DI KECAMATAN CILOGRANG KABUPATEN LEBAK
TAHUN 2010
SKRIPSI
Oleh :
ENDANG BUKHORI
105101003274
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Mei 2010
Endang Bukhori
ENDANG BUKHORI, NIM 105101003274
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO PEKERJAAN DENGAN KELUHAN
MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA TUKANG ANGKUT BEBAN PENAMBANG EMAS DI KECAMATAN CILOGRANG KABUPATEN LEBAK – BANTEN TAHUN 2010
xii + 81 halaman, 17 tabel, 6 gambar, 2 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Pada pekerjaan yang aktifitasnya bersifat manual, pekerja dituntut memiliki kemampuan fisik (khususnya otot dan tulang) agar bisa menghasilkan peran sesuai dengan yang diinginkan. Akan tetapi perlu diingat, bahwa manusia memiliki keterbatasan fisik sehingga memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan berkaitan dengan otot dan tulang. Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah sekumpulan gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem syaraf, struktur tulang, dan pembuluh darah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan MSDs pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak yang dilakukan selama bulan Februari sampai April 2010 dengan menggunakan desain studi Crossectional.
Hasil penelitian menunjukan bahwa keluhan MSDs menyerang 38 pekerja (79,2%). Adapun hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel risiko pekerjaan (Pvalue 0.029) dan variabel karakteristik umur (Pvalue 0.031) dengan alpha 5% diyakini memiliki hubungan dengan terjadinya keluhan MSDs.
Dengan demikian, sebaiknya pengusaha agar secepatnya menyusun teknik-teknik pencegahan melalui pemberlakukan sistem perorganisasian kerja, termasuk diantaranya mengatur waktu kerja dan waktu istirahat serta memberikan pelatihan khusus terkait prosedur pengangkutan yang baik dan benar kepada setiap pekerja agar risiko yang ditimbulkan bisa terus diminimalisir.
Daftar Bacaan : 30 (1985 – 2009)
ENDANG BUKHORI, NIM 105101003274
RELATION OF WORK RISK FACTORS WITH MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) COMPLAINT ON TRANSPORT WORKERS GOLD MINERS IN SUBDISTRICT CILOGRANG - BANTEN ON 2010
xii + 81 pages, 17 tables, 6 drawings, 2 charts, 4 attachments
ABSTRACT
At work in manual activities, workers are required to have the physical ability (especially muscle and bone) to be produced in accordance with the desired role. But keep in mind, that humans have physical limitations that have a tendency to experience problems associated with muscle and bone. Musculoskeletal Disorders (MSDs) are a set of symptoms / disorders associated with muscle tissue, tendons, ligaments, cartilage, nervous system, bone structure, and blood vessels.
This study aims to determine the relationship between occupational risk factors with the occurrence of MSDs complaints on movers load of gold miners in District Cilograng - Banten conducted during February until April 2010 using a design Cross sectional study.
The result showed that the MSDS complaint attacked 38 workers (79.2%). The results of statistical tests showed that the occupational risk variables (pvalue 0029) and variable characteristics of age (pvalue 0031) with an alpha of 5% is believed to have a relationship with the occurrence of MSDs complaints.
Thus, employers should immediately arrange for the techniques of prevention through the implementation of the work perorganisasian system, including the set working time and rest periods and to provide specialized training related to procedures for the transportation of good and true to every worker for the risks that could continue to be minimized.
List of Reference: 30 (1985 - 2009)
Skripsi Dengan Judul
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO PEKERJAAN DENGAN TERJADINYA KELUHAN MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA TUKANG ANGKUT BEBAN PENAMBANG EMAS DI KECAMATAN CILOGRANG
KABUPATEN LEBAK – BANTEN TAHUN 2010
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 10 Juni 2010
Mengetahui,
Yuli Amran, SKM, MKM
Pembimbing Skripsi I
Raihana N. Alkaff, MMA
Pembimbing Skripsi II
Jakarta, 10 Juni 2010
Penguji I
Yuli Amran, SKM, MKM
Penguji II
Raihana N. Alkaff, MMA
Penguji III
Hendra, MKKK
Nama : Endang Bukhori
TTL : Sukabumi, 31 Januari 1988
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
No Telepon : 085697831631 / 087720829088 / (021) 95772652
Alamat : Jalan Raya Bayah - Pelabuhan Ratu KM 25,
Cikamunding Rt/Rw 01/02 Kecamatan Cilograng Kabupaten
Lebak – Banten 42398
E-mail / Fb / Fs : endank_88@yahoo.com
PENDIDIKAN FORMAL
1993 – 1999 : SDN 01 Cikamunding - Banten
1999 – 2002 : Mts Syamsul Ulum – Sukabumi - Jabar
2002 – 2005 : MA Syamsul Ulum – Sukabumi - Jabar
2005 – 2010 : Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
(Ingatlah) Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya,
” Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas
bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud
kepadaku.”
(Q.S YUSUF : 4)
- - -
Mulai hari ini,
akan kutunjukan senyum terindahku pada dunia
Agar semua yakin, bahwa aku memang sanggup
hadapi rintangan hidup
TIADA sanjungan yang patut dipersembahkan selain kepada Rabbul Izzati, zat
yang maha pencipta dari segala bentuk penciptaan. Zat yang maha agung dari segala
bentuk keagungan. Dialah pemilik taqdir kehidupan manusia, mahkamah Qadha dan
Qadhar yang tidak pernah tidur dan selalu dekat dengan hamba-Nya. Syukur senantiasa
terucapkan atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “ Hubungan Faktor risiko Pekerjaan dengan Terjadinya Keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di
Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak Tahun 2010”.
Teriring shalawat dan salam keharibaan manusia yang termulia dari yang paling
mulia, manusia yang tak pernah terjamah kenistaan, manusia kekasih sang Khalik,
Muhammad SAW.
Alhamdulillah, akhirnya penulis bisa merampungkan skripsi ini sebagai persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyusunan skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis saja, melainkan
banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, motivasi, dan semangat.
Untuk itu penulis merasa sangat pantas berterima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Keluarga tercinta, khususnya mamah dan bapak yang selalu memberikan dukungan
baik moril maupun materil terutama do’a yang sangat luar biasa. Kakak serta
adik-adik tersayang trimakasih telah menjadi motivasi terbaik yang bisa membuat penulis
semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas dan Bapak
dr. Yuli P. Satar, MARS, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM)
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku dosen penanggung jawab peminatan K3 dan
dosen yang paling sabar juga pengertian namun selalu super sibuk yang senantiasa
4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku pembimbing ke-I yang telah memberikan
perhatian, pengertian, penjelasan serta waktu untuk penulis. Terimakasih juga telah
mengerahkan seluruh ilmunya kepada penulis, mudah-mudahan dan insyaallah akan
sangat bermanfaat.
5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, MMA selaku pembimbing ke-2 terimakasih telah menjadi
pembimbing yang baik dan sangat sangat sangat pengertian dan perhatian.
6. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, trimakasih atas amalan ilmunya sehingga penulis bisa
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
7. Teman-teman prodi kesmas K3 dan Gizi khususnya angkatan 2005. Special for gEnK
“d_ReeM” yang pada belum selesai, cepet nyusul dan tetep semangat…
8. Rekan-rekan pekerja tukang di Cikamunding serta teman-teman PONIT yang sejak
awal masuk kuliyah selalu memberikan dukungan.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, trimakasih
trimakasih dan trimakasih yang sebanyak-banyaknya.
Selanjutnya tiada yang lebih diharapkan oleh penulis selain kemanfaatan dan
kemaslahatan terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3), khususnya mengenai risiko ergonomi di tempat kerja.
Terakhir, dengan sedikit menghela nafas, penulis dengan lantang mengucapkan
LEMBAR PERNYATAAN……… i
ABSTRAK………...………. ii
ABSTRACT………..………... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN……… iv
PANITIA SIDANG…………. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……..……… vi
LEMBAR PERSEMBAHAN…………..……… vii
KATA PENGANTAR ……… viii
DAFTAR ISI……… x
DAFTAR TABEL……… xiii
DAFTAR GAMBAR……… xiv
DAFTAR BAGAN………... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1
B. Rumusan Masalah……….. 7
C. Pertanyaan Penelitian………. 7
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum………...……….. 8
2. Tujuan Khusus……… 8
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pengusaha/Pekerja……….…….... 9
2. Bagi Peneliti……… 9
3. Bagi Akademik……….…... 9
F. Ruang Lingkup………. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Musculoskeletal Disorders (MSDs)……….. 10
1. Pengertian MSDs………. 10
2. Tahapan MSDs……… 11
1. Faktor Pekerjaan……….. 15
2. Faktor Individu……… 24
3. Faktor Lingkungan……… 28
C. Penilaian Tingkat Risiko Ergonomi……… 30
1. Rapid Uper Limb Assesment (RULA)……….. 30
2. Job Strain Index (JSI)……… 31
3. Ergonomic Assesment Survey Metode (EASY)……….... 32
4. Baselinde Risk Identification of Ergonomi Factor (BRIEF)………..……… 33
5. Rapid Entire Body Assesment (REBA)……….... 34
D. Kerangka Teori………..……… 46
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep………..……… 48
B. Definisi Operasional………..………... 50
C. Hipotesis……… 52
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian……… 53
B. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 53
C. Populasi dan Sampel Penelitian……… 53
D. Pengumpulan Data……… 54
E. Instrumen Penelitian………. 54
F. Pengolahan Data……….. 55
G. Analisis Data………. 56
A. Analisis Univariat……….. 57
1. Gambaran Keluhan MSDs……….. 57
2. Gambaran Faktor Risiko Pekerjaan………. 60
3. Gambaran Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok
dan Masa kerja) ………..…… 61
B. Analisis Bivariat……… 63
1. Hubungan Faktor Risiko Pekerjaan
Dengan Keluhan MSDs……….. 63
2. Hubungan Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan
Merokok dan Masa Kerja) dengan Keluhan MSDs……… 64
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasana Penelitian……….. 67
B. Keluhan MSDs……… 68
C. Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs………. 71
D. Hubungan Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok
dan Masa Kerja) dengan Keluhan MSDs……… 74
BABVII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan………. 81
B. Saran……….... 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN
No. Tabel Hal
2.1 Penilaian Skor Tabel A 39
2.2 Penilaian Skor Beban 40
2.3 Penilaian Skor Tabel B 42
2.4 Penilaian Skor Coupling 42
2.5 Penilaian Skor Tabel C 43
2.6 Penilaian Skor Aktivitas 44
2.7 Level Aksi Skor REBA 44
3.1 Definisi Operasional 50
5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keluhan MSDs
Tahun 2010 57
5.2 Distribusi Frekuensi Keluhan Berdasarkan Bagian Tubuh, Tingkat
Keparahan Dan Tingkat Keseringan Tahun 2010
58
5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Tingkat Risiko Pekerjaan Tahun 2010 60
5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Karakteristik Umur Tahun 2010 61
5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Kebiasaan Merokok Tahun 2010 61
5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Masa Kerja Tahun 2010
62
5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Risiko Pekerjaan dengan
Keluhan MSDs Tahun 2010 63
5.8 Distribusi Responden Berdasarkan karakteristik umur dengan
Keluhan MSDs Tahun 2010 64
5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok dengan
Keluhan MSDs Tahun 2010 65
No.Gambar Hal
2.1 Penilaian Grup A Posisi Leher 38
2.2 Penilaian Grup A Posisi Punggung 38
2.3 Penilaian Grup A posisi Kaki 39
2.4 Penilaian Grup B Posisi Lengan Atas 40
2.5 Penilaian Grup B Posisi Lengan Bawah 41
2.6 Penilaian Grup B Posisi Pergelangan tangan 41
xv
No.Bagan Hal
2.1 Kerangka Teori 46
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan makin pesatnya kemajuan teknologi yang terus meningkat,
peran tenaga manusia sampai saat ini masih menjadi hal utama dan paling penting
dalam menghasilkan produksi, tidak sedikit proses produksi perusahaan yang masih
menggunakan alat-alat manual yang melibatkan manusia dalam pekerjaannya.
Sehingga pada pekerjaan yang aktifitasnya bersifat manual handling atau pekerjaan
yang membutuhkan penanganan secara manual, manusia dituntut untuk mempunyai
kemampuan lebih agar bisa menghasilkan peran sesuai dengan yang diinginkan,
khususnya pada otot dan tulang karena otot dan tulang merupakan dua alat yang
sangat penting dalam bekerja. Namun demikian, menurut Sahab (1997) manusia
mempunyai kemampuan dan keterbatasan baik dari segi fisik, fisiologik maupun
psikologik. Oleh karena itu pada pekerjaan manual, sering ditemukan kasus-kasus
yang berkaitan dengan keluhan/gangguan pada sistem otot dan tulang
(Muskuloskeletal).
Menurut Grandjean yang dikutip oleh Tarwaka et al. (2004) keluhan
muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan
oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal. Keluhan
hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan gejala yang
berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur
tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya menyebabkan rasa sakit, nyeri,
mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa
terbakar (Humantech, 1995) yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan
seseorang untuk melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh atau
ekstrimitas sehingga dapat mengakibatkan efisiensi kerja berkurang dan
produktivitas kerja menurun.
Suma’mur (1989) menjelaskan, bahwa keluhan-keluhan pada tulang
belakang yang dialami pekerja jika terus dibiarkan berpeluang besar menyebabkan
dislokasi bagian tulang punggung yang menimbulkan rasa sangat nyeri dan bisa
irreversible serta fatal. Rasa sakit yang mengganggu sistem muskuloskeletal pada
saat bekerja dapat menyebabkan pecahnya lempeng dan bahan atau bagian dalam
yang menonjol keluar serta mungkin menekan saraf-saraf di sekitarnya, hal tersebut
yang menyebabkan cidera atau bahkan menyebabkan kelumpuhan. Rasa nyeri pada
tubuh juga secara psikologis dapat menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan
dan kelelahan akibat terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan
perubahan-perubahan pada organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi menimbulkan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Dampak yang diakibatkan oleh MSDs pada aspek produksi yaitu
berkurangnya output, kerusakan material produk yang hasil akhirnya menyebabkan
tidak terpenuhinya deadline produksi dan pelayanan yang tidak memuaskan. Selain
keuntungan, biaya pelatihan karyawan baru untuk menggantikan karyawan yang
sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan atau agensi dan biaya lainnya (Pheasant,
1991).
Pekerjaan-pekerjaan dan sikap kerja statis yang berpotensi mempercepat
timbulnya kelelahan dan nyeri pada otot-otot yang terlibat, jika berlangsung tiap hari
dan dalam waktu yang lama bisa menimbulkan sakit permanen dan kerusakan pada
otot, sendi, tendon, ligamen dan jaringan-jaringan lain. Pada pekerjaan mengangkat
dan mengangkut, efisiensi kerja dan pencegahan kerusakan tulang belakang harus
mendapat perhatian yang cukup (Suma’mur, 1989) karena aktifitasnya melibatkan
otot skeletal yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Namun demikian timbulnya
keluhan yang dialami pekerja biasanya dianggap bukan sebagai masalah karena
penyakit yang ditimbulkan biasanya bersifat kronik (muncul dalam jangka waktu
panjang), padahal kerugian yang ditimbulkan selain rasa sakit bisa berwujud
hilangnya jam kerja, terhambatnya produksi dan lainnya (Budiono, 2003).
Dengan demikian masalah MSDs pada pekerja khususnya pada pekerja fisik
sudah sewajarnya mendapat perhatian khusus karena MSDs merupakan penyebab
terbesar hilangnya jam kerja akibat cidera/sakit di hampir setiap jenis industri
(National Safety Council, 1995 dalam Jannah, 2008). Selain itu, kasus-kasus yang
berkaitan dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja masih terus bermunculan.
Tarwaka, et al. (2004) menjelaskan, studi tentang MSDs pada berbagai
industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukan bahwa bagian otot yang
sering dikeluhkan adalah otot rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan,
Ariani (2008) Penyakit MSDs adalah penyakit akibat kerja terbesar di Eropa dan
diderita oleh jutaan pekerja. Departemen tenaga kerja U.S mencatat kasus MSDs
menyumbang 34% dari semua kasus sakit akibat kerja. Besarnya biaya kompensasi
yang dikeluarkan oleh perusahaan secara pasti belum diketahui. Namun demikian,
hasil estimasi yang dipublikasikan oleh NIOSH menunjukan bahwa biaya
kompensasi untuk keluhan otot skeletal sudah mencapai 13 milyar US dolar setiap
tahun. Biaya tersebut merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya
kompensasi untuk keluhan/sakit akibat kerja lainnya (NIOSH, 1996 dalam Tarwaka,
et al.2004).
Sementara menurut Chenoweth (1998), penelitian tentang kasus MSDs yang
telah dilakukan pada pekerja di U.S dari tahun 1983 smpai dengan tahun 2001
menunjukan peningkatan dan diprediksi akan terus meningkat sesuai dengan
berjalannya waktu sehingga melebihi setengah dari semua penyakit di tempat kerja.
Sedangkan di Australia, satu dari tiga injuri pada pekerja disebabkan oleh
pemindahan material secara manual yang mengakibatkan kehilangan kerja dan
diperkirakan biaya yang dikeluarkan mencapai 60 juta dolar Australia. Sedangkan
berdasarkan data yang disajikan dalam Sciene Daily (2003) work-related
musculoskeletal disorders merupakan sumbangan terbesar (65%) bagi PAK dan
menyedot biaya industri sampai 10 milyar dolar per tahun.
Di Indonesia, dari hasil studi Departemen Kesehatan dalam profil masalah
kesehatan di Indonesia tahun 2005 menunjukan bahwa sekitar 40.5% penyakit yang
diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya. Gangguan yang dialami pekerja
Indonesia umumnya berupa penyakit Musculoskeletal Disorders (16%),
kardiovaskuler (8%), gangguan saraf (5%), gangguan pernafasan (3%), dan
gangguan THT (1.5%) (Sumiati, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2009) pada tukang angkut barang
(porter) di stasiun kereta Jatinegara diperoleh hasil bahwa seluruh responden (106
orang) merasakan keluhan pada beberapa bagian tubuh, dan yang paling banyak
dikeluhkan adalah bagian kaki (31%) dan pinggang (23%), sedangkan sisanya
mengeluhkan pada bagian anggota tubuh lainnya.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada 10 orang tukang angkut
beban dengan menggunakan Formulir Nordic Body Map (NBM), diperoleh hasil
bahwa sembilan orang mengalami keluhan pada beberapa bagian anggota tubuh
seperti pada bagian leher, punggung, kaki, serta beberapa bagian anggota tubuh
lainnya.
Musculosceletal Disorders (MSDs) terjadi sebagai akibat dari pekerjaan yang
tidak sesuai dengan kapasitas fisik pekerja sehingga pada akhirnya menyebabkan
kerusakan pada tubuh pekerja khususnya kerusakan pada sistem otot dan tulang
(OSHA, 2000). Demikian halnya pada pekerjaan mengangkat dan mengangkut yang
aktivitasnya melibatkan kemampuan fisik, berpotensi menimbulkan kerusakan pada
sistem otot skeletal (Suma’mur, 1989) sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan
khusus dan perhatian yang cukup serius.
Bernard (1997) Mengemukakan bahwa postur tubuh yang tidak stabil (tidak
alamiah) menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap
ini diperkuat oleh pernyataan Chenowath (1998) bahwa MSDs terjadi sebagai akibat
dari suatu pekerjaan dengan postur janggal yang dilakukan secara berulang.
Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa faktor pekerjaan seperti sikap kerja tidak
alamiah, aktivitas berulang dan peregangan otot yang berlebihan merupakan
penyebab utama terjadinya MSDs. Sementara itu, faktor lain seperti tekanan, getaran
dan mikroklimat dikategorikan sebagai penyebab sekunder dan jika terjadi dalam
waktu yang bersamaan atau membentuk kombinasi, akan meningkatkan risiko
terjadinya MSDs. Selain beberapa faktor di atas, karakteristik individu seperti umur,
jenis kelamin, kebiasaan merokok, kekuatan fisik dan antropometri diyakini pula
oleh para ahli dapat mempengaruhi risiko terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka,
et al, 2004).
Beberapa penelitian menemukan bahwa MSDs terjadi akibat dari kombinasi
berbagai faktor. Sehingga Kuntodi (2008) menyimpulkan bahwa faktor risiko yang
biasanya muncul memberikan kontribusi terhadap terjadinya gangguan MSDs dapat
dikategorikan dalam tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor
lingkungan. Faktor pekerjaan adalah faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri
termasuk postur kerja, gerakan repetitif, penggunaan tenaga, dan karakteristik objek.
Faktor individu berupa umur, jenis kelamin, lama bekerja, dan antropometri (ukuran
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan uraian latar belakang di atas, dapat
disimpulkan bahwa masalah yang berkaitan dengan otot skeletal pada pekerja fisik
perlu mendapat perhatian khusus karena dapat menjadi masalah yang cukup serius.
Demikian halnya pada kegiatan pengangkutan, dimana aktivitasnya bersifat manual
dan sepenuhnya memerlukan kemampuan fisik, yang tentunya berpotensi
menimbulkan gangguan otot skeletal. Kondisi tersebut akan semakin diperparah
dengan adanya kombinasi dari faktor risiko lain yang timbul baik dari pekerja itu
sendiri maupun dari lingkungannya. Berangkat dari hal tersebut, penulis tertarik
melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan faktor risiko
pekerjaan dengan terjadinya keluhan MSDs pada tukang angkut beban penambang
emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010.
C. Pertanyaan Penelitian
a) Bagaimana gambaran keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang
angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010?
b) Bagaimana gambaran risiko pekerjaan (Berdasarkan metode REBA) pada tukang
angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010?
c) Bagaimana gambaran karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok, dan
masa kerja) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng
Kabupaten Lebak tahun 2010?
d) Bagaimana hubungan antara risiko pekerjaan dengan keluhanMSDs pada tukang
e) Bagaimana hubungan antara karakteristik individu dengan keluhan MSDs pada
tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
tahun 2010?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas
di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
a) Diketahuinya gambaran keluhan MSDs pada tukang angkut penambang emas
di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010
b) Diketahuinya gambaran risiko pekerjaan (Berdasarkan metode REBA) pada
tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
tahun 2010
c) Diketahuinya gambaran karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok,
dan masa kerja) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan
Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010
d) Diketahuinya hubungan risiko pekerjaan dengan keluhan MSDs pada tukang
angkut penambang di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010
e) Diketahuinya hubungan antara karakteristik individu dengan keluhan MSDs
pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi/Pekerja
Memberi gambaran tentang risiko pekerjaan manual dan kaitannya dengan
keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) serta membantu memberi masukan
dan motivasi untuk pekerja dalam melakukan pekerjaan ke arah yang lebih baik.
2. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan serta wawasan penelitian tentang faktor risiko ergonomi
di tempat kerja serta diharapkan dapat dijadikan sebagia acuan untuk dilakukan
penelitian selanjutnya.
3. Bagi Akademis
Sebagai referensi tambahan untuk pembelajaran khususnya yang berkaitan
dengan risiko MSDs pada pekerjaan yang bersifat manual.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor risiko pekerjaan
dengan terjadinya keluhan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut
beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak karena dicurigai
memiliki kombinasi risiko MSDs yang cukup tinggi. Kegiatan ini dilaksanakan pada
bulan Februari – April 2010, oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta dengan menggunakan data
primer yang diperoleh langsung dari tempat penelitian dengan desain studi cross
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Musculoskeletal Disorders (MSDs) 1. Pengertian
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan
gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago,
sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya
menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar,
gangguan tidur, dan rasa terbakar (OSHA, 2000).
Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah kelainan yang disebabkan
penumpukan cidera atau kerusakan-kerusakan kecil pada sistem muskuloskeletal
akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak bisa sembuh secara sempurna,
sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk menimbulkan rasa sakit
(Humantech, 1995).
MSDs bukanlah merupakan diagnosis klinis tapi merupakan label untuk
persepsi rasa sakit atau nyeri pada sistem muskuloskeletal. Keluhan
muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan
oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal. Apabila
otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan
dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon.
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal
(Grandjean, 1993; Lemastars, 1996 dalam Tarwaka, et al. 2004).
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua (Tarwaka,
et al. 2004) yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan, dan
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap,
walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut.
2. Tahapan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Gejala yang menunjukkan tingkat keparahan MSDs (Oborne,1995) dapat
dilihat dari tingkatan sebagai berikut:
1. Tahap pertama
Timbulnya rasa nyeri dan kelelahan saat bekerja tetapi setelah beristirahat
akan pulih kembali dan tidak mengganggu kapasitas kerja.
2. Tahap kedua
Rasa nyeri tetap ada setelah semalaman dan mengganggu waktu istirahat
3. Tahap ketiga
Rasa nyeri tetap ada walaupun telah istirahat yang cukup, nyeri ketika
melakukan pekerjaan yang berulang, tidur menjadi terganggu, kesulitan
3. Dampak Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Suma’mur (1989) menjelaskan, bahwa keluhan-keluhan pada tulang
belakang yang dialami pekerja jika terus dibiarkan berpeluang besar
menyebabkan dislokasi bagian tulang punggung yang menimbulkan rasa sangat
nyeri dan bisa irreversible serta fatal. Rasa sakit yang mengganggu sistem
muskuloskeletal pada saat bekerja dapat menyebabkan pecahnya lempeng dan
bahan atau bagian dalam yang menonjol keluar serta mungkin menekan
saraf-saraf di sekitarnya, hal tersebut yang menyebabkan cidera atau bahkan
menyebabkan kelumpuhan. Rasa nyeri pada tubuh juga secara psikologis dapat
menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan dan kelelahan akibat
terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-perubahan pada
organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja
Sedangkan pada aspek ekonomi perusahaan, dampak yang diakibatkan oleh
MSDs yaitu (Pheasant, 1991) :
1. Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material, produk
yang hasil akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline produksi,
pelayanan yang tidak memuaskan, dll.
2. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan penurunan
keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang menggantikan
karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan atau agensi.
3. Biaya pergantian karyawan (turn over) untuk recruitment dan pelatihan.
4. Pencegahan Keluhan Musculosceletal Disorders (MSDs)
Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health
Administration (OSHA) dalam Tarwaka, et al (2004), tindakan ergonomik untuk
mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara yaitu rekayasa teknik
(desain stasiun dan alat kerja) dan rekayasa manajemen (kriteria dan organisasi
kerja).
1. Rekayasa Teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa
alternatif sebagai berikut:
a. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini
jarang dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang
mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.
b. Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang
aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur
penggunaan peralatan.
c. Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan
pekerja.
d. Ventilasi, yaitu menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit.
2. Rekayasa Manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan berikut:
a. Pendidikan dan pelatihan agar pekerja lebih memahami lingkungan dan
dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat
kerja.
b. Pengaturah waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti
disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan,
sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber
bahaya.
c. Pengawasan yang intensif, agar dapat dilakukan pencegahan secara lebih
dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja.
Selain pencegahan-pencegahan di atas, tempat kerja yang ergonomi perlu
juga diperhatikan. Ergonomi adalah ilmu yang penerapannya berusaha untuk
menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan
tujuan tercapainya produktivitas dan efisiensi yang setinggi-tingginya melalui
pemanfaatan faktor manusia seoptimal-optimalnya. Ergonomi yang bersasaran
akhir efisiensi dan keserasian kerja memiliki arti penting bagi tenaga kerja, baik
secara subyek maupun obyek. Sasaran ergonomi adalah seluruh tenaga kerja,
baik pada sektor modern maupun pada sektor tradisional dan informal. Pada
sektor tradisional, pekerjaan pada umumnya dilakukan dengan tangan dan
memakai peralatan serta dalam sikap-sikap badan dan cara-cara kerja yang
B. Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Secara pasti hubungan sebab dan akibat faktor penyebab timbulnya MSDs
sulit untuk dijelaskan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya dan dalam
banyak kesempatan MSDs terjadi akibat dari kombinasi dari berbagai faktor
tersebut. Adapun faktor risiko yang biasanya muncul memberikan kontribusi
terhadap timbulnya MSDs (Kuntodi, 2008) dapat dikategorikan dalam tiga kategori
yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor pekerjaan
meliputi; postur kerja (postur janggal dan postur statis), penggunaan tenaga,
pergerakan repetitif dan karakteristik objek. Fakor karakteristik individu terdiri dari;
umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kekuatan fisik dan Indeks Masa Tubuh
(IMT). Sedangkan faktor lingkungan terdiri dari; vibrasi/getaran dan mikroklimat
(Bridger, 1995; Bernard & Cohen et al, 1997; OSHA & Peter Vi, 2000; Kumar
2001).
1. Faktor Pekerjaan a. Postur Janggal
Postur janggal adalah deviasi dari gerakan tubuh atau anggota gerak
yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas kerja secara
berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif lama. Gerakan postur janggal merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya gangguan, penyakit, atau cedera pada
sistem otot rangka. Gangguan, penyakit, atau cidera pada sistem
musculoskeletal hampir tidak pernah terjadi secara langsung, akan tetapi
terus-menerus dan dalam jangka waktu yang relatif lama (Cohen, et al,
1997).
Dalam ukuran jarak atau dimensi pada dasarnya setiap orang
memiliki keinginan untuk melakukan kegiatannya dalam postur yang
optimal. Postur tubuh yang tidak stabil (tidak alamiah) menunjukan bukti
yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan
menimbulkan terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu (Bernard,
1997).
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan
posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala
terangkat dsb. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh,
maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja
tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat
kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
pekerja (Grandjen, 1993; Anis & McCnville,1996; Waters & Aderson, 1996;
& Manuaba, 2000 dalam Tarwaka, et al, 2004).
Postur janggal pada leher (Cohen, et al, 1997):
1) Menunduk ke arah depan sehingga sudut yang di bentuk oleh garis
vertikal dengan sumbu ruas tulang leher > 20o.
3) Miring, setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke kanan maupun ke
kiri, tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis vetikal
dengan sumbu dari ruas tulang leher.
4) Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke kanan dan atau ke
kiri, tanpa melihat berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
Postur janggal pada punggung :
1) Membungkuk, postur punggung membungkukkan badan hingga
membentuk sudut 20o terhadap vertikal dan berputar.
2) Rotasi badan, berputar (twisting) adalah adanya rotasi dan torsi pada
tulang punggung (gerakan, postur, posisi badan yang berputar baik ke
arah kanan, kiri) dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa
memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
3) Miring, memiringkan badan (bending) dapat didefinisikan sebagai fleksi
dari tulang punggung, deviasi bidang median badan dari garis vertikal,
tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk, biasanya dalam
arah ke depan atau ke samping.
Untuk postur janggal pada kaki adalah bertumpu di atas satu kaki atau
tidak seimbang. Sedangkan postur janggal pada bahu :
1) Aduksi adalah posisi bahu menjahui garis tengah atau vertikal tubuh.
2) Abduksi adalah posisi bahu mendekati garis tengah atau vertikal tubuh.
3) Fleksi adalah posisi bahu diangkat menuju kearah vertikal tubuh, depan
4) Ekstensi adalah posisi bahu menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan
berada di belakang badan.
Postur janggal pada lengan:
1) Fleksi adalah posisi lengan bawah diangkat menuju kearah vertikal tubuh,
depan dada. Fleksi penuh pada siku terkuat pada sudut 90o.
2) Ekstensi adalah posisi lengan bawah menjauhi arah vertikal tubuh, atau
lengan berada dibelakang badan. Ekstensi penuh pada siku adalah
besarnya sudut yang dibentuk oleh sumbu lengan atas dan sumbu lengan
bawah >135o.
Postur janggal pada pergelangan tangan :
1) Deviasi radial adalah postur tangan yang miring ke arah ibu jari.
2) Deviasi ulnar adalah postur tangan yang mering ke arah kelingking.
3) Ekstensi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk ke arah
punggung tangan di ukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan
sumbu tangan sebesar > 45o.
4) Fleksi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk kearah
telapak, diukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu
tangan sebesar >45o.
Perputaran (rotasi) pergelangan tangan yang berisiko adalah
melakukan perputaran keluar (supinasi) daripada perputaran ke dalam
b. Postur Statis
Postur statis yaitu pada saat persendian tidak bergerak. Hal tersebut tidak
hanya membatasi pemasukan nutrisi dan oksigen, tetapi juga membatasi
pembuangan metabolisme. Oleh sebab itu, postur statis sangat dianjurkan untuk
dihindari (Nurmianto, 1998)
Postur statis merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi yang sama
dimana pergerakan yang terjadi sangat minimal. Kondisi ini memberikan
peningkatan beban pada otot dan tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah
yang membawa nutrisi dan oksigen, serta pengangkutan sisa metabolisme pada otot
terhalang. Gerakan yang dipertahankan > 10 detik dinyatakan sebagai postur statis
(Cohen at al, 1997).
Posisi tubuh dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kelelahan jika
dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Berdiri misalnya, adalah postur tubuh
alami, dan dengan sendirinya tidak menimbulkan bahaya kesehatan tertentu.
Namun, bekerja untuk waktu lama dalam posisi berdiri dapat menyebabkan sakit
kaki, kelelahan otot umum, dan sakit punggung (OSHA, 2002).
c. Penggunaan Tenaga
Pekerjaan membutuhkan penggunaan tenaga untuk menempatkan beban yang
tinggi untuk otot, tendon, ligamen, dan sendi. Pekerjaan yang menggunakan tenaga
besar dapat membebani otot, tendon, ligamen, dan sendi. Peregangan otot yang
berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya
menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong,
karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot.
Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya
keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan cideranya otot skeletal (tarwaka et al,
2004).
Dalam banyak peristiwa, tenaga akan menjadi paling besar jika
sebanyak-banyaknya otot berkontraksi. Sikap tubuh yang bertalian dengan pengerahan tenaga
yang paling besar dengan pengerahan tenaga yang paling besar bagi gerakan-gerakan
tertentu adalah sebagai berikut (Suma’mur, 1989):
1) Rotasi (perputaran) tangan ke arah dalam paling kuat jika dimulai dengan telapak
tangan berada pada keadaan rotasi ke luar secara penuh (supsinasi penuh)
2) Rotasi tangan ke arah luar paling kuat jika dimulai dengan telapak tangan berada
pada keadaan rotasi ke dalam secara penuh (rotasi penuh)
3) Ekstensi siku (perentangan lengan terhadap siku) paling kuat jika dimulai pada
posisi fleksi penuh
4) Fleksi siku (dengan tangan terbuka) terkuat pada sudut 90° (efek pengungkit)
5) Pada pekerjaan mendorong dengan tangan sambil duduk, kekuatan terbesar
didapat pada keadaan siku bersudut 150-160° dan dengan pegangan tangan pada
jarak kira-kira 66 cm dari daratan sandaran pinggang
6) Sambil duduk, kekuatan mendorong lebih besar dari pada menarik, apabila
sandaran pinggang dan injakan kaki disediakan dengan memadai. Kekuatan
menarik terbesar didapat dengan lengan pada keadaan ekstensi dan pegangan
7) Secara ungkitan, tenaga terbesar dalam posisi duduk diperoleh jika pegangan
tangan berada pada ketinggian diantara bahu dan siku, sedangkan pada posisi
berdiri pegangan harus setinggi bahu.
8) Pada posisi berdiri, kekuatan lebih besar pada menarik ke belakang daripada
mendorong ke depan. Gerakan-gerakan ke depan lebih kuat pada kegiatan
mendorong daripada kegiatan menarik.
9) Sambil duduk, kekuatan terhadap pedal terbesar didapat pada fleksi lutut 160°
dan fleksi sendi kaki 120°. Sikap istirahat terbesar diperoleh dengan fleksi lutut
105-135°.
Penggunaan tenaga akan semakin besar, jika gerakan tubuh yang
membutuhkan pengerahan tenaga ditambah dengan berat beban objek yang harus
diangkat. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh
seseorang adalah 23-25 Kg. Mengangkat beban yang terlalu berat akan
mengakibatkan tekanan diskus pada tulang belakang. Selain itu, berat beban juga
dapat menyebabkan kelelahan karena dipicu peningkatan tekanan pada diskus
intervertebralis (Bridger, 1995).
Risiko yang berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan durasi dan
frekuensi beban yang akan ditangani. Tangan, siku, bahu dan kaki hanya
diperbolehkan mengangkat beban kurang dari 4,5 kg. Sedangkan beban yang dijepit
pada tangan tidak boleh melebihi 0,9 kg dengan durasi tidak lebih dari 10 detik.
d. Pergerakan repetitif
Pergerakan repetitif pada aktifitas pekerjaan yang sama dapat memperburuk
akibat dari postur kerja janggal dan gangguan tenaga. Tendon dan otot dapat
memperbaiki efek peregangan atau penggunaan tenaga jika waktu yang dibagikan
cukup dalam penggunaannya. Bagaimanapun jika pergerakan meliputi otot yang
sama sering diulang, tanpa istirahat, kelelahan, dan ketegangan, dapat terakumulasi
menghasilkan kerusakan jaringan.
Pekerjaan repetitif dapat menyebabkan nyeri akibat akumulasi sampah
metabolisme dalam otot. Otot akan melemah dan spasme, yang biasanya terjadi pada
tangan/lengan bawah ketika melakukan pekerjaan repetitif. Dengan demikian
pekerjaan yang mengharuskan melakukan kegiatan berulang, gerakan yang kasar dan
kuat termasuk pekerjaan yang berisiko tinggi (Kroemer,1989 dalam Bridger, 1995).
Aktivitas berulang (tarwaka at al, 2004) adalah pekerjaan yang dilakukan
secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar,
angkat-angkut dsb. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja
secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi
Menurut Sue Hignett dan Mc. Atamney (2000) penggunaan otot berisiko
apabila diindikasikan melakukan gerakan statis lebih dari 1 menit atau gerakan yang
dilakukan berulang-ulang sebanyak 4x atau lebih dalam satu menit. Oleh karena itu,
perlu diatur waktu-waktu istirahat khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran
jasmani tetap dapat dipertahankan dalam batas-batas toleransi untuk mencegah
terjadinya kelelahan, penurunan kemampuan fisik dan memberi kesempatan tubuh
e. Karakteristik Objek
Karakteristik objek yang menjadi faktor risiko cidera otot skeletal antara lain:
1) Besar dan bentuk objek
Ukuran dan bentuk objek ikut mempengaruhi terjadinya gangguan otot
rangka. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat mungkin
dari tubuh. Lebar objek yang besar dapat membebani otot bahu lebih dari
300-400 mm, pajang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari 450 mm.
Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada sudut
tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat. Mengangkat objek tidak boleh
hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari terbatas
sehingga dapat cidera pada jari (Kumar, 2001).
2) Genggaman tangan
Kegiatan menggenggam dapat dibagi menjadi dua kategori utama (kumar,
2001) yaitu:
a. Power grip : dimana jari dapat menggenggam benda dengan fleksibel dan
mengapit dalam telapak tangan.
b. Pinch grip : dimana objek ditahan dengan ujung ibu jari dan satu atau lebih
jari lain, seperti saat menggunakan ujung jari, mencubit, menggenggam
2. Faktor Individu a. Umur
Guo et al, 1995; Chaffin, 1979 menyatakan bahwa pada umumnya keluhan
otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65 tahun. Pada umur 35
tahun sebagian besar pekerja mengalami peristiwa pertama dalam sakit
punggung, dan tingkat kelelahan akan terus bertambah sesuai dengan
bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan
dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot
meningkat.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh betti’e, et al (1989) tentang kekuatan
statik otot pada pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan diatas 60
tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hasil
penelitian menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur
antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan
bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot
menurun sampai 20 %. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko
terjadinya otot akan meningkat. Riihimaki, et al (1989) menjelaskan bahwa umur
mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot leher dan bahu,
bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab
utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka, et al.2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2001) pada pekerja panen kelapa
sawit di PT X Sumatra Selatan menunjukan adanya hubungan antara umur
Soleha (2009) pada operator plant PT. X menunjukkan adanya hubungan antara
umur dengan terjadinya keluhan MSDs.
b. Jenis Kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang
pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa
hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin sangat
mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara
fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Astrand
dan Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua
per tiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian Betti’e, et al (1989) menunjukan
bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot
pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh
hasil penelitian Chiang et al, (1993), Bernard et al, (1994), Hales et al. (1994)
dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara
pria dan wanita adalah 1:3. Dari uraian tersebut diatas, maka jenis kelamin perlu
dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas (Tarwaka, et al.2004).
c. Kebiasaan Merokok
Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka, et al, 2004). Pengaruh kebiasaan
merokok ini masih diperdebatkan, namun beberapa penelitian menunjukan
bahwa perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung
pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk
setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991).
Hubungan merokok dengan keluhan MSDs disebabkan karena batuk yang
meningkatkan tekanan pada perut dan menimbulkan ketegangan pada tulang
belakang atau punggung (Deyo and Bass 1989; Frymoyer at al. 1980; Troup at
al. 1987 dalam Bernard, 1997).
Penelitian yang dilakukan Ariani (2009) pada tukang angkut barang di
Stasiun Jatinegara Jakarta dan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada
operator Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan
merokok dengan keluhan MSDs.
d. Kekuatan Fisik
Kekuatan/kemampuan kerja fisik (Tarwaka, et al, 2004) adalah suatu
kemampuan fungsional seseorang untuk mampu melakukan pekerjaan tertentu
yang memerlukan aktivitas otot pada periode waktu tertentu. Lamanya waktu
aktivitas dapat bervariasi antara beberapa detik (untuk pekerjaan yang
memerlukan kekuatan) sampai beberapa jam (untuk waktu yang memerlukan
ketahanan).
Beberapa hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan,
namun penelitian lainnya menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara
kekuatan fisik denga keluhan otot skeletal. Chaffin and Park (1973) yang
dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung
yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan
rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai kekuatan
tinggi. Sementara itu Betti’e, et al(1990) menentukan bahwa pekerja yang sudah
mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti pekerja
lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang.
e. Masa Kerja
Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali pekerja
masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung. Masa kerja memiliki hubungan
yang kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko Musculoskeletal
Disorders (MSDs), terutama untuk pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja
yang tinggi.
Cohen, et al (1997) menjelaskan bahwa masa kerja memiliki hubungan yang
kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko MSDs. Penelitian yang
dilakukan oleh Hendra; Rahardjo (2009) Pada 117 Pekerja Panen Kelapa Sawit
di PT “X” Sumatra Selatan menunjukan ada hubungan antara masa kerja (>4
tahun dan <4 tahun) dengan keluhan MSDs (OR: 2,755; CI: 1,184-6,412).
Demikian juga, penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator Cant Plan
PT X menunjukkan adanya hubungan antara masa kerja dengan keluhan MSDs.
f. Indeks Masa Tubuh (IMT)
Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan dan massa tubuh merupakan
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Vessy, et al
(1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai resiko 2x lipat
dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Wrner, et al (1994) yang
dari 29) mempunyai resiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus
(massa tubuh kurang dari 20) khususnya untuk otot kaki. Temuan lain
menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita
keluhansakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap
keluhan pada leher , bahu pergelangan tangan.
Apabila dicermati, keluhan otot sekletal yang terkait dengan ukuran tubuh
lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima
beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh,
tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing
sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekanan dan rentan terhadap
tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya
keluhan otot skeletal (Tarwaka, et al, 2004).
3. Faktor Lingkungan a. Vibrasi
Vibrasi/getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot
(Suma’mur, 1982). Paparan vibrasi pada seluruh tubuh merupakan faktor risiko
yang dapat berkontribusi untuk menyebabkan cidera, khususnya di tulang
belakang dan leher serta punggung bagian bawah. Paparan jangka panjang akan
atau perubahan warna pada ujung beberapa jari tangan. Kemudian akan terjadi
penurunan rasa dan ketangkasan tangan (Budiono, 2004)
Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak
dengan objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan tangan. Paparan getaran seluruh tubuh dapat terjadi ketika berdiri atau duduk
dalam lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika mengoperasikan
kendaraan atau mesin yang besar (Cohen, et al, 1997).
b. Mikroklimat
Mikroklimat dalam lingkungan kerja menjadi sangat penting karena dapat
bertindak sebagai stressor yang menyebabkan strain kepada pekerja apabila tidak
dikendalikan dengan baik. Mikroklimat di tempat kerja terdiri dari unsur suhu
udara, kelembaban, panas radiasi dan kecepatangerakan udara (Suma’mur, 1948
dan Bernard, 1996 dalam Tarwaka, et al, 2004). Bagi orang Indonesia, suhu yang
dirasa nyaman adalah berada antara 24˚C - 26˚C serta toleransi 2 – 3 ˚C di atas
atau di bawah suhu nyaman. Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat
menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan
pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya
kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu
lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian
energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi
dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan
akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun.
Proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat
yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot.
Dengan demikian jelas bahwa mikroklimat yang tidak dikendalikan dengan
baik akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pekerja dan gangguan
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, mempercepat munculnya
kelelahan dan keluhan subjektif serta menurunkan produktivitas kerja (Tarwaka,
et al, 2004).
C. Penilaian Tingkat Risiko Ergonomi
Terdapat beberapa metode yang telah diperkenalkan para ahli dalam
mengevalusi ergonomi untuk menilai tingkat risiko MSDs di tempat kerja yaitu
dengan menggunakan metode pengukuran resiko ergonomi (Risk Assesment
Ergonomic). Berikut ini merupakan beberapa jenis dari metode pengukuran
ergonomi (Corlett E.N, 1998):
1. Rapid Uper Limb Assesment (RULA)
RULA adalah suatu cara yang digunakan untuk melihat postur, besarnya
gaya, dan pergerakkan yang menguhubungkan dengan jenis pekerjaan. Seperti
bekerja dengan computer, manufaktur, atau pekerjaan lainya dimana pekerja
bekerja selama posisi duduk atau berdiri tanpa berpindah tempat. RULA
memberikan sebuah kemudahan dalam menghitungkan rating dari beban kerja
otot dalam bekerja dimana orang mempunyai risiko pada bagian leher dan beban
Alat ini memasukan skor sebagai gambaran dari sebuah pekerjaan dari
rating postur, besar gaya, dan pergerakkan yang dihasilkan. Risiko adalah hasil
perhitungan suatu nilai/skor 1 (tinggi). Skor tersebut adalah dengan
menggolongkan menjadi 4 level gerakan dengan memberikan sebuah indikasi
kerangka waktu yang layak untuk mengekspektasi pengendalian risiko yang
diajukan.
Terdapat empat pokok utama penerapan RULA yaitu untuk :
a. Mengukur risiko MSDs, biasanya sebagai bagian dari investigasi ergonomi
secara luas.
b. Membandingkan beban otot dari desain saat ini dan modifikasi desain tempat
kerja.
c. Evaluasi hasil seperti produktivitas atau keserasian peralatan.
d. Pendidikan bagi pekerja tentang risiko MSDs yang ditimbulkan oleh
perbedaan postur dalam bekerja.
RULA menilai postur sebuah pekerjaan dan menghubungkan tingkat
risiko dalam kerangka waktu pendek dan tidak membutuhkan peralatan yang
rumit. RULA tidak didesain untuk menyediakan informasi secara detail, seperti
posisi jari yang mungkin relevan untuk melihat semua risiko kepada pekerja.
2. Job Strain Index (JSI)
JSI membagi pekerjaan menjadi tugas-tugas yang diukur atau menilai 6
variabel-variabel berikut yaitu intensitas penggunaan, durasi waktu penggunan per
pengunaan, dan durasi tugas per hari. JSI digunakan hanya untuk gerakan-gerakan
berulang pada tubuh bagian atas yaitu siku, lengan bawah, tangan, dan pergelangan
tangan.
3. Ergonomic Assesment Survey Metode (EASY)
Adalah suatu cara yang digunakan untuk menilai besarnya tingkat risiko
ergonomi terhadap kegiatan kerja. Metode ini terdiri dari 3 jenis survey yang
masing-masing memiliki skor berbeda. Ketiga skor tersebut yaitu; BRIEF (4 skor),
Employe survei (1 skor) dan Medical survei (2 skor).
Hasil akhir dari EASY Method berupa rating yang diperoleh dari
penjumlahan skor yang didapatkan dari ketiga survey tersebut maksimal (7 skor).
Rating tersebut akan menunjukkan prioritas pengendalian yang perlu dilakukan.
Semakin besar skornya, maka pengendaliannya pun semakin besar.
a. Employee Survey
Bertujuan untuk mengetahui keluhan nyeri pada pekerja yang dialami pada
saat melakukan kegiatan. Dalam survey ini dapat diketahui pada tahapan
kegiatan dimana yang paling berat (berisiko) untuk dikerjakan terkait dengan
keluhan yang selama ini muncul pada pekerja. Survey ini dapat dilakukan
dengan menyebarkan kuesioner atau wawancara dengan pekerja.
Hasil dari Employee Survey dapat memperkuat risiko yang didapat pada
BRIEF survey, namun belum dapat dijadikan justifikasi bahwa proses kerja yang
diamati memang merupakan gejala dapat skor 1 apabila pekerja mempunyai
b. Medical Survey
Medical Survey didapatkan dari hasil Medical Record kartu sakit, dan data
kunjungan pada poliklinik perusahaan atau pelayanan kesehatan (yankes) lain.
Hasil dari Medical Survey berupa data yang berisi hasil foto rontgen, riwayat
kesehatan tenaga kerja, dan hasil medical record tahunan.
Jika hasil survey ini didapat bahwa pekerja telah mengalami gangguan atau
kelainan pada sistem muskulo skeletal akibat pajanan pada pekerjaannya yang
menyebabkan pekerja harus beristirahat maka diberi skor 2. jika terjadi gangguan
kesehatan secara medis namun tidak sampai kehilangan hari kerja, maka
mendapat skor 1, dan jika tidak terjadi gangguan kesehatan secara medis skornya
adalah 0.
4. Baseline Risk Identification of Ergonomi Factor (BRIEF) survey
Adalah suatu alat yang digunakan untuk skrinning awal dengan
menggunakan sistem rating untuk mengidentifikasi bahaya ergonomi yang diterima
oleh pekerja dalam kegiatan sehari-hari. Dalam BRIEF survey terdapat 4 faktor
risiko ergonomi yang perlu diketahui yaitu:
a. Postur; sikap anggota tubuh janggal waktu menjalankan pekerjaan
b. Gaya; beban yang harus ditanggung oleh anggota tubuh saat melakukan postur
janggal dan melampaui batas kemampuan tubuh
c. Lama; lama waktu yang digunakan untuk melakukan gerakan pekerjaan dengan
postur janggal
Dalam survey ini setiap faktor yang melanggar kriteria standar maka dapat
skor 1 (Humantech, 1995). Semakin banyak skor yang didapat dalam suatu
pekerjaan, maka pekerjaan tersebut semakin berisiko dan memerlukan
penanggulangan segera. Skor maksimal yang bisa didapat dalam survey ini yaitu
sebesar 4 skor.
5. Rapid Entire Body Assesment (REBA)
Hignett and McAtmeney (2000), telah mengembangkan untuk menilai jenis
postur pekerjaan yang tidak bisa diprediksi. Data yang dikumpulkan mengenai
postur tubuh, besarnya gaya yang digunakan, tipe pergerakan atau aksi gerakan
berulang dan rangkaian. Hasil dari skor REBA adalah untuk memperlihatkan sebuah
indikasi dari tingkat risiko dan kondisi penting untuk tindakan yang diambil.
Metode REBA dapat digunakan ketika mengidentifikasi penilaian ergonomi
di tempat kerja yang membutuhkan analisis postural lebih lanjut adalah diwajibkan
untuk:
a. Keseluruhan tubuh pekerja digunakan
b. Postur statis, dinamis, perubahan cepat atau stabil
c. Barang bernyawa atau tidak bernyawa yang sedang ditangani satunya sering
dilakukan atau tidak sering dilakukan
d. Dapat digunakan untuk menilai risiko pada modifikasi tempat kerja, peralatan,
atau risiko perilaku dari pekerjaan.
Penggunaan metode REBA adalah sebagai analisis postur yang cukup sensitif
REBA melakukan Assesment pergerakan repetitif dan gerakan yang paling sering
dilakukan dari kepala sampai kaki. REBA digunakan untuk menghitung tingkat
risiko yang dapat terjadi sehubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan
MSDs, dengan menampilkan serangkaian tabel-tabel untuk melakukan penilaian
berdasarkan postur-postur yang terjadi dari beberapa bagian tubuh dan melihat beban
atau aktifitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan untuk setiap bagian tubuh yang
dimaksudkan untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi perubahan atau
penambahan faktor risiko dari setiap pergerakan yang dilakukan.
Kelebihan dari metode REBA adalah :
a. Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu
pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot
dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja,
pekerjaan statis atau berulang-ulang).
c. Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil.
d. Skor akhir dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, untuk menentukan
prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan.
e. Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari
analisa yang telah dilakukan.
Sedangkan kelemahan menggunakan REBA adalah (Staton, et al, 2005) :
a. Hanya menilai aspek postur dari pekerja.
b. Tidak mempertimbangkan lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan
5.1Prosedur Penilaian REBA
Dalam prosedur penilaian dengan mengunakan metode REBA terdapat 6
tahap, yaitu (Staton, et al, 2005):
a. Mengamati Tugas (observasi pekerjaan)
Mengamati tugas untuk merumuskan sebuah penilaian tempat kerja ergonomi
yang umum, termasuk akibat dari tata letak dan lingkungan pekerjaan,
pengunaan peralatan-peralatan dan perilaku pekerja dengan menghitungkan
risiko. Jika memungkinkan, rekam data mengunakan kamera atau video.
b. Memilih Postur Untuk Penilaian
Menentukan postur mana yang akan digunakan untuk menganalisis
pengamatan pada langkah 1. Kriteria berikut ini dapat digunakan :
1) Postur yang paling sering diulang,
2) Postur yang lama dipertahankan,
3) Postur yang membutuhkan aktivitas otot atau tenaga paling besar,
4) Postur yang menyebabkan ketidaknyamanan,
5) Postur ekstrim, tidak stabil, terutama ketika tenaga dikerahkan,
6) Postur ditingkatkan melalui intervensi, pengukuran kendali atau perubahan
lainnya.
Keputusan dapat didasari pada satu atau lebih dari kriteria diatas. Kriteria untuk
memutuskan postur yang dianalisis harus dilaporkan dengan mencantumkan hasil
c. Memberi Nilai Pada Postur
Gunakan lembar penilaian dan nilai bagian tubuh untuk menilai postur. Nilai
awal adalah untuk Kelompok A yaitu punggung, leher, dan kaki. Kelompok B yaitu
lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan.
Untuk postur kelompok B dinilai terpisah untuk sisi kiri dan kanan. Catat poin
tambahan yang dapat ditambahkan atau dikurangi, tergantung pada posisi. Sebagai
contoh, dikelompok B lengan atas dapat ditunjang pada posisinya, sehingga nilainya
dikurangi 1 dari nilai lengan atas tersebut.
d. Memproses Nilai
Tabel A digunakan untuk mendapatkan nilai tunggal dari punggung, leher, dan
kaki. Nilai ini dicatat di tabel lembar penilaian dan ditambah dengan nilai beban
untuk mendapatkan nilai A. untuk tabel B merupakan penilaian dari lengan atas,
lengan bawah, dan pergelangan tangan. Bagian-bagian dari tabel B yang diukur yaitu
bagian kanan dan kiri. Nilai kemudian ditambah dengan nilai genggaman tanggan
untuk menghasilkan nilai B. nilai A dan B dimasukkan ke dalam tabel C, kemudian
didapatkan sebuah nilai tunggal, yaitu nilai C. kemudian diperolehlah nilai REBA
sesuai tabel level hasil REBA.
e. Menetapkan nilai REBA
Jenis aktivitas yang dilakukan diwakili oleh nilai aktivitas yang ditambahkan
f. Menentukan action level
Nilai level risiko REBA kemudian dibandingkan dengan nilai level perubahan,
yaitu kumpulan nilai yang paling sering berhubungan untuk mengetahui tingkat
pentingnya membuat suatu perubahan.
g. Penilaian Ulang
Jika tugas berubah menjadi pengukuran pengendalian prosesnya dapat diulang.
Nilai REBA yang baru dapat dibandingkan dengan yang sebelumnya untuk