Beberapa pengetahuan yang menyangkut jenis

gulma dominan, nilai penting tiap jenis gulma, struktur komunitas gulma, dan tipe komunitas

gulma sangat diperlukan (Janiya ., 1999; Moody, 1995; Radosevich ., 1997).

Pada kondisi di lapangan ternyata komunitas gulma bervariasi antar waktu maupun

antar lokasi yang berbeda (Azmi dan Baki, 1995; Bakar dan Baki, 1999), sehingga sering

mengakibatkan kurang sesuainya strategi pengendalian gulma yang dirancang dengan

komunitas gulma yang menjadi sasaran. Hal itu terjadi karena pengkajian komunitas gulma

yang biasa dilakukan dengan analisis vegetasi tidak cukup memberi informasi mengenai

perubahan komunitas gulma antar waktu dan distribusinya antar lokasi di lapangan. Oleh

karena itu dalam suatu wilayah dengan kondisi biofisik yang beragam maka selain analisis

vegetasi diperlukan kajian dinamika komunitas gulma secara spatio"temporal. Dalam kaitan

ini Park . (1995) menunjukkan bahwa SIG dapat membantu analisis spasial komunitas

gulma dan pemantauan efektivitas pengendaliannya di lapangan. Dengan menggunakan

SIG, maka data komunitas gulma pada tingkat wilayah dapat dintegrasikan dengan berbagai

(26)

Hal itu akan menghasilkan peta gulma dan formulasi hubungan infestasi gulma dengan

berbagai jenis data tersebut, sehingga dapat disusun strategi pengelolaan gulma yang efektif

dan efisien. Dengan begitu maka kerugian akibat infestasi gulma dapat dicegah dan

menunjang tercapainya produktivitas padi yang tinggi di lanskap persawahan.

a. Menganalisis pola distribusi lahan sawah di kawasan DAS Ciliwung"Cisadane dan

proporsinya di beberapa kategori faktor lingkungan fisik.

b. Menganalisis komposisi komunitas gulma, jenis gulma dominan, dan tipe komunitas

gulma, serta perubahannya antar musim/stadium pertumbuhan tanaman padi di

lanskap persawahan DAS Ciliwung"Cisadane.

c. Menganalisis pola distribusi jenis gulma dominan dan tingkat infestasi gulma, serta

perubahannya antar musim/stadium pertumbuhan tanaman padi di lanskap

persawahan DAS Ciliwung"Cisadane.

d. Menganalisis tingkat keeratan dan sifat hubungan antar faktor"faktor yang ber"

pengaruh dalam infestasi gulma, produksi, dan efisiensi pada usahatani padi sawah.

e. Memformulasikan model pendugaan pengaruh faktor"faktor lingkungan fisik, praktik

budidaya, serta sosial"ekonomi dan aksesibilitas terhadap tingkat infestasi gulma,

produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah.

a. Distribusi lahan sawah di DAS Ciliwung"Cisadane secara spasial terjadi dari dataran

rendah (hilir) hingga dataran tinggi (hulu) dengan proporsi yang bervariasi karena

pengaruh beberapa faktor lingkungan fisik.

b. Komposisi komunitas gulma, jenis gulma dominan, dan tipe komunitas gulma akan

menunjukkan perubahan karena berubahnya musim/stadium pertumbuhan tanaman padi

sawah dan perbedaan ketinggian tempat/elevasi.

c. Jenis gulma dominan dan tingkat infestasi gulma akan menunjukkan pola distribusi yang

bervariasi, dan tidak semua dari jenis gulma dominan maupun tingkat infestasi gulma

mempunyai kisaran distribusi yang luas.

d. Beberapa faktor lingkungan fisik, praktik budidaya, sosial"ekonomi dan aksesibilitas

akan menunjukkan korelasi yang nyata dan pengaruh yang menentukan terhadap

tingkat infestasi gulma, produksi, dan efisiensi pada usahatani padi sawah.

e Model pendugaan pengaruh faktor"faktor lingkungan fisik, praktik budidaya, sosial"

ekonomi, dan aksesibilitas terhadap tingkat infestasi gulma, produksi, dan efisiensi

(27)

!

Ekologi lanskap merupakan kajian di dalam ilmu lanskap yang mempelajari struktur,

fungsi, dan perubahan yang terjadi di dalam lanskap. Struktur lanskap adalah pola ruang dari

berbagai komponen lanskap yang mencakup ukuran, bentuk, kerapatan, keanekaragaman,

dan konfigurasinya. Tiga struktur dasar lanskap adalah matriks ( ), bidang lahan

( ), dan koridor ( )(Forman dan Godron, 1986). Matriks umumnya mengelilingi

suatu bidang lahan yang bentuknya berbeda dengan matriks. Bidang lahan merupakan lahan

yang memiliki permukaan tidak berbentuk lurus yang berbeda kenampakannya dengan

matriks di sekitarnya. Bidang lahan yang mengalami kerusakan ( ) akan

membentuk suatu pulau dengan lahan yang rusak di dalam matriks yang masih utuh.

Bidang lahan yang ditumbuhi tumbuhan introduksi ( ) misalnya lahan

perairan yang ditumbuhi oleh eceng gondok di tengah hamparan persawahan. Lahan

sisa ( ) merupakan lahan yang tidak dibudidayakan, di persawahan dapat

berupa semak"semak di lahan pinggir. Koridor merupakan lahan sempit yang kedua

sisinya linier dan berbeda dengan matriks, misalnya tumbuhan pinggir, pematang sawah,

dan sebagainya (Samways, 1995). Fungsi lanskap adalah interaksi yang berlangsung

diantara berbagai komponen penyusun lanskap. Interaksi tersebut meliputi aliran energi,

materi/bahan, dan spesies. Perubahan lanskap adalah perubahan struktur dan fungsi

lanskap yang berlangsung setiap saat, misalnya pada lanskap persawahan di musim

hujan sebagian besar tersusun dari hamparan padi dan di musim kemarau sebagian

ditanami palawija (Forman dan Godron, 1986).

Kajian ekologi lanskap terutama menekankan pada pola dari berbagai tipe habitat

pada suatu wilayah dan pengaruh"pengaruh habitat tersebut terhadap proses"proses ekosistem

dan distribusi spesies (Primach ., 1988). Dalam hal ini ekologi lanskap mendalami

analisis ekosistem sampai ke interaksi antar ekosistem dan melibatkan atribut"atribut

ekosistem alami maupun ekosistem buatan termasuk ekosistem pertanian (agroekosistem)

(Risser, 1985). Lanskap dimana di atasnya terdapat aktivitas ekosistem pertanian dikenal

sebagai lanskap pertanian. Lanskap pertanian memiliki karakteristik yang beragam,

sehingga komoditas pertanian yang dihasilkan juga bervariasi dengan kondisi biofisik yang

mempengaruhinya (Samways, 1995). Perbedaan kondisi biofisik antara daerah dataran

tinggi (hulu) dengan daerah dataran rendah (hilir) menghasilkan formasi lanskap pertanian

dengan struktur yang bervariasi (Yokohari dan Kato, 1995). Secara biofisik struktur di

daerah hulu berbeda nyata dengan di daerah hilir, tetapi secara ekologis antara daerah hulu

dengan daerah hilir terdapat hubungan yang saling mempengaruhi dalam hal aliran energi,

materi, maupun pengaruh lainnya. Oleh karena itu hubungan hulu dan hilir secara

(28)

Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan lanskap pertanian seharusnya tak hanya

didasarkan pada luasan daerah secara administratif, tetapi juga perlu mempertimbangkan

luasan daerah secara ekologis dalam suatu unit daerah aliran sungai (DAS). Dalam kaitan ini

maka upaya pengelolaan tak dapat hanya dilakukan secara parsial, tetapi memerlukan

pendekatan yang holistik berdasarkan pertimbangan kondisi biofisik, sosial – ekonomi, dan

teknik budidaya. Hal ini sangat relevan sebagai paradigma baru seiring dengan

diberlakukannya otonomi daerah dalam pembangunan, sehingga hubungan hulu dan hilir

perlu diharmonisasikan (Arifin dan Takeuchi, 2001; Sudaryanto ., 2000). Karena itu

kajian tingkat wilayah pada suatu DAS merupakan hal penting untuk membangun sistem

pengelolaan sumberdaya berkelanjutan pada tingkat lanskap (Irawan ., 1993; Pakpahan

dan Syafaat, 1999).

" # $

Daerah aliran sungai (DAS) atau adalah suatu bentang alam yang

menerima dan menyimpan curah hujan yang jatuh di atasnya, dan kemudian mengalirkannya

melalui sungai"sungai kecil menuju sungai utama, dan akhirnya bermuara di suatu tubuh air

bumi berupa danau, waduk, atau lautan (Asdak, 1995; Notohadiprawiro, 1980). Dipandang

dari segi terbentuknya, DAS merupakan hasil dari proses geologis dengan kelakuan

berdasarkan proses"proses hidrologis. Dari segi hidrologis maka DAS merupakan kesatuan

wilayah tata"air dengan berbagai komponennya, dimana keadaan, tindakan, atau pengaruh

yang terjadi pada salah satu komponennya akan mempengaruhi keseluruhan komponen atau

wilayah secara keseluruhan. Masukan terhadap sistem hidrologi DAS adalah curah hujan,

sedangkan keluarannya adalah aliran sungai beserta sedimen dan zat hara yang

dikandungnya. Berdasarkan fungsi hidrologisnya, suatu DAS dapat dibagi menjadi (1)

daerah tadahan ( ) yang merupakan daerah hulu atau daerah kepala sungai, dan

(2) daerah penyaluran air ( ) yang terdiri dari bagian tengah dan hilir. Di

suatu DAS, bentuk"bentuk lahan khusus dapat digambarkan, besaran iklim dapat diukur, dan

proses"proses yang berlangsung dapat dikaji berdasarkan pertukaran (pemasukan dan

pengeluaran) energi dan materi. DAS juga mempunyai bentuk, ruang atau luas, dan

ketercapaian medan/aksesibilitas (Notohadiprawiro, 1980). Sosrodarsono dan Takeda

(1977) membagi bentuk DAS menjadi radial, bulu burung, dan paralel.

Batas suatu DAS dapat ditentukan berdasarkan perilaku dari bentang aliran airnya.

Biasanya bentang aliran tersebut dibatasi oleh pemisah topografi ( )

berupa punggung"punggung bukit, puncak"puncak gunung, dan lapisan kedap air di bawah

permukaan tanah. Pemisah"pemisah topografi tersebut secara faktual merupakan batas

antara DAS yang satu dengan DAS lainnya. DAS yang besar biasanya terdiri dari

(29)

dari beberapa Sub"SubDAS. DAS secara keseluruhan relatif tetap, tetapi SubDAS atau

Sub"SubDAS dapat berubah, misal karena bocornya aliran ke wilayah DAS lain

(Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

DAS dapat dipandang sebagai sistem ekologi atau ekosistem dimana di dalamnya

terdapat komponen lingkungan fisik (tanah dan iklim) dan komponen biologi (jasad hidup)

yang saling berinteraksi, serta terjadi keseimbangan dinamik antara energi dan materi yang

masuk dengan energi dan materi yang keluar. Dalam keadaan alami, energi matahari dan

iklim di suatu DAS serta unsur"unsur endogenik di bawah permukaan DAS merupakan

masukan ( ), sedangkan air dan sedimen yang keluar dari muara DAS serta air yang

kembali ke udara melalui evapotranspirasi merupakan keluaran ( ). Ekosistem DAS

biasanya dibagi menjadi bagian hulu, tengah, dan hilir. Ciri bagian hulu antara lain tingkat

kemiringan lereng > 15 %, konsentrasi kerapatan drainase tinggi, tingkat permukaan air

tanah ditentukan pola drainase, dan bukan merupakan daerah banjir. Bagian hilir

mempunyai tingkat kemiringan < 8 %, kerapatan drainase tinggi, merupakan daerah

pemanfaatan, dan pada beberapa tempat merupakan daerah genangan (banjir). Bagian tengah

merupakan daerah transisi dari kedua bagian DAS tersebut (Asdak, 1995).

Pola penggunaan lahan ( ) merupakan faktor penting dalam pengelolaan

wilayah DAS. Hal ini karena pola penggunaan lahan merupakan konfigurasi spasial/

tata"ruang di suatu wilayah dan secara umum merefleksikan aktivitas manusia yang

membutuhkan lahan untuk memproduksi pangan, lokasi pemukiman, dan keperluan lain.

Pola penggunaan lahan umumnya merupakan paduan antara manusia penghuni wilayah

tersebut, tingkat teknologi usahatani yang digunakan, dan jumlah kebutuhan hidup yang

harus dipenuhi (Mather, 1986). Tergantung kepadatan penduduk dan kebutuhan hidup, maka

keseimbangan penggunaan lahan mengalami perubahan. Penggunaan lahan di dalam DAS

mengalami peningkatan bukan saja karena pertambahan jumlah penduduk, tetapi juga karena

intensitas dan jenis kebutuhan manusia dalam memanfaatkan lahan juga meningkat.

Keragaman penggunaan lahan sebagai ruang terbukan hijau ( ) di suatu DAS

berupa hutan, talun, kebun campuran, pekarangan, ladang/tegalan, dan persawahan. Lanskap

persawahan di suatu DAS terdapat di dataran rendah (hilir) hingga dataran tinggi (hulu).

Terdapat perbedaan secara gradual kondisi lanskap persawahan dari dataran rendah hingga

ke dataran tinggi dalam hal skala unit lahan/pertanaman, fasilitas irigasi/drainase, dan

(30)

% & ' & ! (

DAS merupakan suatu unit fisiografik yang dianggap memadai untuk mengkaji

gulma dalam konteks regional. Dalam hal ini gulma tak hanya dipandang penting dalam

konteks lokal, tetapi juga penting dalam konteks regional. Beberapa hal yang menjadi alasan

utama perlunya mengkaji gulma dalam konteks regional adalah (1) kenyataan bahwa banyak

spesies gulma mempunyai kisaran toleransi lingkungan yang lebar dan distribusi lokasi yang

luas, (2) karakteristik umum dari spesies gulma cenderung untuk menyebar dari suatu lokasi

ke lokasi lain, dan (3) untuk mengapresiasi sepenuhnya kompleksitas masalah gulma yang

terjadi di lapangan. Toleransi dan distribusi gulma merupakan bagian dari adaptasi umum

spesies terhadap kisaran kondisi lingkungan, biasanya dibatasi kondisi agroklimat regional

yang spesifik, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor"faktor tersebut adalah faktor

lingkungan (yang menentukan tipe"tipe habitat), faktor biotik, dan aktivitas manusia. Faktor

historis khususnya praktik budidaya juga memainkan peranan penting dalam pencapaian

spesies gulma di suatu lokasi (Auld ., 1987; Radosevich ., 1997).

Penyebaran spesies gulma menimbulkan konsekuensi masalah bagi masyarakat

petani, sebab akan mengakibatkan kerugian bagi petani yang pertanamannya diinvasi dan

diinfestasi. Fenomena ini dikenal sebagai efek eksternal dan menjadikan masalah gulma

sebagai masalah regional. Keuntungan eksternal terjadi ketika petani mampu mengendalikan

gulma di pertanamannya yang mempunyai potensi menyebar, sehingga mengurangi resiko

invasi dan infestasi gulma ke pertanaman petani tetangganya. Sebaliknya jika petani tersebut

tidak mampu mengendalikan gulma di pertanamannya, maka terdapat resiko invasi dan

infestasi gulma ke pertanaman petani tetangganya. Hal itu akan mengakibatkan petani

tetangganya menderita kerugian karena harus mengeluarkan biaya untuk melakukan

pengendalian dan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat infestasi gulma. Oleh

karena itu dalam konteks regional penyebaran gulma menimbulkan masalah ke banyak orang

khususnya masyarakat petani. Dalam situasi demikian maka peranan peraturan/legislasi

mengenai lalu"lintas/perpindahan tanaman menjadi sangat penting untuk mengurangi atau

menekan penyebaran gulma (Radosevich ., 1997).

Dalam kaitan ini maka perlu dilakukan pemantauan secara kontinyu terhadap

pergerakan spesies"spesies tumbuhan eksotik baik yang berstatus sebagai tanaman maupun

gulma. Pemantauan seperti itu akan memberikan informasi mengenai kisaran posisi

distribusinya, sehingga dapat membantu upaya pengelolaan untuk mencegah perubahan

statusnya dari tanaman mejadi gulma dan menekan penyebaran lebih lanjut dari yang telah

berstatus sebagai gulma agar tidak menjadi gulma yang invasif. Hal ini karena spesies"

spesies gulma invasif sering menjadi sangat sulit untuk dikendalikan ketika telah menginvasi

(31)

yaitu fase introduksi (proses penginvasian ke daerah baru yang sebelumnya belum pernah

ditumbuhi), fase kolonisasi (proses pemapanan di daerah baru hingga mampu bertahan dan

bereproduksi, serta menghasilkan pertumbuhan populasi yang berlanjut), dan fase

naturalisasi (proses penyebaran menjadi lebih luas dan pertumbuhan populasi lebih lanjut

hingga menjadi bagian tetap dari komunitas gulma di daerah itu). Kemampuan gulma

menginvasi dan menginfestasi sangat ditentukan karakteristik adaptasi dan kesesuaian

habitatnya (McLaren ., 1998). Oleh karena itu pengendalian gulma perlu diupayakan

secara sungguh"sungguh untuk menekan dan mengurangi infestasinya agar tidak

menimbulkan kerugian, serta meminimalkan peluang tumbuh dan berkembangnya spesies"

spesies gulma yang baru (Godilano, 2003).

Dengan menempatkan masalah gulma dalam konteks regional, maka kompleksitas

masalah gulma di lapangan dapat dikaji melalui pemodelan yang disusun berdasarkan data

berbasis regional. Dalam hal ini basis data regional mencakup distribusi dan kelimpahan

spesies gulma yang ada, serta berbagai data lain yang secara aktual maupun secara potensial

berpengaruh. Melalui pemodelan tersebut maka dapat dilakukan pengkajian terhadap

masalah gulma di lapangan yang kompleks dengan mengakomodasi semaksimal mungkin

faktor"faktor yang berpengaruh. Disamping itu berdasarkan pemodelan tersebut juga dapat

diformulasikan kebijaksanaan pengelolaan dan prioritas penelitian masalah gulma, serta

perencanaan strategi dan penentuan rekomendasi pengendalian gulma (Auld ., 1987;

Briese ., 2000).

) % & ' * "

Gulma merupakan masalah aktual yang selalu terjadi di lanskap persawahan

(De Datta, 1995; Moody, 1995). Komunitas gulma di pertanaman padi sawah terdiri dari

berbagai macam famili, genus, dan spesies. Smith (1983) mencatat ada sekitar 60 famili, 150

genus, dan 350 spesies gulma di pertanaman padi sawah. Selanjutnya Sastroutomo (1990)

mencatat 33 jenis gulma yang sering dijumpai tumbuh di pertanaman padi sawah, dengan 10

jenis diantaranya merupakan jenis yang dominan. Keberadaan gulma menimbulkan

persaingan terhadap tanaman padi sawah dalam penggunaan unsur hara, air, cahaya, dan

ruang. Gulma yang tidak disiang dengan baik dapat menurunkan produksi padi sawah

sebesar 18 – 35 % (Ardjasa ., 1980; Burhan, 1994; Burhan dan Zakaria, 1999).

Komposisi gulma di lanskap persawahan bersifat dinamik dan berubah karena faktor"

faktor tertentu. Faktor"faktor tersebut dapat berupa karakter spesies gulma itu sendiri

maupun pengaruh luar (Aldrich, 1984). Pengaruh luar berupa lingkungan makro maupun

lingkungan mikro, serta praktik budidaya. Lingkungan makro adalah lingkungan regional

skala luas yang mencakup banyak aspek tanah dan iklim. Lingkungan mikro adalah berbagai

(32)

unsur hara, dan sebagainya (Radosevich l., 1997). Faktor"faktor tanah yang mempunyai

pengaruh utama terhadap gulma adalah kesuburan, air tanah, aerasi, pH, dan temperatur

tanah. Temperatur tanah terutama berpengaruh terhadap perkecambahan dan dormansi biji

gulma. Karena tanah merupakan reservoir biji dan gulma, maka beberapa faktor

yang mempengaruhi kemampuan tanah bertindak sebagai penyelamat biji"biji gulma akan

berpengaruh terhadap kehadiran gulma. Temperatur udara berpengaruh terhadap distribusi

gulma secara latitudinal maupun elevasional (Akobundu, 1987). Perbedaan temperatur udara

dan intensitas cahaya mempengaruhi komposisi dan penyebaran jenis gulma (Connolly dan

Dahl, 1970; Everaarts, 1981). Peningkatan porsi penyinaran meningkatkan laju fotosintesis,

pertumbuhan relatif, dan bobot kering gulma golongan rumput dan daun lebar (Sutarto dan

Bangun, 1988). Meski secara umum tumbuh dan berkembangnya jenis"jenis gulma dalam

suatu wilayah/lahan ditentukan faktor"faktor tanah, iklim, dan spesies gulma itu sendiri,

tetapi dalam suatu kesatuan wilayah yang sempit maka faktor topografi dan iklim mikro

menjadi faktor yang penting (Partomihardjo dan Suhardjono, 1988). Sementara praktik

budidaya berpengaruh terhadap komunitas gulma baik secara ekologi maupun evolusi, dan

intesifikasi praktik budidaya sering mengakibatkan timbulnya spesies"spesies gulma

berbahaya ( ) melalui seleksi interspesifik dan intragenotipik (Hill ., 1997;

Janiya dan Moody, 1995). Karena itu komunitas gulma dapat berubah karena pengaruh

praktik"praktik budidaya seperti, penyiapan lahan/pegolahan tanah, kultivar tanaman, jarak

tanam, cara pengairan, pemupukan, dan cara pengendalian gulma termasuk penggunaan

herbisida (Moody, 1995; Sundaru dan Pane, 1984; Vongsaroj, 1995). Hubungan timbal"balik

antara faktor lingkungan dengan gulma dan antar gulma itu sendiri pada suatu habitat seperti

persawahan dalam batas regional tertentu sering disebut sebagai ekotopologi gulma

(Wirjahardja dan Sindoro, 1984).

Penyiapan lahan/pengolahan tanah merupakan sarana penting untuk pengendalian

gulma. Ketika pembajakan dengan tenaga hewan dilakukan pada kondisi basah dan

mayoritas biji"biji gulma telah berkecambah, maka bibit"bibit gulma akan tercabut ke atas,

terbunuh, dan kemudian tertutup tanah. Namun ketika pembajakan dengan tenaga traktor

dilakukan pada kondisi kering, maka biji"biji gulma di permukaan tanah akan terbenam dan

sebaliknya yang terbenam dari musim sebelumnya akan terangkat ke atas untuk

berkecambah, sehingga terjadi infestasi gulma yang tinggi. Kultivar"kultivar unggul padi

baru umumnya kurang kompetitif terhadap gulma dibandingkan jenis"jenis padi tradisional,

karena kultivar"kultivar unggul tersebut berhabitus pendek, berdaun tegak, dan berumur

pendek sehingga untuk mencegah persaingan gulma perlu pengendalian gulma yang lebih

awal. Sifat"sifat kultivar padi yang mampu bersaing dengan gulma antara lain berhabitus

(33)

pertumbuhan awal yang cepat (Moody, 1991; Moody, 1995; Vongsaroj, 1995). Pengaturan

jarak tanam merupakan hal penting dalam pengendalia gulma. Pada padi tapin jarak tanam

menentukan tingkat infestasi gulma, sedangkan pada padi tabela secara umum petani

menyebar benih dalam jumlah banyak untuk menghasilkan populasi tanaman padi yang

tinggi agar mampu bersaing dengan gulma (Kanchanonamai, 1981). Cara pengairan yang

tepat merupakan sarana yang efektif untuk pengendalian gulma. Pada pengaturan pengairan

yang berbeda terdapat jenis gulma yang berbeda, dan penggenangan selama 30 hari setelah

tanam (HST) pada padi tapin dapat menekan pertumbuhan gulma (Pablico dan Moody, 1993;

Sundaru dan Pane, 1984). Pemupukan selain berpengaruh terhadap tanaman juga

berpengaruh terhadap gulma. Pertumbuhan dan persaingan gulma biasanya dipengaruhi

pemberian N dan P sebelum tanam. Peningkatan dosis N dapat mengakibatkan penurunan

hasil yang lebih besar karena umumnya gulma lebih tanggap terhadap penambahan pupuk N

daripada padi sawah (Sundaru dan Pane, 1984). Pengendalian gulma secara mekanis dengan

penyiangan perlu dilakukan pada stadium awal pertumbuhan. Penyiangan pada padi tapin

dianjurkan untuk dilakukan pada 20 – 30 HST dan penundaan penyiangan hingga primordia

bunga akan sangat menurunkan produksi (Vongsaroj, 1995). Penggunaan herbisida perlu

dilakukan pada takaran dan waktu yang tepat. Aplikasi herbisida dengan takaran yang

berlebihan dapat mengakibatkan meningkatnya kasus resistensi gulma, dan berubahnya

beberapa spesies gulma yang tadinya tidak penting menjadi spesies gulma penting (Janiya

dan Moody, 1995; Vongsaroj, 1995).

Tolok"ukur infestasi gulma yang umum dipakai adalah tingkat kepadatan. Namun

beberapa peubah lain seperti bentuk pertumbuhan (habitus), daya adaptasi, dan distribusinya

juga sangat penting (Aldrich, 1984). Distribusi spasial gulma mencerminkan konfigurasi

aktual komunitas gulma di lapangan, sehingga menentukan interaksi dan persaingan antara

gulma dengan tanaman (Kropff ., 1993; Kropff dan Bastiaans, 1997). Oleh karena

komunitas gulma bersifat dinamis, maka distribusi spasial gulma juga bervariasi antar waktu

(secara temporal), atau mengalami dinamika spatio"temporal (Azmi dan Baki, 1995; Bakar

dan Baki, 1999; Janiya dan Moody, 1995). Derksen (1994) mengamati bahwa perubahan

komunitas gulma yang bersifat spatio"temporal lebih menampakkan indikasi fluktuasional

daripada indikasi direksional yang berupa perubahan konsisten dalam komposisi komunitas

gulma. Baki (1995) juga mengamati bahwa perubahan spatio"temporal dalam komunitas

gulma bersifat fluktuasional dan eratik, serta tergantung musim tanam, praktik budidaya

yang diterapkan, dan sifat komposisi komunitas gulma. Perubahan komunitas

gulma dapat terjadi secara allogenik ataupun autogenik. Perubahan allogenik dikendalikan

oleh tenaga dari luar agroekosistem padi. Tenaga ini antara lain meliputi pengelolaan

(34)

lahan/pengolahan tanah, penggunaan herbisida, dan sebagainya)(Azmi dan Baki, 1995).

Praktik pengendalian gulma biasanya tak mudah menghilangkan suatu spesies gulma dari

pertanaman padi, tetapi dapat mengubah hubungan antar spesies gulma, interaksi persaingan,

dan pola"pola perkembangan alami yang terjadi di dalam komunitas gulma (Cook, 1990;

Moody, 1991). Perubahan autogenik terjadi karena pengaruh dari dalam agroekosistem itu

sendiri. Perubahan seperti ini dapat terjadi karena persaingan inter" dan intraspesifik diantara

jenis"jenis gulma yang berdekatan, dan hal itu mengakibatkan pergantian spesies"spesies

gulma yang kurang mampu bersaing dengan spesies"spesies gulma yang menang dalam

persaingan (Azmi dan Baki, 1995).

Mengingat komunitas gulma secara ekologis maupun secara evolutif tanggap

terhadap praktik budidaya, maka berbagai praktik budidaya yang diterapkan seperti cara

penanaman, penyiapan lahan/pengolahan tanah, kultivar tanaman padi yang ditanam,

pengaturan pengairan, pemupukan, pengendalian gulma, dan penggunaan herbisida perlu

dipertimbangkan (Blacklow, 1997. Pertimbangan seperti itu perlu dilakukan sebagai

bagian dari penerapan strategi pengendalian gulma jangka panjang dengan tujuan

mengoptimalkan produktivitas tanaman padi sawah melalui pengelolaan gulma di bawah

tingkat yang merugikan. Strategi tersebut harus berarti pula mengupayakan berkurangnya

masalah gulma di masa mendatang dan bukan sebaliknya masalah gulma menjadi semakin

besar dan sulit (Burhan dan Zakaria, 1999; Kon, 1993). Oleh karena itu pertimbangan dari

tiap praktik budidaya yang diterapkan menjadi sangat penting dan kombinasi praktik

budidaya yang diterapkan hendaknya spesifik sesuai dengan distribusi spasial komunitas

gulma di lapangan (Kropff dan Bastiaans, 1997).

Distribusi spasial komunitas gulma di lapangan belum sepenuhnya terlihat dari

pengkajian komunitas gulma melalui analisis vegetasi sebagaimana yang biasa dilakukan.

Untuk itu maka Park (1995) mengaplikasikan sistem informasi geografik (SIG) guna

menentukan distribusi spasial komunitas gulma pada pertanaman padi lahan basah di Korea

(Selatan). Dari aplikasi tersebut didapatkan bahwa meskipun berdasarkan analisis vegetasi

spesies gulma merupakan yang dominan pada padi lahan basah di

seluruh Korea (Selatan), tetapi menurut teknologi SIG terdapat perbedaan distribusi spasial

yang tinggi antar daerah. Dalam kaitan ini maka penggunaan analisis SIG akan dapat

membantu perencanaan strategi dan penentuan rekomendasi pengendalian gulma yang tepat,

(35)

!

! &

Lanskap persawahan di kawasan DAS Ciliwung"Cisadane terdistribusi dari dataran

rendah (di bagian hilir) hingga dataran tinggi (di bagian hulu). Kondisi lanskap persawahan

di dataran rendah secara gradual menunjukkan perbedaan dengan di dataran tinggi. Pada

kondisi biofisik yang berbeda, vegetasi yang tumbuh pada matriks dari lanskap persawahan

juga berbeda. Selain vegetasi tanaman padi, pada lanskap persawahan juga tumbuh vegetasi

lain khususnya gulma. Masalah gulma selalu muncul sebagai bagian yang harus dihadapi

dalam budidaya padi sawah. Infestasi gulma menimbulkan persaingan terhadap tanaman

padi sawah, sehingga mengakibatkan kerugian. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya

kerugian, maka pengelolaan gulma perlu dilakukan. Dalam rangka menyusun strategi

pengelolaan gulma yang tepat, maka pengetahuan tentang komunitas gulma dan

karakteristiknya sangat diperlukan. Pengetahuan tersebut biasanya merupakan hasil analisis

vegetasi, yang antara lain meliputi komposisi jenis gulma, jenis gulma dominan, dan tipe

komunitas gulma. Namun strategi pengendalian gulma yang disusun berdasarkan

pengetahuan hasil analisis vegetasi masih sering kurang tepat, sebab analisis vegetasi belum

cukup memberikan informasi mengenai perubahan komunitas gulma antar waktu dan

distribusinya antar lokasi (spatio"temporal).

Oleh karena itu kajian dinamika komunitas gulma secara spatio"temporal dan faktor"

faktor yang berpengaruh di dalam suatu wilayah dengan kondisi biofisik yang beragam

diperlukan. Dalam hal ini maka kajian melalui pendekatan lanskap dengan menggunakan

sistem informasi geografi (SIG) dilakukan untuk mengintegrasikan data spasial dan data

tabular yang bersifat multiaspek. Dengan menggunakan SIG maka dilakukan pembuatan peta

lahan sawah dan beberapa peta tematik faktor lingkungan fisik. Berdasarkan peta"peta

tersebut kemudian dibangkitkan data faktor lingkungan fisik. Sementara itu dari survei

lapang diperoleh data gulma, data praktik budidaya, serta data sosial"ekonomi dan

aksesibilitas. Dari analisis data gulma maka diketahui komposisi komunitas gulma, jenis

gulma dominan, dan tingkat infestasi gulma, serta distribusinya. Melalui analisis gabungan

data tingkat infestasi gulma, lingkungan fisik, praktik budidaya, serta sosial"ekonomi dan

aksesibilitas, maka dapat diketahui hubungan antar faktor yang diduga berpengaruh dan

faktor"faktor yang berperanan, sehingga dapat diformulasikan model pendugaan tingkat

infestasi gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah. Berdasarkan kaidah"kaidah

yang ditemukan di dalam model pendugaan, komposisi komunitas gulma, distribusi jenis

gulma dominan dan tingkat infestasi gulma, serta referensi/hasil"hasil penelitian lain, maka

(36)

"

Penelitian ditempuh melalui 5 tahap sebagai berikut : (1) pengumpulan peta"peta

dasar dan data iklim, (2) pemetaan distribusi lahan sawah, (3) penentuan lokasi sampel lahan

sawah dan pelaksanaan survei lapang, (4) pengolahan dan analisis data, dan (5) penentuan

kesimpulan dan saran. Kelima tahap penelitian tersebut secara skematis disajikan dalam

bentuk diagram alir yang terlihat pada Gambar 1.

Pada tahap 1 dilakukan pengumpulan peta"peta dasar guna mendapatkan informasi

awal daerah penelitian untuk menyusun kerangka kegiatan pada tahap penelitian berikutnya.

Selain itu juga dilakukan pengumpulan data iklim khususnya curah hujan dan suhu udara.

Pada tahap 2 dilakukan pembuatan peta lahan sawah dan beberapa peta tematik lain (peta

ketinggian tempat/elevasi, peta lereng, peta jenis tanah, dan peta isohyet) melalui digitasi

peta"peta dasar yang dikumpulkan pada tahap 1. Peta lahan sawah setelah diverifikasi lapang

menghasilkan peta lahan sawah aktual. Tumpangsusun ( ) peta lahan sawah aktual

dengan beberapa peta tematik lain setelah diverifikasi lapang menghasilkan peta distribusi

lahan sawah pada masing"masing kelas elevasi, kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah

hujan. Pada tahap 3 dilakukan penentuan distribusi lokasi sampel lahan sawah (berdasarkan

peta lahan sawah aktual yang dihasilkan pada tahap 2) dan memetakannya. Susun"silang

( ) peta distribusi lokasi sampel lahan sawah dengan masing"masing peta tematik

faktor lingkungan fisik menghasilkan data lingkungan fisik untuk masing"masing lokasi

sampel lahan sawah. Selanjutnya dilakukan survei lapang terhadap seluruh lokasi sampel

lahan sawah dan petani pemiliknya, sehingga didapatkan data gulma, data praktik budidaya,

serta data sosial"ekonomi dan data aksesibilitas dari tiap lokasi sampel lahan sawah. Pada

tahap 4 dilakukan pengolahan dan analisis data. Dari pengolahan dan analisis data gulma

maka diketahui komposisi komunitas gulma dan tingkat infestasi gulma, serta dihasilkan peta

distribusi jenis gulma dominan dan tingkat infestasi gulma. Kemudian dari pengolahan dan

analisis gabungan data gulma, data lingkungan fisik, data praktik budidaya, serta data sosial"

ekonomi dan data aksesibilitas maka diketahui hubungan faktor"faktor yang berpengaruh

dalam infestasi gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah. Berdasarkan hubungan

faktor"faktor tersebut kemudian dapat diformulasikan model pendugaan tingkat infestasi

gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah. Selanjutnya pada tahap 5 dilakukan

penyusunan rekomendasi pengelolaan gulma. Dalam hal ini penyusunan rekomendasi

pengelolaan gulma didasarkan pada hasil"hasil kajian distribusi lahan sawah, komposisi

komunitas gulma, distribusi jenis gulma dominan dan tingkat infestasi gulma, hubungan

antar faktor"faktor yang berpengaruh, kaidah"kaidah yang ditemukan di dalam model

(37)

Gambar 1. Bagan tahapan pelaksanaan penelitian. Peta lahan sawah

Peta lahan sawah aktual

Peta distribusi lahan sawah pada kelas elevasi, kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah

hujan Verifikasi

lapang

Verifikasi lapang

Peta jenis tanah Peta elevasi

Peta lereng

Peta isohyet

Distribusi lokasi sampel lahan sawah

Survei

lapang

Distribusi gulma dominan

Komposisi komunitas

gulma

Tingkat infestasi gulma

Hubungan faktor"faktor yang berpengaruh dalam infestasi gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi

sawah

Formulasi pendugaan tingkat infestasi gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah

Data referensi/ penelitian lain

Data lingkungan

fisik

Data praktik budidaya, sosial"ekonomi, dan

aksesibilitas Data gulma

Tumpangsusun

( )

Rekomendasi

pengelolaan gulma

[image:37.612.83.520.55.699.2]
(38)

Dengan demikian dari beberapa tahap tersebut maka pada prinsipnya penelitian ini

terdiri dari 5 bagian yang saling menunjang, yaitu (1) kajian distribusi lahan sawah di

kawasan DAS Ciliwung"Cisadane, (2) kajian komunitas gulma di lanskap persawahan DAS

Ciliwung"Cisadane, (3) kajian distribusi tingkat infestasi gulma dan jenis gulma dominan di

lanskap persawahan DAS Ciliwung"Cisadane, (4) hubungan antar faktor"faktor yang

berpengaruh dalam infestasi gulma, produksi, dan efisiensi usahatani padi sawah, dan (5)

peranan faktor"faktor yang berpengaruh dalam infestasi gulma, produksi, dan efiesiensi

(39)

+ !

,

"

* " '

! *

- *

.-

'

)

Pemanfaatan tata"ruang dalam suatu kawasan DAS terdiri dari dua bagian yang

saling terkait, yaitu (1) kawasan lindung/konservasi yang terdiri atas hutan lindung dan

kawasan penyangga, dan (2) kawasan produksi. Kawasan produksi merupakan wilayah

tempat kegiatan perekonomian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan,

pemukiman, dan industri. Pemanfaatan ruang dalam bentuk sawah merupakan kegiatan

produktif yang dilakukan di kawasan produksi. Perubahan luas lahan sawah tidak terlepas

dari pertumbuhan penduduk dan tersedianya sumberdaya alam khususnya air. Ketersediaan

air dalam kuantitas dan kualitas yang memadai secara berkelanjutan akan berdampak positif

terhadap luas dan intensitas atau pengelolaan lahan sawah (Irawan ., 1993).

Faktor topografi, tanah, dan iklim merupakan faktor"faktor lingkungan fisik yang

sangat berpengaruh terhadap kondisi lahan sawah. Pengaruh topografi dapat ditelaah

berdasarkan unsur"unsurnya, yaitu ketinggian tempat/elevasi dan kemiringan lereng. Elevasi

mempunyai hubungan linier dengan kondisi iklim, sehingga merupakan peubah yang dapat

digunakan sebagai pengganti ukuran geografik untuk menggambarkan variasi kondisi

lingkungan (Aspinall, 1993; Tan, 1984 ). Kemiringan lereng berpengaruh terhadap ketebalan

tanah, beberapa sifat fisik dan kimia tanah, serta kemudahan dalam pengelolaan dan

konservasi tanah. Makin curam lereng maka cenderung tanah makin dangkal, sifat fisik dan

kimianya kurang baik, serta makin sulit pengelolaan dan pelaksanaan konsevasi tanah

(Arsyad, 2000; Hardjowigeno, 1995). Faktor jenis tanah sangat penting dalam peranannya

sebagai matriks tempat berjangkarnya akar tanaman, sumber unsur hara, air, dan udara yang

diperlukan tanaman, sehingga menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman

(Hardjowigeno, 1995; Rachman, 1987). Faktor iklim terutama adalah suhu udara dan curah

hujan. Suhu udara berpengaruh terhadap berbagai proses fisiologis tanaman dan menentukan

kesesuaian jenis/varietas padi sawah yang diusahakan. Sementara itu curah hujan

berhubungan dengan ketersediaan air, sehingga berperanan penting dalam pemenuhan

kebutuhan air yang diperlukan dalam pengelolaan lahan sawah (Partoatmodjo ., 1982;

Soekardi, 1991; William dan Joseph, 1977).

Lahan sawah yang baik adalah yang berjenis tanah subur dan mendapat pengairan

teratur. Lahan sawah merupakan tanah pertanian yang berpetak"petak dan dibatasi dengan

pematang/galengan, saluran untuk menahan/menyalurkan air, dan biasanya ditanami padi

sawah, tanpa memandang dari mana memperolehnya atau status dari tanah tersebut (BPS

(40)

menjadi sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang

digunakan menanam padi dengan sumber air dari hujan. Sawah irigasi adalah lahan sawah

yang digunakan menanam padi dengan sumber air irigasi. Ditinjau dari sistem pengairannya,

maka sawah irigasi dapat dibedakan menjadi irigasi sederhana/tradisional, irigasi setengah

teknis, dan irigasi teknis (Irawan l., 1993).

Di dalam suatu kawasan DAS maka lahan sawah terdistribusi dari dataran rendah

(bagian hilir) sampai dataran tinggi (bagian hulu). Oleh karena penyebaran unsur"unsur

lingkungan fisik di kawasan DAS bervariasi menurut ruang dan waktu, maka lahan sawah

dari bagian hilir ke bagian hulu juga terdistribusi pada kondisi lingkungan fisik yang

beragam (Gandasasmita, 2001). Kajian mengenai distribusi lahan sawah dalam

hubungannya dengan faktor"faktor lingkungan fisik diperlukan sebagai dasar untuk

melakukan pengelolaannya.

)

a. Memetakan lahan sawah yang secara spasial terdistribusi dari dataran rendah (bagian

hilir) hingga dataran tinggi (bagian hulu) kawasan DAS Ciliwung"Cisadane.

b. Menganalisis distribusi lahan sawah dalam hubungan dengan proporsinya di dalam

beberapa kategori faktor lingkungan fisik.

) / '

a. Tempat dan Waktu

Penelitian ini mengambil obyek lanskap persawahan DAS Ciliwung"Cisadane di

Wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, dan Kota

Tangerang. Pemrosesan data melalui teknologi sistem informasi geografik (SIG) dilakukan

di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB.

Waktu penelitian selama 5 bulan, yaitu mulai dari bulan Juli sampai dengan

bulan Nopember 2003.

b. Bahan dan Alat

Bahan"bahan yang digunakan adalah peta rupa bumi (skala 1 : 25.000) lembar 1209"

131 (Cihiris), 1209"132 (Gunungsari), 1209"133 (Cigudeg), 1209"134 (Leuwiliang), 1209"

141 (Ciawi), 1209"142 (Cisarua), 1209"143 (Bogor), 1209"411 (Lebakwangi), 1209"412

(Parung), 1209"413 (Curug), 1209"414 (Serpong), 1209"421 (Cibinong), 1209"431

(Jatiuwung), 1209"432 (Tangerang), 1209"433 (Mauk), dan 1209"434 (Teluknaga); peta

tanah semi detail (skala 1 : 50.000) Jabotabek I, Jabotabek II, Jabotabek V, DAS Ciliwung

Hulu, dan DAS Cisadane Hulu; peta administratif (dari peta wilayah kecamatan), dan data

(41)

Alat"alat yang dipakai meliputi (1) perangkat keras terdiri dari satu set komputer

(Pentium IV) dengan konfigurasi SD"RAM 128 MB, 40 GB, IP"1600, (2)

perangkat lunak berupa sistem operasi dan ! versi 3.2, (3)

("#$), serta (4) , altimeter, dan kompas. c. Pelaksanaan

1. Menginventarisasi peta dasar dan data yang telah dikumpulkan untuk digunakan

sebagai masukan data ( ).

2. Melakukan digitasi peta dasar dan data yang ada untuk memperoleh beberapa peta

tematik, yaitu peta lahan sawah, peta elevasi, dan peta kelas lereng (dari peta rupa

bumi), peta jenis tanah (dari peta tanah semi detail), peta isohyet (dari data curah

hujan), dan peta administratif (dari peta wilayah kecamatan).

3. Menumpangsusunkan ( ) peta lahan sawah dengan masing"masing peta

tematik lain, yaitu peta administratif, peta elevasi, peta kemiringan lereng, peta jenis

tanah,dan peta isohyet. Penumpangsusunan ini menghasilkan poligon"poligon satuan

peta lahan sawah dengan tiap peta tematik tersebut, sehingga diketahui distribusi lahan

sawah pada masing"masing wilayah kecamatan, kelas elevasi, kelas kemiringan lereng,

jenis tanah, dan kelas curah hujan.

4. Menghitung luas lahan sawah pada masing"masing kelas peta tematik, sehingga dapat

dihitung pula proporsinya.

5. Melakukan verifikasi lapang terhadap hasil tumpang"susun, sehingga didapatkan

distribusi poligon"poligon lahan sawah yang dapat dipertanggungjawabkan.

7. Mencetak ( ) hasil digitasi, tumpangsusun, dan verfikasi lapang tersebut,

sehingga didapatkan peta yang menunjukkan distribusi lahan sawah di kawasan

DAS Ciliwung"Cisadane.

8. Menganalisis distribusi lahan sawah dan proporsinya pada masing"masing kelas peta

tematik. Dalam hal ini dilakukan tabulasi luas lahan sawah dan proporsinya pada tiap

kelas peta tematik, sehingga dapat diketahui distribusinya pada tiap wilayah

kecamatan/kategori faktor lingkungan fisik. Disamping itu juga dibuat kurva dua

ordinat untuk mengetahui pola umum distribusi lahan sawah dan proporsinya pada

berbagai kecamatan/faktor lingkungan fisik. Hasil analisis ini selanjutnya digunakan

sebagai dasar pada tahap"tahap penelitian berikutnya.

) ) ' &, "

Berdasarkan hasil perhitungan secara kartografik maka luas DAS Ciliwung"

Cisadane (tak termasuk Jakarta) dalam penelitian ini adalah 217.099 ha. Dari luasan

tersebut maka sebanyak 37.810 ha (17,42 %) diantaranya berupa lahan sawah (Tabel 1).

(42)
(43)

Tabel 1. Rekapitulasi luas wilayah DAS Ciliwung"Cisadane.

U r a i a n Keterangan

Luas wilayah keseluruhan 250159 ha

Luas wilayah tak termasuk Jakarta 217099 ha

Luas wilayah yang berupa lahan sawah 37810 ha

) " * "(berdasarkan luas wilayah tak

termasuk Jakarta) 01) 2

ke bagian hulu (Gambar 2), dengan luas dan proporsi yang bervariasi menurut

wilayah administrasi/kecamatan, ketinggian tempat/elevasi, kemiringan lereng, jenis

tanah, dan curah hujan.

a. Distribusi lahan sawah berdasarkan wilayah administrasi/kecamatan

Distribusi lahan sawah berdasarkan wilayah administrasi/kecamatan terlihat pada

Gambar 3, sedangkan luas dan proporsinya disajikan pada Tabel 2. Lahan sawah

terdistribusi di 51 kecamatan dari 60 kecamatan yang tercakup dalam wilayah penelitian

ini. Pola distribusi lahan sawah dan proporsinya antar kecamatan terlihat pada Gambar 4.

Lahan sawah yang luas terdapat pada beberapa kecamatan di bagian hilir, kemudian di

bagian hulu, dan selanjutnya di bagian tengah.

Di bagian hilir lahan sawah yang luas terdistribusi di 4 kecamatan pada bagian

utara wilayah Kab. Tangerang, yaitu berturut"turut di Kec. Pakuhaji 3.424 ha (44,76 %),

Kec. Sepatan 2.201 ha (41.84 %), Kec. Kosambi 2.058 ha (49,44 %), dan Kec. Teluknaga

2.037 ha (54,38 %). Lahan sawah di Kecamatan Sepatan relatif paling intensif

pengelolaannya. Namun demikian lahan sawah di kecamatan"kecamatan tersebut

umumnya berpengairan teknis dan sebagian setengah teknis. Sumber air pengairan

berasal dari Bendung Pasar Baru pada Sungai Cisadane di Kota Tangerang. Dengan

demikian air pengairan untuk lahan sawah di kawasan ini relatif terjamin sepanjang

tahun. Setiap setahun sekali dilakukan pengeringan untuk pemeliharaan jaringan irigasi

selama 1 bulan, yaitu antara bulan September hingga Oktober. Frekuensi penanaman

padi sawah umumnya 2 kali dalam setahun, sedangkan pada selang waktu selebihnya

lahan sawah ditanami palawija/sayuran atau dibiarkan bera. Kendala pada kawasan yang

agak paling hilir antara Kec. Teluknaga dan Kec. Pakuhaji adalah terjadinya banjir pada

musim hujan yang kadang"kadang harus menunda waktu tanam atau mengakibatkan

terendamnya tanaman padi yang sudah ditanam. Disamping di 4 kecamatan tersebut,

lahan sawah yang cukup luas juga terdapat di Kecamatan Pinang 734 ha (25,75 %) dan

Kec. Neglasari 410 ha (35,93 %) di wilayah Kota Tangerang, serta di Kec. Pagedangan

[image:43.612.110.520.78.174.2]
(44)
(45)

Tabel 2. Luas lahan sawah pada masing"masing wilayah administrasi/kecamatan di DAS Ciliwung – Cisadane.

Lahan Sawah Lahan Sawah

. K Luas

(ha) ha % K

Luas

(ha) ha %

Teluknaga 3747 2037 54,38 Pancoran Mas 3060 0 0

Kosambi 4162 2058 49,44 Sawangan 5064 786 15,52

Pakuhaji 7648 3424 44,76 Parung 2377 465 19,57

) Sepatan 5260 2201 41,84 ) Gunungsindur 5055 812 16,08

3 Pasar Kemis 786 91 11,58 3 Rumpin 10065 850 8,45

4 Benda 2659 377 14,18 4 Ciseeng 4359 1428 32,76

0 Neglasari 1141 410 35,93 0 Kemang 2560 317 12,38

5 Batuceper 1168 168 14,38 5 Rancabungur 1831 316 17,25

6 Priukjaya 393 14 3,56 6 Bojonggede 5405 378 6,99

7 Jatiuwung 364 0 0 )7 Cibinong 1506 198 13,15

Cibodas 564 0 0 ) Sukaraja 578 12 2,08

Karawaci 1486 0 0 ) Tanah Sereal 1924 119 6,18

Tangerang 1473 0 0 ) Bogor Barat 2145 449 20,93

) Cipondoh 2174 378 17,39 )) Bogor Utara 1118 0 0

3 1099 21 1,91 )3 Bogor Tengah 579 0 0

4 Larangan 702 0 0 )4 Bogor Timur 910 84 9,23

0 Ciledug 846 76 8,98 )0 Bogor Selatan 3457 358 10,36

5 Pinang 2851 734 25,75 )5 Ciomas 1894 451 23,81

6 Curug 2888 455 15,75 )6 Darmaga 2641 714 27,04

7 Legok 1894 386 20,38 37 Ciampea 7026 2579 36,71

Pagedangan 5159 724 14,03 3 Cibungbulang 4363 1842 42,22

Serpong 4036 110 2,73 3 Leuwiliang 10945 2588 23,65

Pondok Aren 2540 166 6,54 3 Nanggung 19881 2239 11,26

) Ciputat 3261 116 3,56 3) Pamijahan 7854 2035 25,91

3 Cisauk 3500 430 12,29 33 Tamansari 2636 196 7,44

4 Pamulang 3217 61 1,90 34 Cijeruk 7795 1113 14,28

0 Limo 2615 112 4,28 30 Caringin 5973 1069 17,90

5 Beji 1481 3 0,20 35 Ciawi 6858 736 10,73

6 Cimanggis 243 0 0 36 Megamendung 6530 804 12,31

7 Sukmajaya 637 17 2,67 47 Cisarua 10716 304 2,84

& " " & " .

& " "

Kec. Legok 386 ha (20,38 %) di bagian selatan wilayah Kab.Tangerang. Lahan sawah di

dua kecamatan yang termasuk wilayah Kota Tangerang tersebut sebagian besar

berpengairan teknis dan setengah teknis, tetapi pengelolaannya relatif kurang intensif

karena pengaruh desakan urbanisasi. Sementara itu lahan sawah di empat kecamatan

yang terdapat di wilayah selatan Kab.Tangerang berpengairan setengah teknis,

sederhana/tradisional, dan tadah hujan. Lahan sawah di empat kecamatan ini sebagian

[image:45.612.87.516.83.597.2]
(46)

Keterangan : ! " # $ # ! $ % $

$ % &$ $ %

$ ' ! ( # ) * $ * ! $ + $ , $ $ % # $ $ $ # ( $

- ' & . !

% # / 0 1 /2 0

Lahan sawah (ha) Proporsi (%)

Gambar 4. Pola distribusi lahan sawah dan proporsinya berdasarkan wilayah administrasi/kecamatan di DAS Ciliwung"Cisadane.

Di bagian tengah lahan sawah yang relatif luas terdapat di Kec. Ciseeng 1.428 ha

(32,76 %), Kec. Rumpin 850 ha (8,45 %), Kec. Gunungsindur 813 ha (16,08 %), dan

Kec. Sawangan 786 ha (15,52 %). Lahan sawah yang cukup luas juga terdapat

di Kec. Parung 465 ha (19,57 %), Kec. Bogor Barat 449 ha (20,93 %), dan

Kec. Bojonggede 378 ha (6,99 %). Lahan sawah di kawasan ini berpengairan teknis,

setengah teknis, sederhana/tradisional, dan juga tadah hujan. Sawah berpengairan teknis

dan setengah teknis terdapat di kawasan antara Kota Bogor – Cibinong yang mendapat

sumber air pengairan dari Bendung Katulampa di Sungai Ciliwung, serta di kawasan

antara Kota Bogor – Parung/Ciseeng dan antara Kota Bogor – Depok yang mendapat

sumber air pengairan dari Bendung Empang di Sungai Cisadane. Frekuensi penanaman

dapat dilakukan 3 kali setahun (2 kali padi sawah varietas unggul, kemudian diikuti 1 kali

palawija/sayuran). Meski demikian akibat berkurangnya debit air pengairan karena

digunakan untuk berbagai keperluan di kawasan yang lebih hulu dan saluran irigasi yang

rusak di beberapa tempat karena kurang terpelihara, maka lahan sawah yang tadinya

mendapat air pengairan cukup dari kedua Bendung tersebut kini banyak yang mengalami

kekurangan air. Sebagai implikasi dari berkurangnya air pengairan maka beberapa petani

mengusahakan lahan sawah untuk tanaman selain padi yang tidak memerlukan pengairan

(47)

Rancabungur, Bojonggede, dan Sawangan. Disamping itu karena alasan ekonomis (agar

lebih cepat menghasilkan dan mendapat keuntungan lebih tinggi) maka lahan sawah

yang masih mendapat cukup air pengairan banyak yang diusahakan sebagai kolam

ikan ( ). Pengusahaan lahan sawah untuk kolam ikan banyak dilakukan di

Kec. Parung, Kec. Ciseeng, Kec. Kemang, dan Kec. Bojonggede. Beberapa fenomena ini

mengakibatkan berkurangnya luas dan proporsi lahan sawah untuk kawasan ini yang

ditemukan di lapangan.

Di bagian hulu lahan sawah yang luas terdapat di 5 kecamatan, yaitu berturut"

turut di Kec. Leuwiliang 2.588 ha (23,65 %), Kec. Ciampea 2.579 ha (36,71 %),

Kec. Nanggung 2.239 ha (11,26 %), Kec. Pamijahan 2.035 ha (25,91 %), dan

Kec. Cibungbulang 1.842 ha (42,22 %). Disamping itu juga terdapat lahan sawah yang

relatif luas di Kec. Cijeruk 1.113 ha (14,28 %), Kec. Caringin 1.069 ha (17,90 %), dan

Kec. Megamendung 804 ha (12,31 %), serta cukup luas di Kec. Ciawi 736 ha (10,73 %),

dan Darmaga 714 ha (27,04). Dari data terlihat bahwa distribusi lahan sawah di bagian

hulu relatif lebih merata, tetapi karena faktor topografi maka tidak semuanya mempunyai

aksesibilitas yang memadai. Lahan sawah di kawasan ini sebagian besar berpengairan

sederhana/ tradisional, selebihnya berpengairan setengah teknis dan tadah hujan. Meski

sistem pengairan di kawasan ini tak sebaik di bagian tengah dan hilir, tetapi air pengairan

relatif tak menjadi masalah karena pada umumnya curah hujan di bagian hulu cukup

banyak. Oleh karena itu dapat dilakukan penanaman 3 kali setahun dengan rincian 2 kali

padi sawah varietas unggul dan diikuti 1 kali palawija/sayuran, atau 2 kali setahun yang

terdiri dari 1 kali padi sawah varietas lokal diikuti 1 kali palawija/sayuran. Namun

demikian di kawasan ini pengusahaan lahan sawah untuk usahatani lahan kering

dengan tanaman palawija/sayuran juga dijumpai karena pertimbangan teknis (lebih

mudah dilakukan) dan ekonomis (lebih menguntungkan), antara lain di Kec. Ciomas,

Kec. Darmaga, Kec. Ciampea, Kec. Cibungbulang, dan Kec. Pamijahan. Hal ini

merupakan kenyataan logis mengingat lahan sawah yang sudah rendah tingkat

keuntungan komparatifnya bila ditanami padi, tetapi masih dapat sangat menguntungkan

bila ditanami dengan tanaman palawija/sayuran (Irawan ., 1993).

Lahan sawah selain mempunyai fungsi produksi, juga mempunyai fungsi

hidrologi. Sumberdaya lahan sawah yang masih relatif luas dan aliran air melalui

saluran"saluran irigasi dapat menjadi area peresapan yang besar bagi pemenuhan

kebutuhan air tanah terutama untuk kota"kota di bagian hilir (Jakarta dan Tangerang).

(48)

bahwa lahan sawah telah banyak berkurang karena digunakan untuk pembangunan

pemukiman, kawasan industri, prasarana jalan, dan fasilitas"fasilitas umum lainnya.

Pengurangan lahan sawah juga sangat ditunjang oleh pemekaran wilayah kota"kota yang

cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Disamping itu pembangunan tempat"tempat

peristirahatan/ dan beberapa fasilitas wisata lain di bagian hulu yang terus berlanjut

dapat mengancam daerah tadahan ( ) DAS Ciliwung"Cisadane. Mengingat

fungsinya, maka konversi lahan sawah untuk penggunaan lain sedapat mungkin perlu

dicegah dan/atau ditekan. Hal ini dapat dilakukan melalui perundang"undangan tentang

penguasaan dan penggunaan lahan, serta penciptaan program"program kesempatan kerja

yang tidak berbasis lahan. Upaya tersebut perlu disertai dengan pengawasan dan

ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum ( ) untuk menjamin

pemanfaatan tata"ruang secara seimbang yang dapat menjamin eksistensi lahan sawah

(Rusastra ., 1998).

b. Distribusi lahan sawah berdasarkan ketinggian tempat/elevasi

Distribusi lahan sawah berdasarkan ketinggian tempat/elevasi terlihat pada

Gambar 5 sedangkan luas dan proporsinya disajikan pada Tabel 3. Lahan sawah

terdistribusi pada ketinggian tempat/elevasi antara 0 – 1.200 m dpl. Pola distribusi lahan

sawah dan proporsinya antar ketinggian tempat/elevasi terlihat pada Gambar 6. Luas dan

proporsi lahan sawah cenderung semakin berkurang dengan makin meningkatnya

ketinggian tempat. Lahan sawah terluas terdapat pada ketinggian tempat 0 – 25 m dpl,

yaitu sebanyak 12.921 ha (24,25 %). Luas lahan sawah dan proporsinya pada beberapa

peningkatan ketinggian tempat berikutnya cenderung lebih rendah, tetapi hingga

ketinggian tempat 300 – 400 m dpl nampak bersifat fluktuatif. Fluktuasi terjadi karena

pengaruh perbedaan luas lahan yang tercakup pada tiap ketinggian tempat, tingkat

ketersediaan air, dan intensitas desakan urbanisasi/ industrialisasi yang terjadi. Luas

lahan sawah pada ketinggian tempat 300 – 400 m dpl sebanyak 3.368 ha (24,13 %),

selanjutnya pada beberapa ketinggian tempat berikutnya cenderung semakin menurun

hingga mencapai 241 ha (4,54 %) pada ketinggian tempat 800 – 900 m dpl; 2,00 ha

(0,06 %) pada ketinggian tempat 1100 – 1200 m dpl, dan tidak lagi ditemukan lahan

sawah pada ketinggian tempat>1200 m dpl. Pola distribusi lahan sawah yang demikian

menunjukkan adanya hubungan antara ketinggian tempat dengan distribusi lahan sawah,

sehingga ketinggian tempat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi

lahan sawah. Hal ini karena ketinggian tempat mempunyai hubungan linier dengan

(49)
(50)

Tabel 3. Luas lahan sawah berdasarkan ketinggian tempat/elevasi di DAS Ciliwung"Cisadane.

Lahan sawah Ketinggian Tempat/Elevasi

(m dpl) Luas (ha) ha %

0 – 25 53289 12921 24,25

>25 – 50 22703 2726 12,01

>50 – 100 33081 4915 14,86

) >100 – 200 11453 2028 17,71

3 >200 – 300 9797 3233 33,00

4 >300 – 400 13955 3368 24,13

0 >400 – 500 14127 3037 21,50

5 >500 – 600 11292 2583 22,87

6 >600 – 700 10344 1675 16,19

7 >700 – 800 8726 829 9,50

>800 – 900 5309 241 4,54

>900 – 1000 4747 135 2,84

>1000 – 1100 4759 117 2,46

) >1100 – 1200 3354 2 0,06

3 >1200 0 0 0

& " 0766 05 7 01)

Keterangan : 0 2000 4000 6000 8000 1000 0 1200 0 1400 0 0 25 >25 50 >50 100 >10 0 20 0 >20 0 30 0 >30 0 40 0 >40 0 50 0 >50 0 60 0 >60 0 70 0 >70 0 80 0 >80 0 90 0 >90 0 10 00 >10 0011 00 >11 0012 00 >12 00 / 0 % # / 0 0 5 10 15 20 25 30 35 /2 0

Lahan sawah (ha) Proporsi (%)

Gambar 6. Pola distribusi lahan sawah dan proporsinya berdasarkan tinggi/elevasi di DAS Ciliwung"Cisadane.

ketinggian tempat. Dalam hal ini makin bertambah ketinggian tempat maka suhu udara

makin menurun dan sebaliknya curah hujan cenderung makin bertambah. Perubahan

(51)

kesesuaian jenis/varietas tanaman padi yang diusahakan (Nasir, 2000; Norman .,

1995; Tan, 1984). Oleh karena itu berdasarkan kondisi bioklimatnya, maka Yakup .

(2004a) membagi distribusi lahan sawah menurut ketinggian tempatnya menjadi 3 tipe,

yaitu (1) sawah dataran rendah (0 – 50 m dpl), (2) sawah dataran menengah (> 50 – 500

m dpl), dan (3) sawah dataran tinggi (>500 m dpl).

Masing"masing tipe lahan sawah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.

Dalam hal ini sawah dataran rendah berada di bagian hilir, pada topografi yang relatif

datar, membentang dalam bentuk hamparan blok"blok yang luas dan panjang, serta relatif

teratur. Lahan sawah ini mendapat radiasi matahari banyak, suhu udara tinggi, dan air

pengairan relatif tercukupi. Ketersediaan air pengairan merupakan faktor yang sangat

menunjang pengusahaan lahan sawah di kawasan ini. Sawah dataran menengah

merupakan peralihan antara sawah dataran rendah dan sawah dataran tinggi. Sawah di

kawasan ini sebagian masih berupa blok"blok petakan yang cukup luas dan cukup

panjang, serta cukup teratur. Namun juga sudah mulai dijumpai bentuk"bentuk petakan

berteras dengan petakan cukup lebar dan tinggi teras tidak terlalu tinggi. Radiasi

matahari cukup banyak, suhu udara agak kurang, dan kondisi air pengairan bervariasi

antara cukup tersedia hingga kurang tersedia. Sawah dataran tinggi berada di kaki bukit

hingga lahan yang miring, berupa petakan"petakan berteras, dan berbentuk kurang teratur

karena menyesuaikan kontur lereng. Melalui petakan"petakan berteras maka diperoleh

permukaan tanah yang rata untuk mendapatkan ketinggian air yang seragam di lahan

miring. Radiasi matahari agak kurang dan suhu udara relatif rendah, namun air

pengairan umumnya cukup tersedia karena hujan yang cukup banyak. Suhu udara yang

rendah dan adanya kabut merupakan faktor utama yang menghambat pertumbuhan

vegetatif d

Gambar

Gambar�1.��Bagan�tahapan�pelaksanaan�penelitian.�
Tabel�1.��Rekapitulasi�luas�wilayah�DAS�Ciliwung"Cisadane.�
Tabel�2.��Luas�lahan�sawah�pada�masing"masing�wilayah�administrasi/kecamatan�di�DAS�Ciliwung�–�Cisadane.�
Tabel� 4.� � Luas� lahan� sawah� berdasarkan� kemiringan� lereng� di� DAS� Ciliwung"Cisadane.��
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa Pemohon V adalah pemilik yang sah atas tanah dan bangunan yang terletak di Kompleks Perumahan Kunciran Mas Permai, Jalan Arwana, Blok E 1/2, RT 002/006, Kelurahan Kunciran

Pada negara dengan   uncertainty avoidance   yang rendah, masyarakat cenderung lebih bisa menerima risiko, dapat memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi yang flat,

(i) Dalam mana-mana peristiwa yang membawa kepada tuntutan atau satu siri tuntutan di bawah Seksyen B1(b) Polisi ini, Kami boleh membayar Anda amaun sepenuh liabiliti Kami

Kriteria 2 Monitoring dan evaluasi hasil penjaminan mutu di bidang pendidikan, penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, sarana prasarana, keuangan,

Penelitian ini bertujuan untuk melihat berapa besar persentase motivasi belajar siswa yang berfokus di bidang studi Bahasa Indonesia melalui metode pemberian hadiah di

Tempat : Wisma PGRI Desa Binong KAKA SUMINTA... USEP

thuringiensis H-14 strain lokal yang dikembangbiakkan dalam buah kelapa untuk pengendalian larva Anopheles sp dan Culex sp.. Rancangan eksperimental semu, terdiri dari

Dengan demikian dapat disebutkan bahwa tepung daun jaloh kurang sesuai dijadikan bahan baku pakan ikan lele dumbo, karena menghasilkan laju pertumbuhan harian lebih