• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi ziarah kubur masyarakat betawi pada makam Muallim KH.M.Syafi'i hadzami kampung dukuh jakarta Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi ziarah kubur masyarakat betawi pada makam Muallim KH.M.Syafi'i hadzami kampung dukuh jakarta Selatan"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI ZIARAH KUBUR MASYARAKAT BETAWI

PADA MAKAM MUALLIM KH. M. SYAFI’I HADZAMI KAMPUNG

DUKUH JAKARTA SELATAN

Oleh

CHAERUL ANWAR

Nim: 203051001426

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Agustus 2007

(3)

ABSTRAK

Nama : Chaerul Anwar

Judul : Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada Makam Muallim

KH. M. Syafi’i Hadzami Kampung Dukuh Jakarta Selatan.

Tradisi mempunyai banyak makna dipandang dari berbagai macam ilmu

kemasyarakatan. Salah satu makna tradisi adalah suatu kebiasaan yang turun

menurun dalam sebuah masyarakat, dengan sifatnya yang luas. Tradisi bisa

meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga tidak mudah disisihkan dengan

perincian yang tepat dan pasti, terutama sulit diperlakukan serupa atau semirip,

karena tradisi bukan objek mati, melainkan alat yang hidup untuk manusia yang

hidup juga.

Begitupula makna ziarah mempunyai banyak makna, salah satunya bahwa

ziarah kubur adalah mendatangi makam dengan tujuan untuk mendoakan ahli

kubur dan sebagai ibroh (pelajaran) bagi peziarah bahwa tidak lama lagi juga akan

menyusul. Hukum ziarah kubur pada mulanya haram, kemudian Rasulullah Saw

membolehkannya.

Tradisi ziarah kubur yang penulis fokuskan adalah tradisi ziarah kubur yang

ada di masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi itu sendiri adalah sebutan orang

pribumiterhadap Batavia. Objek ziarah kubur penulis fokuskan pada makam

Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami, makam beliau terletak di Kampung Dukuh

Jakarta Selatan.

Masyarakat Betawi adalah masyarakat yang cenderung senang berziarah

(4)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣ ﺮﻟا ﻦﻤﺣ ﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

Alhamdulillah dengan mengucapkan puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada Makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami Kampung Dukuh Jakarta Selatan”, sebagai tugas akhir guna untuk memperoleh gelar sarjana Sosial Islam pada Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat teriring salam selalu tercurahkan kepada pemimpin revormasi Islam Baginda Nabi besar Muhammad Saw yang telah mampu merobah pola pikir manusia dari zaman biadab sampai ke zaman yang beradab. Skripsi ini selesai tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik dari moril maupun materiil, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih tiada terhingga dengan iringan do’a semoga Allah SWT meridhoinya dalam beraktifitas dan membalas jasa baik kepada yang penulis hormati:

1. Bapak Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan sekaligus pembimbing Dr. H. Murodi, M.A yang telah meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan nasehat, pemasukan, dan mengarahkan penulis dengan perhatian dan kesabaran. Pudek I, II, dan III.

2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Bapak Drs.Wahidin Saputra, M.A dan Ibu Ummi Musyarofah, M.A

3. Kordinator dan Sekretaris Non Reguler Fakultas Dak’wah dan Komunikasi Ibu Dra. Hj. Astriati Jamil, M. Hum dan Ibu Dra. Hj. Musyfirah Nurlaili, M.A.

4. Penasehat Akademik angkatan 2003 Bapak. Drs. H. Mahmud Jalal, M.A.

(5)

6. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Dak’wah dan Komunikasi beserta staf jajarannya yang telah melayani peminjaman buku-buku literatur selama perkuliahan khususnya dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ibunda Eka dan Ayahanda Zulchair tercinta yang senantiasa ikhlas dan sabar dalam mengarungi pahit getirnya perjuangan hidup demi kelangsungan pendidikan penulis dan juga yang telah memberikan do’a restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas tercinta ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatannya dan memberkati keduanya. (Amin)

8. Seluruh Staf Kelurahan Kebayoran Lama Utara terkhusus kepada Bapak. H. M. Isa dan Ibu Kusmiaty selaku Seksi Pemberdayaan Masyarakat yang telah meluangkan waktunya guna untuk memberikan informasinya yang penulis butuhkan.

9. Pengurus Yayasan Al-Assirotusy Assyafi’iyyah Ustdz. H. Abdul Malik yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami memberikan arahan dan pemasukannya.

10.Seluruh santri Ma’had Al-Assirotusy Assyafi’iyyah khususnya Saudara Sholeh yang telah memberikan informasi, petunjuknya dan mengantarkan penulis dalam penelitian. 11.Seluruh teman-teman Dak’wah dan Komunikasi khususnya Wahyudin yang telah

menjemput dan menghantarkan pulang penulis selama kuliah, Abang Toni dan rekan-rekan seperjuangan.

12.Team Boegenvil yang keren dan gokil abis yang selalu menghibur dan membuat penulis ceria, selalu kompak senang susah bersama, semoga kalian tetep eksis.

(6)

14.Adik tercinta Siti Rahma dan Suli Selvia yang selalu memberikan senyumannya dan memberikan semangat untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini serta yang selalu memberikan kasih sayang dan cintanya.

15.Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dengan harapan dan doa semoga Allah SWT membalas jasa dan kebaikannya.

Dan tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran, kritik konstruktif dari semua pihak. Harapan penulis semoga karya ilmiah ini memiliki kontributif dan bermanfaat untuk kita semua. (Amin).

Jakarta, Agustus 2007

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN TEORI A. Ziarah Kubur Sebagai Unsur Dakwah ... 13

1. Pengertian Ziarah Kubur... 13

2. Ziarah Kubur Menurut Pandangan Islam... 15

B. Ziarah Kubur Sebagai Unsur Betawi ... 16

1. Pengertian Tradisi dan Budaya ... 16

2. Pengertian Masyarakat Betawi ... 19

BAB III DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN A. Letak Geografis ... 26

B. Biografi Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami ... 27

(8)

1. KH. Abdurasyid Abdullah Syafi’i ... 31

2. Habib Ali bin Abdurrahman As-Seggaf ... 32

3. Muallim KH. Bunyamin ... 32

4. KH. Sabilar Rasyad... 33

D. Ringkasan Riwayat Hidup... 35

BAB IV MASYARAKAT BETAWI KAMPUNG DUKUH DAN TRADISI ZIARAH KUBUR A. Objek ziarah ... 46

B. Waktu Ziarah ... 48

1...Bulan-bulan dan hari-hari tertentu... 48

2. Sebelum Hajatan ... 49

C. Cara-cara berziarah ... 51

1...Bersama Keluarga... 51

2. Individu … ... 52

3.Rombongan ..…….. ... 53

D Berbagai Pendapat... 58

(9)

B...Saran ...64

DAFTAR PUSTAKA... 66

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fakta menunjukan bahwa tradisi ziarah kubur di kalangan masyarakat Betawi begitu mengakar kuat. Tradisi ini menurut Ja’far Subhani, mempunyai pengaruh terhadap etika dan pendidikan. Karena dengan ziarah kubur, manusia akan mengingat akhirat. Dengan demikian meniscayakan manusia beriman untuk semakin ingat Tuhan. Bila seseorang melihatnya dengan kaca mata, maka ia akan dapat mengambil pelajaran dari pristiwa ini. Ia akan berfikir dan berkata pada dirinya sendiri bahwa “kehidupan dunia adalah sementara, dan akan berakhir dengan kemusnahan. Karena itu sangat tidak sebanding dengan usaha manusia dalam mencari harta dan kedudukan, sehingga tak jarang menganiaya diri sendiri dan orang lain.”1

Senada dengan pendapat di atas, Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan, bahwa manusia sesungguhnya tertidur, ketika mati mereka terjaga. Ungkapan ini tampaknya lebih merupakan peringatan ketimbang pelajaran. Bahwa hidup ini tidak lebih dari sekedar mimpi sesaat. Kita akan benar-benar terjaga justru setelah kematian. Dalam konteks ini, memahami realitas kehidupan pasca kematian akan senantiasa releven dan signifikan bagi setiap muslim. Tujuannya bukanlah semata-mata memahami makna kehidupan pasca kematian itu, melainkan juga lebih penting lagi memaknai hakikat kehidupan di alam fana ini.2 Hal ini berarti bahwa ziarah ke kubur akan mengingatkan orang pada kematian.

1

Syaikh Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), h. 47.

2

(11)

Dalam konteks ini menegaskan bahwa kematian adalah nasehat bagi yang masih hidup. Bagaimana tidak, dengan adanya kematian manusia yang masih hidup bisa lebih berhati-hati lagi dalam menjalani kehidupan. Artinya ketaqwaan perlu ditingkatkan, karena setelah kematian akan ada kehidupan lain yaitu kehidupan alam kubur. Kita mesti percaya bahwa alam kubur itu ada dan di alam kubur itulah segala amal perbuatan manusia di dunia dipertanggung jawabkan. Jika amal manusia itu baik di dunia, maka ia akan mendapatkan nikmat kubur, dan jika sebaliknya maka siksa kubur yang didapatkannya.

Alam kubur adalah alam kedua setelah alam dunia. Kalau di alam dunia, manusia masih bisa tolong-menolong jika mendapatkan kesusahan. Tapi di alam kubur manusia sendiri, tidak ada yang memberikan pertolongan. Untuk itulah ziarah kubur diadakan, dimana tujuannya adalah mendoakan ahli kubur agar diringankan siksanya dari yang Maha Kuasa (Allah SWT). Ziarah kubur juga diadakan untuk memohon keberkahan dari para ahli kubur, apabila ahli kubur itu adalah wali, ulama, dan orang-orang shalihin. ( Kutip dari peziarah ).

Ziarah dalam kamus bahasa arab diambil dari kata ةرﺎ ز - روﺰ – راز yang berarti menziarahi, mengunjungi.3 Menurut Munzir Al-Musawa Ziarah kubur yaitu mendatangi kuburan dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai pelajaran (ibrah) bagi peziarah bahwa tidak lama lagi juga akan menyusul menghuni kuburan, sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.4

Nabi yang mulia mengisyaratkan manfaat ini dalam sabdanya :

ضر

ةﺪ ﺮ

.

لﺎ

:

ةﺮ ﺂ ا

ﺎﻬ

ﺮآﺬ

رﻮ ا

رز

)

آﺎ ا

اور

(

3

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 159.

4

(12)

“Rasulullah Saw bersabda: Berziarahlah ke kubur karena hal itu dapat mengigatkan kalian

akan akhirat.5

Ziarah juga dapat dikatakan sebagai mengunjungi suatu tempat yang dimuliakan atau yang dianggap suci, misalnya mengunjungi makam Nabi Muhammad Saw di Madinah seperti yang lazim dilakukan oleh jamaah haji. Dalam peraktiknya ziarah juga dilakukan untuk meminta pertolongan (syafaat) kepada seseorang yang dianggap keramat, agar berkat syafaat tersebut kehendak orang yang bersangkutan dikabulkan Allah dikemudian hari. Ziarah semacam ini oleh sebagian umat Islam dianggap sebagai bid’ah dan dilarang dilakukan misalnya oleh pengikut Ibnu Taimiyah dan kaum Wahabi.6

Dahulu Rasulullah pernah melarang ziarah kubur, karena bobot kepentingan praktik tersebut cenderung berlebihan dan menyimpang dari ruh Islam. Karena hal tersebut dikhawatirkan akan menggoncang keimanan orang yang berziarah.7 Selain itu, beliau melarangnya karena biasanya mayat-mayat yang mereka ziarahi adalah orang-orang kafir penyembah berhala, sementara Islam telah memutuskan hubungan dengan kemusyrikan. Mungkin karena ada sebagian orang yang baru memeluk Islam dan belum mengerti mereka mengeluarkan ucapan-ucapan diatas kuburan yang nadanya bertentangan sumbangan pengetahuan tentang masalah yang di kaji untuk memperkaya dengan Islam.8

Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah/9:84 berikut:

ﻮ رو

ﱠ ﺎ

اوﺮ آ

ﻬﱠإ

ﺎ و

اﺪ أ

تﺎ

ﺪ أ

ﺎ و

نﻮ ﺎ

هو

اﻮ ﺎ و

5

Syaikh Ja’far Subhani, Tawasul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, h. 48.

6

Hassan Shadily, “Zerubabel”, Ensiklopedia Indonesia, Vol 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 4044

7

John L Esposito, ”Ziarah,” Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 195.

8

(13)

Artinya: “Dan janganlah engkau shalat bagi salah satu di antara mereka yang mati (orang-orang munafik) untuk selama-lamanya, dan jangan berdiri (untuk meminta ampun) di atas kuburnya. Mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mati dalam keadaan fasik.”(At-Taubah:84).

Ayat tersebut menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir pada zamannya Ubaidillah bin Salul. Lantas bagaimana mungkin orang seperti Ibnu Taimiyah beserta kelompok Wahabi memutlakkannya yang berarti mencangkup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, sehingga mencangkup kuburan wali Allah.

Pada hal mayoritas ulama Ahlusunah menafsirkan ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah SWT.9

Setelah meluasnya Islam dan kukuhnya iman di hati para pengikutnya serta akidah Islam sudah sedemikian mantap dalam hati umat dan telah diketahui seluk-beluk hukum berziarah dan tujuannya, maka ziarah kubur di perbolehkan oleh Nabi Saw.10 Bahkan ziarah merupakan suatu perbuatan saleh (ibadah) yang dipercayai dapat membawa berkah di dunia dan akhirat.11

Tentang jaiz atau bolehnya ziarah kubur telah disepakati di kalangan kaum muslimin. Hal ini dapat dibaca dan di telaah dalam buku-buku fikih maupun hadis. Dalam kitab ‘Alal Madzahib al-Arba’ah menyatakan antara lain sebagai berikut:

9

Sastro, Ziarah Kubur Salafy Indonesia”, artikel diakses pada Senin, 12 Febuari 2007 dari Ads by Google In Depth Critical Studies Christianity Islam Ismailism Quran alone keeps Islam pure. Website:

www.mostmerciful.com, h. 2.

10

Syaikh Ja’far Subhani, Tawasul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, h. 50.

11

(14)

”Ziarah ke kubur adalah perbuatan yang dianjurkan untuk menimbulkan kesadaran hati dan mengingatkan kepada akhirat, terutama pada hari Jumat sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya. Para peziarah sebaiknya menyibukan diri dengan doa, tadharru (berdoa dengan khusyu dan merendah), mengingat mereka yang telah mati serta membaca al-Quran untuk mengingat mereka. Yang demikian inilah yang sangat bermanfaat bagi si mayit”. Selanjutnya Kitab tersebut juga menerangkan bahwa “Tidak ada bedanya dalam hal berziarah apakah tempat pemakaman itu dekat ataupun jauh, artinya bagi peziarah tidak masalah walaupun hanya memberikan doa dengan jarak yang berjauhan atau tidak ditempat pemakaman.”12

Makam yang menjadi perhatian para peziarah, khususnya kaum Muslim, biasanya merupakan makam orang-orang yang semasa hidupnya membawa misi kebaikan bagi masyarakatnya, yaitu:13

a. Para Nabi dan pemimpin agama, mereka yang telah mengemban misi ketuhanan yang memberikan petunjuk kepada manusia dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, serta menghaturkan darah para kekasih-Nya dan menanggung semua derita serta memperkenalkan dengan ilmu-ilmu agama.

b. Para wali, ulama dan ilmuan besar, yang memberikan ilmu pengetahuan serta mengenalkan manusia terhadap kitab Tuhan serta ilmu alam dan ilmu ciptaan dan selalu menyelidiki ilmu-ilmu agama, kemanusiaan dan alam tabiat.

c. Kelompok orang-orang tertentu seperti: sahabat, kerabat dan saudara terdekat, mereka yang mempunyai tali kasih atau pengorbanan semasa hidupnya yang memberikan kasih sayang serta perjuangan pada orang-orang.

Kelompok-kelompok inilah yang dikunjungi orang-orang, tidak jarang mereka meneteskan air mata kerinduan, serta mengingat-ingat dengan khidmat amal mereka yang berharga, serta perjuangan mereka yang suci, dengan membacakan salah satu surah al-Quran, serta menghidupkan ingatan kepada mereka lewat syair-syair yang berkenaan dengan pengorbanan, keutamaan dan perangai mereka. Berkunjung ke makam orang-orang tersebut

12

Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik (Bandumg : Mizan, 1996), h. 222.

13

(15)

menandaskan rasa terimakasih dan penghargaan terhadap perjuangan mereka, sekaligus dapat mengingatkan kepada generasi yang ada, bahwasanya mereka yang menempuh jalan kebenaran dan keutamaan, rela mengorbankan jiwa demi mempertahankan keyakinan dan menyebarluaskan kebebasan, tidak akan pernah hilang dari ingatan sampai kapanpun. Mereka tak akan pernah menjadi usang dan musnah bersama lewatnya zaman. Bahkan selalu memanaskan dan mengobarkan api kerinduan di hati-hati yang suci dan tulus. Dengan demikian alangkah baiknya jika generasi sekarang dan yang akan datang juga menempuh jalan mereka.14

Ziarah kubur para Nabi dan wali, berdoa di makam-makam, bertawasul, meminta syafaat ataupun pertolongan dari ahli kubur, memeperingati hari lahir dan wafat, bertabarruk (meminta berkah) dari bekas dan peninggalan mereka, mengucapkan sumpah dengan nama mereka, mendirikan bangunan di atas kuburan, dan lain sebagainya, merupakan hal-hal yang sejak ratusan tahun lalu dan masih terus berlanjut sampai sekarang. Namun praktik ziarah tersebut selalu diperselisihkan di antara berbagai kelompok kaum Muslim tentang boleh atau tidaknya menurut ajaran Islam. 15

Di Indonesia terutama Jawa, kebiasaan ziarah kubur tersebar luas, di antaranya ke makam para wali dan tokoh yang dianggap suci. Di sana mereka melakukan berbagai kegiatan seperti membaca Al-Quran atau kalimat syahadat, berdoa, bertafakur, atau tidur dengan harapan memperoleh firasat dalam mimpi. Banyak juga orang-orang berziarah ke kubur tertentu, disertai kepercayaan bahwa tokoh di dalam kubur tersebut dapat sesuai dengan kebutuhan pribadi mereka. Antara lain dengan ziarah kubur seseorang dapat berdampak pada kemungkinan perolehan rezeki dan syafaat.16

14

Syaikh Ja’far Subhani, Tawasul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, h. 56.

15

Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1996), h. 7

16

(16)

Dari uraian yang sudah di kemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah penelitian skripsi dengan judul ” Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada Makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami Kampung Dukuh Jakarta Selatan.” Alasan penulis memilih judul ini, karena di daerah kampung atau warga masyarakat Betawi yang ada di wilayah tersebut ada sebuah makam ulama Betawi yaitu bernama Muallim Kyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami. Makam tersebut banyak di kunjungi para peziarah khususnya masyarakat Betawi yang mempunyai etos yang khas dan menarik baik dari segi sosial maupun budaya. Sifat yang aktif dalam ziarah dan cara berziarah yang turun menurun pada masyarakat tersebut sangat menarik untuk diobservasi.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi masalah pada tradisi ziarah kubur yang dilakukan masyarakat Betawi di makam ulama Betawi yaitu Muallim Kyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tradisi ziarah kubur yang ada dalam masyarakat Betawi kampung Dukuh baik

dalam obyek ziarah, waktu ziarah, dan cara berziarah?.

2. Apakah motivasi ziarah kubur masyarakat Betawi sepenuhnya ajaran Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw, yaitu untuk mengingat mati atau tidak ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(17)

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tradisi ziarah yang ada dalam masyarakat Betawi khususnya mereka yang tinggal di lingkungan kampung Dukuh Jakarta Selatan.

Setelah mengkaji masalah ini, penulis berharap dapat memperoleh manfaat, di antaranya: 1. Memberi khazanah literatur di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Melestarikan tradisi Betawi dalam kegiatan ziarah kubur.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Kualitatif di sini, merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis lisan dari orang-orang dan dari perilaku yang di amati untuk di analisis. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan Antropologis.

Di samping itu, penelitian deskriptif yang digunakan bertujuan menggambarkan dan menganalisis fenomena tradisi ziarah kubur bedasarkan data yang diperoleh untuk menyelesaikan kejadian sesungguhnya secara deskriptif dan sistematis atas fenomena yang diteliti.17

Adapun studi kasus yang diambil yaitu dengan bentuk penelitian yang mendalam. Artinya mengambil data-data yang peneliti inginkan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Yayasan Al-Assirotusy Assyafi’iyyah, di Jl. KH. M. Syafi’i Hadzami, kampung Dukuh Jakarta Selatan.

3. Tahapan Pengumpulan Data

17

(18)

Tahapan Pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan wawancara. Selain itu, penulis juga menggunakan dokumentasi berupa kodak fuji film dan tabel sebagai pelengkap. Observasi digunakan untuk mendapatkan data hasil pengamatan, pengamatan bisa dilakukan terhadap suatu benda, keadaan, kondisi, situasi, kegiatan. proses, atau penampilan tingkah laku seseorang.18 Sedangkan wawancara yang dilakukan dengan informan adalah untuk memeperoleh keterangan-keterangan secara mendalam, karena wawancara tersebut sangat memainkan peranan besar dalam penelitian studi kasus, selain itu wawancara juga merupakan suatu peroses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden.19

Dalam hal ini, penulis menggunakan metode wawancara bebas terpimpin yang berarti penulis membawa pedoman yang merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan, di samping itu dalam pelaksanaanya, peneliti akan menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan.

Selain itu, penulis juga akan melakukan penelitian partisipasi, yaitu mengikuti acara-acara ritual dan tradisi ziarah yang dilakukan oleh masyarakat Betawi.

4. Analisis Data

Data-data yang terkumpul akan dianalisa sesuai dengan jenis data yang terkumpul, dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu penelitian yang berupaya menarik nilai-nilai dari data yang diperoleh di lapangan secara mendalam.

5. Tinjauan Pustaka

18

Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 135.

19

(19)

Mengkaji karya orang lain berupa artikel, skripsi, tesis, atau disertasi yang berkaitan dengan objek penelitian, yaitu tradisi ziarah kubur bagi masyarakat Betawi pada warga Kampung Dukuh Jakarta Selatan.

E. Sistematika Penulisan

Berdasarkan uraian tersebut di atas dan dengan tujuan untuk mempermudah pembahasan, maka di perlukan suatu Sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan sebagi berikut:

Bab 1 Pendahuluan yang berisi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan teori, meliputi ziarah kubur sebagai unsur dakwah, yang mencangkup 1.

Pengertian ziarah kubur 2. Ziarah kubur menurut pandangan Islam.

Bab III Deskripsi makam daerah penelitian, meliputi letak geografis, biografi Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami, yang mencangkup, Pandangan ulama, Ringkasan riwayat hidup

Bab IV Masyarakat Betawi Kampung Dukuh dan tradisi ziarah kubur yang didalamnya meliputi sarana objek ziarah, waktu ziarah, cara- berziarah, dan berbagai pendapat tentang ziarah.

(20)

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Ziarah Kubur Sebagai Unsur Dakwah

1. Pengertian Ziarah

Ziarah dalam kamus bahasa arab diambil dari kata

ةرﺎ ز

-

روﺰ

راز

yang berarti menziarahi, mengunjungi.20 Menurut Munzir Al-Musawa ziarah kubur adalah mendatangi kuburan dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai pelajaran (ibrah) bagi peziarah bahwa tidak lama lagi juga akan menyusul menghuni kuburan sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.21

Ketahuilah berdoa di kuburan pun adalah sunnah Rasulullah Saw, Beliau Saw bersalam dan berdoa di pekuburan Baqi’, dan berkali-kali Beliau Saw melakukannya, demikian diriwayatkan dalam At-Turmudzy, dan Beliau Rasulullah Saw bersabda :

،ﺎهرﺰ

، ﱢ أ

ةرﺎ ز

ﺪﱠ

نذأ

رﻮ ا

ةرﺎ ز

ﻜ ﻬ

آ

ةﺮ ا

ﺮﱢآﺬ

ﺎﻬﱠﺈ

)

ىﺬ ﺮ ا

اور

(

Dulu aku pernah melarang kamu menziarahi kubur. Kemudian Muhammad telah

diizinkan untuk menziarahi kubur ibunya, maka ziarahlah kubur, karena menziarahi kubur itu mengingatkan kepada hari akhirat.”

(H.R At-Turmudzy).22

20

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 159.

21

Munzir Al-Musawa, Kenalilah Aqidahmu, (Jakarta: Majelis Rasulullah, 2007), h. 65.

22

(21)

Dari hadis ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad Saw pernah melarang ziarah kubur namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (legalitas) ziarah kubur dari Allah SWT Dzat penentu hukum (Syari’ Muqaddas).

Jadi jelas bahwa ziarah kubur merupakan sesuatu yang syar’i (legal).23

Dan Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk mengucapkan salam untuk ahli kubur dengan ucapan:

ا

ﷲا

،

او

ﺆ ا

رﺎ ﱢﺪ ا

ها

م ﱠ ا

ﺮ ﺄ

او

ﺎﱠ و

.

مﻮ

راد

م ﱠ ا

،نﻮ

ﷲا

ءﺎ إ

ﺎﱠإو

ﺎﱠإو

،

ﷲا

ﺮ ﻐ

،رﻮ ا

ها

م ﱠ ا

،نﻮ

ﷲا

ءﺎ

نإ

ﺮﺛﻷﺎ

و

أ

،

ﻜ و

.

“Salam sejahtera bagi kaum Muslimin dan Mukminin yang menghuni rumah (kubur) ini. Semoga Allah selalu merahmati orang-orang yang datang lebih awal dari kita dan kalian serta mereka yang menyusul kemudian. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Salam sejahtera kepada kalian, tempat tinggal orang-orang yang beriman. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Salam sejahtera untuk kalian wahai penghuni kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian adalah pendahulu kami dan kami akan menyusul.”

Ini merupakan penjelaskan bahwa Rasulullah Saw bersalam pada ahli kubur dan mengajak mereka berbincang-bincang dengan ucapan “Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian”.24

Dan ziarah kubur ini merupakan kunjungan kubur yang (bentuk jamak dari qabr) yakni kuburan atau makam. Sedangkan secara teknis merunjuk pada aktivitas mengunjungi kepemakaman dengan maksud mendoakan bagi yang meninggal serta mengingatkan kematian.25

23

Sastro, Ziarah Kubur Salafy Indonesia.artikel diakses pada Senin, 12 Febuari 2007 dari Ads by Google

In Depth Critical Studies Christianity Islam Ismailism Quran alone keeps Islam pure. Website:

www.mostmerciful.com, h. 2.

24

(22)

Ziarah juga dapat dikatakan sebagai mengunjungi suatu tempat yang dimuliakan atau yang dianggap suci, misalnya mengunjungi makam, nabi Muhammad Saw di madinah seperti yang lazim dilakukan oleh jamaah haji, dalam perakteknya ziarah juga dilakukan untuk meminta pertolongan (syafaat) kepada seseorang yang dianggap keramat, agar supaya berkat syafaat tersebut kehendak orang yang bersangkutan dikabulkan Allah dikemudian hari. Ziarah semacam ini oleh sebagian umat islam dianggap sebagai bid’ah dan dilarang dilakukan misalnya oleh pengikut Ibnu Taimiyah dan kaum Wahabi.26

Dari makna yang sudah di singgung di atas, sehingga tradisi ziarah dapat di artikan sebagai adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat untuk berkunjung ke kubur apabila dilakukan dengan tuntunan Islam maka akan menjadi perbuatan baik yang membuahkan pahala.

2. Ziarah Kubur Menurut Pandangan Islam

Islam memandang bahwa ziarah kubur itu diperbolehkan dan bisa dikatakan amal ibadah selama yang di ziarahi itu adalah kaum muslimin. Para peziarah yang diperbolehkan itu adalah para peziarah yang telah mempunyai akidah islam yang kuat dan mengetahui hukum ziarah dan tujuannya. Salah satu tujuan dari ziarah kubur itu adalah bertawasul kepada seorang yang dianggap mempunyai karamah agar mendapatkan syafaat, keberkahan, dan dikabulkan segala apa yang diminta. Jika para peziarah itu belum mempunyai akidah yang kuat wal hasil akan terjadi kekhawatiran bahkan cenderung berlebihan dan menyimpang dari norma-norma ajaran agama Islam. Pendeknya kesyirikan yang timbul. Islam juga melarang kepada orang-orang muslim berziarah ke makam orang-orang kafir, dan orang-orang munafik.

B. Ziarah Kubur Sebagai Unsur Budaya Betawi

25

Espito,”Ziarah,” Dunia Islam Modern, h. 195

26

(23)

1. Pengertian Tradisi Dan Budaya

Secara defenisi istilah ”tradisi” yang telah menjadi lingua franca bahasa Indonesia dipahami sebagai segala sesuatu yang turun-temurun dari nenek moyang.27 Tradisi dalam kamus Antropologi sama dengan adat istiadat yakni kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial.28 Sedangkan dalam kamus sosiologi, diartikan sebagai kepercayaan dengan cara turun menurun yang dapat dipelihara.29

Tradisi merupakan pewarisan norma-norma, kaidah-kaidah, dan kebiasaan-kebiasaan. Tradisi tersebut bukanlah suatu yang tidak dapat diubah, tradisi justru dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Karena manusia yang membuat tradisi maka manusia juga yang dapat menerimanya, menolaknya dan mengubahnya.30

Tradisi juga dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang turun-menurun dalam sebuah masyarakat, dengan sifatnya yang luas tradisi bisa meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga tidak mudah disisihkan dengan perincian yang tepat dan pasti, terutama sulit diperlakukan serupa atau mirip, karena tradisi bukan obyek yang mati, melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula.31

Tradisi dipahami sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang memiliki pijakan sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa, tata kemasyarakatan keyakinan dan sebagainya,

27

W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), h. 1088.

28

Ariyono dan Aminuddin siregar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 4.

29

Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 1993), h. 459.

30

Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Jakarta: Kanisius, 1976), h. 11.

31

(24)

maupun proses penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering proses penerusan terjadi tanpa dipertanyakan sama sekali, khususnya dalam masyarakat tertutup dimana hal-hal yang telah lazim dianggap benar dan lebih baik diambil alih begitu saja. Memang tidak ada kehidupan manusia tanpa sesuatu tradisi. Bahasa daerah yang dipakai dengan sendirinya diambil dari sejarahnya yang panjang tetapi bila tradisi diambil alih sebagai harga mati tanpa pernah dipertanyakan maka masa kinipun menjadi tertutup dan tanpa garis bentuk yang jelas seakan-akan hubungan dengan masa depan pun menjadi terselumbung. Tradisi lalu menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.32

Adapun adalah berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah yang berarti akal atau pikiran. Ki Hajar Dewantara tokoh budaya dan pendidikan nasional menyebutkan budaya sebagai “daya dari budi” atau “buah budi” manusia dalam masyarakat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan budi sebagai paduan dari akal perasaan manusia, sedangkan budi daya adalah segala usaha yang memberikan hasil atau nilai lebih dari suatu produk usaha manusia. Dalam bahasa Inggris, budaya disebut culture. Dalam bahasa Belanda, culture berasal dari bahasa latin colore yang berarti mengolah atau mengerjakan tanah. Dalam KBBI kata kultur diartikan sebagai budaya. Jadi istilah kultur, budaya, kebudayaan mempunyai pengertian yang sama.33

Menurut E.B Taylor, seorang ahli antropologi dari Inggris mengemukakan bahwa kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lain-lain kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat penduduk kebudayaan tersebut.

32

Hassan Shadily, ”Tracy Spencer,” Ensiklopedi Islam, Vol 6, (Jakarta: PT. Ichatiar Baru Van Hoeve) h. 3608.

33

(25)

Menurut W.A Haviland seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat menyatakan kebudayaan sebagai seperangkat peraturan atau norma yang memiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang apabila dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan prilaku yang dipandang layak dan dapat diterima.

Sedangkan menurut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli antropologi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan semata-mata merupakan sistem gagasan atau ide dalam bentuk kebiasaan, adat-istiadat, sistem nilai, dan norma, serta aturan-aturan. Dan kebudayaan merupakan keseluruhan dari sistem gagasan, kompleks prilaku, dan hasil dari gagasan dan prilaku.34

2. Pengertian Masyarakat Betawi

Sebelum penulis menjelaskan tentang pengertian Betawi, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan arti dari masyarakat itu sendiri.

Dalam bahasa Arab, masyarakat asal mulanya dari kata musyarak yang kemudian berubah menjadi musyarakat dan selanjutnya mendapatkan kesepakatan dalam bahasa Indonesia, yaitu masyarakat. Adapun pengertiannya adalah sebagai berikut : Musyarak artinya bersama-sama, lalu musyarakat artinya berkumpul berbersama-sama, hidup berbersama-sama, dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sedangkan pemakainnya dalam bahasa Indonesia telah disepakati dengan sebutan masyarakat.

Dalam bahasa Inggris masyarakat diterjemahkan menjadi Society, atau sebaliknya Society

diterjamahkan menjadi masyarakat. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa masyarakat

34

(26)

dapat diterjemahkan menjadi dua pengertian dalam bahasa Inggris, yaitu Society dan

Community.35

Jadi definisi di atas hanya bermaksud menjelaskan perbedaan lingkup masyarakat yang lebih luas daripada lingkup kelompok sosial. Kelompok-kelompok sosial hanya merupakan segmen-segmen atau bagian-bagian dari masyarakat. Dapat dikatakan pula bahwa kelompok sosial terdiri dari individu-individu, sedangkan masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Maka, kalau orang hendak mempelajari masyarakat perhatiannya mesti diarahkan kepada kelompok-kelompok social, bilamana orang hendak mempelajari kelompok, fokus perhatiannya harus ditujukan kepada individu-individu.

Kalau kita memandang kelompok-kelompok sebagai komponen-komponen masyarakat, kita dapat memberi definisi lain: “Masyarakat adalah suatu jalinan kelompok-kelompok sosial yang saling mengait dalam kesatuan yang lebih besar, berdasarkan kebudayaan yang sama”.36

Dalam definisi tersebut di atas, satu aspek lain hendak ditonjolkan, yaitu bahwa kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat itu tidak hidup sendiri-sendiri, melainkan saling membutuhkan. Kelompok-kelompok itu hanya dapat hidup berkat adanya kesadaran akan perlunya kerja sama untuk saling memberi dan saling melengkapi kebutuhan bersama. Juga hendak ditonjolkan dasar lain, selain kebutuhan bersama yang memungkinkan mereka bersedia bekerja sama, yakni kebudayaan yang sama. Ini terbukti dari pengalaman umum yang terjadi dari zaman ke zaman, bahwa seseorang atau sekelompok orang sulit menggabungkan diri dengan masyarakat yang berkebudayaan lain.

Sedangkan jika didasarkan oleh faktor teritorial, yakni bahwa suatu masyarakat berada dan berlangsung dalam suatu daerah dengan batas-batas tertentu, maka definisi masyarakat

35

Abdul Syani, “Sosiologi Kelompok Dan Masalah Sosial“, (Jakarta : Fajar Agung, 1987). Cet, 1, h. 1-4.

36

(27)

hendaknya dirumuskan sebagai berikut: “Masyarakat adalah kesatuan yang tetap dari orang-orang yang hidup di daerah tertentu dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok, berdasarkan kebudayaan yang sama”.37

Suatu masyarakat, baik di dalam sebuah negara, kota, ataupun desa memiliki empat ciri khusus, yaitu (1) interaksi antar warga; (2) adat-istiadat, norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga; (3) kontinuitas dalam waktu; (4) rasa identitas yang kuat yang mengikat semua warga. Itulah sebabnya suatu negara, kota, atau desa dapat kita sebut masyarakat (misalnya masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat desa Trunyan, Masyarakat kota Jakarta, dan sebagainya).38

Adapun pengertian Betawi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah nama yang di berikan oleh orang Belanda dahulu kota Jakarta, ibu kota Rebuplik Indonesia dewasa ini, berasal dari kata Batavia. Kota Betawi didirikan oleh Jan Pierterszoon coen pada tahun 1819 sesudah berperang dengan pangeran Jakarta dan mangkubumi Banten.39

Menurut Hasan Shadily dalam Ensiklopedia Indonesia, menyatakan Betawi adalah sebutan orang pribumi terhadap Batavia (nama Jakarta pada zaman penjajahan Belanda). Ciri khas orang Betawi bisa dikenal dari bahasa dibelakangnya yang banyak menggunakan E dan In pada akhir kata seperti siape, dimane, ditungguin, dikerjain dan lain sebagainya. Suku betawi bisa juga dikenal dengan ciri-cirinya secara jelas pada akhir abad ke-19 atau + ke-17, ketika terjadi akulturasi, asimilasi, pencampuran antara suku etnis yang bermukim di Sunda kelapa, kemudian Jayakarta dan Batavia. Sebelum menjadi Jakarta, orang Betawi penjelmaan dari pencampuran berbagai suku bangsa di Jakarta (orang Melayu, Bali, Sunda, Jawa, Sumbawa,

37

D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, h. 75

38

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Cet. Ke-3, Jilid 1, h. 121

39

(28)

Sulawesi Selatan dan lain-lain). Seni Betawi pun mencerminkan pencampuran suku tersebut, seperti : sambrah, gambang kromong, tari topeng, gambus, rebana, pencak silat, lenong dan lain-lain. Betawi juga merupakan suku asli Jakarta yang mendiami wilayah sampai daerah perbatasan Jawa Barat, seperti Tanggarang Bogor, Bekasi, dan Karawang.40

Sementara Ridwan Saidi menyatakan bahwa secara umum nama Betawi diyakini berasal dari kata Batavia, yaitu nama yang digunakan penjajah Belanda untuk menyebut kota yang sebelumnya dikenal dengan Sunda Kelapa.41

Lebih lanjut Ridwan Saidi menyatakan dalam buku Profil Orang Betawi, Asal Muasal,

Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya, bahwa Betawi adalah sebuah suku yang berdomisili di

Jakarta dan sekitarnya yang menjadi penduduk asli Jakarta. Betawi juga merupakan suku terlama yang ada di Indonesia.42

Sifat yang amat diperlukan oleh manusia Indonesia dalam menyongsong milenium ke tiga adalah tahan uji, inovatif, kreatif, percaya diri, ulet, legaliter, dan demokratis. Kalaupun tidak semuanya, sebagian sifat-sifat yang terurai itu secara potensial mengedap dalam kebudayaan Betawi. Namun bagi masyarakat luas, sifat yang paling menonjok bagi orang Betawi adalah seleranya yang tinggi terhadap humor. Boleh dikatakan tidak ada orang Betawi, baik tua atau muda, baik perempuan atau laki –laki, yang tidak dapat melucu. Bias-bias humor itu terasa pada setiap bentuk komunikasi orang Betawi, sekalipun dalam memberi nasehat yang mestinya seratus persen serius.43

Masyarakat Jakarta dalam perpektif nasional secara keseluruhan merupakan orang Betawi, namun jika di tarik kedalam perspektif kultural, maka orang Betawi adalah orang dengan

40

Hassan Shadily, ”Besi,” Ensiklopedi Indonedia,, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), Vol. 1, h. 458

41

Ridwan Saidi, Orang Betawi dan Modernisasi, (Jakarta: LSIP, 1994), Cet. Ke-1, h. 2.

42

Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: PT. Gunara Kata, 2001), h. 7

43

(29)

jumlah tertentu yang memiliki norma, sistem sosial, dan tingkah laku tersendiri, dan tentunya mereka telah lama menetap di Jakarta. Jadi makna Betawi adalah suku asli yang menempati pertama kalinya kota Jakarta atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Sunda kelapa. Suku Betawi juga termasuk suku terlama yang ada di negeri ini, jadi mereka bukanlah suku yang baru-baru saja mucul atau istilah Ridwan Saidi adalah, ‘suku yang tulangnya masih muda'.44

Betawi adalah mosaik kebudayaan yang memiliki teksture Islami tanpa kehilangan nuasa tradisionalnya. Karena peran Jakarta menjadi semakin penting sebagai Ibukota negara, maka dengan sendirinya tata pergaulan dan bahasa yang digunakan masyarakat Jakarta menjadi parameter modernisme bagi orang-orang daerah. Maka, peran komunitas Betawi dalam modernisasi Indonesia menjadi makin penting. Untuk menyongsong milenium ketiga dalam beberapa tahun sejak sekarang, diperlukan suatu perencanaan kebudayaan yang memperhitungkan kedudukan strategis kebudayaan Betawi dalam mandala kebudayaan Nasional. Apalagi wilayah kebudayaan Betawi makin luas melebihi wilayah administrasinya. Dan orang Betawi itu merupakan inti masyarakat Jakarta.45

Kematian adalah akhir dari siklus kehidupan manusia. Bagi orang Betawi kematian adalah sesuatu yang nyata yang akan dihadapi pleh manusia. Menghadapi kenyataan kematian, orang Betawi bersedih, bahkan menangis, tetapi tidak meratap-ratap. Sanak keluarga, para tetangga, bahkan orang yang tidak kenal dengan almarhum, berkunjung ke rumah duka. Menyelipkan uang selawat di baskom yang berisi beras yang ditutupi kain putih. Dan penguburan jenasah harus disegerakan. Sedapat mungkin jenasah dikubur di hari yang sama

44

Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, h. 7.

45

(30)

dengan hari kematiannya, paling lambat sebelum waktu Magrib tiba. Pemakaman tidak dilakukan malam hari. Wanita tidak ikut mengantar ke kubur.46

Selamatan bagi masyarakat diadakan di hari ke-3, ke -7, dan ke-40 dengan mengundang kerabat untuk tahlilan. Upacara kematian diselenggarakan dengan berpegang kepada ajaran dan tradisi Islam.47

Dari beberapa pandangan para pakar, sebagaimana diuraikan di atas, yang dimaksud dengan Betawi adalah penduduk asli Jakarta yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu.

Berdasarkan uraian di atas tentang pengertian masyarakat dan Betawi, maka yang dimaksud dengan masyarakat Betawi adalah sebuah komunitas penduduk asli yang bermukim di Jakarta dan sekitanya, yang terbentuk dari interaksi antara bebagai suku atau etnik.

Biasanya masyarakat Betawi yang dikenal sebagai masyarakat tradisionalis, religius dan kental dengan nuansa Islam maka Ramadhan memiliki arti penting bagi masyarakat Betawi. Sepekan menjelang Ramadhan atau sebelum masuknya bulan puasa, masyarakat Betawi pada umumnya lakukan tradisi ziarah ke kubur dan munggahan (silaturahmi kerumah keluarga dan kerabat terdekat). Bagi mereka yang orang tua atau keluarganya telah meninggal dunia maka mereka menziarahi makam atau kubur untuk mendoakan, sedangkan yang keluarganya masih hidup maka wajib datang untuk bersilaturahmi dan saling bermaafkan agar dalam menjalankan puasa di bulan Ramadhan lebih afdhol dan khusyu.48

Kegiatan ziarah kubur yang menjadi rutinitas pada masyaakat Betawi ini, bukan hanya dilaksanakan pada menjelang bulan Ramadhan saja, melainkan pada waktu kapan saja, tetapi

46

Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, h, 160

47

Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat,. h. 160.

48

Bo/Babe, “ Tradisi Ziarah dan Munggahan,” artikel diakses pada 06/10/2005 dari Website:

(31)
(32)

BAB III

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

A. Letak Geografis

Jakarta yang berstatus sebagai ibu kota negara Republik Indonesia merupakan suatu kawasan administratif kota yang terletak pada 106° 48’ Bujur Timur dan 11° 15’ Lintang Selatan. Letaknya itu memasukkannya ke dalam daerah tropik sehingga suhu udaranya tinggi, yakni rata-rata 27° C. Sebagai bagian Indonesia, Jakarta dipengaruhi oleh angin muson dengan kelengasan udara berkisar antara 80-90 %.

Kawasan ini terletak di daratan rendah pantai utara bagian barat Pulau Jawa. Ketinggian maksimal di bagian utara (Tanjung Priok) adalah 7 meter di atas permukaan laut dan makin ke selatan medannya relatif bergelombang. Daerah yang sangat datar kira-kira mulai dari Banjir Kanal ke arah laut sehingga dearah ini sering dilanda banjir di musim hujan. Di pantai Jakarta terdapat juga rawa-rawa.49

Sedangkan letak makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami berada di Yayasan Al-Asyirotusy Syafi’iyyah di jalan KH. M. Syafi’i Hadzami, Kampung Dukuh Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Berdiri di atas area tanah secara keseluruhan seluas 1 : 12500 meter berada di pinggir jalan raya, jarak makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami ± 900 meter, dari kantor Kelurahan Kebayoran Lama Utara, ± 700 meter dari kantor Kecamatan Kebayoran Lama dan Polsek, serta dengan batas-batas sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Sultan Iskadar Muda (Kel. Grogol Selatan) 2. Sebelah Timur : Gandaria (Kel. Keramat Pela)

49

Tim Penyusun Department Pendidikan dan Kebudayaan, Perkampungan Di Pekotaan Sebagai Proses Adaptasi Sosial Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, (Jakarta : Depdikbud, 1985),

(33)

3. Sebelah Selatan : Bungur (Kel. Kebayoran Lama Selatan) 4. Sebelah Barat : Peninggaran Timur (Kel. Keb. Lama Utara)

Untuk datang ke makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami sangat mudah apabila ingin berziarah, bisa dari arah Ciputat, Lebak Bulus, Pondok Pinang, dan lebih dekat lagi dari arah Kebayoran Lama. Lokasinya bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum maupun pribadi. Jika menggunakan kendaraan umum bisa naik mikrolet DO1 jurusan Ciputat Kebayoran Lama dan metromini 85 jurusan Lebak Bulus Kali Deres. Jika dari arah Ciputat turun di Alteri menyeberangi jalan kearah Jl. KH. M. Syafi’i Hadzami letaknya tidak jauh ± sekitar 50 meter.

Jangan takut kesasar menuju makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami karena penduduk asli setempat pada umumya pasti sudah mengenal sosok Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami, dan beliau ini pendiri Yayasan Al-Asyirotusy-Asyafi’iyyah.

B. Biografi Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami

Muhammad Syafi’i. Itulah nama yang diberikan oleh pasangan Bapak Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini untuk anak tertua mereka yang lahir pada tanggal 31 Januari 1931 M bertepatan dengan 12 Ramadhan 1349 H. Di kemudian hari ia lebih dikenal dengan nama Syafi’i Hadzami atau lengkapnya KH. M. Syafi’i Hadzami. Oleh anak-anak dan cucunya, ia kini biasa dipanggil jid (dari kata bahasa arab yang berarti kake). Ada pula yang memanggil buya.

(34)

Hadzami adalah nama beliau sejak lahir. Sehingga, jika disebut nama Muhammad Syafi’i, mungkin orang tidak tahu bahwa itu adalah nama beliau.50

Ayah Muallim yang dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1911 adalah seorang Betawi asli, sedangkan ibunya berasal dari daerah Citeureup, Bogar, Jawa Barat. Ketika Muallim Syafi’i dilahirkan, ayahnya ini sedang bekerja di sebuah perusahaan minyak asing di Sumatera Selatan. Sekitar 2 tahun ayah Muallim bekerja di sana. Setelah kontraknya selesai ia kembali ke kampung halamannya, Rawabelong. Muallim Syafi’i mempunyai tujuh saudara kandung. Tidak seperti Muallim yang tinggal bersama kakeknya, semua saudaranya ini ketika kecil tinggal bersama kedua orang tua mereka. Mereka adalah Solehah, Safri, Sa’diah, Suhairi, Sahlani, Saidi, dan Syafwani.

Sejak kecil, Syafi’ tidak lagi tinggal dengan orang tua dan adik-adiknya, melainkan dengan kakeknya yang tinggal di Batu tulis XIII (dulu disebut Gang Lebar), Pecenongan yang bernama Husin. Ketika itu ia belum berusia 2 tahun karena seingatnya masih suka jatuh bila berjalan. Ia memanggil Kakek Husin dengan sebutan jid. Orang-oranglain di Kampungnya juga memanggilnya dengan panggil yang sama. Kakek Husin tidak mempunyai anak. Maka jadilah Syafi’i sebagai pengganti anak baginya. Dulu ayah Syafi’i ketika kecil juga dirawat oleh Kakek Husin. Ketika Muallim mulai tinggal bersamanya, Kakek Husin sudah pensiun. Sebelumnya ia bekerja sebagai pegawai percetakan. Setelah pensiun, waktunya diisi dengan mengajar ngaji anak-anak di samping juga berdagang kecil-kecilan.

Kakek Husin mengajari ngaji Muallim sampai fasih, berserta ilmu tajwidnya. Dalam mengajar Al-Qur’an, Kakeknya bener-bener memberikan perhatian, bukan asal khatam saja. Kakeknya ingin sang cucu bener-bener memahami apa yang dipelajarinya. Cara Kakek Husin

50

(35)

dalam mendidik dirasakan Syafi’i sangat keras. Shalat, misalnya, harus dilaksanakan tepat waktu. Bila waktu subuh telah tiba tetapi ia belum bangun, ia diguyurin air. Sikap disiplin menjalankan perintah agama semacam inilah yang ditanamkan oleh Kakeknya. Begitu disiplinnya beliau sampai main-main pun Syafi’i dilarang.

Pada usia 9 tahun Syafi’i sudah khatam Al-Qur’an di bawa asuhan Kakeknya yang disiplin dan tegas dalam pendidikan, Syafi’i juga mengajar anak-anak lain pada usia itu. Mereka itu anak-anak sekampungnya dan kurang lebih sebaya dengannya. “Kalau tidak begitu cara Kakek mendidik, saya mungkin enggak jadi orang,” begitu kata Muallim.51

Sejak kecil, Muallim Syafi’i senang melihat orang-orang pinter, terutama para Kiyai. Ia ingin bisa seperti mereka. Karena itu, ketika kecil ia senang berpakaian seperti ulama. Namun ia tidak tahu, dari mana datangnya keinginan itu. Pada keluarganya, ia tak melihat ada kecendrungan untuk menjadi Kiyai. Barang kali didikan Kakeknya yang selalu menyuruh untuk mengaji dan sering mengajaknya ke tempat-tempat para ulama yang membuatnya ingin menjadi seperti mereka.

Sejak kecil Muallim Syafi’i tak mengalami benturan cita-cita dengan Kakeknya. Seandainya Kakek Husin seorang yang sangat kaya dan pergaulannya sangat luas, mungkin lain lagi ceritanya. Bukan mustahil Kakeknya menghendaki Syafi’i menjadi “kantoran”. Mungkin juga ia disekolahkan agar menjadi dokter atau ahli hukum. Tetapi sebagai seorang guru ngaji, Kakeknya tak melihat segi lain dalam kehidupannya selain bahwa cucunya pun harus bergulat di bidang agama.

51

(36)

Dalam pendidikan agama, bisa dikatakan ia tidak ditunjang oleh orang tua. Semua dilakukan dengan kemauan sendiri. Ia mengembangkan semangat sendiri dan belajar keras sendiri. Jadi, ia bener-bener mandiri. Hanya watak Kakeknya sangat mempengaruhidirinya.52

Sepuluh tahun lalu, tepatnya tanggal 22 April 1997 ayah Muallim telah berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman umum Gandaria, tidak jauh dari kediaman Muallim. Sedangkan setahun yang lalu tepatnya hari minggu tanggal 07 Mei 2006 sekitar jam 08.30 kurang lebih Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami penerang kota Jakarta berpulang ke rahmatullah setelah mengajar di Masjid Ni’ matul- Ittihad Pondok pinang, Ciputat Raya.

C. Pandangan Ulama Mengenai Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami.

Dengan segala kelebihan yang dimilikinya dan pengakuan-pengakuan orang-orang besar tentang keistimewaannya, Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami tetap menampilkan dirinya sederhana dan tak berlebihan. Walaupun demikian, kita tetap melihatnya memiliki wibawa yang kuat sebagai pancaran kealiman, kesalehan, dan keikhlasannya.

Untuk lebih mengenal pribadi Muallim lebih jauh lagi, berikut ini kita perhatikan beberapa komentar dan kesan tentang beliau yang dituturkan oleh orang-orang terdekatnya, baik dari murid-murid, maupun kawan-kawannya.

1. KH. Abdurrasyid Abdullah Syafi’i

(Pimpinan Perguruan asy-Syafi’iyyah, Tebet Jakarta)

Beliau adalah seorang Kiyai yang berpenampilan sederhana namun memancarkan charisma yang kuat karena dorongan sinar iman, ilmu, dan al-akhlaqul-karimah. Sejak lebih dari 30 tahun yang lalu nama beliau sebagai ulama sudah harum di telinga ummat Islam, khususnya di Jakarta.

52

(37)

Di antara ulama Betawi yang menjadi murid Habib Ali Bungur, tampaknya beliaulah yang memang paling dapat diandalkan. Kalau boleh saya katakana, yang “menguras” ilmu Habib Ali Bungur adalah beliau. Bila di zaman Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur) dulu yang paling menonjol adalah Habib Ali, maka wajar bila di kemudian hari yang paling menonjol di kalangan ulama Betawi adalah KH. M. Syafi’i Hadzami. Kata orang, kalau ingin mengambil berlian, ya ambil dari laut! Bila kita melihat KH. M. Syafi’i Hadzami bertaburkan berlian, itu karena beliau mengambilnya dari lautan ilmu Habib Ali.53

2. Habib Ali bin Abdurrahman as-Seggaf

Bertemu dengan KH. M. Syafi’i Hadzami itu menyenangkan. Beliau orang yang bersih hatinya dan indah akhlaknya. Kita merasa tidak ada jarak dengan beliau. Beliau tidak menonjolkan diri sebagai orang yang memiliki kelebihan. Di hadapan beliau, kita merasa sebagai anak yang harus diayomi, seperti di hadapan orang tua sendiri.

Beliau itu seorang yang sederhana dan senantiasa membingkai tingkah lakunya dengan norma-norma sebagaimana para ulama ahli fiqih pada umumnya. Beliau menghargai orang lain dengan baik. Pendeknya, beliau selalu menjaga adab dan sopan santun.54

3. Muallim KH. Bunyamin, murid (lahir 1955)

Dibandingkan murid-murid terdekat beliau, saya belum lama mengenal beliau. Saya baru mulai mengikuti beliau sejak tahun 1990. Sejak pertama kali mengenal beliau, saya bener-bener cocok dengan beliau dan tak mau lagi lepas dari beliau. Ulama memang banyak, tetapi KH. M. Syafi’i Hadzami hanya satu. Sekali lagi saya katakana, hanya satu! Sulit dicari orang seperti beliau.

53

Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, “Kutipan Komentar Para Tokoh”, h. ix

54

(38)

Kealiman beliau tak perlu disangsikan lagi, karena pengetahuannya beliau penuh dan meliputi bermacam-macam ilmu. Kelebihan lain dari beliau adalah istiqamahnya. Beliau bener-bener seorang yang istiqamahdan itu diakui oleh semua orang. Saya rasa istiqamahnya ini yang membuat ilmu beliau bisa seperti itu. Beliau juga bersikap tawadhu’ dan selalu menghormati orang lain, baik yang lebih tua atau yang lebih muda dari beliau.

Sepanjang yang saya tahu saya denger, ulama-ulama sangat menghormati beliau, termasuk para ulama terkemuka. Di Mekkah saya lihat sendiri bagaimana perlakuan Kiyai Damanhuri dan juga Syekh Ismail al-Yamani terhadap beliau. Dari perlakuan yang mereka tunjukan kepada beliau, kita mengetahui bahwa beliau dihormati oleh ulama-ulama terkemuka.

Selama saya mengenal dan mengikuti beliau, saya belum pernah melihat beliau marah. Dalam perjalanan, beliau lebih banyak mengisi waktu dengan berdzikir. Beliau tak mau berbicara yang tak bermanfaat, yang sekedar mengisi kekosongan waktu saja. Terkadang kita yang muda-muda ini suka malu kepada beliau.

Dalam mengajar, selain tampak sekali kealimannya, beliau juga menunjukan keterbukaan dan kebesaran jiwanya. Beliau selalu menerima dengan senang hati bila ada murid-muridnya yang memberikan pandangan yang berbeda atau mengoreksi bila beliau secara tak sengaja salah atau kurang tepat dalam membaca. Pendapat orang lain bener-bener diperhatikan oleh beliau, walaupun pendapat itu datang dari murid-muridnya sendiri.55

4. KH. Sabilar Rasyad, murid

Pertama kali saya mengetahui dan tertarik dengan Muallim adalah ketika mengikuti acara Tanya jawab di Radio Cenderawasih yang diasuh beliau pada awal tahun 70. Saya tertarik dan kagum karena jawaban-jawaban beliau atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menurut saya sangat mantap.

55

(39)

Kemudian sekitar tahun 1975 saya sering dating menghadiri majlis beliau di masjid an-Nur, jalan Taman Sari II, Kota setiap hari Ahad. Tetapi ketika itu saya belum mengikuti secara rutin. Sekitar tahun 1976 barulah saya dapat hadir secara rutin. Mulai tahun 1977 saya mulai ikut pengajian hari Sabtu di rumah beliau. Kemudian saya juga mengikuti pengajian malam Minggu di Jalan Cilamaya, Cideng di rumah Haji Ali Dimung. Selain itu juga pengajian malam Rabu di masjid Muyassarin, Kebayoran Lama.

Di antara pengajian-pengajian Muallim tersebut yang saya terus hadir adalah pengajian hari Sabtu. Saya sengaja tidak mau menerima undangan setiap hari Sabtu bila waktunya bersamaan dengan waktu pengajian di tempat beliau. Bila tidak ada kepentingan mendadak yang tidak bisa dihindari sedapat mungkin saya akan mengikuti majlis beliau.

Muallim memiliki kelebihan pada pemahaman ilmu. Pengetahuan beliau tentang berbagai hal sangat luas, tidak terbatas persoalan agama saja. Dalam menjabarkan suatu permasalahan agama, beliau biasanya menjelaskan secara detil dan rinci. Bahkan, beliau tak jarang member pandangan dari pengetahuan umum untuk memperkuat uraian-uraian keagamaannya. Jadi, Muallim Syafi;i Hadzami tak sekedar menguasai ilmu keagamaan.

Dalam menjabarkan persoalan agama, Muallim tidak hanya mendasarkan keterangannya dari satu kitab saja. Melainkan, ia memberikan penjelasan lewat berbagai kitabyang sangat berkaitan. Hal ini memang tidak sulit dilakukan oleh beliau, karena di samping memiliki wawasan yang sangat luas dalam berbagai cabang keilmuan Islam, beliau juga mempunyai referensi yang sangat banyak. Itulah mungkin yang membedakan Muallim dengan guru-guru lainnya.56

D. Ringkasan Riwayat Hidup Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami

56

(40)

Waktu Peristiwa

31 Januari 1931 Lahir dengan nama Muhammad Syafi’i sebagai anak pertama pasangan Bapak Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini.

1933 Mulai tinggal bersama Kakek Husin di Batu Tulis XIII, Pecenongan. 1935 Belajar Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada Kakek Husin. Ia belajar

kepadanya hingga Kakeknya itu wafat sekitar tahun 1944.

1936 Masuk sekolah dasar HEI (Hollandche Engels Instituut) yang terletak di Jalan Ketapang.

Sekitar 1938 Mulai diajak Kakek Husin untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat Kiyai Abdul Fattah, pemimpin tarekat Idrisiah. Rumah Kiyai Abdul Fattah dan masjidnya terletak di daerah Batu Tulis juga. Pembacaan dzikir dilakukan di malam hari. Kakek Husin juga biasa shalat berjamaah di sana dan Syafi’i kecil selalu diajak.

Sekitar 1939 Berdagang kue buatan Neneknya dengan berkeliling sekitar kampungnya sebelum berangkat sekolah. Kegiatan ini dijalaninya selama lebih kurang 2 tahun.

1940 Mengkhatamkan Al-Qur’an dan mulai membantu mengajar teman-temannya.

Sekitar 1941 Belajar Al-Qur’an, lughah, nahwu, dan shorof kepada Pak Sholihin. Lebih kurang 2 tahun ia belajar.

1942 Lulus dari HEI

(41)

1946 Berdagang barang-barang kelontong di Pasar Atom, setelah kedatangan NICA di Indonesia.

1947 Bekerja di Balai Pustaka sebagai tenaga pemeriksa pembukuan. Ia bekerja selama lebih kurang 2 tahun.

1948 Menikah dengan gadis tetangganya di Batu Tulis bernama Nonon yang di kemudian hari dipanggil dengan panggilan Hajjah Siti Khiyar. Ketika menikah Muallim Syafi’i Hadzami telah tinggal di Kemayoran.

1948 Mulai belajar kepada Guru Sa’idan di daerah Kemayoran. Pada beliau ia mempelajari ilmu tajwid, ilmu nahwu dengan kitab pegangan Mulhatul-I’rab, dan ilmu fiqh dengan pegangan kitab ats-Tsimarul-Yani’ah yang merupakan syarah atas kitab ar-Riyadhul-Badi’ah. Guru Sa’idan pula yang menyuruhnya belajar kepada guru-guru lain, di antaranya kepada Guru Ya’kub Sa’idi (Kebon Sirih). Lebih kurang 5 tahun Muallim Syafi’i belajar kepada Guru Sa’idan, yaitu sampai tahun 1953.

1950 Belajar kepada seorang ulama keluaran Mekkah yang terkenal alim, yaitu KH. Ya’kub Saidi yang biasa dipanggil Guru Ya’kub. Selama sekitar 5 tahun (sampai tahun 1955), ia mengaji kepada Guru Ya’kub. Banyak kitab yang telah dibacanya sampai khatam, terutama kitab-kitab dalam ilmu ushuluddin dan manthiq. Di antara kitab-kitab yang dikhatamkan padanya adalah Idhahul-Mubham, Darwisy Quwaysini, dan lain-lain.

(42)

Kitab-kitab yang dipelajari diantaranya adalah Ihya’ Ulumiddin (tashawuf) dan Bujairimi (fiqih).

1951 Mendapatkan anak pertama yang diberi nama Ahmad Chudlory. Kini H. Ahmad Chudlory menjadi anggata DPRD DKI Jakarta dari fraksi PPP. 1953 Selama lebih kurang 5 tahun, yaitu sampai tahun 1985, Muallim Syafi’i

belajar kepada KH. Mukhtar Muhammad di Kebon Sirih yang masih terhitung mertuanya sendiri juga murid dari Guru Ya’kub. Di antara kitab yang dibaca ketika mengaji padanya adalah Kafrawi (dalam ilmu Nahwu). Sekitar 1956 Bekerja di RRI sebagai pegawai negeri. Tugasnya adalah transcription

service, yaitu rekaman music-musik.

1958 Mulai belajar kepada Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur). Muallim Syafi’i belajar kepadanya hingga beliau wafat pada tahun 1976. Ia banyak sekali mengaji kitab kepada beliau. Biasanya sebelum berangkat ke kantor di RRI, Muallim datang ke tempat Habib Ali Bungur dan membaca kitab di hadapannya.

(43)

1963 Sewaktu Muallim Syafi’i Hadzami baru mengajar pada 14 majlis taklim, terbentuk sebuah badan yang bernama BMMT (Badan Musyawarah Majlis Taklim) yang mengkoordinasikan majlis-majlis itu. Dalam musyawarah yang diadakan pada tanggal 7 April 1963 dan dipimpin langsung oleh Muallim Syafi’i Hadzami, dapat ditetapkan dan disahkan susunan pengurus BMMT yang diberi nama Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah sekaligus mengukuhkan pimpinan-pimpinan majlis taklim tersebut.

1966 Menunaikan haji yang pertama bersama kawan dagangnya, Haji Abdul Qadir Ghozali.

1969 Setelah bertugas cukup lama, maka atas pertimbangan-pertimbangan tertentu, Muallim memutuskan berhenti dari RRI. Statusnya sebagai pegawai negeri ia tinggalkan dan ia mencari pekerjaan lain.

1970 Mulai mengasuh pengajian udara di Radio Cenderawasih, Jakarta selama beberapa tahun. Pada mulanya berbentuk ceramah sebagaimana biasa. Karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang masuk, maka pihak radio memintanya untuk mengasuh acara tanya jawab. Dengan jawaban-jawaban yang argumentative berdasarkan dalil-dalil yang kuat, para penanya dan permisa radio lainnya merasa puas. Karenanya, tidak heran bila kemudian acara ini banyak dipuji orang. Bahkan, salah seorang gurunya yang paling utama pun, Habib Ali bin Husein al-Attas (Habib Ali Bungur) menyatakan kegembiraannya dan memujinya.

(44)

Taudhihul-Adillah yang artinya menjelaskan dalil-dalil, disertai judul dalam bahasa Indonesia Seratus Masalah Agama. Hingga saat ini telah tujuh jilid buku yang diterbitkan. Inisiatif penerbitannya datang dari Muallim sendiri. Selain di Indonesia, buku itu juga pernah dicetak di Malaysia.

1972 Setelah BMMT berjalan sekitar 10 tahun, majelis-majelis taklim yang diasuh Muallim bertambah lagi 9 buah, sehingga semuanya menjadi 23 majelis taklim. Dengan adanya perkembangan ini, maka dalam musyawarah pengurus tanggal 16 pebruari 1972 yang dipimpin langsung oleh KH. M. Syafi’i Hadzami diputuskan untuk mengadakan penyegaran anggota pengurus.

1973 Muallim untuk kedua kalinya kembali mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji. Kali ini ia berangkat bersama istrinya. Ikut pula bersama Muallim beberapa orang jamaah al-Asyirotusy-Syafi’iyyah. 1975 Jumlah majelis taklim beliau bertambah menjadi 26 buah yang tepatnya

lebih tersebar luas lagi. Berlandaskan musyawarah mufakat segenap anggota majelis-majelis taklim, maka pada tahun 1975 dengan akte Notaris M.S. Tadjoedin no. 288 tertanggal 30 Juni 1975, dibentuk suatu yayasan yang bernama Yayasan BMMT al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah dengan ketua umumnya KH. Muhammad Syafi’i Hadzami.

(45)

pesantren itu terletak di Kampung Dukuh, kebayoran Lama Jakarta Selatan.

1975 Di angkat menjadi salah satu anggota pengurus MUI DKI untuk periode 1975-1980.

20 Januari 1976 Guru Sa’idan wafat dan dimakamkan di daerah Kranji, Bekasi.

16 Pebruari 1976 Habib Ali bin Husein al-Aththas, salah seorang guru utama dari Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami wafat dan dimakamkan di dekat masjid al-Hawi, Cililitan, Jakarta Timur.

19 Januari 1977 Dalam suatu upacara peresmian dimulailah pelaksanaan pembangunan kompleks pesantren. Dalam kesempatan itu sambutan-sambutan yang bersifat dukungan telah diberikan oleh Bapak Haji Urip Widodo selaku Wakil Gubernur DKI, Bapak KH. Dr. Idham Chalid, dan beberapa ulama terkemuka Jakarta.

1980 Diberi kepercayaan yang lebih tinggi dalam kepengurusan MUI DKI periode 1980-1985, yaitu sebagai salah satu ketua.

1985 Jabatan sebagai salah satu ketua MUI DKI untuk periode kepengurusan 1985-1990 kembali dipercayakan kepada Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami.

1990 Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi lagi dalam kepengurusan MUI DKI. Kali ini beliau diberi amanah sebagai ketua umumnya.

(46)

menghadiri suatu pertemuan yang berkaitan dengan persoalan Darul-Arqam. Tokoh-tokoh lain yang ikut berangkat ke Malaysia dalam kesempatan itu adalah KH. Ilyas Ruhiyat, KH. Sahal Mahfudz, KH. Ma’ruf Amin, Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, dan beberapa orang lainnya.

1994 Pada Muktamar NU ke-29 yang berlangsung tanggal 1 sampai 5 Desember 1994 di pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami ikut menghadirinya. Dalam muktamar ini beliau dipilih sebagai salah satu rois syuriah.

1995 Dipilih kembali sebagai ketua umum MUI DKI untuk periode 1995-2000. 22 April 1997 Muhammad Saleh Raidi, ayah Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami

berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman umum Gandaria, tidak jauh dari kediaman Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami. 1999 Muallim menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama dengan

anak angkatnya, H. Muhammad Erwin Indrawan.

07 Mei 2006 Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami pulang ke rahmatullah tepatnya pada hari Minggu kurang lebih jam 08.30 wib setelah mengajar taklim di masjid Ni’matul-Ittihad Pondok Pinang, Ciputat.57

57

(47)

BAB IV

MASYARAKAT BETAWI KAMPUNG DUKUH

DAN TRADISI ZIARAH KUBUR

Hal yang penting dalam memahami tradisi ziarah kubur pada masyarakat Betawi Kampung Dukuh adalah melihat kegiatan atau aktivitas mereka sehari-hari. Aktivitas tersebut umumnya merupakan bagian dari tradisi termasuk tardisi keagamaan yang berupa ziarah kubur.

Dalam upacara tradisi keagamaan dikenal apa yang disebut ”tradisi besar” (great tradition) dan ”tradisi kecil” (little tradition), yakni sepasang konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh pakar antropologi Amerika Robert Redfield. Konsep ini kemudian banyak digunakan para antropolog lain dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di

berbagai negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.58

Konsep tersebut mengungkapkan bahwa dalam suatu peradaban terdapat dua macam tradisi yang dapat dikatagorikan sebagai great tradition di satu pihak dan little tradition di

58

(48)

pihak lain. Tradisi besar adalah tradisi dari mereka yang suka berpikir dan dengan sendirinya hanya mencangkup sejumlah orang yang relatif sedikit (the reflective few). Sedangkan tradisi keciladalah tradisi massa yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki. Tradisi dari para filsuf, ulama dan kaum terpelajar adalah termasuk tradisi besar. Tradisi ini ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran melalui wacana

intelektual baik lisan maupun tertulis. Sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi kecil yang diterima saja dari pendahulu secara apa adanya (taken for granted) dan tidak pernah diteliti atau disaring isi maupun asal-usul ataupun dalam perspektif ini, kebiasaan berziarah (kubur) atau berkunjung ke kubur dalam berbagai bentuk dan keperluan digolongkan sebagai tradisi kecil (kebiasaan orang kebanyakan).59

Para peziarah atau pengunjung makam terbagi atas dua

kategori yang pertama

wong ziarah

dan yang kedua

wong nyepi.

Kategori pertama adalah mereka yang datang untuk singgah,

berdoa, melihat-lihat atau tanpa mengelilingi kompleks, dan

kemudian kembali pulang. Sedangkan yang kedua adalah

mereka yang tinggal bermalam ditempat-tempat tersebut selama

beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu. Beberapa di

antaranya adalah pendatang baru, sedangkan yang lain adalah

mereka yang sudah terbiasa atau telah sering mengunjungi

59

(49)

tempat pemakaman tersebut.

60

Obyek ziarah pun terbagi menjadi

dua yang pertama merujuk pada kunjungan kepada orang

terkemuka atau orang-orang penting seperti kiai, dan tokoh-tokoh

lainnya yang masih hidup, yang tujuannya untuk penghormatan

biasa. Yang kedua ke sebuah tempat suci seperti makam keramat

dan peninggalan wali serta orang takwa, yang mengisyaratkan

harapan untuk mendapatkan barakah. Pembahasan tentang

ziarah di sini hanya menyangkut kunjungan ke objek yang di

sebut terakhir, yaitu kunjungan ke tempat-tempat sacral, yakni

berupa ziarah kubur.

A. Obyek Ziarah

Masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang cenderung senang berziarah kubur. Dimana aktivitas yang berlaku di kalangan masyarakat Betawi ini adalah berkunjung ke berbagai situs, termasuk makam-makam keluarga, Wali dan para Kiyai terkemuka. Kegiatan semacam itu selain ibadah, mempunyai nilai kebaikan. Bagi masyarakat Betawi, berziarah juga dipandang sebagai suatu aktivitas sosial keagamaan, di mana orang-orang yang berziarah dapat memberikan doa kepada orang yang sudah meninggal.

60

(50)

Sebagian besar pula masyarakat Kampung Dukuh

Gambar

TABEL. I    KEGIATAN MASYARAKAT BETAWI B

Referensi

Dokumen terkait

TRADISI ZIARAH MAKAM SEBAGAI PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT DI DESA GIRILAYU (STUDI KASUS MAKAM PANGERAN SAMBERNYOWO DI ASTANA MANGADEG DESA GIRILAYU KECAMATAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Tradisi ziarah di makam Pangeran Sambernyowo “ ndagan ” dengan melakukan tabur bunga, berpuasa, dan berdoa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Tradisi ziarah di makam Pangeran Sambernyowo ³ ndagan ´ dengan melakukan tabur bunga, berpuasa, dan berdoa

Tata urut baku dalam hal melaksanakan ziarah di makam Raden Ayu Siti Khotijah tidak bersifat baku, namun setidaknya dapatlah digambarkan urutan ziarah yang pada

Tradisi yang di gunakan dalam upacara adat Suku Betawi dalam konteks ini adalah penggunaan Roti Buaya dalam pernikahan adat di kampung Petukangan Utara, Jakarta

Akulturasi budaya pada tradisi ziarah makam Bathara Katong dapat ditemukan pada bangunan-bangu- nan yang ada di area makam Bathara Katong, pada ben- da-benda yang dibawa oleh

Tradisi Malem Negor pada Masyarakat Betawi dan Relevansinya Terhadap Perkawinan dalam Islam (Studi di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan, Jagakarsa,

Skripsi yang berjudul TRADISI PALANG PINTU SEBAGAI SYARAT KEBERLANJUTAN AKAD PERNIKAHAN (Studi masyarakat Betawi di Setu Babakan Jakarta Selatan), disusun dalam rangka