KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF
AHMADIYAH
Oleh :
AHMAD HUDORI
NIM: 204033203106JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF AHMADIYAH Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Ahmad Hudori NIM. 204033203106
Pembimbing
Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 262 447
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF AHMADIYAH”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 Maret 2009.
Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 02 Maret 2009
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A
NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Sirajuddin Aly, MA. Dr. Yusron Rozak, MA.
NIP. 150 318 684 NIP. 150 216 359
Pembimbing,
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 02 Maret 2009
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang pantas untuk pertama kali diucapkan selain untaian kata
syukur kehadirat Illahi Rabbi – Allah SWT – , atas semua kasih sayangNya, cinta,
dan limpahan rahmatNya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada
junjungan kita yang agung pula, yang telah memberi banyak pelajaran hidup
kepada kita, Rosulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Amin.
Rasa syukur tak henti-hentinya penulis panjatkan pada sang Robbi, Jika air
mata ini harus tertumpah; jika raga ini harus tersungkur, dan jika jiwa ini harus
berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang mendalam kepada
Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi yang penulis beri
judul “Khilafah Islamiyah Perspektif Ahmadiyah” Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam
4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku
Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Drs.Agus Nugraha,M.Si selaku Dosen Pembimbing atas semua
dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan
selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran
Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu
dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
7. Sebesar-besarnya kebanggaan penulis persembahkan kepada orang tua,
Ayahanda, H. Achfas HM dan Ibundaku (Alm) Hj. Rodemah yang
telah melahirkanku dan mengorbanakan hidupnya untuk membesarkan
penulis sehingga menjadi orang berguna bagi diri sendiri dan
mudah-mudah bagi agama dan negara. Dan Ibu Hj. Syamsiyah yang selama ini
telah memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada kak. Nurjanah, Kak. Nurmala Sari. Yang telah memberi
dukungan dan moril. dan kepada abangku Wahid Hilmi, Lukman
Hakim, M. Khoirul Anam. Kepada bang. Ardi dan kak. Anis yang tak
ada hentinya memberikan nasihat dan dukungan semoga Allah
meberikan balasan yang setimpal kepada seluruh keluarga kenanga.
Amiiiiiiiiiiiiiiiin……..
9. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Institute, dan Perpustakaan Nasional Replublik Indonesia, yang banyak
memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur.
10.kepada seluruh keluarga besar KH. Syamsul Marif yang telah
mendoakan penulis untuk selalu bersabar dalam menghadapi segala
cobaan.
11.Kepada kekasihku SYARIFAH-AHMAD, untukmu cinta, doa dan
sayang,kaulah yang akan selalu memberikan inspirasi, motivasi, dan
semangat kepada penulis untuk selalu tenang dalam menghadapi
bahtera kehidupan. Semoga cinta kita menjadi yang sejati dan hakiki
dimata Allah SWT. Amiiin….
12.Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004, Tsani,
Sofian,Pojess, Iskak, Mucin Alatas yang telah membantu dalam tim
suksek dalam selesainya skripsi ini , Yusuf Fadli, Zulfikar, Indra, Rei,
Isti, Buhari, Tohid, Sa’di, Aziz, Fadil, Galo, Iin Solihin, Asep, Awe,
Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang
menjadi sumber inspirasi penulis.
13.Kepada teman satu kostan, Tsani, Sofian, Iskak, Ahmad. Terimakasih
atas tranformasi pengalaman, ilmu pengetahuan, perubahan sudut
pandang, kebersamaan dan banyak hal lain yang tidak dapat penulis
temukan sebelumnya.
14.Teman-teman alumni El-Masyhar 2004, yang telah memberikan
masukan, terutama Haidar Ali. Dan warnet El-Tajir makasih banget
15.Tentunnya banyak pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu
disini, yang telah memotivasi dan meberi membantuan dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini dan selama penulis menempuh
perkuliahan.
16.Sepinya suasana malam, cinta, gemintang, rembulan, lampu-lampu
jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu setia
menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat.
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia
sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
Ciputat, 02 Maret2009
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 11
D. Metode Penelitian ………. 12
E. Sistematika Penulisan ……… 12
BAB II KERANGKA TEORI ISLAM DAN POLITIK A. Pengertian Politik ……… 13
B. Islam dan Politik ……… 17
C. Sistim Politik Islam ……… 22
D. Polemik Tentang Relasi Islam dan Politik ……… 26
BAB III . HISTOGRAFI AHMADIYAH A. Sejarah Awal Berdirinya Ahmadiyah ……… 29
B. Tokoh-Tokoh Ahmadiyah ... 32
C. Doktrin-Doktrin Ahmadiyah ……….. 39
D. Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia ……… 49
BAB IV. RELASI ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIAH A. Paradigma Islam dan Politik ……….. 54
B. Pemikiran Politik Islam Perspektif Ahmadiyah …………. 57
C. Relasi Islam dan Politik dalam Negara menurut Ahmadiyah 69
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ……… 73
B. Saran ……….. 75
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan Islam dan politik di pandang bukan saja bersifat organis
atau tidak bisa dipisahkan, tapi juga secara struktural di ikat oleh sistem
religius Islam yang formal. Menguatnya revivalisme agama dalam kancah
politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay
–-bahwa pembangunan politik itu biasanya ditandai dengan proses
rasionalisasi kekuasaan. 1
Salah satu pangkal pembicaraan yang tak pernah habis dibahas
adalah relasi agama dan politik. Tarik menarik antara keduanya
menghasilkan ketegangan dinamik yang tidak jarang melahirkan benturan.
Bagi penganut aliran mekanik-holistik, Islam dianggap bukan saja sebagai
gugusan dogma-dogma agama yang bersifat kaku saja, tapi juga dipahami
sebagai sistem politik, pandangan hidup dan penafsiran sejarah. Islam juga
di pahami mempunyai watak omnipresent (hadir di mana-mana).
Islam hadir (dihadirkan?) di ranah politik yang seharusnya netral
dan hampa dari kepentingan kelompok manapun. Bagi penganut militan
premis ini bisa jadi mendorongnya untuk memaksakan lewat jalan
kekerasan. Ketika agama ditampilkan melalui cara yang menghalalkan
1
Burhanudian. “Carut Marut Wajah Teknis”. Artikel di akses tanggal 18 Januari 2009, dari http://carur.marut/politikislam.html
kekerasan, maka tersibaklah wajah Tuhan yang menyeringai seram, penuh
dendam. Sontak A.N Wilson tertawa melihat orang yang tak mau
menggubris tesisnya bahwa agama lebih kejam daripada candu. Atas nama
Tuhan, FPI membakar, merusak, bahkan menjarah kafe-kafe. Atas nama
Tuhan, kedua belah pihak yang bertikai di Ambon saling menghunuskan
pedang, mencari celah dari lemahnya keadaan darurat sipil, untuk menikam
lawan.
Tapi, di atas segalanya, relasi agama dan politik, dalam diskursus
modern hingga detik ini belum juga tuntas. Lebih-lebih Islam yang oleh
penganutnya dilihat memiliki pesona sebagai agama yang syamil, kamil dan
mutakamil. Ilmuwan sekelas Robert N. Bellah dengan civil religion, dan
Jose Casanova dengan public religion pun coba menengahi pandangan
“ekstrem” bahwa agama berkutat pada wilayah private, sementara ruang
publik harus secularized.
Persoalan yang sering kali diperdebatkan tentunya adalah apakah
Islam dan politik tak bisa di pisahkan atau memang antara agama (Islam)
harus dipisahkan dari persoalan politik. Akan tetapi, persoalan sebenarnya
bukan terletak pada perdebatan apakah Islam dan politik harus dipisahkan
atau tidak di pisahkan. Dan karena sebagian besar pemikir dan praktisi
politik Islam terpaku pada soal di pisahkan atau tidak bisa (boleh) di
pisahkannya Islam dari persoalan-persoalan keduniawian, pemikiran politik
Hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari
pemikiran bahwa (1) Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan; (2) Islam
dan politik itu bisa di pisahkan; dan (3) Islam dan politik mempunyai
keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat
legal-formalistik, tetapi substansialistik. Dan bentuk ketiga ini hampir di miliki
oleh pemikir Islam moderat seperti Nurkholis Majid, Amin Rais dan
sebagian pemikiran Islam lainnya.
Pada masa awalnya, Islam dipahami secara sederhana. Komunitas
awal masyarakat Islam berada langsung dalam bimbingan Nabi
Muhammad SAW dan para khalifah. Mereka hampir tidak pernah terjadi
keributan dan perbedaan pendapat. Kemudian setelah terjadi penyebaran
(futuhat) pemikiran Islam berkembang dan begitu banyak interpretasi yang
dilakukan oleh beberapa kelompok yang merasa dirinya mampu dan berhak
untuk melakukannya. Perkembangan pertama dan paling dominan dalam
Islam adalah masalah teologi. Namun pemikiran teologi ini bukan murni
karena masalah teologi tapi karena politik.2 Pemikiran politik yang
berkaitan atau mempunyai hubungan erat dengan teologi kemudian
berkembang berbarengan dengan perkembangan Islam dan akulturasi
kebudayaan dengan helenisme.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau
bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis,
khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk
2
apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas
dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh
kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa
politik tidak dapat di pisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal
atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah
wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang
sebagian suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari
agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam
sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari
kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara
doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).3
Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu
dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad
S.A.W. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai
seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin
masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran
sebagai seorang Nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh
dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci.
Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau
melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam
musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan
meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala
3
negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan
ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya
merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal
itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan
pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak
diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa
beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan
tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di
pihak lain telah membuat Nabi Muhammad saw. seorang tokoh yang paling
berhasil dalam sejarah umat manusia.
Sebagaimana Rasulullah membangun negara Madinah, menarik
kita mengkonklusikan pemikiran Ahmadiyah dalam peran agama dengan
politik sebab secara teori Ahmadiyah lahir diakibatkan banyaknya
kemerosotan agama dalam hal ini Islam dalam pentas kekuatan politik yang
di tandai hancurnya kekhalifahan Turki Ustmani.
Gerakan pembaharuan dengan segala variannya muncul sejak masa
kekhalifahan Utsman bin Affan ketika menerapkan kebijakan nepotisme
dalam pemerintahannya. Ketika itu muncul beberapa golongan yang tidak
menyetujui kebijakan Utsman, ditambah lagi terjadinya pertentangan
kelompok Ali yang kurang mendukung kekuasaan Utsman. Puncaknya
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan kemunculan golongan
Dalam konteks politik, kemunculan sektarianisme merupakan
akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan penguasa. Pada masa Bani
Umayyah, kelompok pendukung Ali disebut sebagai golongan Syi’ah
diposisikan sebagai opasisi penguasa Umayyah. Konflik yang sengit antar
firqah kian mengemuka pada masa kekuasaan Abbasyiah dengan
kemunculan golongan Mu’tazilah yang bercorak rasionalistik. Golongan ini
vis a vis berhadapan dengan faham yang disokong oleh penguasa, yaitu
Ahiussunah wal Jama’ah. Di samping itu hadir pula kalangan inkarussunah
yang berhadapan dengan ahiussunah dengan pencetus Ahmad bin Hanbal.
Kehadiran Ahmadiyah merupakan reaksi yang hampir mirip
dengan kehadiran golongan-golongan keagamaan pada awal-awal
perkembangan Islam. Sebagai gerakan pembaharuan (menurut versi
Ahmadiyah), Ahmadiyah lahir karena kekecewaan terhadap penguasa India
yang berada dibawah imperialisme Inggris.
Perkembangan Ahmadiyah dalam kontek sosial politik keagamaan
telah menjadi polemik berkepanjangan. Ahmadiyah didirikan oleh Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiani, Mujadid abad 14 Hijriah yang bergelar
Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT. yang beliau terima
pada tanggal 1 Desember 1888. Pada saat ini Ahmadiyah tersebar di seluruh
dunia, bahkan di Indonesia.
Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat (26 Mei 1908), Gerakan
Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh
Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud
Ahmad, putra pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih,
timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Karena
pengakuannya sebagai perwujudan Imam Mahdi bahkan Ahmad yang
tercantum dalam Qur’an Suci 61:6, maka terjadi friksi di tubuh Ahmadiyah.
Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam
Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut dikenal sebagai
Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian, India tetapi setelah Pakistan dan India merdeka pindah ke Rabwah sampai sekarang, meskipun
Khalifahnya berada di Inggris. Kemudian mereka menyebut dirinya sebagai
Jemaat Ahmadiyah.
Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut
tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah, Gerakan Penyiaran Islam) yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., sekretaris Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi,
dia adalah seorang Mujaddid. Ahmad dalam Al-Qur’an adalah Nabi suci
Muhammad saw. dan kaum Muslimin yang tidak bai’at kepada beliau
tidaklah kafir.
Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah
Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua
Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H.Minhadjurrahman
Djajasugita dkk. yang mendapat Badan Hukum Nomor 1X tanggal 30 April
1930.
Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan
puluhan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia
serta majalah-majalah. Di samping itu telah pula melahirkan Yayasan
Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai
daerah, yang menyelenggarakan pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman
Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi
Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad
(yang terpuji). Yakni yang menggambarkan suatu keindahan/kelembutan.
Zaman sekarang ini adalah zaman penyebar-luasan amanat yang diemban
Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap
Allah Ta'ala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw.
Kondisi Islam di India pada saat di jajah oleh Imperialisme Inggris
benar-benar menyedihkan. Di satu sisi gerakan Kristenisasi sedang
gencar-gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam
agama Kristen dan di sisi lain serangan-serangan pihak Hindu terhadap
Islam, Al-Quran dan terhadap wujud suci Nabi Muhammad Mustafa saw.
Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal daripada
Hz.Mirza Ghulam Ahmad. Beliau banyak menelaah literatur-literatur yang
terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di
kedua arah tersebut. Disamping itu beliau sendiri mengalami perkembangan
rohaniah. Konteks berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari pergolakan
politik di India. Oleh karena itu, Ahmadiyah bukan saja sebuah spektrum
gerakan pembaharuan keagamaan yang banyak disinyalir oleh orang,
melainkan sebagai sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama.
Tipologi gerakan politik Islam, atau setidak-tidaknyya di
kategorikan sebagai sebuah gerakan politik, menurut Din Syamsuddin
mengandung dua dimensi, pertama: bahwa kulturisasi Islam harus
ditransformasikan ke dalam dunia politik atau domain politisasi; dan kedua:
adanya upaya totalisasi ajaran Islam yang terdiri tidak hanya dari sistem
ibadah tapi juga prinsip-prinsip aqidah, syari’ah, dan jalan hidup sehingga
tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan.4
Berdasarkan asumsi di atas, gerakan Ahmadiyah telah memasuki
gerakan politik Islam, atau organisasi keagamaan yang memiliki agenda
besar dalam skala nasional bahkan internasional. Selain penafsiran yang
dilakukan oleh Din Dyamsuddin, Ahmadiyah dapat di golongkan sebagai
gerakan politik karena meliputi dua hal yaitu adanya sosialisasi ajaran yang
dilakukan secara massif untuk menarik anggota Jemaat sebanyak mungkin.
Gerakan perekrutmen di upayakan melalui jalan dakwah, penyebaran brosur,
buku pamflet, pendirian Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia
(PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan
4
pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan
Tinggi.5
Kedua, Ahmadiyah menjalankan aktivitas sosial yang memiliki
implikasi politis terhadap kemapanan agama-agama samawi, terutama Islam.
Gejolak yang ditimbulkan dari gerakan Ahmadiyah mendatang dialektika
epistemologis yang mengerucut pada pertentangan ideologis (the clash of
ideology). Perspektif ini diambil dari konsep Samuel Huntington yang
melihat pertentangan kapitalisme dan Islam sebagai tipologi pertentangan
ideo-politik berskala global.6
Berdasarkan pandangan di atas maka diajukan judul penelitian
sebagai berikut: Islam dan Politik dalam Perspektif Ahmadiyah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat kompleksitasnya permasalahan yang akan dibahas
khususnya mengenai Ahmadiyah, maka penulis membatasi
permasalahannya mengenai relasi Islam dan Politik menurut perspektif
Ahmadiyah.
Dari pembatasan tersebut penulis merumuskan permasalahan :
a. Bagaimana relasi Islam dan politik dari pandangan Ahmadiyah?
b. Bagaimana Ahmadiyah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan
politik?
c. Apa yang melatarbelakang kelahiran Ahmadiyah di India?
5
Ahmad Shultoni, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 26
6
d. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Indonesia pra dan pasca
kemerdekaan?
e. Bagaimana polemik yang muncul di tengah konstelasi kehidupan
sosial-politik di Indonesia terhadap keberadaan Ahmadiyah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pandangan Ahmadiyah tentang relasi Islam dan
politik.
2. Untuk mengetahui paradigma politik Islam Ahmadiyah.
3. Untuk mengetahui prkembangan gerakan Ahmadiyah di Indonesia
sebagai gerakan politik keagamaan.
b. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan
manfaat, antara lain :
1. Bagi Penulis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
perspektif yang baru dalam pengembangan ilmu politik kontemporer
khususnya tentang hubungan Islam dan Politik
2. Bagi. Kaum agamawan, diharapkan penelitian ini menjadi khazanah
yang mampu mendialogkan perbedaan keyakinan sebagai sesuatu yang
3. Bagi ilmuwan politik Islam, diharapkan hasil penulisan ini memberikan
nuansa baru dalam memahami perkembangan Ahmadiyah pada pespektif
ilmu politik Islam.
D. Metode Penelitian
Dalam membahas skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penulis berusaha memperoleh data-data
dan informasi melalui literature-literatur kepustakaan, majalah-majalah
maupun artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah tersebut. Dalam
pengolahan data ini penulis menggunakan metode deskripsi analisis.
E. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, agar lebih terarah dan terperinci
terbagi kedalam bab-bab dalam tiap sub-babnya dijelaskan secara global.
Di dalam bab I yang diawali dengan pendahuluan, ini terdiri atas latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian serta sistematika penelitian.
Di dalam bab II terdiri dari pengertian politik, relasi Islam dan politik
serta sistem politik Islam
Di dalam bab III terdiri dari sejarah berdirinya Ahmadiyah, profil
Mirza Gulam Ahmad dan doktrin-doktrin Ahmadiyah, Perkembangan
Ahmadiyah di Indonesia dan Perbedaan Aliran Ahmadiyah Qodian dan
Di dalam bab IV terdiri dari paradigma Islam dan politik, paradigma
politik Islam Ahmadiyah dan relasi Islam dan politik menurut Ahmadiyah
BAB II KERANGKA TEORI : ISLAM DAN POLITIK
Pengertian Politik
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu.7 Pengambilan keputusan
(decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik
itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut
pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari
sumber-sumber dan resources yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki
kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk
membina kerja sama maupun untuk meyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat persuasif
(meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent)
belaka.
7
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.(Jakarta:PTGramedia Pustaka
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat
(public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula
politik menyangkut kegiatan berbagai-bagi kelompok termasuk partai politik
dan kegiatan orang seorang (individu). Perbedaan-perbedaan dalam definisi
yang kita jumpai, disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu
aspek atau unsur dari politik saja. Unsur itu diperlakukannya sebagai konsep
pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Dari uraian
di atas teranglah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah: Pertama, Negara
(state), Kedua, Kekuasaan (power), Ketiga, Pengambilan keputusan
(decisionmaking), Keempat, Kebijaksanaan (policy,beleid) Kelima, Pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation).8
Sedangkan kata politik itu sendiri dan diambil dari bahasa Yunani
atau Latin “politicos” yang berarti “relating to citizen”.keduanya berasal dari
kata polis yang berarti kota. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
mengeartikan kata politik sebagai pengetahuan mengenai ketatnegaraan atau
kenegara (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Atau juga, segala
urusan dan tindakan kebijaksanaan siasat dan sebagainya mengenai
pemerintahan.9
Sedangkan Ramlan Surbakti mengartikan politik yaitu: Pertama,
politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan
dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang
berakaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik
8
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.h 9
9
sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima,
politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting.10
David Easton mengatakan : politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi
yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoratif (berdasarkan wewenang)
untuk dan atas nama masyarakat. Sedangkan Al Ghazali memakai kata siyasah
(politik) lebih luas dari pada makna politik dalam pengertian yang lebih
popular sekarang. Siyasah atau politik diartikan dengan segala hal ihwal,
seperti memperbaiki kehidupan makhluk Tuhan dan menunjukkan ke jalan
yang benar yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.11
Selain kata politik, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula kata
siyasah yang berasal dari bahasa Arab. Pemakaian kata siyasah jauh lebih tua
dari perkataan yang memiliki arti senada politik. Namun kepopuleran dan
keluasan pemakaiannya tidak mengimbangi perkataan sesudahnya itu. Siyasah
pada awalnya hanya mengandung arti muslihat dan segala macam usaha serta
ikhtiar untuk mencapai sesuatau atau menyelesaikan suatu perkara. Tetapi
pada akhirnya cenderung mengandung arti kenegaraan sebagai halnya
perkataan politik.
10
Ramlan Surbakti. Memhami Ilmu Politik,(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,1992). cet.I.h. 1-2
11
Siyasah berasal dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari kata
sasayasusu yang mengandung arti kepemimpinan. Pelakunya disebut sa’is
berarti pemimpin yang menangani urusan rakyatnya yang mendatangkan
kemaslahatan bagi mereka. Jadi siyasah adalah ilmu memerintah, yaitu
kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Dia harus
dipegang oleh orang yang mengerti betul tentang dasar-dasar pengetahuan dan
peraturan-peraturan dalam negara.12
Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata siyasah mempunyai
arti yang berbeda dengan siasat. Siyasah mempunyai arti politik, sedangkan
siasat artinya adalah kebijaksanaan atau kecerdikan dalam menyampaikan
suatu maksud atau untuk memperoleh sesuatu. Jadi perbedaan mendasar
antara siyasah. Siasat diartikan segala macam muslihat di dalam berbagai
lapangan, yang biasa disebut “taktik”, sedangkan siyasah mempunyai arti
yang terbatas, ialah soal kenegaraan yang dinamika”politik”.
Dari penjelasan diatas sangat jelas bahwa politik atau siyasah merupakan pola
kenegaraan yang didalamnya terdapat seperangkat pengaturan sosial dalam
masyarakat.
Islam dan Politik
Dalam sejarah agama-agama, pertautan antara politik dan agama
muncul pada politik para raja dan pemimpin untuk melanggengkan kekuasaan
12
mereka. Mereka menafsirkan dalil dan doktrin agama-agama sesuai dengan
kemauan mereka dengan tujuan untuk melindungi kepentingan politik mereka.
Dalam sejarah Islam, politisasi agama sudah berlangsung sejak awal
perkembangan Islam. Para raja dan khalifah berusaha melanggengkan
kekuasaan mereka dengan berbagai cara: menafsirkan secara politis dalil
al-Qur’an dan Hadits sesuai kepentingan para penguasa. Diantaranya adalah ayat
yang berbunyi “Taatlah kepada Allah dan para penguasa di antara kalian”.
Para penguasa menafsirkan ayat ini bahwa para penguasa harus dipatuhi apa
dan bagaimana pun cara mereka memimpin. Ayat ini kemudian oleh para
kritikus disebut “ayat al-umara” (ayat para penguasa).
Watt menggambarkan hubungan agama dan politik dalam Islam
dalam bukunya “Islamic Political Thought”. Pertama, gagasan keagamaan
menjadi semacam kerangka ideologis ketika terlibat dalam bermacam
aktivitas, sehingga aktivitas yang dilakukan memperoleh arti penting.Kedua,
agama dapat menentukan bentuk-bentuk motif Islam aktivitas yang akan
dilakukan. Adanya signifikansi agama dalam politik, diakui oleh Watt bukan
karena agama memberikan penjelasan yang sifatnya terinci terhadap semua
hal,tetapi karena agama memberikan berbagai tujuan umum kepada manusia
dalam kehiduan dan membantunya memusatkan kekuatan untuk mencapai
berbagai tujuan tersebut.
Robert N Bellah menyatakan bahwa masyarakat Islam klasik adalah
modern secara politis. Tidak lagi dipersoalkan, demikian ia menegaskan dalam
membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dalam kapasitas
politik.Demikian juga tidak terlalu mengherankan, jika umat Islam
menjadikan sejarah politik Islam dalam periode Nabi sebagai model ideal
yang senantiasa diidamkan sepanjang sejarah Pemikiran politik Islam seperti
juga pemikiran Islam dan gerakan Islam pada umumnya dapat dilihat sebagai
hasil dari kelanjutan dan perubahan yang berlangsung dalam sejarah Islam.13
Di Indonesia, istilah Islam politik sering kali dilawankan dengan
Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang
ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik,
atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi
(eksekutif dan legislative). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang
hanya bergerak di bidang dakwah, pendidkan, seni dan sebagainya tanpa sama
sekali terlibat dalam politik.
Islam dan politik pertama kali digulirkan oleh kalangan Barat yang
menguasai berbagai negeri Islam, yang mengatakan bahwa Islam adalah
agama bukan negara. Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan
dengan Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai
yang ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai
politik, atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik
resmi (eksekutif dan legislative). Sedangkan Islam kultural merujuk pada
Islam yang hanya bergerak di bidang dakwah, pendidikan, seni dan
sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam politik.
13
Islam berasal dari kata salam yang berarti tunduk atau berserah diri
pada Allah, atau menerima semua peraturan Tuhan sebagai petunjuk bagi
kehidupan seseorang, taat sepenuh hati, akan keadaan noda dan cela.14
Menurut Hasan al-Banna seperti yang dikutip oleh Yusuf Qardhawy
mengatakan Islam adalah sesuatu yang syumul (menyeluruh), mencakup
semua aspek kehidupan dengan syariat dan pengarahannya. Islam menata
kehidupan manusia sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan
sebelum ia dilahirkan dan sesudah meninggal dunia.15 Selain itu Islam menata
kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan politik, mulai
beristinja sampai kepada pemerintahan.
Hasan Al-Banna juga menyatakan bahwa ada perbedaan yang
mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan
mungkin bisa berseteru. Ketika Hasan al-Banna berbicara tentang politik
praktis pada kesempatan ini, maka yang dikehendaki adalah politik secara
umum. Yakin melihat persoalan-persoalan umat, baik internal maupun
eksternal yang sama sekali tidak terkait dengan hizhiyah (kepartaian). Ini yang
pertama.
Kedua, Takala orang-orang nonmuslim awam tentang Islam, oleh
urusan dan kokohnya Islam yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya,
atau kesiapan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka
tidak berusaha untuk melukai jiwa-jiwa kaum muslimin dengan menodai
14
IAIN Syarif Hidayatillah, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Jambatan, 1992), h. 445
15
nama Islam, syariat, dan undang-undangnya. Namun mereka berusaha
membatasi substansi makna Islam pada lingkup sempit yang menghilangkan
semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamya. Kendati setelah itu yang
tersisa bagi kaum muslimnin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang
sama sekali tidak berguna.16
Sedangkan menurut Moh. Mufid, M.Si, ada dua pandangan berbeda
yang mengkaji masalah legitimasi dalam politik, yaitu: pertama, Barat (Eropa)
dengan ciri skularistiknya berpendapat bahwa pengakuan terhadap suatu
pemerintahan adalah pengakuan yang berasal dari rakyat. Artinya, ketika
seseorang dalam sebuah pemilihan umum secara mayoritas memperoleh suara
terbanyak, maka sejak itu pula ia berhak memperoleh tampuk kekuasaan.
Kedua, legitimasi kepemimpinan/kekuasaan dalam perspekitf
pemikiran politik Islam berbeda dengan Barat. Bagi kelompok ini legitimasi
berasal dari dua sumber, yaitu Tuhan dan manusia. Yang pertama menjadi
keyakinan syiah, bahwa kepemimpinan itu berasal; dari Tuhan, karenanya
mempunyai sifat dan fungsi keagamaan dan ditransmisikan lewat keturunan
Nabi Muhammad lewat jalur Ali bin Abi Thalib. Yang kedua merupakan
preferensi Sunni yang memandang bahwa kepemimpinan merupakan hasil
kesepakatan masyarakat (ijma’) melalui para elit.17
Moh.Mufid,M.Si juga memandang hubungan agama dan politik
(negara) dengan tiga paradigma. Yaitu : Pertama, paradigma integrative,
16
Hasan Al Banna. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Terj. Anis Matta, LC.et.all (Surakarta:Era Intermedia, 1999). h.70
17
kedua, paradigma simbiotik, dan ketiga,paradigma instrumental. 18 Dalam
paradigma pertama dan kedua hubungan agama dan politik (negara)
merupakan hubungan kemitraan yang saling membutuhkan antara keduanya
tidak dapat dipisahkan, dalam pengembangan dan eksistensi suatu negara,
agama sering dijadikan faktor penentu yang paling dominan. Karenya, baik
keberadaan agama maupun politik (negara) dalam prakteknya saling
melengkapi kebutuhan satu salam lain. Sementara dalam paradigma yang
terakhir, agama hanya sebatas menjadi pelengkap kebutuhan suatu negara
begitupun juga sebaliknya.
Maka mereka berusaha memberikan pemahaman kepada kaum
muslimin bahwa Islam adalah sesuatu, sementara masalah sosial adalah
sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan perundang-undangan adalah
sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi sesuatu
yang lain, yang tidak ada hubunganya sama sekali. Islam adalah sesuatu dan
peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada
jarak yang jauh dari politik.
Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam
tidak pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya
al-Ghazali yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama.
Karena pegangan dari semua ilmu itu ialah ajaran kitab-kitab suci yang
diturunkan Tuhan kepada para Nabi dan ucapan-ucapan yang ditinggalkan
oleh orang-orang yang suci.
18
C. Sistem Politik Islam
Berbicara tentang sistem politik islam, para pengamat Islam telah
menulis sejumlah buku tentang teori politik islam dalam beberapa topik,
seperti : sistem pemerintahan, hubungan pemerintah dengan rakyat dan jenis
kekuasaan dalam islam (batasan dan tugas-tugas).19
Agaknya sudah merupakan kebiasaan orang-orang tertentu untuk
agak menyamakan Islam dengan salah satu sistem kehidupan tertentu atau
sistem kehidupan lainnya yang dewasa ini tengah menjadi wacana
kontemporer. Ada yang mengatakan bahwa Islam adalah sebuah demokrasi,
dan yang mereka maksudkan dengan ini adalah bahwa tidak ada perbedaan
antara Islam dengan demokrasi yang kini tengah naik daun di barat. Beberapa
orang lainnya menyatakan bahwa komunisme tidak lain merupakan versi lain
dari Islam yanag telah direvisi dan sangatlah cocok bagi kaum muslim untuk
meniru eksperimen-eksperimen komunis soviet rusia. Yang lainnya lagi
membisikan bahwa Islam mengandung unsur-unsur kediktatoran dan kita
harus membangun kembali adat “taat kepada amir (pemimpin)”.20
Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam bukunya
Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a
religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem).
Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat
19
Empan Supandi. Islam dan Politik (Kajian Tentang Pemikiran Politik Al Ghazali.”,(Skripsi SI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri,Jakarta,, 2006),h.16-26
20
Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha
memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun
atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Joseph Schacht, seorang orientalis
lainnya, yang berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar agama, ia
mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan
yang lebih sederhana Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang
mencakup agama dan negara secara bersamaan. Dengan demikian, seperti
yang di kemukakan oleh H. A. R. Gibb, jelaslah bahwa Islam bukanlah
sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya
suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri
dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi.
Pendapat dari para orientalis tersebut diperkuat oleh fakta-fakta
sejarah. Misalnya sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW bersama
kaum Mukmin di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan
variabel-variabel sistem politik modern, maka dapat dikatakan bahwa sistem
itu adalah sistem politik par excellence, tetapi juga tidak disangkal jika
dikatakan sebagai sistem relegius, karena dilihat dari tujuan-tujuan dan
motif-motif dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Sebagai sebuah sistem politik dalam perjalanan sejarahnya Islam
diwarnai dengan dinamika pemikiran politik, seperti halnya perjalanan
Kristen, dan juga Islam tidak terlepas dari unsur kesejarahannya.
Teori-teori politik tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian
proses dengan fenomena dan kejadian kesejarahan yang dikaji dan
diteorisasi secara sistematis. Teori-teori politik yang muncul di Barat
sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan
Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan
perhatian mereka terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan
kekuasaan, ideologi dan kekuasaan, kepentingan dan kekuasaan, yang
sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara mereka atau di
negara-negara yang menjadi perhatian mereka.
Mustafa Muhammad dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran
Menuju Gerakan Islam, mengatakan bahwasanya sistem politik Islam adalah
suatu sistem yang bertolak dari kaidah-kaidah umum, yakin kebebasan,
kesetaraan, keadilan, dan supremasi hukum. Juga konsistensi terhadap
pemilihan pemimpin, dan bahwa pemerintah adalah pelaksana hukum dan
perundang-undangan, pelindung agama dan bertanggung jawab terhadap
rakyat. Di antara rakyat adalah memberi nasihat, mengevaluasi, memecat dan
menggantinya, jika diperlukan. Sistem politik harus ditegakkan di atas prinsip
syura, dan syura menjadi sesuatu yang harus ditegakkan oleh penguasa.21
Abu A’la al-Maududi mengatakan bahwasanya sistem politik Islam
merupakan suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan
suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan suatu sistem
21
politik Islam yang ditegakan oleh rasul. Aspek-aspek lain berkisar
disekelilingnya. Akidah inilah yang menjadi landasan pijakan dan paradigma
teori politik Islam. akidah juga merupakan dasar undang-undang politik Islam
yang telah melahirkan bentuk ketahanan politik dan hukum ciptaan manusia,
baik secara individu (ijtihad fardli) maupun kelompok (ijtihad jam’I). Namun
seseorang tidak mempunyai otoritas dalam memeaksakan kehendaknya yang
menginginkan ijtihadnya diikuti dan dipatuhi. Pembuatan hukum Islam mutlak
menjadi hak Allah, dan tidak ada campur tangan manusia.22
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwasannya al-Maududi
dalam menjelaskan tentang sistem politik Islam adalah suatu sistem yang
bermuara pada ketentuan (undang-undang)yang terdapat dalam al-Qur’an.
Al-Nabani mengatakan bahwasannya sistem politik Islam adalah
sistem yang membicarakan tentang kekhalifahan dan konsep-konsep
pemerintahannya. Konsep pemerintahan Islam adalah sistem ”khilafah”, yang
mempuyai pola yang unik yang berbeda dari pola pemerintahan lainnya.
Syariat yang diterapkan untuk mewujudkan pemerintahan. Pengaturan urusan
rakyat dan hubungan luar negerinya, berasal dari Allah Swt. Syariat tersebut
bukan dari rakyat, bukan dari beberapa orang, atau seseorang. Sedangkan
ciri-ciri khas khliafah yang menurut as-Sanhuri, ialah prinsip kesatuan umat.
22
D.
Polemik Tentang Relasi Agama dalam Konteks
Negara-Bangsa
Perdebatan antara relasi agama dalam konteks negara adalah sebuah
perdebatan panjang yang melelahkan. Diskursus politik kontemporer pun
tidak terlepaskan dari perdebatan tersebut, antara pihak yang memisahkan
agama dari politik, dan menjadikan agama sebagai jiwa spiritual penentu
aturan moral kemasyarakatan dan konstitusi.
Ada golongan yang memandang agama sebagai sebuah ajaran yang
bersifat universal, sehingga konteks kehidupan politik harus dijiwai oleh
nilai-nilai agama. Golongan ini disebut dengan formalisme yakin sebuah aliran
yang berpandangan Islam harus menjadi landasan kehidupan bernegara, Islam
menjadi basis konstitusional negara. Praktek-praktek dalam konteks
ketatanegaraan harus dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Tidak ada tempat buat
faham sekulerisme. Tokoh-tokoh yang mengusung tema besar ini adalah
M.Natsir dari Masyumi.
Ada juga golongan yang memandang bahwa agama harus dipisahkan
dari negara. Alasannya sederhana, bahwa wilayah agama adalah wilayah
private (pribadi) karena menyangkut keyakinan akan nilai-nilai supranatural.
Sedangkan wilayah negara adalah domain publik yang membutuhkan
kesepakatan bersama berlandaskan rasionalitas, kemakmuran, dan keadilan.
Perbedaan wilayah publik dan privat menjadi keharusan adanya pemisahan
Golongan lain adalah menjadi penengah di antara kedua arus besar
tersebut yang bercorak nilai substansialistik. Artinya, golongan kedua ini
membutuhkan ajaran agama sebagai asas moralitas dan etika dalam konteks
politik kenegaraan. Biarpun tidak dilegalkan secara formal, namun nilai-nilai
agama melandasi setiap keputusan hukum, Undang-undang, bahkan ideologi
negara.
Dalam sejarah pembentukan negara modern Indonesia, polemik
seputar kedudukan agama dalam sistem politik kenegaraan terjadi antara
Soekarno yang mewakili kaum nasionalis dengan Natsir dari golongan
agama.23 Perdebatan itu muncul sekitar tahun 1930.
Berbicara singkat tentang hubungan Islam dan negara, Natsir
mengatakan bahwa agama lain dijamin hidupnya dalam suatu negara Islam. Ia
berseru kepada golongan kebangsaan agar kembali ke dalam lingkungan
Islam, apalagi karena bagian terbesar mereka adalah orang Islam.24 Ia
meragukan adanya jaminan perlindungan terhadap Islam dalam suatu negara
yang pemerintahannya dipegang oleh negara yang netral atau dibawah kendali
non-Muslim.
Sedangkan soekarno menekankan bahwa landasan kebangsaan
berdasarkan pada nasionalisme yang luas yang meliputi semua golongan
Islam, kristen, Hindu, Buddha dengan berasaskan konstitusi modern
legar-formal, bukan berasaskan kepada ajaran agama Islam. Rujukan Soekarno
adalah berdirinya negara modern Turki dengan Kemal Attaturk yang menjadi
23
Perdebatan panjang tersebut dapat dilihat dalam karya Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 296-311
24
pioner. Soekarno mengganggap tidak ada ijma’ ulama yang mengenai
persatuan agama dengan negara, dan ada juga yang mengatakan agama dan
negara terpisah karena memiliki dimensi yang berbeda.25
Zaid Sakhir menjelaskan posisi agama dalam negara dengan
argumentasi apakah Islam sebuah agama atau ideologi.26 Sebaggai sebuah
agama Islam meliputi aspek keyakinan, peribadatan, moralitas, aturan
kemasyarakatan, dan aspek-espek yang lainnya dalam skala yang lebih luas.
Namun di sisi lain, sebagai salah satu agama terbesar di dunia, Islam
dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila menghadirkan teori yang dapat
diterpakan yang bersifat lengkap dan universal bagi umat manusia. Ia berkata:
Islam is indeed an ideology as it presents a “complete and universally applicable theory of man and society.” However, the relevant realm of action and thought for an ideology is the political, as Scruton points out. This limitation to the political realm marks where Islam parts with ideology. Islam is not simply concerned with man’s political condition; it is also concerned with his spiritual condition, and at the heart of the Islamic call is a normative program for spiritual salvation.27
Secara umum hubungan antara Islam dan Negara serta politik dapat
dibedakan kepada tiga golongan: Pertama, golongan formalistik yaitu
golongan yang ingin menjadikan Islam sebagai sebuah konstitusi resmi
Negara, tidak sebatas jargon tetapi ditempatkan sebagai aturan hukum
tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Golongan Hizbut Tahrir, M. Natsir, dan
tokoh-tokoh Masyumi lain; Kedua, golongan substansialistik, bagi golongan
ini yang terpenting bukan menjadikan agama sebagai legal-formal dalam
konteks Negara, melainkan sebuah upaya gerakan –meminjam istilah Quraish
25
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 303
26
Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, Zaituna Institute terbit 25 Juli 2006, h. 2
27
Syihab “membumikan Al-Qur’an”—kulturisasi nilai-nilai keIslaman yang
tertanam kuat di tengah masyarakat. Tokoh penganjur utama adalah Gus Dur,
Amien Rais, NU, Muhammadiyah, Cak Nur; dan ketiga, golongan
fundamentalis, yaitu yang mengidolakan kondisi Madinah sebagai bentuk
Negara ideal dalam struktur Negara bangsa modern. Kebanyakan golongan ini
BAB III
HISTOGRAFI AHMADIYAH
Sejarah Berdirinya Ahmadiyah
Jemaat Ahmadiyah adalah gerakan Islam yang di dirikan oleh Mirza
Gulam Ahmad pada tahun 1889 M bertepatan dengan tahun 1306 H.
Ahmadiyah adalah sebutan singkat dari Jemaat Ahmadiyah. Jemaat berarti
kumpulan individu yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program
bersama. Ahmadiyah adalah nama dari Islam, jadi Ahmadiyah adalah suatu
perkumpulan, himpunan atau organisasi yang bersatu padu dan bekerja untuk
suatu program yang sama, yaitu Islam. Ahmadiyah diambil dari salah satu
nama Rosulullah yang diinformasikan kepada Nabi Isa a.s dalam Surat
As-Shaf ayat enam yang menyatakan bahwa akan datang seorang Nabi dan Rosul
yang bernama Ahmad.
Kemunculan Ahmadiyah di India merupakan salah satu bagian dari
peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak terlepas dari konteks sosial pada saat
itu. Kemunduran dunia Islam yang ditandai oleh runtuhnya kerajaan Ustmani
1683. Sementara di Barat perkembangan ilmu pengetahuan dan industri
semakin berkembang pesat, yang ditandai dengan berbagai macam penemuan
yang antara lain ditemukannya alat tranportasi dengan menggunakan tenaga
uap pada tahun 1902 M dan penemuan-penemuan yang lainnya. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyebabkan Barat semakin
melebarkan kekuasaan kolonialnya kedunia yang pernah dikuasai oleh Islam.
Seperti Inggris dapat menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai
Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Barat lainya menduduki bekas Imperium
Islam.
Kerajaan Islam yang menguasai anak benua India adalah kerajaan
Mughal (1526-1858 M) yang saat itu sedang menuju kehancuran. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, melemahnya pemerintahan karena
dekadensi moral dan polah hidup mewah para pejabat pemerintah pasca
Aungrazeb. Kedua, adanya pemberontakan yang dilakukan secara terus
menerus oleh golongan Hindu dan Sikh di India. Walaupun India berada
dalam wilayah kekuasaan kerajaan Islam Mughal, tetapi mayoritas
penduduknya masih beragama Hindu, sebagain lain beragama Kristen, Budha,
Sikh. Tercatat telah terjadi pemberontakan Sikh yang dipimpin Guru Tgh
Bahdur dan Guru Gobin Singh. Golongan Rajput juga mengadakan
pemberontakan dibawah pimpinan raja Udaipur, sedangkan golongan Maratah
di pimpin Sivaji dan anaknya yang bernama Sambaji. Pada masa pemerintahan
raja Bahdur Syah juga terjadi pemberontakan dari golongan Sikh dibawah
pimpinan Bandah yang berhasil merampas kota Sadhaura di sebelah utara
Delhi, dan mengadakan perampasan serta pembunuhan terhadap penduduk
yang beragama Islam di kota Sirhind. Selain itu golongan Maratah yang
dipimpin Raji Rao dapat merampas sebagian daerah Gujarat tahun 1732 M.
Ketiga, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak Abad ke 15,
terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan
Company, dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu keoloninya
yang terpenting di dunia. Dengan runtuhnya kerajaan Mughal di India maka
secara otomatis runtuh pula kekuasaa Islam dan inilah periode kemerosotan
ummat Islam. Secara otomatis dengan berkuasanya Inggris di India maka
sistem pemerintahannya pun berganti dan masuknya kebudayaan Eropa
kedalam India.
Pada masa India berada dalam kekuasaan Inggris terjadi gerakan
misi-misi Kristenisasi yang terjadi hal ini bukan hanya di India akan tetapi di
seluruh dunia yang dilakukan sejak tahun 1804 M, khususnya ketika British
and Foreign Society terbentuk.28 Kelompok Kristen menetapkan pada tahun
1813-1815 M sebagai The Great Century of World Evangelization (Abad
Agung Penginjilan Dunia), dimana anak benua India merupakan sebuah
sasaran yang dijadikan sebuah proyek besar bagi gerakan penginjilan atau
kristenisasi, sehingga jutaan orang masuk kedalam agama Kristen melalui
gerakan missionaris Kristen. Ketika terjadi pergerakan Kristenisasi di India
kondisi umat Islam semakin mengalami kemunduran, kelompok Neo-Hindu
bermunculan, diantara yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya
Samaj merupakan gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian agama
Hindu dan menampilkan sebagai suatu kebanggaan nasional India, menentang
pemahaman-pemahaman Hindu Brahma yang ortodoks dan sering
melancarkan serangan besar-besaran terhadap ajaran Kristen dan Islam.
28
Gerakan ini sudah berkembang dari tahun 1819 M yang dipimpin oleh Swami
Dayananda Saraswati yang diberi gelar Hindu Luther oleh para penentangnya.
Kondisi umat Islam India pada saat itu, mengalami dekadensi moral
dan sekaligus kemunduran dari segi intelektualitas. Sering terjadi perpecahan
dalam diri umat Islam sendiri disebabkan oleh perbedaan-perbedaan
pandangan. Di tengah keadaan sosial dan politik India seperti di atas tadi
Ahmadiyah di lahirkan dengan berorientasi pada pembaharuan pemikiran dan
juga sebagai protes terhadap gerakan kaum misionaris Kristen dan juga
sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawah oleh
Sayyid Ahmad Khan yang merupakan pelopor menerapkan ide-ide
pembaharuan demi kemajuan umat Islam di India dengan Aligarh-nya.
Pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental Colloge yang kemudian menjadi
Universitas di India.
Orientasi kelahiran Ahmadiyah adalah pembaharuan pemikiran ummat
Islam. Pendiri Ahmadiyah Mirza Gulam Ahmad merasa memiliki tanggung
jawab besar yang harus dia pikul untuk memajukan Islam dengan memberikan
interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan zamannya,
dengan menulis kitab yang dijadikan rujukan utama setelah Al-Qur’an nomor
dua yaitu Tadzkirah.
Tokoh-tokoh Ahmadiyah
Mengingat aliran bernama Ahmadiyah ini telah memunculkan
Eropa, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya termasuk Indonesia, maka
menelisik tokoh sekaligus pendirinya jelas sangat penting. Dari perspektif
historis, gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada paruh
akhir tahun abad ke-19 M. jauh hari sebelum terjadi pemisahaan Anak Benua
yang sekarang menjadi Pakistan.
Mirza Ghulam Ahmad lahir pada saat shubuh, bertepatan pada hari
Jum’at tanggal 13 Februari 1835 M yang dalam kalender Islam tepat pada 14
Syawal 1250 H di Qadian India.29 Qodian adalah sebuah desa yang terletak di
distrik Gurdaspur Punjab India, Jaraknya 100 km disebelah Timur laut kota
Lahore. Asal usul kata Qadian berasal dari nenek moyang Mirza Gulam
Ahmad yang bernama Mirza Hadi Beg yang diangkat sebagai qadhi (hakim)
maka tempat itu disebut Islampur Qadhi yang dalam perkembangan
selanjutnya hanya terkenal dengan Qadhi berubah manjadi Qadian ini karena
logat daerah tersebut.
Mirza Gulam Ahmad ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtadha yang
meninggal pada tahun 1876, merupakan seorang tabib yang sangat terkenal.
Ibunya bernama Ciraagh Bibi, sedangkan kakeknya adalah Mirza Atha
Muhammad bin Mirza Gul Muhammad adalah keturunan Haji Barlas.30 Yang
berasal dari keluarga Moghul. Haji Barlas adalah raja kawasan Qesh yang
merupakan paman Amir Tughlak. Ketika penyerangan terjadi Haji Barlas
sekeluarga terpaksa mengungsi ke Khurasan dan Samarkhan yang kemudian
menetap disana. Pada tahun 1503 M seseorang keturunan Haji Barlas yang
bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 pengikutnya hijrah dari Khurasan ke
daerah Gurdashpur di Punjab yang letaknya 70 mil sebelah Timur Lahore
sekitar kawasan sungai Bias dengan mendirikan perkampungan yang bernama
Islampur.
Dalam bidang pendidikan Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah
menerima pendidikan formal karena dengan situasi sosial dan poltik pada saat
itu di Qadian belum ada sekolah formal. Ia mulai mendapat pendidikan ketika
berusia 6-7 itu pun belajar atas keinginan dari ayahnya untuk memberikan
pendidikan kepada anaknya dengan memanggil seorang guru bernama Fazal
Ilahi untuk belajar membaca Al-Quran, serta beberapa kitab bahasa Parsi yang
bermuatan pendidikan agama Islam.31 Ketika dia berusia 10 Tahun ayahnya
mempekerjakan seorang guru yang bernama Fazal Ahmad untuk mengajar
nahwu dan sharaf.32 Pada saat ia berumur 17 tahun ayahnya kembali
memanggil seorang guru bernama Gul Ali Syah untuk memberikan pengajaran
kepada Mirza Ghulam Ahmad dengan pelajaran Ilmu Mantiq (Logika). Ilmu
tentang pengobatan ia pelajari sendiri kepada ayahnya langsung.
Pada masa ia telah menyelesaikan pendidikan non-formal, dan
stabilnya politik dalam negeri India dengan ditandai tidak adanya
pemberontakan-pemberontakan menentang kolonialisme Inggris, banyak
warga yang ingin memperbaiki kehidupan khususnya dalam bidang ekonomi
dengan bekerja kepada kolonilisme Inggris, demikian juga kelurga Mirza
31
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, (Jakarta : RM Books, 2006).h.39
32
Ghulam Ahmad yang dari semula sudah bekerja untuk pemerintah Inggris di
India maka anaknya pun Mirza Ghulam Ahmad pada usia 29 tahun dia bekerja
pada pemerintahan Inggris di kantor Bupati Sailkot. Setelah empat tahun
bekerja dia dipanggil ayahnya kembali ke kampung halaman untuk menekuni
pekerjaan dalam bidang pertanian. Akan tetapi tidak lama dia menggeluti
bidang pertanian, merasa tidak cocok dengan apa yang dia kerjakan. Mirza
Ghulam Ahmad menghabiskan waktunya dengan mengkaji Al-Quran,
menelaah buku, mengajar, dan berdiskusi tentang agama.33
Pada tahun 1875, Mirza Ghulam Ahmad merasakan kesedihan dengan
melihat golongan Hindu, Nasrani, Sikh, dan golongan lainnya yang
melancarkan serangan kepada Islam. Mirza Ghulam Ahmad melakukan
Mujahadah atau menjalani disiplin asketis dengan melakukan puasa selama 6
bulan berturut-turut. Tujuannya adalah untuk bertawajjuh kepada Allah
dengan media puasa, sholat tahajjud, dan semakin mendalami ajaran Islam.
Dengan memiliki modal dan kekuatan hati Mirza Ghulam Ahmad
dapat memberikan jawaban dan sanggahan terhadap argumentasi kelompok
lain yang mendiskreditkan Islam. Kemudian hasil buah pikirannya ia
publikasikan dalam bentuk artikel di media massa. Puncaknya pada tahun
1880 M, Ghulam Ahmad banyak menulis karyanya lebih dari 86 karya ilmiah
yang telah ia ciptakan.
Ketika dia berusaha semakin mendalami ajaran Islam, dia dihadapkan
pada kesedihan dengan meninggalnya ayahnya pada tahun 1876 M. akan
33
tetapi hal itu tidak mengurangi produktifitas dalam menulis sebuah gagasan.
Karya Mirza Ghulam Ahmad yang sangat monumental adalah Barahin
Ahmadiayah yang berisikan tentang penjelasan keunggulan ajaran ummat
Islam dibanding dengan ajaran-ajaran agama-agama lainnya. Dengan buku itu
maka terjadi pro-kontra dalam kalangan umat beragama India. Tidak seperti
halnya di kalangan non-muslim yang menimbulkan berbagai polemik dan
perbedaan sengit, akan tetapi dikalangan umat Islam sendiri kehadiran buku
tersebut disambut dengan suka cita, karena telah dianggap membela ajaran
Islam dari serangan serangan yang selama ini dilancarkan oleh berbagai pihak,
khususnya dari kalangan neo-Hindu (Arya samaj dan Brahma Samaj), dan
Nasrani. Salah seorang ulama ahli hadist ternama, Maulvi Muhammad Husain
Batalwi, menulis dalam bukunya Isyaat as Sunnah jilid VII, no 6-10, halaman
169-170 dan Swanah Fazl Umar Jilid I, Halaman 20:
Menurut pandangan kami, Pada zaman sekarang dan sesuai dengan kondisi yang berlaku buku ini adalah sedemikian rupa yang mana sampai saat ini tidak ada bandingannya telah ditulis dalam Islam, dan tidak ada kabar di masa mendatang karena Allah lah yang lebih mengetahui kejadian setelah ini. Penulisannya pun dalam hal memberi bantuan terhadap Islam dari segi harta, jiwa, tulisan maupun lisan, dan langkah-langkahnya adalah sangat teguh dan kokoh karenanya, sangat sedikit sekali diketemukan contoh seperti dirinya biarpun dari kalangan umat Islam terdahulu.34
Dengan terbitnya buku Barahin Ahmadiyah yang didalamnya ada
pendakwaan Ghulan Ahmad sebagai Mujahid abad ke 14 M. berdasarkan
ilham-ilham yang diterimanya, maka pada tahun 1883 banyak dari kalangan
umat Islam yang berkeinginan untuk melakukan bai’at (janji setia) menjadi
34