• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Karakteristik Andisol Akibat Perubahan Penggunaan Lahan Identifikasi Dan Upaya Penanggulangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Karakteristik Andisol Akibat Perubahan Penggunaan Lahan Identifikasi Dan Upaya Penanggulangan"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK ANDISOL AKIBAT

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN: IDENTIFIKASI DAN

UPAYA PENANGGULANGANNYA

MUHAMMAD GIRI WIBISONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Perubahan Karakteristik Andisol Akibat Perubahan Penggunaan Lahan: Identifikasi dan Upaya Penanggulangan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Muhammad Giri Wibisono

(3)

RINGKASAN

MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Perubahan Karakteristik Andisol Akibat Perubahan Penggunaan Lahan: Identifikasi dan Upaya Penanggulangan. Dibimbing oleh SUDARSONO dan DARMAWAN.

Andisol dengan penggunaan lahan berbeda di lereng sebelah Timur Laut Gunung Gede Cianjur telah dipelajari guna mengetahui perbedaan karakteristiknya yang berubah akibat perubahan penggunaan lahan. Sebanyak 46 contoh tanah dari 9 profil Andisol yang berkembang dari bahan breksi dan lahar Gunung Gede telah dianalisis di laboratorium guna membandingkan sifat fisik, kimia, dan mineraloginya. Penelitian ini bersifat ex post facto dengan cara membandingkan kondisi morfologi dan kimia Andisol pada tiga intensitas pengelolaan yaitu hutan sekunder yang mencerminkan lahan tanpa pengelolaan, perkebunan teh yang mencerminkan lahan dengan intensitas pengelolaan sedang, dan lahan tanaman sayur yang mencerminkan lahan dengan pengelolaan intensif. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa area penelitian pada awalnya merupakan hutan yang kemudian beralih fungsi. Oleh karena itu, tanah di bawah tegakan hutan digunakan sebagai acuan karakteristik Andisol yang alami.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik Andisol yang merupakan warisan dan yang diubah oleh perubahan penggunaan lahan. Beberapa perbedaan karakteristik Andisol yang merupakan warisan antara lain kedalaman solum, horison terkubur, tekstur tanah, kandungan mineral klei dan pasir, serta klasifikasi pada kategori subgrup. Sementara itu, perbedaan karakteristik Andisol yang terjadi akibat perubahan penggunaan lahan terutama disebabkan oleh berkurangnya bahan organik serta terjadinya keadaan kering tak balik pada sebagian tanahnya. Perbedaannya karakteristik yang terjadi antara lain sifat morfologi yaitu warna, sifat fisik meliputi bobot isi dan intensitas kering tak balik, dan sifat kimia meliputi pH, C-organik, N-total, basa-basa dapat ditukar, serta P dan K total. Karakteristik Andisol yang berubah akibat perubahan penggunaan lahan hanya terjadi pada horison A atau horison yang terkena langsung kegiatan pengelolaan tanah.

Upaya penanggulangan ditujukan untuk mempertahankan bahan organik serta kelembaban tanahnya guna menjaga agar tidak terjadi kondisi kering tak balik. Upaya penanggulangannya meliputi penambahan bahan organik sebanyak 836 kg/ha untuk lahan perkebunan teh dan 940 kg/ha untuk lahan budidaya sayuran, penanaman pohon naungan dan tanaman penutup lahan (legume cover crop), serta pemupukan yang berimbang. Khusus untuk perkebunan teh perlu adanya penyulaman pada tanaman yang jarang. Sedangkan untuk lahan budidaya perlu adanya perbaikan teras dan arah bedengan yang sesuai dengan kaidah konservasi.

(4)

SUMMARY

MUHAMMAD GIRI WIBISONO. The Changes of Andisol’s Characteristic Due To Land Use Change : Identification and Improvement Effort. Supervised by SUDARSONO and DARMAWAN.

Andisols with different land uses in northeastern slope of Mt. Gede, Cianjur were studied to find out the distinction of soil characteristics due to land use change. Fourty six soil samples from 9 profiles of Andisols developed from Mt. Gede’s breccia and volcanic mudflow have been analysed in laboratory to compare the morphological, physical, chemical, and mineralogical characteristics of each. The ex post facto method was used to compare the soil under secondary forest (no cultivation), tea plantation area (moderate intensity cultivation), and vegetable cultivation area (high intensity cultivation). This research assumes that the study area originally was natural forest before changed to current land uses. Hence, the characteristics of soil under forest was used as a reference of the natural Andisol’s characteristics.

The results showed there are differences in Andisol’s characteristics those are natural properties’s heritage and due to land use change. Those are as the natural properties include solum depth, burried horizon, texture, clay and sand mineral composition and classification into subgroup. Meanwhile, the differences of Andisol’s characteristics those are the result of land use changes mainly due to organic matter decrease and the occurrence of soil irreversible drying condition. The differences of characteristic include morphological properties i.e. color, physical properties i.e. bulk density and irreversible drying intensity, and chemical properties i.e. pH, organic carbon, total N, exchangeable bases, and total P and K. Generally, the differences of properties due to land use change which occur in the surface layer which have directly cultivated.

improvement efforts are aimed to keep soil organic matter and soil humidity to prevent irreversible drying condition. Improvement efforts include of addition 836 kg/ha soil organic matter for tea plantation area and 949 kg/ha soil organic matter for vegetables area, planting shading trees and also legume cover crop, and balanced fertilization. Especially, the tea plantations need for replanting to increase the populations. Meanwhile, for vegetable cultivation area is necessary to repair the land terrace and seedbed according to the principles of soil conservation.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agroteknologi Tanah

PERUBAHAN KARAKTERISTIK ANDISOL AKIBAT

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN : IDENTIFIKASI DAN

UPAYA PENANGGULANGAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(7)
(8)
(9)

Judul Tesis : Perubahan Karakteristik Andisol Akibat Perubahan Penggunaan Lahan : Identifikasi dan Upaya Penanggulangan

Nama : Muhammad Giri Wibisono NRP : A152120051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc Dr Ir Darmawan, MSc Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agroteknologi Tanah

Dr Ir Dyah Tjahyandari S., MApplSc Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul dari tesis ini adalah Perubahan Karakteristik Andisol Akibat Perubahan Penggunaan Lahan: Identifikasi dan Upaya Penanggulangan. Hasil diharapkan dapat dijadikan acuan untuk merekomendasikan upaya penglolaan Andisol agar kualitasnya tetap terjaga.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr Ir Sudarsono, M.Sc dan Dr Ir Darmawan, M.Sc selaku pembimbing yang telah membimbing, memberikan saran dan nasehat serta pelajaran berharga bagi penulis; serta Dr Ir Suwardi, MAgr selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan dan perbaikan untuk kesempurnaan karya tulis ini. Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada perkebunan teh PT. Tenggara dan Balai Konservasi Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP) yang telah memberikan izin lokasi penelitian sehingga penelitian lapang dapat berjalan tanpa adanya hambatan yang berarti. Terimakasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan di Prodi ATT yang selalu memberikan dukungan serta motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini pula, ucapan terima kasih dan kasih sayang disampaikan kepada kedua orang tua, yaitu ayah H. Suharsono dan ibu Hj. Liplip Mukhalipah, serta istri Mirasetti dan kakak Harliawati Musyarropah yang dengan sabar dan penuh pengorbanan telah membantu pengertian dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Penulis menyadari bahwa apa yang telah penulis lakukan tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, sehingga masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis menantikan kritik dan saran dari semua pihak sebagai masukan bagi penulis dalam melakukan kegiatan ataupun penulisan lainnya. Penulis berharap agar karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Juli 2016

(11)

DAFTAR ISI

2.4.3 Analisis Contoh Tanah 4 2.4.3.1 Analisis Intensitas Kering Tak Balik 5 2.4.3.2 Pendugaan Muatan Variabel 5 2.5 Deskripsi Lokasi Penelitian 6 2.5.1 Posisi Geografis dan Administratif 6

2.5.2 Geologi 6

2.5.3 Tanah dan Landform 7

2.5.4 Iklim 7

2.6 Sejarah Penggunaan Lahan dan Vegetasi 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 8

3.1 Hasil 8

3.1.1 Karakteristik dan Klasifikasi Tanah di Bawah Tegakan Hutan

Sekunder 8

3.1.1.1 Sifat Morfologi Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder 8 3.1.1.2 Sifat Fisik Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder 9 3.1.1.3 Sifat Kimia Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder 11

Kemasaman Tanah 11

Karbon Organik dan Nitrogen Total 12 Kapasitas Tukar Kation dan Basa-basa Dapat Ditukar 14 P dan K Total, Retensi Fosfat, dan Selective Dissolution 15 3.1.1.4 Sifat Mineralogi Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder 16 Mineral Fraksi Pasir 16

Mineral Klei 17

3.1.1.5 Klasifikasi Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder

berdasarkan Taksonomi Tanah 18 3.1.2 Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Penggunaan Lahan

Perkebunan Teh 19

3.1.2.1 Sifat Morfologi Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan

Teh 19

3.1.2.2. Sifat Fisik Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan Teh 20 3.1.2.3. Sifat Kimia Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan Teh 22

Kemasaman Tanah 22

(12)

Kapasitas Tukar Kation dan Basa-Basa Dapat Ditukar 24 P dan K Total, Retensi fosfat, dan Selective dissolution 25 3.1.2.4. Sifat Mineralogi Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan

Teh 26

Mineral Pasir 26

Mineral Klei 27

3.1.2.5 Klasifikasi Tanah pada Lahan Perkebunan Teh Berdasarkan

Taksonomi Tanah 29

3.1.3 Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Penggunaan Lahan

Budidaya Sayuran 29

3.1.3.1 Sifat Morfologi Tanah pada Penggunaan Lahan Budidaya

Sayuran 29

3.1.3.2 Sifat Fisik Tanah pada Penggunaan Lahan Budidaya Sayuran 30 3.1.3.3 Sifat Kimia Tanah pada Penggunaan Lahan Budidaya Sayuran32

Kemasaman Tanah 32

Karbon Organik dan Nitrogen Total 33 Kapasitas Tukar Kation dan Basa-basa Dapat Ditukar 35 P dan K Total, Retensi fosfat, dan Selective dissolution 36 3.1.3.4 Sifat Mineralogi Tanah pada Penggunaan Lahan Budidaya

Sayuran 37

Mineral Pasir 37

Mineral Klei 38

3.1.3.5 Klasifikasi Tanah pada Penggunaan Lahan Budidaya Sayuran Berdasarkan Taksonomi Tanah 39 3.2 Perbandingan Karakteristik Andisol pada Tiga Penggunaan Lahan, Proses

yang Terlibat, Konsekuensi serta Upaya Penanggulangannya 40 3.2.1 Perbedaan Karakteristik Tanah yang Merupakan Perbedaan Warisan 40 3.2.1.1 Kedalaman Profil dan Horison Terkubur 40 3.2.1.2 Tekstur Tanah 41 3.2.1.3 Kadar Mineral Fraksi Pasir dan Klei 41 3.2.1.4 Klasifikasi Tanah 42 3.2.2 Perbedaan Karakteristik Tanah Akibat Perubahan Penggunaan Lahan 42 3.2.2.1 Sifat Morfologi 42

3.2.2.2 Sifat Fisik 43

3.2.2.3 Sifat Kimia 44

3.2.3 Proses yang Terlibat dalam Perubahan Karakteristik Andisol Akibat Perubahan Penggunaan Lahan 50 3.2.3.1 Erosi Permukaan 50 3.2.3.2 Sifat Kering Tak Balik 51

3.2.3.3 Dekomposisi 51

3.2.3.4 Pengkayaan (Enrichment) 51 3.2.4 Konsekuensi Perubahan Karakteristik Tanah 52 3.2.5 Upaya Penanggulangan 53 3.2.5.1 Penambahan Bahan Organik 53 3.2.5.2 Upaya Konservasi 54

4 KESIMPULAN 57

(13)

1. Analisis sifat fisik, kimia, dan mineral tanah 4 2. Distribusi ukuran partikel dan bobot isi tanah di bawah tegakan hutan

sekunder 9

3. Kemasaman tanah di bawah tegakan hutan sekunder 12 4. Basa dapat dipertukarkan, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa

pada tanah di bawah tegakan hutan sekunder 15 5. Frekuensi mineral fraksi pasir pada tanah di bawah tegakan

hutan sekunder 17

6. Kadar mineral mudah lapuk, mineral hasil lapukan , dan mineral sukar

lapuk pada tanah di bawah tegakan hutan sekunder 17 7. Nama tanah pada lahan di bawah tegakan hutan sekunder menurut

sistem klasifikasi Taksonomi Tanah 19 8. Distribusi ukuran partikel dan bobot isi tanah di lahan perkebunan teh 21 9. Kemasaman tanah pada tanah di lahan perkebunan teh 23 10. Kadar basa-basa, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa pada

tanah di lahan perkebunan teh 25 11. Frekuensi mineral fraksi pasir pada tanah di lahan perkebunan teh 27 12. Kandungan mineral mudah lapuk, mineral hasil lapukan , dan mineral

sukar lapuk pada tanah di perkebunan teh 27 13. Klasifikasi tanah pada lahan perkebunan teh berdasarkan Taksonomi

Tanah 29

14. Distribusi ukuran partikel dan bobot isi tanah pada lahan

budidaya sayuran 31

15. Kemasaman tanah pada tanah pada lahan budidaya sayuran 33 16. Kadar basa-basa, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa pada

tanah di lahan budidaya sayuran 35 17. Frekuensi mineral fraksi pasir pada tanah di lahan budidaya sayuran 37 18. Kadar mineral mudah lapuk, mineral hasil lapukan , dan mineral sukar

lapuk pada tanah di lahan budidaya sayuran 38 19. Nama tanah pada lahan budidaya sayuran menurut sistem Taksonomi

Tanah 39

20. Kadar bahan organik pada masing-masing penggunaan lahan 53 21. Dosis bahan organik yang perlu ditambahkan pada perkebunan teh dan

(14)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

Lampiran

1. Uraian morfologi tanah Profil H-1 63 2. Uraian morfologi tanah Profil H-2 64 3. Uraian morfologi tanah Profil H-3 65 4. Uraian morfologi tanah Profil T-1 66 5. Uraian morfologi tanah Profil T-2 67 6. Uraian morfologi tanah Profil T-3 68 7. Uraian morfologi tanah Profil S-1 69 8. Uraian morfologi tanah Profil S-2 70 9. Uraian morfologi tanah Profil S-3 71 10. Sifat morfologi utama tanah 72

11. Kadar air tanah 73

12. Kemasaman tanah dan kejenuhan alumunium 74 13. Kadar karbon organik, nitrogen total, dan rasio C/N tanah 75 14. Retensi fosfat, P dan K ekstrak HCl 25%, serta Al, Fe, dan Si ekstrak

(15)

Teks

1. Lokasi profil 6

2. Distribusi ukuran partikel tanah di bawah tegakan hutan 10 3. Intensitas kering tak balik tanah di bawah tegakan hutan sekunder 10 4. Hubungan ∆pH dengan intensitas kering tak balik pada lahan di bawah

tegakkan hutan sekunder 11 5. Kadar C-organik tanah di bawah tegakan hutan sekunder 13 6. Kadar N-total tanah di bawah tegakan hutan sekunder 13 7. Difraktogram XRD dari klei tanah dengan penjenuhan Mg2+ pada profil

tanah di bawah tegakan hutan sekunder 18 8. Distribusi ukuran partikel profil tanah di lahan perkebunan teh 20 9. Intensitas kering tak balik tanah di lahan budidaya perkebunan teh 21 10. Hubungan ∆pH dengan intensitas kering tak balik pada lahan

perkebunan teh 22

11. Kadar C-organik tanah di lahan perkebunan 23 12. Kadar N-total tanah di lahan perkebunan teh 24 13. Hubungan Alofan vs C-organik 26 14. Difraktogram XRD dari klei tanah dengan penjenuhan Mg2+ pada profil

tanah di lahan perkebunan teh 28 15. Distribusi ukuran partikel profil tanah budidaya sayuran 31 16. Intensitas kering tak balik tanah pada lahan budidaya sayuran 32 17. Hubungan ∆pH dengan intensitas kering tak balik pada lahan budidaya

sayuran 32

18. Kadar C-organik tanah di lahan budidaya sayuran 34 19. Kadar N-total tanah di lahan budidaya sayuran 34 20. Difraktogram XRD dari klei tanah dengan penjenuhan Mg2+ pada profil

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah Andisol merupakan tanah yang terbentuk dari bahan induk berupa abu volkan sehingga letak geografisnya selalu berasosiasi dengan keberadaan aktivitas pegunungan volkan di sekitarnya (Tan, 1984). Letak geografis Indonesia yang berada pada gugusan cincin api sangat memungkinkan banyak ditemukannya tanah Andisol. Tanah ini tersebar di Indonesia, mulai dari Pulau Sumatera bagian barat, Pulau Jawa, hingga Kepulauan Sunda Kecil di timur. Pada umumnya terjadi pada kondisi iklim hangat yang lembab (Tan, 1965).

Dilihat dari segi morfologinya, Andisol memiliki horison A relatif tebal dan berwarna gelap, berbobot isi rendah, serta konsistensi gembur dan tidak lekat. Dari segi kimianya, Andisol memiliki kadar bahan organik yang tinggi terutama pada horison A, kapasitas jerapan P tinggi, kejenuhan basa sedang, dan derajat kemasaman tanah (pH) sedang. Sedangkan dari segi horisonisasi tidak ada bukti pergerakan klei pada horison B (Dudal, 1964).

Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa mineral klei alofan dan imogolit yang bersifat amorf menyebabkan Andisol memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tanah yang lain seperti kadar bahan organik yang tinggi, daya retensi air yang tinggi, porositas tinggi, dan daya fiksasi P yang tinggi (Tan, 1984). Dengan sifat-sifat tanah tersebut, Andisol banyak dimanfaatkan untuk usaha pertanian secara intensif. Sebagai contoh, di Sumatera Utara terkenal Tembakau Deli yang ditanam pada tanah ini, di Lembang (Jabar) tanah ini merupakan sentra usaha pertanian hortikultura, di Pangalengan (Jabar) tanah ini dimanfaatkan untuk perkebunan teh, dan lain-lain (Tan, 1965).

1.2 Perumusan Masalah

Setiap penggunaan lahan memerlukan cara pengelolaan lahan yang sesuai. Pengelolaan lahan yang berbeda akan berpengaruh pada karakteristik tanah baik morfologi, fisik, kimia, dan bahkan mineral. Menurut Gebrelibanos dan Assen (2013), lahan budidaya tanaman semusim pada tanah-tanah di DAS Hirmi Ethiopia memiliki nilai P tersedia dan Kejenuhan Basa (KB) yang tinggi serta daya retensi air, kapasitas tukar kation (KTK), bahan organik, nitrogen total, dan Mg-dd dan K-ddnya yang rendah. Sementara itu tanah pada lahan hutan tanaman memiliki total porositas, KTK, Mg-dd, Ca-dd, rasio C/N, nitrogen total, dan kadar bahan organik yang lebih baik bila dibandingkan dengan karakteristik yang sama pada tanah lahan budidaya tanaman semusim serta padang rumput. Di sisi lain, sifat-sifat tanah hutan alam memiliki sifat fisik dan kimia yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanah pada penggunaan lahan lainnya. Perbedaan ini sangat mungkin terjadi pada Andisol yang pada umumnya dimanfaatkan untuk usaha pertanian pada kurun yang lama.

(18)

2

imogolit yang menjadi ciri khas tanah Andisol akibat meningkatnya hancuran iklim yang dipicu oleh perubahan penggunaan lahan.

Menurut Wright (1964), ketika Andisol matang dan mineral primer mudah lapuk telah habis, mineral yang tipikal di seluruh profil berubah. Alofan dan imogolit dapat ditransformasikan membentuk haloisit, kaolinit, gibsit ataupun jenis mineral klei 2:1 tergantung pada potensi silika dari larutan tanah. Besarnya pengaruh mineral klei alofan dan imogolit sangat ditentukan oleh seberapa banyak jumlahnya yang terkandung di dalam tanah Andisol.

Seberapa jauh perbedaan karakteristik yang dapat terjadi pada Andisol yang secara teoritis cukup rentan terhadap perubahan belum banyak diungkapkan. Oleh karena itu penelitian tentang karakteristik Andisol pada penggunaan lahan dengan beragam intensitas pengelolaan yaitu tanpa pengelolaan (hutan sekunder), pengelolaan sedang (tanaman tahunan), dan intensif (tanaman semusim) perlu dilakukan.

Dengan mengetahui secara detil karakteristik Andisol pada berbagai intensitas pengelolaan lahan, maka dapat diketahui pula proses-proses apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik tanah tersebut beserta dampaknya terhadap kualitas tanah. Dengan demikian, pengelolaan yang tepat pada suatu lahan dapat disesuaikan teknisnya agar dapat mempertahankan sifat alami tanah Andisol yang sangat baik untuk usaha pertanian.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Membandingkan karakteristik morfologi, fisik, kimia, dan mineral Andisol pada tiga penggunaan lahan yang berbeda.

2. Memperkirakan proses-proses apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik.

(19)

2 METODE

Penelitian ini bersifat ex post facto dengan cara membandingkan kondisi morfologi, fisik, kimia, dan mineral Andisol pada tiga penggunaan lahan dengan intensitas pengelolaan berbeda (tanpa pengelolaan, pengelolaan sedang, dan intensif). Penelitian dilakukan pada 3 lokasi, yaitu (1) pada Andisol dengan penggunaan lahan hutan alam sekunder yang mencerminkan lahan tanpa pengelolaan, (2) Andisol dengan penggunaan lahan perkebunan teh yang mencerminkan lahan dengan intensitas pengelolaan sedang, dan (3) Andisol dengan penggunaan lahan tanaman semusim yang mencerminkan lahan dengan pengelolaan intensif. Perbedaan karakteristik yang dijumpai selanjutnya dihubungkan dengan cara pengelolaan penggunaan lahannya untuk mencari tahu proses apa saja yang menyebabkan terjadinya perbedaan karakteristik Andisol, sehingga dapat ditentukan cara pengelolaan lahan yang tepat guna menjaga kelestarian sifat Andisol yang secara edafologis menguntungkan bagi usaha pertanian.

2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian lapang dilakukan selama 2 minggu pada bulan September 2014 dan analisis contoh tanah dilakukan pada bulan Oktober 2014-Juni 2015. Lokasi penelitian berada di lereng sebelah timur laut Gunung Gede. Analisis contoh tanah dilakukan di laboratorium tanah Departemen Ilmu tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, Balai Penelitian Tanah Bogor, dan di Pusat Penelitian Geologi Kelautan (PPGL) Bandung.

2.2 Bahan

Bahan penelitian terdiri dari contoh tanah dan bahan kimia untuk analisis. Contoh tanah sebanyak 46 contoh tanah utuh dan terganggu yang diambil dari setiap horison di 9 profil tanah pada tiga jenis penggunaan lahan yang sudah ditentukan.

2.3 Alat

Untuk analisis tanah di laboratorium peralatan yang digunakan adalah

(20)

4

2.4 Prosedur Penelitian

2.4.1 Persiapan

Persiapan dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian yang tepat. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data sekunder yang mendukung penelitian di lapang serta prasurvei lapang. Data sekunder yang dikumpulkan dan dipelajari terdiri dari informasi sejarah penggunaan lahan dari berbagai sumber, data iklim, peta tanah, dan peta geologi. Kegiatan prasurvei dilakukan untuk memilih lokasi yang representatif untuk pembuatan profil dan pengambilan contoh tanah dengan mempertimbangkan hal-hal yang ceteris paribus.

2.4.2 Penelitian Lapang

Penelitian lapang meliputi pengamatan (deskripsi) profil tanah. Profil tanah dibuat sedalam 2 m, lebar 1 m, dan panjang 1,5 m. Pengamatan profil dan pengambilan contoh tanah setiap horison profil mengacu kepada Soil Survey Staff

(1993). Contoh tanah yang diambil terdiri dari contoh tanah utuh dan terganggu.

2.4.3 Analisis Contoh Tanah

Analisis contoh tanah baik fisik, kimia, dan mineral dilakukan untuk keperluan klasifikasi serta penilaian sifat-sifat tanah dalam kaitannya dengan kualitas tanah. Khususnya Andisol, terdapat beberapa analisis contoh tanah guna menentukan sifat andik sebagai penentu klasifikasi Andisol. Analisis tersebut meliputi pengukuran bobot isi yang mensyaratkan Andisol memiliki bobot isi <0.90 g/cm, jumlah Al+1/2Fe dengan ekstrak oksalat setara 2% atau lebih, dan kemampuan retensi fosfat lebih dari 85%. Selain itu, dilakukan pengukuran pH pada 1N sodium fluorida (NaF) sebagai indikator (Soil Survey Staff, 2010).

Tabel 1. Analisis sifat fisik, kimia, dan mineral tanah

Jenis analisis Parameter Metode Sifat fisik 1. Bobot isi Gravimetri

2. Kadar air kapasitas lapang Gravimetri

3. Tekstur Pipet

4. Sifat smeary pH NaF 1 N (Soil Survey Staff, 2010) 5. Intensitas kering tak balik Gravimetri

Sifat kimia 1. pH H2O & KCl (1:1) pH meter

2. C-organik Walkley and Black

3. Retensi fosfat Blackmoreet al, 1981 4. KTK dan basa-basa dapat ditukar NH4OAc 1 N pH 7

5. N-total Kjeldahl

6. P-total HCl 25%, pengukuran spektrofotometer 7. K-total HCl 25%, pengukuran flamephotometer Mineral klei 1. Mineral amorf (kuantitatif) Selective dissolution (Blackmore et al, 1981)

dan pasir 2. Mineral klei (kualitatif) XRD

(21)

Penentuan kadar mineral klei amorf juga dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan analisa X-ray untuk mendukung analisis yang dilakukan secara kuantitatif dengan metode Selective Dissolution (Blackmore et al, 1981). Analisis contoh tanah yang dilakukan untuk penilaian sifat-sifat tanah dalam kaitannya dengan kualitas tanah meliputi pH, kadar nitrogen, fosfat, kalium, dan C-organik. Jenis, parameter, dan metode analisis tanah disajikan pada Tabel 1.

2.4.3.1 Analisis Intensitas Kering Tak Balik

Intensitas kering tak balik menunjukkan seberapa besar kondisi tanah yang telah berada dalam keadaan kering tak balik. Keadaan kering tak balik ini umumnya terjadi pada tanah-tanah yang mengandung mineral amorf salah satunya pada Andisol. Untuk menduga intensitas kering tak balik dilakukan dengan cara menetapkan kadar air tanah dalam keadaan kapasitas lapang sebelum dikeringkan dalam oven 105o, kemudian menetapkan kadar air tanah kering oven 105o setelah dibasahi kembali hingga keadaan kapasitas lapang. Intensitas kering tak balik tanah Andisol direpresentasikan dalam selisih nilai antara persentase kadar air pada kapasitas lapang sebelum pengeringan dengan kadar air tanah pada kapasitas lapang setelah mengalami pengeringan. Secara singkat persamaannya adalah sebagai berikut :

Z = (X-Y)

dimana, Z = Intensitas kering tak balik

X = Kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang sebelum kering oven 105 o C

Y = Kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang setelah kering oven 105o C.

2.4.3.2 Pendugaan Muatan Variabel

Untuk menduga muatan muatan variabel tanah dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menghitung ∆KTK tanah. ∆KTK tanah merupakan hasil dari pengurangan nilai KTK NH4OAc pH 7 oleh nilai KTK efektif. Nilai KTK NH4OAc menggambarkan nilai KTK total tanah, sementara nilai KTK efektif menggambarkan nilai KTK muatan tetap. Sehingga selisih dari hasil pengurangan tersebut menggambarkan nilai KTK dengan muatan variabel. Secara singkat persamaannya adalah sebagai berikut :

∆KTK = KTK NH4OAc – KTK efektif

dimana, ∆KTK = KTK muatan variabel KTK NH4OAc = KTK total

(22)

6

2.5 Deskripsi Lokasi Penelitian

2.5.1 Posisi Geografis dan Administratif

Lokasi penelitian berada di lereng sebelah timur laut Gunung Gede yang secara geografis berada di antara 106°51' - 107°02' BT dan 64°1' - 65°1 LS. Lokasi ini berjarak 18 km dari Kota Cianjur, tepatnya di kampung Maleber Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini berada pada topografi berombak hingga berbukit dengan lereng 12-30%. Area penelitian dan posisi pengamatan profil tanah ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi profil

2.5.2 Geologi

(23)

2.5.3 Tanah dan Landform

Menurut peta tanah eksplorasi Pulau Jawa skala 1: 1.000.000 lokasi penelitian termasuk dalam SPT 25 yang uraiannya adalah jenis Andosol yang berasal dari batuan beku basa dan intemedier pada lahan bergunung. Berdasarkan hasil observasi lapang dan hasil interpretasi landform, lokasi penelitian tergolong ke dalam landform V.1.2 yang merupakan daerah aliran lahar dengan topografi berbukit (15-30%).

2.5.4 Iklim

Hasil pengamatan di stasiun klimatologi di kebun percobaan Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Pasir Sarongge Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur selama kurang lebih sembilan tahun terakhir, menunjukkan bahwa rata curah hujan per tahun sebesar 3800 mm. Berdasarkan nisbah curah hujan rata-rata bulan kering dan bulan basah maka iklim di lokasi penelitian termasuk ke dalam iklim tipe A berdasarkan klasifikasi iklim Schmidth Ferguson dengan nilai Q sebesar 0.139. Temperatur harian berkisar antara 15-22oC.

2.6 Sejarah Penggunaan Lahan dan Vegetasi

Tiga penggunaan lahan berbeda dijadikan sebagai pembeda lokasi titik pengamatan dan pengambilan contoh tanah. Lokasi pertama adalah hutan sekunder yang berada pada kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Kawasan ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan yang sejak zaman dahulu relatif belum banyak mengalami perubahan. Akan tetapi karena terbatasnya akses maka untuk mencapai lokasi yang sama sekali belum berubah sangat sulit. Sehingga dipilih lokasi di kaki gunung yang merupakan hutan sekunder dengan jenis tegakan pohon yang didominasi antara lain pohon Rasamala (Altingia excelsa Noronha) dan Puspa (Schima wallichii).

Lokasi kedua adalah perkebunan teh Maleber yang dikelola oleh PT. Tenggara yang luasnya saat ini tinggal 89.9 Ha. Perkebunan ini berdiri pada zaman penjajahan Belanda yaitu pada tahun 1817 yang pada saat itu merupakan perkebunan teh pertama di Kabupaten Cianjur dengan luas 45 Ha hingga kemudian berkembang menjadi 304 Ha. Namun seiring berjalannya waktu luasan tersebut menyusut akibat adanya konflik dengan masyarakat, yaitu masyarakat mengklaim areal perkebunan dan mengubahnya menjadi lahan pertanian.

(24)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Karakteristik dan Klasifikasi Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder

3.1.1.1 Sifat Morfologi Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder

Tiga profil tanah pewakil pada penggunaan lahan hutan sekunder telah diamati dan dianalisis (profil H-1, H-2, dan H-3). Ketiga profil ini berada pada kisaran ketinggian 1649-1686 m dpl. Hasil deskripsi tiga profil ini disajikan pada Tabel Lampiran 1, 2, 3, dan 10.

Solum tanah H-1 dan H-3 termasuk sangat tebal (> 200 cm) sedangkan profil H-2 lebih tipis yaitu hanya 63 cm. Tiga profil ini memiliki horison terkubur (horison Ab). Ciri dari horison terkubur adalah adanya kadar bahan organik yang tiba-tiba meningkat dan kembali menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Selain terlihat dari kadar bahan organik yang tiba-tiba meningkat, indikasi horison terkubur pada profil H-1 dan H-3 diperkuat dari distribusi ukuran partikel (Tabel 2), yaitu adanya penurunan drastis jumlah fraksi pasir dari horison Bw ke horison Ab. Semua profil memiliki sekuen horison yang sama yaitu Ah, Bw, dan Ab yaitu masing-masing adalah horison Ah, AB, Bw, Ab, Bwb, dan BCb pada H-1, horison Ah, Bw, dan Ab pada H-2, dan horison Ah, Bw, Ab, Bwb pada H-3. Horison terkubur menandakan penimbunan bahan induk volkanik yang terjadi secara berulang-ulang (Shoji et al., 1987).

Warna tanah dari profil-profil pewakil secara umum menunjukkan terjadinya peningkatan nilai value dan chroma seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Horison A memiliki nilai value dan chroma yang lebih rendah bila dibandingkan dengan horison B. Semua profil menunjukkan kisaran warna hitam (10YR 2/1) pada horison A. Hal ini erat kaitannya dengan kadar bahan organik tinggi yang terdapat pada horison A. Warna tanah pada horison B berada pada kisaran warna coklat gelap kekuningan (10YR 3/4-10YR 3/6). Warna horison terkubur adalah coklat gelap (7.5YR 3/4) pada profil H-1, dan coklat gelap kekuningan (10 YR 3/6 dan 10 YR 3/4) secara berturut-turut pada profil H-2 dan H-3.

Tekstur tanah cukup berbeda antara horison A dan horison B. Tekstur tanah cenderung lebih halus seiring dengan bertambahnya tingkat kedalaman pada profil H-1 dan H-3 sedangkan profil H-2 relatif seragam pada semua kedalaman. Tekstur tanah pada ketiga profil didominasi oleh lom berpasir hingga lom klei berdebu disertai batu kerikil yang berukuran 5-10 mm. Tekstur kasar dan batu kerikil menunjukkan kasarnya bahan yang dideposisikan.

(25)

berukuran sedang dengan kekuatan struktur sedang hingga kuat serta memiliki konsistensi gembur.

3.1.1.2 Sifat Fisik Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder

Distribusi ukuran partikel tanah horison A dan Bw pada ketiga profil di bawah tegakan hutan sekunder didominasi fraksi pasir diikuti fraksi debu dan klei (Tabel 2 dan Gambar 2). Pada horison terkubur di profil H-1 dan H-3 terjadi penurunan persentase fraksi pasir yang signifikan yang menunjukkan adanya horison terkubur. Horison H-1 dan H-3 memiliki kemiripan pola persentase fraksi tekstur terutama pada fraksi pasir. Fraksi pasir pada horison H-1 dan H-3 memiliki pola semakin menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman, sedangkan fraksi debu dan klei memiliki pola yang sebaliknya. Sementara pada profil H-2 memiliki pola yang berlainan dengan profil H-1 dan H-3. Kelas tekstur tanahnya tergolong agak kasar, sedang, sampai agak halus seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi ukuran partikel dan bobot isi tanah di bawah tegakan hutan

(26)

10

Ket : Z = Intensitas kering tak balik

X = Kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang sebelum kering oven 105 o C Y = Kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang setelah kering oven 105o C.

Gambar 2. Distribusi ukuran partikel tanah di bawah tegakan hutan menurut kedalaman

Sifat fisik lain yang penting diperhatikan adalah intensitas kering tak balik. Nilai Z Andisol direpresentasikan dalam selisih nilai antara kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang sebelum kering oven 105oC (X) dan kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang setelah kering oven 105oC (Y). Data intensitas kering tak balik disajikan pada Tabel Lampiran 11 dan Gambar 3. Nilai Y selalu memiliki nilai yang lebih rendah dari pada nilai X. Hal ini menandakan bahwa tanah Andisol akan sulit kembali menyerap air meskipun sudah dijenuhi air kembali. Semakin kecil nilai Z maka suatu tanah semakin tinggi intensitas kering tak baliknya.

(27)

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada profil H-1 dan H-3 tanah yang paling tinggi intensitas kering tak baliknya berada pada 2 sampai 3 lapisan teratas dengan nilai Z antara 27% hingga 40% sedangkan pada profil H-2 nilai Z berkisar 29% hingga 47% di semua horison. Profil H-2 intensitas kering tak baliknya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan profil H-1 dan H-3. Hal ini disebabkan oleh sejumlah mineral amorf yang berada dalam kondisi kering tak balik berubah menjadi pasir semu (pseudo sand) sehingga persentase fraksi pasir pada profil ini mendominasi. Semakin tinggi kadar fraksi pasir suatu tanah maka semakin tinggi intensitas kering tak balik tanah bila dalam kondisi terpapar panas matahari.

3.1.1.3 Sifat Kimia Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder

Kemasaman Tanah

(28)

12

Tabel 3. Kemasaman tanah di bawah tegakan hutan sekunder

Kedalaman pH (1 : 1) pengukuran pH dengan menggunakan larutan NaF. pHNaf digunakan sebagai cara untuk menentukan sifat andik pada tanah volkan (Soil Survey Staff, 2010). Seperti yang ditunjukkan pada Tabel Lampiran 12, nilai pHNaF tanah di bawah tegakan hutan sekunder ini berada pada kisaran 10.6 – 11.5. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah-tanah di bawah tegakan hutan sekunder didominasi oleh mineral klei amorf, sehingga menegaskan bahwa profil tanah yang diamati merupakan tanah yang berasal dari bahan induk hasil aktivitas volkanik.

Kadar Al-dd pada semua profil berada di bawah kisaran sangat rendah sampai tidak terukur (<0.7 cmolc/kg). Hal ini merupakan satu ciri dari Andisol. Ciri ini disebabkan karena Al berikatan dengan Si dan O membentuk alumunium silikat berhidrat dengan susunan kimia bervariasi yang mencirikan struktur alofan. Disamping itu Al yang terlepas selama proses pelapukan akan membentuk kompleks dengan humus berada dalam bentuk yang tidak dipertukarkan sehingga Al-dd sebagian besar berasal dari tempat-tempat pertukaran dari mineral klei (Arifin, 1994).

Karbon Organik dan Nitrogen Total

(29)

antara 9.77 sampai 2.46 %. Kadar karbon organik paling tinggi umumnya berada pada horison A. Selain itu, di semua profil terjadi peningkatan kadar karbon organik dari horison Bw ke horison Ab. Kadar karbon organik pada horison Ab lebih tinggi daripada horison di atasnya menunjukkan bahwa horison tersebut merupakan horison terkubur.

Gambar 5. Kadar C-organik tanah di bawah tegakan hutan sekunder menurut kedalaman

Kadar C-organik tanah yang tinggi pada horison A tanah di bawah tegakan hutan sekunder, dipengaruhi oleh serasah-serasah yang berasal dari vegetasi penutupnya yang semuanya kembali ke tanah, dan didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi bahan organik tanah. Sementara itu tingginya kadar C-organik pada horison terkubur disebabkan karena tidak adanya mikroorganisme yang mendegradasi bahan organik setelah terjadi penimbunan bahan yang baru, sehingga tidak ada yang menyebabkan penurunan kadar bahan organik.

(30)

14

Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar N-total dalam tanah berkisar antara 0.79 sampai 0.06% (Tabel lampiran 13 dan Gambar 6). Kadar N-total cenderung sangat tinggi pada lapisan permukaan dan menurun tidak teratur seiring dengan bertambahnya kedalaman pada profil H-1 dan H-3. Pola sebaran N-total hampir menyerupai pola sebaran nilai C-organik dalam profil yang sama yang tergambar pada Gambar 4 dan 5.

C/N rasio menyediakan informasi dalam tanah terkait dengan kesuburan dan dekomposisi bahan organik (NSSC, 2011). Hasil analisis menunjukkan bahwa C/N rasio dalam tanah bervariasi pada setiap kedalaman (Tabel Lampiran 13). Pada tanah di bawah tegakan hutan nilai C/N ratio berkisar antara 10 hingga 15, namun pada horison Bwb profil H-1 nilai C/N rasionya mencapai 22. Kadar C/N rasio yang rendah menunjukkan bahwa bahan organik telah menjadi humus yang stabil dalam tanah.

Kapasitas Tukar Kation dan Basa-basa Dapat Ditukar

Kapasitas tukar kation pada tanah di bawah tegakan hutan disajikan pada Tabel 4. Nilai KTK pada setiap profil berkisar 14.65-41.75 cmolc/kg. Nilai KTK rendah pada horison permukaan sedangkan secara umum nilai KTK pada tanah-tanah mineral memiliki nilai KTK yang paling tinggi di permukaan. Nilai KTK sangat dipengaruhi oleh kadar klei, bahan organik, dan jenis mineral klei, sehingga secara umum KTK pada horison permukaan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan horion di bawahnya (Prasetyo et al, 2005; Suryani et al, 2015). Rendahnya nilai KTK pada horison permukaan sangat terkait dengan intensitas kering tak balik yang tinggi pada horison permukaan. Tingginya intensitas kering tak balik tersebut menyebabkan banyak dari site-site muatan mineral amorf yang inaktif terutama muatan variabelnya inaktif sehingga kejenuhan basanya menjadi tinggi.

Selain itu, KTK efektif pada tanah di bawah tegakan hutan ini berkisar antara 1.35-9.85 cmolc/kg. KTK efektif didefinisikan sebagai jumlah basa-basa dapat ditukar ditambah dengan H dan Al dapat ditukar (Tabel Lampiran 12). Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai KTK efektif tinggi di horison permukaan. Tingginya nilai KTK efektif menunjukkan bahwa nilai KTK muatan tetap pada horison permukaan tanah hutan lebih tinggi dibandingkan dengan horison di bawahnya.

∆KTK menggambarkan status muatan variabel masih aktif atau tidak.

(31)

tanah di bawah tegakan hutan didominasi oleh Ca-dd diikuti Mg-dd, Na-dd, dan K-dd.

Tabel 4. Basa dapat dipertukarkan, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa pada tanah di bawah tegakan hutan sekunder

Kedalaman Basa-basa dapat ditukar jumlah KTK KTK ∆KTK Kejenuhan

Semua profil menunjukkan variasi nilai kejenuhan basa yang lebar antara horison A dengan horison di bawahnya. Pada profil H-1, H-2, dan H-3 nilai kejenuhan basanya secara berturut-turut berada pada kisaran 43.61-4.04%, 55.2-3.16%, dan 50.88-4.00%. Tingginya kejenuhan basa pada horison A akibat jumlah basa dapat dipertukarkan tinggi yang berasal dari serasah tumbuhan.

P dan K Total, Retensi Fosfat, dan Selective Dissolution

Hasil analisis K-total (ekstrak HCl) menunjukkan kecenderungan nilai kadar K-total tinggi pada horison A (Tabel Lampiran 14). Kadar K-total yang paling tinggi terdapat pada profil H-2 yang berkisar antara 142-70 mg/kg sedangkan pada profil H-1 dan H3 berkisar antara 89-27 mg/kg dan 117-53 mg/kg. Berbeda dengan K-total, P-total (ekstrak HCl) pada horison A nilainya lebih rendah dibandingkan dengan horison di bawahnya. Akan tetapi nilai yang ditunjukkan pada Tabel Lampiran 14 cenderung bervariasi. Meskipun demikian, nilai P-total tanah pada tegakan hutan berkisar antara 360-115 mg/kg.

(32)

16

dan ferihidrit serta imogolit menyebabkan ion H2PO4- terjerap kuat pada struktur mineral ini dan terikat pada gugus fungsional OH atau H yang bermuatan positif (Breemen dan Buurman, 2003; Nanzyo, 1993).

Analisis Al, Fe, dan Si dengan menggunakan ekstrak asam oksalat (selective dissolution) tanah di bawah tegakan hutan sekunder disajikan pada Tabel Lampiran 6. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tanah-tanah tersebut memiliki Al (Alo), Fe (Feo), dan Si (Sio) yang rndah di horison permukaan dan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Secara berturut-turut nilai Alo, Feo, dan Sio ketiga profil berkisar antara 2.56-5.00%, 1.31-1.83%, dan 1.13-3.53%. Nisbah Alo+1/2Feo pada semua profil menunjukkan nilai >2%..

Kadar alofan diestimasi berdasarkan pendekatan kadar Sio x 7.1 (Parfitt dan Henmi, 1982). Hasil estimasi untuk profil H-1, H-2, dan H-3 menghasilkan bahwa kadar alofan pada tanah di bawah tegakan hutan sekunder berada pada kisaran 8-25%. Kadar alofan tersebut rendah pada horison permukaan. Menurut Arifin (1994), akumulasi bahan organik yang tinggi pada tanah Andisol dapat menekan pembentukan short ordered minerals (alofan, imogolit dan ferihidrit) dengan terbentuknya senyawa ikatan komplek Al- dan Fe-humus, dengan demikian kadar short ordered minerals horison permukaan umumnya lebih rendah dibandingkan horison di bawahnya.

3.1.1.4 Sifat Mineralogi Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder

Mineral Fraksi Pasir

Komposisi mineral fraksi pasir diamati melalui mikroskop polarisasi dengan metode line counting pada mineral pasir fraksi total. Data hasil pengamatan disajikan pada Tabel 5. Hasil menunjukkan bahwa tanah pada tegakan di bawah hutan didominasi oleh fragmen batuan, hipersten, augit dan labradorit. Mineral augit, hipersten, dan labradorit merupakan mineral primer utama yang berasal dari bahan hasil aktivitas volkanik yang secara geologis berumur relatif masih muda (Hardjowigeno, 1993). Berdasarkan sebaran mineral tersebut, menurut kriteria Mohr et al.,(1960) Komposisi mineral pasir tersebut bersifat andesitik-basaltik (intermedier). bawah tegakan hutan sekunder ini masih terjaga.

(33)

Tabel 5. Frekuensi mineral fraksi pasir pada tanah di bawah tegakan hutan

Keterangan : op=opak, lmt=limonit, zt=zeolite, hd=hidrargilit, lm=lapukan mineral, fb=fragmen batuan, gv=gelas volkan, lb=labradorit, bn=bitownit, hh=hornblende hijau, ag=augit, hp=hipersten, ov=olivine, ep=epidotit, et=enstatit

Tabel 6. Kadar mineral mudah lapuk, mineral hasil lapukan , dan mineral sukar lapuk pada tanah di bawah tegakan hutan sekunder

No Horison Mineral Mudah Lapuk Mineral Hasil Lapukan Mineral Sukar Lapuk

1 Profil H-1

Keterangan ; MML: zeolite, hidrargilit, fragmen batuan, gelas volkan, labradorit, bitownit, hornblende hijau, augit, hipersten, olivine, epidotit, enstatit; MHL: lapukan mineral, limonit; MSL: opak.

Mineral Klei

X-ray difraktogram fraksi klei pada tanah di bawah tegakan hutan sekunder dengan perlakuan penjenuhan Mg2+ ditampilkan pada Gambar 7. Horison tanah yang dianalisis menggunakan X-ray Difraktormeter merupakan horison Bw yang menjadi pewakil pada setiap profil. Nampak di posisi 0-2 theta pola difraktogram pada semua profil menunjukkan pola yang tidak beraturan dan tidak memiliki puncak yang tajam. Pola tersebut menunjukkan keberadaan mineral amorf yang dominan. Mineral lain yang terdeteksi antara lain kristobalit, kuarsa, feldspar, metahaloisit serta haloisit terhidrat.

(34)

18

Gambar 7. Difraktogram XRD dari klei tanah dengan penjenuhan Mg2+ pada profil tanah di bawah tegakan hutan sekunder

Dari hasil analisis diketahui komposisi mineral fraksi klei tersebut merupakan tanah yang berasal dari bahan induk volkan. Selain itu pola puncak yang muncul juga bersifat asimetris dan tidak tajam yaitu puncak yang menunjukkan mineral metahaloisit. Puncak yang muncul dengan intensitas 100 % hanya terjadi pada puncak yang menunjukkan mineral kristobalit. Mineral ini terdeteksi pada semua profil tanah di bawah tegakan hutan sekunder ini. Adanya mineral metahaloisist dan kristobalit menunjukkan bahwa kedua mineral tersebut merupakan hasil dari pelapukan abu volkan (Yatno dan Zauyah, 2003). Dilihat dari intensitas pelapukannya profil H-1 dan H-3 memiliki derajat pelapukan yang paling tinggi dengan adanya mineral sekunder metahaloisit dan haloisit terhidrat yang terdeteksi oleh XRD.

3.1.1.5 Klasifikasi Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder berdasarkan

Taksonomi Tanah

Nama tanah menurut sistem klasifikasi Taksonomi Tanah USDA dari tanah yang berada di bawah tegakan hutan sekunder ditampilkan pada Tabel 7. Berdasarkan morfologi dan sifat kimia tanahnya, ketiga profil H-1, H-2, dan H-3 memiliki epipedon umbrik, yaitu terdapat lapisan setebal 18 cm atau lebih yang memiliki warna tanah dalam keadaan lembab dengan value dan kroma kurang <3. Pada sebagian atau seluruh horison memiliki kejenuhan basa <50 % (ekstrak NH4OAc) dan kadar C-organik >0.6 %. Semua tanah memiliki horison kambik (Bw) karena tidak memenuhi syarat peningkatan klei untuk argilik. Tekstur tanah berdebu atau lebih halus serta tidak memenuhi syarat untuk horison argilik, kandik, oksik, atau spodik. Hal ini menandakan tidak terjadinya pencucian klei.

(35)

Tabel 7. Nama tanah pada lahan di bawah tegakan hutan sekunder menurut sistem klasifikasi Taksonomi Tanah USDA

No. Profil Epipedon Horison penciri bawah Subgrup 1. H-1 Umbrik Kambik Thaptic Hapludands 2. H-2 Umbrik Kambik Thaptic Hapludands 3. H-3 Umbrik Kambik Thaptic Hapludands

Kriteria suatu tanah diklasifikasikan ke dalam ordo Andisol antara lain harus memiliki persentase jumlah Alo+½Feo (ekstrak ammonium oksalat) 2% atau lebih, bobot isi <0.90 g/cm3, dan retensi fosfat >85%. Berdasarkan kriteria tersebut maka ketiga profil tanah di bawah tegakan hutan sekunder diklasifikasikan sebagai Andisol pada kategori order. Ketiga profil Andisol tersebut memiliki regim kelembaban udik, karena tidak mengalami kering selama 90 hari secara kumulatif dalam satu tahun. Oleh karena itu, pada tingkat suborder, ketiga tanah ini diklasifikasikan sebagai Udands. Pada kategori greatgroup, ketiga profil (H-1, H-2, dan H-3) diklasifikasikan ke dalam Hapludands karena tidak memiliki ciri lain yang spesifik. Pada kategori subgroup, semua profil memiliki horison terkubur (Ab). Horison H-1 mulai kedalaman antara 58 cm, profil H-2 mulai kedalaman 43 cm, dan profil H-3 mulai kedalaman 56 cm, sehingga diklasifikasikan ke dalam Thaptic Hapludands.

3.1.2 Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan Teh

3.1.2.1 Sifat Morfologi Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan Teh

Penelitian Andisol pada jenis penggunaan lahan perkebunan teh dilakukan melalui pengamatan tiga profil tanah pewakil (T-1, T-2, dan T-3). Ketiga profil ini berada pada kisaran ketinggian 1357-1405 m dpl. Hasil deskripsi tiga profil ini disajikan pada Tabel lampiran 4, 5, 6, dan 10.

Semua profil memiliki solum tanah yang tebal (>100 cm) serta dikarakterisasi oleh sekuen horison A/Bt. Profil T-2 dan T-3 dijumpai horison terkubur pada kedalaman lebih dari 145 cm, sedangkan profil T-1 tidak dijumpai. Warna tanah pada horison A berwarna coklat gelap (10YR 3/3) hingga coklat gelap kekuningan (10YR 3/6) sedangkan pada horison B berwarna coklat gelap kekuningan (10 YR 3/6-4/6). Horison terkubur (Ab) profil T-2 dan T-3 memiliki warna lebih gelap yaitu hitam (10YR 2/1) dan coklat gelap (10YR 3/4).Perbedaan warna tanah pada Andisol ditentukan oleh jenis tephra, jenis dan jumlah bahan organik tanah serta komposisi produk pelapukan (Sukarman dan Dariah, 2014).

(36)

20

Konsistensi teguh hanya terdapat pada horison paling bawah di profil T-2 dan T-3. Meskipun dari segi jumlah penurunan kleinya memenuhi syarat sebagai horison Argilik, akan tetapi konsistensi dalam keadaan lembab tetap gembur pada tiap horison pada ketiga profil. Selain itu, pada keadaan basah konsistensi tanah tidak plastis serta tidak lekat hingga agak lekat. Hal ini disebabkan keberadaan mineral amorf terutama alofan yang terdapat dalam fraksi kleinya (Leamy et al., 1980).

3.1.2.2. Sifat Fisik Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan Teh

Distribusi ukuran partikel pada tanah pada penggunaan lahan kebun teh didominasi fraksi debu (47-71%), pasir (17-37%), dan yang paling rendah klei (9-36%) dengan tekstur tergolong sedang hingga agak halus (Tabel 8 dan Gambar 8). Rendahnya klei terjadi karena bahan tanah yang berasal dari tanah non-kristalin sering kali tidak mengalami dispersi secara sempurna menjadi butiran tanah primer (klei, debu atau pasir) pada saat analisis tanah (Sukarman dan Dariah, 2014). Menurut kriteria Soil Survey Staff (2010), hasil analisis tekstur menunjukkan adanya peningkatan klei dari horison A ke horison B yang memenuhi kriteria horison penciri argilik. Meskipun demikian, tanah pada lahan perkebunan teh ini masih tergolong sebagai tanah Andisol.

Gambar 8. Distribusi ukuran partikel profil tanah di lahan perkebunan teh menurut kedalaman

(37)

Tabel 8. Distribusi ukuran partikel dan bobot isi tanah di lahan perkebunan teh

Kedalaman Distribusi ukuran partikel (%) Kelas

Kelompok Tekstur

Profil. Horison (cm) Pasir Debu Klei Tekstur

0.05-2 mm 2-50 µm < 2 µm USDA

T-1 A 0-30 27 64 9 SiL sedang

Bt1 30-63 19 53 28 SiCL agak halus

Bt2 63-110 16 63 21 SiL sedang

BC 110-146 20 52 28 SiCL agak halus

T-2 Ap 0-25 37 50 13 SiL sedang

AB 25-50 18 61 21 SiL sedang

Bt1 50-96 17 47 36 SiCL agak halus

Bt2 96-126 20 52 28 SiCL agak halus

BC 126-165 17 67 16 SiL sedang

Ab 165-200 17 71 12 SiL sedang

T-3 Ap 0-25 36 54 10 SiL sedang

Bt 25-58 26 54 20 SiL sedang

BC 58-105 33 52 15 SiL sedang

C 105-145 - - - - -

Ab 145-190 23 58 19 SiL sedang

Ket: Sil=lom berdebu, SiCL=lom klei berdebu, SL-lom berpasir

Intensitas kering tak balik merupakan sifat fisik yang penting untuk diperhatikan. Data intensitas kering tak balik disajikan pada Tabel Lampiran 11 dan Gambar 9. Horison A pada ketiga profil di lahan perkebunan teh mempunyai intensitas kering tak balik yang tinggi. Nilai Z yang mendekati nol (6-16%) menunjukkan semakin besar intensitas kering tak balik tanahnya. Horison T-3 mempunyai nilai intensitas kering tak balik yang paling besar pada solum tanahnya dibandingkan dengan profil T-1 dan T-2. Hal ini lebih dipengaruhi oleh jumlah fraksi pasir yang mendominasi pada seluruh lapisan yang diakibatkan oleh struktur tanah yang resisten terhadap tumbukan air sehingga dalam keadaan kering membentuk pseudo sand (pasir semu).

Gambar 9. Intensitas kering tak balik tanah di lahan budidaya perkebunan teh Ket : Z = Intensitas kering tak balik

(38)

22

3.1.2.3. Sifat Kimia Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan Teh

Kemasaman Tanah

Nilai pH aktual tanah yang diukur dengan menggunakan pelarut air berkisar antara 4.68 hingga 5.44 (Tabel 9). Horison A memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan horison di bawahnya, sehingga nilai pH cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Dua dari tiga profil tanah memiliki pH potensial yang diukur dengan menggunakan pelarut KCl yang lebih besar dari pH aktual sehingga nilai pHnya cenderung positif untuk kedua profil tersebut. Sebaliknya, profil T-3 memiliki nilai pH potensial yang lebih tanah pada lahan perkebunan teh juga dipengaruhi oleh intensitas kering tak balik di mana mempunyai hubungan yang positif (Gambar 10).

Gambar 10. Hubungan ∆pH dengan intensitas kering tak balik pada lahan perkebunan teh

Selain pengukuran pH aktual dan potensial juga dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan larutan NaF untuk menentukan sifat andik. Seperti ditunjukkan pada Tabel Lampiran 12, hasil pengukuran menunjukkan nilai pHNaF berada pada kisaran nilai 10.9-114. Tingginya pHNaF ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan mineral klei amorf. Selain itu, Kadar Al-dd pada semua profil berada di bawah kisaran sangat rendah sampai tidak terukur.(<0.2 cmolc/kg). Hal ini sama halnya dengan kadar Al-dd pada tanah di bawah tegakan hutan sekunder.

(39)

Tabel 9. Kemasaman tanah pada tanah di lahan perkebunan teh

No. Horison Kedalaman pH (1 : 1)

(cm) H2O KCl ∆ pH

1. Profil T-1

A 0-30 5.23 5.16 -0.07

Bt1 30-63 5.46 5.53 0.07

Bt2 63-110 5.38 5.68 0.30

BC 110-146 5.44 5.70 0.26

C 146-200 - - -

2. Profil T-2

Ap 0-25 4.78 4.59 -0.19

AB 25-50 5.2 5.21 0.01

Bt1 50-96 5.13 5.26 0.13

Bt2 96-126 5.31 5.49 0.18

BC 126-165 5.33 5.49 0.16

Ab 165-200 5.32 5.32 0

3. Profil T-3

Ap 0-25 4.68 4.45 -0.23

Bt 25-58 4.90 4.82 -0.08

BC 58-105 5.30 5.20 -0.10

C 105-145 - - -

Ab 145-190 5.44 5.53 0.09

Karbon Organik dan Nitrogen Total

Kadar karbon organik pada tanah dengan penggunaan lahan kebun teh disajikan pada Tabel Lampiran 13 dan Gambar 11. Data menunjukkan bahwa kadar karbon organik pada tanah ini berkisar antara 6.13-0.88%. Horison A memiliki kadar karbon organik paling tinggi dibandingkan dengan horison di bawahnya. Peningkatan kadar karbon organik kembali terjadi pada horison Bw ke Horison Ab pada profil T-2 dan T-3. Hal ini memperkuat hasil pengamatan morfologi yang telah dibahas sebelumnya yaitu profil T-2 dan T-3 memiliki horison terkubur pada kedalaman 145 cm.

(40)

24

Gambar 12. Kadar N-total tanah di lahan perkebunan teh menurut kedalaman

Data menunjukkan bahwa kadar N-total pada tanah ini berkisar antara 0.1-0.59% (Tabel lampiran 12 dan Gambar 12). N-total tampaknya memiliki tren yang sama dengan kadar karbon organik. Semakin tinggi nilai N-total maka semakin tinggi pula tanah tersebut dalam menyediakan nitrogen. Sementara itu, nilai rasio C/N berkisar antara 7-14 meskipun pada horison Ab pada profil T-2 memiliki nilai 20. Rendahnya nilai C/N rasio tersebut menunjukkan bahwa bahan organik yang berada dalam tanah sudah menjadi humus yang relatif stabil di dalam tanah.

Kapasitas Tukar Kation dan Basa-Basa Dapat Ditukar

Nilai KTK pada tanah di lahan perkebunan teh memiliki nilai yang relatif beragam (Tabel 10). Pada profil T-1 mempunyai nilai KTK berkisar antara 21.58-29.70 cmol/kg, pada profil T-2 dan T-3 berkisar antara 21.78-29.31 cmol/kg dan 23.17-29.70 cmol/kg. Nilai KTK rendah pada horison A dan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Rendahnya nilai KTK pada horison A akibat adanya sejumlah mineral amorf yang inakif akibat terjadinya kondisi kering tak balik. Sementara itu, nilai KTK efektif pada tanah di lahan perkebunan teh berkisar antara 6.41-1.68 cmol/kg sedangkan tren nilai KTK efektif relatif tidak beraturan pada tiap profilnya.

Nilai ∆KTK umumnya rendah pada horison A. Hal ini akibat adanya kondisi kering tak balik yang menyebabkan muatan variabel menjadi lebih rendah. Profil T-3 memiliki nilai KTK yang nilainya relatif sama antara horison A dengan horison di bawahnya. Hal ini berkaitan dengan nilai intensitas kering tak balik yang memiliki pola yang sama dengan nilai ∆KTK.

(41)

sebelumnya. kadar K-dd pada profil T-1 dan T-2 berkisar antara 0.16-0.04 cmolc/kg sedangkan pada profil T-3 berkisar antara 0.4-1.06 cmolc/kg. Nilai Na-dd pada profil T-1 dan T-2 berkisar antara 0.18-0.09 cmolc/kg, sedangkan pada profil T-3 berkisar antara 0.55- 0.21cmolc/kg. ∆KTK pada semua profil berkisar 18.32-27.63 dengan tren meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Hal ini akibat terjadinya intensitas kering tak balik pada sebagian tanah terutama di horison A (Gambar 27).

Tabel 10. Kadar basa-basa, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa pada tanah di lahan perkebunan teh Na-dd relatif tidak jauh berbeda pada setiap horisonnya. Sedangkan untuk sebaran nilai K-dd menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Urutan nilai basa-basa dapat ditukar dari mulai yang paling tinggi antara lain Ca>Mg>Na>K. Secara umum kadar basa-basa Mg, K, dan Na nilainya <0.60 cmol/kg sedangkan nilai Ca >1.00 cmolc/kg.

P dan K Total, Retensi fosfat, dan Selective dissolution

Nilai P-total (ekstrak HCl 25%) nilainya hampir sebanding atau tidak memiliki selang variasi nilai yang lebar (Tabel Lampiran 6). Profil T-1 kadar P-totalnya berkisar antara 302-331 mg/kg, profil T-2 berkisar antara 352-463 mg/kg, dan 262-280 mg/kg untuk profil T-3. Nilai P total ketiga profil berkisar antara 262-463 mg/kg. Profil 3 dijumpai nilai P total <300 mg/kg, sedangkan profil T-1 dan T-2 dijumpai nilai P total >300 mg/kg. Bila secara rata-rata diurutkan dari nilai paling tinggi adalah profil T2 > T1 > T3.

(42)

26

Lampiran 14). Kadar K total pada profil T-1 dan T2 memiliki nilai <100 mg/kg, sedangkan profil T-3 memiliki nilai >100 mg/kg, meskipun terdapat nilai <100 mg/kg pada horison Ab.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel Lampiran 14, nilai retensi fosfat pada tanah di lahan pekebunan teh tergolong sangat tinggi (94-98%). Hal ini menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki kemampuan untuk mengikat P dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman cukup tinggi. Tingginya retensi fosfat tersebut merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa tanah memiliki kekurangan unsur P tersedia bagi tanaman.

Data hasil analisis Al, Fe, dan Si dengan menggunakan ekstrak asam oksalat (selective dissolution) tanah pada lahan perkebunan teh disajikan pada Tabel Lampiran 14. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa ketiga profil tersebut memiliki Al (Alo), Fe (Feo), dan Si (Sio) yang tinggi. Secara berturut-turut nilai Alo, Feo, dan Sio ketiga profil berkisar antara 2.28-3.85%, 1.43-1.93%, dan 1.83-3.44%. Kadar alofan berdasarkan pendekatan kadar Sio x 7.1 (Parfitt dan Henmi, 1982) berada pada kisaran 13-24%. Jumlah alofan tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah.

Menurut Arifin (1994), akumulasi bahan organik yang tinggi pada tanah Andisol dapat menekan pembentukan short range order minerals (alofan, imogolit, dan ferihidrit) dengan terbentuknya senyawa ikatan kompleks Al- dan Fe-humus. Kadar short ordered minerals horison permukaan umumnya lebih rendah dibandingkan horison di bawahnya (Gambar 13).

Gambar 13. Hubungan Alofan vs C-organik

3.1.2.4. Sifat Mineralogi Tanah pada Penggunaan Lahan Perkebunan Teh

Mineral Pasir

(43)

Tabel 11. Frekuensi mineral fraksi pasir pada tanah di lahan perkebunan teh

Keterangan : op=opak, lmt=limonit, zt=zeolite, hd=hidrargilit, lm=lapukan mineral, fb=fragmen batuan, lb=labradorit, bn=bitownit, hh=hornblende hijau, ag=augit, hp=hipersten, ep=epidotit, tml=turmalin

Tabel 12 menunjukkan jumlah mineral mudah lapuk (MML), mineral hasil lapukan (MHL) dan mineral sukar lapuk. Jumlah MML pada tanah di lahan perkebunan teh sangat dominan akan tetapi tidak sebesar niali MML pada tanah di lahan hutan sekunder. Tingginya MML menunjukkan bahwa tahap pelapukan ketiga profil tanah di lahan perkebunan teh berada pada tahap Viril. Dominannya mineral primer mudah lapuk tesebut menunjukkan bahwa karakteristik bahan induk tanah pada lahan perkebunan teh ini berasal dari hasil aktivitas volkan dan masih berumur relatif muda secara umur geologi.

Tabel 12. Kandungan mineral mudah lapuk, mineral hasil lapukan , dan mineral sukar lapuk pada tanah di perkebunan teh

No Horison Mineral Mudah Lapuk Mineral Hasil Lapukan Mineral Sukar Lapuk

1 Profil T-1

Keterangan ; MML: zeolite, hidrargilit, fragmen batuan, labradorit, bitownit, hornblende hijau, augit, hipersten, epidotit, turmalin; MHL: limonit, lm=lapukan mineral; MSL: opak

Dari aspek kesuburannya, tanah-tanah pada lahan perkebunan teh ini masih memiliki tingkat kesuburan yang relatif masih tinggi yang disebabkan adanya mineral mudah lapuk yang kaya akan unsur hara. Dari segi perbedaan jumlah mineral antara horison A dan Bt tidak terlihat perbedaan yang mencolok. Hal ini menandakan bahwa keberadaan mineral primer pada horison Ap masih tetap terjaga walaupun sudah mengalami pengolahan.

Mineral Klei

(44)

28

difraktogram ditampilkan pada Gambar 14. Secara umum tidak ditemukan mineral klei yang memiliki puncak yang tajam dengan intensitas tinggi. Hal ini dapat dilihat pada pos 0-2 theta yang menunjukkan adanya puncak dari mineral klei. Pola demikian menunjukkan bahwa tanah tersebut didominasi oleh mineral non kristalin (amorf) berupa alofan.

Gambar 14. Difraktogram XRD dari klei tanah dengan penjenuhan Mg2+ pada profil tanah di lahan perkebunan teh

(45)

3.1.2.5 Klasifikasi Tanah pada Lahan Perkebunan Teh Berdasarkan sebagian atau seluruh horison memiliki kejenuhan basa <50 % (ekstrak NH4Oac) dan kadar C-organik >0.6 %. Pada ketiga profil dijumpai adanya peningkatan klei yang memenuhi kriteria horison argilik (Bt).

Tabel 13. Klasifikasi tanah pada lahan perkebunan teh berdasarkan Taksonomi Tanah USDA

No. Profil Epipedon Horison penciri bawah Subgrup 1. T-1 Umbrik Argilik Ultic Hapludands 2. T-2 Umbrik Argilik Ultic Hapludands 3. T-3 Umbrik Argilik Ultic Hapludands

Kriteria dalam menentukan sifat andik antara lain memiliki persentase jumlah Alumunium ditambah ½ besi (ekstrak ammonium oksalat) 2 % atau lebih, bobot isi <0.90 g/cm3, dan retensi fosfat >85%. Berdasarkan kriteria tersebut maka ketiga profil tanah di lahan perkebunan teh diklasifikasikan sebagai Andisol pada kategori order. Hal ini dikarenakan tanah tersebut memiliki sifat andik pada kedalaman 60 cm dari permukaan.

Ketiga profil memiliki regim kelembaban udik, karena tidak mengalami kering selama 90 hari secara kumulatif dalam satu tahun. Oleh karena itu, pada kategori suborder, ketiga tanah ini diklasifikasikan sebagai Udands. Pada kategori

greatgroup, ketiga profil (T-1, T-2, dan T-3) diklasifikasikan ke dalam Hapludands karena tidak memiliki ciri lain yang spesifik. Pada kategori subgrup, terdapat peningkatan klei yang memenuhi syarat sebagai horison argilik pada kedalaman 30 cm di profil T-1, pada kedalaman 50 cm di profil T2, dan pada kedalaman 25 cm di profil T-3 sehingga diklasifikasikan sebagai Ultic Hapludands.

3.1.3 Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Penggunaan Lahan Budidaya Sayuran

3.1.3.1 Sifat Morfologi Tanah pada Penggunaan Lahan Budidaya Sayuran

Tiga profil tanah Andisol pada penggunaan lahan budidaya sayuran telah diamati dan dianalisis yaitu profil S-1, S-2, dan S-3. Ketiga profil tersebut berada pada kisaran ketinggian 1441-1525 m dpl. Hasil deskripsi tiga profil ini disajikan pada Tabel lampiran 7, 8, 9, dan 10.

(46)

30

cm). Kedalaman solum tanah yang kurang dari 102 cm ini salah satunya disebabkan akibat kegiatan leveling lahan untuk membuat areal budidaya. Hal tersebut tampak dari kondisi bentuk lahan yang berteras-teras sehingga secara tidak langsung menyebabkan proses pendangkalan terhadap solum tanahnya. Profil S-2 dijumpai adanya horison terkubur (Ab) yang terindikasi dari peningkatan karbon organik dan distribusi ukuran partikelnya. Profil S-2 dijumpai sekuen horison A/Bw/Ab/Bwb sedangkan profil S-1 dan S-3 dijumpai sekuen horison A/AB/Bw. Kehadiran sekuen horison tersebut menandakan bahwa tanah tersebut secara umum berumur relatif muda (Yatno dan Zauyah, 2005).

Warna tanah dari profil-profil pewakil tidak menunjukkan gradasi warna yang berbeda. Warna tanahnya berkisar antara coklat (10YR 2/1) hingga coklat gelap kekuningan (10YR 4/6). Meskipun warna tanahnya sama akan tetapi pada horison permukaan nilai value dan chromanya selalu lebih rendah bila dibandingkan dengan horison di bawahnya. Selain itu, perubahan warna tanahnya terlihat berangsur.

Tekstur tanah pada ketiga profil tersebut berada kisaran lom, lom berdebu, serta lom klei berdebu. Struktur tanah pada horison A ketiga profil didominasi oleh struktur tanah granular dengan konsistensi lepas dan struktur tanah gumpal membulat dengan konsistensi gembur untuk horison B. Struktur granular pada pada horison A akibat proses pengolahan tanah sehingga strukturnya menjadi hancur dan terlepas dari agregat tanahnya.

3.1.3.2 Sifat Fisik Tanah pada Penggunaan Lahan Budidaya Sayuran

Distribusi ukuran partikel tanah pada penggunaan lahan budidaya sayuran didominasi oleh fraksi debu (Tabel 14 dan Gambar 15). Persentase debu berkisar antara 56-62% pada profil S-1, 40-49% pada profil S-2, dan 55-67% pada profil S-3. Profil S-1 didominasi kelas tekstur lom berdebu, profil S-2 dijumpai kelas tekstur lom pada horison A dan B serta lom klei berdebu pada horison terkuburnya. Profil S-3 didominasi oleh tekstur lom berdebu. Menurut Breemen dan Buurman (2003), alofan, imogolit, ferihidrit dan bahan organik tanah mempunyai unit dasar yang sangat kecil. Akan tetapi mereka sangat kuat berkelompok dalam klei membentuk ukuran debu.

Gambar 15 menunjukkan bahwa pada profil S-1 dan S-3 distribusi ukuran partikel debu paling tinggi dibandingkan dengan 2 fraksi lainnya, sedangkan pada horison H-2 fraksi pasir dan debu mendominasi pada horison A. Kelas tekstur ketiga profil pada lahan budidaya sayuran tergolong sedang hingga agak halus.

Gambar

Tabel 4.  Basa dapat dipertukarkan, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa pada tanah di bawah tegakan hutan sekunder
Gambar 7.  Difraktogram XRD dari klei tanah dengan penjenuhan Mg 2+ pada
Gambar 9. Intensitas kering tak balik tanah di lahan budidaya perkebunan teh
Gambar 11. Kadar C-organik tanah di lahan perkebunan menurut kedalaman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian lapangan ini bersifat kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, data yang telah di dapat

diperoleh ekstrak gambir dengan kadar katekin sesuai atau di atas standar Farmakope Herbal Indonesia, maka kandungan kuersetin di dalamnya akan lebih sedikit,

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 presiden Republik Indonesia bertugas: (a) Menjalankan Undang- Undang Dasar 1945, (b) Menjalankan garis-garis besar haluan Negara, dan

Kerusakan sekunder tim'ul 'e'erapa aktu setelah trauma men&amp;usul kerusakan primer. Dapat di'agi men%adi pen&amp;e'a' sistemik dari intrakranial. Dari 'er'agai gangguan

Membuat kesimpulan diagnosis penyakit-penyakit dengan lemah separuh badan yang tidak disertai dengan peninggian tekanan intrakranial.. Membuat kesimpulan diagnosis

Rancangan basis data pada sistem aplikasi Apotek ini meliputi beberapa entitas diantaranya entitas pegawai, obat, supplier, dan pembelil. Pegawai merupakan entitas

Namun frekuensi kata yang dibutuhkan saat proses stemming pada tiap dokumen juga berpengaruh terhadap waktu praproses, sehingga waktu praproses pada tiap dokumen

Walaupun untuk mengoptimalkan sifat logam itu sendiri, kebanyakan dari logam yang biasa digunakan adalah campuran dari dua atau lebih unsur logam atau pada  beberapa keadaan,