• Tidak ada hasil yang ditemukan

Khilafah Islamiyah Perspektif Ahmadiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Khilafah Islamiyah Perspektif Ahmadiyah"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF

AHMADIYAH

Oleh :

AHMAD HUDORI

NIM: 204033203106

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF AHMADIYAH Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Ahmad Hudori NIM. 204033203106

Pembimbing

Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 262 447

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul “KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF AHMADIYAH”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 Maret 2009.

Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 02 Maret 2009

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A

NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sirajuddin Aly, MA. Dr. Yusron Rozak, MA.

NIP. 150 318 684 NIP. 150 216 359

Pembimbing,

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 02 Maret 2009

(5)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang pantas untuk pertama kali diucapkan selain untaian kata

syukur kehadirat Illahi Rabbi – Allah SWT – , atas semua kasih sayangNya, cinta,

dan limpahan rahmatNya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada

junjungan kita yang agung pula, yang telah memberi banyak pelajaran hidup

kepada kita, Rosulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Amin.

Rasa syukur tak henti-hentinya penulis panjatkan pada sang Robbi, Jika air

mata ini harus tertumpah; jika raga ini harus tersungkur, dan jika jiwa ini harus

berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang mendalam kepada

Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi yang penulis beri

judul “Khilafah Islamiyah Perspektif Ahmadiyah” Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu

penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam

(6)

4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku

Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Drs.Agus Nugraha,M.Si selaku Dosen Pembimbing atas semua

dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan

selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran

Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu

dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

7. Sebesar-besarnya kebanggaan penulis persembahkan kepada orang tua,

Ayahanda, H. Achfas HM dan Ibundaku (Alm) Hj. Rodemah yang

telah melahirkanku dan mengorbanakan hidupnya untuk membesarkan

penulis sehingga menjadi orang berguna bagi diri sendiri dan

mudah-mudah bagi agama dan negara. Dan Ibu Hj. Syamsiyah yang selama ini

telah memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada kak. Nurjanah, Kak. Nurmala Sari. Yang telah memberi

dukungan dan moril. dan kepada abangku Wahid Hilmi, Lukman

Hakim, M. Khoirul Anam. Kepada bang. Ardi dan kak. Anis yang tak

ada hentinya memberikan nasihat dan dukungan semoga Allah

meberikan balasan yang setimpal kepada seluruh keluarga kenanga.

Amiiiiiiiiiiiiiiiin……..

9. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,

(7)

Institute, dan Perpustakaan Nasional Replublik Indonesia, yang banyak

memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur.

10.kepada seluruh keluarga besar KH. Syamsul Marif yang telah

mendoakan penulis untuk selalu bersabar dalam menghadapi segala

cobaan.

11.Kepada kekasihku SYARIFAH-AHMAD, untukmu cinta, doa dan

sayang,kaulah yang akan selalu memberikan inspirasi, motivasi, dan

semangat kepada penulis untuk selalu tenang dalam menghadapi

bahtera kehidupan. Semoga cinta kita menjadi yang sejati dan hakiki

dimata Allah SWT. Amiiin….

12.Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004, Tsani,

Sofian,Pojess, Iskak, Mucin Alatas yang telah membantu dalam tim

suksek dalam selesainya skripsi ini , Yusuf Fadli, Zulfikar, Indra, Rei,

Isti, Buhari, Tohid, Sa’di, Aziz, Fadil, Galo, Iin Solihin, Asep, Awe,

Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang

menjadi sumber inspirasi penulis.

13.Kepada teman satu kostan, Tsani, Sofian, Iskak, Ahmad. Terimakasih

atas tranformasi pengalaman, ilmu pengetahuan, perubahan sudut

pandang, kebersamaan dan banyak hal lain yang tidak dapat penulis

temukan sebelumnya.

14.Teman-teman alumni El-Masyhar 2004, yang telah memberikan

masukan, terutama Haidar Ali. Dan warnet El-Tajir makasih banget

(8)

15.Tentunnya banyak pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu

disini, yang telah memotivasi dan meberi membantuan dalam

penyelesaian penulisan skripsi ini dan selama penulis menempuh

perkuliahan.

16.Sepinya suasana malam, cinta, gemintang, rembulan, lampu-lampu

jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu setia

menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat.

Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia

sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,

yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari

ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.

Ciputat, 02 Maret2009

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 11

D. Metode Penelitian ………. 12

E. Sistematika Penulisan ……… 12

BAB II KERANGKA TEORI ISLAM DAN POLITIK A. Pengertian Politik ……… 13

B. Islam dan Politik ……… 17

C. Sistim Politik Islam ……… 22

D. Polemik Tentang Relasi Islam dan Politik ……… 26

BAB III . HISTOGRAFI AHMADIYAH A. Sejarah Awal Berdirinya Ahmadiyah ……… 29

B. Tokoh-Tokoh Ahmadiyah ... 32

C. Doktrin-Doktrin Ahmadiyah ……….. 39

D. Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia ……… 49

(10)

BAB IV. RELASI ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIAH A. Paradigma Islam dan Politik ……….. 54

B. Pemikiran Politik Islam Perspektif Ahmadiyah …………. 57

C. Relasi Islam dan Politik dalam Negara menurut Ahmadiyah 69

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 73

B. Saran ……….. 75

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan Islam dan politik di pandang bukan saja bersifat organis

atau tidak bisa dipisahkan, tapi juga secara struktural di ikat oleh sistem

religius Islam yang formal. Menguatnya revivalisme agama dalam kancah

politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay

–-bahwa pembangunan politik itu biasanya ditandai dengan proses

rasionalisasi kekuasaan. 1

Salah satu pangkal pembicaraan yang tak pernah habis dibahas

adalah relasi agama dan politik. Tarik menarik antara keduanya

menghasilkan ketegangan dinamik yang tidak jarang melahirkan benturan.

Bagi penganut aliran mekanik-holistik, Islam dianggap bukan saja sebagai

gugusan dogma-dogma agama yang bersifat kaku saja, tapi juga dipahami

sebagai sistem politik, pandangan hidup dan penafsiran sejarah. Islam juga

di pahami mempunyai watak omnipresent (hadir di mana-mana).

Islam hadir (dihadirkan?) di ranah politik yang seharusnya netral

dan hampa dari kepentingan kelompok manapun. Bagi penganut militan

premis ini bisa jadi mendorongnya untuk memaksakan lewat jalan

kekerasan. Ketika agama ditampilkan melalui cara yang menghalalkan

1

Burhanudian. “Carut Marut Wajah Teknis”. Artikel di akses tanggal 18 Januari 2009, dari http://carur.marut/politikislam.html

(12)

kekerasan, maka tersibaklah wajah Tuhan yang menyeringai seram, penuh

dendam. Sontak A.N Wilson tertawa melihat orang yang tak mau

menggubris tesisnya bahwa agama lebih kejam daripada candu. Atas nama

Tuhan, FPI membakar, merusak, bahkan menjarah kafe-kafe. Atas nama

Tuhan, kedua belah pihak yang bertikai di Ambon saling menghunuskan

pedang, mencari celah dari lemahnya keadaan darurat sipil, untuk menikam

lawan.

Tapi, di atas segalanya, relasi agama dan politik, dalam diskursus

modern hingga detik ini belum juga tuntas. Lebih-lebih Islam yang oleh

penganutnya dilihat memiliki pesona sebagai agama yang syamil, kamil dan

mutakamil. Ilmuwan sekelas Robert N. Bellah dengan civil religion, dan

Jose Casanova dengan public religion pun coba menengahi pandangan

“ekstrem” bahwa agama berkutat pada wilayah private, sementara ruang

publik harus secularized.

Persoalan yang sering kali diperdebatkan tentunya adalah apakah

Islam dan politik tak bisa di pisahkan atau memang antara agama (Islam)

harus dipisahkan dari persoalan politik. Akan tetapi, persoalan sebenarnya

bukan terletak pada perdebatan apakah Islam dan politik harus dipisahkan

atau tidak di pisahkan. Dan karena sebagian besar pemikir dan praktisi

politik Islam terpaku pada soal di pisahkan atau tidak bisa (boleh) di

pisahkannya Islam dari persoalan-persoalan keduniawian, pemikiran politik

(13)

Hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari

pemikiran bahwa (1) Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan; (2) Islam

dan politik itu bisa di pisahkan; dan (3) Islam dan politik mempunyai

keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat

legal-formalistik, tetapi substansialistik. Dan bentuk ketiga ini hampir di miliki

oleh pemikir Islam moderat seperti Nurkholis Majid, Amin Rais dan

sebagian pemikiran Islam lainnya.

Pada masa awalnya, Islam dipahami secara sederhana. Komunitas

awal masyarakat Islam berada langsung dalam bimbingan Nabi

Muhammad SAW dan para khalifah. Mereka hampir tidak pernah terjadi

keributan dan perbedaan pendapat. Kemudian setelah terjadi penyebaran

(futuhat) pemikiran Islam berkembang dan begitu banyak interpretasi yang

dilakukan oleh beberapa kelompok yang merasa dirinya mampu dan berhak

untuk melakukannya. Perkembangan pertama dan paling dominan dalam

Islam adalah masalah teologi. Namun pemikiran teologi ini bukan murni

karena masalah teologi tapi karena politik.2 Pemikiran politik yang

berkaitan atau mempunyai hubungan erat dengan teologi kemudian

berkembang berbarengan dengan perkembangan Islam dan akulturasi

kebudayaan dengan helenisme.

Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau

bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis,

khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk

2

(14)

apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas

dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh

kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa

politik tidak dapat di pisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal

atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah

wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang

sebagian suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari

agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam

sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari

kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara

doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).3

Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu

dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad

S.A.W. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai

seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin

masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran

sebagai seorang Nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh

dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci.

Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau

melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam

musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan

meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala

3

(15)

negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan

ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya

merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal

itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan

pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak

diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa

beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan

tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di

pihak lain telah membuat Nabi Muhammad saw. seorang tokoh yang paling

berhasil dalam sejarah umat manusia.

Sebagaimana Rasulullah membangun negara Madinah, menarik

kita mengkonklusikan pemikiran Ahmadiyah dalam peran agama dengan

politik sebab secara teori Ahmadiyah lahir diakibatkan banyaknya

kemerosotan agama dalam hal ini Islam dalam pentas kekuatan politik yang

di tandai hancurnya kekhalifahan Turki Ustmani.

Gerakan pembaharuan dengan segala variannya muncul sejak masa

kekhalifahan Utsman bin Affan ketika menerapkan kebijakan nepotisme

dalam pemerintahannya. Ketika itu muncul beberapa golongan yang tidak

menyetujui kebijakan Utsman, ditambah lagi terjadinya pertentangan

kelompok Ali yang kurang mendukung kekuasaan Utsman. Puncaknya

terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan kemunculan golongan

(16)

Dalam konteks politik, kemunculan sektarianisme merupakan

akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan penguasa. Pada masa Bani

Umayyah, kelompok pendukung Ali disebut sebagai golongan Syi’ah

diposisikan sebagai opasisi penguasa Umayyah. Konflik yang sengit antar

firqah kian mengemuka pada masa kekuasaan Abbasyiah dengan

kemunculan golongan Mu’tazilah yang bercorak rasionalistik. Golongan ini

vis a vis berhadapan dengan faham yang disokong oleh penguasa, yaitu

Ahiussunah wal Jama’ah. Di samping itu hadir pula kalangan inkarussunah

yang berhadapan dengan ahiussunah dengan pencetus Ahmad bin Hanbal.

Kehadiran Ahmadiyah merupakan reaksi yang hampir mirip

dengan kehadiran golongan-golongan keagamaan pada awal-awal

perkembangan Islam. Sebagai gerakan pembaharuan (menurut versi

Ahmadiyah), Ahmadiyah lahir karena kekecewaan terhadap penguasa India

yang berada dibawah imperialisme Inggris.

Perkembangan Ahmadiyah dalam kontek sosial politik keagamaan

telah menjadi polemik berkepanjangan. Ahmadiyah didirikan oleh Hazrat

Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiani, Mujadid abad 14 Hijriah yang bergelar

Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT. yang beliau terima

pada tanggal 1 Desember 1888. Pada saat ini Ahmadiyah tersebar di seluruh

dunia, bahkan di Indonesia.

Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat (26 Mei 1908), Gerakan

Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh

(17)

Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud

Ahmad, putra pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih,

timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Karena

pengakuannya sebagai perwujudan Imam Mahdi bahkan Ahmad yang

tercantum dalam Qur’an Suci 61:6, maka terjadi friksi di tubuh Ahmadiyah.

Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam

Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut dikenal sebagai

Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian, India tetapi setelah Pakistan dan India merdeka pindah ke Rabwah sampai sekarang, meskipun

Khalifahnya berada di Inggris. Kemudian mereka menyebut dirinya sebagai

Jemaat Ahmadiyah.

Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut

tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah, Gerakan Penyiaran Islam) yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., sekretaris Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.

Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi,

dia adalah seorang Mujaddid. Ahmad dalam Al-Qur’an adalah Nabi suci

Muhammad saw. dan kaum Muslimin yang tidak bai’at kepada beliau

tidaklah kafir.

Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah

Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua

(18)

Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia

(sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H.Minhadjurrahman

Djajasugita dkk. yang mendapat Badan Hukum Nomor 1X tanggal 30 April

1930.

Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan

puluhan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia

serta majalah-majalah. Di samping itu telah pula melahirkan Yayasan

Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai

daerah, yang menyelenggarakan pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman

Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi

Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad

(yang terpuji). Yakni yang menggambarkan suatu keindahan/kelembutan.

Zaman sekarang ini adalah zaman penyebar-luasan amanat yang diemban

Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap

Allah Ta'ala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw.

Kondisi Islam di India pada saat di jajah oleh Imperialisme Inggris

benar-benar menyedihkan. Di satu sisi gerakan Kristenisasi sedang

gencar-gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam

agama Kristen dan di sisi lain serangan-serangan pihak Hindu terhadap

Islam, Al-Quran dan terhadap wujud suci Nabi Muhammad Mustafa saw.

Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal daripada

Hz.Mirza Ghulam Ahmad. Beliau banyak menelaah literatur-literatur yang

(19)

terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di

kedua arah tersebut. Disamping itu beliau sendiri mengalami perkembangan

rohaniah. Konteks berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari pergolakan

politik di India. Oleh karena itu, Ahmadiyah bukan saja sebuah spektrum

gerakan pembaharuan keagamaan yang banyak disinyalir oleh orang,

melainkan sebagai sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama.

Tipologi gerakan politik Islam, atau setidak-tidaknyya di

kategorikan sebagai sebuah gerakan politik, menurut Din Syamsuddin

mengandung dua dimensi, pertama: bahwa kulturisasi Islam harus

ditransformasikan ke dalam dunia politik atau domain politisasi; dan kedua:

adanya upaya totalisasi ajaran Islam yang terdiri tidak hanya dari sistem

ibadah tapi juga prinsip-prinsip aqidah, syari’ah, dan jalan hidup sehingga

tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan.4

Berdasarkan asumsi di atas, gerakan Ahmadiyah telah memasuki

gerakan politik Islam, atau organisasi keagamaan yang memiliki agenda

besar dalam skala nasional bahkan internasional. Selain penafsiran yang

dilakukan oleh Din Dyamsuddin, Ahmadiyah dapat di golongkan sebagai

gerakan politik karena meliputi dua hal yaitu adanya sosialisasi ajaran yang

dilakukan secara massif untuk menarik anggota Jemaat sebanyak mungkin.

Gerakan perekrutmen di upayakan melalui jalan dakwah, penyebaran brosur,

buku pamflet, pendirian Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia

(PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan

4

(20)

pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan

Tinggi.5

Kedua, Ahmadiyah menjalankan aktivitas sosial yang memiliki

implikasi politis terhadap kemapanan agama-agama samawi, terutama Islam.

Gejolak yang ditimbulkan dari gerakan Ahmadiyah mendatang dialektika

epistemologis yang mengerucut pada pertentangan ideologis (the clash of

ideology). Perspektif ini diambil dari konsep Samuel Huntington yang

melihat pertentangan kapitalisme dan Islam sebagai tipologi pertentangan

ideo-politik berskala global.6

Berdasarkan pandangan di atas maka diajukan judul penelitian

sebagai berikut: Islam dan Politik dalam Perspektif Ahmadiyah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat kompleksitasnya permasalahan yang akan dibahas

khususnya mengenai Ahmadiyah, maka penulis membatasi

permasalahannya mengenai relasi Islam dan Politik menurut perspektif

Ahmadiyah.

Dari pembatasan tersebut penulis merumuskan permasalahan :

a. Bagaimana relasi Islam dan politik dari pandangan Ahmadiyah?

b. Bagaimana Ahmadiyah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan

politik?

c. Apa yang melatarbelakang kelahiran Ahmadiyah di India?

5

Ahmad Shultoni, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 26

6

(21)

d. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Indonesia pra dan pasca

kemerdekaan?

e. Bagaimana polemik yang muncul di tengah konstelasi kehidupan

sosial-politik di Indonesia terhadap keberadaan Ahmadiyah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pandangan Ahmadiyah tentang relasi Islam dan

politik.

2. Untuk mengetahui paradigma politik Islam Ahmadiyah.

3. Untuk mengetahui prkembangan gerakan Ahmadiyah di Indonesia

sebagai gerakan politik keagamaan.

b. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan

manfaat, antara lain :

1. Bagi Penulis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan

perspektif yang baru dalam pengembangan ilmu politik kontemporer

khususnya tentang hubungan Islam dan Politik

2. Bagi. Kaum agamawan, diharapkan penelitian ini menjadi khazanah

yang mampu mendialogkan perbedaan keyakinan sebagai sesuatu yang

(22)

3. Bagi ilmuwan politik Islam, diharapkan hasil penulisan ini memberikan

nuansa baru dalam memahami perkembangan Ahmadiyah pada pespektif

ilmu politik Islam.

D. Metode Penelitian

Dalam membahas skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

kepustakaan (Library Research), yaitu penulis berusaha memperoleh data-data

dan informasi melalui literature-literatur kepustakaan, majalah-majalah

maupun artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah tersebut. Dalam

pengolahan data ini penulis menggunakan metode deskripsi analisis.

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini, agar lebih terarah dan terperinci

terbagi kedalam bab-bab dalam tiap sub-babnya dijelaskan secara global.

Di dalam bab I yang diawali dengan pendahuluan, ini terdiri atas latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian serta sistematika penelitian.

Di dalam bab II terdiri dari pengertian politik, relasi Islam dan politik

serta sistem politik Islam

Di dalam bab III terdiri dari sejarah berdirinya Ahmadiyah, profil

Mirza Gulam Ahmad dan doktrin-doktrin Ahmadiyah, Perkembangan

Ahmadiyah di Indonesia dan Perbedaan Aliran Ahmadiyah Qodian dan

(23)

Di dalam bab IV terdiri dari paradigma Islam dan politik, paradigma

politik Islam Ahmadiyah dan relasi Islam dan politik menurut Ahmadiyah

(24)

BAB II KERANGKA TEORI : ISLAM DAN POLITIK

Pengertian Politik

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah

bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang

menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu.7 Pengambilan keputusan

(decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik

itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala

prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.

Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan

kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut

pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari

sumber-sumber dan resources yang ada.

Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki

kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk

membina kerja sama maupun untuk meyelesaikan konflik yang mungkin

timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat persuasif

(meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan

kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent)

belaka.

7

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.(Jakarta:PTGramedia Pustaka

(25)

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat

(public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula

politik menyangkut kegiatan berbagai-bagi kelompok termasuk partai politik

dan kegiatan orang seorang (individu). Perbedaan-perbedaan dalam definisi

yang kita jumpai, disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu

aspek atau unsur dari politik saja. Unsur itu diperlakukannya sebagai konsep

pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Dari uraian

di atas teranglah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah: Pertama, Negara

(state), Kedua, Kekuasaan (power), Ketiga, Pengambilan keputusan

(decisionmaking), Keempat, Kebijaksanaan (policy,beleid) Kelima, Pembagian

(distribution) atau alokasi (allocation).8

Sedangkan kata politik itu sendiri dan diambil dari bahasa Yunani

atau Latin “politicos” yang berarti “relating to citizen”.keduanya berasal dari

kata polis yang berarti kota. Dalam kamus besar bahasa Indonesia

mengeartikan kata politik sebagai pengetahuan mengenai ketatnegaraan atau

kenegara (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Atau juga, segala

urusan dan tindakan kebijaksanaan siasat dan sebagainya mengenai

pemerintahan.9

Sedangkan Ramlan Surbakti mengartikan politik yaitu: Pertama,

politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan

dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang

berakaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik

8

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.h 9

9

(26)

sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan

kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang

berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima,

politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan

sumber-sumber yang dianggap penting.10

David Easton mengatakan : politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi

yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoratif (berdasarkan wewenang)

untuk dan atas nama masyarakat. Sedangkan Al Ghazali memakai kata siyasah

(politik) lebih luas dari pada makna politik dalam pengertian yang lebih

popular sekarang. Siyasah atau politik diartikan dengan segala hal ihwal,

seperti memperbaiki kehidupan makhluk Tuhan dan menunjukkan ke jalan

yang benar yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.11

Selain kata politik, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula kata

siyasah yang berasal dari bahasa Arab. Pemakaian kata siyasah jauh lebih tua

dari perkataan yang memiliki arti senada politik. Namun kepopuleran dan

keluasan pemakaiannya tidak mengimbangi perkataan sesudahnya itu. Siyasah

pada awalnya hanya mengandung arti muslihat dan segala macam usaha serta

ikhtiar untuk mencapai sesuatau atau menyelesaikan suatu perkara. Tetapi

pada akhirnya cenderung mengandung arti kenegaraan sebagai halnya

perkataan politik.

10

Ramlan Surbakti. Memhami Ilmu Politik,(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,1992). cet.I.h. 1-2

11

(27)

Siyasah berasal dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari kata

sasayasusu yang mengandung arti kepemimpinan. Pelakunya disebut sa’is

berarti pemimpin yang menangani urusan rakyatnya yang mendatangkan

kemaslahatan bagi mereka. Jadi siyasah adalah ilmu memerintah, yaitu

kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Dia harus

dipegang oleh orang yang mengerti betul tentang dasar-dasar pengetahuan dan

peraturan-peraturan dalam negara.12

Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata siyasah mempunyai

arti yang berbeda dengan siasat. Siyasah mempunyai arti politik, sedangkan

siasat artinya adalah kebijaksanaan atau kecerdikan dalam menyampaikan

suatu maksud atau untuk memperoleh sesuatu. Jadi perbedaan mendasar

antara siyasah. Siasat diartikan segala macam muslihat di dalam berbagai

lapangan, yang biasa disebut “taktik”, sedangkan siyasah mempunyai arti

yang terbatas, ialah soal kenegaraan yang dinamika”politik”.

Dari penjelasan diatas sangat jelas bahwa politik atau siyasah merupakan pola

kenegaraan yang didalamnya terdapat seperangkat pengaturan sosial dalam

masyarakat.

Islam dan Politik

Dalam sejarah agama-agama, pertautan antara politik dan agama

muncul pada politik para raja dan pemimpin untuk melanggengkan kekuasaan

12

(28)

mereka. Mereka menafsirkan dalil dan doktrin agama-agama sesuai dengan

kemauan mereka dengan tujuan untuk melindungi kepentingan politik mereka.

Dalam sejarah Islam, politisasi agama sudah berlangsung sejak awal

perkembangan Islam. Para raja dan khalifah berusaha melanggengkan

kekuasaan mereka dengan berbagai cara: menafsirkan secara politis dalil

al-Qur’an dan Hadits sesuai kepentingan para penguasa. Diantaranya adalah ayat

yang berbunyi “Taatlah kepada Allah dan para penguasa di antara kalian”.

Para penguasa menafsirkan ayat ini bahwa para penguasa harus dipatuhi apa

dan bagaimana pun cara mereka memimpin. Ayat ini kemudian oleh para

kritikus disebut “ayat al-umara” (ayat para penguasa).

Watt menggambarkan hubungan agama dan politik dalam Islam

dalam bukunya “Islamic Political Thought”. Pertama, gagasan keagamaan

menjadi semacam kerangka ideologis ketika terlibat dalam bermacam

aktivitas, sehingga aktivitas yang dilakukan memperoleh arti penting.Kedua,

agama dapat menentukan bentuk-bentuk motif Islam aktivitas yang akan

dilakukan. Adanya signifikansi agama dalam politik, diakui oleh Watt bukan

karena agama memberikan penjelasan yang sifatnya terinci terhadap semua

hal,tetapi karena agama memberikan berbagai tujuan umum kepada manusia

dalam kehiduan dan membantunya memusatkan kekuatan untuk mencapai

berbagai tujuan tersebut.

Robert N Bellah menyatakan bahwa masyarakat Islam klasik adalah

modern secara politis. Tidak lagi dipersoalkan, demikian ia menegaskan dalam

(29)

membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dalam kapasitas

politik.Demikian juga tidak terlalu mengherankan, jika umat Islam

menjadikan sejarah politik Islam dalam periode Nabi sebagai model ideal

yang senantiasa diidamkan sepanjang sejarah Pemikiran politik Islam seperti

juga pemikiran Islam dan gerakan Islam pada umumnya dapat dilihat sebagai

hasil dari kelanjutan dan perubahan yang berlangsung dalam sejarah Islam.13

Di Indonesia, istilah Islam politik sering kali dilawankan dengan

Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang

ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik,

atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi

(eksekutif dan legislative). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang

hanya bergerak di bidang dakwah, pendidkan, seni dan sebagainya tanpa sama

sekali terlibat dalam politik.

Islam dan politik pertama kali digulirkan oleh kalangan Barat yang

menguasai berbagai negeri Islam, yang mengatakan bahwa Islam adalah

agama bukan negara. Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan

dengan Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai

yang ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai

politik, atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik

resmi (eksekutif dan legislative). Sedangkan Islam kultural merujuk pada

Islam yang hanya bergerak di bidang dakwah, pendidikan, seni dan

sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam politik.

13

(30)

Islam berasal dari kata salam yang berarti tunduk atau berserah diri

pada Allah, atau menerima semua peraturan Tuhan sebagai petunjuk bagi

kehidupan seseorang, taat sepenuh hati, akan keadaan noda dan cela.14

Menurut Hasan al-Banna seperti yang dikutip oleh Yusuf Qardhawy

mengatakan Islam adalah sesuatu yang syumul (menyeluruh), mencakup

semua aspek kehidupan dengan syariat dan pengarahannya. Islam menata

kehidupan manusia sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan

sebelum ia dilahirkan dan sesudah meninggal dunia.15 Selain itu Islam menata

kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan politik, mulai

beristinja sampai kepada pemerintahan.

Hasan Al-Banna juga menyatakan bahwa ada perbedaan yang

mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan

mungkin bisa berseteru. Ketika Hasan al-Banna berbicara tentang politik

praktis pada kesempatan ini, maka yang dikehendaki adalah politik secara

umum. Yakin melihat persoalan-persoalan umat, baik internal maupun

eksternal yang sama sekali tidak terkait dengan hizhiyah (kepartaian). Ini yang

pertama.

Kedua, Takala orang-orang nonmuslim awam tentang Islam, oleh

urusan dan kokohnya Islam yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya,

atau kesiapan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka

tidak berusaha untuk melukai jiwa-jiwa kaum muslimin dengan menodai

14

IAIN Syarif Hidayatillah, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Jambatan, 1992), h. 445

15

(31)

nama Islam, syariat, dan undang-undangnya. Namun mereka berusaha

membatasi substansi makna Islam pada lingkup sempit yang menghilangkan

semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamya. Kendati setelah itu yang

tersisa bagi kaum muslimnin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang

sama sekali tidak berguna.16

Sedangkan menurut Moh. Mufid, M.Si, ada dua pandangan berbeda

yang mengkaji masalah legitimasi dalam politik, yaitu: pertama, Barat (Eropa)

dengan ciri skularistiknya berpendapat bahwa pengakuan terhadap suatu

pemerintahan adalah pengakuan yang berasal dari rakyat. Artinya, ketika

seseorang dalam sebuah pemilihan umum secara mayoritas memperoleh suara

terbanyak, maka sejak itu pula ia berhak memperoleh tampuk kekuasaan.

Kedua, legitimasi kepemimpinan/kekuasaan dalam perspekitf

pemikiran politik Islam berbeda dengan Barat. Bagi kelompok ini legitimasi

berasal dari dua sumber, yaitu Tuhan dan manusia. Yang pertama menjadi

keyakinan syiah, bahwa kepemimpinan itu berasal; dari Tuhan, karenanya

mempunyai sifat dan fungsi keagamaan dan ditransmisikan lewat keturunan

Nabi Muhammad lewat jalur Ali bin Abi Thalib. Yang kedua merupakan

preferensi Sunni yang memandang bahwa kepemimpinan merupakan hasil

kesepakatan masyarakat (ijma’) melalui para elit.17

Moh.Mufid,M.Si juga memandang hubungan agama dan politik

(negara) dengan tiga paradigma. Yaitu : Pertama, paradigma integrative,

16

Hasan Al Banna. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Terj. Anis Matta, LC.et.all (Surakarta:Era Intermedia, 1999). h.70

17

(32)

kedua, paradigma simbiotik, dan ketiga,paradigma instrumental. 18 Dalam

paradigma pertama dan kedua hubungan agama dan politik (negara)

merupakan hubungan kemitraan yang saling membutuhkan antara keduanya

tidak dapat dipisahkan, dalam pengembangan dan eksistensi suatu negara,

agama sering dijadikan faktor penentu yang paling dominan. Karenya, baik

keberadaan agama maupun politik (negara) dalam prakteknya saling

melengkapi kebutuhan satu salam lain. Sementara dalam paradigma yang

terakhir, agama hanya sebatas menjadi pelengkap kebutuhan suatu negara

begitupun juga sebaliknya.

Maka mereka berusaha memberikan pemahaman kepada kaum

muslimin bahwa Islam adalah sesuatu, sementara masalah sosial adalah

sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan perundang-undangan adalah

sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi sesuatu

yang lain, yang tidak ada hubunganya sama sekali. Islam adalah sesuatu dan

peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada

jarak yang jauh dari politik.

Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam

tidak pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya

al-Ghazali yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama.

Karena pegangan dari semua ilmu itu ialah ajaran kitab-kitab suci yang

diturunkan Tuhan kepada para Nabi dan ucapan-ucapan yang ditinggalkan

oleh orang-orang yang suci.

18

(33)

C. Sistem Politik Islam

Berbicara tentang sistem politik islam, para pengamat Islam telah

menulis sejumlah buku tentang teori politik islam dalam beberapa topik,

seperti : sistem pemerintahan, hubungan pemerintah dengan rakyat dan jenis

kekuasaan dalam islam (batasan dan tugas-tugas).19

Agaknya sudah merupakan kebiasaan orang-orang tertentu untuk

agak menyamakan Islam dengan salah satu sistem kehidupan tertentu atau

sistem kehidupan lainnya yang dewasa ini tengah menjadi wacana

kontemporer. Ada yang mengatakan bahwa Islam adalah sebuah demokrasi,

dan yang mereka maksudkan dengan ini adalah bahwa tidak ada perbedaan

antara Islam dengan demokrasi yang kini tengah naik daun di barat. Beberapa

orang lainnya menyatakan bahwa komunisme tidak lain merupakan versi lain

dari Islam yanag telah direvisi dan sangatlah cocok bagi kaum muslim untuk

meniru eksperimen-eksperimen komunis soviet rusia. Yang lainnya lagi

membisikan bahwa Islam mengandung unsur-unsur kediktatoran dan kita

harus membangun kembali adat “taat kepada amir (pemimpin)”.20

Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam bukunya

Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a

religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem).

Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat

19

Empan Supandi. Islam dan Politik (Kajian Tentang Pemikiran Politik Al Ghazali.”,(Skripsi SI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri,Jakarta,, 2006),h.16-26

20

(34)

Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha

memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun

atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Joseph Schacht, seorang orientalis

lainnya, yang berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar agama, ia

mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan

yang lebih sederhana Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang

mencakup agama dan negara secara bersamaan. Dengan demikian, seperti

yang di kemukakan oleh H. A. R. Gibb, jelaslah bahwa Islam bukanlah

sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya

suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri

dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi.

Pendapat dari para orientalis tersebut diperkuat oleh fakta-fakta

sejarah. Misalnya sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW bersama

kaum Mukmin di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan

variabel-variabel sistem politik modern, maka dapat dikatakan bahwa sistem

itu adalah sistem politik par excellence, tetapi juga tidak disangkal jika

dikatakan sebagai sistem relegius, karena dilihat dari tujuan-tujuan dan

motif-motif dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.

Sebagai sebuah sistem politik dalam perjalanan sejarahnya Islam

diwarnai dengan dinamika pemikiran politik, seperti halnya perjalanan

(35)

Kristen, dan juga Islam tidak terlepas dari unsur kesejarahannya.

Teori-teori politik tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian

proses dengan fenomena dan kejadian kesejarahan yang dikaji dan

diteorisasi secara sistematis. Teori-teori politik yang muncul di Barat

sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan

Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan

perhatian mereka terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan

kekuasaan, ideologi dan kekuasaan, kepentingan dan kekuasaan, yang

sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara mereka atau di

negara-negara yang menjadi perhatian mereka.

Mustafa Muhammad dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran

Menuju Gerakan Islam, mengatakan bahwasanya sistem politik Islam adalah

suatu sistem yang bertolak dari kaidah-kaidah umum, yakin kebebasan,

kesetaraan, keadilan, dan supremasi hukum. Juga konsistensi terhadap

pemilihan pemimpin, dan bahwa pemerintah adalah pelaksana hukum dan

perundang-undangan, pelindung agama dan bertanggung jawab terhadap

rakyat. Di antara rakyat adalah memberi nasihat, mengevaluasi, memecat dan

menggantinya, jika diperlukan. Sistem politik harus ditegakkan di atas prinsip

syura, dan syura menjadi sesuatu yang harus ditegakkan oleh penguasa.21

Abu A’la al-Maududi mengatakan bahwasanya sistem politik Islam

merupakan suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan

suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan suatu sistem

21

(36)

politik Islam yang ditegakan oleh rasul. Aspek-aspek lain berkisar

disekelilingnya. Akidah inilah yang menjadi landasan pijakan dan paradigma

teori politik Islam. akidah juga merupakan dasar undang-undang politik Islam

yang telah melahirkan bentuk ketahanan politik dan hukum ciptaan manusia,

baik secara individu (ijtihad fardli) maupun kelompok (ijtihad jam’I). Namun

seseorang tidak mempunyai otoritas dalam memeaksakan kehendaknya yang

menginginkan ijtihadnya diikuti dan dipatuhi. Pembuatan hukum Islam mutlak

menjadi hak Allah, dan tidak ada campur tangan manusia.22

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwasannya al-Maududi

dalam menjelaskan tentang sistem politik Islam adalah suatu sistem yang

bermuara pada ketentuan (undang-undang)yang terdapat dalam al-Qur’an.

Al-Nabani mengatakan bahwasannya sistem politik Islam adalah

sistem yang membicarakan tentang kekhalifahan dan konsep-konsep

pemerintahannya. Konsep pemerintahan Islam adalah sistem ”khilafah”, yang

mempuyai pola yang unik yang berbeda dari pola pemerintahan lainnya.

Syariat yang diterapkan untuk mewujudkan pemerintahan. Pengaturan urusan

rakyat dan hubungan luar negerinya, berasal dari Allah Swt. Syariat tersebut

bukan dari rakyat, bukan dari beberapa orang, atau seseorang. Sedangkan

ciri-ciri khas khliafah yang menurut as-Sanhuri, ialah prinsip kesatuan umat.

22

(37)

D.

Polemik Tentang Relasi Agama dalam Konteks

Negara-Bangsa

Perdebatan antara relasi agama dalam konteks negara adalah sebuah

perdebatan panjang yang melelahkan. Diskursus politik kontemporer pun

tidak terlepaskan dari perdebatan tersebut, antara pihak yang memisahkan

agama dari politik, dan menjadikan agama sebagai jiwa spiritual penentu

aturan moral kemasyarakatan dan konstitusi.

Ada golongan yang memandang agama sebagai sebuah ajaran yang

bersifat universal, sehingga konteks kehidupan politik harus dijiwai oleh

nilai-nilai agama. Golongan ini disebut dengan formalisme yakin sebuah aliran

yang berpandangan Islam harus menjadi landasan kehidupan bernegara, Islam

menjadi basis konstitusional negara. Praktek-praktek dalam konteks

ketatanegaraan harus dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Tidak ada tempat buat

faham sekulerisme. Tokoh-tokoh yang mengusung tema besar ini adalah

M.Natsir dari Masyumi.

Ada juga golongan yang memandang bahwa agama harus dipisahkan

dari negara. Alasannya sederhana, bahwa wilayah agama adalah wilayah

private (pribadi) karena menyangkut keyakinan akan nilai-nilai supranatural.

Sedangkan wilayah negara adalah domain publik yang membutuhkan

kesepakatan bersama berlandaskan rasionalitas, kemakmuran, dan keadilan.

Perbedaan wilayah publik dan privat menjadi keharusan adanya pemisahan

(38)

Golongan lain adalah menjadi penengah di antara kedua arus besar

tersebut yang bercorak nilai substansialistik. Artinya, golongan kedua ini

membutuhkan ajaran agama sebagai asas moralitas dan etika dalam konteks

politik kenegaraan. Biarpun tidak dilegalkan secara formal, namun nilai-nilai

agama melandasi setiap keputusan hukum, Undang-undang, bahkan ideologi

negara.

Dalam sejarah pembentukan negara modern Indonesia, polemik

seputar kedudukan agama dalam sistem politik kenegaraan terjadi antara

Soekarno yang mewakili kaum nasionalis dengan Natsir dari golongan

agama.23 Perdebatan itu muncul sekitar tahun 1930.

Berbicara singkat tentang hubungan Islam dan negara, Natsir

mengatakan bahwa agama lain dijamin hidupnya dalam suatu negara Islam. Ia

berseru kepada golongan kebangsaan agar kembali ke dalam lingkungan

Islam, apalagi karena bagian terbesar mereka adalah orang Islam.24 Ia

meragukan adanya jaminan perlindungan terhadap Islam dalam suatu negara

yang pemerintahannya dipegang oleh negara yang netral atau dibawah kendali

non-Muslim.

Sedangkan soekarno menekankan bahwa landasan kebangsaan

berdasarkan pada nasionalisme yang luas yang meliputi semua golongan

Islam, kristen, Hindu, Buddha dengan berasaskan konstitusi modern

legar-formal, bukan berasaskan kepada ajaran agama Islam. Rujukan Soekarno

adalah berdirinya negara modern Turki dengan Kemal Attaturk yang menjadi

23

Perdebatan panjang tersebut dapat dilihat dalam karya Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 296-311

24

(39)

pioner. Soekarno mengganggap tidak ada ijma’ ulama yang mengenai

persatuan agama dengan negara, dan ada juga yang mengatakan agama dan

negara terpisah karena memiliki dimensi yang berbeda.25

Zaid Sakhir menjelaskan posisi agama dalam negara dengan

argumentasi apakah Islam sebuah agama atau ideologi.26 Sebaggai sebuah

agama Islam meliputi aspek keyakinan, peribadatan, moralitas, aturan

kemasyarakatan, dan aspek-espek yang lainnya dalam skala yang lebih luas.

Namun di sisi lain, sebagai salah satu agama terbesar di dunia, Islam

dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila menghadirkan teori yang dapat

diterpakan yang bersifat lengkap dan universal bagi umat manusia. Ia berkata:

Islam is indeed an ideology as it presents a “complete and universally applicable theory of man and society.” However, the relevant realm of action and thought for an ideology is the political, as Scruton points out. This limitation to the political realm marks where Islam parts with ideology. Islam is not simply concerned with man’s political condition; it is also concerned with his spiritual condition, and at the heart of the Islamic call is a normative program for spiritual salvation.27

Secara umum hubungan antara Islam dan Negara serta politik dapat

dibedakan kepada tiga golongan: Pertama, golongan formalistik yaitu

golongan yang ingin menjadikan Islam sebagai sebuah konstitusi resmi

Negara, tidak sebatas jargon tetapi ditempatkan sebagai aturan hukum

tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Golongan Hizbut Tahrir, M. Natsir, dan

tokoh-tokoh Masyumi lain; Kedua, golongan substansialistik, bagi golongan

ini yang terpenting bukan menjadikan agama sebagai legal-formal dalam

konteks Negara, melainkan sebuah upaya gerakan –meminjam istilah Quraish

25

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 303

26

Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, Zaituna Institute terbit 25 Juli 2006, h. 2

27

(40)

Syihab “membumikan Al-Qur’an”—kulturisasi nilai-nilai keIslaman yang

tertanam kuat di tengah masyarakat. Tokoh penganjur utama adalah Gus Dur,

Amien Rais, NU, Muhammadiyah, Cak Nur; dan ketiga, golongan

fundamentalis, yaitu yang mengidolakan kondisi Madinah sebagai bentuk

Negara ideal dalam struktur Negara bangsa modern. Kebanyakan golongan ini

(41)

BAB III

HISTOGRAFI AHMADIYAH

Sejarah Berdirinya Ahmadiyah

Jemaat Ahmadiyah adalah gerakan Islam yang di dirikan oleh Mirza

Gulam Ahmad pada tahun 1889 M bertepatan dengan tahun 1306 H.

Ahmadiyah adalah sebutan singkat dari Jemaat Ahmadiyah. Jemaat berarti

kumpulan individu yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program

bersama. Ahmadiyah adalah nama dari Islam, jadi Ahmadiyah adalah suatu

perkumpulan, himpunan atau organisasi yang bersatu padu dan bekerja untuk

suatu program yang sama, yaitu Islam. Ahmadiyah diambil dari salah satu

nama Rosulullah yang diinformasikan kepada Nabi Isa a.s dalam Surat

As-Shaf ayat enam yang menyatakan bahwa akan datang seorang Nabi dan Rosul

yang bernama Ahmad.

Kemunculan Ahmadiyah di India merupakan salah satu bagian dari

peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak terlepas dari konteks sosial pada saat

itu. Kemunduran dunia Islam yang ditandai oleh runtuhnya kerajaan Ustmani

1683. Sementara di Barat perkembangan ilmu pengetahuan dan industri

semakin berkembang pesat, yang ditandai dengan berbagai macam penemuan

yang antara lain ditemukannya alat tranportasi dengan menggunakan tenaga

uap pada tahun 1902 M dan penemuan-penemuan yang lainnya. Kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyebabkan Barat semakin

melebarkan kekuasaan kolonialnya kedunia yang pernah dikuasai oleh Islam.

(42)

Seperti Inggris dapat menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai

Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Barat lainya menduduki bekas Imperium

Islam.

Kerajaan Islam yang menguasai anak benua India adalah kerajaan

Mughal (1526-1858 M) yang saat itu sedang menuju kehancuran. Hal ini

disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, melemahnya pemerintahan karena

dekadensi moral dan polah hidup mewah para pejabat pemerintah pasca

Aungrazeb. Kedua, adanya pemberontakan yang dilakukan secara terus

menerus oleh golongan Hindu dan Sikh di India. Walaupun India berada

dalam wilayah kekuasaan kerajaan Islam Mughal, tetapi mayoritas

penduduknya masih beragama Hindu, sebagain lain beragama Kristen, Budha,

Sikh. Tercatat telah terjadi pemberontakan Sikh yang dipimpin Guru Tgh

Bahdur dan Guru Gobin Singh. Golongan Rajput juga mengadakan

pemberontakan dibawah pimpinan raja Udaipur, sedangkan golongan Maratah

di pimpin Sivaji dan anaknya yang bernama Sambaji. Pada masa pemerintahan

raja Bahdur Syah juga terjadi pemberontakan dari golongan Sikh dibawah

pimpinan Bandah yang berhasil merampas kota Sadhaura di sebelah utara

Delhi, dan mengadakan perampasan serta pembunuhan terhadap penduduk

yang beragama Islam di kota Sirhind. Selain itu golongan Maratah yang

dipimpin Raji Rao dapat merampas sebagian daerah Gujarat tahun 1732 M.

Ketiga, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak Abad ke 15,

terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan

(43)

Company, dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu keoloninya

yang terpenting di dunia. Dengan runtuhnya kerajaan Mughal di India maka

secara otomatis runtuh pula kekuasaa Islam dan inilah periode kemerosotan

ummat Islam. Secara otomatis dengan berkuasanya Inggris di India maka

sistem pemerintahannya pun berganti dan masuknya kebudayaan Eropa

kedalam India.

Pada masa India berada dalam kekuasaan Inggris terjadi gerakan

misi-misi Kristenisasi yang terjadi hal ini bukan hanya di India akan tetapi di

seluruh dunia yang dilakukan sejak tahun 1804 M, khususnya ketika British

and Foreign Society terbentuk.28 Kelompok Kristen menetapkan pada tahun

1813-1815 M sebagai The Great Century of World Evangelization (Abad

Agung Penginjilan Dunia), dimana anak benua India merupakan sebuah

sasaran yang dijadikan sebuah proyek besar bagi gerakan penginjilan atau

kristenisasi, sehingga jutaan orang masuk kedalam agama Kristen melalui

gerakan missionaris Kristen. Ketika terjadi pergerakan Kristenisasi di India

kondisi umat Islam semakin mengalami kemunduran, kelompok Neo-Hindu

bermunculan, diantara yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya

Samaj merupakan gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian agama

Hindu dan menampilkan sebagai suatu kebanggaan nasional India, menentang

pemahaman-pemahaman Hindu Brahma yang ortodoks dan sering

melancarkan serangan besar-besaran terhadap ajaran Kristen dan Islam.

28

(44)

Gerakan ini sudah berkembang dari tahun 1819 M yang dipimpin oleh Swami

Dayananda Saraswati yang diberi gelar Hindu Luther oleh para penentangnya.

Kondisi umat Islam India pada saat itu, mengalami dekadensi moral

dan sekaligus kemunduran dari segi intelektualitas. Sering terjadi perpecahan

dalam diri umat Islam sendiri disebabkan oleh perbedaan-perbedaan

pandangan. Di tengah keadaan sosial dan politik India seperti di atas tadi

Ahmadiyah di lahirkan dengan berorientasi pada pembaharuan pemikiran dan

juga sebagai protes terhadap gerakan kaum misionaris Kristen dan juga

sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawah oleh

Sayyid Ahmad Khan yang merupakan pelopor menerapkan ide-ide

pembaharuan demi kemajuan umat Islam di India dengan Aligarh-nya.

Pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental Colloge yang kemudian menjadi

Universitas di India.

Orientasi kelahiran Ahmadiyah adalah pembaharuan pemikiran ummat

Islam. Pendiri Ahmadiyah Mirza Gulam Ahmad merasa memiliki tanggung

jawab besar yang harus dia pikul untuk memajukan Islam dengan memberikan

interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan zamannya,

dengan menulis kitab yang dijadikan rujukan utama setelah Al-Qur’an nomor

dua yaitu Tadzkirah.

Tokoh-tokoh Ahmadiyah

Mengingat aliran bernama Ahmadiyah ini telah memunculkan

(45)

Eropa, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya termasuk Indonesia, maka

menelisik tokoh sekaligus pendirinya jelas sangat penting. Dari perspektif

historis, gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada paruh

akhir tahun abad ke-19 M. jauh hari sebelum terjadi pemisahaan Anak Benua

yang sekarang menjadi Pakistan.

Mirza Ghulam Ahmad lahir pada saat shubuh, bertepatan pada hari

Jum’at tanggal 13 Februari 1835 M yang dalam kalender Islam tepat pada 14

Syawal 1250 H di Qadian India.29 Qodian adalah sebuah desa yang terletak di

distrik Gurdaspur Punjab India, Jaraknya 100 km disebelah Timur laut kota

Lahore. Asal usul kata Qadian berasal dari nenek moyang Mirza Gulam

Ahmad yang bernama Mirza Hadi Beg yang diangkat sebagai qadhi (hakim)

maka tempat itu disebut Islampur Qadhi yang dalam perkembangan

selanjutnya hanya terkenal dengan Qadhi berubah manjadi Qadian ini karena

logat daerah tersebut.

Mirza Gulam Ahmad ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtadha yang

meninggal pada tahun 1876, merupakan seorang tabib yang sangat terkenal.

Ibunya bernama Ciraagh Bibi, sedangkan kakeknya adalah Mirza Atha

Muhammad bin Mirza Gul Muhammad adalah keturunan Haji Barlas.30 Yang

berasal dari keluarga Moghul. Haji Barlas adalah raja kawasan Qesh yang

merupakan paman Amir Tughlak. Ketika penyerangan terjadi Haji Barlas

sekeluarga terpaksa mengungsi ke Khurasan dan Samarkhan yang kemudian

(46)

menetap disana. Pada tahun 1503 M seseorang keturunan Haji Barlas yang

bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 pengikutnya hijrah dari Khurasan ke

daerah Gurdashpur di Punjab yang letaknya 70 mil sebelah Timur Lahore

sekitar kawasan sungai Bias dengan mendirikan perkampungan yang bernama

Islampur.

Dalam bidang pendidikan Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah

menerima pendidikan formal karena dengan situasi sosial dan poltik pada saat

itu di Qadian belum ada sekolah formal. Ia mulai mendapat pendidikan ketika

berusia 6-7 itu pun belajar atas keinginan dari ayahnya untuk memberikan

pendidikan kepada anaknya dengan memanggil seorang guru bernama Fazal

Ilahi untuk belajar membaca Al-Quran, serta beberapa kitab bahasa Parsi yang

bermuatan pendidikan agama Islam.31 Ketika dia berusia 10 Tahun ayahnya

mempekerjakan seorang guru yang bernama Fazal Ahmad untuk mengajar

nahwu dan sharaf.32 Pada saat ia berumur 17 tahun ayahnya kembali

memanggil seorang guru bernama Gul Ali Syah untuk memberikan pengajaran

kepada Mirza Ghulam Ahmad dengan pelajaran Ilmu Mantiq (Logika). Ilmu

tentang pengobatan ia pelajari sendiri kepada ayahnya langsung.

Pada masa ia telah menyelesaikan pendidikan non-formal, dan

stabilnya politik dalam negeri India dengan ditandai tidak adanya

pemberontakan-pemberontakan menentang kolonialisme Inggris, banyak

warga yang ingin memperbaiki kehidupan khususnya dalam bidang ekonomi

dengan bekerja kepada kolonilisme Inggris, demikian juga kelurga Mirza

31

A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, (Jakarta : RM Books, 2006).h.39

32

(47)

Ghulam Ahmad yang dari semula sudah bekerja untuk pemerintah Inggris di

India maka anaknya pun Mirza Ghulam Ahmad pada usia 29 tahun dia bekerja

pada pemerintahan Inggris di kantor Bupati Sailkot. Setelah empat tahun

bekerja dia dipanggil ayahnya kembali ke kampung halaman untuk menekuni

pekerjaan dalam bidang pertanian. Akan tetapi tidak lama dia menggeluti

bidang pertanian, merasa tidak cocok dengan apa yang dia kerjakan. Mirza

Ghulam Ahmad menghabiskan waktunya dengan mengkaji Al-Quran,

menelaah buku, mengajar, dan berdiskusi tentang agama.33

Pada tahun 1875, Mirza Ghulam Ahmad merasakan kesedihan dengan

melihat golongan Hindu, Nasrani, Sikh, dan golongan lainnya yang

melancarkan serangan kepada Islam. Mirza Ghulam Ahmad melakukan

Mujahadah atau menjalani disiplin asketis dengan melakukan puasa selama 6

bulan berturut-turut. Tujuannya adalah untuk bertawajjuh kepada Allah

dengan media puasa, sholat tahajjud, dan semakin mendalami ajaran Islam.

Dengan memiliki modal dan kekuatan hati Mirza Ghulam Ahmad

dapat memberikan jawaban dan sanggahan terhadap argumentasi kelompok

lain yang mendiskreditkan Islam. Kemudian hasil buah pikirannya ia

publikasikan dalam bentuk artikel di media massa. Puncaknya pada tahun

1880 M, Ghulam Ahmad banyak menulis karyanya lebih dari 86 karya ilmiah

yang telah ia ciptakan.

Ketika dia berusaha semakin mendalami ajaran Islam, dia dihadapkan

pada kesedihan dengan meninggalnya ayahnya pada tahun 1876 M. akan

33

(48)

tetapi hal itu tidak mengurangi produktifitas dalam menulis sebuah gagasan.

Karya Mirza Ghulam Ahmad yang sangat monumental adalah Barahin

Ahmadiayah yang berisikan tentang penjelasan keunggulan ajaran ummat

Islam dibanding dengan ajaran-ajaran agama-agama lainnya. Dengan buku itu

maka terjadi pro-kontra dalam kalangan umat beragama India. Tidak seperti

halnya di kalangan non-muslim yang menimbulkan berbagai polemik dan

perbedaan sengit, akan tetapi dikalangan umat Islam sendiri kehadiran buku

tersebut disambut dengan suka cita, karena telah dianggap membela ajaran

Islam dari serangan serangan yang selama ini dilancarkan oleh berbagai pihak,

khususnya dari kalangan neo-Hindu (Arya samaj dan Brahma Samaj), dan

Nasrani. Salah seorang ulama ahli hadist ternama, Maulvi Muhammad Husain

Batalwi, menulis dalam bukunya Isyaat as Sunnah jilid VII, no 6-10, halaman

169-170 dan Swanah Fazl Umar Jilid I, Halaman 20:

Menurut pandangan kami, Pada zaman sekarang dan sesuai dengan kondisi yang berlaku buku ini adalah sedemikian rupa yang mana sampai saat ini tidak ada bandingannya telah ditulis dalam Islam, dan tidak ada kabar di masa mendatang karena Allah lah yang lebih mengetahui kejadian setelah ini. Penulisannya pun dalam hal memberi bantuan terhadap Islam dari segi harta, jiwa, tulisan maupun lisan, dan langkah-langkahnya adalah sangat teguh dan kokoh karenanya, sangat sedikit sekali diketemukan contoh seperti dirinya biarpun dari kalangan umat Islam terdahulu.34

Dengan terbitnya buku Barahin Ahmadiyah yang didalamnya ada

pendakwaan Ghulan Ahmad sebagai Mujahid abad ke 14 M. berdasarkan

ilham-ilham yang diterimanya, maka pada tahun 1883 banyak dari kalangan

umat Islam yang berkeinginan untuk melakukan bai’at (janji setia) menjadi

34

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap puisi dalam mengungkap makna secara struktrual merupakan

M eteorologi mengenal sistem skala dalam melakukan sebuah analisis. Skala global merupakan skala meteorologi yang paling luas. Skala global dapat mempengaruhi fenomena meteorologi

biopsikososial harusnya digunakan dalam melakukan penanganan LBP kronis dan pemberian latihan pada pasien merupakan rekomendasi terbaik, akan tetapi pada prakteknya

Maka secara keseluruhan faktor yang paling dominan mempengaruhi motivasi kerja pegawai pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru adalah faktor pemeliharan,

51 BIANA HASTARI,S.Pd TK DHARMA WANITA SENDANGHAJI MERAKURAK 52 NISWATIL ELYA, S.Pd,S.PdI TK TUNAS HARAPAN KORO MERAKURAK 53 ZUMROTUL AINI LAILATUL. FITRI,S.Pd TK BINA

(2) Seksi Pengembangan Perdagangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (1) huruf b, mempunyai tugas melaksanakan pengumpulan data, identifikasi, analisa,

Dengan demikian sangat dibutuhkan cara atau media yang harus diinformasikan kepada para siswa tentang teknik pembuatan presentasi yang interaktif dan lebih menarik salah satunya

2. pembuktian pelanggaran Etika Akademik tindakan plagiat yang dapat dijadikan dasar tindak lanjut dan/atau sanksi adalah pembuktian yang dilakukan melalui