• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh religiusitas terhadap kecerdasan emosional remaja tuna daksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh religiusitas terhadap kecerdasan emosional remaja tuna daksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:

SERLI WIDIYAWATI

NIM: 1110011000074

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Ilmu

Tarbiyah dan I(eguruan

UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalarn

ujia, Munaqasah

pada tanggal

z

Febniari 2015 di hadapan der'van penguji. I(arena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjala S1

(S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agarna Islain.

J al<arta, 9 Februari 20 1 5 Panitia Ujian Munaqasah

I(etua Panitia (l(etua Jurusan pAI)

Dr. H. Abdul il4ajiC l(]ron, M.Ag NIP. 19580707 198703

I

00s

S ekretaris (S ekretarisJurusan,pAl)

Marharnah Saleh. Lc. MA NrP. 19720313 200801 2o1o

Penguji I

Prof. Dr. H. Salman Harun NIP. 19450612196510 1 001

Penguji II

Siti ICradtiah. MA

NIP. 19700727 199703 2 oO4

Tanggal

Mengetahui:

Dekan,

L,

7-o

lS

'

\\

,'-1{)

-\-_--,

a -) r--7-->

-/

,'

u/,

lot{

'a'I Ph.D

(3)

D.Dl

YPAC

JAKARTA

Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar Sarjana pendidikan (s. pd. D

OIeh:

Serli Widivawati NIM: 1110011000074

Menyetujui, Pembimbing

NIP. 19710319 199803 2 001

JURUSAN

PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM

FAKULTAS

ILMU

TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

Skripsi berjudul Pengaruh Religiusitas Terhadap Kecerdasan Emosional

Reaja Tuna Daksa di SLB D-Dl YPAC Jakara disusun oleh Serli Widiyawati Nomor Induk Mahasiswa 1110011000074, Jurusan Pendidikan Agama Islam.

Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas

Ilmu

Tarbiyah

dan

Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatull ah, J akarta.

.lakarta"

l:l

.lanuari 2015

Yang Mengesahkan, Dosen Pembimbing

(5)

Serli Widiyawati

1 1 1001 1000074

Pendidikan Agama Islam

Jl" Ki Muhammad Idris, Desa Sumuranja Rt. 15104 Kec. Pulo

Ampel Kab. Serang-Banten Nama

NIM Jurusan

Alamat

MENYATAKAN DENGAN

SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Religiusitas Terhadap Kecerdasan

Ernosional Remaja Tuna Daksa

di

SLB

D-Dl YP.A.C

Jakarta adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

Nama Pembimbing : Dr. Sururin, M.Ag

NIP

:19710319 199803 2001

Demikian surat pemyataan

ini saya buat

dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, I 4 J antari 201 5

Yang Menyatakan

(6)

kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.

Penting bagi para remaja tuna daksa untuk mampu keluar dari berbagai sesuatu yang menekan baik dari dalam dirinya. Untuk keluar dari situasi tersebut individu harus secara cerdas memaknai setiap masalah yang dihadapi dan mampu merespon secara tepat, sehingga ketika nanti harus beradaptasi dengan lingungan sosialnya individu tidak mengalami kesulitan dan mampu membawa diri dengan baik. Dalam hal ini kecerdasan memiliki peran yang sangat penting baik itu kecerdasan intelektual, emosional maupun spiritual.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kecerdasan emosional, bagaimana religiusitas dan bagaimana pengaruh religiusitas terhadap kecerdasan emosional remaja tuna daksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2014 di SLB D-D1 YPAC Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis statistik dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket dengan bentuk skala likert. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi product moment. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara religiusitas terhadap kecerdasan emosional remaja tuna daksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai r hitung 0,877 dan termasuk kategori tinggi (nilai r hitung pada rentang 0,800-1,00) dengan nilai KD sebesar

76,91%.

(7)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat kasih dan sayang-Nya yang senantiasa tercurah pada kita semua terutama bagi penulis sediri. Dan dengan seizin-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurah kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW suri tauladan paling mulia bagi semesta alam.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Dr. Hj. Nurlena Rifa’i, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Dosen Penasehat Akademik

3. Ibu Marhamah Saleh, Lc,. MA. Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.

4. Ibu Dr. Sururin, M.Ag, dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berarti dengan segenap kesabarannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan maksimal.

5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti selama perkuliahan sampai selesai penyusunan skripsi.

6. Ibu Dra. Siti Khoiriyah, kepala sekolah SLB D-D1 YPAC Jakarta yang telah mengizinkan saya untuk melakukan penelitian di sekolah.

7. Bapak Mudofir, S.Pd.I, guru agama di SLB D-D1 YPAC terima kasih atas

do’a, motivasi dan bantuannya.

8. Seluruh siswa SLB D-D1 YPAC Jakarta yang menjadi subjek penelitian, terima kasih atas waktunya dan kesediaannya untuk menjadi responden. 9. Teruntuk kedua orangtuaku ayahanda H. Ali Mukti dan ibunda Hj.

(8)

inspirasi, dukungan, semangat, dan doa selama penulis menyusun skripsi. Semoga kamu akan selalu terus ada di hatiku.

11. Seluruh sahabat terbaikku Winda Ainnur Happy, Dian Hayati, Puji, Tiara, Sofi, Aji, Wilda, Ela. Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

12. Teman yang membantu dalam penulisan skripsi Nurhamimah, Intan, Cuda, Intan, dan semua teman-teman yang sabar membantu dalam penulisan skripsi.

13. Keluarga besar P20AI yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis baik selama dalam mengukuti perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini.

14. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, karena dukungan dan pengertian mereka sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya doa yang dapat penulis panjatkan kepada semua pihak yang telah membantu penulis semoga mendapatkan balasan pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Peneliti menyadari dengan segala kemmapuan dan keterbatasan yang dimiliki, dalam penyusunan skripsi ini oleh karena itu peneliti mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan penelitian ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya, terutama untuk peneliti sendiri.

Akhirnya peneliti ucapkan terima kasih sekali lagi untuk semua pihak yang sudah membantu penyelesaian laporan penelitian ini.

Jakarta, Januari 2015

(9)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ……….. ... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 7

C.Pembatasan Masalah ... 8

D.Perumusan Masalah ... 8

E.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 10

A.Penyusunan Kerangka Teori ... 10

1. Religiusitas ... 10

a. Pengertian Religiusitas ... 10

b. Dimensi-Dimensi Religiusitas ... 11

c. Religiusitas dalam Perspektif Islam ... 15

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas ... 17

2. Kecerdasan Emosional ... 19

a. Pengertian Kecerdasan Emosional... 19

b. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 23

(10)

v

3. Tuna Daksa ... 27

a. Pengertian Tuna Daksa ... 27

b. Klasifikasi Tuna Daksa ... 27

c. Karakteristik Tuna Daksa ... 28

B.Hasil Penelitian yang Relevan... 30

C.Kerangka Berpikir ... 31

D.Hipotesis Penelitian ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 34

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

B.Metode Penelitian ... 34

C.Variabel Penelitian ... 34

D.Populasi dan Sampel ... 35

1. Populasi Penelitian ... 36

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 35

E.Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen ... 36

1. Teknik Pengumpulan Data ... 36

2. Instrumen Penelitian ... 37

3. Validitas Instrumen ... 40

4. Reliabilitas Instrumen ... 41

F. Teknik Analisis Data ... 43

G.Hipotesis Statistik ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. ... 46

A.Deskripsi Data.. ... 46

1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 46

2. Visi, Misi, dan Tujuan ... 47

3. Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Siswa ... 48

4. Fasilitas Sekolah ... 50

(11)

vi

6. Deskripsi Data Religusitas ... 52

7. Deskripsi Data Kecerdasan Emosional ... 60

B.Pengujian Prasyarat Analisis dan Pengujian Hipotesis ... 71

1. Pengujian Persyaratan Analisis ... 71

a. Uji Normalitas... 71

b. Uji Linearitas ... 72

2. Pengujian Hipotesis ... 73

C.Pembahasan Hasil Penelitian ... 76

D.Keterbatasan Penelitian ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ……… ... 79

B. Saran-saran ……… ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(12)

Tabel 3.1 Nilai Skor Jawaban 37

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Skala Religiusitas 38

Tabel 3.3 Kisi-kisi Skala kecerdasan Emosional 39 Tabel 3.4 Hasil Uji Validitas Variabel X dan Y 41

Tabel 3.5 Reliabilitas Variabel X 42

Tabel 3.6 Reliabilitas Variabel Y 42

Tabel 3.7 Interprestasi Analisis Deskriptif 43

Tabel 3.8 Interpretasi Nilai r 44

Tabel 4.1 Tenaga Pendidik 48

Tabel 4.2 Tenaga Kependidikan 48

Tabel 4.3 Siswa TKLB 48

Tabel 4.4 Siswa SDLB. D1 49

Tabel 4.5 Siswa SDLB. D2 49

Tabel 4.6 Siswa SMPLB. DI 49

Tabel 4.7 Siswa SMPLB. D2 50

Tabel 4.8 Siswa SMALB. D1 50

Tabel 4.9 Siswa SMALB. Keterampilan 50

Table 4.10 Fasilitas Sekolah 51

Tabel 4.11 Memiliki keyakinan terhadap apa yang agama ajarkan 52 Tabel 4.12 Tidak mengetahui jumlah surat didalam al-Qur’an 53

Tabel 4.13 Mengerjakan solat lima waktu 53

(13)

Tabel 4.18 Membantu yang membutuhkan bantuan 55 Tabel 4.19 Tidak mengetahui kapan Nabi Muhammad lahir 56 Tabel 4.20 Mempercayai bahwa berkewajiban untuk 56

melaksanakan ibadah Haji jika mampu melaksanakannya

Tabel 4.21 Solat tahajjud terasa begitu berat 57 Tabel 4.22 Seringkali berbohong demi kepuasan hati 57 Tabel 4.23 Selalu berusaha mengamalkan ajaran agama dalam seluruh 58

Hidup

Tabel 4.24 Merasa selalu diawasi oleh Allah 58

Tabel 4.25 Khusu’dalam solat merupakan suatu hal yang sulit 58 Tabel 4.26 Merasa senang dengan melihat orang lain mengikuti ajaran 59

Islam

Tabel 4.27 Terkadang merasa Allah tidak adil 59

Tabel 4.28 Skor Perolehan Religiusitas 60

Tabel 4.29 Tidak pernah memisahkan teman yang berdebat 60 Tabel 4.30 Segera bertanya ketika tidak mengerti penjelasan guru 61 Tabel 4.31 Merasa kesulitan membujuk teman melakukan sesuatu 61 Tabel 4.32 Perasaan saya mudah berubah-ubah 62 Tabel 4.33 Siap menerima resiko atas keputusan yang diambil 62 Tabel 4.34 Tetap berusaha sebaik mungkin meskipun banyak yang 63

(14)

Tabel 4.37 Ada keinginan kuat dalam diri untuk terus meningkatkan 64 Prestasi

Tabel 4.38 Berusaha untuk selalu berkata jujur 64 Tabel 4.39 Tenang dalam menyampaikan pendapat sendiri dihadapan 65

teman-teman

Tabel 4.40 Tidak mengakui kesalahan yang diperbuat 65 Tabel 4.41 Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru 66 Tabel 4.42 Membantu seseorang yang membutuhkan bantuan 66 Tabel 4.43 Dapat merasakan kesedihan yang dirasakan orang lain 67 Tabel 4.44 Tidak pernah berpendapat didalam kelompok karena tidak 67

yakin dengan pendapat sendiri

Tabel 4.45 Mengingkari janji yang telah perbuat 68 Tabel 4.46 Ketika membutuhkan bantuan banyak teman yang mau 68

menolong

Tabel 4.47 Seringkali menyerah mengerjakan sesuatu yang sulit 68 Tabel 4.48 Tidak dapat bekerja sama dalam kelompok 69 Tabel 4.49 Mengenal banyak teman sebaya membuat banyak 69

memahami berbagai hal

Tabel 4.50 Lebih memilih mengerjakan segala sesuatunya seorang diri 70 Tabel 4.51 Skor Perolehan Kecerdasan Emosional 70

Tabel 4.52 Uji Normalitas Data 71

(15)
(16)
(17)

Lampiran 2 Angket Uji Coba Variabel X dan Y

Lampiran 3 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian Setelah Uji Coba Lampiran 4 Angket Sesudah Uji Coba Variabel X dan Y Lampiran 5 Hasil Angket Variabel X

Lampiran 6 Hasil Angket Variabel Y Lampiran 7 Validitas Variabel X dan Y

Lampiran 8 Tabel Harga R (Pearson Product Moment) Lampiran 9 Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 10 Surat Izin Penelitian

(18)

A. Latar Belakang

Manusia hidup tidak akan terlepas dari mind dan body. Kedua komponen tersebut merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh subjek. Konsepsi mengenai tubuh ideal terus berkembang dalam sejarah ilmu pengetahuan. Keinginan manusia untuk terus mencari sisi ideal dari konsep mengenai tubuh pun tidak pernah berhenti sampai detik ini.

Romantisme manusia tentang tubuh secara tidak langsung diatur oleh masyarakat, berpegang teguh pada keyakinan atas tubuh normal yang digambarkan oleh ilmu pengetahuan. Contohnya adalah apabila masyarakat melihat perempuan memiliki tubuh berotot karena dia sering melakukan aktivitas olahraga angkat beban, maka akan dianggap sebagai anomali. Otot dan kekar adalah label yang melekat pada tubuh laki-laki dan apabila ada perempuan yang memiliki struktur tubuh yang demikian, maka masyarakat akan menganggap hal

tersebut tidak ”normal”. Dalam kehidupan masyarakat tubuh yang anomali ini

diidentikkan sebagai tubuh yang mengalami pengalaman yang sedikit daripada pengalaman dengan tubuh rata-rata. Ide tentang tubuh anomali ini dianggap tidak mampu meyerap dunia dengan kesempurnaan tubuh yang telah ratusan tahun melekat pada pikiran manusia. Hal ini terjadi dalam tubuh-tubuh yang dimarginalkan, salah satunya adalah tubuh difabel.

Difabel/disabiltas adalah (cacat, ketidakmampuan) ; organ tubuh yang cacat berat, tidak ada (tidak berfungsi) rusak, terganggu, atau sangat kurang, juga berkaitan dengan gangguan fungsional.1 Istilah disabilitas merupakan suatu kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut memiliki nilai lebih atau kurang. Efek penyimpangan yang dialami oleh

1

(19)

penyandang disabilitas secara fisik seringkali mengundang perhatian orang-orang yang ada disekelilingnya, baik ketika penyandang disabilitas tersebut bertemu dengan orang baru maupun selama dia tinggal di lingkungan masyarakat tempatnya bersosialisasi.2 Difabel di Indonesia lebih dikenal dengan anak luar biasa (ALB). Istilah anak luar biasa (ALB) digunakan sebagai istilah umum untuk semua anak yang mempunyai keluarbiasaan, dan untuk menggantikan berbagai istilah yang selama ini digunakan, seperti anak cacat, anak berkelainan, atau anak lemah mental. Istilah yang lebih halus digunakan untuk menggambarkan kondisi setiap jenis penyimpangan, terutama yang penyimpangannya berada dibawah normal, seperti tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, dan tuna laras. Istilah-istilah ini meskipun menggambarkan kekurangan, tetapi mengandung rasa bahasa yang dapat diterima.3

Difabel tuna daksa merupakan sebutan bagi mereka para penyandang cacat fisik. Ada beberapa macam penyebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada manusia hingga menjadi tuna daksa diantaranya, polio myelitis, akibat kecelakaan, akibat keturunan, cacat sejak lahir, kelayuan otot-otot, akibat peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf/cerebrum.4

Kondisi fisik yang berbeda bahkan tak lengkap, terkadang menyebabkan para difabel tuna daksa ini merasa menjadi kaum minoritas yang dikucilkan oleh masyarakat. Terkadang masyarakat memandang para difabel ini sebelah mata. Bahkan tidak sedikit mereka mencibir dan menjaga jarak dengan mereka.

Hal ini akan semakin menjadi masalah ketika penyandang tuna daksa beranjak remaja. Masa remaja merupakan suatu periode penting dalam seluruh rentang kehidupan manusia. Masa remaja adalah masa yang penuh emosi. Salah

2

Winda Wahyuni dan Anggia K.E Marettih, Jurnal Psikologi vol.8 no.1, ( Riau: Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim , 2012), h. 63.

3IG.A.K. Wardani, Pengantar Pendidikan Luar Biasa, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2011), h. 1.4 cet. 16

4

(20)

satu ciri periode “topan dan badai” dalam perkembangan jiwa manusia ini adalah

adanya emosi yang meledak-ledak, sulit untuk dikendalikan. Disatu pihak, emosi yang menggebu-gebu ini memang menyulitkan, terutama untuk orang lain mengerti jiwa si remaja. Dipihak lain, emosi yang menggebu ini bermanfaat untuk remaja itu untuk terus mencari identitas dirinya.5

Remaja dengan gangguan fisik atau tuna daksa adalah remaja yang memiliki salah satu kelainan yang sifatnya gangguan dari fungsi otot dan urat syaraf yang disebabkan adanya kerusakan otak atau bagian tubuh lainnya. Karakter fisik inilah yang membedakan remaja penyandang tuna daksa dengan remaja lainnya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan mulai menjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Dukungan orangtua dan orang-orang disekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa.

Orangtua anak tuna daksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu melindungi (over protection), misalnya dengan memenuhi segala keinginannya, melayani secara berlebihan, dan sebagainya. Disamping itu ada juga orangtua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa merasakan ketergantungan sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenalnya. 6

Secara khusus, remaja dengan cacat fisik akan rawan memiliki permasalahan psikis karena umumnya pada masa tersebut kesadaran akan bentuk tubuh mulai menjadi perhatian utama. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya hasil polling Psychology Today terhadap 4000 pembacanya yang dilakukan pada

5

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 83.

6

(21)

tahun 1997 dan menemukan bahwa 56 persen dan 43 persen laki-laki memiliki ketidakpuasan terhadap penampilan dirinya.7

Peran masyarakat dan media, memang membawa pengaruh yang besar dalam mendorong seseorang untuk begitu peduli pada penampilan dan image

tubuhnya. Contohnya saja, sejak dulu di dalam masyarakat sudah terlihat pola-pola, bahwa yang cantik, yang ganteng, yang keren, yang langsing, akan lebih populer, disukai dan banyak mendapatkan peluang di sana sini - dari pada yang "biasa-biasa saja". Belum lagi, berbagai media dan iklan bermunculan di sana sini untuk memperkenalkan keampuhan produk mereka yang tentu saja banyak mendapat sambutan hangat dari masyarakat, baik tua muda, pria maupun wanita. Kehadiran media, tidak dipungkiri semakin mendorong pribadi-pribadi untuk meletakkan standar ideal dirinya seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Kecantikan dan kesempurnaan fisik, menjadi ukuran ideal bagi seseorang sehingga banyak yang berusaha mengejar kecantikan dan kesempurnaan, dengan bantuan kosmetik, gymnastic, fashion yang up to date, ke salon untuk menata rambut mode mutakhir, sampai dengan melakukan koreksi wajah dan tubuh di sana sini.

Nampak atau tidaknya kondisi tuna daksa, menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan kepribadian individu, terutama mengenai gambaran tubuhnya (body image).8

Sebagian dari mereka amat merasa terganggu dan tidak nyaman dengan penampilan fisiknya. Mereka merasa mempunyai kekurangan fatal yang sulit diperbaiki. Oleh karena itu, penting bagi para remaja tuna daksa untuk mampu keluar dari berbagai sesuatu yang menekan baik dari dalam dirinya seperti muncul perasaan rendah diri, minder, frustasi, mengisolasi diri, yang mengabaikan munculnya penolakan terhadap diri, maupun juga sikap dari masyarakat entah itu positif maupun negatif. Untuk keluar dari situasi tersebut individu harus secara cerdas memaknai setiap masalah yang dihadapi dan mampu

7Taufan Heryanto Putro, “Konsep Diri pada Remaja dengan Cacat Anggota Tubuh”,

Skripsi pada Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 2009, h. 1, tidak dipublikasikan.

8

(22)

merespon secara tepat, sehingga ketika nanti harus beradaptasi dengan lingungan sosialnya individu tidak mengalami kesulitan dan mampu membawa diri dengan baik. Dalam hal ini kecerdasan memiliki peran yang sangat penting baik itu kecerdasan intelektual, emosional maupun spiritual. 9

Kecerdasan emosional atau EQ bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, melainkan pada sesuatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi. Penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa keterampilan sosial dan emosional ini mungkin bahkan lebih penting bagi keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual. Dengan kata lain memiliki EQ tinggi mungkin lebih penting dalam pencapaian keberhasilan ketimbang IQ tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan kognitif verbal dan nonverbal.

Kecerdasan emosi tidak muncul dari pemikiran intelek yang jernih, tetapi dari pekerjaan hati manusia. Kecerdasan emosional menuntut individu untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, seseorang yang memiliki kecerdasan emosional mudah menyerap segala peristiwa-peristiwa maupun keadaan-keadaan yang membahayakan sekalipun menjadi peristiwa yang penuh tantangan dan menyenangkan.

Goleman menyebutkan beberapa unsur pembentukan kecerdasan

emosional, seperti, “keyakinan, rasa ingin tahu, niat, kendali diri, keterkaitan,

kecakapan berkomunikasi, dan koperatif”.10

Unsur keyakinan inilah kemudian yang diajarkan oleh suatu agama dalam menyikapi segala hal, termasuk dalam urusan bagaimana menyikapi dan meluapkan emosi. Agama (khususnya Islam) telah mengajarkan etika kepada manusia tentang bagaimana meregulasi emosi dengan baik. Oleh karenanya, orang

9

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), cet. 14, h. 7

10

(23)

yang beragama seharusnya memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dibanding orang yang tidak beragama.

Aktifitas beragama erat kaitannya dengan religiusitas, bukan hanya terjadi ketika melakukan ritual (ibadah) tetapi juga aktifitas lain yang didorong kekuatan batin. Jadi sikap religiuisitas merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan serta tindakan keagamaan dalam diri.

Sikap agamis seseorang dapat diperoleh dari kebiasaan (tradisi) dan lembaga (institution), anjuran, pergerakan aktifitas, ide motorik melalui cara meniru (imitation). Namun sikap agamis tersebut pada hakikatnya adalah salah satu keinginan alami untuk mengetahui arti dan pentingnya praktek-praktek ibadah. 11

Seseorang yang memiliki keberagamaan yang baik akan mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk mengetahui, mengatur, dan mengendalikan emosi sehingga dapat diterima disuatu tempat. Sebagai contoh konkrit seperti Muhammad Karim Amrullah, mahasiswa Fakultas Hukum UGM ini merupakan penyandang tunadaksa, kedua tangannya tidak bisa berfungsi sempurna seperti orang normal. Namun, dalam segala keterbatasannya, pemuda 20 tahun asal Sleman ini memiliki Indek Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata 3,44. Selain nilai akademik yang bagus, ia juga pernah dinobatkan menjadi mahasiswa beprestasi terbaik Fakultas Hukum UGM tahun 2012. Memiliki predikat penyandang cacat diakui Karim awalnya memberikan beban baginya. Dia sempat mengalami frustrasi saat menempuh pendidikan di bangku sekolah dasar. Pasalnya ia sering diejek oleh teman sekelasnya karena keterbatasan fisiknya. Sehingga dia sempat minder, dan takut berangkat sekolah. Tapi berkat motivasi ibunya untuk mengikhlaskan dan mendoakan mereka yang mengejek agar menjadi lebih baik, akhirnya Karim tidak memperdulikan hinaan teman-temannya. Dari sini terlihat

(24)

bagaimana keikhlasan dan tidak menyimpan rasa dendam yang merupakan bagian dari ajaran agama bisa membuat Karim bisa seperti sekarang.12

Berdasarkan observasi pada studi pendahuluan di YPAC Jakarta, peneliti melihat begitu kreatifnya siswa-siswa di YPAC Jakarta. Mereka melakukan pekerjaan yang tidak bisa kita percaya,ternyata sebuah perusahaan industri korek api TOKAI (ternama di Jepang) bekerja sama dengan mereka dalam proses pembuatannya. Peneliti melihat mereka begitu semangat ketika menjelaskan proses pembuatannya, tidak hanya sampai di situ mereka memiliki kemampuan dalam bidang kesenian seperti menjahit. Mereka juga melakukan hal yang sangat bermanfaat yaitu mendaur ulang barang bekas menjadi barang yang bermanfaat seperti tas dan sandal. Tanpa penulis sadari mereka tetap memiliki kemampuan dalam kekurangan mereka. Mereka juga selalu tersenyum ketika melihat orang yang baru di kenal,selalu ada keceriaan di wajah mereka yang membutuhkan respon. Mereka memandang dan melihat dunia ini dengan cara yang berbeda.

Melihat hal ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang keberagamaan yang berkaitan dengan emosi. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengetahui bagaimana pengaruh keberagamaan terhadap kecerdasan emosi remaja tunadaksa di YPAC Jakarta untuk dijadikan penelitian

dengan judul “Pengaruh Religiusitas Terhadap Kecerdasan Emosional pada

Remaja Tuna Daksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta”.

B. Identifikasi Masalah

1. Remaja tuna daksa cenderung merasa apatis, malu, rendah diri, sensitif dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya. 2. Remaja tuna daksa sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial

sekitar.

3. Beberapa remaja tuna daksa tidak bisa mandiri dan masih bergantung pada orang lain.

12

(25)

4. Kurangnya pemahaman keagamaaan yang diberikan kepada anak tuna daksa.

C. Pembatasan Masalah

Suatu penulisan ilmiah sangat diperlukan adanya pembatasan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penulis ini tidak menyimpang dari sasarannya. 1. Religiusitas yaitu seberapa jauh pengetahuan seberapa kokoh keyakinan,

seberapa tekun pelaksanaan ibadah, dan seberapa dalam penghayatan agama yg dianutnya. Dalam hal ini peneliti menggunakan teori keberagamaan menurut Glock dan Stark yaitu terdiri dari lima dimensi: keyakinan, praktik agama, pengalaman, pengetahuan agama, dan pengamalan.

2. Kecerdasan Emosional adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Dalam hal ini peneliti menggunakan teori kecerdasan emosional menurut Salovey yang terdiri atas lima aspek yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.

3. Remaja Tuna Daksa adalah remaja yang memiliki berbagai hambatan. Mereka memiliki berbagai hambatan, sehingga megalami kesulitan dan kesempatan untuk mengekspresikan ide dan perasaan dalam peran dan fungsi sosialnya didalam lingkungan kehidupan masyarakat dan YPAC Jakarta.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

(26)

2. Bagaimana religiusitas remaja tunadaksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta. 3. Bagaimana pengaruh religiusitas terhadap kecerdasan emosional remaja

tuna daksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana kecerdasan emosional remaja tuna daksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta.

2. Untuk mengetahui bagaimana religiusitas remaja tuna daksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh religiusitas terhadap kecerdasan emosional mereka.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dalam pengimplementasian nilai-nilai religiusitas dan kecerdasan emosi disekolah.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam mengembangkan kecerdasan emosional siswa.

(27)

A.Deskripsi Teoretik 1. Religiusitas

a. Pengertian Religiusitas

Secara bahasa religiusitas berasal dari kata religius (religious), religius merupakan kata sifat (adjective) dari religion. Menurut kamus Oxford, kata

religion memiliki dua definisi, pertama, ”belief in an worship of God or gods.

Yaitu sebuah kepercayaan dan peribadatan pada Tuhan atau dewa-dewa. Kedua,

“Particular system of faith and worship based on such belief.” Yaitu bagian dari

sistem kepercayaan dan peribadatan yang berdasarkan keyakinan. Adapun kata

religious menurut definisi kamus Oxford adalah “ adjective of religion, (religious)

of a person believing in and practicing religion.”1

Yaitu sifat keagamaan yang ada pada seseorang, atau keberagamaan seseorang dalam meyakini dan mengamalkan agama.

Menurut Roland Abeles definisi konseptual dari religiusitas adalah

religiousness has spesific behavioral, social, doctrinal, and denominational characteristics because it involves a system of worship and doctrine that is shared within a group.”2

Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa religiusitas adalah sistem peribadatan dan doktrin ada pada suatu kelompok, yang bersifat perilaku (behavioral), sosial (social), dan kedoktrinan (doctrinal), dan peginternalisasian sifat-sifat tertentu.

Religiusitas atau keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan

1

Oxford University Press, Oxford Learner’s Pocket Dictionary: Fourth Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2008), 372.

2

(28)

dengan agama. Keberagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif persamaan terhadap agama sebagai komponen konatif. Didalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, afektif, dan konatif saling berintegrasi sesamanya secara komplek.3

Dollahite mendefinisikan religiusitas adalah sebuah perjanjian keyakinan suatu komunitas yang mengajarkan dan menceritakan tentang sesuatu yang sakral. James mendefinisikan religiusitas adalah perasaan, perbuatan, dan pengalaman indvidual pada kesendiriannya dalam hubungannya dengan Tuhan.4

Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama.5

Jadi religiusitas merupakan sebuah bentuk kepercayaan seseorang yang bersumber dari keyakinan adanya Allah SWT. Religiusitas bukan sekedar keyakinan dalam hati, lebih dari itu, ia merupakan sebuah komitmen seseorang untuk mengaplikasikan apa yang diyakini dalam bentuk ibadah atau ritual-ritual keagamaan yang juga turut mempengaruhi perilaku seseorang. Dengan terinternalisasinya religiusitas dalam diri seseorang, akan menanamkan nilai dan perilaku yang sesuai dengan kepercayaan yang ia yakini, selain itu juga memberikan pengaruh dengan bagaimana orang tersebut berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

b. Dimensi-Dimensi Religiusitas

Agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sisitem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).6

3

Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta: Kalam Mulia, 1993), h. 13.

4

Brian J. Zinnbauer, Religiousness and Spirituality in Handbook of Religion and Spirituality, ( New York: The Guildford Press, 2005), h. 23.

5

(29)

Religiusitas merupakan menifestasi sejauhmana individu meyakini, memahami, mengetahui, menghayati, dan mempraktekkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.

Aktifitas beragama tidak hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual, tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Yakni bukan hanya berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan terjadi dalam hati sesorang. Karena itu, menurut Glock dan Stark religiusitas (keberagamaan) seseorang meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.

Adapun dimensi-dimensi keberagamaan menurut Glock dan Stark, yaitu: 1) Dimensi keyakinan.

2) Dimensi praktik agama. 3) Dimensi pengalaman. 4) Dimensi pengetahuan. 5) Dimensi pengamalan.7

Dimensi keyakinan adalah bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai termasuk dalam kategori dimensi ideologis. Kepercayaan atau doktrin agama adalah dimensi yang paling dasar. Inilah yang membedakan satu agama dengan agama yang lainnya,bahkan satu mazhab dalam satu agama dari mazhab lainnya.

Dimesi praktik agama adalah dimensi keberagamaan yang berkaitan dengan sejumlah perilaku. Yang dimaksud dengan perilaku disini bukanlah perilaku umum yang dipengaruhi keimanan seseorang, melainkan mengacu kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama, seperti tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, atau menjalankan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci. Shalat dengan menghadap kiblat beserta ruku’ dan sujud adalah simensi ritualistik Islam.8 Dimensi ini merupakan refleksi langsung dari dimensi

6

Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. 2, h. 76.

7

Jalaludin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, ( Bandung: MIZAN, 2005), Cet. 3, h. 43.

8

(30)

pertama. Ketika agama mengkonsepsikan adanya Allah yang menjadi pusat penyambahan, disebut juga dimensi praktek agama atau peribadatan (ritual).9

Dimensi pengalaman berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oeh penganut agama. Pengalaman keagamaan ini bisa saja terjadi sangat moderat, seperti kekhusukan di dalam shalat atau sangat intens seperti yang dialami oleh para sufi. Dimensi pengalaman adalah bentuk respon kehadiran Tuhan yang dirasakan oleh seseorang atau komunitas keagamaan. Respon kehadiran Tuhan dalam diri seseorang atau komunitas keagamaan tercermin pada adanya emosi keagamaan yang kuat. Terdapat rasa kekaguman, keterpesonaan, dan hormat yang demikian melimpah.

Dimensi pengetahuan. Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh para pengikutnya. Ilmu fiqih di dalam Islam menghimpun informasi tentang fatwa ulama berkenaan dengan pelaksanaan ritus-ritus keagamaan. Sikap orang dalam menerima atau menilai ajaran agamanya berkaitan erat dengan pengetahuan agamanya itu. Orang yang sangat dogmatis tidak mau mendengarkan pengetahuan dari kelompok manapun yang bertentangan dengan keyakinan agamanya.10 Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Walaupun demikian keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.11

Dimensi pengamalan menunjukkan akibat ajaran agama dalam perilaku umum, yang tidak secara langsung dan secara khusus ditetapkan agama (seperti

9

Muhyani, Pengaruh Pengasuhan Orang Tua dan peran Guru di Sekolah Menurut Persepsi Murid terhadap Kesadaran Religius dan Kesehatan Mental, ( Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), Cet. 1, h. 66.

10

Jalaludin Rakhmat, op. cit.,h. 46. 11

(31)

dalam dimensi praktik agama). Inilah efek ajaran agama pada perilaku individu dalam kehidupannya sehari-hari. Pengamalan adalah bentuk nyata dari semua perbuatan manusia yang disandarkan kepada Tuhan. Hidup dalam pengertian ini merupakan pengabdian yang sepenuhnya diabadikan kepada Tuhan. Orientasi dari semua perilaku dalam hidup semata tertuju kepada Tuhan. 12

Setelah dilakukan analisa statistik, akhirnya Kendler dkk menemukan 7 dimensi religiusitas, yaitu:

1) Dimensi religiusitas umum yang mencerminkan:

a) Perhatian dan keterlibatan pribadi dengan isu-isu spiritualitas termasuk posisinya di alam semesta.

b) Keterlibatan aktif seseorang dengan Tuhan dalam keseharian dan pada saat krisis.

2) Dimensi religiusitas sosial yang mencerminkan: Tingkat interaksi dengan orang lain yang taat beragama a) Frekuensi kehadiran di tempat ibadah.

b) Sikap terhadap penggunaan narkoba dan zat lainnya (Napza). 3) Dimensi keterlibatan Tuhan yang mencerminkan:

a) Keyakinan terhadap Tuhan yang secara aktif dan positif terlibat dalam semua urusan manusia.

4) Dimensi pemanfaatan yang mencerminkan: a) Pendekatan perhatian.

b) Pendekatan cinta.

c) Pendekatan maaf terhadap dunia.

5) Dimensi Tuhan sebagai hakim. Dimensi ini lebih menekankan sisi keputusan dan keadilan Tuhan.

6) Dimensi tanpa dendam yang mencerminkan:

a) Sikap terhadap dunia yang mencerminkan balas dendam ketimbang memaafkan.

7) Dimensi syukur yang mencerminkan: a) Rasa syukur.

b) Religious coping. 13

Berdasarkan uraian dimensi religiusitas diatas maka diambil lima dimensi religiusitas dari Glock dan Stark yang meliputi 5 dimensi yaitu dimensi keyakinan, dimensi praktik agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan,

12

Muhyani, op. cit., h. 66. 13

(32)

dan dimensi pengamalan. Pada dimensi keyakinan religiusitas digambarkan dengan keperayaan terhadap agama dan juga ajarannya. Pada dimensi praktik agama menjelaskan religiusitas berdasarkan aksi-aksi spesifik berupa ritual agama yang diharuskan dan dianjurkan oleh agama yang dianut. Dimensi pengalaman menggambarkan religiusitas dengan adanya pengalaman emosi yang bersifat positif maupun negatif yang dirasakan individu berkaitan dengan agamanya. Pada dimensi pengamalan religiusitas dapat digambarkan dengan kelakuan pada kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan ajaran agama. Dimensi pengetahuan menggambarkan religiusitas melalui pengetahuan individu mengenai agama dan ajarannya. Dimensi religiusitas dari Glock dan Stark diambil sebagai dimensi dalam penelitian ini disebabkan dimensi-dimensi ini mencerminkan kehidupan religiusitas dan bersesuaian pula dengan agama Islam.

c. Religiusitas Dalam Perspektif Islam

Agama adalah hubungan antar makhluk dan Khaliqnya. Hubungan ini terwujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.14

Religiusitas menurut Islam adalah melaksanakan ajaran agama atau ber-Islam secara menyeluruh.15 Religiusitas dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ritual saja, tapi juga dalam berbagai aktifitas yang lain. Sebagai suatu sistem yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Baqoroh ayat 208, yaitu:































14

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI, h. 210

15

(33)

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqoroh: 208)

Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap muslim baik dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak diperintahkan untuk berIslam. Dalam melakukan aktivitas ekonomi, sosial, politik atau aktivitas apapun, seorang muslim hendaknya ber-Islam.

Esensi Islam adalah tauhid. Oleh karenanya tidak ada satupun perintah dalam Islam yang bisa dilepas dari tauhid. Tauhid adalah intisari Islam dan suatu tindakan tidak bernilai Islam bila tidak dilandasi dengan kepercayaan kepada Allah SWT. 16

Rumusan Glock dan Stark yang membagi religiusitas menjadi lima dimensi memiliki keterkaitan dan kesesuaian dengan ajaran Islam. Dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah, dan dimensi pengalaman disejajarkan dengan akhlak.

Dimensi keyakinan atau akidah dalam Islam menunjukkan pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental atau dogmatik. Isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka serta qadha dan qadar.

Dimensi praktik agama atau syariah menunjukkan kepada sebarapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana diperintah dan dianjurkan oleh agamanya. Dimensi ini menyangkut pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji, membaca al-Qur’an, doa, zikir, ibadah kurban,dan sebagainya.

Dimensi pengalaman atau akhlak menunjukkan pada seberapa muslim berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana

16

(34)

individu-individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak berjudi, tidak meminum-minuman memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya. 17

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Keberagamaan atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan kedalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallah dan hablumminannas. Perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan yaitu:

1) Faktor Pembawaan (internal)

Matt Bradshaw dan Christhoper G. Ellison dalam penelitiannya menjelaskan bahwa genetik dan faktor biologi memainkan peran pada psikologis manusia. Faktor genetik akan membentuk suatu kepribadian pada diri seseorang, dan kepribadian seseorang tentunya akan mempengaruhi keberagamaan seseorang.18 Jadi, faktor genetik dan biologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberagamaan seseorang.

2) Faktor Lingkungan (eksternal)

Faktor pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan terjadi jika tidak ada factor luar yang memberikan rangsangan atau stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu adalah lingkungan dimana individu itu hidup. Lingkungan itu adalah:

17

Ibid., h.78. 18

(35)

a) Lingkungan Keluarga

Pendidian keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Menurut Rasul Allah SAW fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.19 Lingkungan Institusional

Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.20 Perkembangan jiwa keagamaan seseorang erat kaitannya dengan pembentukan moral yang dibentuk melalui materi pengajaran, sikap, dan keteladanan seorang guru sebagai pendidik serta pergaulan antar teman di sekolah.

b) Lingkungan Masyarakat

Boleh dikatakan setelah menginjak sekolah, sebagian besar waktu jaganya dihabiskan di sekolah dan masyarakat. Berbeda dengan situasi di rumah dan sekolah, umumnya pergaulan di masyarakat kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang dipatuhi secara ketat. Lingkungan masyarakat yang memilki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengarug positif bagi perkembangan jiwa keagaman anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. 21

Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara garis besar religiusitas dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetik, dan faktor sosial. Faktor genetik dapat membentuk perbedaan kepribadian, jenis kelamin, dan sifat bawaan. Adapun faktor sosial dapat berpengaruh melalui kultur, keluarga, sekolah, teman, dan

19

Jalaluddin, op.cit., h. 312, 20

Ibid., h. 313. 21

(36)

faktor-faktor sosial lainnya. Salah satu fakor yang dapat menentukan tinggi rendahnya tingkat kecerdasan emosional adalah kepribadian dimana tingkat religiusitas salah satu faktornya.

2. Kecerdasan Emosional

a. Pengertian Kecerdasan Emosional

Dalam makna paling harfiah, Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai “Any agitation or distrubance of mind, feeling, passion, any

vehement or excited mental state”.22

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa emosi adalah keadaan yang sangat mempengaruhi perilaku individu. Emosi merupakan reaksi terhadap perangsang dari luar maupu dalam diri individu yang berkaitan dengan perubahan fisiologis dan psikis.

Menurut Lazarus sebagaimana dikutip oleh Riani Mashar mengatakan bahwa emosi dapat didefinisikan sebagai

Keadaan yang kompleks pada diri organisme, yang meliputi perubahan secara badaniah dalam bernapas, detak jantung, perubahan kelenjar-dan kondisi mental, seperti keadaan menggembirakan yang ditandai dengan perasaan yang kuat dan biasanya disertai dengan dorongan yang mengacu pada suatu bentuk perilaku.23

Menurut Lewis dan Haviland-Jones emosi dapat diartikan sebagai aktivitas badaniah secara eksternal, atau reaksi meyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap peristiwa atau suatu kondisi mental tertentu.24 Sedangkan menurut Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, dalam bukunya, Executive EQ, kata

emotion bisa didefinisikan dengan gerakan (movement), baik secara metamorfosis maupun literal; kata emotion adalah kata yang menunjukkan gerakan perasaan. 25

22

Netty Hartaty, TAZKIYA Journal of Psikologi vol.6 no.1, ( Ciputat: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h.55.

23

Riani Mashar, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 1, h. 16.

24

Ibid.,

25

(37)

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa emosi adalah keadaan yang sangat mempengaruhi perilaku individu. Emosi merupakan reaksi terhadap perangsang dari luar maupu dalam diri individu yang berkaitan dengan perubahan fisiologis dan psikis.

Para peneliti berdebat tentang emosi mana yang benar-benar dapat dianggap sebagai emosi primer. Sejumlah teoritikus mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar. Jenis-jenis emosi tersebut adalah:

1) Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis.

2) Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan jika menjadi patologis – depresi hebat. 3) Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, waspada, sedih,

tidak tenang, ngeri, dan jika menjadi patologi, -fobia dan panik.

4) Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya-mania

5) Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.

6) Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.

7) Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.

8) Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebat. 26

Petunjuk tentang emosi manusia terdapat dalam al-Quran, dan lebih ditekankan pada jenis-jenis emosi yang dimiliki manusia itu sendiri dan kapan emosi itu muncul. Allah dalam al-Qur’an menjelaskan tentang jenis-jenis emosi manusia seperti :

1) Takut. Emosi ini dijelaskan antara lain dalam surah Al-Anfal:2,

Asy-Syu’ara:14, Az-Zumar:13.

2) Marah. Emosi ini antara lain dijelaskan dalam surah Al-A’raf: 150; dan Ali Imran: 119.

3) Cinta. Emosi ini dijelaskan antara lain dalam surah al-Baqarah : 165; Al-Adiyat :8

4) Senang atau gembira. Emosi ini dijelaskan antara lain dalam surah Ar-Rad: 26; Al-Insan: 11

26

(38)

5) Benci. Emosi benci dijelaskan dalam surah An-nisa: 19 dan A-hasyr :10.

6) Cemburu. Emosi ini dijelaskan Allah dalam surah Yusuf : 8-9

7) Dengki/iri hati. Penjelasan emosi ini diungkapkan dalam surah An-nisa: 54, Al-Falaq: 5

8) Penyesalan. Emosi ini dijelaskan dalam surah al-Qiyamah: 1-2, Al-Maidah 30-31

9) Sedih. Emosi ini dijelaskan antara lain dalam surah Yusuf: 84-86, Ali-Imran: 176

10) Bahagia. Penjelasan tentang emosi bahagia ini dikemukakan dalam surah Ar-Ra’d: 26, Yunus: 57-58. 27

Kecerdasan manusia yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni kecerdasan emosional. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontaran pada tahun 1990 oleh Salovey dan John Mayer yang menerangkan kualitas kecerdasan emosional yang penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuakan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat. 28

Goleman sebagaimana dikutip Netty Hartaty mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi atau Emotional Quotient (EQ) adalah

Suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi ( to manage our emotioallife wth intelligence).

Menjaga keselarasan emosi dan pengungkapan nya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivai diri, empati dan keterampilan sosial. 29

Sedangkan kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer adalah Kecerdasan sosial yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau baik emosi-dirinya maupun emosi orang lain, dan juga kemampuannya dalam membedakan emosi dirinya dengan emosi orang lain,

27

Netty Hartaty, op.cit., h.55-56. 28

Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Intelligence pada Anak, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 5.

29

(39)

dimana kemampuan ini digunakannya untuk megarahkan pola pikir dan perilakunya. 30

Sedangkan menurut Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi,dan pengaruh yang manusiawi. 31

Disaat membahas tentang dimensi kecerdasan yang sangat kompleks, kita mengenal suatu kecerdasan yang dikenal dengan kecerdasan emosional yang berkaitan dengan dimensi rohani (spiritual) dan imani. Dimensi rohani ini oleh sebagian kalangan disebut kecerdasan spiritual.

Kecerdasan spiritual adalah yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. 32

Untuk menggambarkan adanya kecerdasan emosional pada diri manusia, Al-Quran lebih menginformasikan adanya unsur nafs, qalb, ruh, dan aql.Istilah qalb,

fu’ad dan aql lebih dekat dengan pengetian emosional, karena pada istilah-istilah itulah beberapa hal yang terkait dengan potensi emosional dapat dijumpai, yaitu potensi kasih sayang, bermoral, beriman, takut berbuat salah, saling menolong, dapat bekerjasama dengan orang lain, dapat menerima pelajaran dari Tuhan, dan dapat dikembangkan dapat dijumpai.

Istilah kecerdasan emosional dalam Islam dapat pula dijumpai dalam konsep lahir batin yang terdapat dalam ajaran Islam. Menurut petunjuk al-Qur’an bahwa setiap ciptaan Tuhan seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, air, udara, tanah, dan

30

Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatn Emosional Anak, Terj. Muhammad Muchson Anasy, ( Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2010), Cet. 4, h. 15.

31

Robert K.Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, Terj.Alex Tri Kantjono Widodo, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2002) Cet. 5, h. xv.

32

(40)

sebagainya memiliki jiwa. Yaitu selain mengisyaratkan adanya sifat kasih sayang dan kekuasaan Tuhan yang terdapat di balik ciptaan tersebut juga semua itu memiliki jiwa emosi.33

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang dalam hubungannya dengan diri sendiri maupun dengan orang lain dalam hal menilai dan mengelola emosi diri, sehingga mampu mengatasi kesulitan, tantangan dan hambatan hidup dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

b. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Menurut Salovey ada lima aspek dalam kecerdasan emosional yaitu: 1) Mengenali Emosi Diri

Kesadaran diri (mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi) merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat individu ada dalam kekuasaan perasaan.

Kesadaran diri adalah kemampuan individu untuk menyadari emosi yang sedang dialaminya, dapat mengenal emosi itu, memahami kualitas, intensitas, dan durasi emosi yang sedang berlangsung serta tahu penyebab terjadinya. 34

2) Mengelola Emosi

Menangani perasaan agar perasaan terungkap dengan baik adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri.Mengelola emosi ini meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan dasar.

33

Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. 1, h. 49.

34

(41)

3) Memotivasi Diri Sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri.Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang dikerjakan.

4) Mengenali Emosi Orang Lain

Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional,

yang merupakan keterampilan dasar “bergaul”. Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan arena kehidupan. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Semakin individu terbuka kepada emosi diri sendiri, maka individu akan semaki terampil membaca perasaan.

Emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata, emosi jauh lebih sering diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal, diantaranya nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya.

5) Membina Hubungan dengan Orang Lain

Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi.35

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada intinya aspek kecerdasan emosi ada tiga yaitu, mengelola emosi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional dapat menstabilkan kondisi psikologis dengan adanya kesadaran seseorang baik pada diri sendiri maupun orang lain, bagaimana sesorang dapat mengelola emosinya,

35

(42)

dan mereka dapat bertahan dengan berbagai tekanan serta dapat menjalin hubungan baik dalam lingkungan sendirinya.

Dalam mengembangkan kecerdasan emosional, tentunya tidak begitu saja dapat terbentuk dengan baik dalam diri pibadi seseorang. Kecerdasan emosional ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti otak, keluarga, dan sekolah.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan melalui proses pembelajaran. Kecerdasan emosional ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti otak, keluarga, dan sekolah.

1) Faktor Otak

Otak manusia terdiri dari tiga bagian yang kompleks pada gambar 3 bagian otak, yaitu batang otak, sistem limbik, dan neokorteks. Bagian otak manusia yang disebut sistem limbik merupakan pusat emosi. Amigdala menjadi bagian penting dalam mengatur kehidupan yang berkaitan dengan masalah-masalah emosional. Pemisahan amigdala dari bagian-bagian otak lainnya akan menyebabkan seseorang tidak mampu dalam menangkap makna emosional dari suatu peristiwa. Ini berarti amigdala dalam dalam struktur otak berfungsi sebagai tempat ingatan emosi dan makna dari emosi. 36

Jika amigdala rusak, maka manusia akan kehilangan perasaan dan

emosinya. Akibatnya, ia menjadi manusia yang “cuek”, tidak memperdulikan orang lain, dan buta emosi. Sebagaimana Firman Allah



….























“…Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Q.S Al-Hajj: 46) 37

36

Daniel Goleman, op.cit., h. 19. 37

(43)

2) Keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama kita untuk mempelajari emosi. Pembelajaran emosi ini bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung kepada anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan sewaktu menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang bisa muncul antara suami dan istri.38 Bagaimana orang tua mengasuh dan memperlakukan anaknya adalah tahapan awal yang diterima atau dipelajari oleh anak dalam mengenal kehidupan. Kehidupan emosi yang ditanamkan di keluarga sangat berguna bagi anak di kemudian hari.

3) Sekolah

Guru memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi anak melalui teknik, gaya kepemimpinan, dan metode mengajarnya sehingga kecerdasan emosional berkembang secara maksimal. Setelah lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah yang mengajarkan anak sebagai individu untuk mengembangkan keintelektualan dan bersosialisasi dengan teman sebayanya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecedasan emosi seseorang secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak, secara psikis diantaranya meliputi lingkungan keluarga dan sekolah.

3. Tuna Daksa

a. Pengertian Tuna Daksa

Secara etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luar, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.

38

(44)

Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tuna daksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus. 39

Tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu akibat ganguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.40

Anak tuna daksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tuna daksa menyatakan bahwa anak tuna daksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat kelianan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya .41

Gangguan fisik atau cacat tubuh mempunyai pengertian yang luas, secara umum dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal.

b. Klasifikasi Tuna Daksa

Secara umum klasifikasi atau kategori gangguan dapat dibagi atas:

1) Anak tuna daksa yang tergolong bagian D (SLB D) ialah anak yang menderita gangguan karena polio atau lainnya, sehingga mengalami ketidak normalan dalam fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi

39

Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, h. 114.

40T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, ( Bandung: Refika Adintama, 2006), cet. 1, h. 121

41

(45)

otot-otot atau kerjasama fungi otot-otot, tetapi mereka berkemampuan normal.

2) Anak tuna daksa yang tergolong bagian D1 (SLB D1) ialah anak yang mengalami gangguan semenjak lahir atau cerebral palsy, sehingga mengalami hambatan jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi dan syaraf-syaraf. 42

c. Karakteristik Tuna Daksa

1) Karakteristik Akademik

Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tuna daksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal, sedangkan anak tuna daksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari idiocy sampai dengan gifted.

Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan.

2) Karakteristik Sosial/Emosional

Karakteristik sosial/emosional anak tuna daksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain, dan perilaku yang salah lainnya. 43

Anak akan melihat keadaan tubuhnya tidak normal, seperti anak-anak yang lain. Bagaimana anak mampu mengadakan adaptasi terhadap hambatannya,

42

Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,(Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuranan Pendidikan Psikologi Kampus Baru UI, 2011), h. 25.

(46)

merupakan problema yang menimbulkan stres sendiri. Dengan keadaannya ini anak dapat menunjukkan reaksi emosi yang berbeda-beda. 44

Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tuna daksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi seperti ini banyak ditemukan pada anak tuna daksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu,tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

45

Dapat disimpulkan bahwa masalah anak tuna daksa menimbulkan konsekuensi, sebagai berikut:

a) Tingkah laku dalam mengatasi kesukaran sebagai akibat ketergangguannya. Dua macam resiko penyesuaian diri secara psikologis yang harus dilakukan anak adalah mengatasi rasa depresi, shock, apatis dan penarikan diri, meningkatkan atau memulihkan kembali harga diri anak.

b) Penyesuaian diri dan penyesuaian sosial.

c) Kemampuan kognitif dan keberhasilan dalam pendidikannya.46

3) Karakteristik Fisik / Kesehatan

Sistem syaraf dalam mengatur fungsi-fungsi tubuh ini bekerja dengan mekanisme yang rumit, karena bekerjanya satu sistem organ dipengaruhi juga oleh organ yang lain. Gangguan yang diakibatkan oleh cacat fisik akan menimbulkan gangguan fungsi-fungsi fisiologis dalam tubuh. 47

Karakteristik fisik/kesehatan anak tuna daksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi,

44

Frieda Mangunsong, op. cit., h. 43. 45

I.G.A.K. Wardani, dkk., op. cit., h. 77. 46

Frieda Mangunsong, op. cit., h. 45-46. 47

(47)

Gambar

Tabel 3.1 Nilai Skor Jawaban
Tabel 3.2
Tabel 3.5 Reliabilitas Variabel X
tabel frekuensi.  Rumus yang digunakan yaitu:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis menyusun contoh kalimat yang diterjemahkan dari bahasa Mandarin kedalam bahasa Indonesia, dan sebaliknya dari bahasa Indonesia kedalam bahasa Mandarin, dengan

Makcik kamu ingin belikan buku untuk kamu.Beliau meminta kamu memilih buku yang kamu suka?. Tulis mesej bersama tiga sebab mengapa kamu memilih

(1) Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan minat belajar IPA materi Struktur Bumi dan Matahari pada siswa kelas V SD Negeri Pesayangan 01 antara pembelajaran

Diferensiasi horisontal dengan elemen lain, meliputi: keterampilan, uraian pekerjaan, alur proses bisnis, jenis produksi, work-flow integration, tingkat

Hasil penelitian Damayani (2015) yang menganalisis faktor pengetahuan dan sikap ibu terhadap ketepatan pemberian MP-ASI di Kelurahan Tiga Balata Kabupten

Penulis menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 dan Microsoft Accsess, suatu program berbasis Windows yang memiliki banyak kelebihan, seperti adanya objek-objek yang mudah dalam

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan segala karunia, nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga kepada penulis,