KARAKTERISTIK ASAM LEMAK DAN KOLESTEROL
RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PROSES
PENGUKUSAN
MARDIANA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
RINGKASAN
MARDIANA. C34070039. Karakteristik Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus) akibat Proses Pengukusan. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan DJOKO POERNOMO.
Rajungan merupakan salah satu jenis kepiting laut yang banyak terdapat di Indonesia. Permintaan komoditas rajungan terus meningkat selain disebabkan oleh rasa dagingnya yang sangat gurih, juga oleh kandungan gizinya yang cukup tinggi. Kandungan gizi yang terdapat pada rajungan adalah protein, lemak, asam amino, asam lemak dan kolesterol. Rajungan biasanya hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang diolah dengan cara perebusan atau pengukusan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengukusan terhadap rendemen, komposisi kimia, karakteristik asam lemak dan kandungan kolesterol serta struktur jaringan rajungan.
Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel rajungan di Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat. Rajungan yang belum dan telah dikukus dilakukan perhitungan rendemen, analisis proksimat, asam lemak, kolesterol dan histologi.
Rajungan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang total rata-rata 11,20 cm, lebar total rata-rata 5,17 cm dan berat total rata-rata 95,1 g. Nilai rendemen cangkang rajungan lebih besar daripada daging dan jeroannya yaitu 51,62%. Rendemen rajungan mengalami penyusutan setelah proses pengukusan menjadi 14,99%. Hasil analisis proksimat rajungan mengalami penurunan setelah proses pengukusan yaitu kadar air (75,43%), abu (6,02%), lemak (0,75%) dan protein (66,63%).
Asam lemak rajungan terdiri dari asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal dan asam lemak tak jenuh jamak. Asam lemak jenuh yaitu laurat, miristat, palmitat, stearat, arakhidat, behenat dan lignoserat. Asam lemak tak jenuh tunggal yaitu palmitoleat, elaidat, oleat, cis-11-eikosenoat, erukat dan nervonat. Asam
KARAKTERISTIK ASAM LEMAK DAN KOLESTEROL
RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PROSES
PENGUKUSAN
MARDIANA
C34070039
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul skripsi : Karakteristik Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Proses Pengukusan
Nama : Mardiana
NRP : C34070039
Departemen : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui:
Pembimbing 1
Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. NIP. 19591127 198601 1 005
Pembimbing 2
Ir. Djoko Poernomo, B.Sc NIP. 19580419 198303 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. NIP: 19580511 198503 1 002
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Karakterisasi
Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Proses
Pengukusan” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Mardiana
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 3 Februari 1989 dan
merupakan anak pertama dari 2 bersaudara pasangan
Bapak Marzuki dan Ibu Herawati. Penulis memulai
pendidikan formal di TK. RA Al-Falahiyyah Rawa Barat,
Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1995. Tahun 2001,
lulus dari sekolah dasar di SD Negeri 06 Petang Rawa
Barat, Jakarta Selatan kemudian melanjutkan sekolah
menengah pertama di SMP Negeri 13 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Penulis
melanjutkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 55 Jakarta dan lulus pada
tahun 2007.
Di tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) di
Program Sarjana Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama menjalani pendidikan akademik di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif
dalam organisasi kemahasiswaan diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) sebagai anggota Divisi Hubungan
Luar dan Komunikasi (Hublukom) pada tahun 2008-2009 dan Fisheries Processing Club (FPC) sebagai anggota pada tahun 2008 sampai sekarang. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan di FPIK antara lain Bina Desa
BEM, pelatihan eksternal FPC dan Ketua Panitia Bina Desa Himasilkan 2010.
Penulis juga pernah menjadi asisten Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan
2010/2011.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul
“Karakteristik Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Karakteristik Asam Lemak
dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Proses Pengukusan”. Penulisan skripsi ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk meperoleh gelar
sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
1 Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. dan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam
penyusunan skripsi ini.
2 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., Mphil. selaku Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
3 Ir. Dadi R. Sukarsa selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan
kritik untuk perbaikan skripsi ini.
4 Kedua orangtuaku dan adikku tercinta yang selalu memberikan motivasi dan
doa.
5 Seluruh dosen, pegawai dan tenaga kependidikan Departemen Teknologi Hasil
Perairan.
6 Teman-teman THP 44 atas segala dukungan, kerjasama dan kebersamaan yang
selalu diberikan kepada penulis.
7 Kakak kelas THP 42 dan 43 yang telah membantu penulis atas informasi yang
mendukung skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
DAFTAR ISI
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Rajungan (Portunus pelagicus) ... 3
4.3.2 Kadar abu ... 27
4.3.3 Kadar lemak... 28
4.3.4 Kadar protein ... 29
4.3.5 Asam lemak ... 29
4.3.6 Kolesterol ... 35
4.4 Histologi Daging Rajungan ... 37
5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
5.1 Kesimpulan ... 40
5.2 Saran ... 40
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Komposisi kimia daging rajungan jantan dan betina ... 5
2 Kandungan kolesterol pada makanan (mg/100g) ... 10
3 Ukuran dan berat rajungan (Portunus pelagicus) ... 23
4 Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus ... 26
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Rajungan betina (a) dan jantan (b) ... 3
2 Diagram alir metode penelitian... 14
3 Rendemen rajungan segar... 24
4 Rendemen rajungan kukus ... 25
5 Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus... 26
6 Kandungan asam lemak jenuh daging rajungan ... 31
7 Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal daging rajungan ... 33
8 Kandungan asam lemak tak jenuh jamak daging rajungan ... 34
9 Kadar kolesterol daging rajungan segar dan kukus ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Aktivitas nelayan di Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat ... 46
2 Alat kromatografi gas dan kompressor ... 47
3 Data panjang, lebar dan berat rajungan ... 48
4 Hasil pengujian analisis proksimat rajungan ... 50
5 Nilai retention time asam lemak daging rajungan segar dan standar ... 52
6 Nilai retention time asam lemak daging rajungan kukus dan standar... 53
7 Hasil analisis asam lemak rajungan ... 54
8 Hasil analisis kolesterol rajungan ... 55
9 Peak kromatografi gas standar asam lemak ... 56
10 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan segar ulangan 1 ... 57
11 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan segar ulangan 2 ... 57
12 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan kukus ulangan 1 ... 58
13 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan kukus ulangan 2 ... 68
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persaingan pasar global memacu bangsa Indonesia untuk memanfaatkan
kekayaan alam yang dimilikinya semaksimal mungkin. Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sumberdaya ikan di perairan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun (Dahuri 2003). Hasil laut tersebut merupakan
kekayaan alam yang berpotensi tinggi untuk dikembangkan. Salah satu hasil
komoditi perikanan saat ini yang mulai berkembang pesat dan memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi adalah rajungan. Rajungan (Portunus pelagicus) atau swimming crab merupakan salah satu jenis kepiting laut yang banyak terdapat di Indonesia.
Permintaan komoditas rajungan atau kepiting baik dalam bentuk segar,
beku atau produk kaleng yang terus meningkat, baik pasaran dalam maupun luar
negeri, telah menjadikan hewan ini sebagai salah satu komoditas andalan untuk
ekspor setelah udang windu. Permintaan yang terus meningkat ini, selain
disebabkan oleh rasa dagingnya yang sangat gurih, juga oleh kandungan gizinya
yang cukup tinggi (Juwana dan Kasijan 2000).
Salah satu kandungan gizi yang terdapat pada rajungan adalah lemak.
Lemak di dalam makanan yang memegang peranan penting adalah yang disebut
lemak netral, atau trigliserida, yang molekulnya terdiri atas satu molekul gliserol
dan tiga molekul asam lemak, yang diikatkan pada gliserol tersebut dengan ikatan
ester (Sediaoetomo 2008).
Asam lemak merupakan senyawa pembangun berbagai lipida, termasuk
lipida sederhana, fosfogliserida, glikolipida, sfingolipid, ester koleterol, lilin dan
lain-lain, dan telah diisolasi lebih dari 70 macam asam lemak dari berbagai sel dan
jaringan berupa rantai hidrokarbon dengan ujungnya berupa gugus hidroksil
(Girindra 1987).
Selain lemak dan asam lemak, komoditas rajungan juga memiliki
kandungan kolesterol. Kolesterol merupakan substrat untuk pembentukan
beberapa zat esensial, yaitu asam empedu yang dibuat oleh hati, hormon-hormon
dalam tubuh terutama oleh hati tetapi jika produksi kolesterol berlebihan dapat
meningkatkan risiko penyumbatan pembuluh arteri (Freeman dan Junge 2005).
Rajungan hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang diolah dengan
cara perebusan atau pengukusan oleh masyarakat. Pengukusan merupakan cara
memasak dengan menggunakan banyak air, tetapi air tidak bersentuhan langsung
dengan produk (Harris dan Karmas 1989). Rajungan mempunyai potensi
ekonomis dan prospek yang menguntungkan. Rajungan selain sebagai bahan
pangan dapat dimanfaatkan juga sebagai sumber kitin.
Penelitian ini penting karena informasi mengenai kandungan gizi rajungan
ini masih sangat sedikit, padahal rajungan ini bernilai ekonomis tinggi di pasaran.
Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai kandungan gizi rajungan guna
meningkatkan pengetahuan akan komposisi gizi hasil komoditi perikanan yang
dapat bermanfaat bagi kesehatan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pengukusan
terhadap rendemen, komposisi kimia, karakteristik asam lemak dan kandungan
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Rajungan (Portunus pelagicus)
Rajungan adalah salah satu anggota filum crustacea yang memiliki tubuh
beruas-ruas. Klasifikasi rajungan (Portunus pelagicus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Malacostraca
Ordo : Eucaridae
Sub ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus
(a) (b)
Gambar 1 Rajungan betina (a) dan jantan (b)
Rajungan memiliki karapas yang sangat menonjol dibandingkan dengan
abdomennya. Lebar karapas pada rajungan dewasa dapat mencapai ukuran
18,5 cm. Abdomennya berbentuk segitiga (meruncing pada jantan dan melebar
pada betina), tereduksi dan melipat ke sisi ventral karapas. Kedua sisi muka
karapas tedapat 9 buah duri yang disebut sebagai duri marginal. Duri marginal
pertama berukuran lebih besar daripada ketujuh duri belakangnya, sedangkan duri
marginal ke-9 yang terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar. Kaki
rajungan berjumlah 5 pasang, pasangan kaki pertama berubah menjadi capit
pasangan kaki jalan kelima berfungsi sebagai pendayung atau alat renang,
sehingga sering disebut sebagai kepiting renang (swimming crab). Kaki renang pada rajungan betina juga berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur
(Oemarjati dan Wisnu 1990).
Morfologi rajungan secara umum berbeda dengan kepiting bakau.
Rajungan memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih
panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir
pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya
hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air
(Kasry 1996 dalam DKP 2004).
Ukuran dan warna jantan berbeda dengan betina. Rajungan jantan
berukuran lebih besar dan berwarna biru serta terdapat bercak-bercak putih,
sedangkan rajungan betina berwarna hijau kecoklatan dengan bercak-bercak putih
kotor. Rajungan biasanya hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai
berlumpur, hutan bakau, batu karang atau terkadang dapat dijumpai sedang
berenang ke permukaan laut. Rajungan dewasa memakan mollusca, crustacea,
ikan atau bangkai pada malam hari. Larva rajungan bersifat planktonik,
berkembang menjadi dewasa melalui stadia zoea, megalopa dan rajungan dewasa (Oemarjati dan Wisnu 1990).
Menurut BBPMHP (1995) jenis daging rajungan digolongkan menjadi tiga
tingkatan mutu, yaitu:
(1) Mutu 1 (daging super/jumbo) adalah daging badan yang terletak di bagian
bawah (berhubungan dengan kaki renang) berbentuk gumpalan besar
berwarna putih.
(2) Mutu 2 (daging reguler) adalah daging badan yang berupa serpihan-serpihan,
terletak disekat-sekat rongga badan berwarna putih.
(3) Mutu 3 (daging merah/clawmeat) adalah daging rajungan yang berada di kaki dan capit, berwarna putih kemerahan.
2.2 Komposisi Kimia Rajungan
Daging kepiting dan rajungan memiliki nilai gizi yang tinggi. Berdasarkan
kandungan lemaknya, hasil perikanan (termasuk kepiting dan rajungan) dapat
2-3%), berlemak medium (2-5%) dan berlemak tinggi dengan kandungan lemak
6-10%. Rajungan, oyster, udang, ikan mas, ekor kuning, lemuru dan salmon
termasuk golongan berlemak medium (Winarno 1993). Hal ini dapat dilihat dari
hasil analisis kimia daging rajungan antara jantan dan betina (BBPMHP 1995).
Komposisi kimia daging rajungan antara jantan dan betina dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia daging rajungan jantan dan betina
Jenis komoditi Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%)
Rajungan jantan 16,85 0,10 78,78 2,04
Rajungan betina 16,17 0,35 81,27 1,82
Sumber: BBPMHP (1995)
2.3 Lemak
Lemak merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air tetapi dapat
diekstraksi dengan pelarut non polar. Senyawa organik ini terdapat dalam semua
sel dan berfungsi sebagai sumber energi, komponen struktur sel, sebagai simpanan
bahan bakar metabolik, sebagai komponen pelindung dinding sel, dan juga
sebagai komponen pelindung kulit vertebrata (Girindra 1987).
Apabila ditinjau dari sudut nutrisi, lemak merupakan sumber kalori
penting di samping berperan sebagai pelarut berbagai vitamin. Definisi lain lemak
adalah suatu molekul yang memiliki rantai alifatik hidrokarbon panjang sebagai
struktur utamanya, dapat bercabang, dapat membentuk cincin karboksilat, dan
dapat mengandung rantai tak jenuh (unsaturated). Lemak yang dioksidasi secara sempurna dalam tubuh menghasilkan 9,3 kalori lemak per 1 gram (Ketaren 1986).
Lemak juga berfungsi sebagai penghasil asam lemak esensial (essensial
fatty acid = EFA). Asam lemak esensial merupakan asam lemak yang tidak dapat
dibentuk tubuh dan harus tersedia dari luar (berasal dari makanan). Jenis asam
lemak esensial yang memegang peranan penting bagi tubuh adalah oleat, linoleat,
dan linolenat. Ketiganya mengandung ikatan rangkap (dua atau lebih) termasuk ke
2.4 Asam Lemak
Asam lemak merupakan senyawa pembangun berbagai lipida, termasuk
lipida sederhana, fosfogliserida, glikolipida, sfingolipid, ester kolesterol, lilin dan
lain-lain, dan telah diisolasi lebih dari 70 macam asam lemak dari berbagai sel dan
jaringan berupa rantai hidrokarbon dengan ujunganya berupa gugus hidroksil
(Girindra 1987).
Asam lemak dapat digolongkan berdasarkan tingkat kejenuhan, yaitu asam
lemak jenuh (saturated fatty acid/SAFA) dan asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acid). Pembagian ini penting karena asam lemak jenuh mempunyai titik cair yang lebih tinggi dibandingkan asam lemak tidak jenuh.
Adapun asam lemak yang paling umum dijumpai adalah laurat, miristat, palmitat,
dan stearat (Suharjo dan Kusharto 1987).
Asam lemak tak jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam
lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid =MUFA). Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh
majemuk. Asam lemak tak jenuh umumnya terdapat dalam bentuk cis, sedangkan bentuk trans banyak terdapat pada lemak susu ruminansia pada hewan terestrial dan lemak yang telah dihidrogenasi (Muchtadi et al. 1993). Perbedaan ikatan kimia antar asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dapat menyebabkan
terjadinya perbedaan sifat kimia dan fisik, diantaranya asam lemak jenuh dapat
meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Semakin panjang rantai karbon dan
semakin banyak jumlah ikatan rangkapnya, maka semakin besar kecenderungan
untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Berbagai jenis asam lemak tak
jenuh (unsaturated fatty acid) (O’Keefe 2008); (1) Asam lemak n-3 (omega-3)
Bentuk umum dari omega-3 adalah asam eikosapentaenoat, asam
dokosaheksaenoat, dan asam alpha-linolenat yang membantu membentuk EPA
dan DHA. Omega-3 dapat dihasilkan dari minyak ikan, terdiri dari rantai panjang
dari asam linolenat.
(a) Asam α-linolenat (18:3n-3)
tubuh tumbuhan oleh desaturasi ∆12 dan ∆15 asam oleat. Asam α-linolenat berperan sebagai prekursor metabolik untuk menghasilkan asam lemak n-3 pada
hewan. Asam lemak ini dapat diperoleh dari daun tumbuhan dan komponen kecil
dari minyak biji.
(b) Asam eikosapentaenoat (20:5n-3)
Asam eikosapentaenoat (EPA) dapat dihasilkan oleh alga laut dan hewan
melalui desaturasi atau elongasi α-linolenat. Eikosapentaenoat adalah produk primer asam lemak minyak ikan (± 20-25 % berat) walaupun tidak dihasilkan oleh
ikan.
(c) Asam dokosapentaenoat (22:5n-3)
Asam dokosapentaenoat merupakan elongasi hasil EPA dan muncul di
banyak lipid laut. Asam DPA dapat diubah menjadi DHA lewat tiga langkah
melibatkan desaturasi ∆6 pada hewan.
(d) Asam dokosaheksaenoat (22:6n-3)
Asam dokosaheksaenoat dihasilkan oleh alga laut dan komponen primer
minyak ikan (± 8-20 % berat). Produksi DHA pada hewan berasal dari asam
linolenat terjadi melalui proses desaturasi/elongasi α-linolenat menjadi 24:5n-3. (2) Asam lemak n-6 (omega-6)
Omega-6 umumnya ditemukan pada tanaman. Beberapa jenis asam lemak
omega-6 yaitu:
(a) Asam linoleat (18:2n-6)
Asam linoleat tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia
(Belitz et al. 2009). Asam linoleat dan α-linolenat adalah prekursor dalam sintesa PUFA. Asam linoleat diproduksi dari tanaman dan secara khusus banyak
dikandung pada seed oil. Walaupun alam memproduksi asam linoleat setara
α-linolenat, namun dapat ditemukan dalam cadangan makanan.
(b) Asam γ-linolenat (18:3n-6)
Asam γ-linolenat (GLA) diproduksi pada hewan dan tumbuhan rendah
melalui desaturasi ∆6 asam linoleat. Pada hewan, asam linolenat didesaturasi oleh
(c) Asam dihomo-γ-linolenat (20:3n-6)
Elongasi produk asam linolenat, dihomo-γ-linolenat (DGLA) adalah komponen terkecil fosfolipid hewan. Dihomo-γ-linolenat berperan sebagai prekursor pembentukan asam lemak esensial asam arakhidonat.
(d) Asam arakhidonat
Asam arakhidonat merupakan hasil desaturasi dan elongasi asam linolenat
pada hewan. Asam arakhidonat diproduksi pada alga laut. Asam arakhidonat
merupakan asam lemak esensial sebagai prekursor untuk eikosanoid.
(e) Asam dokosatetraenoat (22:4n-6)
Asam lemak dokosatetraenoat merupakan hasil elongasi langsung asam
arakhidonat dan terdapat sedikit di jaringan.
(3) Asam lemak n-9 (omega-9)
Asam lemak omega-9 juga tergolong ke dalam jenis asam lemak
non-esensial, yaitu asam lemak yang dapat disintesa oleh tubuh.
(a) Asam oleat (18:1n-9)
Asam oleat merupakan produk desaturasi ∆9 asam stearat dan diproduksi
pada tumbuhan, hewan dan bakteri. Asam oleat adalah asam lemak tak jenuh yang
paling umum dan merupakan prekursor untuk diproduksi sebagian besar PUFA.
(b) Asam erukat (22:1n-9)
Asam erukat adalah asam lemak tak jenuh tunggal rantai panjang
ditemukan dalam tumbuhan. Asam erukat merupakan produk elongasi asam oleat.
2.5 Fungsi Asam Lemak
Asam lemak merupakan suatu asam monokarboksilat dengan rantai yang
panjang. Rumus umum asam lemak adalah RCOOH. Gugus R pada asam lemak
menunjukkan suatu rantai hidrokarbon. Setiap gugus –OH dari gliserol beraksi dengan gugus –COOH dari asam lemak membentuk sebuah molekul lemak (Girindra 1987).
Asam linolenat (18:3 ω-3) merupakan asam lemak esensial, karena dibutuhkan tubuh namun tubuh tidak dapat mensintesisnya. Turunan dari asam
linolenat adalah EPA dan DHA. Ikan dapat mengubah asam linolenat menjadi
EPA dan DHA, sejalan dengan hal tersebut perubahan asam linolenat menjadi
Asam lemak DHA terbukti berpengaruh terhadap retina mata hewan
percobaan. Komponen asam lemak pada membran sel otak dan retina berpengaruh
terhadap fluiditas dan sifat-sifat yang berhubungan dengan aktivitas penglihatan
dan reseptor sel saraf serta inisiasi dan transimisi sel syaraf. Dalam tubuh, asam
lemak esensial digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural dari membran
sel dan untuk membuat bahan-bahan misalnya hormon yang disebut eikosanoid.
Eikosanoid membantu mengatur tekanan darah, proses pembekuan darah, lemak
dalam darah dan respon imun terhadap luka dan infeksi dan risiko kanker
(Haliloglu et al. 2004).
Kandungan EPA berperan dalam mencegah penyakit degeneratif sejak
janin dan pada saat dewasa. Saat janin dalam kandungan, EPA sangat diperlukan
dalam pembentukan sel-sel pembuluh darah dan jantung. Saat dewasa berfungsi
menyehatkan darah dan jantung, mekanisme pembuluhnya dan kerja jantung
pengatur sirkulasi. Defisiensi n-3 dapat berisiko menderita penyakit pembuluh
darah dan jantung. Adapun fungsi asam lemak esensial yang terdapat dalam tubuh
sebagai fosfolipid (Muchtadi et al. 1993) antara lain memelihara integritas dan fungsi membran seluler dan subseluler, mengatur metabolisme kolesterol,
merupakan prekursor dari senyawa yang memiliki fungsi pengatur fisiologis
dalam tubuh dan dibutuhkan pertumbuhan dan perkembangan bayi.
2.6 Kolesterol
Kolesterol merupakan bagian yang penting dalam sel dan jaringan tubuh,
otak, syaraf, ginjal, limpa, hati dan kulit yang disebut “endogenous cholesterol”
sedangkan “exogenous cholesterol” adalah kolesterol yang berasal dari bahan makanan atau dietary cholesterol, bersumber dari kuning telur, ikan, udang, otak dan hati sapi serta lemak hewan lainnya. Konsentrasi total kolesterol dalam
plasma darah 180-250 mg/100 ml (Suharjo dan Kusharto 1987).
Kolesterol merupakan kelompok sterol, suatu zat yang termasuk golongan
lipid. Kolesterol merupakan substrat untuk pembentukan beberapa zat esensial,
yaitu asam empedu yang dibuat oleh hati, hormon-hormon steroid, vitamin D, dan
pembentukan semua membran sel (Freeman dan Junge 2005). Kolesterol di dalam
tubuh mempunyai fungsi ganda, yaitu di satu sisi diperlukan dan di sisi lain dapat
di dalam hati. Bahan bakunya diperoleh dari karbohidrat, protein atau lemak.
Jumlah yang disintesis tergantung pada kebutuhan tubuh dan jumlah yang
diperoleh dari makanan (Almatsier 2006).
Ada tiga jenis lipoprotein yang dapat mengangkut kolesterol dan
trigliserida lain yaitu HDL, LDL dan VLDL. Orang yang terserang jantung
koroner umumnya memiliki tingkat LDL/VLDL yang lebih tinggi dan HDL yang
lebih rendah. Tingkat LDL dan VLDL yang tinggi akan menyebabkan terjadinya
deposisi kolesterol lemak, sisa-sisa sel rusak dan komponen lainnya di sepanjang
pembuluh darah sehingga membentuk “kerak“ yang menyebabkan penyempitan
pembuluh darah. Berkaitan dengan masalah ini, omega-3 dapat menurunkan kadar
lipida (kolesterol) tersebut dalam serum darah, yaitu dengan jalan menghambat
pembentukan protein dan trigliserida dalam VLDL/LDL sehingga VLDL/LDL
dan kolesterol serum darah menjadi rendah pula. Kolesterol bukan lemak tetapi
keberadaannya dalam pangan dan tubuh sering kali berkaitan. Semakin banyak
konsumsi lemak jenuh akan mempunyai risiko tinggi mengalami tinggi kolesterol
LDL atau sebaliknya (Freeman dan Junge 2005). Kandungan kolesterol berbagai
jenis makanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan kolesterol pada makanan (mg/100g)
No. Jenis makanan Kolesterol (mg/100g)
1. Fresh water clam 125
Sumber : Okuzumi dan Fujii (2000)
2.7 Pengukusan
Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem
jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Tujuan proses
Misalnya, pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk
menonaktifkan enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, citra rasa, atau
nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan. Pengukusan sebelum
pengalengan mempunyai beberapa fungsi, termasuk pelayuan jaringan sebelum
penutupan kaleng dan menonaktifkan enzim (Harris dan Karmas 1989).
Pengukusan tradisional dilakukan menggunakan air panas atau uap panas
sebagai medium penghantar panas. Faktor yang mempengaruhi susut gizi selama
pengukusan dengan air adalah faktor yang mempengaruhi pemindahan massa
yaitu luas permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air.
Selain itu ada beberapa metode pengukusan yang sering digunakan, yaitu
pengukusan dengan uap panas, pengukusan dengan gelombang mikro dan
pengukusan dengan gas panas (Harris dan Karmas 1989).
Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi zat gizi larut air yang
lebih besar dibandingkan dengan pengukusan menggunakan air karena adanya
pemanasan yang hampir sama di seluruh bagian bahan. Pada pengukusan
konvensional, bahan pada bagian tepi akan mengalami pengukusan yang
berlebihan, sedangkan pada bagian tengah hanya mengalami pengukusan yang
sedikit (Harris dan Karmas 1989).
Pengukusan dengan gelombang mikro telah diterapkan untuk produk
makanan. Metode ini dipakai karena energi gelombang mikro tidak
mempengaruhi proses degradasi komponen makanan secara langsung selain
melalui peningkatan suhu. Walaupun metode ini memiliki retensi zat gizi yang
lebih besar dibandingkan dengan metode pengukusan menggunakan air panas dan
uap panas, tetapi biaya yang dibutuhkan sangat mahal (Harris dan Karmas 1989).
Pengukusan dengan gas panas juga telah dikembangkan, terutama untuk
mengurangi efluen yang timbul selama pengukusan. Meskipun digunakan suhu
sampai 121 °C, suhu produk tidak akan melampaui 100 °C karena terjadi
penguapan cairan di permukaan. Produk yang dikukus menggunakan air panas
atau gas panas tidak memiliki perbedaan nyata dari kandungan gizinya
2.8 Kromatografi Gas
Analisis asam lemak dalam suatu bahan pangan dapat dilakukan
menggunakan gas chromatography (GC). Penerapan kromatografi gas pada bidang industri antara lain obat-obatan dan farmasi, lingkungan hidup, industri
minyak, kimia klinik, pestisida dan residunya serta pangan. Di bidang pangan,
kromatografi gas digunakan untuk menentukan kadar antioksidan dan bahan
pengawet makanan serta untuk menganalisis sari buah, keju, aroma makanan,
minyak, produk susu dan lain-lain (Fardiaz 1989). Kromatografi gas dalam
analisis pangan memiliki berbagai keuntungan (McNair dan Bonelli 1988), antara
lain:
(1) Kecepatan
Seluruh analisis dapat diselesaikan dalam waktu 23 menit. Penggunaan gas
sebagai fase gerak mempunyai keuntungan, yaitu cepat tercapainya
kesetimbangan antara fase gerak dan fase diam, dan dapat digunakan kecepatan
gas pembawa yang tinggi.
(2) Resolusi (daya pisah)
Daya resolusi kromatografi gas sangat tinggi yaitu dapat memisahkan
komponen yang sukar dipisahkan dengan cara lain, walaupun dengan titik didih
yang hampir sama, karena kromatografi gas menggunakan fase cair yang selektif.
(3) Analisis kualitatif
Waktu retensi atau waktu tambat adalah waktu sejak penyuntikan sampai
maksimum puncak. Hal ini dengan menggunakan aliran yang tepat dan
mengendalikan suhu, waktu tambat tersebut cukup singkat.
(4) Kepekaan
Kromatografi gas memiliki kepekaan yang tinggi. Keuntungan tambahan
dari kepekaan yang tinggi ini adalah sampel yang diperlukan hanya sedikit untuk
menganalisis secara lengkap.
(5) Kesederhanaan
Kromatografi gas mudah dijalankan dan mudah dipahami. Penafsiran data
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2011 di
Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Preservasi
dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan,
Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Terpadu Institut
Pertanian Bogor, Baranangsiang, Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama,
yaitu daging rajungan yang berasal dari Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat
dan bahan-bahan untuk perhitungan rendemen, proses pengukusan dan analisis
proksimat meliputi akuades, HCl, NaOH, air, katalis selenium, H2SO4, H3BO3 dan
pelarut heksana, sedangkan bahan yang digunakan untuk analisis asam lemak dan
kolesterol adalah NaOH 0,5 N, BF3 16%, standar internal, NaCl jenuh, isooktan,
Na2SO4 anhidrat, etanol, petroleum benzen, kloroform, acetic anhidrid, H2SO4
pekat dan akuades. Bahan untuk analisis histologi antara lain larutan Bouin’s, etanol, xylol, parafin, pewarna haematoxilin dan eosin.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain alat bedah,
penggaris, mortar dan timbangan analitik (perhitungan rendemen) sedangkan
untuk analisis proksimat digunakan cawan porselen, oven, desikator, kertas saring,
kapas, tanur, pemanas, tabung reaksi, kompor listrik, tabung Kjeltec, erlenmeyer,
labu lemak, selongsong lemak, tabung soxhlet dan buret. Alat yang digunakan
untuk proses pengukusan antara lain panci, termometer, stopwatch dan kompor gas. Alat yang digunakan untuk analisis asam lemak antara lain tabung bertutup
glass 100 ml, rak tabung, tabung sentrifuge, pengaduk, vortex, pipet mikro, pipet, bulp, hotplate, tabung berskala, kardus, lemari, spektrofotometri dan sentrifuge. Alat yang digunakan untuk histologi jaringan antara lain mikrotom, mikroskop
cahaya merk Olympus CH30 dan kamera digital merk canon A 1000 IS.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini diawali dengan melakukan survei bahan baku ke lapangan
untuk memperoleh informasi tentang asal sampel dan cara penangkapan rajungan.
Pada rajungan yang belum dan telah dikukus dilakukan perhitungan rendemen,
analisis proksimat, asam lemak, kolesterol dan histologi. Diagram alir metode
penelitian disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram alir metode penelitian Daging
Pengukusan rajungan (suhu 82 °C; 28 menit)
Rajungan segar Rajungan
Preparasi
Rendemen
Cangkang
Pengujian:
1. Analisis proksimat 2. Analisis asam lemak 3. Analisis kolesterol
Jeroan
3.3.1 Persiapan sampel
Rajungan yang diperoleh berasal dari hasil tangkapan nelayan Desa
Gebang Mekar, Cirebon, dibawa menggunakan coolbox dan diberi es dengan dilapisi plastik untuk menjaga kesegarannya. Rajungan diangkut ke Bogor dengan
perjalanan lebih kurang enam jam. Preparasi sampel diawali dengan pencucian
rajungan menggunakan air bersih. Hal ini dilakukan untuk membersihkan kotoran
yang melekat pada rajungan. Kemudian rajungan diukur rendemen(daging,
cangkang dan jeroan) dan morfometriknya menggunakan timbangan digital dan
penggaris dengan ukuran 30 cm. Penentuan panjang rajungan dilakukan dengan
mengukur bagian cangkang dari kiri ke kanan secara dorsal dari ujung duri
terpanjang, sedangkan penentuan tinggi dengan cara mengukur bagian ujung
cangkang rajungan dari atas ke bawah bagian cangkang yang tertinggi.
3.3.2 Proses pengukusan
Penelitian dilakukan dengan dua perbedaan, yaitu rajungan segar dan
rajungan yang telah dikukus. Rajungan yang akan dikukus, dimasukkan ke dalam
panci pengukus berisi air yang telah dipanaskan hingga suhu 82 0C selama
28 menit, setelah itu rajungan didinginkan dengan cara dibiarkan pada suhu ruang
selama 30 menit (Purwaningsih et al. 2005). Sebelum dan sesudah proses pengukusan selalu dilakukan penimbangan untuk mengetahui perubahan berat
rajungan.
Rajungan segar dan kukus kemudian dipreparasi dengan cara memisahkan
daging rajungan dari cangkang dan jeroannya. Daging rajungan dari seluruh
bagian tubuh digabungkan dan dihaluskan dengan mortar. Daging rajungan segar
dan kukus yang telah dipreparasi dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat
serta diberi kode masing-masing.
3.4 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perhitungan
rendemen rajungan segar dan kukus, analisis proksimat, analisis asam lemak,
analisis kadar kolesterol serta analisis histologi jaringan pada daging rajungan
3.4.1 Rendemen
Metode yang digunakan untuk perhitungan rendemen ini berdasarkan
persentase bobot bagian tubuh rajungan dari bobot rajungan awal. Rendemen
daging rajungan dihitung sebagai berikut:
3.4.2 Analisis proksimat (AOAC 1995)
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
mengetahui komposisi kimia pada suatu bahan. Analisis proksimat meliputi
analisis kadar air, abu, protein, dan lemak.
(a) Analisis kadar air
Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen ke dalam oven pada suhu 102-105 °C. Cawan
tersebut diletakkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian
ditimbang. Daging rajungan ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam
cawan. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven 102-105 °C
selama 3-5 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan
sampai dingin kemudian ditimbang. Kadar air pada daging rajungan dihitung
sebagai berikut:
Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
(b) Analisis kadar abu
Cawan porselen dengan sampel yang telah dikeringkan kemudian
dipanaskan ke dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan porselen
tersebut dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600 °C selama 6 jam. Cawan
porselen didinginkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Kadar
abu pada daging rajungan dihitung sebagai berikut: % Kadar air = B - C x 100%
B - A
Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
(c) Analisis kadar protein
Pengukuran kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode
Kjeldahl. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis kadar protein terdiri dari tiga
tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.
(1) Tahap destruksi
Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan
ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke
dalam alat pemanas bersuhu 410 0C dan ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi
dilakukan sampai larutan menjadi bening.
(2) Tahap destilasi
Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan
akuades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan
ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.
Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom
cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.
(3) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan
pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Kadar protein pada daging
rajungan dihitung sebagai berikut:
% Kadar abu = C – A x 100% B - A
% Nitrogen = (ml HCl daging – ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14 x 100% mg daging rajungan
(d) Analisis kadar lemak
Daging rajungan sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam kertas saring yang
disumbat dengan kapas dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak kemudian
dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang dan disambungkan
dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor
tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada
alat destilasi soxhlet dan dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan
pemanas selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi
hingga semua pelarut lemak menguap. Saat destilasi pelarut akan tertampung di
ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak
selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C. Kemudian
labu didingingkan dalam desikator. Kadar lemak pada daging rajungan dihitung
sebagai berikut:
Keterngan: W1 = Berat sampel daging rajungan (gram)
W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
3.4.3 Analisis asam lemak (AOAC 1984)
Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip mengubah asam lemak
menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat
kromatografi (Fardiaz 1989). Hasil analisis akan tertekan dalam suatu lembaran
yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukkan melalui beberapa puncak pada
waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam lemak.
Sebelum melakukan injeksi metil ester, terlebih dahulu lemak diekstraksi dari
bahan lalu dilakukan metilasi sehingga terbentuk metil ester dari masing-masing
asam lemak yang didapat.
Analisis asam lemak dilakukan melalui tahap ekstraksi, metilasi, injeksi,
dan pembacaan sampel dengan kromatogram.
% Kadar lemak = W3– W2 x 100%
(a) Ekstraksi
Analisis asam lemak dilakukan dengan metode kromatografi gas. Tahap
pertama dilakukan ekstraksi soxhlet untuk memperoleh lemak.
(b) Pembentukan metil ester (metilasi)
Tahap metilasi dimaksudkan untuk membentuk senyawa turunan dari
asam lemak menjadi metil esternya. Asam-asam lemak diubah menjadi ester-ester
metil atau alkil yang lainnya sebelum disuntikkan ke dalam kromatografi gas
(Fardiaz 1989).
Tahap ini dilakukan dengan menimbang 15-30 mg contoh lemak dalam
tabung bertutup teflon. Kemudian 1 ml NaOH 0,5 N ditambahkan dalam metanol
dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2
ml BF3 16% dan 5 mg/ml standar internal, dipanaskan kembali selama 20 menit.
Kemudian didinginkan dan ditambahkan 2 ml NaCl jenuh serta 1 ml isooktan,
dikocok dengan baik. Lapisan isooktan dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke
dalam tabung yang berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat, dibiarkan 15 menit. Fase cair
dipisahkan dan selanjutnya diinjeksikan ke kromatografi gas.
(c) Identifikasi dengan kromatografi gas
Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada
alat kromatografi gas.
(d) Analisis komponen asam lemak, sebagai FAME
Ratio : 1 : 8
Volume injeksi : 1 µl
Kecepatan linier : 20 cm/sec
Pelarut sebanyak 1 µ l diinjeksikan ke dalam kolom. Waktu retensi dan
puncak masing-masing komponen diukur. Waktu retensinya dibandingkan dengan
standar untuk mendapatkan informasi mengenai jenis dari komponen-komponen
dalam contoh. Contoh dan standar dilakukan secara terpisah, tidak ada
penambahan larutan standar ke dalam contoh. Jumlah kandungan komponen
dalam contoh dihitung sebagai berikut:
Analisis kadar kolesterol dilakukan dengan menggunakan metode
Liebermann - Buchard Colour Reaction. Sampel ditimbang sebanyak ± 0,1 g dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge, ditambah dengan 8 ml (etanol :
petroleum benzen (3 : 1)) serta diaduk sampai homogen. Pengaduk dibilas dengan
2 ml larutan etanol : petroleum benzen (3 : 1) kemudian disentrifuge selama
10 menit (4000 rpm). Supernatan dituang ke dalam beaker glass 100 ml dan diuapkan di penangas air. Residu diuapkan dengan kloroform (sedikit demi
sedikit), sambil dituangkan ke dalam tabung berskala (sampai volume 5 ml),
ditambahkan 2 ml acetic anhidrid dan ditambahkan juga 0,2 ml H2SO4 pekat atau
2 tetes. Selanjutnya dicampur dengan vortex dan dibiarkan di tempat gelap selama
15 menit. Lalu dibaca absorbansinya pada spektrofotometri dengan panjang
gelombang (λ) 420 nm dan standar yang digunakan 0,4 mg/ml. Kadar kolesterol
dalam daging rajungan dihitung sebagai berikut:
Kadar kolesterol = abs contoh x konsentrasi standar
3.4.5 Analisis histologi
Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi secara mikroskopis
dengan menggunakan mikroskop untuk mengamatinya. Tahap-tahap yang
dilakukan dalam analisis histologi daging rajungan segar dan kukus terdiri dari
enam tahap, yaitu penentuan jaringan yang akan diamati, fiksasi atau pengawetan
jaringan, perlakuan jaringan, pemotongan jaringan, pewarnaan jaringan dan
pengamatan dibawah mikroskop.
(1) Tahap penentuan jaringan
Penentuan jaringan daging rajungan (Portunus pelagicus) yang digunakan adalah jenis daging jumbo yang segar dan kukus. Daging ini langsung
dimasukkan ke dalam bahan fiksatif pada wadah yang berbeda dan diberi label.
(2) Tahap fiksasi atau pengawetan jaringan
Pembuatan preparat sendiri dimulai dengan fiksasi selama 24 jam dalam
larutan Bouin’s. Setelah itu, larutan fiksatif dibuang dan direndam dalam etanol 70% selama 24 jam.
(3) Tahap perlakuan jaringan
Tahap perlakuan jaringan terdiri dari 5 tahap yaitu dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding dan blocking. Proses dehidrasi dilakukan dengan perendaman jaringan rajungan sebanyak lima kali dalam larutan etanol dengan
konsentrasi masing-masing 80%, 90%, 95%, 95% dan 100% selama 2 jam kecuali
untuk konsentrasi 100% selama satu malam.
Proses clearing dilakukan dengan cara bahan dipindahkan ke dalam wadah berisi larutan etanol 100% baru selama satu jam. Setelah itu, bahan dipindahkan
ke dalam larutan etanol-xylol (1:1), xylol I, xylol II, xylol III selama setengah
jam.
Proses impregnasi dilakukan dengan bahan yang dipindahkan ke dalam
larutan xylol-parafin (1:1) selama 45 menit dan dimasukkan ke dalam oven
dengan suhu 65-70 oC. Pergantian parafin dilakukan setiap 45 menit sekali
sebanyak 3 kali pergantian. Proses ini dinamakan embedding.
Proses blocking dilakukan dengan memindahkan larutan parafin ke dalam cetakan dan dilakukan penyusunan jaringan di dalam cetakan. Cetakan parafin
(4) Tahap pemotongan jaringan
Setelah proses blocking selesai, dilakukan penyayatan dengan mikrotom Yamoto RV-240 putar setebal 7-8 µ m. Hasil sayatan kemudian direkatkan pada
gelas obyek.
(5) Tahap pewarnaan jaringan
Tahap pewarnaan jaringan dilakukan pada gelas objek yang direndam
dalam larutan xylol I, xylol II, etanol 100% I, etanol 100% II, etanol 95%, etanol
90%, etanol 80%, etanol 70% dan etanol 50% masing-masing selama tiga menit.
Setelah itu, gelas objek dicuci menggunakan air bersih yang mengalir.
Tahap selanjutnya pewarnaan dilakukan dengan haematoxylin selama
tujuh menit dan eosin selama satu menit. Kemudian dilakukan proses dehidrasi
kembali dengan gelas obyek yang direndam ke dalam larutan etanol 50%, etanol
70%, etanol 85%, etanol 90%, etanol 100% I, etanol 100% II selama dua menit
serta dilanjutkan perendaman dalam larutan xylol I dan xylol II selama 2 menit.
Penutupan dengan pemberian entellan atau canada balsam setelah proses pewarnaan selesai dilakukan pada gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup.
Setelah itu dilakukan pemberian label dan dibiarkan semalam agar kering.
(6) Tahap pengamatan dibawah mikroskop
Keesokan harinya jaringan dapat diamati dibawah mikroskop. Proses
pemfotoan obyek dilakukan dengan mikroskop cahaya merk Olympus CH30 dan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Rajungan
Bahan baku rajungan merupakan bahan baku yang diambil dari perairan
Cirebon, Jawa Barat. Bahan baku yang digunakan merupakan rajungan segar dan
rajungan yang diberi pelakuan pengukusan.
Rajungan biasanya hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai
berlumpur, hutan bakau, batu karang atau terkadang dapat dijumpai sedang
berenang ke permukaan laut (Oemarjati dan Wisnu 1990). Ukuran dan berat
rajungan (Portunus pelagicus) dari perairan Cirebon dapat dilihat pada Tabel 3. Data ukuran dan berat rajungan disajikan pada Lampiran 3.
Tabel 3 Ukuran dan berat rajungan (Portunus pelagicus)
Keterangan: sampel 30 ekor rajungan
Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh data mengenai ukuran dan berat
rajungan (Portunus pelagicus) yang terdiri dari beberapa parameter yaitu panjang, lebar dan berat. Rajungan memiliki panjang rata-rata 11,20 cm, lebar rata-rata
5,17 cm dan berat rata-rata 95,1 g. Rajungan mempunyai berat yang bervariasi
dapat tergantung dari karapas. Umumnya induk rajungan yang matang gonad
berukuran lebar karapas 10-15 cm dengan bobot 200-250 g (Susanto et al. 2005 dalam Suharyanto 2007). Perbedaan ukuran dan berat rajungan dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan. Menurut Metusalach (2007), pertumbuhan suatu biota
dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu habitat, musim,
suhu perairan, jenis makanan yang tersedia dan faktor lingkungan lainnya,
sedangkan faktor internalnya yaitu umur, ukuran, jenis kelamin, kebiasaan makan
dan faktor biologis lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, rajungan ini ditangkap pada
saat kondisi selombang laut tenang pada pukul 08.00 WIB dan didaratkan di
No. Parameter Satuan Nilai
1 Panjang cm 11,20 ± 0,89
2 Lebar cm 5,17 ± 0,49
pedagang pengumpul pukul 15.00 WIB. Rajungan ditangkap menggunakan alat
tangkap berupa jaring, yaitu alat tangkap yang biasanya digunakan untuk
menangkap ikan, kepiting, rajungan dan udang. Proses penangkapan rajungan
dilakukan setiap hari oleh nelayan.
4.2 Rendemen
Rendemen merupakan persentase bagian tubuh pada bahan baku yang
dapat dimanfaatkan, semakin tinggi nilai rendemen suatu bahan baku maka
semakin tinggi nilai ekonomis suatu bahan. Rajungan yang digunakan pada
penelitian ini memiliki rendemen yang berbeda berdasarkan perlakuan preparasi
dalam keadaan segar dan preparasi setelah pengukusan. Rendemen rajungan
berupa daging, jeroan dan cangkang. Nilai rendemen rajungan segar dan kukus
dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Rendemen rajungan segar yang terdapat di Desa Gebang Mekar, Cirebon
berdasarkan Gambar 3 pada cangkang sebesar 51,62%, daging sebesar 35,77%
dan jeroan sebesar 12,61%. Umumnya rendemen total daging rajungan/kepiting
sebesar 25-30% dari berat utuhnya dan biasanya rendemen ini juga dipengaruhi
oleh kesegaran bahan baku serta cara pengambilan daging (BBPMHP 1995).
Gambar 3 Rendemen rajungan segar
Rajungan memiliki nilai rendemen yang paling tinggi pada cangkang.
Cangkang atau karapas rajungan lebih melebar ke samping daripada cangkang
kepiting yang lebih bulat (Juwana dan Kasijian 2000). Cangkang rajungan dapat
dimanfaatkan sebagai sumber kalsium yang telah banyak diaplikasikan pada
berbagai produk yaitu kerupuk, kitosan dan sebagainya. cangkang
51,62% daging
Cangkang rajungan merupakan hasil samping dari pengolahan rajungan.
Multazam (2002) menyatakan bahwa dalam satu ekor rajungan dengan bobot
tubuh 100-350 g, terdapat cangkang sekitar 51-177 g. Cangkang rajungan
mempunyai kandungan mineral yang tinggi, terutama kalsium (19,97%) dan
fosfor (1,81%).
Limbah rajungan meliputi kepala, kulit, ekor dan kaki pada umumnya
mencapai 25-50% dari berat rajungan (Tangko dan Rangka 2009). Limbah ini
lebih tinggi daripada limbah udang yang terdiri dari kepala dan kulit mencapai
25-30% dari berat udang (Sudibyo 1991 dalam Kencana 2009).
Gambar 4 Rendemen rajungan kukus
Gambar 4 menunjukkan rajungan yang diberi perlakuan pengukusan
mengalami penyusutan sebesar 14,99%. Proses pengukusan dapat mempengaruhi
penyusutan rendemen rajungan. Hal ini karena selama proses pengukusan akan
terjadi pengeluaran air dan zat-zat gizi lain misalnya vitamin dan mineral. Faktor
yang mempengaruhi susut gizi selama pengukusan dengan air adalah faktor yang
mempengaruhi pemindahan massa yaitu luas permukaan, konsentrasi zat terlarut
dalam air panas dan pengadukan air (Harris dan Karmas 1989).
4.3 Komposisi Kimia Daging Rajungan
Metode yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia dari suatu
bahan baku yaitu menggunakan analisis proksimat. Analisis proksimat adalah
suatu analisis untuk mengetahui kandungan gizi yang terdapat dalam suatu bahan
pangan. Komposisi kimia daging rajungan meliputi kadar air, abu, protein dan
lemak. Komposisi kimia rajungan segar dan kukus dapat dilihat pada Tabel 4.
Data komposisi kimia daging rajungan disajikan pada Lampiran 4. rajungan
kukus 85,01% Penyusutan
Tabel 4 Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus
Komposisi kimia rata-rata(%) Daging rajungan segar Daging rajungan kukus
Kadar air (bb) 78,47 75,43
Kadar abu (bk) 7,71 6,02
Kadar lemak (bk) 0,84 0,75
Kadar protein (bk) 68,09 66,63
Tabel 4 menunjukkan bahwa komposisi kimia daging rajungan segar
mengalami perubahan setelah dilakukan proses pengukusan. Proses ini dapat
tergantung pada suhu pengolahan dan luas permukaan produk.
Gambar 5 Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus
Gambar 5 menunjukkan proses pengolahan dengan pengukusan
menyebabkan penurunan komponen gizi yang terkandung dalam daging rajungan.
Komponen gizi pada daging rajungan juga dipengaruhi oleh musim, ukuran
rajungan, kematangan gonad, suhu dan ketersediaan bahan makanan
(Sudhakar et al. 2009).
4.3.1 Kadar air
Air merupakan komponen dasar dari bahan makanan terutama hasil
perikanan. Kandungan air dalam daging rajungan maupun ikan diperkirakan
sebesar 70-80% dari berat yang dapat dimakan. Kandungan air pada rajungan
terdapat dalam dua bentuk yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas yang tedapat
78,47
Keterangan: 1 = rajungan segar dan 2 = rajungan kukus
dalam ruang antar sel dan plasma, dapat melarutkan berbagai vitamin, garam
mineral dan senyawa-senyawa nitrogen tertentu. Air terikat merupakan
molekul-molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain, misalnya protein
(Winarno 2008).
Kadar air pada daging rajungan segar sebesar 78,47% sedangkan kadar air
pada daging rajungan setelah diberi perlakuan pengukusan menurun menjadi
75,43%. Kadar air rajungan segar tersebut tidak jauh berbeda dengan rajungan
asal Kepulauan Hainan sebesar 78,8% (Wu et al. 2010). Penurunan kadar air disebabkan oleh kadar air dalam bahan pangan yang berkurang selama proses
pengukusan. Bahan pangan selama proses pengolahan atau pengukusan
berlangsung dapat mengalami pengurangan kadar air terutama pada bahan pangan
hasil perikanan (Tanikawa 1985). Faktor yang mempengaruhi kecepatan
pengurangan kadar air selama pengukusan yaitu luas permukaaan, konsentrasi zat
terlarut dalam air panas dan pengadukan air (Harris dan Karmas 1989).
Penurunan kadar air yang terkandung pada produk akibat perlakuan
pengukusan disebabkan oleh terlepasnya molekul air dalam bahan. Hal ini karena
dengan semakin meningkatnya suhu maka jumlah rata-rata molekul air menurun
dan mengakibatkan molekul berubah menjadi uap dan akhirnya terlepas dalam
bentuk uap air (Winarno 2008).
4.3.2 Kadar abu
Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar
menjadi zat yang menguap. Penentuan kadar abu merupakan cara pendugaan
mineral bahan pangan secara kasar. Sebagian besar bahan makanan, sekitar 96 %
terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yang
juga dikenal sebagi zat anorganik (kadar abu). Dalam proses pembakaran,
bahan-bahan organik dalam makanan akan terbakar, sedangkan bahan-bahan
anorganik tidak terbakar, karena itulah disebut abu (Winarno 2008).
Kadar abu pada daging rajungan segar sebesar 7,71% dan menjadi 6,02%
setelah proses pengukusan. Kadar abu pada rajungan asal Perairan Cirebon ini
jauh lebih tinggi daripada rajungan asal Laut Mediterania sebesar 2,24% (Gokoglu
dan Yerlikaya 2003). Sebagian mineral akan terbawa bersama uap air yang keluar
yang terikat pada air akibat pemanasan (Winarno 2008). Proses tersebut
tergantung pada cara pengolahan, suhu pengolahan dan luas permukaan produk.
Mineral bersifat mantap dan tidak rusak karena pengolahan, namun pengolahan
dapat menyebabkan penyusutan mineral maksimal 3% pada bahan pangan (Harris
dan Karmas 1989).
Manusia memerlukan berbagai jenis mineral untuk metabolisme terutama
sebagai kofaktor dalam aktivitas-aktivitas enzim. Keseimbangan ion-ion mineral
di dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan pekerjaan enzim,
pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu transfer ikatan-ikatan penting
melalui membran sel dan pemeliharaan kepekaan otot dan saraf tehadap
rangsangan (Almatsier 2006).
4.3.3 Kadar lemak
Lemak merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air tetapi dapat
dieskstraksi dengan pelarut non polar. Senyawa organik ini terdapat dalam semua
sel dan berfungsi sebagai sumber energi, komponen struktur sel, sebagai simpanan
bahan bakar metabolik, sebagai komponen pelindung dinding sel dan juga sebagai
komponen pelindung kulit vertebrata (Girindra 1987).
Kadar lemak pada daging rajungan segar dari 0,84% menjadi 0,75%
setelah diberi perlakuan pengukusan. Kadar lemak pada rajungan segar tersebut
tidak jauh berbeda dengan rajungan asal Laut Mediterania sebesar 0,81%
(Gokoglu dan Yerlikaya 2003). Pemanasan akan mempercepat gerakan-gerakan
molekul lemak sehingga jarak antara molekul lemak menjadi besar dan akan
mempermudah proses pengeluaran lemak (Winarno 2008). Proses tersebut
dipengaruhi oleh suhu pengolahan dan lama pemanasan (Gurr 1992).
Fraksi lipida terdiri atas minyak/lemak, malam (wax), fosofolipida, serol,
hidrokarbon dan pigmen. Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak
kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah sebenarnya
(Winarno 2008). Beberapa fakor yang mempengaruhi keragaman komposisi
lemak antara lain spesies, musim penangkapan, letak geografis, tingkat
4.3.4 Kadar protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena zat
ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai
zat pembangun dan zat pengatur. Protein mengandung unsur C, H, O dan N yang
tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Lehninger 1990).
Kadar protein pada daging rajungan segar dari 68,09% menjadi 66,63%
setelah proses pengukusan. Kadar protein ini jauh lebih tinggi daripada rajungan
asal Laut Mediterania sebesar 21,54% (Gokoglu dan Yerlikaya 2003). Tingginya
kadar protein pada rajungan dipengaruhi oleh spesies, lingkungan dan makanan.
Metode pengukusan merupakan metode pemasakan rajungan yang umumnya
dilakukan oleh pengolah rajungan di Indonesia.
Protein daging bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah
(denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan (Georgiev et al. 2008). Pemanasan dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan
maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya adalah
denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi,
perubahan warna dan pemutusan ikatan peptida. Perlakuan pemanasan pada suatu
bahan pangan, menyebabkan protein terkoagulasi dan terhidrolisis secara
sempurna. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu
yang moderat (60-90 °C) selama satu jam atau kurang sehingga dapat
menurunkan kandungan protein (Winarno 2008).
4.3.5 Asam Lemak
Retention time adalah waktu sejak penyuntikan sampai mencapai puncak maksimum (McNair dan Bonelli 1988). Nilai asam lemak yang terdapat pada
daging rajungan segar dan kukus didapatkan dengan cara membandingkan
retention time standar asam lemak dengan retention time sampel yang diuji. Pada peak asam lemak sampel, dihasilkan nilai retention time yang mendekati dengan nilai retention time standar asam lemak. Nilai retention time asam lemak pada daging rajungan segar dan kukus dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6. Peak kromatografi gas asam lemak dan standar disajikan pada Lampiran 9-13.
Komposisi asam lemak yang terkandung dalam daging rajungan dapat dilihat pada
Tabel 5 Komposisi rata-rata asam lemak daging rajungan
Cis-11-eikosenoat (C20:1) 0,15 0,11 √
Erukat (C22:1n9) 0,04 0,04 √
Nervonat (C24:1) 0,04 0,02 √
Linolelaidat (C18:2n9t) 0,10 0,05 √
Linoleat (C18:2n6c) 0,84 0,91 √
Tabel 5 menunjukkan bahwa asam lemak yang terkandung dalam daging
rajungan terdiri dari asam lemak jenuh (SAFA), yaitu laurat (C12:0), miristat
(C14:0), palmitat (C16:0), stearat (C18:0), arakhidat (C20:0), behenat (C22:0) dan
lignoserat (C24:0). Asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA), yaitu palmitoleat
(C16:1), elaidat (C18:1n9t), oleat (C18:1n9c), cis-11-eikosenoat (C20:1), erukat
(C22:1n9) dan nervonat (C24:1). Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA), yaitu
linolelaidat (C18:2n9t), linoleat (C18:2n6c), γ-linolenat (C18:3n6), linolenat (C18:3n3), dihomo-γ-linolenat (C20:3n6), arakhidonat (C20:4n6), EPA (C20:5n3) dan DHA (C22:6n3). Keragaman komposisi asam lemak pada rajungan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies, pemberian panas, ketersediaan
pakan serta umur dan ukuran rajungan tersebut (Ozogul dan Ozogul 2005).
Variasi asam lemak pada organisme perairan juga dipengaruhi oleh pergantian
Perbedaan ikatan kimia antar asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh
dapat menyebabkan terjadinya perbedaan sifat kimia dan fisik, diantaranya asam
lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Semakin panjang
rantai karbon dan semakin banyak jumlah ikatan rangkapnya, maka semakin besar
kecenderungan untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah
(O’Keefe 2008). Selain itu, proses pemanasan dengan pengukusan dapat
menyebabkan lipida mengalami hidrolisis dan menghasilkan asam-asam lemak
bebas. Proses pemasakan rajungan akan menghasilkan adanya senyawa-senyawa
karbonil. Senyawa-senyawa ini berasal dari pembentukan dan dekomposisi termal
produk-produk lipida yang teroksidasi (Gladyshev et al. 2006). Komponen asam lemak jenuh daging rajungan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Kandungan asam lemak jenuh daging rajungan
segar kukus
Gambar 6 menunjukkan bahwa asam lemak jenuh tertinggi pada daging
rajungan segar, yaitu palmitat (C16:0) sebesar 6,12%. Penelitian Wu et al. (2010) menunjukkan hasil analisis asam palmitat pada rajungan asal Kepulauan Hainan
sebesar 13%. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang paling banyak
ditemukan pada bahan pangan, yaitu 15-50% dari seluruh asam-asam lemak yang
ada (Winarno 2008). Menurut French et al. (2002) dalam penelitiannya tentang dampak asam palmitat terhadap kolesterol dalam diet asam lemak menyatakan
bahwa asam palmitat dapat meningkatkan kandungan kolesterol apabila tidak
melakukan diet yang seimbang dalam mengkonsumsinya.
Jenis asam lemak jenuh dominan kedua, yaitu stearat sebesar 3,60%.
Penelitian Wu et al. (2010) menunjukkan hasil analisis asam stearat pada rajungan asal Kepulauan Hainan sebesar 9,95%. Nilai ini lebih tinggi daripada rajungan
miristat banyak digunakan dalam industri makanan yaitu industri susu, minyak
kelapa dan biji-bijian. Keduanya memiliki efek spesifik terhadap plasma
lipoprotein dengan lemak alami (Mensink dan Plat 2008). Asam arakhidat,
behenat dan lignoserat merupakan karakteristik pada minyak kacang
(Belitz et al. 2009).
Asam lignoserat dalam daging rajungan kukus tidak terdeteksi. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak teridentifikasinya beberapa asam lemak diduga karena
kandungan asam lemak tersebut sangat rendah. Rendahnya asam lemak
menyebabkan puncak (peak) asam lemak kecil sehingga tidak dapat dibedakan dari puncak pengaruh nois kromatografi gas (Fardiaz 1989). Komponen asam
lemak tak jenuh tunggal daging rajungan dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh tunggal tertinggi
pada daging rajungan segar, yaitu oleat (C18:1n9c) sebesar 2,56%. Penelitian
Wu et al. (2010) menunjukkan hasil analisis asam oleat pada rajungan asal Kepulauan Hainan sebesar 13,20%.
Asam oleat lebih stabil dibandingkan dengan asam linoleat dan linolenat,
terlihat dari peranannya dalam meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar
dan menurunkan LDL kolesterol di dalam darah (Muchtadi et al. 1993). Asam oleat memiliki fungsi di dalam tubuh adalah sebagai sumber energi, sebagai zat
antioksidan untuk menghambat kanker, menurunkan kadar kolesterol dan media