• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (studi kasus pada implementasi musyawarah dalam PNPM mandiri perdesaan di desa Teluk kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (studi kasus pada implementasi musyawarah dalam PNPM mandiri perdesaan di desa Teluk kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)"

Copied!
272
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF

DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan

di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

FUAD MUCHLIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

(3)

ABSTRACT

FUAD MUCHLIS. ANALYSIS OF PARTICIPATORY COMMUNICATION IN PROGRAM OF SOCIETY EMPOWERMENT (Case Study at Implementation of Discussion of PNPM Mandiri Perdesaan In The Teluk Village District Of Pemayung Batang Hari Regency). Under direction of SARWITITI and YATRI INDAH KUSUMASTUTI

Successfullness of assistance activity for society empowerment determined by participatory communication process. PNPM MPd, a recent society empowerment development model initiated by government, has become important and interested research topic related to development communication science. The research aim are to describe the role of facilitator in the activity of PNPM MPd, to express the meaning of facilitators credibility according to perspective of PNPM MPd participant and to analyze participatory communication that happen between facilitator and participant in activity of PNPM MPd in the effort of society empowerment. The research is constructivist paradigm by using design of communication ethnography, which located in Teluk Village District of Pemayung Batang Hari Regency. The research is conducted from 11st March 2009 to 13rd May 2009.

The result of research using access consept, heteroglasia (heterogenity of economic and gender) and dialogue indicates that communication in PNPM MPd activities was not undertaken participatively. Immature replication from PPK to PNPM MPd by government has become the cause of unparticipative communications. The role of facilitator is not maximal due to pursued by target of mechanistic program and greater location coverage. The credibility of facilitator also as a factor that makes PNPM MPd not as good as compared to previous program (PPK). Communication process that is not participatory in every activity of PNPM MPd make this program quite difficult to reach it purpose to empower the society.

(4)

RINGKASAN

FUAD MUCHLIS. ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari). Dibimbing oleh SARWITITI dan YATRI INDAH KUSUMASTUTI.

Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi yang lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level grass root itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dengan stakeholder lain dalam proses pembangunan.

Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat yang dipengaruhi oleh peran dan kredibilitas fasilitator menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivis yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, peran fasilitasi dan pendidikan terkesan diabaikan. Hal ini disebabkan oleh jenis kegiatan yang juga dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan infrastruktur. Walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari pemberdayaan menjadi terabaikan. Peran fasilitator yang mengabaikan aspek fasilitasi dan pendidikan berdampak pada proses komunikasi yang berlangsung dalam implementasi program menjadi tidak partisipatif.

(5)

berpendidikan sarjana yang berpengalaman di bidang pemberdayaan minimal 3 tahun sementara pada program PNPM MPd diturunkan menjadi 0 tahun; dan (2) PPK memberikan pelatihan pra tugas yang relatif cukup bagi calon fasilitator sebelum diturunkan ke lapangan yaitu selama 21 hari, sedangkan PNPM MPd hanya memberi pelatihan selama lima hari saja sehingga praktis pelatihan hanya mampu memberikan materi teknis. Kredibilitas yang cenderung menurun ini juga berdampak pada peran fasilitator yang menurun dan proses komunikasi dengan partisipan juga menjadi tidak partisipatif.

Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator.

Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain.

Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi.

Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif. Proses komunikasi yang tidak partisipatif disebabkan oleh situasi dimana fasilitator tidak dapat menjalankan peran fasilitasi dan pendidikan secara optimal dan hanya dominan menjalankan peran teknik. Situasi dimana aktivitas pemberdayaan (empowerment) belum berjalan semestinya tersebut juga disebabkan oleh kredibilitas fasilitator yang cenderung menurun dibandingkan dengan program sebelumnya (PPK). Fakta dimana peran fasilitator tidak optimal dan kredibilitas fasilitator yang menurun ini disebabkan oleh “policy” pemerintah terhadap program yang kurang mendorong visi pemberdayaan.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF

DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan

di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

FUAD MUCHLIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).

Nama : Fuad Muchlis

NIM : I352070081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (Studi kasus pada implementasi PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi, MS dan Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan serta arahan dengan penuh kesabaran sejak awal penyusunan proposal penelitian, selama di lapangan dan penulisan hingga proses penyelesaian tesis ini serta Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini. Terima kasih juga kepada masyarakat dan perangkat Desa Teluk, pengurus UPK Kecamatan Pemayung, perangkat Kecamatan Pemayung, PJO Kabupaten Batang Hari dan para pelaku PNPM MPd lain yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan pada Mbak Lia (Sekretariat KMP), teman-teman di mayor KMP 2007 (Pak Ojat, Pak Ipunk, Pak Hosea, Mb Ely, Bu Lina, Bu Loli, Bu Retno, Mb Hanif, Wiwin, Uni, Gita, , dan Ria) atas segala dukungannya selama proses belajar. Tidak lupa terima kasih juga untuk teman-teman di Markaz KIC Bogor (Bang Lukman, M.Si, Bang Sofyan, M.Si, Arman, M.Si, Husnul, Hayat, dan Nurhan) untuk kebersamaan yang selalu dan semoga tetap terjalin dengan baik.

Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Jambi yang telah memberikan izin mengikuti pendidikan pascasarjana di SPs IPB, Dirjen Dikti Depdiknas RI atas bea siswa (BPPS) dan Pemerintah Provinsi Jambi c.q Dinas Pendidikan atas bantuan biaya penelitian dan penulisan tesis ini.

Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan do’a ibunda Muhibah beserta seluruh keluarga (Mbak Alfiah, Mas Bisri, Srifitrotun Nisa, Kiki) serta Adinda Rica Natalisa atas segala cinta, pengertian dan dorongan untuk penyelesaian studi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diperlukan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga seluruh upaya ini dapat menjadi amal baik dan bermanfaat. Amin...

Bogor, Agustus 2009

(11)

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF

DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan

di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

FUAD MUCHLIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

(13)

ABSTRACT

FUAD MUCHLIS. ANALYSIS OF PARTICIPATORY COMMUNICATION IN PROGRAM OF SOCIETY EMPOWERMENT (Case Study at Implementation of Discussion of PNPM Mandiri Perdesaan In The Teluk Village District Of Pemayung Batang Hari Regency). Under direction of SARWITITI and YATRI INDAH KUSUMASTUTI

Successfullness of assistance activity for society empowerment determined by participatory communication process. PNPM MPd, a recent society empowerment development model initiated by government, has become important and interested research topic related to development communication science. The research aim are to describe the role of facilitator in the activity of PNPM MPd, to express the meaning of facilitators credibility according to perspective of PNPM MPd participant and to analyze participatory communication that happen between facilitator and participant in activity of PNPM MPd in the effort of society empowerment. The research is constructivist paradigm by using design of communication ethnography, which located in Teluk Village District of Pemayung Batang Hari Regency. The research is conducted from 11st March 2009 to 13rd May 2009.

The result of research using access consept, heteroglasia (heterogenity of economic and gender) and dialogue indicates that communication in PNPM MPd activities was not undertaken participatively. Immature replication from PPK to PNPM MPd by government has become the cause of unparticipative communications. The role of facilitator is not maximal due to pursued by target of mechanistic program and greater location coverage. The credibility of facilitator also as a factor that makes PNPM MPd not as good as compared to previous program (PPK). Communication process that is not participatory in every activity of PNPM MPd make this program quite difficult to reach it purpose to empower the society.

(14)

RINGKASAN

FUAD MUCHLIS. ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari). Dibimbing oleh SARWITITI dan YATRI INDAH KUSUMASTUTI.

Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi yang lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level grass root itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dengan stakeholder lain dalam proses pembangunan.

Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat yang dipengaruhi oleh peran dan kredibilitas fasilitator menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivis yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, peran fasilitasi dan pendidikan terkesan diabaikan. Hal ini disebabkan oleh jenis kegiatan yang juga dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan infrastruktur. Walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari pemberdayaan menjadi terabaikan. Peran fasilitator yang mengabaikan aspek fasilitasi dan pendidikan berdampak pada proses komunikasi yang berlangsung dalam implementasi program menjadi tidak partisipatif.

(15)

berpendidikan sarjana yang berpengalaman di bidang pemberdayaan minimal 3 tahun sementara pada program PNPM MPd diturunkan menjadi 0 tahun; dan (2) PPK memberikan pelatihan pra tugas yang relatif cukup bagi calon fasilitator sebelum diturunkan ke lapangan yaitu selama 21 hari, sedangkan PNPM MPd hanya memberi pelatihan selama lima hari saja sehingga praktis pelatihan hanya mampu memberikan materi teknis. Kredibilitas yang cenderung menurun ini juga berdampak pada peran fasilitator yang menurun dan proses komunikasi dengan partisipan juga menjadi tidak partisipatif.

Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator.

Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain.

Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi.

Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif. Proses komunikasi yang tidak partisipatif disebabkan oleh situasi dimana fasilitator tidak dapat menjalankan peran fasilitasi dan pendidikan secara optimal dan hanya dominan menjalankan peran teknik. Situasi dimana aktivitas pemberdayaan (empowerment) belum berjalan semestinya tersebut juga disebabkan oleh kredibilitas fasilitator yang cenderung menurun dibandingkan dengan program sebelumnya (PPK). Fakta dimana peran fasilitator tidak optimal dan kredibilitas fasilitator yang menurun ini disebabkan oleh “policy” pemerintah terhadap program yang kurang mendorong visi pemberdayaan.

(16)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(17)

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF

DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan

di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

FUAD MUCHLIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)
(19)

Judul Tesis : Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).

Nama : Fuad Muchlis

NIM : I352070081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(20)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (Studi kasus pada implementasi PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi, MS dan Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan serta arahan dengan penuh kesabaran sejak awal penyusunan proposal penelitian, selama di lapangan dan penulisan hingga proses penyelesaian tesis ini serta Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini. Terima kasih juga kepada masyarakat dan perangkat Desa Teluk, pengurus UPK Kecamatan Pemayung, perangkat Kecamatan Pemayung, PJO Kabupaten Batang Hari dan para pelaku PNPM MPd lain yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan pada Mbak Lia (Sekretariat KMP), teman-teman di mayor KMP 2007 (Pak Ojat, Pak Ipunk, Pak Hosea, Mb Ely, Bu Lina, Bu Loli, Bu Retno, Mb Hanif, Wiwin, Uni, Gita, , dan Ria) atas segala dukungannya selama proses belajar. Tidak lupa terima kasih juga untuk teman-teman di Markaz KIC Bogor (Bang Lukman, M.Si, Bang Sofyan, M.Si, Arman, M.Si, Husnul, Hayat, dan Nurhan) untuk kebersamaan yang selalu dan semoga tetap terjalin dengan baik.

Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Jambi yang telah memberikan izin mengikuti pendidikan pascasarjana di SPs IPB, Dirjen Dikti Depdiknas RI atas bea siswa (BPPS) dan Pemerintah Provinsi Jambi c.q Dinas Pendidikan atas bantuan biaya penelitian dan penulisan tesis ini.

Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan do’a ibunda Muhibah beserta seluruh keluarga (Mbak Alfiah, Mas Bisri, Srifitrotun Nisa, Kiki) serta Adinda Rica Natalisa atas segala cinta, pengertian dan dorongan untuk penyelesaian studi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diperlukan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga seluruh upaya ini dapat menjadi amal baik dan bermanfaat. Amin...

Bogor, Agustus 2009

(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Teluk Sialang, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi pada tanggal 06 September 1979 dari Ayah Isjudi Syujak (Alm) dan Ibu Muhibah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan Sarjana ditempuh pada tahun 1997 hingga tahun 2002 pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Kesempatan melanjutkan pendidikan program Magister Sains (S.2) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2007 pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) dengan sponsor Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

(22)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Rumusan Masalah ... 5 Tujuan Penelitian ... 5 Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN TEORI ... 6 Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan ... 6 Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan ... 11 Habermas dan Ruang Publik ... 14 Peran-peran Fasilitator dalam Pemberdayaan ... 15 Kredibilitas Komunikator ... 18 Tentang PNPM Mandiri Perdesaan ... 19 Kerangka Pemikiran ... 28

METODE PENELITIAN ... 30 Paradigma Penelitian ... 30 Desain Penelitian ... 31 Tempat dan Waktu Kajian ... 32 Data dan Metode Pengumpulan Data ... 33 Teknik Analisis Data ... 37

PROFIL DAN PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA TELUK KECAMATAN PEMAYUNG ... 38 Gambaran Umum Wilayah ... 38 Kependudukan ... 41 Aktivitas Pendidikan ... 42 Aktivitas Keagamaan ... 43 Struktur Komunitas ... 44 Organisasi, Kelembagaan dan Kepemimpinan ... 46 Sistem Ekonomi ... 48

(23)

PERAN FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd 65 Peran Teknik ... 65 Peran Fasilitasi... 69 Peran Pendidik ... 74 Ikhtisar ... 77

PEMAKNAAN KREDIBILITAS FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd ... 78

Kredibilitas Fasilitator: Perspektif Partisipan ... 78 Kompetensi ... 78 Berkarakter ... 81 Karismatik ... 82 Adaptif ... 84 Kredibilitas Fasilitator : Perspektif Pelaku PNPM MPd ... 86 Ikhtisar ... 88

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM IMPLEMENTASI

MUSYAWARAH DI PNPM MPd ... 90 Akses yang Tak Sama ... 98 Heteroglasia yang Terabaikan ... 100 Komunikasi Tanpa Dialog ... 106 Ikhtisar ... 109

SIMPULAN DAN SARAN ... 110 Simpulan ... 110 Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(24)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Daftar Informan di Lokasi Penelitian ... 34

2. Orbitasi Jarak dan Waktu Tempuh Desa Teluk dari Pusat

Pemerintahan ... 39

3. Komposisi Penduduk Desa Teluk Berdasarkan Jenis Kelamin,

Tingkat Kesejahteraan dan Tingkat Pendidikan Tahun 2008 ... 41

4. Jenis dan Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Pemayung .... 42

5. Kegiatan PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan Kecamatan Pemayung 52

6. Pemetaan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaan PPK

(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian ... 29

2. Proses Analisis Data Penelitian... 37

3. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Desa Teluk Tahun 2008 ... 47

4. Kunjungan Dirjen PMD Depdagri RI dan Salah Satu Event Komunikasi pada PNPM MPd (MAD III) di Kecamatan Pemayung... 51

5. Fasilitas infrastruktur bangunan PNPM MPd dan aktivitas Simpan

Pinjam Khusus Perempuan (SPP) di Kecamatan Pemayung ... 53

6. Peneliti bersama Fasilitator Usai Melakukan Wawancara di Ruang UPK PNPM MPd Kecamatan Pemayung ... 54

7. Alur Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan ... 57

8. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh rekanan

Dinas PU di Desa Teluk ... 66

9. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh Masyarakat Melalui PPK di Desa Teluk ... 67

10. Posisi Tempat Duduk Peserta Rapat ... 91

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 117

2. Metoda Pengumpulan Data dan Informasi Penelitian ... 118

(27)

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

ADD : Alokasi Dana Desa

AD/ART : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga

BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BKAD : Badan Kerja Sama Antar Desa

BBM : Bahan Bakar Minyak

BLM : Bantuan Langsung Masyarakat

BPKP : Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan

BPS : Badan Pusat Statistik

FK : Fasilitator Kecamatan

FasKab : Fasilitator Kabupaten

HAM : Hak Asasi Manusia

HOK : Hari Orang Kerja

IPM : Indeks Pembangunan Manusia

Kades : Kepala Desa

KM-Prov : Konsultan Manajemen (tingkat) Provinsi

KPMD : Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MAD : Musyawarah Antar Desa

MDGS : Milenium Development Goals

Musdes : Musyawarah Desa

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

PNPM MPd : PNPM Mandiri Perdesaan

PPK : Program Pengembangan Kecamatan

PELITA : Pembangunan Lima tahun

Perda : Peraturan Daerah

PerDes : Peraturan Desa

PJOK : Penanggung Jawab Operasional Kegiatan

PjOKab : Penanggung Jawab Operasional Kabupaten

(28)

PMD : Pemberdayaan Masyarakat Desa

P2KP : Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan

Pokmas : Kelompok Masyarakat

PTO : Petunjuk Teknis Operasional

RAB : Rencana Anggaran Biaya

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

RT : Rukun Tetangga

RTM : Rumah Tangga Miskin

RW : Rukun Warga

SDM : Sumber Daya Manusia

SPP : Simpan Pinjam Khusus Perempuan

TPK : Tim Pengelola Kegiatan

TP3 : Tim Pengelola dan Pemelihara Prasarana

TPU : Tim Penulis Usulan

TV : Tim Verifikasi

UEP : Usaha Ekonomi Produktif

(29)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi

bangsa Indonesia, bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan

top-down dan sentralistis, belum berhasil menghadirkan kesejahteraan bagi publik dalam arti yang sesungguhnya. Implementasi pendekatan dan sistem

pembangunan tersebut mengakibatkan keikutsertaan masyarakat dalam

pembangunan, bukan dalam pengertian partisipasi yang sebenarnya, tetapi lebih

pada dimobilisasi. Karena itu, kegiatan pembangunan makin menjadikan

masyarakat sangat bergantung terhadap input-input dari pemerintah. Hal ini

menjadikan masyarakat menjadi kurang percaya diri, tidak kreatif dan tidak

inovatif. Pendekatan top-down dan sentralistis juga mengakibatkan hak-hak masyarakat terserap ke dalam kepentingan pemerintah, dan menjadikannya tidak

berdaya baik pada aspek politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek ekonomi

misalnya, terlihat bahwa upaya penanganan kemiskinan untuk menyejahterakan

rakyat tidak benar-benar berhasil secara nyata.

Penanganan kemiskinan sesunguhnya sejak lama telah diupayakan.

Sejak PELITA I (era pemerintahan Suharto) upaya penanganan kemiskinan yang

dilakukan pemerintah telah menjangkau berbagai pelosok tanah air. Out-putnya, secara kuantitatif menunjukkan hasil yang cukup significant. Hal ini terlihat pada data statistik yang menunjukkan, ketika dimulainya pembangunan lima tahunan

(PELITA) pada akhir 1960-an, kurang lebih 60 persen penduduk Indonesia

berada di bawah garis kemiskinan, dan kemudian pada 1996-an menjadi sekitar

12 persen dari total penduduk Indonesia (BPS 1997). Tetapi, ketika terjadi krisis

ekonomi pada 1997-an telah mengecilkan pencapaian prestasi pembangunan

pada umumnya dan penurunan angka kemiskinan pada khususnya. Krisis

tersebut menyebabkan melonjaknya angka kemiskinan mencapai 40 persen dari

total penduduk Indonesia. Terdapat pelajaran berharga dan (mungkin) sebagai

penyadaran bagi para penyelenggara negara, bahwa kebijakan dalam

melakukan pembangunan yang menempatkan warga miskin sebagai obyek

pembangunan perlu dikoreksi.

Respons terhadap pendekatan pembangunan tersebut, berkembanglah

(30)

berpihak pada rakyat dengan mengedepankan demokratisasi dan hak asasi

manusia (HAM). Terkait dengan wacana civil society ini berkembang pula pemikiran, bahwa untuk mewujudkan bangsa yang demokratis, harus dimulai

dari masyarakat akar rumput (grass root).

Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pelaksanaan pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang

terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an tersebut. Kealpaan pemerintah

untuk memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu ternyata telah menyebabkan matinya inovasi dan

kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri serta cara-cara

merealisasikan kebutuhannya itu melalui proses pembangunan. Proses

pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan

kebutuhan rakyat pada level akar rumput (grass root) itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep

pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dalam

proses pembangunan. Dalam konteks ini pemberdayaan ditantang untuk dapat

menumbuhkan kembali inovasi dan kreatifitas rakyat (Wrihatnolo 2007)

Salah satu program pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan

(empowerment) yang diusung oleh pemerintah saat ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M). PNPM-M diharapkan dapat

mewujudkan masyarakat berdaya dan mandiri yang mampu mengatasi berbagai

persoalan kemiskinan, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam

menerapkan model pembangunan partisipatif yang berbasis kelembagaan

masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan meningkatkan

capaian manfaat program kepada kelompok sasaran yang ditandai dengan

adanya peningkatan IPM Milenium Development Goals (MDGs).

Sejak tahun 2007, PNPM Mandiri dilaksanakan dengan memperluas

cakupan wilayah sasaran pelaksanaan P2KP dan PPK. Selanjutnya pada tahun

2008 mulai diterapkan PNPM Mandiri Perkotaan (pengembangan dari P2KP) dan

PNPM Mandiri Perdesaan (pengembangan dari PPK). Proses pemberdayaan

masyarakat dititikberatkan pada fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat di

tingkat basis kelurahan/desa, fasilitasi pengintegrasian program jangka

menengah penanggulangan kemiskinan tingkat kelurahan/desa sesuai

kebutuhan masyarakat dengan perencanaan pemerintah. Program ini diharapkan

(31)

tingkat pengangguran menjadi sebesar lima persen sampai dengan tahun 2009

(Pedum PNPM Mandiri 2007/2008)

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PNPM Mandiri yang merupakan

kelanjutan dari program-program pemberdayaan sebelumnya (PPK dan P2KP)

benar-benar mampu memberdayakan keluarga miskin ? Dalam penelitiannya,

Solihin (2005) menyebutkan bahwa pada aspek ekonomi terjadi peningkatan

modal dan pendapatan bagi masyarakat miskin sebesar 60 persen sehingga

dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pada aspek sosial juga terjadi

peningkatan interaksi sosial antar anggota KSM dengan fasilitatornya dan terjadi

peningkatan partisipasi warga masyarakat. Selanjutnya juga terjadi peningkatan

pada aspek pembangunan sarana dan prasarana fisik di lokasi kegiatan.

Hal yang kontras justru terjadi pada penelitian Zainuri (2005) yang

memfokuskan penelitiannya pada proses partisipasi, transfer kekuasaan dan

perbaikan kualitas hidup menurut perspektif pekerjaan sosial. Ia menyatakan

bahwa Program Pengembangan Kecamatan/PPK (sekarang PNPM Mandiri

Perdesaan) ternyata belum berhasil memberdayakan keluarga miskin. Berikutnya

penelitian Muchtar (2007) juga membuktikan bahwa tidak terjadi proses

pemberdayaan dalam implementasi P2KP (sekarang PNPM perkotaan).

Keberhasilan sebuah kegiatan pendampingan untuk pemberdayaan

masyarakat akan ditentukan oleh komunikasi yang partisipatif. Adanya

komunikasi yang partisipatif memungkinkan anggota komunitas penerima

program (partisipan) memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan

memberdayakan diri dan masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan

kreativitas masyarakat. (Suparjan et al. 2003). Dengan komunikasi partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan kreativitas masyarakat dapat lebih tergali.

Pendeknya, dengan pendekatan partisipatif diharapkan dapat berkembangnya

aktifitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung jawab sosial sebagai

anggota komunitas itu sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam

keseluruhan proses, maka keterampilan analisis dan perencanaan menjadi

teralihkan kepada mereka atau partisipan.

Proses-proses komunikasi dalam PNPM MPd dapat teramati dalam

berbagai event komunikasi di lokasi kegiatan. Dalam proses ini peran seorang fasilitator sangat menentukan apakah komunikasi berjalan secara partisipatif atau

sebaliknya. Hal ini dapat dipahami karena fasilitator merupakan ujung tombak

(32)

dengan partisipan atau penerima program di lapangan. Dalam konteks ini faktor

kredibilitas yang melekat pada diri seorang fasilitator juga sangat menentukan

keberhasilan dalam menjalankan peran-peran pendampingan bervisi

pemberdayaan.

Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan

perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan

topik analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat

yang ditunjukkan oleh peran seorang fasilitator dan kredibilitas yang melekat

pada dirinya menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu

komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma kualitatif yang peneliti

lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian

sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam

bidang komunikasi pembangunan.

Perumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah

yang diungkap oleh peneliti adalah bagaimana peran fasilitator dalam melakukan

pendampingan, bagaimana partisipan dan pelaku PNPM MPd memaknai

kredibilitas seorang fasilitator dalam melakukan pendampingan untuk

memberdayakan masyarakat serta bagaimana proses komunikasi berlangsung

antara fasilitator dan partisipan dalam aktivitas PNPM MPd di lokasi penelitian ?

Tujuan Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan peran fasilitator dalam melakukan pendampingan pada

aktivitas PNPM MPd.

2. Mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator dalam melakukan

pendampingan menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd

3. Menganalisis komunikasi partisipatif yang berlangsung antara fasilitator dan

partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan

(33)

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Memberikan masukan strategis yang efektif dan efisien kepada pemegang

kebijakan program PNPM MPd

2. Memberikan sumbangan hasil diskusi bersama partisipan kepada pelaku

PNPM Mandiri Perdesaan dan komponen masyarakat yang peduli terhadap

(34)

TINJAUAN TEORI

Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan

Dalam konteks komunikasi pembangunan, Melkote (2002)

mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok

besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok

paradigma alternatif (pemberdayaan). Teori-teori dan Intervensi dalam

paradigma dominan dari modernisasi dikembangkan oleh Lerner (1958) dan

Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an

dan 1960-an. Daniel Lerner dalam bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa

media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan

informasi dan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim

modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan

memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau

ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap

fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang

yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara

yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu,

kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional

(Sarwititi 2005).

Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Teori Difusi dan Inovasi

(Diffusion of Innovation Theory) yang mulai ditulis Rogers (1962) dan berkembang pada tahun 1970-an yang beranggapan bahwa pembangunan

terjadi melalui penyebaran (difusi) inovasi dari agen pembangunan ke luar sistem

sosial di tingkat lokal melalui berbagai saluran (Media massa, interpersonal dan

lain-lain) kepada anggota-anggota sistem sosial dalam kurun waktu tertentu.

Pendekatan ini mendapat kritik dari kalangan komunikasi pembangunan antara

lain tidak memberikan umpan balik yang sangat mempengaruhi keberhasilan

kampanye. Sejak akhir tahun 1970-an dan berkembang pada tahun 1990-an

muncullah pendekatan pemasaran sosial yang melihat bahwa proses komunikasi

pembangunan harus dilihat sebagai proses bertahap yang memerlukan

pesan-pesan dan pendekatan yang berbeda pada setiap tahap proses perubahan

perilaku. Pengembangan lebih jauh dari pendekatan pemasaran sosial ini adalah

strategi hiburan pendidikan yang berkembang pada akhir tahun 1990-an.

(35)

efektif dalam meningkatkan tingkat kognisi khalayak mengenai kejadian-kejadian

yang spektakuler dan media massa berfungsi sebagai sarana pemenuhan

kebutuhan khalayak termasuk hiburan dan informasi sesuai dengan teori uses and gratification. Selain itu kecendrungan komersialisasi dan privatisasi media meningkatkan pertumbuhan dan kepopuleran program hiburan-pendidikan

(entertainment-education program). Dalam pendekatan ini pendidikan melekat pada program-program hiburan. Teori-teori modelling, self efficacy dan para-social interaction digunakan untuk menduga dan menjelaskan hierarki efek yang dihasilkan program media.

Sedangkan paradigma alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat

perlunya memasukkan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan

perlindungan budaya asli dalam konsep pembangunan. Terdapat dua jalur dalam

pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori, yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Oleh

karena itu, pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati

pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat

komunitas, pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol

kelompok-kelompok terhadap konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi anggota

kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al. 1984 diacu dalam Melkote 2002). Sedangkan di tingkat individu pemberdayaan

didefinisikan sebagai “perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau

pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual,

kekuasaan politis dan hukum legal (Rappaport 1987 diacu dalam Melkote 2002)

Pergeseran pada isu pemberdayaan memberikan implikasi kepada

perubahan etika, metodologi dan filosofi konsep-konsep dalam teori-teori

komunikasi pembangunan (Wilkins 2002 diacu dalam Sarwititi 2005). Dalam hal

etika, peneliti komunikasi didorong untuk peduli terhadap kelompok yang

tertindas : wanita, orang miskin, kelompok etnis dan bahasa minoritas, pengungsi

dan lain-lain. Perhatian terhadap hal-hal praktis dan etis (aksiologi) menjadi lebih

diutamakan daripada masalah epistimologis seperti obyektivitas dan pemisahan

antara peneliti dan yang diteliti (detacmhment)

Jan Servaes menghubungkan pemberdayaan dengan partisipasi dalam

pengambilan keputusan secara kolektif pada semua tingkat sosial sehingga

(36)

adalah usaha untuk menjamin bahwa rakyat mampu menolong diri mereka

sendiri (Servaes 1999). Lebih lanjut Servaes (1999) juga menyatakan bahwa

inisiatif pembangunan harus diawali dari komunitas dan organisasi akar rumput.

Bagi Servaes aktor utama dalam proses pembangunan adalah pergerakan sosial

yang menyempal dari kondisi yang stabil dan membentuk struktur hirarki untuk

menampilkan sistem bebas dari komunikasi dan organisasi. Untuk memperoleh

energi pembangunan organisasi lokal harus diijinkan untuk memutuskan

program-progam, isu-isu, bagaimana mengatasinya dan bagaimana hal tersebut

dievaluasi.

Kedua, dalam model pembangunan yang inisiatifnya berasal dari akar

rumput partisipasi struktur komunikasi menjadi sangat penting. Secara tidak

langsung dibutuhkan suatu media yang dikuasai oleh komunitas lokal, organisasi

dan pergerakan. Hal ini akan mendorong mereka untuk memilih informasi yang

benar-benar penting dan membentuk gambaran positif tentang diri mereka

sendiri. Dengan begitu organisasi akan memiliki peluang untuk mempengaruhi

media lainnya.

Ketiga, langkah penting dalam pemberdayaan adalah bahwa tiap unit

pembangunan harus bersifat mandiri. Hal ini berarti mengurangi ketergantungan

pada mitra yang berkuasa, tiap unit harus berusaha mencari dan memenuhi

kebutuhannya sendiri dengan sumberdaya yang ada. Intinya adalah tidak

tergantung pada pihak luar, kalaupun tergantung pada sumberdaya yang berasal

dari luar maka sifatnya hanya melengkapi dari apa yang sudah ada.

Keempat, menyadari pentingnya kebijakan desentralisasi. Pembangunan

di suatu negara tidak didominasi oleh satu pusat metropolitan melainkan terdiri

atas beberapa pusat pemerintahan lokal dan regional yang tersebar.

Kelima, pembangunan harus didefinisikan secara kultural daripada secara

ekonomi atau politik, menurut Servaes kebudayaan merupakan arena

perjuangan dari upaya pemberdayaan.

Selanjutnya, Melkote dan Steves (2001) juga menyebutkan bahwa

pemberdayaan adalah konsep inti dari dari pengorganisasian. Mereka

menganggap ketidaksamaan kekuasaan merupakan masalah utama dari

masalah pembangunan. Menurut mereka pemberdayaan adalah suatu proses

dimana individu atau organisasi memperoleh kontrol dan menguasainya melalui

suatu kondisi sosial ekonomi, melalui partisipasi demokrasi dalam komunitasnya

(37)

Sementara itu, Payne (1997) diacu dalam Nasdian (2003),

mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan untuk :

“to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existising power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.” Pemberdayaan adalah kegiatan yang ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya).

Shardlow (1998) diacu dalam Adi IR (2003) menyatakan bahwa

pemberdayaan adalah membahas bagaimana individu, kelompok ataupun

komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan

untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka “such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their own future”. Pemberdayaan (empowerment) juga dapat didefinisikan sebagai “proses “ maupun sebagai hasil (DuBois & Miley 2005 diacu dalam Suharto 2006). Sebagai “proses”

pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan

untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal,

interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu

melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi

kehidupannya. Sebagai sebuah hasil, pemberdayaan menunjuk pada

tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan atau keberkuasaan.

Definisi lain tentang pemberdayaan dikemukakan oleh Suharto (2005)

yang berpendapat sebagai sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup

kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi

terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi

kehidupannya. Sementara itu Ife (1995), menyatakan bahwa pemberdayaan

memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah.

Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti

sempit tetapi penguasaan klien atas pilihan personal untuk membuat keputusan

gaya hidup, mendefinisikan kebutuhan, kemampuan mengekspresikan dan

menyumbangkan gagasan, kemampuan menjangkau dan menggunakan

lembaga masyarakat, kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal

(38)

mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang serta jasa. Dengan

demikian pemberdayaan diterjemahkan sebagai serangkaian kegiatan untuk

memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat,

termasuk individu yang mengalami masalah kemiskinan.

Penelitian terkini mengenai komunikasi pembangunan menekankan

bahwa pemberdayaan merepresentaikan harga diri, dan nilai identitas seseorang

dan bentuk re-evaluasi kebudayaan lokal. Hal tersebut juga dapat dinyatakan

sebagai institusi kebudayaan sehingga orang yang memiliki modal kebudayaan

dihargai dan diakui. Ini juga penting dalam hal pergantian kebudayaan seseorang

tidak harus mengganti identitas dirinya. Konsep pemberdayaan yang

berkembang saat ini akan berbahaya jika tidak diorientasikan secara jelas

kepada pelayanan masyarakat, pemberdayaan harus secara eksplisit diletakkan

dalam kerangka kerja yang sesuai dengan paramater kemanusiaan dan

kesamaan sosial (White 2004).

Berangkat dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan

adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”. Sebagai proses ,

pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu : penyadaran, pengkapasitasan,

dan pendayaan (Wrihatnolo 2007). Tahap pertama adalah penyadaran. Pada

tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk

pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai

“sesuatu”. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka

perlu (membangun “demand) diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu

dimulai dari dalam diri mereka. Tahap kedua adalah pengkapasitasan atau

“capacity building” atau sederhananya adalah memampukan (enabling). Proses pengkapasitasan dilakukan pada tiga aspek, yaitu (1) memampukan manusia,

baik dalam konteks individu maupun kelompok; (2) memampukan organisasi,

dapat dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima

daya atau kapasitas tersebut; dan (3) memampukan sistem nilai (aturan main).

Dalam cakupan organisasi, sistem nilai berkenaan dengan AD/ART, sistem dan

prosedur dan peraturan. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula

atas budaya organisasi dan etika organisasi. Pengkapasitasan sistem nilai

dilakukan dengan membantu target dan membuatkan “aturan main” diantara

mereka sendiri. Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri. Pada tahap ini,

(39)

Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan

Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk “membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan

dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka,

termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan

tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya

diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari

lingkungannya.“ (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003)

Harus diakui bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat

dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga

kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi

masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat

tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus

menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi

menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003).

Terhadap pengertian partisipasi di atas, terjadi tindakan korektif yang

disejajarkan dengan upaya mencari definisi masyarakat yang lebih genuine, aktif

dan kritis. Konsep yang baru tersebut menumbuhkan daya kreatif dalam dirinya

sendiri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif atau

seperti yang dikemukakan oleh Paul (1987) diacu dalam Nasdian (2003) sebagai

berikut :

“……participation refers to an active process whereby beneficaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits. “

Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap

pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi.

Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai “sadar” akan situasi dan masalah

yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk

mengatasi masalah mereka (memiliki kesadaran kritis). Partisipasi telah menjadi

kata kunci untuk suatu perubahan dan menjadi koreksi total terhadap berbagai

sistem interaksi (komunikasi) termasuk antara pemerintah dan rakyatnya.

(Dwivedi 2003). Komunikasi partisipatif dengan demikian mesti dilandasi oleh

suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang

cukup kaya untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan

(40)

pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama

yang bersifat sistem bank.

Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah

serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang

dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif.

“…..participation is concerned with the distribution of power in society, for it is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources” (Curtis et al. 1978 diacu dalam Nasdian 2003).

Selanjutnya Rahim (2007), mengajukan empat konsep terkait komunikasi

partisipatif yang akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval.

Pertama, Heteroglasia; Konsep ini menunjukan fakta bahwa sistem

pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang

berbeda-beda dengan berbagai variasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya yang

saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas

pembangunan baik di tingkat nasional-lokal, makro-mikro, publik-privat,

teknis-ideologis dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan

tersebut terdapat berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau

komunikasi yang melibatkan berbagai peserta yang berbeda. Sebagai contoh,

dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan

bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena

mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu,

petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang

berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka

memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan

permasalahan yang sama, tapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan

yang lainnya.

Tantangan bagi komunikasi pembangunan adalah bagaimana

memanfaatkan kekuatan heteroglasia, bagaimana menempatkan konsep

tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi

dan kelompok yang berbeda-beda atau variasi pandangan tentang

pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah

(41)

Kedua, Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Dalam dialog

yang diperluas, masing-masing peserta juga melakukan dialog dengan dirinya

sendiri sebelum berbicara atau merespon peserta yang lain. Peserta dalam

dialog tidak memiliki kedaulatan ego, dia mesti membangun suatu kesadaran diri

(sosial). Kesadaran dirinya tergantung pada seberapa aktif kesadaran sosial

yang lain juga dimunculkan. Ketika peserta berbicara kepada yang lain pesan

mereka secara umum terhubung dan tergantung pada pesan yang disampaikan

oleh pembicara lain pada waktu dan tempat yang berbeda.

Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip

seperti meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar

dan subjek lain yang ada dalam dunia. Dia secara diam berbicara dengan

mereka, berargumentasi dengan mereka, mencoba untuk mengerti posisi

mereka, dan dalam proses tersebut menguji secara kritis ideologi mereka sendiri.

Meskipun demikian hanya sedikit orang yang dapat melakukan meditasi seperti

ini. Bagi sebagian orang lain, hal ini harus dipelajari dan itu dapat dipraktekkan

apabila situasi komunikasi di desain untuk menstimulai proses tersebut. Salah

satu jalan untuk mendorong meditasi tersebut dalam komunikasi pembangunan

adalah dengan menstrukturkan situasi-situasi komunikasi untuk meditasi tertentu

dan untuk mengkonstruksi suatu pesan yang dapat menstimulasi suatu dialogi

internal.

Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain,

atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek

komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau

untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang

lain atau disatukan dengan suara orang lain.

Ketiga, Poliponi adalah bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana

suara-suara yang tidak menyatu atau terpisah dan meningkat menjadi terbuka,

memperjelas satu sama lain, dan tidak menutupi satu sama lain. Itu adalah suatu

bentuk ideal dari komunikasi partisipatif dimana keberbedaan suara-suara

disadari secara kolektif dengan menghubungkan berbagai perlakuan konstruksi

umum komunitas. Kesatuan poliponi bukan sesuatu yang diperkenalkan dari luar

(42)

diartikulasikan dengan yang lain, mendirikan ikatan saling ketergantungan yang

saling menguatkan.

Keempat, Karnaval ; Konsep ini bagi komunikasi pembangunan

membawa semua varian dari semua ritual seperti legenda, komik, festival,

permainan, parodi, dan hiburan secara bersama-sama. Proses ini dilakukan

dengan tidak formal dan biasa juga diselingi oleh humor dan canda tawa.

Anggota komunitas didorong berpartisipasi dalam karnaval secara bebas.

Karnaval tidak memiliki sanksi resmi. Ini merupakan lawan dari sesuatu yang

serius dan otoritatif dari Negara, agama, politik, dan doktrin-doktrin ekonomi.

Karnaval dan pembangunan bermain secara berdampingan, masing-masing

saling mengartikulasikan dan mengisi. Orang-orang hidup dengan karnaval

sebelum dan selama mereka hidup dengan pembangunan. Bahasa dan gaya

dari komunikasi karnaval selalu berdasarkan pengalaman khalayak yang tidak

dimediasi, menggunakan kosakata yang umum, fantastik dan berbau

pengalaman dari mereka.

Habermas dan Ruang Publik

Menurut Habermas, masyarakat memiliki tiga jenis kepentingan yang

masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing. Kepentingan

pertama adalah teknis, adalah kepentingan untuk menyediakan sumberdaya

natural. Kepentingan yang kedua adalah interaksi. karena kerjasama sosial amat

dibutuhkan untuk bertahan hidup, Habermas menamakannya kepentingan

“praktis”. Ia mencakup kebutuhan-kebutuhan manusia untuk saling

berkomunikasi beserta praktek-prakteknya. Kepentingan yang ketiga adalah

kekuasaan. Tatanan sosial, secara alamiah cenderung pada distribusi

kekuasaan, namun pada saat yang sama juga memiliki kepentingan untuk

membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap

komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang

dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan

dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah

kepentingan yang “emansipatoris”.

Masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini.

Pertentangan antar kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat

diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui

perdebatan yang rasional. Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep ruang

(43)

terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama

untuk berpartisipasi, kemudian mereka terdorong untuk mendahulukan

kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat

tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan

maasalah-masalah yang mereka hadapi. Ruang Publik hanya dapat mencapai

fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara yang ideal. Situasi yang ideal ini,

adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan

diargumentasikan secara rasional. Dalam situasi ideal ini, kebenaran muncul

lewat argumentasi.

Ruang Publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan

masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta

memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam ruang publik.

Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat

diakomodir oleh penguasa. Hanya melalui ruang publik inilah, dapat terwujud

masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan

menanggulangi krisis yang mereka hadapi (Hardiman 1993).

Peran-Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan

Prinsip dasar dari kegiatan pendampingan adalah egaliter atau

kesederajatan kedudukan. Dengan demikian hubungan yang terjalin antara

fasilitator dan komunitas (masyarakat) adalah berupa kemitraan (partnership). Artinya adalah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

Pendampingan komunitas adalah proses saling hubungan dalam bentuk

ikatan pertemanan atau perkawanan antara fasilitator dengan komunitas, melalui

dialog kritis dan pendidikan berkelanjutan, dalam rangka menggali dan

mengelola sumber daya, memecahkan persoalan kehidupan secara

bersama-sama serta mendorong tumbuhnya keberanian komunitas untuk mengungkapkan

realitas yang meminggirkan dan melakukan aksi untuk merombaknya.

Pendampingan komunitas pedesaan juga diartikan sebagai proses

pembangunan organisasi dan peningkatan kemampuan dalam menangani

berbagai persoalan dasar yang mereka hadapi untuk mengarah kepada

perubahan kondisi hidup yang semakin baik.

Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam

pemberdayaan masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang

(44)

Oleh karena itu, tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih

sebagai seorang yang “generalist”. (Nasdian 2003).

Ife (1995), membagi menjadi empat kategori seorang fasilitator dalam

pengembangan masyarakat sebagai berikut :

1. Peran Fasilitatif

Dalam proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator

antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi

dalam program pengembangan masyarakat, dengan memberikan inspirasi,

semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu

bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri : bersemangat, memiliki

komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai

kalangan, mampu menganalisis

Gambar

Gambaran Umum Wilayah ...............................................................
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian :
Tabel 1. Daftar Informan di Lokasi Penelitian
Gambar 2. Proses Analisis Data Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur penelitian pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media Audio melalui empat (4) tahapan, yaitu: a) perencanaan, Menyusun rencana pelaksanaan

Tujuan penulisan laporan akhir ini adalah membuat sistem informasi e-learning pada SMA Negeri 4 Palembang yang meliputi proses pengolahan data kelas, data mata pelajaran,

“Aku harus merawat kerbau ini dengan baik apabila Si Boke datang suatu kali kepadaku dia tidak akan kecewa karena aku merawat kerbau ini dengan baik,” pikir sang guru.. Kerbau itu

Dengan demikian, bahasa dan media adalah asumsi dari teori interaksionisme yang bisa dikonfirmasi sebagai proses komunikasi dalam mengintegrasi masyarakat yang

Pabrik Gula Kebonagung, Kabupaten Malang (Studi Kasus KUD Sumberpucung II).” adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam

Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms ; yakni berbagai

Dengan adanya Perancangan dan Implementasi Data Remunerasi Pegawai pada Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pematangsiantar maka data akan tersimpan rapi