• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study on the resistance of hot pepper (Capsicum annuum L) to anthracnose disease

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study on the resistance of hot pepper (Capsicum annuum L) to anthracnose disease"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

KAJIAN TINGKAT KETAHANAN

CABAI

MERAH

(Capsicum annuum

L)

TERHADAP

PENYAKIT

ANTRAKNOSA

Oleh :

BAMBANG SURYOTOMO

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN

BOGOR

(12)

"

Barang siapa yang 6ertaqwa @ p d a g f i h , niscaya

~

a k n

mengda&n 6aginya jahn &liar (dbri ksulitan) dun gllirh a b n

mem6erinya rezee

hri

arah yang tiada 6iang&-sangknya. Barang

siapa yang menyerahkn

diri

kpada gllirh, niscaya gllirh a b n

mencu&-upkn

(&perCuan)nya

"

(QS.

Ath

ThaIbaq: 2

-

3)

m

a

ini &persem6ah&n untuk

(13)

Kajian Tingkat Ketahanan Cabai Merah (Capsicum anmum L) terhadap Penyakit Antraknosa.

[ Study on the resistance of hot pepper (Capsicum annuum L) to anthracnose disease ]

by

Bambang Suryotomo

Abstract

The research was conducted in the greenhouse of The Department of

Agronomy and Laboraty of The Department of Plant Pest and Disease, Faculty of

Agriculture, Bogor Agricultural University from April 2000 to March 2001. The

objective of this research was to evaluate the best method and time of inoculation,

and the resistance of four hot pepper genotypes to anthracnose on pre and post

harvested fruits. Resistance evaluation on pre-harvested fruits was done in the

greenhouse with "spray" inoculation method of lo6 sporedml Colletotrzchum

gloeosporzoides suspension at flowering stage and fruit-set stage. Resistance study

on post-harvested fruits was done in the laboratory with "paste" method of

inoculation on mature green and mature red stage fruits. Both experiments were

set in a factorial and completely randomized design with four replications and five

plants per experimental unit. The genotypes evaluated were UPM, Titsuper,

Yogya, and Jatilaba. Observations were done on disease severity, disease incidence

and percentage of fruit damage.

The results showed that resistance level of all genotypes tested were lower

when inoculated at fruit set stage compared to at flowering stage. The best method

of evaluation for resistance to anthracnose on hot pepper was the greenhouse test

inoculation at hit-set stage with variable of disease incidence was considered as

the best method of evaluation on the resistance to C. gloeosporioides. All

genotypes tested were considered very susceptible to C. gloeosporioides. There was no significant different between inoculation on green and red mature fruits in

(14)

Surat Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :

" Kajian Tingkat Ketahanan Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

Terhadap Penyakit Antrakuosa

"

adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua

sumber data clan informasi telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperksi kebenarannya

Bogor, April 2002

Bambang Suryotomo

(15)

KAJIAN TINGKAT KETAHANAN

CABAI MERAH

(Capsicum annuum

L)

TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA

Oleh :

BAMBANG SURYOTOMO

Tesis

sebagai salah satu syarat

untuk

memperoleh gelar

Magister Sains

Pada Program Studi Agronomi

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Judul Tesis : KAJIAN TINGKAT KETAHANAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA

Nama Mahasiswa : Bambang Suryotomo

Nomor Pokok : 98050

Program Studi : Agronomi

1. Komisi Pembimbing

-

Prof. Dr. Ir. Sarsidi Sastrosumario

Ketua

2. Dr. Ir. Sriani Suii~rihati. MS. 3. Dr. Ir. Meitv S. ginaea, MSc.

2. Ketua Program Studi Agronomi

a-

Dr. Ir. Sudirman Yahva, MSc.

(17)

RJWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pati, Jawa tengah pada tanggal 9 Februari 1959,

sebagai putera kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Soejoto (Alm)

dengan Ibu Oemi Laeli.

Pada tahun 1971 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar

Kebondalem V di Pemalang. Lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri I di

Pemalang pada tahun 1974, dan pada tahun 1977 lulus Sekolah Menengah Atas

Negeri di kota yang sama. Pada tahun 1985 penulis menyelesaikan pendidikan di

program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, di

Punvokerto - Jawa Tengah.

Pada tahun 1988 penulis menikah dengan Dra. Hayati Soeprapto, hingga

saat ini dikaruniai dua orang puteri yang diberi nama Masita Wulandari

Suryoputri dan Zahra Tamami Suryahardini.

Sejak tanggal 1 April 1990, penulis diterima sebagai staf pengajar Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah dan dipekerjakan pada Akademi Pertanian Muhammadiyah (APM) di Pemalang hingga sekarang. Mulai tahun akademik

199811999 penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari Dirjen DIKTI, Departemen

Pendidikan Nasional untuk melanjutkan studi pada progran Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor, pada Sub program Studi Pemuliaan Tanaman.

Bogor, Maret 2002

(18)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan

Penyayang atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan penelitian ini.

Tesis ini disusus berdasarkan penelitian yang dilakukan di Instalasi Rumah

Kaca Jurusan Budidaya Pertanian, Kebun Percobaan Jurusan Budidaya Pertanian

di Tajur serta Laboratorium Mikologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,

Fakultas Pertanian Institiut Pertanian Bogor.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari metode yang

terbaik dan waktu inokulasi yang tepat dalam penentuan tingkat ketahanan cabai

merah (Capsicum annuum L) terhadap antraknosa, pada saat buah-buah masih di

pohon (di rumah kaca) dan telah dipetik (di laboratorium).

Penelitian ini dapat terlaksana berkat bantuan dari berbagai fihak, terutama

Pusat Studi Pemuliaan Tanaman (PSPT) melalui proyek RUT VIII.l tahun

anggaran 2000/2001. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1 . Bapak Prof Dr. Ir. Sarsidi Sastrosumarjo, Ibu Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS, dan Ibu Dr. Ir. Meity S. Sinaga, M.Sc., atas bimbingan, dorongan serta

arahannya sejak merencanakan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.

2. Kepala Laboratorium Mikologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

Institut Pertanian Bogor beserta staf, atas segala fasilitas serta pelayanannya

sehingga telah mendukung keberhasilan penelitian.

3. Kepala Pusat Studi Pemuliaan Tanaman (PSPT) Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor berserta jajarannya, atas segala bantuan fasilitas yang

(19)

4. Rekan-rekan sesama staf pengajar dari APM Pemalang, Universitas Bengkulu,

Halo-oleo, Brawijaya dan Universitas Darusalam dan Sriwijaya, atas segala

saran, masukan dan bantuan selama penelitian.

5. Pengelola Kebun percobaan Jurusan Budidaya Pertanian IPB, di Tajur

berserta staf atas dukungan dan bantuannya sehingga penelitan berjalan lancar.

6. Pimpinan Jurusan Tanah dan Agrometeorologi Fakultas Pertanian IPB, atas

fasilitas yang diberikan selama penelitian berlangsung.

7. Ibu Hj. Oerni Laeli, Bapak Drs. H. Kartono sekeluarga dan Bapak H.

Soeprapto sekeluarga atas segala bantuan, dukungan moral maupun do'a

restunya yang selalu menyertai penulis selama menyelesaikan studi.

8. Istri dan Anak tercinta atas pengorbanan, dorongan moril maupun meteriil

serta dengan penuh kesabaran dan pengertian telah mendampingi penulis

menyelesaikan studi.

9. Bapak Catur dan Ibu Tika yang telah banyak sekali membantu terwujutnya

tesis ini.

10. Semua fihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu

baik dalam pelaksanaan penelitian maupun penyelesaian tesis, mudah-

mudahan kesemuanya menjadikan rangkaian tambahan amal yang berlipat

ganda.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna,

namun demikian mudah-mudahan masih ada manfmtnya baik bagi pembaca

maupun peneliti lainnya, serta d e q p iringan do'a semoga seluruh studi ini dapat

bernilai ibadah dihadapan Allah SWT.

Bogor,

Maret

2002
(20)

DAFTAR IS1

Hal

... DAFTAR IS1

DAFTAR TABEL ...

DAFTAR LAMPIRAN ...

DAFTAR GAMBAR ...

... PENDAIWLUAN

Latar Belakang ...

Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Hipotesis ...

TINJAUAN PUSTAKA ... ... Sejarah Perkembangan

Botani dan Ekologi Tanaman Cabai ... Syarat Tumbuh ...

Budidaya ... Penyakit Antraknosa ...

... Gejala. Siklus dan Ekologi Patogen Antraknosa

... Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Antraknosa

... Pengendalian Penyakit Antraknosa

BAHAN DAN METODE ... Waktu dan Tempat ...

(21)

Bahan dan Alat ...

Metode Penelitian

...

Pelaksanaan Percobaan

...

Andisis Data ...

...

HASIL DAN

PEMBAHASAN

1 . Keadaan Umum Percobaan

...

2 . Hasil uji ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada buah

rnasih di pohon (di Rumah Kaca) ...

3 . Hasil uji ketahanan terhadap antraknosa pada buah

...

pada

buah setelah dipetik

4 . Evaluasi metode penentuan tingkat ketahanan terhadap antraknosa

... KESIMPULAN DAN SARAN

1 . Kesimpulan

...

2 . S a r a n ...
(22)

DAFTAR TABEL

Tabei

-

Teks Halaman

1 Nilai rataan keparahan penyakit, kejadian penyakit, tingkat

kerusakan dan laju infeksi serta kategori ketahanan dari

empat Genotipa Cabai hasil uji di Rumah kaca ... 27

2 Pengaruh inokulasi pada saat berbunga terhadap persentase ...

gugur bunga 30

Nilai rataan keparahan penyakit, kejadian penyakit, tingkat kerusakan dan laju infeksi serta kategori ketahanan dari

empat genotipe hasil uji di laboratorium ... 33

Hasil uji Koefisien korelasi (r) antara parameter ketahanan

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Lam~iran

-

Teks Halaman

1 ANOVA data percobaan Sebelum Panen (di Rumah

Kaca) ... 44

2 ANOVA data percobaan Sesudah Panen (di

Laboratorium) ... 45

3 Hasil pengamatan suhu dan kelembaban di Rumah kaca

selama pelaksanaan penelitian ... 46

(24)

DAFTAR GAMBAR

Tabel

-

Teks

Siklus penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotiichum sp. (Agrios, 1 997) ...

Kondisi pertanaman setelah inokulasi pada pengujian di rumah kaca. Pertumbuhan vegetatif tanaman tidak terganggu oleh penyemprotan inokulum C. gloeosporioides..

...

Inkubasi buah cabai setelah diinokulasi di laboratorium. Alas tisu basah di dalam bak serta tutup plastik wrap

...

untuk menjaga kelembaban

Gejala yang muncul pada buah akibat inokulasi saat berbunga (A) dan inokulasi saat berbuah (B) ...

Respon ketahanan empat genotipa terhadap waktu inokulasi buah hijau dan buah merah di laboratorium. Masing-masing genotipa tersebut menunjukkan respon yang sama terhadap inokulasi ketika buah hijau maupun merah ...

Penampakan gejala antraknosa pada Genotipa UPM (A), Titsuper

(B),

Yogya dan Jatilaba @) pada pengujian di laboratorium ...
(25)

PENDAHULUAN

Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah komoditas sayuran yang sangat

penting di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan areal pertanaman cabai merah

yang terluas diantara tanaman sayuran yang diusahakan di Indonesia (Dirjen Bina

Produksi Hortikultura, 2001). Pada tahun 1997 luas pertanaman cabai sekitar

161.602 ha (BPS, 1997), dan pada tahun 2000 mencapai 174.708 ha atau sekitar

20,39% dari total areal pertanaman sayuran @*en Bina Produksi Hortikultura,

2001). Bertambahnya luas areal ini disebabkan oleh permintaan cabai merah

untuk konsumsi segar, bumbu, kosmetik, dan obat-obatan yang meningkat dan

nilai ekonomis yang tinggi dalam perdagangan komoditas tanaman hortikultura.

Meningkatnya jumlah penduduk, dan berkembangnya industri makanan

olahan serta obat-obatan dengan bahan baku pendamping cabai merah,

menyebabkan perrnintaan komoditas ini setiap tahun akan terus meningkat.

Dengan tingkat konsumsi cabai merah yang telah mencapai 3,16 kg perkapita per

tahun pada tahun 1993 (BPS, 1993), dan perkiraan jumlah penduduk 210 juta,

maka total kebutuhan cabai diperkirakan mencapai 663.600 ton/tahun (BPS,

1996).

Produksi cabai merah di dalam negeri termasuk masih rendah, yaitu rata-

rata sekitar 4,17 tonha @irjen Bina Produksi Hortikultura, 2001). Kurangnya

produksi cabai dalam negeri menyebabkan pemerintah hams melakukan impor

cabai merah dari negara tetangga. Pada tahun 1997 impor cabai merah mencapai

3.382 ton (senilai US $ 2,8 juta) karena produksi nasional belum mencukupi

(BPS, 1997).

Tingkat produksi cabai merah di Indonesia jauh lebih rendah bila

(26)

tonha serta Spanyol 31,l tonlha (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh jenis yang ditanam umumnya varietas lokal, jarang

yang menggunakan varietas hibrida. Menurut Permadi dan Kusandriani (1999),

daya hasil varietas hibrida bila dibudidayakan dapat mencapai 20-30 tonha,

sedangkan varietas lokal hanya sekitar 12 tonha.

Sebagaimana diketahui, pertanaman cabai merah di Indonesia hampir selalu

terserang berbagai macam penyakit. Dari sekian banyak macam penyakit, antraknosa adalah penyakit yang paling penting dan merugikan (Suhardi, 1987).

Antraknosa adalah penyakit yang disebabkan oleh cendawan Gloeosporium

piperaturn (Semangun, 1989), Collefotrichurn gloeosporioides dan C. capsici

(Mordue, 1967). Hasil penelitian di beberapa sentra produksi cabai dilaporkan

bahwa antraknosa yang disebabkan oleh patogen C. gloeosporioides mempunyai

tingkat kejadian penyakit @I) yang lebih tinggi dibanding dengan C. capsici

(Hartman dan Wang, 1992; Sanjaya, 1998). Hal ini kemungkinan disebabkan C.

gloeosporioides mempunyai inang yang lebih beragam.

Penyakit ini terutama menyerang buah baik pada waktu di lapangan

maupun sebagai penyakit pascapanen. Gejala yang terlihat adalah adanya lesio

pada permukaan buah yang disertai dengan bercak melingkar konsentrik

(AVRDC, 1988) dan menyebabkan buah tidak dapat dipasarkan. Di Indonesia,

penyakit antraknosa sudah sangat meluas, baik pada pertanaman cabai di dataran

rendah maupun dataran tinggi, dan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Di

daerah Brebes (Jawa Tengah) sekalipun dengan pengendalian yang intensif,

dilaporkan masih menyebabkan kerugian hingga 45% (Sanjaya, 1997). Di

Sumatra Barat, kerugian yang ditimbulkan mencapai 3 5% (Vos, 1994). Sedang-

kan di Segunung (dataran tinggi) dan Rlampok (dataran rendah), masing-masing

(27)

pernah menyerang pertanaman cabai di daerah Demak, dan dilaporkan

intensitasnya mencapai 5 - 65% (Suhardi, 1989). Penanaman cabai yang terus menerus dalam areal yang sama merupakan faktor yang memudahkan tersebarnya

patogen tersebut. Tanpa pengendalian yang efektif, penyakit antraknosa akan

berkembang sangat capat.

Penyakit antraknosa sulit dikendalikan karena infeksi patogennya bersifat

laten dan sistemik serta menyerang semua fase pertumbuhan tanaman (Meity

Sinaga et al., 1992). Upaya pengendalian penyakit antraknosa yang biasa dilakukan ialah dengan hngisida. Akan tetapi cara ini seringkali kurang efisien

dan bersifat sementara (Wijaya, 1991). Selain itu, pengendalian secara kimiawi diketahui dapat menyebabkan pencemaran produk dan lingkungan, biaya relatif

mahal, berbahaya bagi petani, dan menyebabkan tekanan seleksi yang dapat

menimbulkan ras-ras patogen baru yang resisten (Suhardi, 1991; Suryaningsih dan Suhardi, 1993; Vos, 1994). Oleh karena itu, metode yang paling dianjurkan adalah menggunakan varietas yang resisten terhadap antraknosa. Penggunaan

tanaman resisten akan lebih ekonomis, mudah aplikasinya, murah, dan ramah

lingkungan dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi (Fraser, 1985).

Perakitan varietas cabai yang resisten memerlukan seleksi plasma nutfah

yang intensif untuk mendapatkan genotipa donor gen ketahanan. Pengujian

resistensi terhadap antraknosa pada beberapa spesies cabai telah dilakukan di

beberapa negara (Hartman dan Wang, 1992). Namun demikian hingga saat ini belum diketahui varietas cabai yang tahan terhadap antraknosa. Hal ini antara lain

disebabkan oleh hasil pengujian resistensi seringkali tidak konsisten, sekalipun

pada materi genotipa yang sama (Sanjaya, 1997). Tidak konsistennya hasil pengujian tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor

(28)

parsial, ras patogen yang beragam, interaksi antara inang dan patogen berbeda-

beda, atau metode dan lingkungan pengujian yang tidak sama (Sanjaya, 1998).

Tidak konsistennya hasil pengujian ketahanan suatu varietas tanaman cabai

terhadap antraknosa merupakan masalah bagi pemulia tanaman dalam rangka

memilih tetua donor. Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh metode seleksi

yang diterapkan, yaitu umumnya dilakukan terhadap buah yang telah dipetik dari

pohonnya. Metode ini sangat artifisial dan mengabaikan faktor interaksi inang-

patogen dan lingkungan, sehingga tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Padahal

proses terjadinya penyakit sangat ditentukan oleh interaksi inang-patogen dan

lingkungannya.

Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang mampu meng-

hambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang

dan menyebar. Sebaliknya, tanaman rentan adalah tanaman yang tidak mampu

menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit (Black ef al., 1991).

Respon tanaman terhadap patogen dipengaruhi oleh faktor genetik dan

lingkungan. Oleh karena itu bervariasinya tingkat ketahanan antar varietas

bergantung kepada respon interaksi inang-patogen maupun lingkungannya.

Pengujian ketahanan tanaman terhadap antraknosa umumnya dilakukan

dengan inokulasi buatan. Buah yang telah dipetik selanjutnya diinokulasi dengan

cara menempelkan inokulum pada permukaan buah yang telah terlebih dahulu

dilukai (Sanjaya, 1998; Park, et al., 1990; Setiamihardja dan Qosim, 1991).

Metode tersebut sebenarnya mengabaikan mekanisme yang kemunglunan

berperan dalam ketahanan terhadap antraknosa. Inokulasi yang dilakukan secara

buatan dengan terlebih dahulu melukai buah adalah telah mengabaikan aspek

ketahanan struktural seperti lapisan lilin, serta keras dan tebalnya lapisan

(29)

secara tidak langsung juga telah mengabaikan aspek ketahanan hngsional, karena

proses pembentukan protein dan metabolit lain yang kemungkinan berperan dalam

ketahanan terhadap antraknosa menjadi berkurang atau terhenti pada buah yang

telah dipetik. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu studi untuk menetapkan

metode pengujian ketahanan yang tidak mengabaikan aspek ketahanan struktural

maupun hngsional. Salah satu metode pengujian adalah dengan melakukan

inokulasi terhadap tanaman atau buah yang masih di pohon. Metode ini lebih

mendekati kondisi alami di lapangan. Akan tetapi belum banyak laporan

mengenai metode tersebut dalam seleksi terhadap antraknosa.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mengevaluasi tingkat ketahanan empat genotipa cabai terhadap antraknosa

berdasarkan pengujian di rumah kaca (sebelum panen) dan di laboratorium

(sesudah panen).

2. mengetahui waktu inokulasi yang tepat untuk keperluan evaluasi tingkat

ketahanan terhadap antraknosa di rumah kaca,

3. mengevaluasi tingkat ketahanan terhadap antraknosa pada buah cabai masak fisiologis (hijau) dan buah masak penuh (merah) di laboratorium.

4. Mendapatkan metode terbaik dalam pengujian ketahanan cabai terhadap

penyakit antraknosa.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat merupakan informasi yang berharga, terutama

mengenai metode yang tepat dan praktis dalam penentuan tingkat ketahanan

(30)

SeIain itu dapat pula memberikan informasi tentang tingkat ketahanan empat

genotipa cabai terhadap antraknosa di rumah kaca maupun di laboratorium.

Kerangka Pemikiran dan Peogajuan Hipotesis

Pengujian ketahanan tanaman terhadap antraknosa umumnya dilakukan di

laboratorium terhadap buah-buah yang telah dipetik (Park, et al., 1990;

Setiamihardja dan Qosim, 1991; Sanjaya, 1998). Metode ini nampaknya

mengabaikan kemungkman terjadinya mekanisme pertahanan fbngsional yang

terdapat dalam tubuh tanaman. Karena dengan buah telah dipetik, maka semua

proses pembentukan protein dan metabolit lain yang dapat berperan dalam

pertahanan tersebut menjadi terhenti. Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat

ketahanan terhadap antraknosa, pengujian tidak hanya dilakukan di laboratorium,

tetapi inolculasi perlu juga dilakukan terhadap buah-buah yang rnasih terdapat di

pohon (di lapang).

Namun demikian peristiwa terjadinya infeksi tentunya tidak

akan

menunggu tamman membentuk buah. Sehingga kernungkinan infeksi dapat

terjadi kapan saja. Seperti diketahui, proses infeksi penyakit antraknosa diawali

dengan masuknya spora melalui ruang antar sel epidermis, atau malalui luka pada

buah.

Bagian

luar

dari

spora tersebut mengandung perekat yang dapat dengm mudah menempel

sasaran

infeksi lewat percikan air siraman atau

air

hujan. Setelah spora m m p u berkembang,

maka

gejala yang timbul dicirikan oleh adanya bercak &at kehitarnan pada permulcaan buah, pada serangan lanjut buah

akan

mengering dan keriput seperti jerami. (Semangun, 1994; Suryaningsih,et

al.,.

1996). Infeksi patogennya bersifat laten dan sistemik serta menyerang

pada

semua

fase pertumbuhan (Meity Sinaga et al., 1992).

Sejauh ini belum diternukan informasi fase pertumbuhan tanaman cabai

(31)

buah merah lebih rentan dibanding buah hijau. Hal ini diduga karena pada buah

merah senyawa antimikrobial (phytoalexin, Capsidiol) sudah mengalami

degradasi menjadi Capsenon yang toksisitasnya lebih rendah, sehingga tidak

mampu menghambat perkembangan spora maupun perturnbuhan miselia

cendawan (Adikaram, Brown dan Swinburne, 1982). Sementara itu dari hasil penelitian menunjukan bahwa genotipa UPM tergolong relatif tahan (Hidayat,

2000)'. Sedsagkan Titsuper, Jogya dan Jatilaba t e m s u k dalam kategori rentan

(Setiamihardja dan Qosim, 1991). Berdasarkan uraian di atas, maka dalarn

penelitian ini dikemukaan hipotesis sebagai berikut:

1. Genotipa UPM Iebih tahsn dibanding dengan genotipa Titsuper, Jogya,

maupun Jatilaba.

2.

Waktu

inokulasi yang berbeda di rumah kaca,

akan

memberikan respon ketahanan terhadap antraknosa sama.

3. Bush rnasak penuh (merah) lebih rentan terhadap penyakit antraknosa

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah dan penyebaran

Rubatzky dan Yamaguchi (1997) mengemukakan bahwa tanaman cabai

besar (Capsicum annum L.) berasal dari dunia baru (Mexico, Amerika Tengah,

dan pegunungan Andes di Amerika Selatan). Thompson dan Kelly (1957)

menyatakan bahwa tanaman cabai telah diketahui sebelum zaman prasejarah di

Peru dan telah dibudidayakan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan sebelum

diperkenalkan di Eropa. Pada tahun 1493 Columbus membawa dan

memperkenalkan benih cabai ke Spanyol yang selanjutnya menyebar dengan

cepat di Benua Eropa. Tanaman cabai dibawa ke Asia dan menyebar ke Asia

Tenggara termasuk Indonesia oleh bangsa Portugis dan Spanyol dari Amerika

Selatan pada abad ke-16 (Suwandi, 1996).

Botani dan Ekologi Tanaman Cabai

Tanaman cabai besar dikenal dengan nama botani Capsicum annuum L.,

digolongkan ke dalam genus Capsicum, famili Solanaceae, sub klas Dycotyledone

dan klas Angiospermae (Van Steenis, 1988). Beberapa spesies Capsicum antara

lain C. anmum L., C. frutescens L., C. chinense Jacquin, C. pendulum

Willdenow dan C. pubescens Ruiz dan Pavon. Spesies Capsicum pendulum

Willd. mempunyai hubungan tertutup dengan C. microcarpum Cavanilles yang

kemudian diklasifikasikan secara botani merupakan varietas dari C. baccatum

dan dideskripsikan oleh Linneaus (Greenleaf, 1986).

Jumlah bunga pada setiap nodus merupakan salah satu sifat morfologi yang

membedakan spesies Capsicum, dimana pada spesies C. annuum biasanya hanya

(33)

bunga per nodus, sedang pada spesies C. chinense terdapat tiga sampai lima

bunga per nodus (Subramanya, 1983).

Menurut Permadi dan Kusandriani (1996) tanaman cabai termasuk

tanaman dikotil berbentuk semak, batangnya berkayu, tipe percabangannya tegak

atau menyebar. Struktur perakarannya diawali dari akar tunggang yang sangat

kuat dan bercabang ke samping dengan akar-akar rambut. Pola pertumbuhan

vegetatif berupa percabangan-percabangan dikotomi dari batang utama dan tunas-

tunas lateralnya. Berumur satu tahun atau menahun dengan tinggi 1-2,5 meter.

Mempunyai bunga menunduk dengan bunga mahkota berbentuk roda. Bunga

tanaman cabai akan muncul dari ketiak daun dengan jumlah bervariasi antara 1 -

8 bunga per mas tergantung spesiesnya. Bunga terdiri dari lima stamen dan

sebuah pistil. Memiliki mahkota berwarna putih sampai ungu, anther berwarna

biru keunguan dan kelopak daun bergerigi (Permadi dan Kunsandriani, 1994).

Bunga pada tanaman cabai umumnya mengalami penyerbukan sendiri

(Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Hal ini disebabkan pada tanaman cabai

penyerbukan terjadi setelah bunga mekar (Cha;mnogami), yaitu polen pecah

beberapa saat setelah bunga mekar. Tetapi karena bobot polen yang relatif berat

sehingga tidak mudah diterbangkan oleh angin, oleh karena itu polen akan jatuh

pada putik dari bunganya sendiri. Namun menurut Greenleaf (1986) penyerbukan

silang secara alami dapat terjadi terutama dengan bantuan lebah. Persentase

persilangan alami pada cabai berkisar antara 7.6 - 36,8% dengan rata-rata 16,5%

tergantung pada populasi lebah penyerbuk.

Thompson dan Kelly (1957) menerangkan bahwa C. annum L. merupakan

spesies yang mempunyai bentuk buah ramping dengan panjang berkisar antara 1-

30 cm dan memiliki daging buah yang tebal. Buah yang belum masak berwarna

(34)

coklat atau tetap benvarna hijau. Buah cabai memiliki panjang berkisar antara 0,8

- 30 cm dan diameter lebih dari 8 mm dengan bentuk buah ramping sampai yang mempunyai diameter lebih dari 10 mm. Buah cabai memiliki bentuk kerucut

kecil, langsing, dengan panjang buah 1-30 cm (Greenleaf, 1986; Nonnecke,

1989).

Cabai merah merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi

karena banyak diperlukan, terutarna untuk konsumsi segar, dan bahan baku

industri makanan olahan, kosmetik maupun obat-obatan. Kualitas buah yang

dipanen sangat menentukan nilai dan tingkat permintaannya. Kualitas buah,

secara biokimiawi ditentukan oleh rasa pedas (kandungan Capsaisin), kandungan

gula, protein, dan vitamin A. Sedangkan secara fisik ditentukan oleh ukuran buah,

jumlah biji, tebal daging buah, dan warna buah (Kalloo, 1988; Pujiati, 1993).

Kualitas buah sangat dipengaruhi oleh kadar air buah dan ada tidaknya penyakit

yang menyerang buah tersebut. Di pasaran, kualitas kesehatan dan kesegaran

buah bahkan secara langsung menentukan tinggi rendahnya harga.

Syarat Tumbuh

Tanaman cabai merah dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan

mempunyai drainase dan aerasi cukup baik. Tingkat kemasaman tanah (pH tanah)

antara 5.5 - 6.8 merupakan kondisi yang baik untuk tanaman cabai merah (Sumarni, 1996). Menurut Ashari (1995), tanaman cabai dapat tumbuh pada

berbagai jenis tanah, dengan struktur yang remah, kaya bahan organik dan

memiliki drainase baik.

Untuk dapat tumbuh optimal, tanaman cabai merah memerlukan kisaran

suhu udara 18" - 27" C. Suhu udara yang optimum untuk pertumbuhan dan pembungaannya adalah 21" - 27" C dan untuk pembuahanya antara 16" - 23" C.

(35)

pembungaan. Suhu optimum untuk pertumbuhan vegetatif adalah 15"

-

20" C

(Sumarni, 1996).

Sementara itu Rubatzky dan Yamaguchi (1997), menyatakan bahwa

intensitas curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 600 -

1.200 mdtahun. Tanaman cabai kurang tahan terhadap curah hujan yang tinggi,

terutama pada saat berbunga, karena bunga akan gugur. Curah hujan yang merata

sepanjang tahun berpengaruh baik, karena tidak terjadi kekurangan ataupun

kelebihan air selama pertumbuhannya.

Budidaya

Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman cabai yang baik, mutu bibit

sangat menentukan. Bibit yang baik diperoleh dari benih yang sehat, yaitu diambil

dari tanaman berbuah lebat, seragam, serta bebas dari serangan hama dan penyakit

(Sumarni, 1996).

Penanaman cabai dapat dilakukan dengan cara pindah tanaman

(transplanting) ataupun dengan cara sebar langsung tanpa penyemaian. Untuk

mempercepat perkecambahan, biji dapat diiendam dalam air panas (50" C).

Media persemaian yang baik adalah campuran antara pupuk kandang dan tanah

dengan perbandingan 1 : 1 (Surnarni, 1996; Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).

Ashari (1995) menyatakan bahwa 2-3 minggu setelah biji disemai, dapat

dilakukan pembumbungan. Pada 5-7 rninggu setelah semai, bibit dapat

dipindahkan ke lapang. Jarak tanam yang biasa digunakanyaitu 60-80 cm untuk

jarak antar baris, dan 40-50 cm untuk jarak dalam baris. Jarak tanam yang terlalu

rapat mengakibatkan tanaman tumbuh terlalu tinggi, sehingga mudah patah oleh

angin.

Kebutuhan pupuk untuk tanaman di lapang dan rumah kaca akan berbeda,

(36)

mendapatkan hara dari dalam tanah, sehingga daerah perakarannya menjadi luas.

Sedangkan tanaman yang ditanam dalam polibag di dalam rumah kaca, hanya

memperoleh hara dari pemupukan, sehingga pupuk yang diberikan lebih banyak

daripada pemupukan untuk tanaman di lapang. Tanaman cabai di lapang

memerlukan pupuk kurang lebih 170-220 kg Nlha, dan 22 kg P h a serta

potassium ditambahkan apabila ketersediannya kurang (Rubatzky dan

Yamaguchi, 1997). Hasil temuan Santika (1999) menunjukkan bahwa, pada

tanaman cabai di lahan bekas sawah memerlukan 1.660 kg pupuk

buatanlha/musim. Sedang pada lahan bekas tanaman tebu dalam satu musim

dibutuhkan 1.070 Kg N/ha (setara 2,3 ton UreaJha), 90 kg P205/ha (setara 200 kg

TSP/ha) dan 68 kg K20/ha (setara 125 kg KCVha yang diberikan 3-4 kali.

Penyakit Antraknosa

Penyakit antraknosa disebabkan oleh serangan cendawan patogen,

merupakan kendala biologis yang paling besar dalam usahatani cabai merah,

terutama karena menyerang buah yang terbentuk maupun setelah buah dipanen.

Patogen yang menyerang buah merupakan kendala terbesar dalam peningkatan

produksi cabai merah, karena buah dapat gugur sebelum dipanen atau buah

menjadi busuk sebelum dan setelah dipanen, sehingga mengurangi produksi buah

yang dapat dipasarkan. Penyakit antraknosa dapat berlanjut menyerang buah

dalam penyimpanan di tingkat konsumen. Oleh karena itu penyakit ini dianggap

sebagai yang paling merugikan dibandingkan dengan penyakit lain. (Suhardi,

1989).

Penyebab penyakit antraknosa pada cabai adalah Colletotrichum piperaturn

dan C. q s i c i Syd and Bisb. (Chupp dan She< 1960; Black et al., 1991).

Patogen lain yang dapat menyebabkan antraknosa pada cabai merah adalah

(37)

coccodes (Wailr.) Huges. Dari kelima patogen tersebut yang paling banyak

menyerang tanaman cabai merah adalah , C. capsici (Syd.) Butler and Bisb. dan

C. gloeosporioides Penz. Sacc. (Hadden dan Black, 1989). Di Indonesia, spesies

C. capsici Sydow dan C. gloeosporioides Penz. Sacc adalah yang paling banyak

dijumpai. Dari hasil penelitian diketahui bahwa Spesies C. capsici lebih banyak

menyerang pertanaman cabai di dataran tinggi dan C. gloeosporides pada dataran

rendah (Suryaningsih et al., 1996).

Serangan penyakit antraknosa sangat berfluktuasi bergantung pada kondisi

lingkungan. Tingkat serangan terberat terjadi pada musim penghujan, atau pada

lingkungan pertanaman dengan kelembaban lebih dari 90%, dengan suhu di atas

30' C (AVRDC, 1988; Baoli; 1991; Wijaya, 1991). Di Indonesia, penyakit antraknosa sudah sangat meluas, baik pada pertanaman di dataran rendah maupun

dataran tinggi, dan menyebabkan kerugian yang sangat besar karena menyerang

buah pada berbagai fase pertumbuhan, baik yang baru terbentuk maupun yang

telah siap dipanen. Di daerah Brebes (Jawa Tengah) sekalipun dengan

pengendalian yang sangat intensif dilaporkan masih menyebabkan kerugian

hingga 45% (Sanjaya, 1997), sedangkan di Sumatera Barat mencapai 35% (Vos,

1994).

Gejala, Siklus dan Ekologi Patogen Antraknosa

Penyakit antraknosa menimbulkan gejala busuk buah yang dicirikan oleh

adanya bercak coklat kehitaman pada permukaan buah yang lalu meluas manjadi

busuk lunak, pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang

terdiri dari kelompok setae dan konidium jamur. Pada serangan yang berat dapat

menyebabkan buah mengering dan keriput sehingga buah yang seharusnya

berwarna merah menjadi seperti jerami (Semangun, 1994). Serangan yang te rjadi

(38)

dapat menimbulkan rebah kecambah serta pada tanaman dewasa dapat

menimbulkan mati pucuk dan infeksi lebih lanjut dapat menyebabkan busuk

kering pada batang (Suryaningsih, et al., 1996). Cendawan ini dapat menyebabkan

infeksi ringan pada daun dan batang muda yang mungkin tidak terdeteksi, namun

cendawan mampu bertahan dan berkembang biak sampai tahap tertentu hingga

buah mulai masak dan menjadi rentan terhadap infeksi (Agrios, 1997). Cendawan

[image:38.584.82.521.249.692.2]

tersebut bereproduksi dengan membentuk massa konidia dalam aservulus

(Gambar 1).

infeksi pada buah infeksi awal dan invasi ke

jaringan buah

konidia

Perkecarnbahan konidia dan penernbusan ke jaringan buah

Uematian jaringan yang terserang dan membentuk

bercek bcrlekuk hitam

-

miselium

1-

Cendawan bettahan sebagai

misttiurn atau konidia pada buah. Aservulus dengan rnassa

benih. sisa tanaman dan batang Aservulus pada daerah konidia yang berkembang serangan di buah pada daerah terinfeksi

(39)

Kondisi yang sesuai untuk perkembang-an penyakit antraknosa adalah

pada kelembaban relatif 95%, yang akan rnem-bantu inisiasi infeksi dan

perkembangan penyakit selanjutnya (Suryaningsih et al., 1996). Suhu optimum

untuk perkembangan C. capsici adalah 28-36' C (AVRDC, 1989). Hal ini

menyebabkan serangan penyakit di musim hujan lebih tinggi dari pada dimusim

kemarau. Suhu, kelembaban relatif dan curah hujan yang tinggi pada saat

terjadinya proses pernasakan buah akan memacu infeksi dan sering menyebabkan

epidemi yang merusak (Agrios, 1997).

Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Antraknosa

Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang secara

hngsional mampu menghambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut

tidak dapat berkembang dan menyebar. Sebaliknya, tanaman rentan adalah

tanaman yang tidak mampu menghambat perkembangan patogen penyebab

penyakit. Ketahanan terhadap penyakit ini dapat dikelompokkan ke dalam

ketahanan struktural dan ketahanan hngsional. Ketahanan struktural adalah

ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh karena struktur tanaman itu

sendiri yang menyebabkan patogen tidak menyukai atau tidak dapat melakukan

invasi ke dalam tanaman tersebut. Ketahanan struktural ini juga disebut ketahan-

an pasif atau ketahanan prainfeksi karena tanaman tidak melakukan reaksi

terhadap patogen. Contoh ketahanan struktural ini antara lain tebal dan kerasnya

lapisan epidermis, adanya lignin pada dinding sel, adanya pubescens (duri-duri

halus) pada permukaan organ vegetatif, atau adanya lapisan lilin pada permukaan

buah. Sedangkan ketahanan hngsional atau ketahanan aktif adalah ketahanan

yang disebabkan oleh adanya reaksi biokimiawi tanaman sehingga perkembangan

patogen dapat terhambat. Ketahanan ini disebut juga ketahanan pascainfeksi.

(40)

tertenty atau terbentuknya senyawa toksik tertentu seperti fitoaleksin yang dapat

mematikan patogen (Agrios, 1997). Oleh karena itu tampilan struktural

(morfologi) tanaman maupun aktivitas biokimiawi kemungkinan dapat digunakan

sebagai penanda ada tidaknya gen pengendali ketahanan.

Seperti diketahui, proses infeksi penyakit antraknosa diawali dengan

masuknya spora ke dalam buah melalui celah antar sel epidermis, atau melalui

luka buah. Bagian luar dari spora tersebut mengadung perekat yang dapat dengan

mudah menempel sasaran infeksi lewat percikan air siraman atau air hujan

(Suryaningsih, et al. 1996). Oleh karena itu tarnpaknya masih perlu dikaji lebih

jauh tentang fase pertumbuhan pada tanaman cabai yang kritis terhadap infeksi

antraknosa serta pengaruhnya terhadap ketahanan.

Pengendalian Penyakit Antraknosa

Usaha mengatasi penyakit antraknosa pada cabai merah hingga saat ini

masih didorninasi dengan penggunaan bahan kimiawi. Usaha tersebut mampu

memberikan hasil yang cukup memuaskan, meskipun pengendalian dengan bahan

kimia dinilai kurang efisien dan bersifat sementara (Wijaya, 1991). Selain itu,

pengendalian secara kimiawi diketahui dapat menyebabkan pencemaran, baik

terhadap lingkungan maupun produk yang dihasilkan, disamping harganya relatif

mahal dan membahayakan petani. Pengendalian secara kimiawi juga diketahui

dapat menyebabkan kekebalan pada patogen penyebab penyakit, karena akan

te rjadi seleksi pada populasi patogen itu sendiri sehingga akan muncul biotipe

yang lebih kebal (Suhardi, 1991; Suryaningsih dan Suhardi, 1993; Vos, 1994).

Usaha pengendalian yang lebih mudah, murah, dan tidak membahayakan

lingkungan adalah pengendalian secara biologis dengan kultivar yang resisten

(tahan). (Setiamiharja dan Qosim, 1991; Wijaya, 1991; Amalia et al., 1994).

(41)

17

terhadap penyakit antraknosa. Hasil pengujian Setiamihardja dan Qosim (1991) di

Lembang dengan menggunakan 36 kultivar yang beredar di Jawa Barat

menunjukkan bahwa tidak ditemukan hltivar yang benar-benar tahan terhadap

penyakit antraknosa. Akan tetapi hasil pengujian di tempat lain, seperti di

AVRDC ditemukan ada genotipa yang tahan terhadap penyakit ini (AVRDC, 1 988). Dengan demikian secara alarni sebenarnya ada gen-gen ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada plasma nutfah cabai merah.

Ketahanan tanaman terhadap penyakit antraknosa dikendalikan secara

genetik. Laporan tentang gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa pada

cabai adalah bervariasi. Cheema (1984) dan Ahmad et al. (1991) melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa adalah bersifat aditif dan resesif.

Sedangkan menurut Park et aL (1990), ketahanan terhadap antraknosa dikendali- kan secara kuantitatif oleh gen dominan. Perbedaan kesimpulan tentang gen

pengendali tersebut disebabkan oleh sumber gen ketahanan yang diteliti berbeda-

(42)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Baranangsiang Jurusan Budidaya

Pertanian dengan menggunakan polibag dan jenis tanah Latosol coklat (Tajur) serta

di laboratorium Mikologi Tumbuhan, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,

Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Studi ini berlangsung selama 12 (duabelas) bulan, yaitu mulai bulan April 2000 hingga Maret 2001.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 4 genotipa cabai yang merupakan koleksi

Pusat Studi Pemuliaan Tanaman (PSPT), IPB. Inokulum yang digunakan adalah

isolat cendawan C. gloeosporiodes yang diperbanyak dari biakan murni berumur 1

rninggu dan diperoleh dari Laboratorium Mikologi Tumbuhan Jurusan Hama dan

Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB Bogor. Alat-alat yang digunakan

meliputi h e m y t o m e t e r , Sprayer volume 10 liter dan hand-sprayer plastik volume

1 liter, timbangan elektrik OHAUS tipe GT 2100 dengan ketelitian 0,01 g, bak

plastik ukuran (40 x 20) cm sebagai inkubator dan alat ukur lainnya.

Metode Penelitian

1. Uii Ketahanan di Rumah Kaca.

Percobaan di rumah kaca disusun mengikuti rancangan faktorial dengan 2

(dua) faktor (genotipa dan saat inokulasi) dalam rancangan lingkungan Acak

Lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 5 tanaman, sehingga

(43)

Faktor genotipa cabai yang diteliti meliputi: genotipa UPM, Titsuper,

Yogya, dan Jatilaba. Sedangkan faktor waktu inokulasi antara lain: inokulasi pada

periode 75% tanaman telah berbunga (anthesis) dan saat berbuah.

Adapun model matematik dari rancangan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Yijk = p

+

a i

+

pj

+

(ap)ij

+

~ i j k

Keterangan :

1 = 1,2,3,4 (genotipe); j = 1,2, (inokulasi); k = 1,2,3 4 (ulangan). Yijk = nilai pengamatan genotipe ke-i, inokulasi ke-j, ulangan ke-k

p = rataan umum

a i = pengaruh varietas ke-i pj = pengaruh saat inokulasi ke-j

(aP)ij = pengaruh interaksi genotipe ke-i dan saat inokulasi ke-j ~ i j k = galat percobaan

2. Uii Ketahanan di laboratorium

Percobaan disusun dengan menggunakan rancangan faktorial dalam

lingkungan Acak Lengkap yang diulang empat kali. Faktor pertama adalah 4

genotipa yaitu: genotipe UPM, Titsuper, Yogya dan Jatilaba. Sedangkan faktor

yang kedua adalah waktu inokulasi buah meliputi: inokulasi saat buah masak

fisiologis (hijau) dan masak penuh (merah). Buah yang diiiokulasi didapat dari

tanaman kontrol (sehat, yang tidak diinokulasi). Buah masak fisiologis (hijau)

adalah buah yang telah mencapai ukuran maksimum dan masih benvarna hijau.

Buah cabai telah masak penuh ditandai dengan 75% telah berwarna merah. Sebagai

unit percobaan adalah bak plastik, dalam penelitian ini terdapat 32 unit percobaan.

Setiap blak plastik masing-masing diisi 6 buah cabai yang sebelumnya dialasi

(44)

(hijau) dan mas& penuh (merah) diambil kemudian dinokulasi dengan inokulum

cendawan C. gloeosporiodes di laboratorium.

Sedangkan model matematik ddam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Yijk = p

+

a i

+

pj

+

(ap)ij

+

~ i j k

Keterangan :

1 = 1,2,3,4 (genotipe); j = 1,2, (inokulasi); k = 1,2,3 4 (ulangan) Yijk = nilai pengamatan genotipe ke-i, inokulasi ke-j, ulangan ke-k

p = rataan umum

a i = pengaruh genotipe ke-i f3j = pengaruh saat inokulasi ke-j

(af3)ij = pengaruh interaksi genotipe ke-i dan saat inokulasi ke-j

~ i j k = galat percobaan

Petaksanaan Percobaan

1. Percobaan di Rumah Kaca:

Dalam percobaan ini inokulum yang digunakan berasal dari biakan murni

cendawan C. gloeosporiodes yang telah berumur 1 minggu. Isolat kultur

ditumbuhkan dalam medium PDA (Potato Dextro Agar) pada petridish. Suspensi

diperoleh dengan menambahkan air aquadest ke medium kultur, kemudian digesek

dengan penggores gelas. Selanjutnya suspensi diencerkan hingga konsentrasi 1

o6

spora/ml air. Konsentrasi spora dihitung dengan metode pengenceran.

Penghitungan spora dilakukan dengan menggunakan alat haemocytometer.

Inokulasi dilakukan dengan metode semprot merata ke seluruh permukaan tanaman

pada waktu sesuai dengan perlakuan (periode berbunga dan berbuah).

Variabel tingkat ketahanan yang diamati adalah: persen keparahan penyakit,

persentase kejadian penyakit, tingkat kerusakan dan laju infeksi. Penentuan

(45)

terinfeksi dibanding bagian yang sehat. Pengelompokan skor dilakukan mengikuti

cara yang digunakan Meity Sinaga et. al. (1992), yaitu sebagai berikut:

Skor Gejala Antraknosa

Skor 0 : tidak ada perkembangan bercak 1 : O < x l l O %

2 : 1 0 < x 1 2 0 %

3 : 2 0 < x 1 3 0 %

4 : x > 3 0 %

Persen keparahan penyakit (% DS) dihitung mengikuti rumus Towsend

dan Heuberger [dalum Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Departemen

Pertanian ,(1994)] sebagai berikut :

Keterangan:

DS = Keparahan penyakit

ni = jumlah buah dari tiap kategori serangan

xi = nilai skor tiap kategori serangan

N = jumlah buah yang diamati

X = nilai skor serangan tertinggi

Kriteria ketahanan tanarnan terhadap penyakit didasarkan pada keparahan

penyakit (Kadu, 1978; Wijaya, 1991; Meity Sinaga et al., 1992 dengan modifikasi)

sebagai berikut:

Kriteria Keparahan penyakit ( % )

Imun ( I ) 0

Sangat Tahan ( ST ) O < D S 5 5

Tahan ( T ) 5 < DS

r

10

Rentan ( R ) 10 < DS

r

30
(46)

Kejadian penyakit dihitung sebagai persentase jumlah buah yang terinfeksi ter-hadap jurnlah buah yang diamati pada satu tanaman. Tingkat kerusakan buah dihitung sebagai hasil kali keparahan penyakit dengan kejadian penyakit. Laju

infeksi dihitung berdasarkan koefisien arah (slope) kurva keparahan penyakit yang ditransformasi logit. Pengarnatan di rumahkaca dilakukan setelah gejala tirnbul,

yaitu 7 dan 14 HSI (hari setelah inokulasi) untuk perlakuan inokulasi saat berbuah.

Sedang pada perlakukan inokulasi periode berbunga, gejda muncul pada saat 20

dan 40 HSI. Kondisi pertanaman di Rumah kaca yang diinokulasi dengan

cendawan C. glueosporioides disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kondisi pertanaman setelah inokulasi pada pengujian di

rumah kaca. Pertumbuhan vegetatif tanaman tidak

[image:46.584.93.516.303.679.2]
(47)

2. Percobaan di laboratorium

Inokulum yang digunakan sama, yaitu biakan murni cendawan C.

gloeosporioides yang ditumbuhkan pada medium PDA dan telah berumur 1

minggu. Inokulasi dilakukan dengan metode tempel, menggunakan potongan

inokulum patogen berdiameter 0,5 cm terhadap buah cabai yang telah dipetik.

Buah yang akan diinokulasi berasal dari tanaman sehat (kontrol). Terdiri dari

buah masak fisiologis (hijau), merupakan buah yang telah mencapai ukuran

maksimum dan benvarna hijau. Sedang buah masak penuh (merah) ditandai

dengan 75% telah berwarna merah. Sebelum diinokulasi, buah terlebih dahulu

dicuci bersih dengan larutan detergen kemudian dikeringkan. Setelah buah-buah

tersebut diinokulasi cendawan C. gloeosporiates, kemudian diinkubasikan dalarn

bak-bak plastik yang sebelumnya dialasi dengan kertas saring basah dan sedotan

limun. (Gambar 3). Untuk menjaga kelembaban dalam bak plastik ditetesi air setiap

hari, dan dibungkus dengan plastik transparan kemudian diinkubasikan di

[image:47.580.93.521.396.689.2]

laboratorium.

(48)

Sebagai unit percobaan adalah bak plastik, dalam penelitian ini terdapat 32

unit percobaan. Setiap blak plastik masing-masing diisi 6 buah cabai yang

sebelumnya dialasi plastik sedotan limun. Variabel ketahanan yang diamati sarna

dengan percobaan di rumah kaca yaitu: % keparahan penyakit dan % kejadian penyakit dan tingkat kerusakan buah serta laju infeksi. Pengamatan di laboratorium

dilakukan setelah gejala timbul, yaitu 3 dan 5 HSI.

Analisis Data

1 . Analisis Ranam (.ANOVA)

Semua data hasil pengamatan ditabulasikan dan dianalisis sidik ragam.

Apabila F-hitung signifikan, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan

(DMRT) pada taraf 5% dengan pertimbangan bahwa macam perlakuan yang

diberikan tidak saling berhubungan. Sebelum dianalisis semua data persentase

terlebih dahulu ditransformasi dalam ./(y+l).

2. Penentuan Metode Terbaik dalam Penmi-iian Ketahanan terhadap Antraknosa Uji ketahanan terhadap antraknosa lazimnya dilakukan oleh para peneliti di

laboraturium. Oleh karena itu untuk mengevaluasi 2 (dua) metode inokulasi dalam

pengujian ketahanan terhadap aatraknosa di Rumah Kaca, maka dilakukan uji

korelasi. Korelasi antara variabel ketahanan dari hasil pengujian di rumah kaca

dengan hasil pengujian di laboratorium. Nilai korelasi tertinggi digunakan sebagai

indikator pengujian terbaik.

Koefisien korelasi (r) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Steel dan

(49)
(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keadaan umum percobaan

Secara umum, keadaan pertumbuhan tanaman di rumah kaca dari mulai

pembibitan hingga produksi cukup baik. Hama yang dijumpai selama pertumbuhan

vegetatif adalah tungau. Sesudah dilakukan pengendalian dengan akarisida,

serangan dapat dikendalikan dan tanaman tumbuh normal. Serangan penyakit

selain antraknosa selarna percobaan berlangsung tidak ada. Hal ini kemungkinan

karena adanya sterilisasi ruangan dengan formalin sebelum percobaan berlangsung.

Suhu dan kelembaban nisbi rumah kaca cukup mendukung pertumbuhan

tanaman maupun perkembangan patogen. Suhu rata-rata harian sekitar 24

-

30" C dan kelembaban udara rata-rata 68

-

81% (Tabel Lampiran 1) adalah kondisi ideal

untuk pertumbuhan tanaman cabai merah (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997), dan

cukup baik bagi perkembangan cendawan C. gloeosporioides (Black, 1991). Hal

ini terlihat dari pertumbuhan tanaman yang cukup baik, dan inokulasi buatan yang

dilakukan dengan cara semprot terhadap tanaman pada saat antheszs dan

pembentukan buah berhasil menimbulkan gejala penyakit antraknosa pada buah

cabai.

Seperti pada umumnya pertanaman di dalam rumah kaca, etiolasi

pertumbuh-an tanaman tidak terhindari, sehingga tanaman cenderung tinggi dan getas (mudah patah). Oleh karena itu dalam perlakuan maupun pengamatan perlu

penanganan yang hati-hati. Dengan pengunaan ajir bambu sebagai penopang dan

tali rafia sebagai pengikat, maka kerusakan tanaman dapat dihindari.

Pengujian di laboratorium dapat berlangsung dengan baik. Kondisi

kelembaban udara pada inkubator buatan dapat terjaga dengan baik sehingga

perkembangan inokulum yang diinokulasikan pada buah dapat berkembang seperti

(51)

2. Hasil uji ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada buah masih di pohon (di Rumah Kaca)

Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa faktor genotipa, waktu inokulasi, dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

-

sangat nyata terhadap

seluruh peubah yang diamati (Tabel Lampiran 2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan keparahan penyakit,

[image:51.586.101.526.287.673.2]

kejadian penyakit, tingkat kerusakan dan laju infeksi genotipa UPM lebih tahan dibandingkan dengan ketiga genotipa lainya. (Tabel 1).

Tabel 1. Nilai rataan keparahan penyakit, kejadian penyakit, tingkat kerusakan dan laju infeksi serta kategori ketahanan dari empat genotipa cabai hasil uji di Rumah kaca.

Saat I&okdmi

Berbunga

UPM

Tit Super

I

Jatilaba

I

31.76 ba

I

81.91 a

I

24.48 ab

1

0.044 Isangat Rentan

Keparahan Penyakit ')

PA)

I I , I

I

7.29 c

54.69 a

Yogya

- - -

(

UPM

I

35.42 ab

1

33.58 b

/

12.01 c

1

0 . 1 3 2 Isangat i en tan Kejadian

Penyakit l) (%)

Rata-rata

Berbuah

12.71 c

45.83b

41.71 ab

Nilai rata-rata yang diikuti oleh hunrf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda niata

berdasarkan uji DMRT pa& taraf 5%. ') Angka yang disajikan adalah data sebenanrya,

sedangkan analisis statistika dilakukan terhadap data transfonnasi d(y+l). 2, Evaluasi/Penilaian

kategori ketahanan didasarkan pada nilai keparahan penyakit penyakit. 3, Berasal dari

transformasi Logit.

Tingkat " kerusakan ("A) 33.86 Yogya Jatilaba Rata-rata 0.90 d 26.44ab

72.40 a

Laju Infeksi

( r ) (% / hari) 3,

53.21

50.30ab

38.71 ab

44.43

Kategori k e t a h m 2,

(52)

Berdasarkan keparahan penyakit, hasil penelitian ini sejalan dengan informasi

sebelurnnya bahwa genotipa UPM adalah genotipa yang tahan terhadap antraknosa

Wdayat, 2000'). Bila genotipa UPM diinokulasi pada periode berbunga akan memberikan respon tahan, namun bila diinokulasi pada saat berbuah maka genotipe

ini menunjukkan respon sangat rentan sama seperti tiga genotipa lain. (Evaluasi

peringkat ketahanan berdasarkan keparahan penyakit)

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil yang diperoleh Setiamihardja dan

Qosim (1991) yaitu bahwa genotipa Titsuper dan Jatilaba tergolong rentan. Pada

Tabel 1 tampak genotipa Titsuper dan Jatilaba menunjukan respon sangat rentan.

Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jenis inokulum yang

digunakan. Dalam pengujian ketahanan terhadap antraknosa, Setiamihardja dan

Qosim (1991) menggunakan biakan murni cendawan C. capsici. Sedangkan dalam

penelitian ini digunakan inokulum biakan murni cendawan C. gloeosporioides. Suryaningsih at al., (1996), mengatakan bahwa populasi C. gloeosporioides di

lapangan 5-6 kali lebih banyak daripada populasi C. capsici. Dengan demikian

tampaknya terdapat kecenderungan C. gloeosporioides lebih ganas dan dapat

menimbulkan inf'eksi laten dibandingkan dengan C. capsici (Sanjaya, 1998).

Waktu inokulasi sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit dan tingkat

kerusakan buah. Inokulasi pada periode berbunga menyebabkan kejadian penyalcit

dan tingkat kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi saat

berbuah, kecuali pada genotipa UPM. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

banyaknya bakal buah dan buah muda yang terkontarninasi inokulum cendawan,

yang selanjutnya menyebabkan lebih banyak buah yang terinfeksi. Pola yang sama

terlihat pada tingkat kerusakan tanaman.

(53)

Bila ditinjau dari komponen laju infeksi, inokulasi pada periode berbunga

menghasilkan laju infeksi rendah pada semua genotipa berkisar antara 0.23-0.51%

per hari). Sedangkan inokulasi saat berbuah menimbulkan laju infeksi tinggi

(antara 0.13-0.14% per hari). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman cabai pada saat

berbunga lebih tahan dibandingkan pada periode berbuah. Rendahnya laju infeksi

pada periode berbunga ini, diduga karena bakal buah yang terbentuk pada periode

berbunga yang relatif masih sangat muda, merupakan media yang kurang baik bagi

pertumbuhan patogen. Terhambatnya pertumbuhan patogen ini ditandai dengan

rendahnya laju infeksi pada periode berbunga (Tabel 1). Sebagaimana dikemukakan

oleh Black et a1.,(1991) dan Suryaningsih et al. (1996), bahwa gejala awal

antraknosa cenderung terjadi pada buah yang telah matang. Buah cabai matang

mengandung karbohidrat pada kadar yang lebih tinggi dibanding dengan buah yang

mash muda (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Menurut Agrios (1997),

karbohidrat sangat diperlukan untuk perkembangan cendawan. Dengan dernikian

dapat diiaharni apabila perkembangan cendawan pada buah yang banyak

mengandung karbohidrat relatif lebih cepat dibandingkan dengan pada buah muda.

Perkembangan cendawan ini ditunjukkan pula dengan keparahan penyakit relatif

lebih tinggi bila inokulasi te rjadi pada saat berbuah.

Selain itu pada Tabel 1 tampak pula bahwa kapanpun diinokulasi, genotipa

UPM mempunyai nilai laju infeksi paling rendah dibanding yang lain. Genotipa UPM bila diinokulasi pada saat berbunga hanya mempunyai laju infeksi 0.02% per

hari dan merupakan nilai yang paling rendah dibandingkan dengan ketiga genotipa

lain yang diuji, yaitu Titsuper (0.05!40), Yogya (0.05%) dan Jatilaba (mempunyai

laju infeksi 0.04 % per hari). Demikian pula bila diinokulasi pada saat berbuah, genotipa UPM juga mempunyai laju infeksi paling rendah (0.13% per hari)

(54)

Jatilaba (mempunyai laju infeksi 0.13% per hari). Kenyataan ini memberikan

indikasi bahwa genotipa UPM lebih toleran / tahan dibanding genotipa lain, karena secara relatif tampak mampu menghambat perkembangan patogen penyebab

penyakit. Namun karena kisaran tingkat ketahanan genotipa yang digunakan dalam

penelitian ini terbatas, maka peluang untuk mendapatkan genotipe tahan dan sangat

tahan juga rendah. Dalam ha1 ini tampak hanya 1 (satu) genotipe saja yang

memberikan respon tahan (UPM).

Selanjutnya, inokulasi saat berbunga kemungkinan juga berakibat terhadap

tingginya persentase gugur bunga, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap

jumlah buah yang terbentuk. Sebagaimana dikemukakan oleh Black (1991), bahwa

patogen penyebab penyakit antraknosa dapat menyerang hampir seluruh bagian

tanaman, tidak terkecuali bunga. Gugur bunga adalah salah satu gejala jika organ

tersebut terserang antraknosa. Hasil pengamatan yang diialcukan pada tiga hari

setelah inokulasi menunjukkan bahwa inokulasi pada saat berbunga ternyata

menyebabkan gugur bunga yang relatif tinggi, yaitu sekitar 40% dari bunga yang

telah terbentuk (Tabel 2). Namun demikian respon keempat genotipa yang diuji

[image:54.580.125.489.521.722.2]

relatif tidak berbeda satu sarna lain.

Tabel 2. Pengaruh inokulasi pada saat berbunga terhadap persentase gugur bunga.

Genotipa

UPM

Tit Super

Yogya

Jatilaba

Persentase Bunga Gugur (%)

46.19

41.36

36.41

(55)

Di samping data kuantitatif, kedua metode inokulasi tersebut ternyata juga

menghasilkan efek gejala yang sedikit berbeda terhadap buah. Inokulasi saat

berbunga cenderung menimbulkan serangan pada ujung buah, sedangkan inokulasi

pada saat berbuah menimbulkan gejala pada pangkal buah. Fenomena ini dapat

dijelaskan bahwa inokulasi pada saat berbunga menyebabkan bagian ujung buah

(bagian buah yang pertama kali terbentuk) akan terlebih dahulu terinfeksi karena

inokulum yang disemprotkan akan berakumulasi pada bakal buah. Sedangkan

inokulai pada saat berbuah, inokulum akan lebih mudah terakumulasi pada

permukaan buah, tempat larutan inokulum tersebut tertimbun, yaitu kebanyakan

adalah pada bagian pangkal buah (sektiar pedikel).

Gambar 4. Gejala yang muncul pada buah akibat inokulasi saat berbunga

[image:55.586.111.521.360.681.2]
(56)

3 2 3. Hasil uji ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada buah setelah

dipetik (di Laboratorium)

Pengujian di laboratorium dapat berlangsung dengan baik. Hal ini ditandai

dengan perkembangan inokulum yang diinokulasikan pada buah dapat berkembang

seperti yang diharapkan.

Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa hanya pengaruh faktor genotipa saja yang nyata, sedangkan pengaruh waktu inokulasi (masak fisiologis,

hijau dan masak penuh, merah) serta interaksinya tidak nyata (Tabel lampiran 2).

Inokulasi buah hijau dan dan merah menghasilkan tingkat ketahanan yang sama

pada seluruh genotipa yang diuji. Secara visual gejala, penampakan gejala pada

perlakuan buah hijau dan buah merah dapat dilihat pada Garnbar 5.

[image:56.588.91.515.343.707.2]
(57)
(58)

genotipa UPM masih lebih tahan dibanding genotipa yang lain. Hal ini berarti hasil

percobaan di laboratorium selaras dengan hasil uji di rumah kaca.

Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai dari setiap genotipa hasil

inokulasi di laboratorium disajikan pada garnbar 6.

Garnbar 6. Penampalcan gejala antraknosa pada genotipa UPM (A), Tit Super (B),

Yogya (C), dan Jati Laba (D) pada pengujian di laboratorium.

4. Evaluasi metode penentuan tingkat ketahanan terhadap antraknosa

Dalam mengklasifikasi tingkat ketahanan terhadap antraknosa pada tanaman

cabai, yang lazim digunakan sekarang ini adalah dengan metode inokulasi di

laboratorium (Sanjaya, 1998). Seperti diketahui bila pada buah setelah dipetik,

maka produksi senyawa antimikrobial yang bersifat racun sebagai sistem

pertahanan fbngsionalnya akan terhenti, sehingga ketahanannya mulai menurun

(Agrios, 1997). Dengan demikian uji yang dilakukan pada saat buah rnasih di

(59)

uji ketahanan terhadap antraknosa pada buah cabai yang dilakukan oleh para

peneliti selama ini dilakukan di laboratorium, maka untuk mengevaluasi kedua

metode inokulasi di rumah kaca tersebut, dilakukan analisis korelasi antara variabel

ketahanan di rumah kaca dengan di laboratorium. Metode inokulasi yang paling

tepat adalah inokulasi yang hasilnya mempunyai koefisien korelasi tertinggi dengan

inokulasi pada pengujian di laboratorium. Hal ini dapat dievaluasi dari hasil analisis

antara variabel ketahanan dari pengujian di rumah kaca dengan di laboratorium.

Karena nilai koefisien korelasi yang tinggi antar variabel ketahanan tersebut,

mengindikasikan bahwa hasil uji ketahanan di rumah kaca selaras dengan hasil uji

[image:59.588.100.521.369.611.2]

ketahanan di laboratorium.

Tabel 4. Hasil uji Koefisien korelasi (r) antara variabel ketahanan dalarn uji di Laboratorium dengan di Rumah kaca.

**

= Korelasi sangat nyata

*

= Korelasi nyata

Hasil analisis koefisien korelasi disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut

tarnpak bahwa yang mempunyai korelasi tertinggi antara uji rumah kaca dengan uji laboratorium adalah komponen kejadian penyakit (DI), yaitu pada inokulasi saat

berbuah berkorelasi positip dengan inokulasi buah merah dengan nilai korelasi Variabel Ke-

tahanan pada

Uji di

R.

Kaca

DS-Berbunga

Berbuah

DI - Berbunga Berbuah

TK- Berbunga

Berbuah

Variabel Ketahanan pada Uji di Laboratorium

Keparahan Penyakit (Ds) Hjau 0.283 -0.026

-

-

-

-

Kejadian Penyakit (DI) Merah 0.456 0.166

-

-

-

-

Hijau

-

-

0.152 0.089

-

-

Tingk.Keruskan (TK) Merah

-

-

0.43 1

(60)

0.625 dan sangat nyata. Hal ini berarti bahwa uji ketahanan dengan inokulasi pada

saat berbuah di rumah kaca dengan parameter kejadian penyakit, hasilnya 62,5%

sangat nyata mendekati dengan hasil di laboratorium. Sedangkan hasil uji ketahanan dengan inokulasi saat berbunga mempunyai nilai korelasi lebih rendah.

Dengan dernikian inokulasi saat berbuah nyata lebih baik dibanding inokulasi saat

berbunga pada uji ketahanan di rumah kaca. Implikasi dari temuan ini memberikan

makna bahwa inokulasi pada saat berbuah (di rumah kaca) sebaiknya digunakan

(61)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a. Berdasarkan evaluasi di rumah kaca pada inokulasi saat berbunga,

genotipa UPM tergolong agak tahan sedang Titsuper, Yogya dan Jatilaba tergolong sangat rentan terhadap cendawan C. gloeosporioides.

Sedangkan inokulasi saat berbuah keempat genotipa yang diuji

memberikan respon rentan.

b. Waktu yang tepat untuk evaluasi tingkat ketahanan terhadap antraknosa

di rumah kaca adalah inokulasi pada periode berbuah

c. Tingkat ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada inokulasi saat

berbuah nyata lebih rendah dibanding dengan inokulasi saat periode

berbunga.

d. Genotipa UPM dan Yogya setelah panen tergolong rentan sedangkan

genotipa Titsuper dan Jatilaba setelah panen memberikan respon sangat

rentan terhadap cendawan C. gloeosporioides.

e. Hasil uji di laboratorium menunjukkan bahwa buah matang fisiologis

(hijau) dan buah matang penuh dari empat genotipa uji menghasilkan

tingkat ketahanan yang tidak berbeda

E

Metode inokulasi pada periode berbuah di rumah kaca dapat digunakan

untuk evaluasi ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan genotipa yang

lebih beragam sehingga peluang untuk mendapatkan genotipa yang tahan dan

Gambar

Gambar 1. Siklus penyakit antraknosa yang disebabkan oleh CoZletotrichum sp.
Gambar 2. Kondisi pertanaman setelah inokulasi pada pengujian di
Gambar 3. Inkubasi buah cabai setelah diinokulasi di laboratorium. Alas tisu
Tabel 1. Nilai rataan keparahan penyakit, kejadian penyakit, tingkat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Website ini membantu pemakai terutama institusi atau lembaga pendidikan untuk mengontrol perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia khususnya di daerah-daerah terpencil

[r]

Tiap perusahaan tentu saja memiliki strategi yang berbeda untuk mencapai tujuan dari perusahaan tersebut. Untuk meningkatkan penjualan misalnya, perusahaan dapat menawarkan harga

This evening is also often used for young men looking at their candidates (looking for girlfriends), and (3) the shift in the tradition after the marriage

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang berjudul “Analysis on Product and Service Quality Perceived by Customers Toward Customers’ Satisfaction at

Artinya : “ Apabila isteri menggugat kemadlaratan suami karena tidak dapat melangsungkan kehidupan berkeluarga diantara keduanya, isteri boleh meminta kepada Hakim

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Faktor -Faktor Yang Mempengaruhi Minat Nasabah Non Muslim dalam Membeli

Bapak I Ketut Korma masih menggunakan air yang diperoleh dari tetangga rumahnya untuk.. keperluan memasak dan