i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KOTA
TANGERANG DENGAN METODE
ANATOMICAL
THERAPEUTIC CHEMICAL/DEFINED DAILY DOSE
PADA TAHUN 2015
SKRIPSI
ANISSA FLORENSIA
1112102000040
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KOTA
TANGERANG DENGAN METODE
ANATOMICAL
THERAPEUTIC CHEMICAL/DEFINED DAILY DOSE
PADA TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi
ANISSA FLORENSIA
1112102000078
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nama : Anissa Florensia
Program studi : Farmasi
Judul Skripsi : Evaluasi Penggunaan Obat Antihipirtensi di Instalasi Rawat
Inap RSUD Kota Tangerang dengan Metode Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose Pada Tahun 2015.
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuantitas
penggunaan obat antihipertensi dengan metode Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose serta mengetahui obat-obat antihipertensi apa saja yang masuk dalam segmen Drug Utilization 90%. Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data diambil dari Rekam Medis pasien. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif dengan pengumpulan data secara retrospektif.
Data penggunaan antihipertensi dan data kunjungan rawat inap diperoleh dari
Instalasi Rekam Medik. Semua data tersebut selanjutnya diolah untuk mengetahui
kuantitas penggunaan antihipertensi dalam satuan DDD/100 patient-days dan profil Drug Utilization (DU90%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat antihipertensi yang digunakan
pada pasien hipertensi di RSUD Tangerang selama tahun 2015 adalah amlodipin
40,27%, ramipril 28,57%, captopril 7,88%, irbesartan 9,02%, furosemid 5,65%,
candesartan 2,64%, bisoprolol 1,71%, lisinopril 1,69%, nifedipin 1,11 %, klonidin
0,66%, spironolakton 0,42%, valsartan 0,21%, nimodipin 0,08%, nicardipin
0,02%. Dan dari tabel DU90% obat yang masuk dalam segmen DU90% adalah
amlodipin, ramipril, irbesartan dan captopril.
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nama : Anissa Florensia
Program studi : Srata-1 pharmacy
Judul Skripsi : Evaluation of Antihypertensive Drug Use in Inpatient RSUD
Kota Tangerang using Anatomical Therapeutic Chemical/ Defined Daily Dose methods in 2015
Hypertension is one of the leading causes of mortality and morbidity in
Indonesia. This research aims to determine the quantity of antihypertensive drugs
used with Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose methods and determine antihypertensive drugs which include in Drug Utilization 90% segment. This research used secondary data which were taken from the patient's Medical
Record. This research was quantitative descriptive research, the data were
collected retrospectively. Data of antihypertensive drugs utilization and inpatient
visit obtained from Medical Record Installation. Entire data then were processed
to determine the quantity of antihypertensive drugs utilization in DDD/100 unit of
inpatient day and Drug Utilization profile (DU90%).
The results showed that the antihypertensive drugs utilization in
hypertensive patients in RSUD Kota Tangerang during 2015 were amlodipin
40,27%, ramipril 28,57%, captopril 7,88%, irbesartan 9,02%, furosemid 5,65%,
candesartan 2,64%, bisoprolol 1,71%, lisinopril 1,69%, nifedipin 1,11 %, klonidin
0,66%, spironolakton 0,42%, valsartan 0,21%, nimodipin 0,08%, nicardipin
0,02%.And from the DU90% table, drugs which include in the DU90% segment
were amlodipin, ramipril, irbesartan dan captopril.
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “EVALUASI PENGGUNAAN OBAT
ANTIHIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KOTA
TANGERANG DENGAN METODE ANATOMICAL THERAPEUTIC
CHEMICAL/DEFINED DAILY DOSE PADA TAHUN 2015”.
Semoga shalawat dan salam selalu tercurah bagi junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya dan kita sebagai umatnya yang taat
hingga akhir zaman.
Skripsi ini dalam proses penyusunannya, penulis mendapatkan doa,
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali
ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Orang tua saya, Gusnizal dan Cucu Aminah terimakasih atas kasih sayang,
kesabaran, doa dan perjuangannya sehingga penulis dapat melanjutkan
pendidikan hingga saat ini.
2. Dr. H. Arif Sumantri S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D, Apt selaku dosen pembimbing I dan Ibu DR. Delina
Hasan, M.Kes Apt selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
ilmu, nasehat, waktu, tenaga dan pikiran selama penelitian dan penulisan
skripsi ini.
4. Ibu Nurmeilis, M.Si, Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen program studi Farmasi yang telah
memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak dr. Feriyansah selaku Direktur RSUD Kota Tangerang yang telah
memberikan izin untuk saya melakukan penelitian di RSUD Kota
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Halaman
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
DAFTAR ISTILAH ... xvii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.5 Ruang Lingkup ... 7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi ... 8
2.2 Epidemiologi ... 10
2.3 Patofisiologi Hipertensi ... 11
2.4 Gejala Klinis Hipertensi ... 12
2.5 Faktor Resiko ... 12
2.6 Farmakoterapi Hipertensi... 16
2.7 Penatalaksanaan Hipertensi ... 20
2.8 Komplikasi Hipertensi ... 28
2.9 Review Literatur ... 33
2.10 Anatomical Therapeutic Chemical ... 40
2.11 Unit Pengukuran Defined Daily Dose... 41
2.12 Drug Utilization 90% ... 46
2.13 Rekam Medik ... 46
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 48
3.1 Kerangka Konsep ... 48
3.2 Definisi Operasional... 49
BAB 4. METODE PENELITIAN ... 51
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 51
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 51
4.3.1 Populasi ... 51
4.3.2 Sampel... 51
4.4 Metode Pengumpulan Data ... 52
4.5 Kriteria Inklusi dan Ekslusi Sampel ... 52
4.5.1 Kriteria Inklusi ... 52
4.5.2 Kriteria Ekslusi ... 52
4.6 Prosedur Penelitian ... 53
4.6.1 Bagan Alur Penelitian ... 53
4.6.2 Persiapan (Permohonan Izin Penelitian) ... 53
4.7 Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 53
4.7.1 Penelusuran Dokumen ... 53
4.7.2 Manajemen Data ... 54
4.8 Pengolahan Data ... 54
4.9 Rencana Analisa Data ... 55
4.9.1 Analisis Univariat ... 55
4.9.2 Analisis Data dengan Metode ATC/DDD ... 55
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57
5.1 Hasil Penelitian ... 57
5.1.1 Karakteristik Pasien ... 57
5.1.2 Distribusi Pola Penggunaan Terapi Antihipertensi ... 59
5.1.3 Jumlah Hari Rawat Pasien Hipertensi Pada Tahun 2015 . 61 5.1.4 Kuantitas Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi di RSUD Kota Tangerang Tahun 2015 ... 61
5.1.5 Kesesuaian Penggunaan Obat Antihipertensi dengan Formularium Rumah Sakit... 64
5.2 Pembahasan ... 65
5.2.1 Karakteristik Pasien ... 65
5.2.1.1 Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia ... 65
5.2.1.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin. 65 5.2.1.3 Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta... 66
5.2.2 Klasifikasi Pasien Hipertensi Berdasarkan Tingginya Tekanan Darah ... 67
5.2.3 Distribusi Pola Penggunaan Terapi Antihipertensi ... 68
5.2.4 Profil Penggunaan Antihipertensi ... 69
5.2.4.1 Evaluasi Kuantitas Penggunaan Antihipertensi dalam Unit DDD ... 69
5.2.4.2 Profil Penggunaan Antihipertensi Pada Tahun 2015 Berdasarkan Profil DU 90% ... 74
5.2.5 Kesesuaian Penggunaan Obat Antihipertensi dengan Formularium Rumah Sakit ... 76
5.3 Peran Apoteker di Rumah Sakit ... 77
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6.2 Saran ... 80
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC VII ... 8
Tabel 2.2 Penyebab Hipertensi yang Dapat di Identifikasi ... 10
Tabel 2.3 Obat Antihipertensi ... 21
Tabel 2.4 Modifikasi Gaya Hidup untuk Hipertensi ... 27
Tabel 2.5 Strategi Dosis untuk Obat-Obat Antihipertensi ... 32
Tabel 2.6 Karakteristik Pasien Hipertensi Berdasarkan Survey NHANES 1999-2004 ... 49
Tabel 2.7 Kontrol Tekanan Darah dan Faktor Resiko Kardiovaskular Pada Pasien Hipertensi Berdasarkan Survey NHANES 1999-2004 ... 50
Tabel 5.1 Persentase Karakteristik Pasien Hipertensi di RSUD Kota Tangerang Pada Tahun 2015 ... 71
Tabel 5.3 Distribusi Penggunaan Antihipertensi dan Perhitungan Nilai DDD/ 100 Patient-days di RSUD Kota Tangerang Pada Tahun 2015 76 Tabel 5.4 Jumlah Hari Rawat Pasien Hipertensi Pada Tahun 2015 di RSUD Kota Tangerang ... 77
Tabel 5.5 Profil DU 90% Penggunaan Obat Antihipertensi di RSUD Kota Tangerang Pada Tahun 2015 ... 78
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar Halaman
Gambar 2.1 Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah ... 11
Gambar 2.2 Algoritma Tatalaksana Hipertensi ... 17
Gambar 2.3 Algoritma dan Target Tekanan Darah Pengobatan Hipertensi ... 18
Gambar 2.4 Kombinasi Obat Antihipertensi ... 20
Gambar 2.5 Mekanisme Terjadinya Gagal Jantung Akibat Hipertensi ... 30
Gambar 2.6 Algoritma Terapi Hipertensi Berdasarkan Komplikasi Penyakit ... 31
Gambar 2.7 Prevalensi pasien hipertensi di Amerika Serikat Pada Tahun 2011-2012 ... 36
Gambar 2.8 Tingkat Kesadaran, Pengobatan, dan Pengontrolan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Dewasa di Amerika Serikat Pada Tahun 2009-2012 ... 36
Gambar 2.9 Tingkat Kesadaran Pasien Hipertensi Dewasa di Amerika Serikat Pada Tahun 2009-2010 ... 37
Gambar 2.10 Tingkat Pengobatan Pasien Hipertensi Dewasa di Amerika Serikat Pada Tahun 2011-2012 ... 38
Gambar 2.11 Tingkat Pengobatan Pasien Hipertensi Dewasa di Amerika Serikat Pada Tahun 2011-2012 ... 38
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Halaman Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta…………. 86 Lampiran 2. Surat Ijin Melakukan Penelitian di RSUD Kota Tangerang dari Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik………. 87 Lampiran 3. Surat Ijin Melakukan Penelitian di RSUD Kota Tangerang dari RSUD Kota Tangerang……….. 89 Lampiran 4. Perhitungan DDD/100 patient-days Pada Pasien Hipertensi
Rawat Inap di RSUD Kota Tangerang Tahun 2015……….. 90 Lampiran 5. Hasil Perhitungan DDD/100 patient-days Pada Pasien Hipertensi Rawat Inap di RSUD Kota Tangerang Tahun 2015………... 91 Lampiran 6. Arsip Data Pasien Hipertensi Rawat Inap di RSUD Kota
xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ATC : Anatomical Therapeutic Chemical
DDD : Dosis pemeliharaan rata-rata perhari / Defined Daily Dose
WHO : World Health Organization
JNC : Joint National Comitte
ESH : European Science Hypertension
LOS : Length of Stay
Depkes : Departemen Kesehatan
PERKI : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia
DU : Drug Utilization
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.1 Latar Belakang
Hipertensi merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih
dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
dalam keadaan cukup istirahat/tenang (KemenkesRI, 2013). Hipertensi sering
disebut silent killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit hipertensi sebelum memeriksakan tekanan
darahnya, serta hipertensi umumnya tidak menimbulkan suatu tanda atau gejala
sebelum terjadi komplikasi (Chobanian dkk., 2004).
Di dunia, sekitar 972 juta orang atau 26,4% penduduk dunia menderita
hipertensi. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun
2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 34,25% berada di negara maju dan
65,74% sisanya berada di negara sedang berkembang, temasuk Indonesia
(WHO, 2000). Namun, hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui
penyebabnya. Data tahun 2007-2010 menunjukkan bahwa sebanyak 81,5%
penderita hipertensi menyadari bahwa mereka menderita hipertensi, 74,9%
menerima pengobatan dengan 52,5% pasien yang tekanan darahnya terkontrol
(tekanan darah sistolik <140mmHg dan diastolik <90 mmHg) dan 47,5% pasien
yang tekanan darahnya tidak terkontrol (KemenkesRI, 2013).
Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas
di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, penderita hipertensi di
Indonesia pada umur ≥18 tahun adalah sebesar 25,8% sedangkan menurut
Riskesdas Banten, data penderita hipertensi khususnya di Kota Tangerang
mempunyai angka yang cukup tinggi yaitu 24,5%. Namun, yang terdiagnosis
oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal
ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Umumnya tekanan darah meningkat dengan bertambahnya umur.Resiko
untuk menderita hipertensi pada populasi ≥55 tahun yang sebelumnya tekanan
darahnya normal adalah 90%. Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah
pre hipertensi sebelum mereka terdiagnosis hipertensi, dan kebanyakan
terdiagnosis hipertensi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima
(Chobanian dkk., 2004). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011
menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan
kasus rawat inap terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi
kasus 42,38% pria dan 57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia
(Kemenkes RI,2012).
Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyakit jantung koroner
dan iskemik serta stroke hemoragik. Dalam beberapa kelompok usia, resiko
penyakit kardiovaskular menjadi dua kali lipat setiap kenaikan tekanan darah
20/10 mmHg, mulai dari 115/75 mmHg. Selain penyakit jantung koroner dan
stroke, komplikasi lain akibat hipertensi adalah gagal jantung, penyakit
pembuluh darah perifer, gangguan ginjal, perdarahan retina dan gangguan
penglihatan. Oleh karena itu, pengobatan hipertensi perlu dilakukan dalam
menurunkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik sampai <140/90
mmHg sehingga resiko penyakit kardiovaskuler berkurang (WHO, 2000).
Healthy People 2010 for Hypertension menganjurkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan intensif agar mencapai pengontrolan
tekanan darah secara optimal. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut,
diperlukan partisipasi aktif para sejawat Apoteker dalam melaksanakan praktek
profesinya pada setiap tempat pelayanan kesehatan. Apoteker dapat bekerja
sama dengan dokter dalam memberikan edukasi ke pasien mengenai hipertensi,
memonitor respons pasien melalui farmasi komunitas, kepatuhan terhadap
terapi obat dan non-obat, mendeteksi dan mengurangi efek samping, dan
mencegah dan/atau memecahkan masalah yang berkaitan dengan pemberian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat melakukan pelayanan farmasi klinik sesuai dengan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.Salah satu pelayanan farmasi klinik yang dapat
dilakukan yaitu evaluasi penggunaan obat (PMK No. 58, 2014).
Evaluasi penggunaan obat perlu dilakukan untuk mengevaluasi obat
terkait dengan efikasi dan keamanan yang diharapkan sesuai dengan kondisi
pasien. Evaluasi penggunaan obat dibagi menjadi 2 yaitu kualitatif
dankuantitatif. Salah satu studi kuantitatif adalah dengan menggunakan metode
Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD). Metode ini direkomendasikan oleh WHO untuk mengevaluasi penggunaan obat (WHO,
2011).
Sistem ATC/DDD merupakan sistem klasifikasi dan pengukuran
penggunaan obat yang saat ini telah menjadi salah satu pusat perhatian dalam
pengembangan penelitian penggunaan obat. Klasifikasi ATC dan metode DDD
biasa digunakan untuk membandingkan konsumsi penggunaan obat antar
negara karena dapat merefleksikan dosis obat secara global tanpa dipengaruhi
oleh variasi genetik dari setiap etnik. Apabila diterapkan di lingkungan rumah
sakit maka perhitungan DDD/100 patient-days atau DDD/100 bed days adalah yang paling di rekomendasikan. Sementara untuk perhitungan antar negara
biasanya digunakan DDD/100- inhibitans per day atau DDD per inhibitans per year (WHO Int WG for Drug Statistics Methodology, 2003).
Tujuan metode ATC/DDD adalah sebagai sarana penelitian
penggunaan obat untuk meningkatkan kualitas penggunaan obat. Salah satu dari
komponen ini yaitu perbandingan konsumsi obat pada tingkat internasional atau
antar sistem pelayanan kesehatan. Adanya perbandingan penggunaan obat
bermanfaat untuk mengetahui adanya perbedaan. Evaluasi lebih lanjut
dilakukan ketika ditemukan perbedaan yang bermakna sehingga mengarahkan
pada identifikasi masalah dan perbaikan sistem penggunaan obat (WHO, 2011).
Perkembangan lebih lanjut dari metode DDD adalah Drug Utilization 90% (DU 90%). DU 90% menunjukkan jumlah obat yang penggunaannya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10% sisanya merupakan obat-obatan tertentu yang digunakan untuk kondisi
yang jarang terjadi pada pasien dengan riwayat intoleransi obat atau efek
samping. Metode DU 90% telah diusulkan sebagai metode tunggal untuk
menilai secara umum kualitas obat yang diresepkan. Prinsip dari metode DU
90% adalah mengidentifikasi obat yang banyakdiresepkan atau digunakan
(WHO Int WG for Drug Statistics Methodology, 2003).
Seiring dengan peningkatan kasus hipertensi dan komplikasi yang dapat
terjadi jika hipertensi tidak ditangani dengan tepat, maka evaluasi penggunaan
obat antihipertensi sangat penting dilakukan untuk meningkatkan efikasi dan
keamanan penggunaan obat agar tercapai tekanan darah yang optimal. Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Tangerang adalah Rumah Sakit yang dibentuk
berdasarkan Perda Kota Tangerang No. 12 Tahun 2012 sebagai upaya tindak
lanjut Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan kesehatan yang
komprehensif kepada masyarakat Kota Tangerang, yang bertujuan untuk
memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. RSUD Kota
Tangerang merupakan Rumah Sakit Umum kelas C dengan kapasitas 300
tempat tidur. Di RSUD Kota Tangerang ini, penelitian mengenai evaluasi
penggunaan obat menggunakan metode ATC/DDD belum pernah dilakukan.
Sedangkan di Rumah Sakit lain di Indonesia sudah banyak yang melakukan
penelitian penggunaan obat terutama obat antihipertensi menggunakan metode
ATC/DDD, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian serupa di
RSUD Kota Tangerang menggunakan metode ATC/DDD yang belum pernah
dilakukan sebelumnya.
Hasil penelitian Ivonia, dkk (2013), menunjukan antihipertensi yang
banyak digunakan (90%) di RSUD Karanganyar adalah captopril (60,69%),
furosemid (11,30%), nifedipine (9,45%), dan amlodipine (8,17%). Sedangkan
antihipertensi yang sedikit digunakan (10%) adalah hidroklorotiazid (5,94%),
lisinopril (3,44%), dan bisoprolol (1,05%).
Hasil penelitian Raden, A.W.K.S.P (2012), menunjukan antihipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta furosemid (19%), nifedipin (12,61%), amlodipin (6,96%), dan clonidin
(6,56%). Sedangkan antihipertensi yang sedikit digunakan (10%) adalah
diltiazem (2,25%), lisinopril (1,81%), hidroklorotiazid (1,51%), valsartan
(1,22%), ramipril (0,60%), dan spironolakton (0,41%).
Hasil penelitian Prasetyo, dkk (2015), menunjukan antihipertensi yang
banyak digunakan (90%) di RSUD A.W. Sjahranie Samarinda tahun 2012
adalah amlodipin (39,19 %), furosemid (24,14 %), captopril(14,14 %),
telmisartan (11,36%), valsartan (2,04%), sedangkan tahun 2013 adalah
amlodipin (35,11%), furosemid (22,88%), captopril (18,80%), telmisartan
(7,02%), valsartan (6,51%).
Hasil penelitian Handayani, PD (2013), menunjukan antihipertensi yang
banyak digunakan (90%) pada tahun di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
tahun 2011 adalah amlodipin (49,02%), captopril (15,55%), furosemid
(12,25%), valsartan (9,15%), nifedipin (4,20%), dan hidroklorotiazid (4,44%)
sedangkan tahun 2012 adalah captopril (36,20%), amlodipin (28,91%),
valsartan (21,18%), furosemid (7,00%).
Hasil penelitian Mohammed, dkk (2014), menunjukan antihipertensi
yang paling banyak digunakan (90%) di suatu rumah sakit tipe A adalah
amlodipin (37%), losartan (11%) dan telmisartan (10%). Terapi kombinasi
antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah
telmisartan+hidroklorotiazid (15%), amlodipine+atenolol (7%) dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2 Rumusan Masalah
• Dari hasil penelitian Ivonia, Raden, Prasetyo, Handayani dan Mohammed, penggunaan antihipertensi di Rumah Sakit lain sudah
melakukan analisa dengan menggunakan sistem DDD.
• Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, menunjukan bahwa RSUD Tangerang belum melakukan sistem DDD (Defined Daily Dose) dalam mengetahui kuantitas penggunaan obat.
• Penggunaan sistem DDD sangat penting guna untuk mengetahui obat apa saja yang penggunaanya 90% di RSUD Kota Tangerang.
• Dengan sistem DDD dapat diketahui kuantitas penggunaan obat.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui kuantitas penggunaan obat pada pasien hipertensi
yang di rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tangerang.
1.3.2 Tujuan Khusus
• Untuk mengetahui jenis-jenis obat antihipertensi yang digunakan pasien hipertensi yang di rawat inap di RSUD Kota Tangerang.
• Untuk mengetahui nilai DDD dari masing-masing jenis antihipertensi yang digunakan pasien hipertensi yang di rawat inap di RSUD Kota
Tangerang.
• Untuk mengetahui persentase penggunaan obat antihipertensi yang digunakan pasien hipertensi yang di rawat inap di RSUD Kota
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini akan menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang
penggunaan sistem DDD dalam menentukan kuantitas penggunaan obat
antihipertensi pada pasien hipertensi di RSUD Kota Tangerang.
1.4.2 Manfaat Metodologi
Metodologi penelitian ini hendaknya dapat digunakan untuk penelitian
serupa dalam penelitian farmasi klinis sejenis lainnya.
1.4.3 Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian ini hendaknya dapat digunakan sebagai bahan masukan
dalam menyusun atau membuat kebijakan di RSUD Kota Tangerang dalam
penggunaan obat antihipertensi.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian dengan judul Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tangerang dengan
metode ATC/DDD pada tahun 2015 hanya dibatasi pada evaluasi penggunaan
obat yang dilihat dari perhitungan nilai DDD masing-masing jenis
antihipertensi dan persentase penggunaan antihipertensi. Jenis penelitian yang
dilakukan adalah deskriptif dengan desain cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Juni2016 di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Tangerang.
Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 215 dengan
8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang (Pusat Data dan lnformasi Kementerian Kesehatan Rl).
Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg (JNC VII, 2003).
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah
dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan tingginya tekanan darah, seseorang
dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya >140/90 mmHg. Klasifikasi tekanan
darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa (usia ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata
pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis
dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII
Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
Normal < 120 mmHg (dan) < 80 mmHg
Pre-hipertensi 120-139 mmHg (atau) 80-89 mmHg
Stadium 1 140-159 mmHg (atau) 90-99 mmHg
Stadium 2 ≥ 160 mmHg (atau) ≥ 100 mmHg
Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh JNC VIII pada tahun
2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah
pada managemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada komplikasi
penyakit penderita (James, et.al., 2014).
Hipertensi berdasarkan etiologi patofisiologinya dibagi menjadi dua
yaitu hipertensi primer atau esensial yang tidak diketahui penyebabnya dan
hipertensi sekunder atau non esensial yang diketahui penyebabnya (Depkes RI,
2006).
a Hipertensi primer
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
esensial (primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum
diketahui, tetapi faktor genetik dan lingkungan diyakini memegang
peranan dalam menyebabkan hipertensi esensial (Weber dkk., 2014).
Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium,
kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang
termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress
emosi, obesitas dan lain-lain (Gunawan, dkk., 2007). Penurunan
ekskresi natrium pada keadaan tekanan arteri normal merupakan
peristiwa awal dalam hipertensi esensial.Penurunan ekskresi natrium
dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan
vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor
lingkungan dapat memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan.
Stres, kegemukan, merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi
garam dalam jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam
hipertensi (Robbins dkk., 2007).
b Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi.
Penghentian penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid
yang menyertainya merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder (Depkes, 2006). Beberapa penyebab hipertensi
sekunder dapat dilihat pada Tabel 2.2 sebagai berikut :
Tabel 2.2. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Depkes, 2006)
Penyakit Obat
Penyakit ginjal kronis Kortikosteroid, ACTH
Hiperaldosteronisme primer Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar estrogen tinggi)
Penyakit renovaskular NSAID, cox-2 inhibitor
Sindroma cushing Fenilpropanolamin dan analog
Phaeochromocytoma Siklosforin dan takromilus
Koarktasi aorta Eritropoietin
Penyakit tiroid atau paratiroid Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)
2.2 Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang
memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk
otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan otot jantung.
Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang
ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada didunia (Armilawaty,
2007). Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan
hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah (Yogiantoro M, 2006).
Diperkirakan sekitar 80% akan terjadi kenaikan kasus hipertensi terutama di
negara berkembang dari 639 juta kasus di tahun 2000 menjadi 1,15 milyar
kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkanpadaangka penderita hipertensi saat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3 Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah jantung
(cardiac output) dan resistensi vaskular perifer (peripheral vascular resistence). Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi
sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena (venous return) dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh
darah dan viskositas darah. Semua parameter tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain sistem saraf simpatis dan parasimpatis, sistem
renin-angiotensin-aldosteron (SRAA) dan faktor lokal berupa bahan-bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah. Mekanisme
pengaturan tekanan darah ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta RAA diaktivasi oleh sekresi renin, yang merupakan katalisator
pembentukan angiotensin I dari hidrolisis angiotensinogen. Angiotensin I
kemudian dihidrolisis oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II. Angiotensin II dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah, peningkatan sintesis aldosteron, peningkatan absorbsi natrium,
menaikkan tahanan perifer serta meningkatkan curah jantung sehingga
menyebabkan hipertensi. Korteks adrenal adalah bagian ginjal yang
memproduksi hormon mineral kortikoid dan glukokortikoid, yaitu aldosteron
dan kortisol. Kelebihan aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi air dan
natrium, sedangkan kelebihan kortisol meningkatkan sintesa epinefrin dan
norepinefrin yang bertindak sebagai vasokonstriktor pembuluh darah. Secara
tidak langsung, ini akan mempengaruhi peningkatan volume darah, curah
jantung dan menyebabkan peningkatan tahanan perifer total (Dipiro,et.al.,
2008).
2.4 Gejala Klinis Hipertensi
Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit.
Ada kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita
hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya justru sebagian
besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi
terkadang menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri
dada, palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan,
tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5 Faktor Resiko
Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hipertensi:
A.Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi a) Usia
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena
dengan bertambahnya umur maka semakin tinggi resiko terkena hipertensi.
Kejadian hipertensi meningkat dengan meningkatnya usia.Setelah umur 45
tahun, dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya
penumpukan zat kolagen pada lapisan otot polos pembuluh darah,
kemudian pembuluh darah akan berangsur angsur menyempit dan menjadi
kaku sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah sistolik.
Tekanan sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang
berkurang seiring penambahan umur sampai dekade ketujuh sedangkan
tekanan darah diastolik meningkat sampai dekade kelima dan keenam
kemudian menetap atau cenderung menurun. Selain itu, peningkatan umur
akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, seperti peningkatan
resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan darah yaitu
refleks baroresptor pada usia lanjut akan mengalami penurunan sensivitas,
serta fungsi ginjal juga sudah berkurang yang menyebabkan aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomelurus menurun (Kumar et al., 2008).
b) Jenis kelamin
Angka kejadian hipertensi pada pria sama dengan wanita.
Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause
sehingga pria lebih beresiko terkena hipertensi (Cortas K et.al., 2008).
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta demi sedikit hormone estrogen yang selama ini melindungi pembuluh
darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen
tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami,
yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar et al.,
2008).
c) Riwayat keluarga
Penderita hipertensi mempunyai faktor hipertensi dalam
keluarganya sebesar 70-80%. Berbagai penelitian dan studi kasus
menguatkan bahwa faktor keturunan merupakan salah satu penyebab
terjadinya hipertensi, dimana jika dalam keluarga/orangtua ada yang
menderita hipertensi, 25-60% akan terjadi pada anaknya (Lili & Tantan,
2007).
Menurut Sheps (2005), jika salah satu dari orangtua menderita
hipertensi maka sepanjang hidup kita beresiko menderita hipertensi pula.
Dan jika kedua orangtua menderita hipertensi, resikonya meningkat
menjadi sekitar 60% untuk mengalaminya.
d) Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti
dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada
kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur).
Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer
(esensial) apabila diberikan secara alamiah tanpa intervensi terapi, akan
menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50
tahun akan timbul tanda dan gejala (Chunfang Qiu et.al., 2003).
B.Faktor resiko yang dapat dimodifikasi: a) Stress
Hubungan antara stress dan hipertensi diduga melalui aktivitas
saraf simpatis, peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tekanan darah yang menetap tinggi.Walaupun hal ini belum terbukti tetapi
angka kejadian hipertensi pada masyarakat di perkotaan lebih tinggi daripada
di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan denganpengaruh stres yang dialami
kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Roehandi, 2008). Menurut
Anggraini (2009) mengatakan bahwa stres akan meningkatkan resistensi
pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi
aktivitas saraf simpatis.
b) Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peningkatan tekanan darah. Perokok
berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insidensi maligna dan resiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami aterosklerosis (Armilawaty,
2007).
Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya
menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat
menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK) sekitar 24.4% (Karyadi
2002).Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu sistem saraf
simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard.
Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga meningkatkan
frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan kebutuhanoksigen jantung,
merangsang pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama
jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian
tubuh lainnya.
c) Pola asupan garam
Pengaruh asupan garam terhadap terjadinya hipertensi melalui
peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Faktor lain
yang ikut berperan yaitu sistem renin angiotensin yang berperan penting
dalam pengaturan tekanan darah. Produksi rennin dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan dalam proses
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekresi aldosteron yang mengakibatkan menyimpan garam dalam air.
Keadaan ini yang berperan padatimbulnya hipertensi (Susalit dkk,2001).
d) Obesitas
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah
pada kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for Health USA, prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria
dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan
17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal).
Data dari studi Farmingham (AS) yang diacu dalam Khomsan
(2004) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada pria
akan meningkatkan tekanan darah 6.6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan
kolesterol darah 11 mg/dl. Prevalensi hipertensi pada seseorang yang
memiliki IMT>30 pada laki-laki sebesar 38% dan wanita 32%, dibanding
dengan 18% laki-laki dan 17% perampuan yang memiliki IMT<25
(Krummel, 2004).
2.6 Farmakoterapi Hipertensi a Terapi Farmakologis
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal
jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik.Target nilai
tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah <140/90
mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien
dengan diabetes dan penyakit ginjal kronis (Dipiro, et al., 2008). Menurut
PERKI (2015), terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi stadium 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah
>6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.2Algoritma tatalaksana hipertensi (PERKI, 2015).
Selain itu, menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah
pada pasien hipertensi berbeda-beda tergantung berdasarkan komplikasi
penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.3
dibawah ini:
ACEI atau ARB CCB atau Tiazid
CCB atau Tiazid
ACEI atau ARB
Jika perlu tambahkan CCB + Tiazid + ACEI Jika perlu
tambahkan CCB atau Tiazid
Jika perlu tambahkan ACEI
atau ARB
Jika perlu tambahkan CCB + Tiazid + ACEI
Pasien dewasa ≥ 18 tahun dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
Mulai perubahan gaya hidup
(Turunkan berat badan, kurangi garam diet dan alkohol, stop merokok)
Terapi Farmakologi
(Pertimbangkan untuk tunda pada pasien stage 1 tidak terkomplikasi)
Mulai Terapi Farmakologi (pada semua pasien)
Stage 1 140-159/90-99
Usia<60 thn Usia≥60 thn
Stage 2
>160/100 Kasus khusus
Semua pasien
Mulai dengan 2 obat
- Penyakit Ginjal - Diabetes - Penyakit
jantung koroner - Riwayat
Stroke - Gagal
Jantung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.3 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi (JNC VIII, 2013).
Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum
dijumpai, tetapi kontrol tekanan darah masih buruk.Kebanyakan pasien
dengan hipertensi tekanan darah diastoliknya sudah tercapai tetapi tekanan
darah sistolik masih tinggi.Diperkirakan dari populasi pasien hipertensi yang
diobati tetapi belum terkontrol, 76.9% mempunyai tekanan darah sistolik Hipertensi dewasa usia ≥18 tahun
Terapkan gaya hidup sehat (disertai regimen obat antihipertensi)
Mengatur target tekanan darah dan memulai terapi antihipertensi berdasarkan umur, diabetes dan penyakit ginjal kronis (PGK)
Umur ≥60
atau CCB tunggal atau kombinasi
Lini pertama diuretik tiazid atau CCB tunggal
atau kombinasi dengan kelas obat lain
Lini pertama ACEi atau ARB tunggal atau kombinasi dengan kelas
obat lain Populasi umum tanpa diabetes dan PGK Disertai diabetes dan PGK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik≥90 mmHg. Tekanan darah sistolik diperoleh selama kontraksi jantung dan tekanan darah diastolik diperoleh
setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi. Pada kebanyakan pasien,
tekanan darah diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah
sistolik yang diinginkan sudah tercapai. Karena tekanan darah sistolik
berkaitan dengan resiko kardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik,
maka tekanan darah sistolik harus digunakan sebagai petanda klinis utama
untuk pengontrolan penyakit pada hipertensi. Kebanyakan pasien dengan
hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai
target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua dari kelas
yang berbeda dimulai apabila pengunaan obat tunggal dengan dosis lazim
gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10
mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan
dua obat (Depkes RI, 2006).
Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut: 1. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) dengan diuretik 2. Angiotensin Reseptor Blocker II (ARB) dengan diuretik
3. Beta Blocker dengan diuretik
4. Diuretik dengan Calcium Chanel Blocker (CCB)
5. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) dengan Calcium Chanel Blocker (CCB)
6. Agonis α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretik (ESH, 2003).
Menurut European Society of Hypertension (2003), kombinasi dua obat untukhipertensi ini dapat dilihat pada gambar 2.4 dimana kombinasi
obat yangdihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.4 Kombinasi Obat Antihipertensi (ESH, 2003).
2.7 Penatalaksanaan Hipertensi a. Terapi Farmakologis
Ada 9 kelas obat antihipertensi yang umum digunakan.Obat-obat ini
baik secara tunggal atau kombinasi, harus digunakan untuk mengobati
mayoritas pasien dengan hipertensi karena terbukti menunjukkan keuntungan
dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan
antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana memiliki perbedaan dalam
mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa 1, agonis
alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat
alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama (Depkes, 2006).
Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara
sadar, jelas, dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit.
Praktik evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 2.3 Obat Anthihipertensi (Dipiro et.al., 2008).
Golongan Sub
Golongan
Mekanisme kerja Obat Dosis
lazim (mg/hari)
Frekuensi pemberian
Catatan
Diuretik Thiazid Menghambat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ARB Menghambat secara
langsung reseptor sudah tua sekali karena resiko hipotensi; dapat
Nonselektif Nadolol,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyekat slow channels di jantung dan menurunkan denyut cara meningkatkan konsenstrasi cGMP
Reserpin 0.05-0.25 Gunakan dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Terapi non farmakologis
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya
hidup seperti pada tabel 2.3 yaitu menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan
dengan menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu 18,5-24,9; mengadopsi pola makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi konsumsi garam yaitu
tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik dengan teratur seperti jalan kaki
30 menit/hari; serta membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali/hari pada
pria dan 1 kali/hari pada wanita (Chobanian dkk., 2004). Selain itu, pasien juga
disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok (Weber, dkk.,2014). Selain dapat
menurunkan tekanan darah, perubahan gaya hidup juga terbukti meningkatkan
efektivitas obat antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskular (Gunawan, dkk.,
2007).
Untuk hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko dan kerusakan organ target,
perubahan pola hidup dapat dicoba sampai 12 bulan. Sedangkan bila disertai kelainan
penyerta (compelling indications) seperti gagal jantung, pasca infark miokard, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus dan riwayat stroke, maka terapi
farmakologi harus dimulai lebih dini mulai dari hipertensi tingkat 1. Bahkan untuk
pasien dengan kelainan ginjal atau diabetes, pengobatan dimulai pada tahap
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 2.4 Modifikasi gaya hidup untuk hipertensi (JNC VII, 2007).
Modifikasi gaya hidup Rekomendasi Perkiraan penurunan
tekanan darah sistolik Penurunan berat badan Mempertahankan berat badan ideal (BMI
18,5-24,9 kg/m2)
5-20 mmHg/10 kg penurunan berat
badan DIET makanan sesuai
DASH
Konsumsi diet kaya buah, sayur, dan produk susu rendah lemak dengan kandungan lemak
jenuh dan lemak total yang sedikit
8-14 mmHg
Diet rendah natrium Mengurangi asupan natrium hingga ≤100 mmol per hari (2,4 g Na atau 6 g NaCl
2-8 mmHg
Olahraga Rutin olahraga aerobik seperti jalan cepat minimal 30 menit per hari
4-9 mmHg
Mengurangi konsumsi alkohol
Membatasi konsumsi alkohol, tidak lebih dari 1 oz atau 30 ml etanol; 24 oz bir, 10 oz
wine, atau 3 oz 80-proof whiskey perhari untuk pria dan setengahnya untuk wanita dan
orang dengan berat badan rendah
2-4 mmHg
2.8 Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel
arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk
rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah
perifer.Hipertensiadalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular
(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi (Dosh, 2001).
a. Stroke
Stroke merupakan kerusakan organ target pada otak yang diakibatkan
oleh hipertensi. Hipertensi mengakibatkan arteri-arteri yang mendarahi otak
mengalami hipertropi atau penebalan sehingga menyebabkan terjadinya
aterosklerosis melalui efek penekanan pada sel endotel/lapisan dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cepat. Akibatnya, aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya
termasuk otak akan berkurang sehingga otak tidak mendapat suplai oksigen
yang cukup. Kebutuhan oksigen yang tidak mencukupi menyebabkan
terjadinya stroke (AHA, 2011).
Resiko dan keuntungan menurunkan tekanan darah semasa stroke akut
masih belum jelas; pengontrolan tekanan darah sampai kira-kira
160/100mmHg sangat penting sampai kondisi pasien stabil atau membaik.
Kambuhnya stroke berkurang dengan penggunaan kombinasi ACEI dan
diuretik tipe tiazid (Haynes RB et.al., 2002).
b. Penyakit Ginjal Kronis
Hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan (parenkim)
atau arteri renal. Pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis, tujuan
terapeutiknya adalah untuk memperlambat deteriorasi fungsi ginjal dan
mencegah penyakit kardiovaskular. Hipertensi terdeteksi pada mayoritas
pasien dengan penyakit ginjal kronis dan pengontrolan tekanan darahnya
harus agresif, sering dengan dua atau lebih obat untuk mencapai target
tekanan darah <130/80 mmHg (K/DOQI, 2004).
ACEI dan ARB mempunyai efek melindungi ginjal (renoprotektif)
dalam progres penyakit ginjal diabetes dan non-diabetes (Bakris GL et al.,
2000). Salah satu dari kedua obat ini harus digunakan sebagai terapi lini
pertama untuk mengontrol tekanan darah dan memelihara fungsi ginjal pada
pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. Naiknya serum kreatinin
sebatas 35% diatas baseline dengan ACEI dan ARB dapat diterima dan
bukan alasan untuk menghentikan pengobatan kecuali bila terjadi
hiperkalemia. Karena pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis
memerlukan beberapa obat antihipertensi, diuretik dan kelas obat
antihipertensi ketiga diperlukan (beta blocker atau CCB). Diuretik tiazid
dapat digunakan tetapi tidak seefektif diuretik loop bila clearence kreatinin
<30 ml/min. Untuk penyakit ginjal lanjut (perkiraan GFR<30 ml/min per
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (furosemid) lebih tinggi, bila perlu dikombinasi dengan obat lain (Gijn JV,
2002).
c. Gagal Jantung
Gagal jantung, dalam bentuk disfungsi vetrikular sistolik atau
diastolik, terutama sebagai akibat dari hipertensi sistolik dan penyakit
jantung iskemik. Lima kelas obat didaftarkan untuk indikasi khusus gagal
jantung. Rekomendasi ini khususnya untuk gagal jantung sistolik, dimana
kelainan fisiologi utama adalah berkurangnya kontraktilitas jantung. Pada
gambar 2.5 terlihat proses-proses yang terjadi akibat dari hipertensi sampai
ke gagal gantung. ACEI adalah pilihan obat utama berdasarkan hasil dari
beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas.
Diuretik juga merupakan terapi lini pertama karena mengurangi edema
dengan menyebabkan diuresis. ACEI harus dimulai dengan dosis
rendah.Pada pasien dengan gagal jantung, terutama pada pasien dengan
eksaserbasi akut. Gagal jantung menginduksi suatu kondisi renin tinggi,
sehingga memulai ACEI pada kondisi ini akan menyebabkan efek dosis
pertama yang menonjol dan memungkinan hipotensi ortostatik.
Terapi dengan beta blocker digunakan untuk mengobati gagal jantung
sistolik untuk pasien-pasien yang sudah mendapat standar terapi dengan
ACEI dan Furosemid. Studi menunjukkan beta blocker menurunkan
mortalitas dan morbiditas (AHA, 2011). Dosis beta blocker haruslah tepat
karena beresiko menginduksi eksaserbasi gagal jantung akut. Dosis awal
harus sangat rendah, jauh dibawah dosis untuk mengobati darah tinggi, dan
dititrasi secara perlahan-lahan ke dosis yang lebih tinggi.
ARB dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk pasien-pasien
yang tidak dapat menoleransi ACEI. Untuk pasien dengan disfungsi
ventrikular yang simptomatik atau dengan penyakit jantung tahap akhir,
ACEI, beta blocker, ARB, dan antagonis aldosterone direkomendasikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.5 Mekanisme Terjadinya Gagal Jantung Akibat Hipertensi.
d. Pasca Infark Miokard
Hipertensi adalah faktor resiko yang kuat untuk infark miokard.Sekali
pasien mengalami infark miokard, pengontrolan tekanan darah sangat
penting sebagai pencegahan sekunder untuk mencegah kejadian
kardiovaskular berikutnya.Guideline untuk pasca infark miokard oleh
American College of Cardiology/American Heart Association merekomendasikan terapi dengan beta blocker (tanpa aktifitas intrinsik
simpatomimetik dan ACEI (AHA, 2011).
Beta blocker menurunkan stimulasi adrenergik jantung (cardiac adrenergic stimulation) dan pada trial klinis beta blocker telah menunjukkan penurunan resiko infark miokard berikutnya atau kematian jantung tiba-tiba
(K/DOQI, 2004). ACE inhibitor memperbaiki cardiac remodeling, fungsi jantung dan menurunkan kejadian kardiovaskular setelah infark miokard
(Yusuf et.al., 2000).
Penanganan menurunan tekanan darah pada komplikasi hipertensi
dapat memberikan penurunan insidensi stroke sebesar 35-40%, infark
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa pada pasien dengan hipertensi stadium 1 yang disertai dengan faktor
resiko penyakit kardiovaskuler, jika dapat menurunkan tekanan darahnya
sebesar 12 mmHg selama 10 tahun akan mencegah angka kematian 1 dari 11
pasien yang diobati (Arif M dkk, 2001).
Komplikasi penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh hipertensi
seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, infark miokard dan stroke
memiliki algoritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2.6
dibawah ini:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 2.5 Strategi dosis untuk obat-obat antihipertensi (JNC VIII, 2013)
Strategi Deskripsi Keterangan
A Mulai dengan satu
Jika tekanan darah yang diharapkan tidak tercapai dengan obat pertama, tingkatkan dosis obat pertama sampai dosis maksimum yang direkomendasikan untuk mencapai tekanan darah yang diharapkan. Jika tekanan darah yang diharapkan tidak tercapai dengan satu obat walaupun dosisnya sudah ditingkatkan sampai dosis maksimum yang direkomendasikan, tambahkan obat kedua sesuai algoritma (tiazid-gol.duretik, CCB, ACEI, atau ARB) dan tingkatkan dosis obat kedua sampai dosis maksimum yang direkomendasikan untuk mencapai tekanan darah yang diharapkan.
Jika tekanan darah yang diharapkan tidak tercapai dengan dua obat, pilih obat ketiga dari algoritma (tiazid-gol.diuretik, CCB, ACEI, atau ARB) hindari kombinasi ACEI dan ARB. Tingkatkan dosis obat ketiga sampai dosis maksimum yang direkomendasikan untuk mencapai tekanan darah yang diharapkan. pertama mencapai dosis maksimum yang direkomendasikan, kemudian tingkatkan kedua obat hingga dosis maksimum yang disarankan untuk mencapai tekanan darah yang diharapkan. Jika tekanan darah yang diharapkan tidak tercapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga dari algoritma (tiazid-gol.diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari kombinasi ACEI dan ARB. Tingkatkan dosis obat ketiga sampai dosis maksimum yang direkomendasikan untuk mencapai tekanan darah yang diharapkan.
C Mulai dengan dua
obat pada waktu yang sama, baik sebagai 2 pil yang terpisah atau sebagai kombinasi pil tunggal
Mulai terapi dengan 2 obat secara bersamaan, baik sebagai 2 obat yang terpisah atau sebagai kombinasi pil tunggal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.8 Review literatur
2.8.1 Gender Difference in Blood Pressure Control and Cardiovascular Risk Factors
in Americans With Diagnosed Hypertension (Ong et.al., 2008).
Hipertensi merupakan penyakit yang kompleks yang diderita 972 juta orang di
dunia. Prevalensi hipertensi akan meningkat dari 26,4% di tahun 2000 menjadi 29,2%
di dunia (Kearney PM, et.al., 2005). Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk
penyakit kardiovaskular dan menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat
(Lawes CM, et.al,. 2006). Berdasarkan hasil survey pada tahun 1999-2004 yang
dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) terhadap
3.475 pasien yang berusia 18 tahun dan terdiagnosa hipertensi, didapatkan hasil
54,91,2% terjadi pada wanita. Pada tabel 2.6 menunjukan karakteristik jenis kelamin
secara spesifik pasien yang terdiagnosa hipertensi. Berdasarkan usia, wanita yang
terdiagnosa hipertensi mempunyai usia yang lebih tua dibandingkan pria. Terjadi
peningkatan prevalensi diabetes yang signifikan pada wanita selama periode
1999-20004, tetapi prevalensi diabetes tidak jauh berbeda antara wanita dan pria.
Prevalensi mikroalbuminaria rendah dan menurun secara signifikan pada wanita
dibandingkan pria.Tetapi dilihat dari 6 bulan terakhir, wanita lebih sering mengecek
tekanan darahnya ke dokter dibandingkan pria. Berdasarkan tingkat konsumsi
alkohol, pria lebih banyak mengurangi konsumsi alkoholnya untuk mengontrol
tekanan darah dibanding wanita, terbukti dengan persentase konsumsi alkohol yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 2.6 Karakteristik Pasien Hipertensi Berdasarkan Survey NHANES 1999–2004
Pada tabel 2.7 menjelaskan tingkat kontrol tekanan darah berdasarkan jenis
kelamin dan prevalensi faktor resiko penyakit kardiovaskular pada pasien yang
terdiagnosa hipertensi yang dilakukan NHANES selama periode 1999–2004. Selama
periode ini, wanita mempunyai tekanan darah sistolik yang tinggi dan tekanan darah
diastolik yang rendah dibanding pria.Dimana prevalensi tekanan darah tidak
terkontrol tidak jauh berbeda antara pria dan wanita selama periode ini.
Prevalensi obesitas, kadar kolesterol total, dan kadar HDL meningkat secara
signifikan pada wanita dibanding pria. Namun, berdasarkan riwayat merokok, pria
mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan wanita dan antara 1999-2000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 2.7 Kontrol Tekanan Darah dan Faktor Resiko Kardiovaskular pada Pasien Hipertensi berdasarkan survey NHANES 1999–2004
Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
dalam kontrol tekanan darah antara pria dan wanita pada periode 1999-2004.
Prevalensi obesitas, kolesterol total, HDL rendah, dan jumlah rata-rata faktor resiko
penyakit kardiovaskular lebih tinggi terjadi pada wanita. Wanita mempunyai faktor
resiko lebih banyak daripada pria, karena disebabkan prevalensi obesitas yang tinggi.
2.8.2 Hypertension Among Adults in the United States: National Health and Nutrition Examination Survey, 2011–2012
Hipertensi merupakan faktor resiko yang penting pada penyakit
kardiovaskular dan terjadi pada hampir sepertiga dari populasi orang dewasa Amerika
Serikat. Prevalensi seluruh pasien hipertensi dewasa di Amerika Serikat yang berusia
lebih dari 18 tahun adalah 29,1% pada tahun 2011-2012 dan dengan laki-laki
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.7 Prevalensi pasien hipertensi di Amerika Serikat pada tahun 2011-2012.
Prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia, dari 7,3% pada
usia 18-39, menjadi 32,4% pada usia 40-59, dan menjadi 65,0% pada usia diatas 60
tahun.Prevalensi hipertensi tertinggi berdasarkan ras terjadi pada orang dewasa kulit
hitam non-Hispanik sebanyak 42,1%, non-Hispanik kulit putih sebanyak 28,0%,
Hispanik sebanyak 26,0%, dan non-Hispanik Asia sebanyak 24,7%.
Pada tahun 2009-2010, hampir 82% orang dewasa menyadari bahwa mereka
terkena hipertensi, dan hampir 76% yang minum obat.Tidak ada perubahan yang
signifikan dari tahun 2009-2010 dalam hal kesadaran, pengobatan, dan pengontrolan
tekanan darah pada pasien hipertensi dewasa.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prevalensi tingkat kesadaran pada pasien pria dan wanita hampir sama yaitu
pada pria sebanyak 80,2% dan pada perempuan sebanyak 85,4%. Di antara pasien
hipertensi dewasa, tingkat kesadaran pada pasien yang berusia 18-39 adalah 61,8%
lebih rendah dibandingkan pasien yang berusia 40-59 yaitu 83,0% dan pada pasien
yang berusia 60 keatas yaitu 86,1%. Berdasarkan ras, pasien hipertensi dewasa
kelompok Non-Hispanik Asia kurang menyadari kondisi mereka (72,8%)
dibandingkan yang Hispanik kulit hitam (85,7%), Hispanik (82,2%), dan
non-Hispanik kulit putih (82,7%).
Gambar 2.9 Tingkat kesadaran pasien hipertensi dewasa di Amerika Serikat pada tahun 2009-2010.
Berdasarkan pengobatan, wanita lebih banyak 80.6% daripada pria 70.9%
dalam hal mendapatkan pengobatan antihipertensi dimana terjadi peningkatan
penggunaan obat antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah dari usia 18-39
sebanyak 44,5%, kemudian pada usia 40-59 sebanyak 73,7% dan meningkat pada
usia 60 tahun keatas yaitu 82,2%.Selain itu, kelompok Non-Hispanic Asia adalah
kelompok yang paling sedikit minum obat antihipertensi yaitu 65.2% dibanding
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.10.Tingkat pengobatan pasien hipertensi dewasa di Amerika Serikat pada tahun 2011-2012.
Persentase pengontrolan tekanan darah pada wanita lebih tinggi 55,2% dibanding pria yang hanya 49,3%. Diantara orang dewasa yang terkena hipertensi, pasien yang berusia 18-39 hanya 34,4% tekanan darahnya terkontrol, dibanding pasien yang berusia 40-59 sebanyak 57,8% tekanan darahnya terkontrol, dan meningkat pada usia 60 tahun keatas dimana 50,5% tekanan darahnya terkontrol. Namun, tidak ada perbedaan yang bemakna dalam hal pengontrolan tekanan darah pada pasien kelompok non hispanik asia yaitu 46,0% dengan kelompok hispanik yaitu 46,5%.
Gambar 2.11 Tingkat pengobatan pasien hipertensi dewasa di Amerika Serikat pada tahun 2011-2012.
2.8.3. Review of the use of defined daily dose concept in drug utilisationresearch in China (L. Teng, et.al., 2012).
Di Cina, penelitian penggunaan obat (drug utilization review) dengan ATC / DDD diperkenalkan di akhir 1980-an. Sejak itu, beberapa artikel telah diterbitkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pertama kali dilakukan oleh Zouet al.untuk menilai konsumsi obat-obatan di 10
rumah sakit militer di Cina antara tahun 1992 dan 1994. Konsep WHO ATC / DDD
diperkenalkan, tetapi nilai WHO tidak diterapkan untuk analisis data. Dosis rata-rata
dihitung berdasarkan dosisrekomendasidalam Farmakope Cina dan/atauMateria
Medica baru.Informasi yang dimaksud dalam sumber-sumber Cina mungkin berbeda
dari nilai WHO. Misalnya, dosis harian untuk pemberian oral parasetamol (WHO
ATC Kode N02BE01; DDD = 3 g) didefinisikan sebagai "0,3-0,6 g setiap empat jam
atau empat kali per hari, tidak lebih dari 2 g per hari" dalam Farmakope Cina dan
"0,3- 0,6 g per dosis, 0.6 - 0.8g per hari, tidak lebih dari 2 g per hari" pada New
Materia Medica.Di Cina, sebagian DURs dilakukan di rumah sakit,
berdasarkanpenggunaan obat pada pasien rawat inap dan rawat jalan.Saat ini, DUR
adalah teknik umum di Cina untuk menilai penggunaan obat, dan menetapkan dosis
harian. Karena populasi yang besar dengan konsumsi obat jauh lebih besar,
penggunaan obat yang rasional di Cina mempunyai pengaruh yang besardalam
memastikan keamanan obat. Pada gambar 1, dapat dilihat perkembangan penggunaan
metode DDD dalam penggunaan obat di China.