• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genetic Diversity of Clostridium bifennentans Strains by Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis and Their Toxicity to Mosquito Larvae

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Genetic Diversity of Clostridium bifennentans Strains by Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis and Their Toxicity to Mosquito Larvae"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)

KERAGAMAN GENETIK SUUMLAH ISOLAT

Closfridium bifermentan

BERDASARKAN

AMPLTRED

RIBOSOMAL DNA REmC77ON ANAL YSIS

DAN TOKSISITASNYA

TERHADAP LARVA NYAMUK

OLEH

:

FATURRAHMAN

PROGRAM PASCASARJANA

INSTrrUT PERTANIAN BOGOR

(91)

ABSTRACT

FATURRAHMAN. Genetic Diversity of Clostridium bifennentans Strains by

Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis and Their Toxicity t o Mosquito Larvae. Under the direction of ANTONIUS SUWANTO, ANJA MERYANDINI, and LILY NATALIA

The genus of Clostndium is phylogenetically closely related to Bacillus, the only genus that generated commercially available bioinsecticides, known as Bt-toxin. The purpose of this study is to examine the presence Bt-like toxin in a number of isolates of Clostndium bifermentans, a clostridial species that has been used for many kind of industrial fermentation. One hundred fifty one clostridial isolates were screened out from various habitats such as : cow's intestine, rumen contents of water buffalo, rumen contents of sheep, river sediments, swamp sediments, lake sediments, mangrove forest floor and milk processing waste. Sixteen isolate were identified as Clostridium bifermentans based on its physiology and biochemical characteristics. These isolates were further characterized employing flourescein

antibody technique. Ten isolates out of 16 showed positive flourescence

appearance. These C. bfirmentans isolates shows the phenotiic diversity, due to the intensity of it capacity in gelatine hydrolyze.

Amplified Ribosomal DNA Restriciton Analysis (ARDRA) was carry out for 10 isolates. The result showed that isolates could be separated into three distinct groups, i.e : group 1 (Cb. ATCC638, R l d l b , R2-6, R3-1, Mel-6a, R8-la, Lb-9, dan Sul-4), groups 2 (St-1 and La2-6), and group 3 that consisted only isolate Si-4.

These ten isolates were subsequently characterized for their insecticidal activity toward mosquito larvae, either Aedes aegypty or Culex spp.. The larvicidal activity was calculated as percentage of the death to the total larvae in the experiment, after exposure to spore of Clostndium for 48 h. The 3rd

-

4rd instar larvae mortality was approximately 0-30 % for Aedes aegypti challenged with

lo6

-

10' sporelml, and 5-40% for Culex spp. with challenged

lo8

spore/ml. C
(92)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul :

KERAGAMAN GENETIK SEJUMLAH ISOLAT

Clostridium bifennentans BERDASARKAN AMPLIFIED RIBOSOMAL DNA RESTRICTION ANALYSIS DAN TOKSISITASNYA TERHADAP

LARVA NYAMUK

adalah benar dan merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pemah

dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan

secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Pebruari 2002

(93)

KERAGAMAN GENETIK SUUMLAH ISOLAT

Closfridium bifermentans

BERDASARKAN

AMPLIFIED

RIBOSOMAL DNA RESTRIOTON ANAL YSIS

DAN TOKSISITASNYA

TERHADAP LARVA NYAMUK

FATU RRAH MAN

T e s i s

Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Mendapatkan Gelar Magister Sains

pada Program Pascasa jana Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASAFUANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(94)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Keragaman Genetik Sejumlah lsolat Clostridium

bifementans berdasarkan Amplified Ribosomal DNA

Restriction Analysis (ARDRA) dan Toksisitasnya terhadap

Larva Nyamuk

Nama Mahasiswa : Faturrahman

Nomor Pokok : 99641

Program Studi : Bioteknologi

Menyetujui :

1. Komisi Pembimbing

n

Dr. Ir. Antonius Suwanto, M.Sc Ketua

Dr. Ania Mervandini. M.S Drh. Lil Natalia M.S

Anggota Anggota

2. Ketua Program Studi Bioteknologi,

- .

(95)

Penulis dilahirkan di Sumbawa pada tanggal 03 Juli 1975, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Mustafa dan Musta'rah.

Penulis lulus dari SMA Negeri Ampenan, Mataram pada tahun1994 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan llmu Produksi Temak Fakultas Petemakan, Universitas Mataram. Selama studi S1, penulis pemah menjadi Asisten

Dosen beberapa mata kuliah dan pernah menjabat sebagai ketua Badan

Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Petemakan UNRAM.

Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan Magister pada Program Studi Bioteknologi, lnstitut Pertanian Bogor. Beberapa kegiatan yang menunjang kemampuan akademis dan penelitian penulis adalah Magang Penelitian di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi PPLH-IPB dan Lab. Bakteriologi

Anaerob Balai Penelitian Veterinet selama 6 bulan dan pemah menjadi Asisten

Dosen pada mata kuliah Biologi Molekuler Keragaman Prokariot, PPs Biologi (Mikrobiologi) IPB.

(96)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah, Rabb pencipta alam semesta beserta apa yang ada

didalamnya, yang diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia. Biodiversitas,

keteraturan dan kesetimbangan ciptaan-Nya merupakan bagian dari keagungan- Nya yang tiada tara. Manusia diperintahkan untuk mempelajari dan mengelolanya untuk diambil kemanfaatan yang sebesar-besamya.

Penelitian dengan topik "Keragaman Genetik Sejumlah lsolat Clostridium bifermentans Berdasarkan Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis dan Toksisitasnya terhadap Larva Nyamuk" merupakan tugas akhir, sebagai salah satu prasarat untuk mendapatkan gelar Magister pada Program Studi Bioteknologi, lnstitut Pertanian Bogor dan upaya untuk mempelajari sebagian kecil dari keanekragaman mikroorganisme dari aspek molekuler, fisiologi, morfologi dan biokimiawi serta kemungkinan pemanfaatannya untuk kontrol biologi.

Terima kasih saya ucapkan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Antonius Suwanto, M.Sc, Dr. Anja Meryandini, M.S., dan Drh. Lily Natalia, M.S selaku

pembimbing, yang telah meluangkan waktu, tenaga, biaya dan pikiran selama

penelitian ini berlangsung.

Pada kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tua "Ayah dan Bunda" yang telah dengan tulus dan dengan tiada putus-putusnya mendoakan, membimbing, dan memberikan motivasi sehingga apa yang kami cita-citakan bisa terwujud. Dan buat istri-ku terkasih,

kupersembahkan tulisan ini sebagai kado pernikahan kita.

Juga rasa terima kasih saya sampaikan kepada pak Syafaruddin, dik Yulia Enggel, mbak Heni, pak Oman, mas Yogi, mas Irawan, mbak Esti, mbak Rina, Anit, dan rekan-rekan yang lain yang telah banyak membantu penulis.

Kepada pengelola Research Center for Microbial Diversity (RCMD) yang telah mensponsori penelitian ini, saya sampaikan ucapkan terima kasih. Akhirnya semoga tulisan ini dapat memberi manfaat yang sebesar-besamya bagi kepentingan pendidikan dan industri bioteknologi.

(97)

DAFTAR

IS1

HALAMAN JUDUL

...

HALAMAN PENGESAHAN ... DAFTAR IS1

...

...

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR ...

...

DAFTAR LAMPI RAN

...

PRAKATA

PENDAHULUAN

...

TIN JAUAN PUSTAKA

Mikroorganisme Penghasil Biopestisida ... Karakteristik Clostridum bifennentans ... Nilai Bioekonomis C

.

bifementans ... ldentiiikasi dengan Fluorescein Antibody Technique

...

Analisis Keragaman ~ e n e t i k dengan ARDRA

...

Biologi Aedes aegypti dan Culex spp

...

lnteraksi antara Toksin dengan Target Hama

...

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

...

...

Bahan dan Alat

... Metode Penelitian

HASlL DAN PEMBAHASAN

ldentifikasi C

.

bifennentans

...

ldentifikasi berdasarkan Fluorescein Antibody Technique

...

lndeks Gelatinolitik

...

Analisis Keragaman Genetik

...

Toksisitas lsolat C . bifennentans

...

KESIMPULAN ... DAFTAR PUSTAKA

...

(98)

DAFTAR TABEL

1

.

Morfologi dan Penampakan Koloni Beberapa

S pesies Clostridium

...

9 2

.

Jadwal imunisasi

...

24 3

.

Hasil uji biokimiawi isolat-isolat yang diduga C

.

bifermentans

...

36 4

.

lsolat yang teridentifikasi sebagai C

.

bifermentans

berdasarkan uji FAT

...

39 5

.

Mortalitas larva Aedes aegypti setelah pemaparan selama

48 jam dengan suspensi spora C

.

bifementans (%)

...

48

6

.

Mortalitas larva Culex spp setelah pemaparan selama

48 jam dengan suspensi C

.

bifermentans (%)

...

49

DAFTAR GAMBAR

1

.

Uji proteolitik isolat R14-1 b dan R3-1 pada medium

Skim Milk Agar selama 48 jam

...

37

2

.

lndeks aktivitas gelatinolitik isolat C

.

bifementans pada 48 jam

...

41 3

.

Hasil amplifikasi gen 16s rDNA

...

42

4

.

Profil RFLP 16s rDNA setelah pemotongan dengan Rsal

...

44
(99)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Serangga merupakan salah satu kelompok organisme yang keberadaannya

paling banyak dipermukaan bumi, dan sebaiian dari mereka memberikan pengaruh

merugikan bagi kehidupan manusia. Diperkirakan bahwa lebih dari 15 % tanaman

diseluruh dunia rusak akibat serangan hama serangga (Ceron, et a/., 1994) dan 30

% dari biaya produksi tanaman perkebunan dialokasikan untuk pembelian pestisida

(Krattinger, 1997). Nyamuk dan lalat tedibat dalam masalah-masalah kesehatan

manusia di sebagian besar belahan bumi. Sebagai vektor dari sejumlah penyakit

seperti malaria, encephalitis, demam berdarah, filariasis dan yellow fever (Becker dan Margalit, 1993; Charles and LeRoux, 2000), setiap tahunnya terjadi insiden

malaria sebanyak 200-300 juta kasus yang menyebabkan kematian lebih dari 1 juta

anak di Afrika (Lacey and Undeen, 1989).

Sejak tahun 1940-an, sejumlah insektisida kimiawi telah dikembangkan

dengan maksud untuk mengendalikan populasi insekta berbahaya (Glick dan

Pastemak, 1994). Meskipun dalam beberapa ha1 efektif, penggunaan insektisida

kimiawi sering menimbulkan pengaruh yang tidak diinginkan, seperti timbulnya

resistensi hama dan seringkali tidak selektii atau kehilangan spesifitasnya sehingga

menyebabkan kerusakan ekologi (Margalit, 1993) yaitu berupa akumulasi residu

yang berbahaya bagi makhluk hidup, pencemaran lingkungan, matinya musuh alami

hama yang bersangkutan dan musnahnya organisme bukan sasaran (Drobniewski,

1 994).

Oleh karena itu penting mendapatkan agen biologi yang memiliki

(100)

diproduksi secara alami oleh mikroorganisme atau tanaman menjadi pilihan terbaik,

selain karena spesifitasnya yang tinggi terhadap serangga target, juga bersifat dapat

diuraikan secara biologis (biodegradable), dapat diproduksi dalarn skala industri,

ramah lingkungan, dan resistensinya terhadap serangga target lambat (Margalit,

1990; Glick dan Pasternak, 1994).

Suatu insektisida mikrobial dapat diperoleh dari mikroorganisme yang

memproduksi substansi toksik yang dapat mematikan spesies serangga atau

memiliki kapabilitas infeksi fatalitik terhadap serangga target spesifik (Glick dan

Pasternak, 1994). Penemuan protoksin mosquitosidal dari 5acillus thuringiensis var

isfaelensis pada tahun 1976 membuka era baru dalam kontrol biologi (Becker dan

Margalit, 1993), walaupun sebenamya penggunaan 5. thuringiensis (selanjutnya

disingkat 0.t.) sebagai insektisida mikroba telah dikembangkan sejak tahun 1929

oleh Methalnikov dan Chlorine untuk mengendalikan hama ngengat Gypsi (Dubois

dan Lewis, 1981), selanjutnya 5.t. menjadi salah satu mikrwrganisme yang paling

luas dipelajari dan digunakan untuk mengendalikan hama insekta.

Bacillus thuringiensis dicirikan oleh produksi kristal paraspora yang

terbentuk selarna rnasa sporulasi (Schnepf, et a1.,1998), tersusun atas molekul-

molekul protein yang diketahui sebagai Gendotoksin atau kristal protein insektisida

(k.p.i), disandi oleh gen cry, bersifat toksik terhadap bermacam larva insekta seperti

Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera (Ceron, et a/. , 1994), nematoda (Barloy, et al. ,

1997). Didalam ulasannya Schnepf , et al., (1998) rnenyebutkan bahwa beberapa

jenis k.p.i. juga toksik terhadap Hymenoptera, Homoptera, Orthoptera dan

Mallophaga.

K.p.i. dari 5.t telah digunakan sebagai biopestisida selama lebih dari 30

(101)

pertanian (Ceron, et a/., 1994), bahkan beberapa gen penyandi k.p.i. telah

diintroduksi kedalam genom tanaman dengan laju proteksi yang tinggi melawan

serangan beberapa hama serangga (Ballester, et a/., 1999; Ceron, et a/., 1994).

Walaupun aplikasi bioinsektisida 6.t telah digunakan begitu luas dan

menunjukkan sifat persistensi yang rendah di lingkungan, namun sejumlah laporan

menyebutkan terjadinya resistensi pada beberapa hama insekta dengan variasi

resistensi diantara subspecies yang berbeda dan dengan lokasi geografi yang

berbeda (Tabashnik, et a/., 1993; Iqbal, et a/., 1997; Schnepf, et a1.,1998;

Tabashnik, et a/., 2000). Resistensi pertama kali dilaporkan terjadi pada Plutella

xylostella, yang resisten terhadap B.t subsp. kurstaki tetapi tidak resisten terhadap

toksin dari 5.t. subsp. aizawai (Tabashnik, et al., 1993).

Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut diatas adalah dengan

meningkatkan keanekaragaman produk gen cry sebagai bahan akti insektisida

(Barloy, et a/., 1997) terutama yang mengarah kepada usaha untuk mengisolasi

mikroorganisme barn yang secara potensial menunjukkan aktivitas pengendalian

hama (control biology).

Clostridium bifermentans subsp. malaysia yang ditemukan pada penghujung

tahun 1989, merupakan bakteri anaerobik pertama yang diketahui bersifat

entomopatogenik dan juga bakteri non-B.t yang memiliki gen cry dalam genomnya.

Strain ini memiliki aktivitas yang tinggi melawan larva nyamuk dan lalat ( b l a c ~ y ) .

Protoksin yang dihasilkan C.b. subsp. malaysia disandi oleh dua buah gen, yaitu

cbm71 dan cbm72, yang disebut sebagai gen serupa-cry (cry like-genes) oleh

karena sekuen polipeptida-nya yang sangat mirip dengan Gendotoksin dari B.t.,

yang kemudian dinamakan cryl6A dan cryl7A (Seleena, et a/., 1997; Barloy, et al.,

(102)

isyarat bahwa mungkin terdapat lebih banyak lagi gen serupa-cry yarg terdistribusi

secara lebih luas pada berbagai spesies bakteri.

Pendekatan paling mutakhir yang dilakukan untuk memilih galur-galur bakteri

pembawa gen cry yang secara potensial unggul sebagai biopestisida adalah

analisis molekuler keragaman genetik. Pendekatan ini penting selain untuk

menyeleksi strain-strain unggul secara genetis juga untuk pengklasmkasiannya. Kuo

dan Chak, (1996) menggunakan teknik Restriction Fragment Length Polymorphisms-

PCR untuk mengidentifikasi galur-galur 8. thuringiensis yang mengandung gen cry

novel. Beberapa metode molekuler yang telah diterapkan khususnya terhadap B.

thuringiensis adalah analisis pola plasmid (Leredus, et al., 1982), penetapan sekuen

DNA oleh Kronstad dan Whiteley pada tahun 1986, dan analisis PCR (Carozzi, et a/,

1991). Pada penelitian ini, analisis keragaman genetik C. bikmentans dilakukan

dengan teknik Amplifed Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA). Selain

karena sifatnya yang reproducible, juga relati cepat, murah dan sederhana.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengidentikasi Clostridum

bifementans yang diisolasi dari berbagai habiat, mengetahui keragaman genetik

sejumlah isolat Clostridium Mermentans berdasarkan Amplfled Ribosomal DNA

Restriction Analysis dan toksisitasnya terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dan

(103)

TINJAUAN PUSTAKA

Mikroorganisme Penghasil Bioinsektisida

lnsektisida mikrobial dapat diperoleh dari mikroorganisme yang memiliki daya

infeksi yang mematikan terhadap serangga target (Glick dan Pasternak, 1994).

Menurut Lacey dan Unden (1986), ada lima kelompok mikroorganisme yang dapat

digunakan sebagai bahan aktif insektisida mikroba, yaitu bakteri, virus, protozoa,

kapang, dan nematoda.

Pada awalnya bahan aktii insektisida yang diketahui dapat menyebabkan

penyakit dan kematian pada serangga adalah B. thuringiensis yang pertama kali

diisolasi oleh lshiwata pada tahun 1901 dari larva Bombyx mon yang sakit. Pada

tahun 1911, Berfiner menemukan bakteri serupa dari larva ngengat Mediterania,

Anagasta kuehnilla, di propinsi Thuringia Jerman, yang kemudian dinamai B.

thuringiensis (Dulmage, 1981). Pada tahun1927, Mattes mengisolasi kembali

Bacillus dari A. kuehnilla dan dua tahun kemudian, 1929, oleh Mathalnikov dan

Cholorine dinamakan 5. thuringiensis dan mereka menjadi pelopor bagi penggunaan

B.t. sebagai insektisida mikrobial yaitu untuk membasmi hama ngenget Gypsi

(Dubois dan Lewis, 1981). Selanjutnya diketahui bahwa penyebabkan patogenisitas

bakteri adalah protein kristal yang dihasilkan pada saat pembentukan spora atau

selama fase stasioner.

Karakteristik B.t. yang sangat spesifik terhadap serangga target mendorong

para peneliti untuk mencari galur-galur baru seiring dengan upaya untuk

mengklasifikasikannya. Beberapa metode yang digunakan untuk klasifikasi B.t.

adalah sebagai berikut :1) berdasarkan sifat morfologi dan biokimianya oleh Angus

(104)

tahun 1959, 3) spesifitas antigen flagelum oleh de Barjac dan Bonnefoi tahun 1962,

4) kerentanan terhadap antibiotik oleh Landen, Hesson dan Boman tahun 1981, 5)

pola plasmid oleh Lereclus dkk. tahun 1982, 6) penetapan sekuen DNA gen kristal

protein oleh Kroustad dan Whiteley tahun 1986, 7) aktiiitas insektisida oleh Krieg

dkk. tahun 1987, 8) analisis nukleotida oleh Hofte dan Whiteley tahun 1989

(disarikan dari Meryandini,l990 dan Darwis, 1995); dan analisis PCR oleh Coroui

dkk. pada tahun 1991. Hingga tahun 1994, dikenal lebih dari 30 subspesies B.t yang

terbagi kedalam 34 sub kelompok antigen-H (Udayasurian, et a/, 1994). Dan pada

tahun 1998 terdapat tidak kurang dari 100 gen cry yang berasal dari berbagai

spesies bakteri, kemudian Crickmore, et al., (1998) melakukan revisi nomenklatur

gen cry tersebut atas dasar homologi sekuen DNA dan membagi gen cry kedalam

22 kelas dan 2 gen cyt, dimana cbm71 (cryl6A) dan cbm72(cry17A) berubah

menjadi cryl6Aa dan cryl7Aa. lnformasi terkini yang saya peroleh bahwa sudah

terdapat 30 kelas gen cry.

Penggunaan B.t untuk kontrol spesies diptera baru dilakukan pada tahun

1977 sejak ditemukannya B. thuringiensis serovar israeknsis (Btr) dan spesies yang

sangat toksik B. sphaericus (Bsp) strain 1593 (Charles and LeRoux, 2000).

Berdasarkan pertimbangan ekologi dan perkembangan resistensi, program

skrining mikroorganisme baru yang potensial untuk pengendalian hama terus

dilakukan. Hingga tahun 1990 tak satupun catatan yang menunjukkan adanya

spesies bakteri diluar B.t. yang memiliki gen penyandi bioinsektisida (gen cry) dalam

genomnya. Pada tahun 1990, Seleena dan Lee berhasil mengisolasi bakteri

anaerobik obligat dari sampel tanah hutan mangrove Malaysia yang aktif melawan

larva nyamuk dan lalat, kemudian diketahui sebagai Clostridium bifennentans

(105)

demikian C. bifermentans subsp. malaysia bukan hanya bakteri anaerobik obligat

pertama yang diketahui bersifat entomopatogenik, tetapi juga InefUpakan spesies

non B.t. pertama yang memiliki gen cry dalam genomnya (Barloy, et al., 1998.

Dalam waktu yang relatii singkat sejumlah bakteri entomopatogenik yang

membawa gen serupa-cry berhasil diidentifikasi seperti B. popilliae yang aktif

melawan Coleoptera (Zhang, et a/., 1997). C.b. subsp. paraiba yang aktif melawan

nyamuk, beberapa spesies Clostridium yang patogen terhadap manusia dan hewan

seperti C. sonlellii dan C. septicum (Barloy, et a/., 1998), dan Brevibacillus

latemsponrs yang juga memiliki toksisitas tinggi terhadap nyamuk Ae. aegypti dan A.

stephensi (Charles and Le-Roux, 2000).

Selain bakteri, beberapa cendawan dari kelas Deuteromycetes yang

berpotensi sebagai agen pengendali populasi vector (entomopatogen) adalah

Beauveria, Culicinomyces, Metarhizium (Munif dan Mardiana, 1991). Cendawan

patogen umumnya melakukan penetrasi dengan menggunakan haustorium, yaitu

hifa infeksi yang berfungsi sebagai struktur penyerap nutrisi dan hidup dalam

jaringan inang.

Karakteristik C. bifermentans

Clostridium mempunyai banyak spesies yang berbeda. Beberapa spesies

seperti C. camis, C. histolitycum, dan C. tertium bersifat aerotoleran dan lainnya

anaerobik obligat (Smith,1975). Dalam Bergey's Manual of Determinative

Bacteriology dinyatakan bahwa diantara spesies Clostridium, mungkin bersifat

sakarolitik, proteolitik, tidak tergolong kedalam keduanya atau bahkan bersifat

(106)

negati. Kebanyakan spesies ini adalah kemoorganotropik, beberapa kemoautotropik

atau kemolitotropik; dan potensial memproduksi eksotoksin.

Organisme ini biasanya ditemukan pada saluran pencemaan temak dan

manusia (Wang et a/., 1996), lapisan tanah dan sedimen laut (Smith, 1975), sedimen

danau, sungai dan rawa; spesimen klinik (Smith, 1975; Cowen and Steele, 1974),

serta habitat-habitat yang bersifat anaerob.

C. bifermentans adalah satu diantara spesies Clostridium yang telah

diketahui mengandung gen serupa-cry dalam genomnya (Barloy et a/., 1998).

Spesies ini memiliki aktivitas yang tinggi melawan berbagai serangga hama.

Contohnya adalah C. bifermentans subsp. malaysia dan

C.

b subsp. paraiba yang

aktif melawan larva nyamuk dan lalat (blackfly).

Pada mulanya C. bifermentans dianggap sebagai subspesies dari C. sordellii

karena adanya kemiripan sifat biokimiawi antara keduanya. Bahkan sejak ditemukan

oleh Tissier dan Martelty pada tahun 1902 telah menjadi subjek yang kontroversial

diantara para pakar bakteriologi mengenai hubungan taksonominya (Nishida et a/.,

1964). Pembedaan kedua spesies ini didasarkan atas kemampuan produksi urease

oleh C. sordellii (Nishida et a/., 1964; Shapton and Board, 1971), toksigenisitas, dan

potensi sporulasi (Nishida et a/., 1964 ), dan kemampuan untuk mengaglutinasi

(Huang, et a/., 1965).

Organisme ini bisa dibedakan dari spesies lainnya berdasarkan morfologi

dan penampakan koloni (morphology and colonial appearance); bentuk, posisi, dan

produksi spora; serta karakteristik biokimiawi dan fisiologinya (Smith, 1975).

Penampakan koloni, bentuk sel dan posisi spora beberapa spesies Clostridum

(107)
[image:107.564.68.490.90.303.2]

Tabel 1. Morfologi dan penampakan koloni beberapa spesies Clostridum

species Spores Bacilli

C. botulinus OCIS Normal

C. perfringens OC Large thick

C. tetani RT Normal

C. novyi

0s

Large

C. septicum

0s

Normal

C. fallax

0s

Thick

C. sordellii OC I S Large thick C. bifermentans OC I S Large thick

C. histolyticum

0s

Normal

C. sporogenes

0s

Thin

C. tedium OT Long thin

C. cochleariom Thin

C. butyncum OC Normal

C. nigrificans Normal

C. themosacamlyticum Normal

Haemo Colony appearance on blood

lysis agar

+ Large,fimbriate, transparent

+ Flat, circular, regular

+

Small , grey, fimbriate,

translucent

+ Flat, spreading, transparent

+ Irreguler, transparent

- Large, irregular, opaque

+

Small, crenated

+ Small, circular, transprant

-

Small, regular, transprant

+

Medusa head,fimbriate, opaque

-

Small, regular, transprant

- Circular, transprant

- White, circular, irregular Black

Granular, feather edges Spores : 0, oval; R, round; S, subterminal; C, central; T, terminal

Lebih lanjut dikatakan oleh Smith, (1975) bahwa spora C. bifermentans

berbentuk oval, terletak pada posisi subterminal atau sentral dan diproduksi secara

berlimpah serta seringkali berantai. Penampakan koloni C. bifermentans pada media

agar darah adalah kecil, regular dan transparan (Willis and Hobbs, 1959). Akan

tetapi Smith (1 975) menyebutkan bahwa diameter koloni C. bifennentans berkisar

antara 2

-

3 mm, tidak terlalu konvek, dan agak tidak teratur. Wama koloni

tergantung pada umur dan tahap sporulasi. Koloni yang masih muda terdiri dari set

sel nonspora atau sel vegetatif, bersifat translusen dan bennrama buram, sedangkan

koloni yang lebih tua berbentuk opaque dan berwama seperti porselin putih, terdiri

dari sel yang mengandung spora.

Beberapa karakter biokimiawi dari spesies ini adalah dapat memfermentasi

fruktosa, glukosa, maltosa, mannosa, ribosa, dan sorbitol; tidak dapat

(108)

dulcitol, eritritol, inulin, xilosa, ramnosa, melibisa, rafinosa, salisin, sorbosa,

melezitosa, sukrosa dan trehalosa (Seleena, et al., 1997).

Gelatin dihidrolisis, eskulin dan pati tidak dapat dihidrolisis, produksi indol,

dan tidak dapat mereduksi nitrat (Seleena, et a/., 1997), kasein dan daging didigesti;

lesitinase diproduksi; katalase, urease dan lipase tidak diproduksi (Smith, 1975).

Sedangkan produk akhir fermentasi meliputi asetat, isobutirat, isovalerat, asam

isokaproat, dengan atau tanpa sejumlah kecil asam butirat dan ethyl, propil, dan

isobutyl alcohol (Levett, 1991 ; Buchanan and Gibbons, 1974).

Spora C. bifermentans akan mengalami germinasi bila terdapat L-alanin dan

ion sodium. L-alanin disubstitusikan dengan kombinasi fenilalanin, arginin, laktat,

serin, dan glisin. Seperti halnya bakteri pembentuk spora lainnya, gerrninasi spora

dapat distimulasi melalui aktivasi dengan pemanasan mendadak (heat shock) pada

85 OC selama 10 menit (Smith, 1975). Faktor pertumbuhan yang dibutuhkan oleh

organisme ini adalah biotin, asam nicotinat atau amida, asam pantotenat, dan

piridoksal atau piridoksamin.

Nilai Bioekonomis C. bifermentans

Umum diketahui bahwa genus Clostnidum merupakan kelompok bakteri

paling penting sebagai agen penyebab penyakit pada manusia dan hewan. Sebagai

contoh adalah C. botulinum yang menghasilkan neurotoksin yang dapat

menyebabkan kerusakan syaraf irreversible atau kematian, C. perffingens

menimbulkan penyaki gas gangrene dan enterotoksemia baik pada manusia

maupun ternak, dan C. chauvoei yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang

cukup besar bagi peternak karena penyaki blackleg yang menimpa ternak besar

(109)

Dalam industri bioteknologi, pemanfaatan Clostridium sebagai pabrik biologis

sangatlah luas. Bahkan Barloy, et a/., (1996) mengutif Moms, (1993) mengatakan

bahwa lebih 90 % pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan genus Clostridium ditujukan

untuk bioindustri dan aspek-aspek medis. Sejumlah produk penting seperti asam

butirat, aseton dan butanol dapat diproduksi oleh C. bifennentans, C.

asetobutylicum, C. butyricum dan C. pasteurianum. C. kluyveri memproduksi etanol

dan asetat. Spesies yang lainnya seperti C. aceticum dan C. thennoaceticum dapat

membentuk asetat dari C02 dan H20.

C. bifermentans yang tergolong kedalam non patogenik Clostridia diketahui

mampu melakukan biotransformasi atau bioremediasi senyawa nitroaromatik seperti

2,4,6trinitrotoluena (TNT) dan turunannya melalui mekanisme hidroliik (Lewis, et

a/., 1996). Lebih lanjut Sembries dan Crawford, (1997) menyatakan bahwa spora

isolat C. bifennentans KMR-1 dapat digunakan sebagai inokulan untuk bioremediasi

tanah dan air yang terkontaminasi TNT dan 1,3,5-triaza-1,3,5trinitrosikloheksana

(RDX).

Penggunaan C. Mermentans makin luas sejak ditemukannya suatu strain

baru, C.6. subsp malaysia, yang dapat berperan sebagai kontrol biologi untuk

insekta. Strain ini adalah strain bakteri anaerobik pertama yang diidentiikasi memiliki

toksisitas terhadap larva nyamuk, dimana aktivitas larvasidalnya sangat tinggi

terhadap spesies Anopheles dibandingkan terhadap Aedes aegypti maupun Culex

pipiens (Barloy et a/., 1996). Berbeda halnya dengan C.b. subsp malaysia, C.b.

subsp paraiba, justru lebih toksik terhadap Culex quinquesfaciatus daripada

(110)

ldentifikasi dengan Antibodi Fluoresen

Teknik imunologi memegang peranan penting dalam bakteriologi modern.

Penerapan teknik imunologi terutama dalam mikrobiologi medik, meliputi diagnosa

penyakit, epidemiological typing, dan investgasi dasar mekanisme patogenik.

Eksploitasi metode-metode imunologi diarahkan untuk deteksi, identiikasi dan

quantiikasi bakteri, komponen bakteri ataupun produknya (Poxton, 1991).

ldentikasi Clostridia dengan teknik imunologi telah menunjukkan

keberhasilan, mulai dari penggunaan reaksi Nagler untuk identikasi spesifik C. perfringens pada Egg Yolk agar (EYA) sampai identifikasi definitive C. tetani dan C.

botulinum melalui test netralisasi toksin pada tikus, disamping itu metode antibodi

imunofluoresen telah dikembangkan untuk Clostridia tertentu.

Metode antibodi imunofluoresen merupakan metode yang sederhana dan

cepat untuk mengidentiikasi bakteri sampai pada tingkat spesies. Metode ini

didasarkan atas adanya fluoresensi bakteri target sebagai akibat dari terbentuknya

konjugat antara antibodi terlabel dengan komponen permukaan bakteri, seperti

flagella, fili, lipopolisakarida, kapsul, dan protein membran luar. Fluoresensi ini

dapat diamati melalui mikroskop fluoresen.

Beberapa antigen yang dapat digunakan untuk tujuan identifikasi meliputi

komponen permukaan sel seperti asam teichoic (secondary wall carbohydrate),

asam lipoteichoic (membrane carbohydrate), protein membran, kapsul dan

eksopolisakarida lain, peptidoglikan, flagella, dan produk ekstraseluler (exotoxins

dan exoenzyme) (Poxton, 1991 )

Teknik antibodi fluoresen meliputi beberapa tahapan pekerjaan yaitu

(111)

antibodi; dan identikasi bakteri (Poxton, 1991). Pada teknik ini, antigen yang

digunakan adalah sel-sel bakteri yang telah dimatikan dengan pemanasan pada air

mendidih (heat kilo.

Metode konvensional untuk produksi antibodi adalah dengan cara

menginjeksikan antigen kedalam tubuh hewan percobaan yang imuno kompeten

dalam laboratorium untuk membangkitkan tanggapan kekebalan (Johnstone and

Thorpe, 1982). Setelah pengambilan darah, serum seharusnya sesegera mungkin

dipisahkan dari sel, sebab bila sel lisis akan melepaskan kontaminan protein

termasuk enzim proteolitik yang dapat mendegradasi antibodi.

Antibodi termasuk kedalam kelompok protein yang disebut sebagai

immunoglobulin. Mereka memiliki s t ~ k t ~ r yang umum dengan dua buah rantai yaitu

dua buah rantai berat (heavy chain) dan rantai ringan (light chain). lsolasi

imunoglobulin G yang biasa dilakukan adalah kombinasi antara presipitasi dengan

penambahan sodium atau ammonium sulfat dan dilanjutkan dengan kromatografi

kolom (Johnstone and Thorpe, 1982). Untuk membuat antibodi fluoresen (FAT)

maka imunoglobulin yang telah murni dikonjugasikan dengan fluorokrom.

Fluorokrom yang umum digunakan adalah fluorescein atau tetrametilrodamin

isothiosianat, selain karena mereka dapat bereaksi secara langsung dengan

imunoglobulin, menghasilkan konjugat yang stabil dan juga memberikan sinar

fluoresensi yang jelas.

Analisis Keragaman Genetik dengan ARDRA

Metode-metode molekuler untuk identikasi dan pencirian mikroba dapat

dilakukan berdasarkan pendekatan asam nukleat maupun protein. Analisis profit

(112)

endonuklease (REA), restriction fragment length polymorpClisms (RFLP),

macrorestn'cfion fragment length polymorphisms (MFLP) yang melibatkan pulsed

field gel electrophoresis (PFGE), dan amplifikasi asam nukleat (Suwanto, 2000).

Pemilihan metode analisis sangat tergantung dari cakupan tujuan dan derajat

diskriminasi yang diinginkan, sebab menurut Suwanto, (2000) tak satupun dari

teknik tersebut menampilkan hasil yang keliru, masing-masing menyediakan cara

yang berbeda dalam memandang persoalan yang sama.

Pengetahuan mengenai keragaman genetik mikroba pada tahun-tahun

belakangan ini meningkat secara drastis, terutama setelah diperkenalkan teknik

amplifikasi PCR gen rRNA

-

RFLP atau amplified ribosomal DNA resWfion

analysis. Karakterisasi bakteri yang didasarkan pada amplifikasi gen 16s rRNA

(small subunit rRNA) dengan teknik PCR telah digunakan secara luas untuk studi

mengenai evolusi, taksonomi dan ekologi (Nubel, et a/., 1996). lnformasi sekuen

16s ribosomal DNA (rDNA) dapat digunakan untuk menganalisis filogenetik bakteri

yang belum bisa dikulturkan dari beragam lingkungan (Tanner, et a/., 1998)

Nusslein dan Tiedje, (1998) memanfaatkan metode ARDRA untuk menduga

keragaman dan mengkarakterisasi komunitas bakteri tanah Kepulauan Hawai

berdasarkan komposisi basa G + C.

Teknik ampNed ribosomal DNA mstn'ction analysis (ARDRA) pada

dasarnya merupakan turunan dari PCR-RFLP, yaitu amplifikasi sekuen dari gen

16s-rDNA (gen penyandi 16s RNA ribosom) dengan menggunakan primer universal

untuk bakteri atau prokariot. Hasil amplifikasi PCR ini kemudian dipotong dengan

enzim endonuklease restriksi yang memotong sering. Menurut Suwanto, (1995)

(113)

sebagai hasil pemotongan dengan enzim restriksi tertentu menunjukkan keragaman

genetik.

Enzim endonuklease restriksi merupakan enzim yang memotong DNA pada

situs pengenalan 4 atau 6 pasang basa yang spesifik yang bersifat poliandrom. Oleh

karena sekuen pengenalan dari endonuklease restriksi adalah terletak secara acak

dalam molekul 16s rDNA dan sekuen 16s rDNA berbeda-beda, maka pola yang

dihasilkan dari pemotongan akan bersifat unik.

Dasar penggunaan gen penyandi ribosomal RNA sebagai indikator universal

dalam analisis keragaman genetik adalah karena molekul rRNA sangat khas,

tersusun oleh daerah-daerah yang terkonservasi yang berubah relati lambat secara

evolusi dan daerah-daerah yang sekuennya cukup bervariasi. Perbandingan sekuen

yang terkonservasi ini sangat berguna untuk konstruksi pohon filogenetik universal,

sebaliknya sekuen pada 16s rRNA yang hipervariabel banyak digunakan untuk

melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies. Sifat rRNA

yang sangat terkonservasi memungkinkan untuk mensintesis primer universal untuk

proses PCR yang mampu melekat pada sekuen terlestari dari ketiga domain

filogenetik Archaea, Bakteria dan Eukarya (Amann, et a/., 1994).

Pada laboratorium Biologi Molekuler SEAMEO-BIOTROP, teknik ARDRA

secara rutin digunakan untuk menyeleksi strain-strain yang unik diantara sejumlah

isolat yang belum disekuensing dan juga untuk menganalisis hubungan kekerabatan

diantara komunitas mikroba yang diisolasi langsung dari lingkungan.

Biologi Aedes aegypti dan Culex spp

Culex dan Aedes dua dari lebih dari 30 genera pada sub famili Culicinae

(114)

sangat luas dan berfimpah, serta termasuk group yang sangat penting mengingat

aksinya yang dapat merusak kesejahteraan dan kesehatan manusia. Tahapan

larvanya ada di dalam air dan yang dewasa dapat dikenali dari tulang daun sayap,

sisik-sisik sepangjang pembuluh darah sayap dan proboskosnya yang panjang

(Borror et a/., 1992).

Spesies Aedes memiliki aktiiitas yang aneh mereka dapat beraksi harian

atau tidak tentu, berbeda halnya dengan pengigit malam Culex spp. Mereka

menyimpan telumya kedalam air yang kotor, lumpur atau tanah yang terkena banjir.

Kebanyakan spesies Aedes menjadi vektor dari berrnacam-macam penyakit. Aedes

aegypti, sinyamuk kuning penyebab demam berdarah, adalah salah satu yang sangat penting dan memiliki pengaruh yang sangat luas. Nyamuk ini merupakan

spesies yang berasal dari keturunan nyamuk dari negara Sylvatii, tepi ketika

bergabung dengan habitat manusia, nyamuk tersebut melahirkan keturunan secara

bebas didalam kontainer dan unit penyimpenan air lainnya (Robert dan Janovy,

1 996).

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut : Telur Aedes

berukurab panjang 1 mm dan berdiameter 0.25 mm. Ada dua rangsangan yang

mempercepat proses penetasan telur yaitu pencelupan telur kedalam air dan

rendahnya tekanan. Air mendidih, hampa udara atau adanya bakteri (berasosiasi

dengan makanan larva) sering digunakan untuk menstimulasi proses penetasan.

Larva nyamuk sangat tepat dalam air, jika habitatnya mengering maka larva akan

mati. Larva akan berturut-turut berganti bulu untuk mencapai tingkat pupa. Larva

kemudian berkembang dari sekitar 1,5 mm sampai 15 mm panjangnya setelah tiga

kali berganti bulu. Ukuran maksimum dapat berubah-ubah sekitar 10 mm sampai

(115)

tahapan larva dapat lebih pendek dari 4 hari. Dalam kondisi kelaparan atau

temperatur yang kurang optimum, larva bisa berumur satu bulan dalam keadaan

tidak akti. Makanan larva berupa sisa organik, bakteri, jamur dan segala sesuatu

yang dikumpukan dari dasar habitatnya di air (Munstermann, 1997).

Setelah empat kali berganti stadium, timbul bentuk pupa koma. Pada tahap

pupa dapat terjadi perubahan metabolisme dan struktural tambahan secara biasa.

Perubahan ini memungkinkan yang dewasa naik untuk bertahan hidup dalam

lingkungan global. Perototan, sayapsayap, sisik-sisik, bagian-bagian mulut dan

bagian dalan serta elemen struktural permukaan lainnya harus terbentuk sebelum

tahap ini selesai. Periode ini berlangsung 2-3 hari, lalu pupa mengapung diantara

air-udara dan yang dewasa naik ke permukaan air. Dipermulaan antara 24-48 jam

kehidupan si dewasa, perkembangan internal terus berlanjut untuk menyesuaikan

perubahan benuk ke kehidupan global.

Culex betina berbentuk bulat disekitar perutnya, sungut mereka lebih pendek dari pada hidungnya. Mereka tidak mempunyai spikular dada atau post spikular,

larva berbentuk panjang dan ramping. Kebanyakan inang Culex spp adalah burung

akan tetapi tidak mempunyai inang yang spesiftk.

Dalam catatan ilmiahnya, Seleena dan Lee (1997) melaporkan adanya

perbedaan toksisitas antara C.b. subsp. Malaysia dengan C.b. paraiba terhadap

larva C. quinquesfaciatus, Aedes aegypti dan Anopheles maculates. C.b. paraiba

cukup toksik terhadap Aedes aegypti, C. quinquesfaciatus dan An. Maculates, akan

tetapi C.b. subsp. Malaysia sangat toksik terhadap Aedes aegypti dan tidak toksik

(116)

lnteraksi antara Toksin dengan Serangga

Pada B. thuringensis telah diketahui dengan baik terdapatnya hubungan

yang sangat spesifik antara kristal protein yang dihasilkan dengan larva serangga

sasarannya yang rentan. Akan tetapi pada C. bifementans belum ada laporan yang

mengungkapkannya. Protoksin yang dihasilkan oleh C.6 dan 6endotoksin B.t.

diaktivasi oleh suasana alkali usus serangga.

Terdapat perbedaan antara faktor toksik B.t dengan C. bifermentans yaitu

C.6 tidak memproduksi protein kristal atau parasporal bodi sebagaimana halnya

pada B.t, B. sphaericus dan B. laterosporus. Toksisitas protein C.6 menurun dengan

cepat atau mengalami inaktivasi oleh perlakuan fisik atau kimiawi (Charles and

LeRoux, 2000) seperti filtrasi, sonikasi, freezing-thawing atau oleh protease yang

dilepaskan pada saat sel lisis (Barloy, et al., 1996).

Semua protein toksin yang termasuk kedalam famili Cry terdiri dari tiga

domain, yaitu domain I, II dan Ill. (Schnepf, et al., 1998; Aronson, 2000). Domain I

tersusun atas seberkas (bundle) a-heliks antiparalel yang berjumlah tujuh yang

kebanyakan terlibat dalam pembentukan saluran ion (Aronson, 2000). Domain II

memiliki tiga buah @sheet antiparalel yang bergabung membentuk suatu tipe "kunci

Yunani atau Greek key". Sedangkan domain Ill terdiri dari dua @sheet antiparalel

yang membentuk sebuah @sandwich dengan tipologi jelly roll (Schnepf, et a/.,

1 998).

Devidas, (1992) menyatakan bahwa kristal protein yang termakan oleh

serangga yang rentan akan terlawt menjadi protoksin oleh alkali usus tengah larva.

Proses pelarutan ini bervariasi diantara genus, spesies dan bahkan mungkin

(117)

alkali di usus akan melepaskan sub unit insektisidal. Kerja protease tersebut

menyebabkan protoksin kehilangan fragmen struktur ujung C dan membentuk

fragmen aktii yang disebut toksin. Toksin dapat dibagi tiga daerah struktural, yaitu 1)

area ujung N yang merupakan domain toksik, terdiri dari beberapa area hidrofobik

yang terlestari, dan mengandung a-heliks yang menyebabkan pembentukan pori

pada usus serangga, 2) area ujung C yang terlestari, dan 3) area variabel yang terletak diantara dua area tersebut.

Lebih lanjut Frankenhuyzen et a/., (1993) menyebutkan bahwa ada beberapa

faktor yang menentukan spesifitas inang yang meliputi berbagai faktor struktural dan

proses yang memungkinkan toksin berikatan dengan reseptor, kecepatan

pencemaan, pelarutan dan stabilitas toksin dalam usus. Dengan demikian protein

toksin atau 6-endotoksin yang berbeda akan mempunyai aktivitas insektisidal yang

berbeda pula.

Toksin pada umumnya mempunyai daya ikat dengan membran sel usus

serangga. Pada kondisi ini toksin akan berasosiasi dengan reseptor tertentu pada

epitelium usus. Setelah terikat pada epitelium usus serangga, toksin membentuk pori

berukuran kecil (0,51,0 nm) pada membran. Toksin yang aktii selanjutnya

mengaktiian aliran ion K dan air sehingga mengganggu keseimbangan osmose

pada akhimya epitelium usus membengkak, mikropilus hilang dan akhimya sel

mengalami lisis. Keadaan ini menyebabkan kematian sel dan selanjutnya kematian

serangga (Hofle and Whiteley, 1989; Aronson, 2000).

Pada B. thuringensis subsp. kurstaki (galur yang toksik terhadap lepidoptera)

diketahui bahwa protein toksik ini mempunyai afinitas terhadap N-

(118)

karena pengikatan tersebut. Setelah toksin terikat pada reseptor membran plasma,

akan terbentuk pori-pori kecil atau secara tak langsung mengganggu molekul-

molekul membran plasma. Toksin merusak transport ion dan glukosa sehingga

mendorong hilangnya ATP (Ellar et al., 1987). Gejala gangguan oleh toksin adalah

stimulasi pengambilan glukosa oleh sel epitelium saluran pencernaan, kemudian sel

epitelium mengalami lisis, otot saluran pencemaan dan bagian mulut lumpuh,

kemampuan makan berhenti dan kematian akan muncul 30 menit hingga 3 hari

setelah tosin terrnakan (Lynch dan Hobbi, 1988).

Reaksi yang spesifik antara protease dengan macam toksin dapat

menyebabkan spektrum hama yang sempit sehingga spesifitas insektisida ini sangat

tinggi. Spektrum hama yang sempit misalnya pada C.b. subsp. malaysia (toksin cbm

71) yang sangat toksik terhadap Blatella gennanica, akan tetapi C.b. subsp. paraiba

tidak menunjukkan produksi blatisidal (Seleena, Lee and Lecadet, 1997). Analisis

resistensi pada skala laboratorium maupun dilapangan menunjukkan telah terjadinya

resistensi pada sejumlah hama target terhadap satu atau lebih toksin B.t (Schnepf,

et al., 1998). Peningkatan keanekaragaman gen cry yang memiliki struktur toksin dan mekanisme kerja yang berbeda menjadi solusi yang baik untuk memecahkan

(119)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Anaerob Balai Penelitian

Veteriner Bogor, Laboratorium Mikrobiologi FMlPA IPB dan Laboratorium Biologi

Molekuler South East Regional Center for Tropical Biology (SEAMEO-BIOTROP),

Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Februari-Oktober 2001.

Bahan dan Alat

Bakteri yang digunakan adalah 151 isolat Clostridium yang diperoleh dari

kegiatan penelitian sebelumnya. Selain itu disertakan pula C. bifermentans

ATCC638 koleksi dari Laboratorium Biologi Molekuler SEAMEO-BIOTROP dan 5.

thuringiensis var israelensis (Vectobac) koleksi Laboratorium Teknolog i Bioproses

PPB-IPB, sebagai kontrol. Keterangan mengenai asal dan jenis isolat dapat dilihat

pada Tabel Lampiran 2.

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades,

media pertumbuhan yaitu Robertson Cooked Meat Medium (RCMM), Tripthone

Yeast Extract Glucose (TYG), dan medium agar darah (5%), NaCl fisologis, NaOH,

reagen Kovac's, CuS04, merah fenol, proteinase-k, N-CetyCN,N,N-Trimethyl-

Ammonium Bromide (CTAB), Sodium Dodesyl Sulphate (SDS) lo%, fenol,

kloroform, isoamil alkohol, isopropanol, etanol (absolut dan 70%), agarosa, buffer

TrisEDTA (TE), enzim Tag DNA Polimerase, loading buffer, ethidium bromida,

enzim restriksi Rsal, Haelll dan Sau3Al (Fermentas) beserta bufemya, marker

molekuler 1-Kb DNA Ladder (Biolabs), ~ e n e ~ u l e r ~ ~ 50 bp DNA Ladder (Pharmacia-

(120)

Dua spesies larva nyamuk yang akan dipakai yaitu Aedes aegypti dan Culex

spp. Sumber larva diperoleh dari telur yang di koleksi Laboratorium Entomologi

Kesehatan FKH, IPB.

Alat-alat yang digunakan antara lain yaitu botol Bijou, perangkat anaerobik

jar (Bio-Rad, Richmond, CA), mesin PCR ( ~ e n e ~ m p @ PCR System 2400, Perkin-

Elmer, Branchburg, New Jersey), Gene Quant (Pharmacia-Biotech, Cambridge,

England), piranti elektroforesis (Bio-Rad, Richmond, CA), UV transilluminator

(UVB-36 ULTRALUM, Carson, California), Gel Doc 1000 (Bio-Rad, Richmond, CA),

mikroskop UV fluoresen, dan mikroskop fase kontras.

Metode Penelitian

A. ldentif i kasi C. bifermentans

Pewarnaan Spora. Koloni yang diwrigai sebagai C. bflermentans diuji

dengan pewamaan endospora menggunakan metode Schaeffer-Fulton. Spesimen

dikering udarakan diatas kaca objek, difiksasi panas, ditutup dengan kertas serap

yang telah dijenuhkan dengan zat wama hijau malakit 0.5% (wtv), dan ditaruh diatas

air mendidih selama 5 menit. Kaca objek tersebut diolesi dengan aquades, dan olesan diwamai dengan pewama tandingan yaitu safranin selama 30 detik, lalu

diwci dengan air, dikeringkan dan diimati dibawah mikroskop dengan perbesaran

1 oox.

Uji Katalase. Pada umumnya Clostridum sp. menunjukkan katalase negatif.

Uji katalase dapat dilakukan dengan pemberian tetes 3% H202 pada koloni bakteri.

Terbentuknya gas pada permukaan cawan menunjukkan terjadinya reaksi katalase.

Uji Blacking Media. Genus Clostridium dapat identikasi dari kemampuan

(121)

Medium (DRCM). lnokulum ditumbuhkan pada DRCM dan diinkubasi selama 2 hari

pada suhu 37°C.

Uji Fermentasi Gula. Uji fermentasi glukosa, laktosa, maltosa, fruktosa,

sukrosa dan salisin dilakukan dalam tabung ulir yang mengandung RCMM dengan

memasukkan keenam gula tersebut sebagai sumber karbohidratnya. lnkubasi

dilakukan dalam anaerobic jar pada suhu 37 OC selama 48. lndikator yang dgunakan

ialah merah fenol.

Uji Indol. Sebanyak 100 pl biakan dalam RCMM dimasukkan kedalam kaldu

tripton 1% dalam tabung ulir dan diinkubasi secara anaerob selama 48 jam pada

suhu 37 OC. Adanya indol dapat diketahui dengan menggunakan beberapa tetes

reagen Kovac's; uji positii ditunjukkan oleh terbentuknya lapisan berwama merah

diatas biakan.

Uji Hidrolisis Pati dan Gelatin. Hidrolisis pati dan gelatin dilakukan dengan

memasukkan soluble pati 1% atau gelatin 0.4% dalam Nutrien Agar. Terjadinya

hidrolisis pati ditandai dengan adanya zona bening disekiiar koloni setelah

penambahan Lugol's iodine. Hidrolisis gelatin ditandai dengan pemberian indikator

HgCl 15% (wlv) dalam 1 M HCI.

Uji Lesitinase dan Lipase. Uji keberadaan lesitinase dan lipase dilakukan

dengan mentotolkan isolat pada medium Egg Yolk Agar. Adanya lesitinase ditandai

dengan terbentuknya presipitat yang melewati lebar koloni. Adanya lipase ditandai

oleh adanya lapisan mengkilap pada permukaan koloni. Kepastian adanya lipase

dilakukan dengan meneteskan larutan CuS04 jenuh pada areal sekitar koloni dan

(122)

Uji Hidrolisis Urea. Uji hidrolisis urea dilakukan dalam medium

Christensen's yang mengandung 20 % urea dan 0.2% merah fenol. Perubahan

merah fenol dari kuning (pH 6,8) menjadi merah keunguan (pH 8,1 atau lebih)

menunjukkan terjadinya hidrolisis urea menjadi amoniak.

Uji Proteolitik. lsolat yang diduga C. bifementans ditumbuhkan pada

medium Skim Milk Agar yang mengandung 2% susu skim (Dancow, Indonesia), 2 %

Bacto agar, 0.5 % NaCl dan 0.5 % ekstrak khamir. lnkubasi dilakukan secara

anaerobik pada suhu 37' C, lalu diukur indeks proteolitiknya.

B. ldentifikasi dengan FAT (Fluorescein Antibody Technique)

Pembuatan Antigen C. bifennenfans. C. bifermentans ATCC638

dibiakkan pada lempeng Agar Darah dan diinkubasi pada suhu 37 OC selama 48

jam. Koloni tunggal yang tumbuh diambil dan diinokulasikan dalam media pepton 3

% (Oxoid L37) pH 7.5. lnkubasi dilakukan selama 24 jam. Sel bakteri dipanen

dengan cara disentrifugasi pada 5000 rpm selama 20 menit. Pelet bakteri yang

diperoleh dicuci dengan Phosphat Buffer Saline (PBS) sebanyak 3 kali. Pada

pencucian terakhir bakteri diresuspensi dalam PBS sehingga sama dengan

kekeruhan dari 'Browns Opacdy Tube' no 8 yang kira-kira mengandung

lo8

seUml.

Suspensi sel dipanaskan dalam air mendidih selama 1 jam, lalu ditambahkan 0.01%

thiomersal dan disimpan pada suhu 4OC sampai saatnya digunakan

.

Pembuatan Anti C. bifermentans. Serum kebal atau hiperimun terhadap

C. bifermentans dibuat pada hewan domba dengan menyuntikkan kultur mati C. bifementans dengan dosis bertingkat dalam jangka waktu 5 hari secara intravena.

(123)
[image:123.559.68.485.24.761.2]

memperkuat respon spesifik antibodi anti C. Mementans. Adapun jadwal penyuntikan sebagai berikut :

Tabel 2. Jadwal imunisasi

Ket : I

=

domba putih, II

=

domba spot hitam

Satu minggu setelah imunisasi dilakukan, serum domba diambil dan diuji

untuk mengetahui besamya anti C. bifementans yang terbentuk. Dalam uji ini serum

domba diteteskan pada gelas objek dan antigen C. Mementans diteteskan

diatasnya. Adanya reaksi aglutinasi yang kuat menunjukkan anti C. bifermentans

yang terbentuk telah cukup tinggi. Setelah itu, dilakukan pengambilan darah domba

yang diikuti dengan pemisahan serumnya dengan sentrifugasi 1500 rpm selama 10

menit sehingga didapat antiserum yang benar-benar bening. Antiserum disimpan

pada suhu 4OC sampai saat dilakukan pemumian IgG. Domba

1 11

-

Pemurnian lgG Anti C. bifermentans. Terhadap serum domba

ditambahkan ammonium sulfat (NH4)2S04 jenuh, Tris-EDTA pH 8.0 dengan volume

yang sama. Pengendapan dilakukan secara perlahan-lahan sambil diaduk dengan

magnetic stirrer selama 20 menit. Setelah terjadi pengendapan secara keseluruhan, disentrifugasi pada 3000 rpm 20 menit. Endapan diresuspensikan kembali dengan

PBS ke volume semula, kemudian diendapkan kembali dengan (NH4)2S04 jenuh.

Presipitat yang diperoleh didialisa dengan PBS selama 3 malam pada suhu 4OC.

Tahap pemumian selanjutnya adalah melalui kolom kromatografi yaitu

DEAE sephacell. IgG dilewatkan dalam kolom dan IgG yang keluar dipantau dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Pemantauan Hari

ke-

5 8.0 ml 8.0 ml 4

(124)

dilakukan untuk tiap fraksi IgG dengan volume 5 ml. Fraksi yang terendah hingga

yang tertinggi dikumpulkan (pooled) dan dihitung konsentrasi IgG nya. Sebagai

pelarut digunakan phosphat buffer pH 7.5. Rasio antara

hXo

dan h2&30 menunjukkan

kemumiaan IgG yang diperoleh, sedangkan konsentrasinya diestimasi berdasarkan

persamaan (Johnstones dan Thorpe, 1982) :

[IgG]

=

(Abs 280 x 1.22)

-

(Abs 260 x 0.77)

Pelabelan Antibodi dengan FITC. Kadar IgG yang diperoleh

dikonsentrasikan hingga menjadi 10 mglml. Adapun komposisi untuk pelabelan

FITC adalah : 2 ml IgG, 7 ml PBS pH 7.5 dan 1 ml buffer karbonat pH 9.0 sehingga

total volume menjadi 10 ml. Kebutuhan FlTC adalah 0.025 mg untuk 1.0 mg IgG.

Muhmula sebanyak 2,5 mg FlTC dilarutkan dalam campuran PBS dan buffer

karbonat pH 9.0, kemudian 2 ml IgG dimasukkan secara perlahan-lahan sambil

distirer. Stir dilakukan selama 2 jam pada suhu ruang dalam keadaan gelap. IgG

terlabel dimasukan dalam kolom Sphadex G25, lalu fraksinya ditampung 4 ml per

tabung. Fraksi IgG terlabel diuji kemungkinan terjadinya cross reaction dengan

beberapa spesies Clostridium.

ldentifikasi dengan FAT. Koloni tunggal dari Agar Darah yang diperkirakan

sebagai C. bifermentans dibuat sediaan utas dan difiksasi dengan cara dipanaskan

diatas api kemudian ditetesi dengan antibodi terhadap C. biferentans yang telah

dilabel dengan fluoresen isotiosianat (FITC). Setelah ditetesi dengan Fluorescen

Labelled Antibody, sediaan disimpan dalam ruang lembab selama 1 jam lalu dicuci

dengan PBS sebanyak 3 kali dan dikeringkan dengan keras serap pengering. Kaca

(125)

karbonat (50 % gliserol dalam 1 M Na2C03). Preparat yang dihasilkan diamati

dengan mikroskop UV fluoresen dengan perbesaran 1000x.

C. Analisis Keragaman Genetik

C.1. lsolasi DNA genom bakteri

Untuk keperluan reaksi rantai polimerase (PCR), total DNA genom

C. bifemntans diekstraksi dengan metode CTAB (Maniatis, et a/., 1989) yang dimodifikasi oleh Schaad's dan Lee's, (1995). Mula-mula isolat C. bifermentans

diremajakan dengan menumbuhkannya pada medium agar darah selama 24 jam

pada suhu 37°C. Koloni tunggal yang tumbuh diambil dan dikulturkan dalam

medium kaldu cair (TYG broth) selama semalam kemudian disentrifugasi pada 6000

rpm selama 2 menit untuk mendapatkan pelet bakteri. Pelet bakteri yang diperoleh

dimasukkan kedalam 250 pI buffer TE pH 8,O (10 mM TrisCl pH 8, 1 mM EDTA pH

8) dan disentrifusi selama 2 menit pada 6000 rpm. Pelet diresuspensikan dalam 760

yl buffer TE yang sama, ditambah 2 mglml lisozim dan diinkubasi pada 37°C selama

1 jam. Kedalam suspensi tersebut ditambahkan 40 pl SDS 10% dan 8 p1 (10 mglml)

protease-K. Campuran dikocok dan diinkubasi pada 37°C sampai terbentuk larutan

kental, kemudian ditambahkan 100 pl NaCl 5M dan 100 pI CTAB 10%. Setelah

dikocok dan dipanaskan 60-65°C selama 20 menit dalam penangas air, ditambah

500 pI campuran fenol : kloroform : isoamilalkohol (25:24:1). Campuran dikocok dan

disentrifugasi selama 5 menit pada 6000 rpm. Supernatan dipindahkan kedalam

tabung Eppendorf berisi isopropanol dingin, bolak-balik dan diamkan pada suhu

ruang hingga muncul benang-benang DNA. DNA diendapkan dengan cara

(126)

dingin. Setelah dikeringkan dalam speed vacuum, selanjutnya DNA yang diperoleh

disimpan dalam buffer Tris EDTA (TE) pH 8,O pada suhu -20°C.

C.2. Amplifikasi 16s rDNA

Amplikasi PCR untuk 16s rDNA dilakukan dengan menggunakan 2 buah

primer oligonukleotida spesifik prokariot yakni 63f (5'-CAG GCC TAA CAC ATG CAA

GTC) dan 1387r (5-GGG CGG WGT GTA CAA GGC) (Marchesi, et al. 1998).

Komponen reaksi PCR untuk total volume 25 pI terdiri atas 150-200 pglml DNA

templat, 20 pmol tiaptiap primer (Forward dan Reverse), 1 unit Taq DNA

Polymerase beserta buffemya (1,5 mM MgC12, 50 mM KCI, 10 mM Tris-HCI), 200

pM tiap-tiap dNTP, dan bahan penstabil termasuk BSA.

Proses amplikasi dijalankan dengan GeneAmp PCR System 2400 (Perkin

Elmer, New Jersey) sebagai berikut : sebelum amplikasi, dilakukan prapemanasan

(pre PCR) pada suhu 95°C selama lima menit. Denaturasi pada suhu 92°C selama

30 detik, pelekatan (annealing) pada suhu 55°C selama 30 detik, dan perpanjangan

(elongation) DNA pada 72°C selama 1 menit. Siklus ini diulang hingga 30 kali, dan

setelah daur yang terakhir, dibiarkan terjadi pemanjangan DNA (post PCR) pada

suhu 72°C selama 5 menit dan penyimpanan (store) pada suhu 4°C.

C.3. Analisis Restriksi 16s rDNA (ARDRA)

Sebanyak 5.0 p1 produk PCR didigesti dengan enzim endonuklease

restriksi Rsal (5'-GT~AC) sebanyak 1pI (2 unitlpl) dengan 1x buffer

Y'

TANGO

kemudian ditambahkan akuabides hingga mencapai volume reaksi 20 pl. Campuran

diinkubasi selama semalam pada suhu 37% dalam water bath, reaksi dihentikan

(127)

elektroforesis dilakukan pada gel agarosa konsentrasi 2% dalam buffer I x TBE

dengan tegangan 55 V pada suhu ruang. Gel hasil elektroforesis diwamai dengan

ethidium bromida kemudian dibilas dengan akudes. Profil pita-pita DNA diamati

dengan transiluminator UV. Untuk dokumentasi digunakan Gel Doc 1000 dari BIO-

RAD dan kemudian profil DNA hasil elektroforesis dibandingkan untuk melihat

keragaman genetik masing-masing isolat.

Hubungan kekerabatan antar galur C. bifermentans dikonstruksi berdasarkan

profil ARDRA enzim yang paling diskriminatif dengan membuat dendrogram

menggunakan program TREECON (van de Veer, 1995).

D. Uji Toksisitas ls

Gambar

Tabel 1. Morfologi dan penampakan koloni beberapa spesies Clostridum
Tabel 2. Jadwal imunisasi
Gambar 1. Uji proteditilc isolat R14-lb dan R3-1 pada medium Skim Milk Agar -
Tabel 3. lsolat yang teridentifikasi sebagai C. Mementans berdasarkan uji FAT
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ha4 : Sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku yang dirasakan akan berpengaruh terhadap minat mahasiswa yang selanjutnya dapat

1) Tidak berwujud : jasa tidak berwujud, tidak seperti produk fisik, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. Untuk

[r]

Oleh karena itu, penelitian dengan judul Analisis Kalimat Aktif dan Pasif dalam Rubrik “Opini” pada Surat Kabar Harian Kompas edisi Februari 2017 penting untuk

- Format GIF ini berukuran kecil dan mendukung gambar yang terdiri dari banyak frame sehingga bisa disebut sebagai gambar animasi (gambar bergerak). - Format ini sering

[r]

1) Kriteria air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan perpipaan terlindungi dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari

Jumlah siswa yang tidak sama dengan jumlah penduduk berusia sesuai dengan jenjang pendidikan ini dapat disebabkan oleh adanya siswa yang berusia kurang dari