KUALITAS AIR DAN KANDUNGAN LOGAM BERAT
DALAM SEDIMEN DAN MOLUSKA DALAM KAITANNYA
DENGAN AKTIVITAS ANTROPOGENIK
DI DANAU MANINJAU, SUMATERA BARAT
MUHAMAD SUHAEMI SYAWAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kualitas Air dan Kandungan Logam Berat dalam Sedimen dan Moluska dalam Kaitannya dengan Aktivitas Antropogenik di Danau Maninjau, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
RINGKASAN
MUHAMAD SUHAEMI SYAWAL. Kualitas Air dan Kandungan Logam Berat dalam Sedimen dan Moluska dalam Kaitannya dengan Aktivitas Antropogenik di Danau Maninjau, Sumatera Barat. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan SIGID HARIYADI.
Danau Maninjau adalah salah satu danau yang terletak di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Tipe danau ini adalah danau tekto vulkanik yang terbentuk oleh aktivitas vulkanik. Isu pencemaran air danau merupakan isu utama dalam pemanfaatan dan pengembangan kawasan danau, di daerah manapun. Kegiatan penduduk di sekitar danau yang cenderung bersifat produktif pada umumnya menghasilkan limbah buangan hasil proses produksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status kualitas air dan logam berat di sedimen dan moluska dalam kaitannya dengan aktivitas antropogenik di sungai-sungai sekitar Danau Maninjau.
Parameter kualitas air yang dianalisis adalah TP, PO4-P, TN, NO3-N,
disamping pengukuran langsung dilapangan yang meliputi suhu, pH, DO, DHL, ORP, turbiditas, TDS dan debit. Analisis yang dilakukan untuk sedimen dan moluska adalah logam Fe, Pb, Cd, T-Cr dan T-Hg. Pengambilan kualitas air, sedimen dan moluska jenis pensi (Corbicula moltkiana), langkitang (Melanoides tuberculata) dan lokan (Anodonta Woodiana). dilakukan selama 3 kali dari bulan Maret-September 2015 di 7 (tujuh) titik lokasi muara sungai di sekitar D. Maninjau yang berpotensi masuknya bahan pencemar.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah, berdasarkan Indeks STORET kualitas air di muara sungai Muko-muko, Muaro Talao, Muaro Tanjung, dan Bayur digolongkan dalam katagori tercemar ringan dan katagori sedang pada stasiun Talao Tubo dan Muaro Pisang. Hanya pada stasiun Pandan yang masih berada dibawah baku mutu. Seluruh lokasi penelitian umumnya terpapar oleh logam berat di sedimen, namun untuk konsentrasi kadmium (Cd) digolongkan dalam katagori terpolusi berat di stasiun Muko-muko, serta logam berat timbal (Pb) di Muko-muko, Talao Tubo, Bayur, serta Muaro Pisang yang digolongkan dalam katagori terpolusi berat. Kandungan logam Fe, Cd, T-Cr dan T-Hg pada ke tiga jenis moluska masih tergolong dalam katagori rendah, tetapi kandungan logam timbal (Pb) pada jenis moluska pensi (Corbicula moltkiana) dan lokan (Anodonta Woodiana) di stasiun Muko-muko tergolong tinggi.
SUMMARY
MUHAMAD SUHAEMI SYAWAL. Water Quality and Heavy Metal Content in Sediment and Molluscs Related to the Anthropogenic Activities in Lake Maninjau, West Sumatera. Supervised by YUSLI WARDIATNO and SIGID HARIYADI.
Lake ecosystem have been degraded due to water pollution and environmental damage. Lake Maninjau is one of the lakes located in Agam District of West Sumatra. This lake is a tekto-volcanic lake formed by volcanic activity. Water pollution in an issue that often raise as an impact of utilization and development of lake. Sometimes, the activities of local people in is vicinity produce the waste that was flowing and enter into the lake through the inlet. This study was conducted from March to September 2015. During study, water samples, sediment amd molluscs pensi (Corbicula moltkiana), langkitang (Melanoides tuberculata) and lokan (Anodonta Woodiana) were collected more than three times in seven locations. The aim of this study is to determine the water quality, heavy metals concentration in sediment and molluscs and their relation with anthropogenic activities in the rivers around Lake Maninjau. The parameters of water quality were total phosphate (TP), orthophosphate (PO4-P),
total nitrogen (TN) and nitrate (NO3-N), also direct measurement in the field such
as temperature, pH, Dissolved Oxygen (DO), Conductivity, Oxidation Reducion Potensial (ORP), turbidity and Total Dissolved Solid (TDS). Heavy metals parameters such as Fe, Pb, Cd, T-Cr and T-Hg were analyzed for sediment and molluscs.
Based on the Index STORET in estuaries Muko-Muko, Muaro Talao, Muaro Tanjung and Bayur are categorized lightly polluted. In Talao Tubo and Muaro Pisang were categorized.moderate polluted. Only in Pandan station, the heavy metals were found in lower concentration tha the max torelable for water quality in lake. Generally, all stdy sites have been exposed by heavy metals, especialy in Muko-muko station, contamination of cadmium (Cd) was categorized heavily polluted. In the other hand, lead (Pb) contamination in Muko-muko, Talao Tubo, Bayur, and Muaro Pisang also categorized of heavily polluted. In Muko-muko station, concentrations of heavy metals Iron, Cadmium, Total Chrom and Total mercury in Pensi (Corbicula moltkiana) and Lokan (Anodonta Woodiana) were still in the low polluted category, however Lead (Pb) concentration was high.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
KUALITAS AIR DAN KANDUNGAN LOGAM BERAT
DALAM SEDIMEN DAN MOLUSKA DALAM KAITANNYA
DENGAN AKTIVITAS ANTROPOGENIK
DI DANAU MANINJAU, SUMATERA BARAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
Judul Penelitian : Kualitas Air dan Kandungan Logam Berat dalam
Sedimen dan Moluska dalam Kaitannya dengan Aktivitas Antropogenik di Danau Maninjau, Sumatera Barat
Nama : Muhamad Suhaemi Syawal
NIM : C251120201
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc Ketua
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kualitas Air dan Kandungan Logam Berat dalam Sedimen, dan Moluska dalam Kaitannya dengan Aktivitas Antropogenik di Danau Maninjau, Sumatera Barat. yang dilaksanakan sejak bulan Maret hingga September 2015
Pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, yang telah memberi ijin studi bagi penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
2. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan yang berharga bagi penulis selama penyusunan tesis ini 3. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi
2014-2017 sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah banyak membantu serta memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan tulisan ini.
4. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi MSc selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan tulisan ini 5. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana IPB
6. Seluruh dosen dan staf pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB
7. Staf Unit Pelaksana Teknik Maninjau, Bapak Agus Hamdani, Sutrisno, Rudi dan Roby yang telah membantu selama pengumpulan data
8. Rekan-rekan SDP 2011 dan 2012 terimakasih atas semangat yang diberikan, khususnya teman seperjuangan
9. Ayahanda, (Almh) Ibunda, Istri, ananda Mutiara, dan adik-adik tercinta serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayang serta perhatian yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
2 METODE 4
Bahan dan Alat 4
Lokasi dan Waktu Penelitian 5
Pengambilan Contoh 6
Analisis Data 8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Karakteristik Lokasi Penelitian 10
Status Mutu Air Sungai sekitar D. Maninjau 11
Distribusi Nilai Kualitas Air 12
Distribusi Konsentrasi Nutrien di Air Sungai 19
Distribusi Konsentrasi TN dan TP di Sedimen 23
Distribusi Konsentrasi Logam di Sedimen 24
Konsentrasi Logam dan Logam Berat pada Moluska 27
Pola Penyebaran Moluska 31
Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi 32
Tipe Substrat 35
Jumlah Moluska di Muara Sungai 36
4 SIMPULAN DAN SARAN 39 Simpulan 39 Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Karakteristik lokasi dan titik sampling di D. Maninjau 6
Tabel 2 Beberapa parameter yang diambil selama penelitian 7
Tabel 3 Penentuan sistem nilai untuk status mutu air 9
Tabel 4 Nilai rata-rata dan beda nilai fisika kimia air 13
Tabel 5 Nilai rata-rata nutrien di perairan sungai 22
Tabel 6 Nilai kisaran rata-rata logam dan logam berat di sedimen 26
Tabel 7 Hasil Anova dan Uji Duncan pada jumlah moluska 33
Tabel 8 Nilai rata-rata beban pencemar di muara sungai 34
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Titik stasiun observasi dan pengambilan contoh 5
Gambar 2 Hubungan antara konsentrasi dan beban pencemar 11
Gambar 3 Sebaran nilai rata-rata suhu 14
Gambar 4 Sebaran nilai rata-rata pH 14
Gambar 5 Sebaran nilai rata-rata DO 15
Gambar 6 Sebaran nilai rata-rata DHL 16
Gambar 7 Sebaran nilai rata-rata ORP 17
Gambar 8 Sebaran nilai rata-rata Turbiditas 18
Gambar 9 Dendogram pengelompokan stasiun berdasarkan nilai rata-rata parameter fisik kimia perairan sungai 19
Gambar 10 Nilai dan status mutu perairan muara sungai menggunakan metode STORET 20
Gambar 11 Distribusi konsentrasi nutrien di muara sungai 22
Gambar 12 Konsentrasi TN dan TP di sedimen 24
Gambar 13 Konsentrasi logam berat pada sedimen 27
Gambar 14 Dendogram pengelompokan stasiun berdasarkan nilai rata-rata logam berat di sedimen 28
Gambar 15 Konsentrasi logam berat pada moluska 30
Gambar 16 Konsentrasi merkuri (Hg) pada moluska 32
Gambar 17 Paparan logam berat pada moluska di muara sungai 32
Gambar 18 Garis hubungan konsentrasi dan beban pencemaran TDS 35
Gambar 19 Garis hubungan konsentrasi dan beban pencemaran Nitrat 35
Gambar 20 Garis hubungan konsentrasi dan beban pencemaran TP 35
Gambar 21 Persentasi rata-rata fraksi sedimen di muara sungai 37
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Nilai kisaran (min-maks) hasil pengamatan disetiap stasiun dan
perhitungan Indeks STORET 44
Lampiran 2 Tabel Nilai dan status mutu perairan muara sungai menggunakan metode STORET 46
Lampiran 3 Tabel pengukuran hidrologi sungai di sekitar D. Maninjau 46
Lampiran 4 Tabel Standar USEPA region V untuk Kualitas Logam Berat pada Sedimen 47
Lampiran 5 Baku mutuLogam Berat pada Sedimen 47
Lampiran 6 Peraturan pemerintah No. 82 Tahun 2001 48
Lampiran 7 Gambar muara-muara sungai tempat pengambilan contoh 48
Lampiran 8 Contoh/ jenis moluska yang digunakan dalam penelitian 49
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Danau Maninjau merupakan salah satu danau dari 15 danau prioritas di Indonesia yang memiliki berbagai fungsi yang sangat strategis dan menguntungkan bagi masyarakat disekitar danau yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air, pariwisata, sumber air irigasi serta kegiatan sektor perikanan. Tipe danau ini adalah danau tekto vulkanik yang terbentuk oleh aktivitas vulkanik. Sumber air D. Maninjau terutama berasal dari sungai-sungai yang mengalir sepanjang daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara ke danau dan air hujan. Di kawasan D. Maninjau terdapat 88 buah sungai besar dan kecil dengan lebar maksimum 8 meter yang mengalir ke danau. Kebanyakan dari sungai tersebut (61,4%) kering pada waktu musim kemarau, sedangkan sungai-sungai yang berair sepanjang tahun hanya 34 buah sungai yang mengalir dengan debit yang relatif kecil (Fakhrudin et al. 2002).
Perairan danau umumnya akan menerima masukan air dari daerah tangkapan air di sekitar danau, sehingga cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Oleh karena itu konsentrasi zat-zat yang terdapat di danau merupakan resultante dari zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk (Payne, 1986). Tingginya aktivitas disekitar danau yang masuk ke perairan danau terdiri dari limbah organik, residu pestisida, anorganik dan bahan-bahan lainnya yang secara cepat atau lambat masuk ke badan perairan danau yang akan terendap pada sedimen yang tentunya akan mencemari perairan dan hewan bentik danau tersebut (Kumurur, 2002). Metcalf dan Eddy (2002) menambahkan air buangan tersebut berasal dari air yang digunakan pada berbagai kegiatan manusia sehingga terdapat perubahan karakteristik air. Rump (1999) menerangkan lebih lanjut bahwa perubahan karakteristik tersebut berupa perubahan komposisi air setelah digunakan oleh manusia. Unsur-unsur tersebut bila masuk ke badan air dapat memberikan pengaruh pada kehidupan organisme akuatik dan manusia, sehingga kehidupan organisme dan manusia terganggu. Pencemar masuk ke perairan melalui run Meningkatnya pencemaran yang masuk ke danau umumnya juga disebabkan oleh kebiasaan masyarakat di sekitar danau yang umumnya membuang limbah domestik, baik limbah cair maupun limbah padat langsung ke perairan danau (Hehanussa dan Haryani, 2009).
2
Nilai penting lainnya dari keberadaan D. Maninjau adalah adanya jenis ikan endemik, yakni ikan rinuak (Rosterang ryroania), gariang (Tor douronensis, T. tambroides), dan ikan bada (Rasbora argyrotaenia), serta moluska pensi dan langkitang (Corbicula moltkiana, Prime 1878 dan Melanoides tuberculata) yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Saat ini keberadaan ikan dan kerang tersebut sudah semakin terancam akibat meningkatnya pencemaran yang masuk ke badan air danau, sehingga menyebabkan kualitas perairan danau semakin menurun (Marganof, 2007). Sebagai bagian dari biota bentik yaitu penghuni dasar perairan, pensi memiliki peran ekologis penting terkait perannya di dalam siklus bahan organik dan posisinya di dalam jaring makanan. Menurut Sousa
et al. (2007) dalam Lukman (2015), satu spesies Corbicula yaitu C. fluminea selain sebagai penyaring makanan (filter feeder) juga sebagai pengaduk makanan (pedal feeder). Peran pertama adalah memanfaatkan sumber makanan dari kolom air dan peran kedua yaitu memanfaatkan sumber makanan dari sedimen. Secara umum kelompok bivalvia dapat memanfaatkan seston, bahan partikulat, yang memiliki kisaran ukuran dari 1 µm hingga 40-100 µm, baik dari kelompok bakteri, nano fitoplankton, zooplankton kecil, dan berbagai jenis detritus (Manganaro et al. 2009). Populasi moluska khususnya pensi (Corbicula moltkiana), langkitang (Melanoides tuberculata) dan lokan
(Anodonta Woodiana) sebagai bagian dari komunitas bentik sangat terancam dengan kondisi anoksik di wilayah dasar perairan.
Dampak lain dari kegiatan di D. Maninjau yang saat ini sedang terjadi berupa padatnya keramba jaring apung (KJA) yang merupakan sumber dan pengaruh yang potensial mencemari perairan danau. Pengaruh tersebut diakibatkan oleh sisa pakan dan bahan pemberantas hama perikanan. Bila hal ini dilakukan terus menerus hingga konsentrasinya melebihi ambang batas, tidak diragukan lagi akan mencemari biota di perairan danau tersebut. Kematian masal ikan dalam KJA sebanyak 1150 ton yang terjadi pada tahun 2009 dan 2010 yang menelan kerugian puluhan milyaran rupiah, mengindikasikan telah terjadi penurunan kualitas perairan di D. Maninjau (Sulastri, 2011). Pada tahun 2001 KJA aktif yang tercatat hanya 2.800 petak dan pada tahun 2012 telah mencapai 15.860 petak (Lukman, 2015), namun di tahun 2016 ini sudah mencapai 23.655 petak (komunikasi pribadi dengan Kepala KKP, Kab. Agam).
Masuknya limbah sisa pakan (nutrien) ke danau dalam jumlah yang berlebih telah menyebabkan perairan menjadi sangat subur, sehingga membuat
3 Menurut Metcalf dan Eddy (2002), aktivitas antropogenik di sekitar ekosistem perairan danau dapat merubah dan mempengaruhi karakteristik kualitas air, sedimen, dan biota. Proses pembukaan lahan pertanian, irigasi pertanian, limbah buangan domestik, dan pembabatan vegetasi di pinggir sungaimerupakan salah satu sumbangan terbesar tingginya sedimentasi yang masuk ke badan perairan danau. Dampak yang diakibatkan dengan tingginya sedimentasi adalah kematian organisme, penurunan biodeversitas, gangguan atau hilangnya habitat dan pendangkalan. Hal ini akan menghambat pertumbuhan hewan bentik khususnya kerang-kerangan yang menjadikan muara sungai sebagai bagian dari tempat hidupnya. Sedimentasi di muara sungai secara alami akan sampai ke badan danau, sehingga akan berakibat menurunnya kehidupan hewan bentik, khususnya ikan dan moluska karena kekeruhan yang sangat tinggi serta penetrasi cahaya berkurang. Sedimen dalam suatu badan air baik sungai maupun danau kembali ke kolom perairan jika terjadi perubahan terhadap lingkungan. Salah satu upaya mengetahui kualitas sedimen terutama berkaitan dengan bahan pencemar yang terakumulasi adalah dengan menentukan status kontaminasinya. Sumber logam berat umumnya dapat berasal dari buangan sampah, pupuk pertanian dan limbah bengkel kendaraan. Paparan logam berat di lingkungan menyebabkan adanya kontak antara air, sedimen, hewan bentik (ikan, bentos dan kerang-kerangan) dan logam berat. Beberapa hewan tersebut memiliki mekanisme dalam mengakumulasi logam berat di perairan danau. Salah satunya melalui mekanisme bioremoval, yang didefinisikan sebagai terakumulasi dan terkonsentrasinya polutan oleh material biologi (Suhendrayatna, 2001). Dari sumber aktivitas antropogenik, logam merkuri umumnya berasal dari industri amalgam, cat, komponen listrik, baterai, senyawa anti karat (anti fouling), fotografi, elektronik dan ekstraksi bijih emas (Effendi, 2003). Kadar merkuri pada perairan tawar alami berkisar antara 10 – 100 µg/liter.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kualitas air, sedimen dan moluska serta mengkaji pola distribusi spasial pada muara-muara sungai dari lingkungan antropogenik di sekitar Danau Maninjau
Perumusan Masalah
4
terkait dengan keberadaan danau sebagai wadah air permukaan yang cukup rentan terhadap proses pencemaran. Di satu sisi, danau bersifat multifungsi, baik sebagai ekosistem alam maupun sebagai bagian dari siklus kehidupan manusia.
Budidaya perairan danau dengan teknik karamba/floating net di danau yang tidak teratur mengakibatkan pencemaran sampah dan meningkatnya proses penyuburan yang menyebabkan tekanan ekologis terhadap habitat beberapa ikan dan biota danau endemik lainnya, yang terus berlangsung secara intensif.
Bentuk nyata dan penyebab pencemaran Danau Maninjau sebagai akibat dari aktivitas manusia (terutama penduduk di sekitarnya) adalah :
- pencemaran danau oleh pupuk (dampak kegiatan pertanian)
- pencemaran danau oleh sisa pakan ikan (dampak kegiatan perikanan) - pencemaran danau oleh sampah padat dan cair (domestik)
- penurunan kualitas air sungai di sekitar danau yang disebabkan oleh rusaknya lahan di bagian hulu sungai
- keberadaan bengkel kendaraan menyebabkan adanya pencemaran logam berat
.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status kualitas air, logam berat di sedimen dan moluska dalam kaitannya dengan aktivitas antropogenik di sungai-sungai sekitar Danau Maninjau
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi dan kualitas perairan Danau Maninjau, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaan perairan danau tersebut. Serta untuk mempertahankan, melestarikan dan memulihkan fungsi D. Maninjau secara terpadu dan dalam rangka meningkatkan komitmen dan peran pemerintah Kabupaten Agam.
2
METODE
Bahan dan Alat
5
Lokasi dan Waktu Penelitian
Danau Maninjau secara administrasi masuk ke dalam wilayah Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dengan jarak 105 km
dari kota Padang. Secara geografis wilayah ini terletak pada 00 17’ – 07.04’’ LS
dan 100o – 09’58.0” BT dengan ketinggian 461,5 meter di atas permukaan laut. Bentuk D. Maninjau memanjang dari arah utara ke selatan dengan panjang 16,4 km dan lebar 7 km. Kearah bagian selatan danau, kedalaman semakin tinggi dengan lereng (slope) yang semakin curam.
Lokasi pengambilan contoh ini mewakili beberapa karakter dari sempadan danau yaitu pada muara sungai dan dangkal, lokasi yang banyak terdapat KJA, PLTA, pemukiman penduduk, hotel, pariwisata serta pertanian atau persawahan (Tabel 1).
Gambar 1 Titik stasiun observasi dan pengambilan contoh
Keterangan : St. 1 Muko-Muko St. 2 Talao Tubo; St. 3 Muaro Talao; St. 4 Muaro Tanjung ; St. 5 Bayur ; St. 6 Muaro Pisang; St. 7 Pandan
Pengambilan contoh air, sedimen dan moluska serta pengukuran kualitas air dilakukan selama 3 kali dari bulan Maret-September 2015 di 7 titik lokasi muara sungai-sungai di sekitar D. Maninjau yang berpotensi masuknya bahan pencemar dari antropogenik (Gambar 1 dan Tabel 1).
PETA LOKASI PENELITIAN DANAUMANINJAU SUMATERA BARAT
Sumber Peta : Landsat 8 Tahun 2014 Lab. GIS Puslit Limnologi-LIPI
M. Suhaemi Syawal C251120201
2016
Pengelolaan Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor
Lokasi stasiun
1 2
3 4
5
6
6
Pengambilan contoh moluska, sedimen dan contoh air serta pengukuran parameter insitu pada masing-masing stasiun dilakukan pada hari yang sama dan dilakukan pukul 07.00 sampai 12.00 WIB untuk menggambarkan kondisi lingkungan perairan pada waktu yang sama. Namun dalam waktu pengukuran sering terjadi perbedaan kondisi cuaca. Analisis parameter kimia perairan dilaksanakan di Laboratorium Hidrokimia, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Cibinong berdasarkan metode standar dari APHA (1995 dan 2012).
Tabel 1 Karakteristik lokasi dan titik sampling di D. Maninjau
Pengambilan Contoh
Contoh air untuk parameter total fosfat (TP), total nitrogen (TN), ortofosfat (PO4-P), dan nitrat (NO3) diambil sebanyak 250 ml dan disimpan pada
suhu 4 ºC. Contoh air untuk parameter logam besi (Fe), timbal (Pb), kadmium (Cd), total kromium (T-Cr) dan total merkuri (T-Hg) dimasukkan kedalam botol gelas yang diawetkan dengan menambahkan asam sulfat (H2SO4)hingga pH 2.
Kode
Lokasi Nama lokasi Posisi (GPS) Keterangan
7
Tabel 2 Beberapa parameter yang diambil selama penelitian
Parameter Satuan Alat/Metode Tempat
FISIKA
Suhu ºC Water Quality Checker in situ
Daya Hantar Listrik (DHL) µS/cm Water Quality Checker in situ
Turbiditas NTU Water Quality Checker in situ
TDS mg L-1 Water Quality Checker in situ
KIMIA (Air)
pH - Water Quality Checker in situ
Oksigen Terlarut (DO) mg L-1 Water Quality Checker in situ
Nitrat (NO3-N)* mg L-1 Brucine Ex situ
Ortofosfat (PO4-P) mg L-1 Ascorbic acid Ex situ
Total Nitrogen (TN)* mg L-1 Brucine Ex situ
Total fosfat (TP) mg L-1 Ascorbic acid Ex situ KIMIA (Sedimen)
Total Nitrogen (TN)* mg kg-1 Brucine Ex situ
Total fosfat (TP) mg kg-1 Ascorbic acid Ex situ
Besi (Fe) mg kg-1 AAS Flame Ex situ
Sedimen permukaan diambil menggunakan Ekman grab sebanyak ± 1500 gram berat basah dan dimasukan ke dalam kantong plastik untuk selanjutnya dikeringkan dalam oven 30 oC hingga diperoleh berat kering, dan selanjutnya dianalisis konsentrasi logam beratnya.
Contoh moluska diambil menggunakan Ekman grab dan dipisahkan dari sedimen dengan menggunakan saringan Surber Net yang selanjutnya diidentifikasi jenisnya dan disimpan didalam wadah yang sudah diberi formalin 5% atau alkohol 10 %. Kemudian diambil seluruh isi bagian dalam dari masing-masing jenis moluska tersebut dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 30
o
8
merkuri (T-Hg). Jenis moluska yang dianalisis adalah moluska yang mempunyai nilai ekonomis atau sering dikonsumsi oleh masyarakat setempat, seperti
Corbicula moltkiana, Prime 1878, Melanoides tuberculata, dan Anodonta woodiana yang dalam bahasa lokal biasa disebut pensi, langkitang dan lokan.
Seluruh kegiatan analisis contoh dilakukan di Laboratorium Hidrokimia, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Cibinong berdasarkan metode standar dari APHA (1995 dan 2012).
Pengukuran dan Analisis Parameter Perairan
Pengukuran langsung dilapangan meliputi suhu, pH, oksigen terlarut (DO), DHL, turbiditas dan total dissolved solid (TDS) dengan menggunakan alat Water Quality Checker-Horiba U 20 pada kedalaman 30 cm dari permukaan air. Pengukuran parameter fisik-kimia perairan mengikuti metode baku APHA 2012 (Rice et al. 2012), serta untuk analisis nitrat dan TN menggunakan Standard Methods APHA edisi 19 Tahun 1995.
Parameter yang diukur selama penelitian mencakup hidrologi sungai serta parameter fisik-kimia perairan. Hidrologi sungai terdiri dari lebar sungai, lebar badan sungai, kedalaman, dan kecepatan arus. Pengukuran lebar badan sungai di setiap stasiun dilakukan menggunakan tali berskala yang direntangkan secara melintang dari sisi ke sisi sungai yang berseberangan. Pengukuran kedalaman sungai di setiap sub stasiun penelitian dilakukan dengan bantuan tongkat berskala yang dimasukkan hingga dasar perairan. Pengukuran kecepatan arus air dilakukan dengan menggunakan alat current meter. Prinsip kerja jenis current meter ini adalah propeler berputar dikarenakan partikel air yang melewatinya. Jumlah putaran propeler per waktu pengukuran dapat memberikan kecepatan arus yang sedang diukur apabila dikalikan dengan rumus kalibrasi propeler tersebut. Jenis alat ini yang menggunakan sumbu propeler sejajar dengan arah arus disebut Ott -propeler curent meter dan yang sumbunya tegak lurus terhadap arah arus disebut
Price cup current meter. Peralatan dengan sumbu vertikal ini tidak peka terhadap arah aliran.
Analisis Data
Peniliaian Status Mutu Air
Berdasarkan (Kepmen No.115/MENLH/2003) untuk menentukan status mutu lingkungan perairan sungai digunakan metode STORET, yaitu dengan membandingkan antara data kualitas air selama penelitian dengan standar baku (PP 82 Tahun 2001) tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lampiran 5). Dengan metode ini dapat diketahui parameter yang masih memenuhi atau telah melampaui baku mutu air. Selain itu dari nilai yang diberikan (skoring), dapat diketahui kondisi perairan apakah kondisinya baik, tercemar ringan atau berat.
9 Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency)” dengan
mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu :
1. Kelas A : baik sekali skor = 0 memenuhi baku mutu 2. Kelas B : baik skor = -1 s/d -10 tercemar ringan 3. Kelas C : sedang skor = -11 s/d -30 tercemar sedang 4. Kelas D : buruk skor ≥ -31 tercemar berat Tabel 3 Penentuan sistem nilai untuk status mutu air
Jumlah
contoh Nilai
Parameter
Fisika Kimia Biologi
<10
Maksimum -1 -2 -3
Minimum -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9
Sumber : KEPMEN Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 tentang penentuan Status Mutu Air Menggunakan STORET.
Debit Sungai
Pengukuran debit sungai dilakukan dengan mengukur kecepatan aliran dan luas penampang (Sosrodarsono & Takeda 1993) :
Qd = Fd.Vd
� = . + +3
Keterangan :
Qd = Debit sungai (m3 det-1) Fd = Luas Penampang (m2)
Vd = Kecepatan aliran rata-rata pada garis pengukuran (m det-1) b = Lebar sungai
c, d, e = Kedalaman sungai tiap pengukuran (m)
Indeks Canberra
Indeks ini digunakan untuk membandingkan kesamaan antara stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisik kimia perairan yang diperoleh selama penelitian (Lance 1966 diacu dalam Legendre 1983) :
� = 1 −1� ∑ � − �� + �
Keterangan : S = Indeks Canberra n = jumlah parameter
10
Hasil perhitungannya dibuat dalam bentuk matriks similaritas Canberra dan dari matriks ini dapat dilihat persentase kemiripan antar stasiun berdasarkan parameter fisik kimia perairan. Matriks dan dendogram dibuat dengan menggunakan bantuan software minitab 16.
Beban Pencemaran
Analisis beban pencemaran yang berasal dari luar danau (darat) dilakukan dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang menuju D. Maninjau. Cara penghitungan beban pencemaran ini didasarkan atas pengukuran debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai berdasarkan persamaan (Mitsch dan Goesselink, 1993):
BP = Q x Ci x 3600 x 24/(1000)
Keterangan :
BP = Beban pencemar (kg hari-1) Q = Debit air (m3 det-1)
C = Konsentrasi parameter ke-i (mg L-1)
Kapasitas Asimilasi Perairan terhadap Beban Pencemaran (KAs)
Menghitung kapasitas asimilasi perairan danau terhadap beban pencemaran dilakukan dengan menggunakan metode hubungan antara konsentrasi parameter limbah di perairan danau dengan total beban limbah tersebut di muara sungai. Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan anatara nilai konsentrasi masing-masing parameter limbah di perairan danau dengan parameter limbah tersebut di muara sungai (Walukow et al. 2008). Selanjutnya dianalisis dengan memotongkan dengan garis nilai baku mutu air kelas 1 seperti diperlihatkan pada (Gambar 2 ).
Secara matematis persamaannya dapat ditulis sebagai berikut : Y = a + bx
Keterangan :
a = koefisien yang menyatakan nilai y pada perpotongan antara garis linier dengan sumbu vertical.
b = koefisien regresi untuk parameter x = beban pencemar
y = konsentrasi polutan
11
Gambar 2 Hubungan antara konsentrasi dan beban pencemar
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi Penelitian
Danau Maninjau bekas bentukan letusan Gunung Berapi Sitinjau memiliki ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan laporan hasil studi LIPI (2013), batimetri danau memiliki karakteristik luas permukaan 9.737,50 ha, panjang maksimum 16,46 km, lebar maksimum 7,5 km, keliling 65 km, volume air 10.226.001.629,2 m3 dan kedalaman maksimum 105 m. Danau Maninjau merupakan danau kaldera yang berbentuk elips dengan batas di sebelah timur dengan volkano-tektonik yang terbentuk dari batuan dasar kompleks yaitu granodiorit, diabas, phyllitic, sekis dan gamping. Sebagai danau bekas letusan gunung berapi, D. Maninjau hanya memiliki lahan datar di sekeliling danau yang sangat terbatas. Daerah dataran dimanfaatkan untuk permukiman penduduk, pertanian sawah dan palawija serta fasilitas pariwisata, sedangkan pada lerengnya merupakan lahan konservasi yang masih ditumbuhi hutan. Jumlah penduduk di kawasan D. Maninjau relatif merata di 7 nagari.
Kawasan Danau Maninjau mempunyai bentuk lahan dari datar sampai dengan perbukitan atau bergunung. Topografi kawasan danau terdiri dari berbagai kelas kelerengan, yaitu lahan datar dengan kelas kelerangan (0 – 8%), landai (8– 15%), agak curam (15–25%), curam (25–40% ) dan sangat curam > 40%. Wilayah di bagian utara-barat punggung dalam DTA Danau Maninjau mempunyai Topografi relatif datar, sehingga lebih berkembang sebagai kawasan pembangunan. Daya tarik pengembangan wilayah ini karena adanya objek wisata alam danau yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana seperti jalan, hotel dan restoran. Wilayah di bagian timur-selatan punggung dalam DTA Danau Maninjau mempunyai. Topografi berbukit dan bergunung dengan kemiringan tanah >15% dengan luas 95,79 ha.
Danau Maninjau terutama bersumber dari sungai-sungai yang mengalir sepanjang DAS yang bermuara ke danau, air hujan dan dari dalam danau sendiri. Di kawasan danau terdapat 88 buah sungai besar dan kecil dengan lebar
Konse
ntra
si
P
enc
emar
Beban Pencemar
12
maksimum 8 meter yang mengalir ke danau. Sungai-sungai di sebelah utara yang bermuara ke Danau Maninjau memiliki pola linear (lurus atau tidak bercabang), sedangkan sungai di sebelah barat danau pada umumnya berpola dendritik
(bercabang). Kebanyakan dari sungai tersebut (61,4%) kering pada waktu musim kemarau, sedangkan sungai-sungai yang berair sepanjang tahun hanya 34 buah sungai. Sungai-sungai tersebut mengalir dengan debit yang relatif kecil.
Distribusi Nilai Kualitas Air
Kondisi kualitas perairan danau yang diterjemahkan kedalam nilai konsentrasi beberapa parameter kualitas air, baik secara fisika, kimia maupun secara biologi sangat diperlukan dalam merancang pengelolaan dan pengendalian pencemaran perairan tersebut. Penilaian ini pada dasarnya dilakukan dengan membandingkan nilai parameter kualitas air dari hasil pengukuran di lapangan dengan baku mutu perairan sesuai peruntukannya yang berlaku di Indonesia yakni mengacu pada Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Salah satu pemanfaatan perairan D. Maninjau adalah digunakan sebagai sumber air baku air minum, maka berdasarkan peraturan tersebut dalam penelitian ini sebagai pembanding digunakan baku mutu air kelas 1, yaitu air yang peruntukannya digunakan sebagai air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Suatu ekosistem sungai umumnya merujuk pada ekosistem perairan mengalir yang sangat dipengaruhi oleh sistem terestrial disekitar daerah aliran sungai. Bahan-bahan organik dari luar masuk ke perairan sungai akan dimanfaatkan oleh sistem sungai tersebut. Sistem sungai tidak bisa berjalan tanpa masukan energi yang berasal dari luar (Lampert dan Sommer 2007).
13 Daerah Pandan (St. 7) mewakili kondisi terpaparnya bahan organik yang tinggi hal ini terlihat pada nilai ORP (202.3 ± 14.2 mV), DHL (0.03 ± 0.002 mS/cm), turbiditas (326.4 ± 178.8 NTU) dan TDS (22 ± 1 mg L-1) (Tabel 5).
Dasar paparan organik di perairan teridentifikasi pada ORP tinggi kemudian disusul dengan tingkat DHL perairan yang rendah. Hal ini sangat logis karena materi organik menghambat hantaran transportasi elektron pada mineral yang ada di air sehingga kecendrungannya adalah perairan bersifat non polar. Cemaran bahan organik tinggi juga didukung oleh total padatan terlarut (TDS) yang rendah dan mengansumsi mineral yang terlarut mengalami pengendapan atau membentuk koloid (Faust, 1981). Bukti adanya hal tersebut juga didukung oleh turbiditas atau kekeruhan tinggi (326.4 ± 178.8 mg L-1 ). Gejala adanya cemaran organik tinggi di daerah ini bisa direferensikan bahwa lokasi ini memiliki aktivitas umum seperti pasar dan sekaligus menjadi pusat pemukiman. Kondisi oksigen terlarut di seluruh lokasi menggambarkan masih cukup baik dengan rata total DO (5.67 ± 0.66 mg L-1) dan variasi normal (Tabel 4).
Tabel 4 Nilai rata-rata kondisi fisika kimia air di muara sungai
14
Gambar 3 Sebaran nilai rata-rata Suhu (oC) pada muara sungai
Gambar 4 Sebaran nilai rata-rata pH pada muara sungai
Nilai derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan
nilai pH rendah. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Selain itu, pH juga mempengaruhi nilai oksigen, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo dan Best, 1992). Aktivitas biologi menghasilkan gas CO2 yang merupakan hasil
respirasi dan gas ini akan membentuk ion buffer atau penyangga untuk menjaga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod, 1973). Pada penelitian ini nilai pH yang diperoleh berkisar 7.44 - 8.69. Nilai pH terendah terdapat di St. 1 (Muko-muko) dan tertinggi di St. 2 (Talao Tubo). Nilai kisaran rata-rata tertinggi untuk pH terdapat pada St. 5 (Bayur) (Tabel 4 dan Gambar 4). Menurut Effendi (2003), sebagian besar biota aquatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH berkisar sekitar 7-8.5. Berdasarkan pernyataan tersebut, sungai-sungai
19,00 20,00 21,00 22,00 23,00 24,00 25,00
St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 St. 7
S
u
h
u
(
oC)
Lokasi
Suhu
6,50 7,00 7,50 8,00 8,50 9,00
St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 St. 7
pH
Lokasi
15 disekitar D. Maninjau, umumnya masuk ke dalam kategori perairan yang disukai oleh biota aquatik. Tidak terdapat perbedaan yang besar pada masing-masing stasiun pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pH di muara sungai D. Maninjau masih memenuhi baku mutu untuk kehidupan biota yang berada didalam perairan tersebut. Namun apabila pada perairan tawar nilai pH dibawah 5 maka kondisi hewan bentik termasuk moluska secara bertahap dapat kehilangan bobot hingga sampai ke kematian.
Oksigen terlarut (DO) dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novonty dan Olem, 1994). Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin.
Gambar 5 Sebaran nilai rata-rata DO (mg L-1) pada muara sungai
Nilai oksigen terlarut (DO) relatif sama pada setiap lokasi dan waktu pengukuran dilapangan menunjukkan nilai berkisar 4.90 – 6.46 mg L-1. Nilai DO terendah terdapat di St. 3 (Muaro Talao) dan tertinggi di St 6 (Muaro Pisang). Nilai kisaran rata-rata tertinggi untuk DO terdapat pada St. 5 (Bayur). Sesuai dengan baku mutu air, yang mengacu pada PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dengan nilai minimal untuk kelas I sebesar 6 mg/L dan, Kelas II (4 mg/L). Berdasarkan baku mutu tersebut, dapat dikatakan seluruh lokasi cenderung dibawah nilai minimal baku mutu. Penyebab kandungan oksigen terlarut di dibawah nilai minimal baku mutu diduga karena padatnya pemanfaatan lahan pada ekosistem perairan danau, sehingga dekomposisi bahan organik menjadi bahan anorganik oleh mikroorganisme pengurai juga semakin meningkat (Tabel 5 dan Gambar 5). Selain itu, apabila terjadi menurunnya kandungan oksigen terlarut diduga disebabkan oleh banyaknya limbah organik yang berasal dari limbah domestik dari daerah sempadan danau (Beveridge, 1996). Zat pencemar tersebut
16
terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari barbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga.
Hasil pengukuran konduktivitas atau daya hantar listrik (DHL) menunjukkan nilai rata-rata pengukuran berkisar antara 33 – 140.3 µS cm-1. Nilai DHL terendah terdapat di St 6 (Muaro Pisang) dan tertinggi di St 1 (Muko-muko) dan nilai kisaran tertinggi terdapat pada St. 1 (Muko-muko) (Gambar 6). Meningkatnya nilai DHL kearah outlet perairan disebabkan karena berbagai proses kimiawi yang terjadi di dasar perairan, seperti proses mineralisasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan ion-ion. Nilai DHL ini lebih rendah bila dibandingkan dengan danau-danau tektonik seperti Danau Singkarak yaitu sebesar 380 µS/cm (Suryono, et al. 2006) dan Danau Ranau 225 µS/cm dari parameter hidrologis di daerah tangkapannya.
Oxidation Reduction Potential (ORP) merupakan cara yang dikembangkan untuk memonitor kandungan mikroorganisme dalam air. Semakin tinggi ORP, semakin mudah terjadi reaksi oksidasi dan semakin banyak membran sel mikroorganisme yang rusak dan mati. Namun, belum terdapat peraturan yang mencantumkan nilai baku mutu ORP pada limbah cair secara pasti, sehingga kualitas limbah cair berdasarkan nilai ORP belum dapat ditentukan. Nilai ORP tertinggi dari St. 7 (Pandan) diduga lokasi yang tingginya aktivitas masyarakat, sehingga tinggi pula buangan limbah cair. Perairan alami biasanya memiliki nilai ORP berkisar antara 0.45 – 0.52 Volt (450-520 mV). Nilai ORP dari hasil pengukuran berkisar 111.33 – 202.33 mV (Gambar 7).
17
Gambar 7 Sebaran nilai rata-rata ORP (mV) pada muara sungai
Berdasarkan data tersebut, sungai-sungai di sekitar D. Maninjau memiliki nilai ORP yang lebih rendah dari nilai normal untuk perairan umum. Nilai ORP dipengaruhi oleh temperatur dan konsentrasi oksigen.Nilai tinggi ORP cenderung bersifat oksidatif yang cenderung pada lapisan dasar kolom air senyawaan yang akan terakumulasi adalah senyawaan reduktif seperti gas-gas toksin yaitu H2S,
dan NH3.
Stasiun 4 merupakan stasiun dengan kandungan TDS dan DHL relatif tinggi. Wozniak (2011) menyatakan bahwa TDS merupakan komponen alami air permukaan di seluruh dunia yang penyusun utamanya berupa garam organik, bahan organik, dan berbagai material terlarut lainya yang terdapat di perairan. Ali
et al. (2012) mengemukakan bahwa nilai TDS mempengaruhi nilai konduktivitas, bahkan pada kondisi perairan tertentu, penentuan nilai DHL dapat ditentukan menggunakan pendekatan nilai TDS. Uwidia dan Ukulu (2013) menyatakan nilai DHL yang tinggi mengindikasikan konsentrasi TDS yang tinggi. Penentuan total padatan terlarut (TDS) sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air, buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air, oleh karena itu pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna perairan. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya. Hasil pengukuran TDS dimuara sungai di sekitar D. Maninaju relatif sama berkisar dari 22.0 – 66.7 mg L-1. Nilai tertinggi terdapat di St. 1 (Muko-muko) dan terendah di St. 7 (Pandan). Nilai total padatan terlarut muara sungai-sungai di danau masih di bawah ambang batas baku mutu yang dipersyaratkan, yakni 1000 mg/L (PP 82 Tahun 2001). Sebaran nilai rata-rata tertinggi dari hasil pengukuran terdapat pada St. 1 (Tabel 4).
18
(Boyd, 1982). Padatan tersuspensi mengandung bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik antara lain berupa liat dan butiran pasir, sedangkan bahan organik berupa sisa-sisa tumbuhan dan padatan biologi lainnya seperti sel alga, bakteri dan sebagainya (Peavy et al. 1986). Padatan tersuspensi akan dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (Davis dan Cornwell, 1991).
Gambar 8 Sebaran nilai rata-rata Turbiditas (NTU) pada muara sungai Keterangan: St 1 = Muko-Muko, St 2 = Talao Tubo, St 3 = Muaro Talao, St 4 Muaro Tanjung, St 5 = Bayur, St 6 Muaro Pisang, St 7 = Pandan
Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti danau lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel halus. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmeregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Nilai kekeruhan pada saat pengukuran langsung dilapangan menunjukkan nilai berkisar 65.4– 326 NTU. Nilai turbiditas terendah terdapat di St. 5 (Bayur) dan tertinggi di St 7 (Pandan). Selisih nilai tertinggi untuk turbiditas terdapat pada St. 7 (Pandan) dan selisih nilai terendah pada St. 2 (Talao Tubo) (Tabel 4 dan Gambar 8). Hal ini diduga karena pada lokasi di St. 7 (Pandan) tingginya aktifitas masyarakat di hulu sungai, seperti pertanian dan aktifitas masyarakat di sempadan sungai yang sering digunakan sebagai tempat pembuangan sampah dan juga perbengkelan. Menurut Koesoebiono (1979), pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi
19 cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, akibatnya produktivitas perairan menjadi turun. Diduga tingginya kadar padatan tersuspensi di perairan D. Maninjau disebabkan oleh tingginya pemanfaatan lahan, baik untuk pertanian maupun pemukiman.
Kondisi hidrologi kawasan danau secara umum dipengaruhi oleh dua factor utama, yaitu air permukaan dan air tanah. Sumber air D. Maninjau terutama berasal dari sungai-sungai yang mengalir sepanjang DAS yang bermuara ke danau. Sungai-sungai tersebut mengalir dengan debit yang relatif kecil. Debit air sungai disekitar D. Maninjau tertinggi ditemukan di St. 7 (Pandan) dan terendah di St. 1 (Muko-muko). Berdasarkan sebaran nilai rata-rata debit air dengan variasi tertinngi terdapat pada St. 7 (Tabel 4). Kondisi tingginya debit ini diduga dipengaruhi juga oleh bentuk fisik dari sungai tersebut (Lampiran 3).
Dendogram pengelompokan stasiun berdasarkan nilai rata-rata parameter fisik kimia perairan dapat dilihat pada Gambar 9. Tingkat kesamaan seluruh stasiun menunjukkan nilai sebesar 93.354 %. Hasil perhitungan indeks Canberra menunjukkan bahwa pengelompokan membentuk 3 kelompok. Kelompok 1 terdiri dari stasiun 1, 2, 3 dan 5, kelompok 2 terdiri dari stasiun 6 dan 7, serta stasiun 4 membentuk kelompok sendiri, (Gambar 9). Hal yang mempengaruhi pengelompokkan tersebut juga diantaranya karena nilai-nilai kualitas air pada St. 4 lebih tinggi dibandingkan stasiun yang lain dan kelompok 2 (Sta 6 dan 7) umumnya lebih rendah dibandingkan dengan lokasi yang lain.
Gambar 9 Dendogram pengelompokan stasiun berdasarkan nilai rata-rata parameter fisik kimia perairan sungai
Status Mutu Air Sungai sekitar D. Maninjau
Berdasarkan perhitungan (parameter suhu, pH, DO, NO3-N, dan TP)
menggunakan metode STORET, stasiun 2 dan 6 (Talao Tubo dan Muaro Pisang) dikategorikan tercemar sedang (bahan organik), sedangkan stasiun 1, 3, 4 dan 5 dikategorikan tercemar ringan, namun stasiun 7 (Pandan) dikatagorikan
20
memenuhi baku mutu (Gambar 10). Hal ini menandakan pengaruh dari antropogenik cukup signifikan dan merata hampir disetiap lokasi berdampak langsung terhadap muara sungai yang selanjutnya akan masuk ke perairan danau. Tingginya turbiditas dan pencucian (leaching) tanah dari hulu membawa unsur-unsur hara dan nutrien langsung ke badan sungai.
Nilai dan status mutu perairan dengan kualitas tercemar ringan dan sedang umumnya disebabkan oleh nilai DO yang berada dibawah batas minimum yang ditentukan yaitu dengan nilai minimal 6 mg L-1. Konsentrasi TP juga mempengaruhi nilai skoring yang diperoleh hampir diseluruh stasiun, khususnya di St. 6 (Muaro Pisang) nilai skoring TP cukup tinggi disbanding stasiun yang lain. Sementara itu di St. 7 (Pandan) kualitas perairan dikatagorikan memenuhi baku mutu (Lampiran dan 2). Aktivitas penduduk yang umum dilakukan adalah pertanian dan perkebunan, serta keberadaan perumahan, bengkel dan hotel juga membawa pengaruh kurang baik terhadap status mutu air di sungai sekitar D.
Distribusi Konsentrasi Nutrien di Muara Sungai sekitar Danau Maninjau
Konsentrasi nitrit (N-NO2) di perairan biasanya berada dalam konsentrasi
21 sehingga pada penelitian ini analisis nitrit tidak dilakukan. Keberadaan senyawa nitrogen dalam perairan dengan kadar yang berlebihan dapat menimbulkan permasalahan pencemaran. Kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah yang berasal dari limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Hal ini berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton.
Konsentrasi nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0.1 mg L-1. Sedangkan konsentrasi nitrat lebih dari 5 mg L-1 menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan kotoran hewan. Sementara konsentrasi yang lebih dari 0.2 mg L-1 dapat mengakibatkan terjadi eutrofikasi pada perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara cepat (Effendi, 2003). Konsentrasi nitrat tersebar merata disetiap lokasi namun memiliki nilai yang paling variatif. Kisaran nitrat di muara-muara sungai D. Maninjau adalah antara 0.084 – 1.062 mg L-1. Konsentrasi tertinggi pada St. 5 (Bayur) dan terendah terlihat pada St. 1 (Muko-muko) (Tabel 6 dan Gambar 11). Sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), nilai konsentrasi nitrat yang diperoleh dari hasil penelitian ini dengan nilai diatas 0.2 mg L-1 dapat dikatakan bahwa limpasan air dari antropogenik diduga turut menyumbangkan yang menyebabkan terjadinya eutrofikasi pada perairan danau. Secara umum, kandungan nitrat perairan danau masih berada di bawah baku mutu air berdasarkan PP 82/2001, yang mensyaratkan kandungan nitrat untuk air baku air minum maksimal 10 mg/L. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perairan danau tergolong tidak tercemar oleh senyawa nitrat dan masih layak sebagai sumber air baku air minum. Walaupun rata-rata konsentrasi tersebut berada dibawah kisaran ambang batas yang dianjurkan untuk pengelolaan budidaya perairan tetapi konsentrasi tersebut dapat menaikkan pertumbuhan sel-sel alga diperairan misalnya Ankistrodesmus convulutus yang berdasarkan hasil penelitian Chrismadha dan Widoretno (2008) dapat meningkat pertumbuhannya dengan kenaikan konsentrasi nitrat sampai 0.036 mg L-1. Keberadaaan konsentrasi nitrat tersebut dapat diidentifikasikan bahwa perairan tersebut menyediakan unsur hara yang siap diasimilasi oleh tumbuhan-tumbuhan akuatik. Sementara menurut Wetzel (2001), konsentrasi nitrat antara 0 - 1 mg L-1 berdasarkan pengelompokkan tingkat kesuburan perairan masuk kedalam perairan oligotrofik.
Konsentrasi rata-rata total nitrogen (TN) juga tersebar merata di muara-muara air sungai di D. Maninjau yang berkisar 0.508 – 1.229 mg L-1.Konsentrasi tertinggi dari hasil analisis terdapat pada lokasi St. 6 (Muaro Pisang) dan terendah terdapat di St. 4 (Muaro Tanjung) (Tabel 5 dan Gambar 11). Hasil ini menunjukkan bahwa cukup banyak nutrient-nutrien dari sungai yang terbawa masuk ke dalam badan danau tersebut, hal inilah sebagai salah satu masukan nutrien sehingga D. Maninjau dikatagorikan dalam danau oligotrofik.
22
Tabel 5 Nilai rata-rata nutrien di perairan sungai sekitar D. Maninjau
Parameter (mg L-1)
Lokasi/ Stasiun
St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 St. 7 TP 0,06±0,02 0,18± 0,06 0,243±0,19 0,174±0,1 0,055±0,05 0,211±0,12 0,1±0,09 PO4-P 0,027±0,01 0,031±0,008 0,025±0,01 0,022±0,01 0,018±0,009 0,021±0,01 0,032±0,02
TN 0,87± 0,31 0,97± 0,17 0,86±0,24 0,51 ± 0,11 1,16 ±0,20 1,229±0,4 0,69 ± 0,5 N-NO3
0,084±0,07 0,66± 0,47 0,612±0,34 0,49 ± 0,18 0,441±0,27 0,5±0,46 0,1± 0,05
Keterangan: St 1 = Muko-Muko, St 2 = Talao Tubo, St 3 = Muaro Talao, St 4 Muaro Tanjung, St 5 = Bayur, St 6 Muaro Pisang, St 7 = Pandan
Di perairan, fosfor tidak ditemukan dalam keadaan bebas melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik berupa partikulat. Fosfat yang terdapat di perairan bersumber dari air buangan penduduk (limbah rumah tangga) berupa deterjen, residu hasil pertanian (pupuk), limbah industri, hancuran bahan organik dan mineral fosfat (Saeni, 1989). Umumnya kandungan fosfat dalam perairan alami sangat kecil dan tidak pernah melampaui 0.1 mg L-1, kecuali bila ada penambahan dari luar oleh faktor antropogenik seperti dari sisa pakan ikan dan limbah pertanian. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan (Kevern, 1982). Konsentrsi ortofosfat di tiap stasiun menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan kisaran 0.021 – 0.224 mg L-1. Konsentrasi tertinggi terdapat pada lokasi St. 3 (Muaro Talao) dan terendah terdapat di St. 6 (Muaro Pisang) (Tabel 5 dan Gambar 11). Berdasarkan klasifikasi perairan yang dinyatakan oleh Wetzel (2001) dengan konsentrasi ortofosfat 0.031 – 0.1 mg L-1, sungai-sungai di sekitar D. Maninjau masuk dalam klasifikasi eutrofik.
Gambar 11 Distribusi konsentrasi total fosfat (TP), ortofosfat (PO4-P), nitrat
(NO3-N) dan total nitrogen (TN) di muara sungai sekitar D. Maninjau
23 Menurut Vollenweider dan Kerekes (1980) kotoran manusia dan deterjen juga mengandung unsur fosfor yang cukup tinggi yang dapat meningkatkan kandungan fosfat di perairan danau. Sejalan pernyataan tersebut Chester (1990), menyatakan bahwa fosfat yang terdapat di perairan sungai atau danau bersumber dari kegiatan antropogenik seperti limbah perkotaan dan pertanian serta polifosfat yang terdapat pada deterjen.
Distribusi konsentrasi total fosfat di setiap stasiun hampir sama dengan distribusi ortofosfat tetapi konsentrasinya lebih besar. Konsentrsi total fosfat di setiap stasiun menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan kisaran 0.025 – 0.212 mg L-1. Konsentrasi tertinggi terdapat pada lokasi St. 6 (Muaro Pisang) dan terendah terdapat di St. 5 (Bayur) (Tabel 6 dan Gambar 11). Berdasarkan baku mutu air kelas 1 sebagai sumber air baku air minum dipersyaratkan kadar total fosfat < 0.2 mg L-1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perairan muara sungai sudah berada di atas ambang baku mutu yang ditetapkan dan tidak dapat digunakan sebagai sumber air baku air minum. Menurut Tingginya konsentrasi fosfat karena lokasi tersebut berada di daerah pemukiman yang berpenduduk cukup padat yang secara langsung membuang limbah domestiknya ke sungai. Disamping aktifitas pertanian dibagian hulu sungai yang juga memberi kontribusi cukup tinggi akan kenaikan konsentrasi total fosfat. Barbieri dan Simona (2003) menyatakan perairan yang tercemar limbah organik, khususnya organik fosfat akan meningkatkan tegangan permukaan air dalam bentuk lapisan tipis, sehingga dapat menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam badan air. Jorgensen (1980) mengklasifikasi status trofik suatu danau berdasarkan nilai konsentrasi TP nya, bila konsentrasi TP suatu danau berada dalam kisaran 0.010-0.030 mg L-1, maka danau tersebut bersifat danau eutrofik. Berdasarkan hasil analisis konsentrasi TP dan TN, maka D. Maninjau sudah termasuk kedalam danau eutrofik, dengan ketersediaan unsur hara baik senyawaan nitrogen dan fosfat sudah lebih dari cukup bagi pertumbuhan organisma akuatik seperti plankton-plankton dan tumbuhan air. Menurut Golmand dan Horne (1983), fosfor dan nitrogen merupakan unsur pembatas
Kandungan nutrien dalam pupuk menyebabkan proses eutrofikasi pada air permukaan, akumulasi nitrat dalam air tanah, pengasaman tanah, dan N2O (gas
24
sehingga dapat merangsang pertumbuhan alga secara cepat. Selain itu, proses penguraian deterjen dalam air berlangsung lambat, menyebabkan deterjen akan terakumulasi di perairan. Hal ini dapat meracuni kehidupan dalam air.
Distribusi Konsentrasi Total Nitrogen (TN) dan Total Fosfat (TP) di Sedimen Muara Sungai
Konsentrasi TN dan TP pada sedimen tersebar merata di setiap stasiun dengan nilai konsentrasi TN berkisar 0,093 – 0,610 mg kg-1. Konsentrasi tertinggi terdapat di St. 2 (Talao Tubo) dan terendah pada St. 5 (Bayur). Konsentrasi untuk TP berkisar 0.427 – 2.137 mg kg-1. Konsentrasi tertinggi terdapat di St. 4 (Muaro Tanjung) dan terendah pada St. 5 (Bayur) (Gambar 12). Pada sedimen di muara sungai yang masuk ke D. Maninjau terlihat konsentrasi TP lebih tinggi dibandingkan TN. Hal ini diduga tingginya masukan dari antropogenik yang berasal dari daerah pertanian ataupun perkebunan. Fairchild et al., (1987) menyebutkan pengaruh dari drainase pertanian umumnya akan meningkatkan konsentrasi partikel sedimen tersuspensi dan nilai konduktivitas di perairan. Daerah sekitar D. Maninjau terkenal dengan daerah pertanian dan perkebunan yang cukup subur seperti padi, cabai, bawang serta sayur-sayuran yang menjadi salah satu komoditi daerah setempat. Keberadaan fosfat di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfat dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O74-),
metafosfat (P3O93-) dan polifosfat (P4O136- dan P3O105-) serta fosfat yang terikat
secara organik (adenosin monofosfat) (Lenat, 1984).
Gambar 12 Konsentrasi total nitrogen dan total fosfat di sedimen muara sungai Keterangan: St 1 = Muko-Muko, St 2 = Talao Tubo, St 3 = Muaro Talao, St 4 Muaro Tanjung, St 5 = Bayur, St 6 Muaro Pisang, St 7 = Pandan
Kandungan nutrien dalam pupuk menyebabkan proses eutrofikasi pada air permukaan, akumulasi nitrat dalam air tanah, pengasaman tanah, dan N2O (gas
yang juga menyebabkan efek rumah kaca). Air lindi yang mengandung nitrat yang mencemari air tanah dan air permukaan juga mengancam ketersediaan sumber air minum. Nitrogen dan fosfat yang terbawa menuju air permukaan menyebabkan
25 eutrofikasi pada danau, sungai, dan perairan dangkal. Senyawaan ini berada sebagai larutan, partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (Faust & Osman, 198). Menurut Perkins (1974), kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 0.1 mg L-1, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu, perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi.
Distribusi Konsentrasi Logam di Sedimen
Logam berat merupakan salah satu unsur pencemar perairan yang bersifat toksik dan harus terus diwaspadai keberadaaannya. Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi (Pagoray 2001). Keberadaan logam berat di perairan telah lama diketahui dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan organisme air dari tingkatan individu sampai dan struktur komunitas.
Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Walukow et al., 2008). Sumber utama pemasukan logam menurut Wittman (1983) dalam Connel dan Miller (1995) adalah berasal dari kegiatan pertambangan, cairan limbah rumah tangga, limbah dan buangan industri serta aliran dari pertanian. Logam berat biasanya ditemukan sangat sedikit dalam air secara alamiah, yaitu kurang dari 1
μg/L. Beberapa macam logam biasanya lebih dominan daripada logam lainnya
dan dalam air biasanya tergantung pada asal sumber air (air tanah dan air sungai). Disamping itu jenis air (air tawar, air payau dan air laut) juga mempengaruhi kandungan logam di dalamnya (Darmono 2001).
26
Tabel 6 Nilai kisaran rata-rata logam dan logam berat di sedimen
Stasiun Konsentrasi sedimen (mg kg *(Giesy dan Hoke 1990); **EQS, Environmental Quality Standard; ** ANZECC, Australian and
New Zealand Environment and Conservation Council (MacDonald., et al. 2000b);
Berdasarkan guidelines US-EPA Region V logam berat pada sedimen menunjukkan konsentrasi logam timbal (Pb) pada lokasi St. 1 (Muko-muko), St. 2 (Talao Tubo), St. 5 (Bayur), dan St. 6 (Muaro Pisang) masuk dalam katagori terpolusi berat (> 0.06 mg kg-1) (Lampiran 4). Konsentrasi logam berat kadmium (Cd) di St. 1 (Muko-muko) masuk dalam katagori terpolusi berat (> 0.006 mg kg
-1
) yaitu sebesar 0.0193 mg kg-1. Dilihat dari guidelines EQS konsentrasi krom (Cr) yang diperoleh masih dibawah standar baku mutu, demikian pula untuk nilai merkuri (Hg) masih dibawah baku mutu berdasarkan guidelines dari ANZECC. Tingginya konsentrasi logam berat pada sedimen di beberapa lokasi secara garis besar berasal dari dua sumber menurut asal proses pembentukannya seperti yang diungkapkan oleh Forstner et al. (1990) yaitu: proses pelapukan batuan (lithogenic) dan aktivitas antropogenik.
Wittmann (1983) lebih lanjut membagi empat proses yang mampu meningkatkan konsentrasi logam berat ke perairan yaitu, proses pelapukan dari batuan dasar penyusutan partikel sedimen, aktivitas proses industri dan rumah tangga yang melibatkan penggunaan unsur logam berat, proses leaching dari penumpukan sampah atau limbah padat, dan hasil ekskresi dari hewan dan tanaman yang mengandung logam berat.
27
Gambar 13 Konsentrasi logam dalam sedimen di muara sungai
28
Berdasarkan data hasil kualitas sedimen terlihat konsentrasi logam berat cukup tercemar yang dapat ditunjukkan pada lokasi Muko-Muko, Muaro Pisang, Bayur dan Talao Tubo. Hal ini berdasarkan atas konsentrasi Pb yang tinggi (Muko-Muko = 4.147 ± 0.095; Bayur 1.74 ± 0.121; Muaro Pisang 11.23 ± 1.004; dan Talao Tubo = 4.634 ± 0.304). Kondisi yang tercemar telah dikemukakan sebelumnya khususnya pada lokasi Talao Tubo yang mungkin aktivitas sekitar wilayah tersebut telah menurunkan kualitas perairan. Konsentrasi Pb tinggi dilihat dari situasi danau ini dimungkinkan berasal dari kapal atau perahu yang menggunakan mesin dan terjadi pembakaran yang tidak sempurna dari mesin-mesin tersebut. Hasilnya berupa timbal (Pb) yang terendapkan di dasar perairan ini. Kondisi secara umum pada sedimen di muara sungai ini cenderung bersifat basa atau memiliki pH diatas netral diakibatkan oleh konsentrasi sedimen besi (Fe) yang tinggi. Terutama terjadi pada lokasi Talao Tubo yang memiliki pH mencapai 8.69. Tingginya sedimen Fe untuk perairan tawar akan didukung oleh nutrien tinggi khususnya nutrien P yang umumnya dihasilkan dari kegiatan pertanian dan perikanan. Kandungan logam lainnya seperti Cd, Cr dan Hg tidak begitu menonjol terlihat di antara stasiun yang ada. Ini membuktikan bahwa danau ini memang cukup lestari dari kegiatan pertambangan dan industri besar lainnya, namun patut diwaspadai karena dari hasil analisi juga sudah terlihat adanya paparan logam berat pada sedimen.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mance (1987) yang mengatakan bahwa logam berat yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap oleh partikel-partikel tersuspensi. Apabila konsentrasi logam berat lebih besar dari daya larut terendah komponen yang terbentuk antara logam dan anion yang ada di dalam air, seperti karbonat, hidroksil atau khlorida, maka logam tersebut akan diendapkan. Dari hasil pengamatan di lokasi penelitian jenis sedimen yang didapat berupa lumpur berpasir.