(Studi Kasus di Vihara Dhammacakka Jaya Jakarta)
Disusun Oleh:
Kiki Agustini NIM : 105032101042
PROGRAM STUDI JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
karunia-Nya.Sehingga penulis sapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
sebagai tugas penulis yang terakhir.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha untuk menempatkan
skripsi ini sebagai sebuah karya tulis yang bermutu sebagaimana yang diharapkan
bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, oleh sebab itu maka penulis dengan
segala kerendahan hatimengajukan karya tulis ini unutuk ditelaah sebagaimana
mestinya.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun
materil dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada :
1. My mother and My Father, juga seluruh keluargaku atas segala kasih
sayang, dukungan moral dan juga bantuan material yang telah diberikan
selama ini.
2. Bapak Drs. Roswen Ja’far selaku dosen pembimbingyang penulis hormati
yang telah memberikan koreksi dan masukan yang positif bagi penulis.
3. Bapak Dr. H. M Amin Nurdin, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin. Ibu Dra.
Ida Rosyidah M.A, Ketua jurusan Perbandingan Agama, dan Bapak
Maulana M.A, Sekertaris Jurusan, yang telah memberikan bantuan berupa
nasihat dan motivasi kepada penulis, juga kepada seluruh dosen yang telah
memberikan ilmu kepada penulis selama masa kuliah.
5. Kepada Bante Adhirattano, Bante Sudarsano selaku bhikku Vihara
Dhammacakka Jaya, yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk
memberikan pengarahan dan nasehat kepada penukis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-temanku Imas, Iis, Lian, Titis, Guntur, Fikri, Samsul, Wahyu,
Ulum, Deliat, Lukman, Wasil, Radir atas hari-hari yang telah dilalui
bersama selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pihak yang
tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa
persahabatan serta solidaritas.
7. Terimakasih untuk orang-orang yang pernah mengisi hatiku
8. Terimakasih untuk temanku yang baik hati ”Endy Smile” yang bayak
membantu dalam penulisan skripsi ini.
Atas bantuan mereka semua, penulis mengucapkan terimakasih, semoga
Alllah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan yang sudah diberikan
kepada penulis khusnya dan umumnya bagi masyarakat.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 1 Mei 2010
Penulis
Kiki Agustini
Daftar Isi ... iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ...6
C. Tujuan Penelitian ...7
D. Metode Penelitian ...8
E. Sistematika Penulisan ...9
BAB II ALAM MENURUT KONSEP AGAMA BUDHA A. Pengertian Alam Kehidupan ...11
B. Alam Kehidupan Indrawi (kamaloka) ...14
C. 16 Alam Bentuk (rupaloka) ...23
D. Alam Tanpa Bentuk (arupaloka) ...26
BAB III GAMBARAN UMUM VIHARA DHAMMACAKKA JAYA A. Pengertian Vihara ...27
B. Latar Belakang Vihara Dhammacakka Jaya ...28
C. Etika Masuk Vihara ...32
D. Peran Dan Fungsi Vihara ...34
iv
A. Aneka Ragam Bencana Alam ...38
B. Faktor-Faktor Timbulnya Bencana Alam ...42
C. Pencegahan Bencana Alam ...56
D. Solusi Untuk Mengatasi Bencana Alam ...58
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...62
B. Saran-Saran ...64
DAFTAR PUSTAKA ...65
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini, banyak terjadi bencana-bencana yang
menimpa negeri ini. Termasuk bencana alam, banjir, tanah longsor serta
bencana-bencana lainnya yang banyak menimbulkan korban nyawa maupun harta benda.
Maka dari itu perlu diketahui apa faktor-faktor penyebab terjadinya bencana alam
yang sering terjadi. Ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu
karena faktor manusia yang tidak bisa menjaga serta melestarikan alam tersebut,
ada pula yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu karena memang
faktor alam itu sendiri.
Zaman kekacauan terutama timbul karena krisis moral. Zaman itu
mungkin pula berhubungan dengan bencana alam, seperti banjir, kebakaran hutan,
meletusnya gunung merapi, gagalnya panen, kelaparan dan wabah penyakit1
Jika seseorang itu jahat dan keji, hidup dengan menentang hukum alam
semesta, tindakan, kata-kata dan pemikirannya akan mengotori atmosfer. Pelecehan terhadap alam tidak akan memberikan orang tersebut apa yang
dibutuhkannya, sebaliknya perpecahan, pertengkaran, konflik, epidemi dan
kemalangan akan menimpanya.2
Memang ada hukum alam yang dipandang secara umum seperti hujan
turun karena proses air laut atau air sungai yang menguap karena panas matahari
1
Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha-Dharma (Jakarta: Yayasan Buddha Dharma: 2003), cet ke-1, h. 278-279.
2
lalu menggumpal menjadi gumpalan awan dan akibatnya turun hujan. Juga
dengan gempa bumi dan tsunami menurut proses ilmu meteorology dan geofisika
ialah terjadinya pergeseran lempengan tanah di dasar lautan fasifik, juga dengan
BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) ketika menyatakan bahwa gunung
berapi sudah aman dan begitu statusnya diturunkan menjadi siaga tiba tiba
paginya gunung merapi itu mengeluarkan semburan debu panas sampai 200
derajat Celsius, yang akhirnya menelan korban, ha ini membuktikan bahwa
keahlian apapun yang dimiliki manusia belum 100% menjamin.3
Hidup di tempat yang sesuai alam dan lingkungannya dapat mendatangkan
kebaikan bahkan jauh dari bencana serta bahaya. Maka dari itu berada di
lingkungan apapun itu dapat mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Apabila
kita berada dilingkungan baik, kita terhindar dari bahaya dan bencana sebaliknya
pula jika kita berada di tempat atau dilingkungan buruk akan mudah terkena
bencana ataupun bahaya.
Tempat yang sesuai yang dimaksudkan adalah daerah dimana orang dapat
hidup dengan aman dan tentram, tempat tinggal yang menyenangkan, konstruksi
perumahan yang baik dan tidak mudah ambruk, kelihatan teratur, bersih dan
terawat dengan baik. Memiliki tetangga yang baik dan didaerah itu banyak orang
yang suka berbuat kebajikan yang dipuji orang bijaksana.
Sebaliknya, berdiam di daerah yang penduduknya suka bertengkar dan berbuat
kerusuhan, pemerintah yang sewenang-wenang dan korupi daerah yang sering
dilanda banjir, kelaparan, gempa, dan wabah penyakit:daerah dimana suasananya
3
penuh dengan kebencian-kebencian dan saling mencurugai;tidak dapat kebebasan
berfikir dan berkarya ditekan. Ringkasnya mencakup daerah yang memiliki
banyak unsur-unsur dan kondisi-kondisi yang merintangi pelaksanaan Dharma,
moral dan spiritualdan tidak konduksif untuk kesejahteraan social, adalah tempat
tinggal yang tidak sesuai.4
Perlu diketahui pula bahwa bumi ini tidak hanya sekedar tempat untuk
berpijak makhluk-makhluk Tuhan saja, namun di samping itu bumi ini memiliki
tahap periode mulai dari periode destruksi hingga periode statis.
Dalam suatu siklus tiap masa dunia ditandai oleh empat periode evolusi,
yaitu : (1) periode destruksi/ penghancuran (sanvatta-kappa), (2) periode pemadaman/ kegelapan (sanvattatthayi-kappa), (3) periode pembentukan ( vivatta-kappa), (4) periode statis (vivattatthayi-kappa).5 Maka di sinilah tergambar bahwasanya bumi ini tidak bersifat kekal, di samping itu banyak sekali contoh
lain yang menandakan bahwa bumi itu tidak kekal. Misalnya saja seperti yang saat
ini sedang melanda di Negara kita yaitu gempa bumi, tanah longsor, banjir hingga
banyak memakan korban nyawa serta harta benda. Itulah sifat bumi ini.
Manusia penganut agama memegang doktrin dan prinsip kepercayaan
bahwa (Tuhan)/Allah menciptakan dan mengatur manusia dan hewan serta seisi
dunia dan alam semesta ini. Hidup dan matinya manusia juga ada di tangan
Tuhan/Allah, tak ada seorang manusia pun yang berhak mengambil nyawa orang
lain, kecuali (Tuhan)/Allah. Kalau begitu, logikanya gempa bumi, bencana alam
4
Pandita Dhammavisarada, Drs. Teja S.M.Rashid, Sila Dan Vinaya (Jakarta: Buddhis BODHI: 1997), H. 69-70.
5
dan musibah serta perang pembantaian manusia sudah diatur oleh Allah/Tuhan?
Doktrin atau prinsip agama ini tidak boleh dirubah dan tak ada yang berani
melanggar atau mengkritik, jika ada yang berani mengkritik atau merubah doktrin
atau prinsip agama itu, maka risikonya ialah pasti hidupnya terancam.6
Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana itu karena faktor
manusia ciptaan-Nya yang tidak menjaga dan memelihara alam ini dengan baik,
dan di sisi lain ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu, memang
keadaan alam yang menyeabkan bencana itu terjadi.
Alam ini perlu dijaga serta di pelihara agar dapat terhindar dari bencana
ataupun bahaya yang nantinya akan melanda manusia serta makhluk hidup
lainnya. Dan jangan pernah beranggapan bahwa alam itu tidak memiliki hukum,
sehingga manusia dapat semena-mena melakukan hal apapun tanpa memikirkan
bahaya serta bencananya.
Menurut ajaran Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari
sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut
sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak
timbul, lenyap, dan berubah. Sinonim dari dengan sanghata adalah sankhara yaitu
saling bergantungan, sesuatu yang timbul dari sebab yang mendahuluinya.7
Hukum alam yang berarti alam sudah tidak mau lagi menghargai manusia
lagi yang sudah terlalu kotor dengan perbuatan jahatnya. Meskipun alam tidak
punya jaksa, pengacara dan hakim namun nyatanya alam masih mampu
6
Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 dari Sudhammacaro.blogspot.com/.../tuhan-allah-yang-mengatur-gempa-bumi.html
7
menghukum manusia yang jahat, karena biasanya kejahatan manusia kadang
masih bisa lolos dari kejaran polisi, lolos dari hokum pengadilan. Maka selain
hokum manusia, alam akan tetap menunggu waktunya. Jika sudah sampai
waktunya alam akan bekerja menghukum manusia dengan gempa bumi, tsunami,
badai, topan, tanah longsor,banjir, kebakaran.8 Dan bencana yang terjadi bukan
hanya saat ini saja, akan tetapi masa lalu pun pernah terjadi bencana di
mana-mana. Maka dari itu di samping sebagai makhluk ciptaan Tuhan bukan saja hanya
diciptakan di bumi ini, akan tetapi mempunyai tugas untuk menjaga, memelihara
alam ini.
Menghadapi bencana alam yang terjadi di negara kita secara berturut turut
selama beberapa tahun terakhir ini , sebagian kalangan mulai mempertanyakannya
apakah terjadinya gempa (bencana) yang mengakibatkannya banyak korban
tewas, berarti bahwa “memang mereka (para korban bencana tersebut) memiliki
karma.9
Jika manusia sudah tidak lagi dapat menjaga serta memeliharaalam
kehidupan, maka bencana akan terjadi dimana-mana. Alam kehidupan adalah
tempat berdiamnya makhluk-makhluk.10
Itulah gambaran bahwasanya bencana dapat terjadi di mana-mana. Dan
terjadinya bencana itu dapat disebabkan karena manusia yang tidak dapat
memelihara dan menjaga alam ini, sehingga karma buruk pun melanda manusia
8
Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-archive.com/...com/msg05607.html
9
Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://www.beliefnet.com/sdtory/158/story-15871-1.html).
10
yang melanggar hukum alam. Penulis ingin mengetahui mengenai bencana alam
menurut Budhisme yang tersebut dalam sebuah skripsi penelitian yang berjudul
”Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha (Studi kasus Di Vihara
Dhammacakka Jakarta).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Bencana alam Menurut ajaran Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan
yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena
itu ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap, dan berubah. Sinonim dari dengan sanghata
adalah sankhara yaitu saling bergantungan, sesuatu yang timbul dari sebab yang
mendahuluinya.11
Hukum alam yang berarti alam menghukum manusia, karena alam sudah
tidak mau lagi menghargai manusia lagi yang sudah terlalu kotor dengan
perbuatan jahatnya. Meskipun alam tidak punya jaksa, pengacara dan hakim
namun nyatanya alam masih mampu menghukum manusia yang jahat, karena
biasanya kejahatan manusia kadang masih bisa lolos dari kejaran polisi, lolos dari
hokum pengadilan. Maka selain hokum manusia, alam akan tetap menunggu
waktunya. Jika sudah sampai waktunya alam akan bekerja menghukum manusia
dengan gempa bumi, tsunami, badai, topan, tanah longsor,banjir, kebakaran.12
Dan bencana yang terjadi bukan hanya saat ini saja, akan tetapi masa lalu pun
pernah terjadi bencana dimana-mana. Maka dari itu disamping sebagai makhluk
11
H.A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), H.121.
12
ciptaan Tuhan bukan saja hanya diciptakan di bumi ini, akan tetapi mempunyai
tugas untuk menjaga, memelihara alam ini.
Dengan melihat latar belakang di atas, maka penulis dalam skripsi ini
membahas bencana alam dalam keyakinan agama Buddha dengan perumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Bencana Alam bisa terjadi pada manusia ?
2. Bagaimanakah cara menjaga bumi ini agar terjaga dari bencana alam?
3. Bagaimana Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha
(studi kasus Di Vihara Dhammacakka Jakarta)”.
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengangkat topik Bencana Alam Dalam Keyakinan Agama
Buddha di Vihara Dhamaccaka Jakarta, diharapkan sikap individu atau sesorang
dapat mengetahui hakekat bencana yang terjadi di sekitar kita hingga setiap orang
tak perlu lagi berburuk sangka dan berduka lara terhadap bencana yang terjadi. di
samping tujuan umum dalam penulisan dalam skripsi ini diantaranya :
1. Agar penulis dapat menerapkan ilmu yang didapat dan mempraktekkan pada
permasalahan yang ada.
2. Untuk mengungkap hakekat bencana alam yang terjadi disekitar kita.
3. Sebagai sumbangan pemikiran tentang bencana alam dalam keyakinan
agamaBuddha.
4. Sebagai pengkaji agama-agama, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
dijadikan perbandingan manakala meneliti agama Buddha yang memiliki
ajaran yang berbeda-beda dengan ajaran agama lain.
5. Secara formal akademik, penelitian ini bertujuan untuk menjadi laporan
ilmiah, yang merupakan salah satu syarat untuk melengkapi gelar sarjana pada
program Strata Satu (S1).
D. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis, deskriptif
adalah pemaparan suatu (seperti istilah) dengan kata-kata secara jelas dan
terperinci.13 Sedangkan analisis adalah penyelidikan terhadapat suatu peristiwa
untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab atau duduk
perkaranya).14 Pengertian analisis juga berarti memecahkan atau menguraikan
suatu keadaan ataui masalah keadaan beberapa bagian atau dibandingkan dengan
yang lain.15 Jadi deskriptif analisis adalah pemaparan yang jelas dari fakta yang
ada. Dari definisi di atas, metode deskriptif analisis berarti sebuah cara atau teknik
penelitian dengan menggambarkan suatu pengetahuan dengan tulisan atau pun
ucapan dan kemudian membaginya ke dalam beberapa bagian untuk lebih
lanjutnya diadakan penyelidikan kritis dan pengujian untuk mendapatkan hasil
yang benar.
Di dalam pengumpulan data skripsi ini, penulis menggunakan dua metode yaitu :
13
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2006),h.288.
14
Ananda Santoso, dan A.R. Al-Hanif, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Surabaya : Alumni,t.t),h.22.
15
Artikel diakses pada tanggal 25 Februari 2010
1. Penelitian Kepustakaan (library Research)
Dengan metode ini penulis menghimpun, membaca, meneliti dan mengkaji
beberapa literaturyang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas,
seperti buku-buku, majalah-majalah, internet dan tulisan-tulisan lain yang
ada hubungan dengan skripsi ini.
2. Penelitian Lapangan
Dengan metode ini penulis lakukan untuk memperkuat data-data yang telah
didapat. Penulis menggunakan teknik interview atau wawancara langsung dengan bikkhu Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (VJDJ), yaitu dengan
cara mengadakan tanya jawab mengenai masalah penelitian. Teknik lainnya
adalah pengamatan langsung (observasi) terhadap obyek penelitian khusus, dengan demikian penulis mendapatkan informasi secara langsung, akurat
dan benar.
Dalam tata cara penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada
ketentuan-ketentuandan petunjuk yang ditetapkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yaitu : Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan, maka penulisa membagi skripsi ini
menjadi lima bab dan setiap babnya dibagi lagi atas sub bab. Adapun sistemtika
BAB I Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian.
BAB II Menjelaskan tentang alam dalam konsep agama Buddha, yang
dirumuskan ke dalam tiga puluh satu alam kehidupan dan dibagi ke
dalam tiga bagian yaitu : Kamaloka, Rupaloka, Arupaloka
BAB III Menjelaskan pengertian Vihara, latar belakang dari Vihara
Dhammacakka, etika masuk Vihara, serta peran dan fungsi Vihara.
BAB IV Merupakan inti dari skripsi ini tentang keyainan agama Buddha
terhadap bencana alam dalam perspektif bhikku di Vihara
Dhammacakka, aneka ragam bencana alam, factor-faktor timbulnya
bencana alam, pencegahan bencana alam menurut keyakinan agama
Buddha, serta solusi untuk mengatasi bencana alam
BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dalam pokok
BAB II
ALAM MENURUT KONSEP AJARAN BUDDHA
A. Pengertian Alam Kehidupan
Dalam bahasa Pali, alam semesta disebut loka. Loka bukanlah perkataan yang sudah tertentu pemakaiaannya, tetapi meliputi materiel (rupa) dan imateriel
(arupa), dan pengertiaannya sangat tergantung pada pemakaiannya. Namun pengertian yang pokok tidak terlepas dari ajaran Buddha, yaitu sesuatu yang
terbentuk dari sebab yang mendahuluinya dan tidak kekal. Menurut ajaran
Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang
mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut sankhata dharma
yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan
berubah. Sinonim dengan sankhata adalah sankhara yaitu saling bergantung, sesuatu yang timbul dari sebab yang mendahuluinya.
Menurut pandangan Agama Buddha, bumi kita ini merupakan salah satu
titik kecil saja di alam semesta, dan bumi bukan merupakan satu satunya tempat
kehidupan makhluk. Juga bukan hanya manusia dan binatang yang merupakan
makhluk yang hidup di bumi ini. Jumlah bumi di alam semesta ini banyak sekali,
di setiap bumi ada manusia dan makhluk-makhluk lain yang hidup di situ.1
Menurut pandanga Buddhisme bahwa bumi ini merupakan satu titik yang kecil,
meskipun di dalamnya terdapat manusia, binatang dan makhluk-makhluk lainnya.
1
Gambaran alam semesta seperti yang diungkapkan oleh pengetahuan
modern sekarang ini sudah dikemukakan oleh Buddha, tanpa bantuan teleskop.
Dalam Abhibhu-sutta, Buddha menjelaskan, sejauh bulan dan matahari bergerak dalam garis edarnya dan sejauh pancaran sinarnyamencapai segala arah, sejauh
itulah luas system seribu tata surya alam semesta. Di dalamnya terdapat seribu
bulan, seribu matahari, seribu poros Sineru – gunung dari segala gunung, seribu
bumi Jambudipa, seribu Aparagoyana di Barat, seribu Uttara-kuru di utara, seribu
Pubbavideha di timur, empat ribu samedera raya, empat ribu Maharaja, seribu surga Catummaharajika, seribu seribu surga Tavatimsa, seribu surga Yama, seribu surga Tusita, seribu surga Nimmanarati, seribu surga Paranimmita-vasavatti, dan seribu alam Brahma. Ananda, inilah, yang dinamakan system dari seribu tata surya alam semesta kecil. Sebuah system kelipatan seribu dari ukuran
tersebut dinamakan sejuta tata surya alam semesta madya. Sebuah system
kelipatan seribu ukuran ini dinamakan semilyar tata surya alam semesta raya”
(A. I, 226)2
Hidup ini penuh dengan tantangan yang datang dari luar maupun dari
dalam. Namun bagaimanapun yang paling penting dalam menghadapi tantangan
ini adalah pengertian Budhisme tentang apa yang kita hadapi. Kita sendiri yang
harus menentukan sikap dan tindakan kitalah yang akan menentuka akhir dari
persoalan itu. Hidup ini bagi orang yang optimis, bagaikan dipenuhi oleh
kesenangan dan keindahan keindahan yang menakjubkan, sedangkan orang yang
pesimis hidup ini diliputi kesedihan dan kemurungan yang tiada hentinya. Tetapi
2
bagi seorang realis, hidup ini diliputi kesenangan, dan kesedihan yang muncul
silih berganti.3 Bagi orang selalu dalam hidupnya memiliki pandangan yang baik
dan optimis, maka hidupnya jarang bertemu dengan hal-hal yang menimbulkan
suatu yang negative, maka dari itu dalam menghadapi hidup ini bersikaplah yang optimis serta manjauhkan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Dengan
seperti itu biasa saja satu solusi terhindarnya dari bencana, karena selalu
melakukan hal yang baik-baik yang mendatangkan manfaat.
Pada setiap system cakrawala terdapat tiga puluh satu jenis alam kehidupan yang membentuk tiga kelompok alam, namanya Triloka. Kelompok pertama dinamakan kama-loka atau alam kehidupan indrawi, terdiri dari sebelas jenis alam, yaitu empat alam yang menyedihkan (apaya atau duggati) dan tujuh alam yang menyenagkan (sugati). Kelompok kedua, rupa-loka atau alam kehidupan dari Rupa-Brahma, terdiri dari enam belas jenis alam dengan kebahagiaan rupa-jhana, tanpa nafsu keinginan indra. Kelompok ketiga, arupa-loka atau alam kehidupan dari Arupa-Brahma, terdiri dari empat jenis alam sesuai dengan arupa-jhana.
Di alam-alam itu, para makhluk mengembara, mengalami siklus lahir dan
mati berulang-ulang sebelum berhasil mencapai nirwana.
“Ada tiga jenis penjelmaan, yaitu: penjelmaan di alam yang penuh nafsu ( kamma-bhava), penjelmaan di alam Rupa-Brahma (rupa-bhava) dan penjelmaan di alam Arupa-Brahma (arupa-bhava)” (M.I, 50).
3
Kelahiran dapat terjadi di alam yang lain. Ada 31 alam kehidupan yang
dapat menjadi tempat kelahiran (kembali) makhluk berdasarkan pada karma baik
atau buruk dari makhluk yang bersangkutan.
(31) Tiga puluh satu alam kehidupan itu adalah sebagai berikut: Kelompok
pertama terdiri dari sebelas jenis alam, yaitu empat alam yang menyedihkan
(apaya atau duggati) dan tujuh alam yang menyenagkan (sugati). Kelompok kedua, rupa-loka atau alam kehidupan dari Rupa-Brahma, terdiri dari enam belas jenis alam dengan kebahagiaan rupa-jhana, tanpa nafsu keinginan indra. Kelompok ketiga, arupa-loka atau alam kehidupan dari Arupa-Brahma, terdiri dari empat jenis alam sesuai dengan arupa-jhana.
B. Alam kehidupan indrawi (Kama-loka)
Kama-loka atau kama-bhumi terdiri dari 11 alam kehidupan yang masih senang dengan napsu birahi dan terikat dengan panca indra.4 Yang terbagi
menjadi dua bagian yaitu, 4 alam tak menyenagkan, dan tujuh alam yang
menyenangkan.
a. Empat alam tak menyenangkan (Duggati) yaitu:
1. Niraya
Niraya (ni+aya : tanpa kebahagiaan) alam menyedihkan, tempat makhluk-makhluk menerima dan mengalami hasil dari perbuatan karma buruk. Niraya
terkenal juga sebagai neraka, tetapi bukan merupakan alam yang kekal bagi
makhluk. Setelah kekuatan karma buruknya melemah maka makhluk itu
4
dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan sebagai
akibat dari karma baik mereka yang lampau.5
Nirayabhumi terbagi dalam tiga macam golongan kelompok alam, diantaranya yang disebut dengan : 1. Maha Naraka (Neraka Utama), 2. Neraka kecil (Ussadaniraya), 3. Lokantarika (neraka terpencil).
Maha naraka terbagi menjadi dua diantaranya : Asta Usana-Naraka (8 neraka panas atau 8 neraka besar) dan Asta Sitanaraka (8 neraka dingin).
Yang termasuk Asta Usana-Naraka diantaranya yaitu : Sajiva-Naraka, Kallasuta-Naraka, Sanghata-Naraka, Roruva-naraka, Maharoruva-naraka, Tapana-naraka, Mahatapana-naraka, Avici-naraka (Devadatta diam di alam
Avici-Naraka ini).6
Kemudian yang termasuk neraka dingin (Asta Sitanaraka) yaitu :
a. Aruba : karena dinginnya kulit tubuh sampai timbul gelembung-gelembung
b. Nirarbuda : karena semakin dingin, gelembung-gelembung pada kulit tubuh pecah-pecah.
c. Atata : karena terlalu dinginnya, hanya suara atata yang dapat dikeluarkan dari mulut yang bibirnya sudah membeku
d. Havava (apapa) : karena sangat dingin, hanya suara Havava atau Apapa yang dapat dikeluarkan dari mulutnya
e. Huhuva (hahadhara) : karena dinginnya bukan main, hanya suara Huvuvu yang dapat dikeluarkan dari mulutnya.
5
Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 91-92. 6
f. Utpala (nilotpala): karena dingin yang amat sangat, kulit tubuh memeku seperti pucuk-pucuk bunga teratai.
g. Padma : karena dinginnya bukan main, kulit tubuh membeku dan pecah-pecah seperti bunga terataimerah yang mekar-mekar.
h. Mahapadma : karena dinginnya luar biasa, kulit tubuh membeku dan pecah-pecah seperti bunga teratai merah besar yang mekar-mekar.7
Selanjutnya yang termasuk neraka kecil (Ussadaniraya) yang terdiri dari delapan kelompok alam : aogarakasu, loharasa, kukkula, aggisamohaka, lohakhumbi,
gutha, simpalivana, vettaraoi. Dan yang terakhir Lokantarika (neraka terpencil), neraka-neraka ini berada di gunung-gunung, hutan, di angkasa, atau di atas bumi
dan sebagainya, karena perbuatan masing-masingyang mengakibatkannya
demikian. Neraka-neraka ini tidak seperti 8 neraka panas dan 8 neraka dingin
yang mempunyai tempat tertentu.8
2. Tiracchana-Bhumi
Yang disebut Tiracchana-Bhumi (alam binatang), karena makhluk-makhluk yang berdiam di alam ini tidak mempunyai tempat yang khusus. Makhluk
binatang ini terbagi dua kelompok, yaitu :
1. kelompok binatang yang dapat dilihat dengan mata biasa.
2. kelompok binatang yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa
makhluk binatang yang berkaki terbagi 4 kelompok, yaitu :
7
Drs. Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Majlis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995-2538 B.E, h. 646.
8
1. Apadatiracchana : kelompok makhluk binatang yang tidak mempunyai kaki, seperti ular, ikan, cacing, dan lain-lain
2. Dvipadatiracchana : kelompok makhluk binatang yang mempunyai dua kaki, seperti ayam, bebek, burung, dan lain-lain
3. Catupadatiracchana: kelompok makhluk binatang yang mempunyai empat kaki, seperti kerbau, sapi, dan lain-lain.
4. Bahuppadatiracchana: kelompok makhluk binatang yang mempunyai banyak kaki, seperti ulat bulu, lipan dan lain-lain.9
3. Peta-Bhumi
Peta Bhumi yaitu makhluk yang tak merasakan kesenangan, makhluk di alam peta ini adalah setan atau “hantu”. Peta merupakan
makhluk-makhluk yang berbentuk tak sempurna, masingmasing dalam dalam keadaan
mereka yang tak sempurna dan berbeda-beda bentuk. Dalam Anguttara Nikaya II. Disebutkan bahwa ada tukang jagal yang terakhir menjadi peta. Uraian rinci tentang kehidupan di alam ini baca Petavathu.10
Dalam Dhamma Vibhaga apa yang disebut sebagai hantu-hantu tidak berbahagia atau kelaparan atau pitti biasanya dimaksudkan untuk menunjukan
para pembuat kejahatan yang tidak begitu berat ubtuk menjerumuskan mereka
ke dalam alam neraka. Tetapi mereka di anggap amat jelek dan cacat
bentuknya dan juga amat lapar serta menyedihkan. Macam makhluk yang
tidak terlihat ini kadang-kadang nampaknya juga tergantung pada dunia
9
Pandit Jinaratana Kaharuddin, Rampaian Dhamma (Jakarta : DPP PERVITUBI), H. 76. 10
manusia. Ini dapat dilihat dalam khotbah yang disebut : Tirokudda-sutta, di mana sanak keluarga raja Bimbisara dahulu, dikatakan sedang menantikan
pengorbanan persembahan-persembahan dari dunia iniuntuk menghilangkan
rasa lapar dan haus mereka. Dari komentar khotbah ini, nampaknya hantu-hantu kelaparan itu mempunyai alam-alam tertentu bagi mereka sendiri.
Adapun macam contoh yang disebutkan dalam khotbah tersebut yakni
Janusasoni merupakan salah satu contoh dari kenyataan ini. Dan juga disana disebutkan macam-macam hantu lain yang amat dekat berhubungan dengan
dunia manusia.11
Makhluk setan ini terbagi dari beberapa kelompok, diantaranya terdapat
kelompok setan yang disebut PETA-21 (yang tercantum dalam Kitab Suci
Vinaya dan Lakkhasanyutta) yaitu :
1. Atthisankhasika-Peta : setan yang mempunyai tulang bersambung, tetapi tidak mempunyai daging.
2. Mansapesika-Peta : setan yang mempunyai daging terpecah-pecah, tetapi tidak mempunyai tulang.
3. Mansapinada-Peta : setan yang mempunyai daging berkeping-keping. 4. Nicachaviparisa-Peta : setan yang tidak mempunyai kulit.
5. Asiloma-Peta : setan yang berbulu tajam.
6. Sattiloma-Peta : setan yang berbulu seperti tombak.
7. Usuloma-Peta : setan yang berbulu panjang seperti anak panah. 8. Suciloma-Peta : setan yang berbulu seperti jarum.
11
9. Dutiyasuciloma-Peta : setan yang berbulu seperti jarum jenis yang kedua. 10.Kumabhanda-Peta : setan yang mempunyai buah kemaluan yang sangat
besar.
11.Guthakupanimugga-Peta : setan yang bergelimangan dengan kotoran. 12.Guthakhadaka-Peta : setan yang makan kotoran.
13.Nicachavitaka-Peta : setan perempuan yang tidak mempunyai kulit. 14.Dugagandha-Peta : setan yang berbau sangat busuk.
15.Oligini-Peta : setan yang badannya seperti bara api. 16.Asisa-Peta : setan yang tidak mempunyai kepala. 17.Bikkhu-Peta : setan yang berbadan seperti Bhikkhu. 18.Bikkhuni-Peta : setan yang berbadan seperti bikkhuni.
19.Sikkhaman-Peta : setan yang berbadan seperti pelajar wanita/calon
bikkhuni.
20.Samaner-Peta : setan yang berbadan seperti samanera. 21.Samaneri-Peta : setan yang berbadan seperti samaneri.12
Dan disamping itu pula ada peta 4 dan peta 12, Peta 4 diantaranya :
1. Paradattupajivika-Peta : peta yang hidup berdasarkan dana dari orang lain.
2. Khupipasika-Peta : peta yang selalu lapardan haus. 3. Nijjhamatanhika-Peta : peta yang selalu haus. 4. Vantasika-Peta : peta yang hidup dari muntah.13
12
Pandit Jinaratana Kaharuddin, Rampaian Dhamma (Jakarta : DPP PERVITUBI), H.77-78. 13
Peta 12 diantaranya : vantasa-peta, kunapasa-Peta, guthakhadaka-Peta,
agijalamukha-Peta, sucimuja-Peta, tanhatika-Peta, sunijjhamaka-Peta,
sutanga-Peta, pabatanga-Peta, ajagaranga-Peta, vemanika-Peta,
mahidadhika-Peta.
4. Asurakaya-Bhumi
Asura, alam tempat setan Asura. Asura, secara harfiah, berarti makhluk yang tak bersinar. Asura merupakan makhluk yang tak bahagia seperti peta.14
Asura dapat disebut juga sebagai alam raksasa asura. Karena yang berdiam di alam ini jauh dari kemuliaan, kebebasan, dan kesenangan.
1. Deva-Asura : kelompok dewa yang disebut Asura. 2. Peta-Asura : kelompok setan yang disebut Asura. 3. Niraya-Asura : kelompok makhluk yang disebut Asura. 4. Abhibhu-sutta : alam yang menyedihkan
Abhibhu-sutta tidak menyebutkan nama alam-alam yang rendah tersendiri, lain dengan nama-nama surga. Alam binatang terdapat di bumi yang sama
dengan manusia. Begitu pun hantu tidak memiliki tempat kehidupan sendiri,
mereka tinggal di hutan-hutan, lingkungan yang kotor, dan lain-lain. Agaknya
keempat alam yang rendah ini dipandang tidak hanya sebagai tempat, tetapi
juga sebagian keadaan batin.15
b. Ketujuh alam yang menyenangkan adalah:
14
Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 93 15
1. Alam manusia (manussa), di tandai adanya penderitaan, juga kebahagiaan. Para boddhisattwa lebih memilih alam manusia, karena alam ini paling sesuai untuk mengabdi dan menyempurnakan paramita. Semua Buddha
dilahirkan sebagai manusia. Apa yang kita sebut sebagai bumi, adalah
jambudipa. Di jagat raya ini menurut kosmologi Buddhis terdapat banyak sekali bumi yang sejenis. Aparagoyana, uttarakuru, dan pubbavideha
diduga juga merupakan planet yang dihuni oleh makhluk sejenis
manusia.16
2. Surga Catummaharajika (alam empat raja dewa), karena di alam tersebut berdiam empat dewa raja yang bernama :
1. Davadhatarattha.
2. Davavirulaka.
3. Davavirupakkha.
4. Davakuvera.
Catummaharajika Bhumi terbagi 3 kelompok, yaitu :
a. Bhumamattha-Devata : para dewa yang berdiam di atas tanah. Seperti berdiam di gunung, sungai, laut, rumah, cetiya, vihara, dal
lain-lainnya.
b. Rukakhattha-Devata : para dewa yang berdiam di atas pohon. Dewa ini dibagi atas dua kelompok, yaitu kelompok Dewa yang mempunyai
kayangan di atas pohon, dan kelompok dewa yang tidak mempunyai
kayangan di atas pohon.
16
c. Akkassattha-Devata : para dewa yang berdiam di angkasa. Seperti berdiam di bulan, bintang, dan planet lainnya.
3. Surga Tavatimsa, (alam dari tiga puluh tiga dewa), karena dahulu kala ada sekelompok pria yang berjumlah 33 orang selalu bekerja sama dalam
berbuat kebaikan. Seperti sama membantu fakir miskin,
bersama-sama membangu vihara, dan lain-lainnya. Sewaktu mereka meninggal
dunia semuanya terlahir dalam satu alam, yang disebut Tavatimsa Bhumi
(alam tiga puluh tiga dewa).
4. Surga Yama, atau Yama-Bhumi (alam dewa Yama), karena para dewa yang berdiam di alam ini tebebas dari kepanasan hati: yang ada hanya
kesenangan dan kenikmatan.
5. Surga Tusita (alam kenikmatan), Karena para dewa yang berdiam di alam ini terbebas dari kepanasan hati, yang ada hanya kesenangan..
6. Surga Nimmanarati (alam dewa yang menikmati ciptaannya) karena para dewa yang berdiam di alam ini menikmati kesenangan panca-indriya hasil
ciptaannya.
7. Surga Paranimmita-vasavatti (alam dewa yang membantu menyempurnakan ciptan dari dewa-dewa lainnya), karena para dewa yang
berdiam di ala mini, di samping menikmati kesenangan panca-indriya dan
juga mampu membantu menyempurnakan ciptaan dari dewa-dewa
lainnya.17
17
Alam-alam, yaitu Catummaharajik, Tavatimsa, Yama, Surga Tusita,
Nimmanarati, Paranimmita-vasavatti, merupakan alam surga dari para dewa yang tubuh phisik mereka adalah lebih halus dan lebih bersih daripada tubuh
manusia. Tubuh para dewa tak dapat dilihat oleh mata phisik manusia biasa.
Makhluk di alam-alam surga ini pada suatau saat akan meninggal ”atau lenyap
dari alamnya masing-masing”. Walaupun kehidupan para dewa di alam surga
lebih menyenagkan atau melebihi alam kehidupan manusia, namun kesucian
dan kebijaksanaan belum tentu melampaui kesucian dan kebijaksaan
manusia.18
C. 16 Alam Bentuk(Rupa-loka)
Lebih tinggi dari alam kenikmatan indria ini adalah alam Brahma atau
Rupaloka (alam berbentuk) di mana makhluk-makhluk merasa senang karena kebahagiaan Jhana, yang dicapai dengan melepaskan nafsu keinginan indria.
Rupa-loka terdiri dari 16 alam menurut jhana atau kegembiraan yang luar biasa yang terlatih. Mereka adalah :
(a) Alam Jhana pertama :
1. Brahma Parisajja – alam dari para pengikut Brahma 2. Brahma Purohita – alam dari para mentri Brahma 3. Maha Brahma – alam dari para Brahma Yang Agung.
Yang tertinggi dari tiga pertama ini adalah Maha Brahma. Disebut
demikian karena penghuni dalam alam ini melebihi yang lain dalam
18
kebahagiaan, keindahan, dan batas usia karena kebahagiaan hakiki dari
perkembangan batin mereka.
(b) Alam Jhana kedua:
1. parittabhana- alam yang kurang brcahaya
2. appamanabhana – alam yang bercahayanya tak terbatas 3. abhassara – alam para brahma yang bersinar
(c) Alam Jhana ketiga :
1. parittasubha – alam para Brahma dengan sedikit cahaya
2. Appamanasubha – Alam para Brahma dengan cahaya tak terbatas 3. Subhakinha – alam para Brahma dengan cahaya yang tetap (d) Alam Jhana keempat :
1. Vehaphala – alam para Brahma dengan pahala yang besar 2. asannasatta – alam para makhluk tanpa pikiran
3. suddhavasa – tempat kediaman sejati yang lebih lanjut dibagi menjadi lima, yaitu :
a. Aviha – alam yang dapat bertahan lama b. Attapa – alam yang tentram
c. Sudassa – alam yang indah
d. Sudassi – alam dengan penglihatan tajam e. Akanittha – alam yang tertinggi
mengembangkan Jhana pertama dilahirkan di alam pertama, mereka yang yang
telah mengembangkan Jhana kedua dan ketiga dilahirkan di alam kedua: kereka
yang telah mengembangkan Jhana keempat dan kelima dilahirkan berturut-turut di
alam ketiga dan keempat.
Tingkat pertama tiap-tiap alam ditentukan untuk mereka yang telah
mengembangkan Jhana pada tingkat biasa, kedua bagi mereka yang telah
mengembangkan Jhana sampai suatu tingkat yang lebih tinggi, dan ketiga bagi
mereka yang telah mencapai suatu penguasaan yang lengkap terhadap
Jhana-Jhana.
Pada alam kesebelas, disebut Asannasatta, makhluk-makhluk dilahirkan tanpa suatu kesadaran. Di sini hanya terjadi suatu perubahan jasmaniyah yang
terus menerus. Pikiran untuk sementara waktu dihentikan ketika kekuatan Jhana
berlangsung. Biasanya pikiran jasmani tak dapat dipisahkan. Dengan kekuatan
meditasi kadang-kadang mungkin memisahkan jasmani dari pikiran seperti dalam
masalah khusus ini. Bila seorang Arahat mencapai Nirodha Samapatti untuk sementara waktu, kesadarannya berhenti untuk hidup. Kesadaran demikian
hamper tak dapat kita bayangkan. Tetapi mungkin hal-hal yang tak dapat
dibayangkan adalah keyataan yang sebenarnya.
Suddhavasa atau tempat tinggal yang sejati adalah alam khusus para Anagami atau Yang Tak Pernah Kembali. Makhluk biasa tidak dilahirkan dalam keadaan
tempat tinggal yang sejati ini. Kemudian mereka mancapai Arahat dan hidup di
Alam itu sampai masa hidup mereka berakhir.19
D. Alam Tanpa Bentuk (arupaloka)
Di samping alam bentuk (Rupaloka) ada alam tanpa bentuk (Arupaloka). Alam Arupa adalah alam tanpa jasmani. Dalam arupaloka tidak ada kelamin.
Alam ini dicapai setelah seseorang sukses dengan Rupa Jhana. Arupaloka terdiri empat alam, yaitu :
1. Akasanancayatana : alam ruang tanpa batas 2. Vinnanancayatana : alam kesadaran tanpa batas 3. Akincanacayatana : alam kekosongan
4. N’eva Sanna Nasannayatana : alam bukan ide maupun bukan tidak ada ide.
Makhluk-makhluk yang belum melenyapkan semua kekotoran batinnya
akan terlahir kembali di salah satu dari 31 alam berrdsarka pada perbuatannya.
Bagi para Arahat atau Buddha yang telah melenyapkan semua kekotoran bathin,
bila mereka meninggal dunia tidak akan terlahir kembali di salah satu dari 31
alam. Ketika para Arahat dan para Buddha meninggal, mereka parinibbhana atau
mencapai nirvana secara total.20
Seperti itulah pembahasan tentang alam menurut pandangan Buddha.
Bahwa alam itu terdiri dari beberapa bagian, dan dari bagian-bagian tersebut
terbagi lagi hingga beberapa penjelasan. Itulah pengertian alam menurut Buddha.
19
Alm. Ven.Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-nya BAGIAN II, Koord. Visakha Gunadharma. Jakarta: yayasan Dhammadipa Arama, 1992, hlm 132-134.
20
BAB III
GAMBARAN UMUM VIHARA DHAMMACAKKA JAYA
A. Pengertian Vihara
Vihara adalah tempat ibadah agama Buddha, kata vihara berasal dari
bahasa pali (bahasa India Kuno) yang berarri tempat tinggal atau tempat puja
bhakti. Vihara dapat juga diartikan sebagai biara Buddha atau tempat para
biarawan Budha. Vihara dapat juga di jabarkan sebagai suatu kompleks yang
terdiri dari :
1. Dhammasala adalah tempat puja bakti, upacara keagamaan dan pembabaran Dhamma (ajaran Sang Buddha). Di tempat ini umat buddha
melakukan puja bakti, upacara keagamaan dan mendengarkan pembabaran
Dhamma yang disamapaikan dan dipimpin oleh para bhikku, pandita dan
dhammaduta (umat yang menyampaikan dhamma). Tempat ini merupakan
tepat viharayang bersifat umum.
2. Uposathagara adalah gedung tempat uposatha (persamuan para Bikkhu) yang berfungsi sebagai tempat pentabisan bikkhu, tempat upacara
keagamaan, pembaca patimokkha, yaitu 227 peraturan kebikkhuan yang dilakukan setiap bulan gelap (tidak ada bulan) dan bulan terang (bulan
purnama), penyelesaian pelanggaran bikkhu dan penentuan hak dan
untuk umum hanya untuk para bikkhu, samanera dan pandita saja
meskipun tidak ada larangan untuk umat secara langsung.
3. Kuthi adalah tempat tinggal para bikkhu, bhikkuni (bikkhu wanita), samanera (calon bhikku) atau samneri (calon bhikkuni).
4. Bhavana Sabha (gedung meditasi) gedung ini digunakan para samanera dan bikkhu serta umat dalam latihan meditasi (Yayasan Dhammadipa
Arama, 1981 : 39-43).
Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa vihara adalah
tempat ibadah agama Buddha yang berupa kompleks, yang terdiri dari : Kuthi,
Dhammasala, Uphosathagala, Bhavana, Sabha. Selain sebagai tempat ibadah
dan tempat para bikkhu, vihara mempunyai fungsi kegiatan dan sebagai pusat
keagamaan.
B. Latar Belakang Vihara Dhammacakka Jaya
Pada saat Raja Bimbisara berniat untuk memberikan tempat penginapan
bagi Buddha Gotama dan para siswa-Nya, Buddha Gotama menyarankan agar tempat tersebut tidak terlalu jauh dari rumah/perkampungan penduduk, mudah
dikunjungi oleh umat, pada siang hari tidak terlalu berisik dan pada malam hari
agak sepi, tanpa keributan yang ditimbulkan oleh orang yang lalu-lalang, sesuai
untuk mereka yang menjalankan kehidupan sebagai petapa (samaa), serta sesuai untuk dijadikan tempat tinggal seorang Arahat Sammasambuddha. Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (VJDJ) didirikan pada saat umat Buddha di Indonesia
dapat memenuhi kebutuhan spiritual umat Buddha, juga sebagai pusat pembinaan dan pendidikan keagamaan bagi pembina umat maupun umat awam.
Pada saat umat Buddha melihat lokasi pembangunan vihar-vihara pada masa-masa awal, banyak di antara mereka yang heran dan terkejut. Memang
Buddha Gotama sendiri menganjurkan agar lokasi sebuah vihara sebaiknya di daerah yang tenang dan tidak berisik. Tetapi apakah mungkin daerah yang masih
dipenuhi alang-alang setinggi manusia serta rawa-rawa ini akan dikunjungi oleh
banyak orang? Adakah umat yang bersedia datang setiap harinya untuk
mendanakan makanan kepada para bhikkhu yang tinggal di vihara?
Walaupun beberapa pihak menunjukkan sikap pesimis, tetapi berkat semangat dan
usaha keras untuk dapat menciptakan sebuah vihara yang berkualitas, maka jadilah sebuah vihara yang kita lihat sekarang ini. Vihara yang terletak di Jalan Agung Permai XV Blok C-3, Sunter Agung Podomoro, Jakarta Utara ini
merupakan vihara pertama yang telah memenuhi persyaratan sebuah vihara. Kehadiran VJDJ di tanah air telah membuat sejarah penting bagi umat Buddha
Indonesia yang tidak dapat dilupakan. Tercatat Putra Mahkota Kerajaan Thailand,
Prince Vajiralongkorn dan Princess Mahachakri Sirindhorn pernah bernamakara di VJDJ ini. Begitu pula dengan pemimpin rakyat Kamboja, Prince Norodom Sihanouk. Sungguh merupakan kebanggaan bagi kita umat Buddha di Indonesia. Tetapi, mengapa dinamakan ”Jakarta Dhammacakka Jaya?” Jakarta berasal dari
kata ”Jaya Ing Karta”, adalah nama Ibukota tercinta, yang berarti kejayaan
dalam kemakmuran. Sedangkan Dhammacakka sendiri berarti Perputaran Roda
Pada saat umat Buddha dari segala penjuru yang berkunjung ke Buddha
Metta Arama semakin bertambah, vihara yang sudah dikelilingi oleh berbagai
bangunan rumah ini dirasakan tidak mencukupi lagi. Maka timbulah niat untuk
membangun vihara yang baru. Pada saat itu di Bangkok, Bhikkhu Sombat Pavitto
atau yang akrab disebut Bhante Sombat bersama dengan Drs. Teja Suryaprabhava
Mochtar Rashid tanpa sengaja diperkenalkan oleh Phrakru Wimon kepada Laksda
Purn. TNI-AL Oyo Prayogo Kusno, seorang bendaharawan di sebuah kelenteng,
Bogor. Pada saat membicarakan tentang pembangunan vihara, beliau tertarik
untuk ikut membantu dengan menyumbangkan tanahnya di perkebunan teh
Pamanukan Tugu, Puncak-Bogor untuk dibangun vihara. Untuk mengelola
pembangunan vihara tersebut, maka dibentuk sebuah yayasan bernama Yayasan
Paripurno Samiddhi. Laksda Purn. TNI-AL Oyo Prayogo Kusno bersama Khun
Pot telah berhasil mengumpulkan dana, demikian pula dengan Bhante Sombat
yang telah menyiapkan sketsa vihara serta bekerja membuat pondasi dan tiang.
Akan tetapi, ternyata pembangunan tersebut tidak disetujui warga sekitarnya,
sehingga Pemerintah daerah meminta agar menunda pembangunan tersebut.
Namun demikian semangat mereka tidak berhenti sampai di situ. Pada suatu
ketika Bhante Sombat dibantu dengan Kolonel Somchit dan Khun Suthat -atase
militer dari Thailand yang juga seorang paranormal, mendapat vision dari Acharn
Nirod, ’seorang’ pembimbing spiritual. Dikatakan bahwa di bagian Utara Jakarta,
ada sebuah lokasi yang baik untuk dibuat vihara, lokasi tersebut pada zaman kuno
pernah menjadi pusat kota. Disebutkan juga bahwa di lokasi tersebut tanahnya
bawahnya. Maka segeralah Bhikkhu Sombat Pavitto bersama Om Liem (Liem
Tiang Sing, kemudian menjadi Bhikkhu Piyadhammo, almarhum) berkeliling
mencari tempat tersebut, saat itu awal tahun 1981. Om Liem mengendarai
mobilnya sendiri mengantar Bhante Sombat mendatangi berbagai lokasi.
Setelah melalui pencarian yang cukup sulit, di daerah sekitar Ancol yang
sedang diadakan pembangunan perumahan itulah akhirnya mereka menemukan
sebuah tempat dengan ciri-ciri yang sesuai. Setelah mencari informasi, diketahui
bahwa tanah tersebut milik PT. Agung Podomoro. Mengingat harga tanah yang
cukup tinggi, maka tanah yang akan dibeli hanya seluas 1.000 m2 saja. Setelah
mengetahui bahwa tanah tersebut akan dipergunakan untuk membangun vihara,
ternyata Anton Haliman atas nama Direksi PT. Agung Podomoro sebaliknya ingin
menyumbangkan satu blok tanah seluas satu hektar kepada Sagha, asalkan ijin
pembangunannya sudah didapatkan. Pernyataan PT. Agung Podomoro untuk
menyumbangkan satu blok tanah seluas satu hektar tersebut dituangkan dalam
surat resmi kepada Sagha Theravāda Indonesia dan diserahkan langsung oleh
Anton Haliman kepada bikkhu Pannavaro selaku Sekretaris Jenderal Sagha
Theravada Indonesia dalam suatu rapat di kantor PT. Agung Podomoro, Sunter.
Pada waktu itu Sagha Theravada Indonesia dipimpin oleh Sekretaris Jenderal. Dengan penuh semangat mereka pun segera mengurus ijin pembangunan vihara,
dimulai dengan pembuatan gambar. Tetapi terjadi perdebatan mengenai bentuk
vihara, ada pihak yang menginginkan bentuk vihara Thailand yang ’glamor’ tetapi
di lain pihak menginginkan bentuk vihara yang sederhana tetapi anggun. Akhirnya
ada di Indonesia. Selanjutnya dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan
Jakarta Dhammacakka Jaya, di mana para pendirinya adalah delapan bhikkhu
Indonesia selaku Badan Pengawas, Anton Haliman selaku Ketua Kehormatan,
Oyo Prayogo Kusno selaku Ketua Umum, dan Drs. Teja Suryaprabhava Mochtar
Rashid selaku sekretaris. Akhirnya berkat bantuan dari berbagai pihak, maka ijin
tersebut berhasil didapat. Selanjutnya Bhante Sombat mendirikan sebuah gubuk di
sana dan mulai mendirikan Uposathagara dan Sima. Arsitek pada waktu itu adalah Ir. Rai Pratadaya dan Ir. Aswin Suganda. Setelah dikurangi untuk sarana
jalan dan sebagian diminta oleh Kota Praja untuk pembuatan jalur hijau, akhirnya
luas tanah tersebut menjadi 8.640 m2. Dana pembangunan vihara pun mulai
mengalir dari berbagai pihak di antaranya dari Presiden ke-2 Republik Indonesia,
H.M. Soeharto sebesar Dua Puluh Juta Rupiah, Departemen Agama sebesar Dua
Juta Dua Ratus Ribu Rupiah, Pemerintah DKI Jakarta sebesar Enam Juta Rupiah,
dan sumbangan umat Buddha Indonesia serta Thailand secara sukarela pada saat
itu mencapai kurang lebih Dua Ratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah.1
C. Etika Masuk Vihara
Etika masuk vihara adalah tata cara yang harus dilakukan umat Buddha
masuk ke vihara. Apabila seorang umat Buddha akan memasuki vihara, maka ada
beberapa etika yang harus dijalani diantaranya adalah:
1. Pakaian harus rapai dan sopan santun
2. Memasang dupa/namisa puja jika perlu, yang meliputi : bunga, lilin, dan
dupa
3. Sampai di pintu viha namakaragatha yaitu syair penghormatan kepada Buddha Dharma dan Sangha.2
Bunyi syair tersebut sebagai berikut :
Araham sammasambudho bhagava, budhamvantani abhivademi
“Sang Bhagava, yang maha suci, yang telah mencapai penerangan sempurna, Aku
bersujud dihadapan Sang Buddha”.
Svakkhato Bahagavata dhammo, dhammani namassami
“Telah sempurna dibabarkan oleh sang Bhagava; Aku bersujud di hadapan
Dhamma”.
Supati panno Bhagavatha savaka sangha
“Sangha siswa sang Bhagava telah bertindak sempurna; Aku bersujud di hadapan
Sangha”.
Adapun tatacara ibadah sebagai berikut :
1. Anjali adalah merangkapkan kedua tangan
2. Puja Bakhti yaitu penghormatan dan berbakti yang akan di peraktekkan di rumah.
2
D. Peran dan Fungsi Vihara
Peran vihara adalah meningkatkan kehidupan beragama umat Buddha
Indonesia dalam arti seluas-luasnya berdasarkan kitab suci Tipitaka pali yang berkepribadian Indonesia
Adapun fungsi Vihara dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Tempat tinggal para Bhikku dan Samanera
2. Tempat pendidikan putra-putri bangsa agar menjadi masyarakat yang
berguna
3. Tempat memberi rasa aman bagi semua mahluk
4. Tempat untuk membuat kebaikan dan kebajikan
5. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan
6. Tempat menyebarkan Dhamma
7. Tempat yang menunjukan jalan kebebasan
8. Tempat latihan meditasi dan usaha merealisasikan cita-cita kehidupan
tempat kegiatan sosial yang bersifat keagamaan.3
Arca-arca yang ada pada vihara Dhammacakka Jaya yaitu :
1. Arca Buddha Sakyamuni yaitu sang Buddha yang telah mendapat
pencurahan.
2. Arca Sari Putta yaitu yang ada di sebelah kanan yang mempunyai kelebihan
trampil menguraikan Dhamma (ajaran agama)
3. Arca Mogallana yaitu berada di sebelah kiri yang mempunyai kelebihan
terampil dalam kekuatan supra natural.4
3
E. Fasilitas-fasiltas Vihara
Selain peran dan fungsi yang telah di sebut diatas, terdapat
fasilitas-fasilitas yang melengkapi Vihara, yaitu :
1. Lapangan Parkir
Lapangan ini berguna pada setiap saat, baik itu harian mingguan, bulanan
maupun tahunan baik itu acara rutinitas maupun acara-acara khusus.
2. Balai Pengobatan
Balai pengobatan ini dibuka pada setiap minggu dari jam 08.00 sampai
dengan selesai selain itu balai pengobatan ini tidak dipungut biaya.
3. Bursa Buku
Bursa Buku ini menyediakan buku-buku baru berkaitan dengan agama
Buddha seperti Hio, lilin, dupa, Buddha rupang Mini, Poster sang Buddha
dan lain-lain.
4. Sekertariat
Sekertariat ini difungsikan sebagai pusat informasi baik yang berkenan
dengan perayaan-perayaan maupun acara rutinitas vihara.
5. beduk
beduk ini digunakan untuk perayaan-perayaan besar, dipakai untuk
memulai dan pada akhir acara.
6. Mading
4
Berfungsi sebagai papan informasi baik yang berkenaan dengan vihara
maupun dengan umat
7. Bendera Buddhis
Bendera Buddhis ini tidak diajarkan Sang Buddha secara langsung, tetapi
berdasarakan Konferensi Sangha Internasional. Warna bendera tersebut
ada 6 (enam) warna, dimana satu warna merupakan kombinasi dari semua
warna. Warna-warna tersebut adalah sebagai berikut :
a) Biru melambangkan rasa bhakti kepada Sangha
b) Kuning melambangkan keberanian
c) Merah melambangkan cinta kasih
d) Putih melambangkan Kesucian
e) Oren melambangkan kebijaksanaan
8. Pohon Budhis
Pohon ini melambangkan pohon suci di mana Sang Buddha mendapatkan
penerangan sempurna. Pohon ini adalah cangkokan langsung dari
Thailand.
9. Reflika Candi Pawon
Reflika Candi Pawon merupakan tempat penyimpanan abu para Bhikku
dan para donatur vihara.
10.Tukang Kembang
Tukang kembang ini sengaja diberi fasilitas oleh pihak vihara karena
berguna pada perayaan-perayaan yang memerlukan bunga.
Gedung serbaguna ini terdiri dari beberapa fasiltas di antarannya suang
sekolah minggu, ruang sekertariat, ruang organisasi Buddhis, ruang kursus
bahasa Mandarin.5
5
A. Aneka Ragam Bencana Alam
Mengapa di tanahku terjadi bencana? Barangkali di sana ada jawabnya,
mengapa di tanahku terjadi bencana itu lirik lagu berita kepada kawan dari Ebit G
AD yang belakangan ini terdengar hampir setiap hari ditelvisi dan radio. Lagu
yang populer sekitar 25 tahun lalu itu menjadi lagu tema yang mengiringi
penayangan selipan atau filler berisi gambar bencana Aceh yang memilukan.1
Ada makna-makna dalam lirik-lirik lagu itu yang dianggap relevan yang
dianggap suasana batin yang sedang melingkupi banyak orang saat ini, yaitu
bencana tragedi dan duka cita. Itulah mengapa lagu-lagu dihadirkan sebagai ”ruh”
yang diharapkan menghidupkan tayangan visual seputar bencana.2
a. Pengertian Bencana
Ada beberapa pengertian atau definisi tetang bencana, beberapa definisi
cenderung merefleksikan karakteristik berikut ini (Carter, 1991)
1. Gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan. Gangguan atau
kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak di sangka dan wilayah
cakupan cukup luas.
2. Dampak ke manusia seperti kehilangan jiwa, luka-luka, dan kerigian harta
benda.
1
Bencana gempa dan Tsunami (Jakarta : KOMPAS, 2005), h.302 2
Ibid, h.303
3. Dampak ke pendukung utama struktur sosial ekonomi seperti kerusakan
infrastruktur, sistem jalan, sistem air bersih, listrik, komunikasi dan
pelayanan utilitas penting lainnya.3
b. Penyebab Bencana
Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu : alam dan
manusia. Secara alami bencana akan selalu terjadi di muka bumi, misalkan
tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke
bumi (meteor), tidak ada hujan pada suatu lokasi dalam waktu yang relatif lama sehingga menimbulkan bencana kekeringan, atau sebaliknya curah
hujan yang sangat tinggi di suatu lokasi yang akan menibulkan bencana
banjir dan longsor.
Bencana oleh aktifitas manusia adalah terutama akibat ekspolitasi
alam yang berlebihan. Ekspolitasi ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang meningkat, kebutuhan infastruktur meningkat, alih tata guna
meningkat.4
Nicheren daishonin melukiskan penjelasannya dengan suatu
analogi tentang tubuh dan bayang-bayang. Tubuh bergerak dan mengubah bentuk bayangan karena tubuh tidak akan menjadi tubuh bila tidak
menimbulkan bayangan. Dengan kata lain, tubuh diberi kehidupan dan
indentitas lingkungannya, dengan sebaliknya. Menurut hemat saya, hanya
3
Robert j. kodoatie & roestam sjarief, penegelola terpadu banjir, longsor, kekeringan dan tsunami (Jakarta: yasrif watamone, 2006), h. 67
4
dengan mensistensikan dialektika inilah kita dapat sampai pada suatu pemahaman tentang saling keterkaitan antara hidup kita dan lingkungan.5
Agama Buddha memandang ada hubungan antara kemoralan
seseorang dengan kelestrarian alam, karena peristiwa yang terjadi di alam ini
saling berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
komponen-komponen lainnya (hukum paticcasamuppada). Hal ini berarti bahwa prilaku yang dilakukan oleh manusia sangat berpengaruh terhadap
lingkungan hidup, maka lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap
manusia. Jika manusia merusak lingkungan, secara cepat dan lambat akan
menimbulkan dampak buruk bagi manusia. Berbagai macam bencana,
seperti tanah longsor dan banjir tidak dapat dihindari. Dengan demikian,
manusia sendiri yang akan mendapatkan kerugian akibat tindakannya
terhadap alam.6
Pendapat bhikku (Adhiratano) bencana yang sejauh lebih
besar dari pada bencana alam yaitu, rendahnya kemoralan yang dimiliki
seseorang. Itulah sesungguhnya bencana yang lebih besar, yang akan
mengakibatkan hancurnya kehidupan. Karena begitu pentingnya nilai
kemoralan, maka Sang Buddha menekankan kepada umat Buddha untuk
menjalankan lima sila yaitu :
1. Tidak Membunuh
2. Tidak Mencuri
3. Tidak Asusila
5
Departemen Komunikasi dan Informatika Badan Informasi Publik Pusat. Penanggulamgam Bencana Alam Dalam Perspektif Aagama Di Indonesia (Jakarta : DEPKOMINFO, 2007), H. 86 6
4. Tidak berbohong
5. Tidak makan dan minum hal yang melemahkan kesadaran.
Bencana alam hanya menghancurkan manusia pada saat itu saja, tetapi bencana
moral akan mengakibatkan hancurnya manusia dalam banyak generasi.7
Bencana alam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
bencana yang disebabkan oleh alam (seperti gempa bumi, angin besar, dan banjir).
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang bencana alam yang sering
terjadi, khususnya di Indonesia dari sudut pandang agama Buddha. Ajaran Buddha
menjelaskan bahwa bencana alam disebabkan oleh hukum fisika (dalam hal ini
geologi), dan bisa juga karena kesalahan manusia. Inti ajaran Buddha adalah
bahwa semua fenomena yang terjadi adalah saling terkait. Hukum fisika mengatur
kerja alam yaitu siklus hujan, namun karena manusia banyak menebang pohon
sembarang, membuang sampah sembarang sehingga berakibat banjir. Contoh
lainnya adalah musim yang kacau yang disebabkan oleh pemanasan global yang
juga diakibatkan oleh manusia. Ciri alam adalah selalu seimbang, sehingga ketika
alam tidak seimbang lagi (rusak)—disebabkab manusia, maka terjadilah fenomena
alam yang tidak biasa sehingga mungkin menjadi bencana bagi manusia. Lainnya
halnya dengan gempa bumi, letusan gunung berapi dan bencana alam geologis
lainnya. Hingga saat ini belum terlihat dengan jelas apakah ada kaitan—langsung
atau tidak langsung— antara bencana alam geologis dan tindakan manusia.
Gempa bumi, letusan gunung berapi, dan bencana alam geologis lainnya lebih
banyak disebabkan oleh hukum fisika (geologi). Namun, musim kemarau
7
berkepanjangan, cuaca yang tidak menentu, banjir, longsor, kebakaran hutan yang
terjadi sampai saat ini sebagian besar adalah ulah manusia secara langsung
maupun tidak langsung.
Ajaran Buddha mengajarkan kepada manusia terutama untuk berkaca
melihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Satu tindakan kecil—
membuang sampah sembarangan—yang dilakukan oleh seorang individu bisa saja
menyebabkan bencana besar bagi manusia lainnya.8
B. Faktor-faktor Timbulnya Bencana Alam
Akhir-akhir ini memang cukup banyak bencana alam yang terjadi secara
hamper bersamaan di berbagai tempat di seluruh dunia. Berbagai bencana yang
banyak menimbulkan korban harta serta kehidupan manusia ini sebenarnya salah
satunya disebabkan oleh kamma kelompok yang matang secara bersamaan.
Seperti yang telah disebutkan dalam hukum kamma bahwa ia yang melakukan
suatu perbuatan, ia pula yang akan memetik buah kebaikan ataupun penderitaan.
Ketika setiap orang yang mempunyai kamma berbeda ini berkumpul, timbullah
kamma kelompok. Ada berbagai jenis kamma kelompok yaitu kamma keluarga,
kamma masyarakat, kamma bangsa dan juga kamma dunia.
Dengan demikian, jika setiap orang masing-masing mempunyai usaha untuk
memperbaiki kualitas perilaku, ucapan dan pikirannya, maka tentunya tidak
tertutup kemungkinan akan terbentuk kamma kelompok yang baik pula yaitu
8
kamma keluarga, kamma masyarakat dan bahkan kamma dunia. Seperti telah
diketahui bahwa kumpulan dari setiap pribadi akan membentuk keluarga.
Kumpulan keluarga akan membentuk masyarakat. Kumpulan masyarakat akan
membentuk bangsa dan kumpulan bangsa akan membentuk dunia. Jadi,
kembalinya kebahagiaan seluruh umat manusia dimulai dari perbaikan diri setiap
orang. Oleh karena itu, marilah semuanya berusaha dan terus berjuang untuk
meningkatkan kebajikan melalui ucapan, perbuatan dan juga pikiran agar
membantu mengkondisikan timbulnya kebahagiaan kepada dunia ini.
Kebahagiaan dunia yang salah satunya berbentuk kebebasan warganya dari segala
bencana.9
Mekanisme alam semesta membuat bumi berputar pada porosnya sambil
berjalan mengelilingi matahari sebagai pusat orbit. Dengan putaran yang ritmis
itulah kehidupan berlangsung dengan baik. Berkat putaran itu pula bumi menjadi
hidup dan kita ikut hidup dalam kehidupan itu, dengan sumber energi yang
memadai, udara dan atmosfer yang seimbang, suhu dan cuaca yang bisa
diadaptasi. Kalau putaran itu dihentikan 1 detik saja, semua benda di permukaan
bumi, termasuk kita, akan terlempar berhamburan. Begitulah bumi, yang melesat
tak kurang dari 107 ribu km/jam di angkasa raya. Sebuah kecepatan yang tiada
bandingannya dengan kendaraan tercepat apapun ciptaan manusia.
Bumi memang harus melesat dengan kecepatan sedahsyat itu untuk
menyelesaikan satu putaran mengitari matahari dalam setahun. Pernahkah
terbayangkan bahwa kita sedang berdiri, duduk, makan, tidur dan segala aktivitas
9
lain sehari-hari, di permukaan sebuah benda yang bergerak 107 ribu km/jam? Dan
menurut perhitungan para ilmuan, semua ini telah berlangsung selama lebih dari 5
miliar tahun!. Lantas mengapa mekanisme istimewa yang maha dahsyat dan maha
terjaga itu masih menyisakan kisah tentang kehancuran-kehancuran alam? Apakah
itu semacam reaksi fisika yang memang harus terjadi dalam fenomena ini? atau
malah karena ulah manusia, sebagai makhluk paling pandai yang hidup di muka
bumi?
Dapatkah manusia memperkira-kan datangnya bencana alam? Jika dapat,
mampukah kita mengatasinya? Persoalan apa, kapan dan berapa besarnya suatu
bencana alam bakal melanda menjadi teka-teki yang tidak pernah berakhir. Jika
diamati memang ada semacam reaksi fisika yang memang harus terjadi. Akan
tetapi, itu semua memiliki makna dan tujuan yang telah ditetapkan oleh maha
pencipta, terjadinya reaksi fisika tersebut telah didesain oleh maha pencipta
sedemikian teraturnya sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi menusia.
Sejak berabad lalu, manusia dan alam bagaikan berpacu, siapa lebih cepat
bertindak. Namun, kekalahan sering berpihak pada manusia walaupun sistem
informasi yang dirancang semakin maju, gempa bumi, taufan, angin kencang,
tornado, kemarau panjang, banjir, gunung berapi meletus, dan tsunami, tetap saja
budaya bersifat material yang dimiliki oleh manusia, masih gagal menyelamatkan
manusia dari bencana alam.
Contoh kejadian yang sedang dihadapi masyarakat Sidoarjo yang
mengalami musibah lumpur PT Lapindo, sampai sekarang berbagai upaya telah
Melalui upaya memasukkan untaian bola-bola beton dengan asumsi untaian bola
tersebut dapat memberi tekanan terhadap sumber semburan, sehingga diharapkan
akan mengurangi semburan.
Namun beberapa tim memberikan pendapat berbeda, ada yang mengatakan
pemberian tekanan pada sumber semburan justru memungkinkan semburan
mencari celah lain, sehingga semburan tetap tidak dapat dihentikan. Selain itu,
ketahanan bola-bola beton itu masih dipertanyakan. Apakah bola-bola itu akan
tetap stabil bila dipanaskan pada suhu di atas 110 derajat celsius.
Solusi ini masih diragukan tingkat keberhasilannya. Disini dapat
diperhatikan bahwa jika bencana alam terjadi, masing-masing pakar
mengeluarkan berbagai teori yang dianggapnya dapat meyelesaikan masalah.
Akan tetapi, kenyataannya jauh dari harapan, lumpur tetap saja keluar. Jika sudah
terjadi seperti ini siapa yang bertanggung jawab? PT Lapindo atau Pemerintah?
Jika diamati dari budaya nonmaterial, pejabat pemerintah terkesan terlampau
mudah mengeluarkan izin operasi pengeboran di daerah yang dekat dengan
permukiman penduduk. Pemberian izin operasi akan mempermudah untuk
produksi dan tujuan akhirnya akan menambah pendapatan negara. Akan tetapi,
apa yang terjadi dengan begitu mudahnya memberikan izin dan kurang ketatnya
pengawasan, ternyata dapat membawa dampak pada kerusakan lingkungan.
Pada 26 Desember 2004, tsunami melanda Aceh mengorbankan kira-kira
200.000 penduduk. Belum sembuh luka di Banda Aceh, tsunami Laut Selatan
diketemukan setelah tsunami yang menelan korban jiwa 656 orang dan 45.000
penduduk tinggal di tempat pengungsian.
Hawa nafsu timbul karena manusia memiliki kebutuhan. Menurut
Malinowski bahwa kebudayaan dan organisasi sosial adalah respons-respons
terhadap kebutuhan biologis dan psikologis. kebutuhan tersebut dapat dipenuhi
oleh beberapa respons kebudayaan yang berbeda-beda.
Seperti diketahui kebutuhan individu yang satu dengan yang lainnya kadang
berbeda, begitu juga cara meresponnya. Ada yang ingin serba instan (ingin cepat)
akibatnya anomali, tetapi ada juga individu yang konformitas atau mengikuti
aturan yang telah ditetapkan. Individu yang ingin serba instan ini melakukan kerja
sama dengan relasi-relasinya guna merespon kebutuhan masing-masing.
Keterkaitan antara manusia yang memiliki kekuasaan atau yang lazim
disebut pejabat dengan yang lainnya berada dalam budaya yang saling
menguntungkan. Di sisi lain ada sekelompok manusia dengan relasi-relasinya
tetap ingin mengikuti aturan guna membangun kesejahteraan rakyat. Kelompok
masyarakat ini merupakan lawan dari kelompok masyarakat yang ingin memenuhi
kebutuhannya secara instan atau di luar aturan yang telah ditetapkan, kedua
kelompok ini berada dalam sistem sosial budaya yang sama. Seperti diketahui
unsur-unsur sistem sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat ada sepuluh,
yaitu:
1) keyakinan,
2) perasaan,