RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI KAWASAN
RAWAN BENCANA ROB KECAMATAN KAMPUNG LAUT,
KABUPATEN CILACAP
SYLSILIA TRINOVA SEMBIRING
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Rawan Bencana Rob, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
ABSTRAK
SYLSILIA TRINOVA SEMBIRING. Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Rawan Bencana Rob Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana resiliensi nafkah yang
dibangun oleh rumahtangga petani dengan memanfaatkan livelihood asset yang
mereka miliki serta melihat bagaimana hubungannya terhadap strategi nafkah dan tingkat pendapatan baik dari sektor pertanian maupun non pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, yaitu penggunaan instrumen berupa kuesioner, dan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa livelihood asset yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani baik di Dusun Klaces maupun Lempong Pucung berhubungan dengan aktifitas nafkah yang mereka lakukan. Berdasarkan tiga aspek pembentuk strategi nafkah, terdapat perbedaan diantara kedua dusun,
dimana Dusun Klaces mendominasi di sektor non-farm, sedangkan di Dusun
Lempong Pucung mendominasi di sektor off-farm. Kontribusi sektor pertanian di
kedua dusun masih relatif rendah dibandingkan dengan sektor non-pertanian.
Kata kunci : Resiliensi, strategi nafkah, rumahtangga petani
ABSTRACT
SYLSILIA TRINOVA SEMBIRING
.
Livelihood resilience of
farmer household in flood hazard area,
Kampung Laut, Cilacap
.
Supervised by
ARYA HADI DHARMAWAN
The purpose of this study was to determine adopted livelihood reselience by farmer household which correlated with their livelihood asset. This study also determine how both component influencing livelihood strategy and household income from agricultural sector and non-agricultural sector in Klaces and Lempong Pucung village. This study combined quantitative approach using questioner method and qualitative approach using in-depth interview method. The result of this study explained livelihood asset used by farmers in both village highly influencing their livelihood activities. According of three former aspect of livelihood strategy, there was difference of both village. Klaces dominated by non-farm sector. In the other hand, Lempong Pucung dominated by off-farm sector. The number of contribution of agricultural sector relatively lower than non-agricultral sector
RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI KAWASAN
RAWAN BENCANA ROB KECAMATAN KAMPUNG LAUT,
KABUPATEN CILACAP
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SYLSILIA TRINOVA SEMBIRING
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Disetujui oleh
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________
Judul Skripsi : Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Rawan
Bencana Rob, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap
Nama : Sylsilia Trinova Sembiring
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Resiliensi Nafkah Rumahtangga
Petani di Kawasan Rawan Bencana Rob Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap”. Tulisan ini memaparkan bagaimana strategi yang dibangun oleh masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana rob terhadap bentuk-bentuk aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk meningkatkan taraf hidup.
Penulis menyadari bahwa studi pustaka ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa teruma kasih kepada:
1. Bapak dan Ibu yang telah membesarkan dan merawat penulis dengan penuh
kasih sayang serta menjadi sumber motivasi paling besar untuk penyelesaian skripsi ini.
2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi masukan serta saran yang berarti selama proses penyelesaian penulisan skripsi ini.
3. Tanoto Foundation yang membantu meringankan seluruh biaya pendidikan
penulis selama kuliah, serta memberi motivasi untuk terus berkarya.
4. Ibu, Bapak, serta seluruh keluarga di Dusun Lempong Pucung, Kampung
Laut. Terima kasih untuk kehangatan keluarga yang diberi selama penulis melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) dan juga penelitian. Keluarga baru yang memberi penulis semangat untuk terus mengejar impian.
5. Anak-anak Kampung Laut yang membantu dan menemani penulis ketika
pengambilan data di lapang. Kalian anak-anak paling romantis yang pernah ada.
6. Adi Chandra Berampu, Fuad Habibi Siregar, dan Richardus Keiya. Penulis
tidak tahu harus menulis kalian sebagai sahabat, rekan, teman seperjuangan atau apalah semacamnya. Terimakasih untuk kebersamaannya selama ini. Kalian orang-orang hebat yang pernah penulis temui.
7. Rezza Lazuardi Pratama, orang yang selalu menjadi tempat penulis berdiskusi
tentang berbagai hal. Terimakasih untuk dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.
Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, Juni 2014
Sylsilia Trinova S.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... iix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Masalah Penelitian ... 3
Tujuan Penelitian ... 4
Kegunaan Penelitian ... 4
PENDEKATAN TEORITIS ... 5
Tinjauan Pustaka ... 5
Kerangka Pemikiran ... 9
Hipotesis Penelitian ... 10
Definisi Operasional ... 10
METODE PENELITIAN ... 13
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13
Teknik Pengumpulan Data ... 13
Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 14
PROFIL MASYARAKAT KAMPUNG LAUT ... 15
Sejarah Munculnya Tanah Timbul ... 15
Penguasaan Tanah Timbul ... 17
Kondisi Fisik ... 19
PENGUASAAN LIVELIHOOD ASSET RUMAHTANGGA PETANI ... 23
Modal Manusia (Struktur Anggota Rumahtangga) ... 23
Modal Alam ... 28
Modal Finansial ... 32
Modal Sosial ... 33
Modal Fisik ... 35
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ... 39
On-Farm ... 39
Off-Farm ... 41
Non-Farm ... 43
Bentuk-Bentuk Strategi Nafkah yang Dibangun Oleh Rumahtangga Petani ... 44
Tingkat Pendapatan Pertanian ... 49
Tingkat Pendapatan Non Pertanian ... 53
Pendapatan Total Rumahtangga Petani ... 54
Total Pengeluaran Rumahtangga Petani ... 57
Saving Capacity Rumahtangga Petani ... 58
RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ... 63
Bentuk Resiliensi Nafkah ... 63
Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Tingkat Penguasaan Livelihood Asset Rumahtangga Petani ... 65
Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Jumlah Variasi Nafkah ... 68
Hubungan Tingkat Resiliensi Nafkah dengan Tingkat Pendapatan Total Rumahtangga Petani ... 69
SIMPULAN DAN SARAN... 73
Simpulan ... 73
Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Metode Pengumpulan Data 14
Tabel 2. Kondisi penyusutan wilayah Segara Anakan menurut periode
waktu
15
Tabel 3. Berbagai konflik yang melibatkan beberapa aktor di Kampung
Laut
18
Tabel 4. Jumlah dan persentase responden menurut alokasi tenaga kerja
di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
24
Tabel 5. Jumlah dan persentase responden menurut penggunaan tenaga
kerja di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 25
Tabel 6. Jumlah dan persentase responden menurut kelompok umur di
Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
26
Tabel 7. Jumlah dan persentase responden menurut cara memperoleh
lahan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014 29
Tabel 8. Jumlah dan persentase responden menurut kelompok umur dan
cara memperoleh lahan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
29
Tabel 9. Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan di tanah
timbul di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
30
Tabel 10. Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan di
Nusakambangan di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014
31
Tabel 11. Jumlah dan persentase responden menurut modal finansial di
Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
33
Tabel 12. Total skor responden menurut modal sosial di Dusun Klaces dan
Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
35
Tabel 13. Jumlah kepemilikan asset rumahtangga petani di Dusun Klaces
dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
36
Tabel 14. Berbagai kegiatan sektor non-farm di Dusun Klaces dan
Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
43
Tabel 15. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendapatan
pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 –
2014
49
Tabel 16. Hubungan luas lahan tanah timbul dengan tingkat pendapatan
pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
57
Tabel 17. Hubungan luas lahan di Nusakambangan dengan tingkat
pendapatan pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
52
non pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013
– 2014
Tabel 19. Total rata-rata pendapatan petani di Dusun Klaces dan Lempong
Pucung tahun 2013 – 2014
55
Tabel 20. Jumlah saving capacity rumahtangga Petani di Dusun Klaces
dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
59
Tabel 21. Jumlah dan persentase rumahtangga menurut tingkat resiliensi di
Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
64
Tabel 22. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat penguasaan
livelihood asset dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan
Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
65
Tabel 23. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal alam
dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
65
Tabel 24. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal
manusia dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
66
Tabel 25. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal
finansial dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013
67
Tabel 26. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial
dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
67
Tabel 27. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal fisik
dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
68
Tabel 28. Jumlah dan persentase responden menurut jumlah variasi nafkah
dan tingkat resiliensi di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014
69
Tabel 29. Jumlah dan persentase responden menurut total pendapatan di
Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
69
Tabel 30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat total
pendapatan dan tingkat resiliensi rumahtangga di Dusun Klaces
dan Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014
70
Tabel 31 Hubungan tingkat resiliensi dengan tingkat total pendapatan
rata-rata menggunakan uji statisik rank spearman di Dusun Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013-2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Analisis Penelitian 9
Gambar 2. Perubahan luasan Segara Anakan Tahun 1984 – 2003 17
Gambar 3. Jumlah responden menurut tingkat pendidikan di Dusun
Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
23
Gambar 4. Jumlah responden menurut status kependudukan di Dusun
Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
27
Gambar 5. Penguasaan livelihood asset di Dusun Klaces dan Lempong
Pucung Tahun 2013 – 2014
37
Gambar 6. Pendapatan rata-rata rumahtangga petani dari sektor
pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 – 2014
50
Gambar 7. Pendapatan rata-rata rumahtangga petani dari sektor non
pertanian di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
54
Gambar 8. Persentase kontribusi sektor pertanian dan non pertanian di
Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
55
Gambar 9. Kontribusi pendapatan rumahtangga baik dari sektor
pertanian maupun non pertanian di Dusun Klaces dan
Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014
56
Gambar 10 Total pengeluaran rumahtangga petani di Dusun Klaces
dan Lempong Pucung Tahun 2013 - 2014
57
Gambar 11 Perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran
rumahtangga petani per tahun di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013
58
Gambar 12 Pendapatan rata-rata rumahtangga petani per hari di Dusun
Klaces dan Lempong Pucung Tahun 2013 – 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi 79
Lampiran 2. Uji Rank Spearman 80
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini berisi latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian. Latar belakang berisi alasan mengenai pemilihan topik penelitian. Masalah penelitian berisi permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian merupakan jawaban dari masalah penelitian dan kegunaan penelitian berisi kegunaan untuk berbagai pihak yang menjadi sasaran dari hasil penelitian. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan sumberdaya alamnya. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), luas wilayah Indonesia adalah
1 890 754 km2 dengan jumlah penduduk 237 641 326 jiwa. Namun dibalik alam
yang membentang luas dan menjanjikan bagi perekonomian masyarakat, tersimpan kekuatan dahsyat yang kapan saja dapat membawa masyarakat ke jalan yang lebih sulit. Memang tidak dapat dipungkiri, selain memberi kehidupan bagi manusia, alam juga dapat memberikan bencana.
Bencana alam adalah peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada masyarakat yang menyebabkan kerugian yang besar baik secara ekonomi, sosial, lingkungan dan melampaui batas kemampuan masyarakat untuk mengatasi dampak bencana alam dengan menggunakan sumberdaya yang mereka miliki (IDEP 2007). Bencana alam dapat terjadi karena aktivitas alami dan juga kombinasi dengan aktivitas manusia. Seperti yang dikutip dari BPPN (2006), ada bencana yang disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) dan adapula yang disebabkan karena ulah manusia (man-made disaster).
Beberapa bencana seperti tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, gempa bumi di Nias, banjir di Jakarta, letusan gunung berapi di berbagai daerah, serta kekeringan menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap resiko bencana. Dampak yang dihasilkan dari bencana yang terjadi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, salah satunya adalah petani. Mayoritas penduduk Indonesia berprofesi di sektor pertanian. Berdasarkan
pemaparan Hadianto et al. (2009), penduduk Indonesia yang tercatat sebagai
petani mencapai 45 juta jiwa, dan sebagian besar adalah nelayan kecil, buruh tani, dan petani pemilik lahan kurang dari 0.3 ha. Dalam kondisi yang normal pun (tanpa bencana) usaha tani adalah usaha yang rentan, apalagi dengan ditambah adanya bencana yang memperparah keadaan. Hal ini mengakibatkan kehidupan petani jauh dari berkecukupan.
Alam tidak dapat diprediksi dan cenderung tidak menentu. Adanya perubahan iklim juga sangat berpengaruh bagi produktivitas pertanian. Menurut
Nurmala (2011)1, perubahan iklim merupakan isu yang hangat diperbincangkan
dan memerlukan penanganan yang berkelanjutan. Pada skala nasional, jika tidak ada upaya peningkatan kapasitas petani, maka situasi ini akan mengancam keamanan pangan nasional karena kegagalan panen akibat bencana alam yang terkait dengan cuaca dan iklim. Contoh kasus kerugian yang muncul dari bencana terhadap petanian terjadi di Kabupaten Garut. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (DTPH) Kabupaten Garut Tatang Hidayat menuturkan, luas lahan sawah mengalami kekeringan di Kabupaten Garut berdasarkan data lapangan pada tanggal 1 - 7 September 2013 mencapai sekitar 341 ha. Terdiri atas kekeringan ringan 289 ha, kekeringan sedang 32 ha, dan kekeringan berat 20 ha. Kekeringan tersebut menyebabkan kehilangan produksi padi sekitar 426 ton, atau setara Rp1.6 miliar2.
Kondisi alam seperti yang dipaparkan sebelumnya menuntut petani untuk dapat beradaptasi dan membuat pola-pola tertentu untuk mempertahankan kehidupan mereka. Walaupun petani memiliki kerentanan yang tinggi terhadap ketidakstabilan alam, tetapi petani juga memiliki kelentingan atau resiliensi yang tinggi yang diwujudkan sebagai strategi nafkah oleh rumahtangga petani. Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan strategi nafkah tidak terbatas pada mata pencaharian, tetapi lebih ke strategi penghidupan. Selain itu, menurutnya sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood) karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Strategi nafkah sangatlah beragam di setiap wilayahnya dan
individunya. Seperti yang diungkapkan oleh Turasih (2011), “pilihan strategi
nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Berdasarkan penelitian Hastuti (2006) diketahui bahwa adanya perubahan strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat sekitar wisata Kaliedem pasca erupsi Gunung Merapi. Pada awalnya kegiatan utama masyarakat di wilayah tersebut adalah berdagang di lokasi wisata Kaliadem. Namun kegiatan tersebut harus berubah menjadi beternak dan beragam jenis pekerjaan lainnya setelah adanya bencana erupsi Gunung Merapi.
Kampung Laut merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Cilacap. Sesuai dengan namanya, Kampung Laut terletak di Laguna Segara Anakan yang dikelilingi perairan dan hutan mangrove. Akibat endapan lumpur dari Sungai Citanduy dan sungai–sungai lain, luasan desa di Kampung Laut semakin bertambah tiap tahun (Suryawati 2012). Terdapat empat desa di Kecamatan Kampung Laut, yakni Desa Ujung Alang, Klaces, Ujung Gagak, dan Panikel. Kampung Laut merupakan kawasan yang rawan terhadap bencana rob. Rob merupakan istilah untuk banjir di daerah pasang surut. Setiap tahunnya, Kampung Laut direndam air laut yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi penduduk sekitar, terutama di sektor pertanian. Dikutip dari Harian Suara
2
Merdeka3, kerugian yang ditimbulkan dari banjir rob pada tahun 2007 di Kampung Laut mencapai ratusan juta rupiah dan mengakibatkan kerusakan tanaman padi di areal seluas 95 ha. Setiap tahun setidaknya ada 200 KK di Kecamatan Kampung laut yang rumahnya terancam air pasang. Naiknya permukaan air di sungai-sungai yang ada di kecamatan tersebut memang tergantung bergantinya angin musim. Berdasarkan pemaparan tersebut, menjadi penting bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh mengenai Resililensi nafkah petani di Kecamatan Kampung Laut sebagai kawasan yang rawan bencana.
Masalah Penelitian
Mayoritas penduduk Indonesia berusaha di sektor pertanian. Usaha tani merupakan usaha yang sangat rentan, hal ini dikarenakan ketergantungan sepenuhnya terhadap kondisi alam. Alam tidak dapat diprediksi dan cenderung tidak menentu. Ketergantungan yang tinggi itulah yang menyebabkan kerentanan bagi kehidupan petani. Dalam kondisi yang normal pun (tanpa bencana) usaha tani adalah usaha yang rentan, apalagi dengan ditambah adanya bencana yang memperparah keadaan.
Keadaan sumberdaya sangat mempengaruhi pilihan strategi nafkah yang akan dilakukan oleh seseorang. Ellis (2000) memaparkan terdapat lima modal
ataupun yang disebut livelihood assets, yakni modal alam, fisik, manusia, sosial,
dan finansial. Rumahtangga akan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki semaksimal mungkin untuk mendukung kehidupan anggota rumahtangganya. Keterbatasaan modal yang dialami rumahtangga akan membatasi peluang rumahtangga dalam menentukan strategi nafkah` yang mereka lakukan. Selain itu,
dapat dikatakan keterbatasan akan modal tersebut mempengaruhi “kerentanan”
yang dialami oleh rumahtangga.
Bencana rob yang terjadi di Kampung Laut memang sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat sekitar, karena bencana tersebut rutin terjadi setiap tahunnya. Namun, dampak dari bencana tersebut sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, khususnya petani karena produktivitas pertanian sangat menurun dengan adanya kondisi tersebut. Penurunan produktivitas tersebut otomatis akan mempengaruhi kondisi perekonomian petani setempat. Mengingat kebutuhan hidup yang semakin meningkat, petani dituntut untuk melakukan beragam cara dan strategi agar keluar dari permasalahan ekonomi yang melanda. Strategi nafkah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk dapat keluar dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti :
1. Sejauhmana penguasaan livelihood asset yang dilakukan oleh rumahtangga
petani
2. Bagaimana bentuk strategi nafkah yang dibangun rumahtangga petani
3. Bagaimana struktur pendapatan yang dimiliki oleh rumahtangga petani baik
dari sektor pertanian maupun non pertanian
4. Bagaimana bentuk resiliensi nafkah rumahtangga petani
3
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis penguasaan livelihood asset yang dibangun oleh rumahtangga
2. Menganalisis bantuk strategi nafkah yang dibangun rumahtangga petani
3. Menganalisis struktur pendapatan yang dimiliki oleh rumahtangga petani baik
dari sektor pertanian maupun non-pertanian
4. Menganalisis bentuk resiliensi nafkah rumahtangga petani
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam
memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan literatur mengenai topik yang terkait.
2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai kondisi desa, serta memaparkan berbagai usaha yang dilakukan oleh masing-masing rumahtangga dalam bertahan hidup, sehingga menjadi
referensi bagi rumahtangga lainnya untuk membangun strategi
penghidupannya dengan menggunakan potensi yang dimiliki masing-masing.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan menjadi suatu saran dalam
PENDEKATAN TEORITIS
Bab ini berisi tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian dan definisi operasional. Tinjauan pustaka berisi teori-teori dan konsep-konsep dasar untuk menganalisis data hasil penelitian, kerangka pemikiran berisi alur pemikiran logis yang diteliti, hipotesis adalah dugaan sementara dari hasil penelitian dan definisi operasional berisi variabel-variabel yang diteliti. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Tinjauan Pustaka
Bencana Alam dan Pengaruhnya bagi Sektor Pertanian
Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana adalah sebagai berikut:
“Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis”
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non-alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana non-alam, dan
bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Menurut BPPN (2006), faktor-faktor penyebab terjadinya bencana antara lain:
1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena manusia (man-made
hazars) yang menurut United Nations International Strategy For Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards), dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation).
2. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kawasan beresiko bencana
3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.
rumahtangganya. Hasil penelitian Hastuti (2006) di lereng Gunung Merapi memaparkan bahwa adanya peristiwa letusan Gunung Merapi di Tahun 2006 menciptakan keterpurukan ekonomi rumahtangga karena kesulitan memperoleh pendapatan. Penelitian Rochana (2011) di Pesisir Bandar Lampung juga menyebutkan bahwa gelombang pasang telah menjadi bencana yang memporak-porandakan kehidupan pesisir. Seluruh aktivitas ekonomi produktif penangkapan ikan di laut beserta ikutannya terhenti oleh gelombang pasang. Sebagian bangunan fisik rumah masyarakat pesisir hancur luluh lantak. Rusaknya infrastruktur rumah sebagai sarana dasar untuk berteduh dan lumpuhnya perekonomian bagi masyarakat pesisir yang sebagian besar miskin yang berujung pada peningkatan kesulitan hidupnya.
Kerentanan Rumahtangga Petani
Kerentanan yaitu kecenderungan sistem kompleks adaptif mengalami pengaruh buruk dari keterbukaannya terhadap tekanan eksternal dan kejutan (Kasperson 1998 dalam Suryawati 2012). Kerentanan adalah manifestasi dari struktur sosial, ekonomi, politik, dan pengaturan lingkungan. Kerentanan dapat dilihat dari dua unsur, yaitu paparan terhadap resiko dan coping capacity. Manusia yang lebih memiliki kapasitas untuk mengatasi kejadian ekstrem, kerentanannya lebih sedikit terhadap resiko. Semakin rentan sebuah sistem, maka semakin rendah kapasitas kelembagaan dan masyarakat untuk beradaptasi dan membentuk perubahan (Adger et al. dalam Rochana 2011).
Menurut Hadianto et al. (2009), penetapan indikator kerentanan dilihat
berdasarkan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh di tingkat individu, masyarakat, wilayah dan institusi. Adapun beberapa faktor utama yang berpengaruh terhadap kerentanan sosial, diantaranya adalah kurangnya akses terhadap sumberdaya (informasi, pengetahuan, dan teknologi), terbatasnya akses terhadap kekuatan dan keterwakilan politik, modal sosial, koneksi dan jejaring sosial, adat kebiasaan dan nilai budaya. Selain itu, terdapat beberapa indikator kuantitatif kerentanan sosial ekonomi, diantaranya: usia (dibawah 5 tahun dan diatas 65 tahun), pendapatan, gender, dan status kerja. Dalam penelitian Sunarti (2007) menunjukkan bahwa pendidikan seseorang menentukan kemampuannya
dalam mengembangkan mekanisme coping dalam menghadapi situasi darurat
karena bencana.
Petani adalah kelompok orang yang sangat rentan. Hal ini diakibatkan oleh
SDM dan aksesnya yang terbatas. Menurut Hadianto et al.(2009), dalam kondisi
yang normal pun usaha tani adalah usaha yang rentan, ditambah lagi dengan adanya bencana yang memperparah kondisi kehidupan petani. Dalam hasil penelitian Suryawati (2012), kerentanan yang terdapat pada masyarakat di Laguna Segara Anakan diantaranya disebabkan kondisi SDM yang rendah yang dikarenakan kurangnya dukungan sarana dan prasarana pendidikan, akses dan mobilitas yang sangat rendah, serta penduduk yang berdiam di lokasi-lokasi yang sangat rawan bencana dengan dukungan fasilitas yang sangat terbatas.
Konsep Resiliensi
Menurut Adger (2000), resiliensi merupakan kebalikan dari kerentanan
kemampuan merespon dalam situasi krisis/konflik/darurat. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan kembali ke keadaan semula pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan proses yang dinamis mencakup adaptasi yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Resiliensi termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan mengimplementasikan back up system, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006 dalam Praptiwi 2009)
Palmer (1997) dalam Praptiwi (2009) mendeskrispsikan empat tipe resiliensi, yaitu:
1. Anomic survival; orang atau keluarga yang dapat bertahan dari gangguan 2. Regenerative resilience; dapat melengkapi usaha untuk mengembangkan
kompetensi dari mekanisme coping
3. Adaptive resilience; periode yang relatif berlanjut dari pelaksanaan dan strategi coping
4. Flourishing resilience; penerapan yang luas dari perilaku dan strategi coping
Michalski & Watson dalam Praptiwi (2009) memaparkan berbagai karakteristik rumahtangga yang memiliki resiliensi, yakni:
1. Kompeten dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan dalam
mengambil keputusan
2. Adanya pembagian tugas dalam rumahtangga
3. Fleksibilitas dan kemampuan adaptasi untuk mencapai tujuan
4. Kemampuan komunikasi yang baik
5. Mempunyai hubungan yang konsisten dengan sesama.
Resiliensi dalam hubungannya dengan ekonomi dapat dilihat dari ketahanan nafkah rumahtangga, dimana resiliensi diartikan sebagai kemampuan rumahtangga untuk bertahan ketika krisis keuangan. Selain hubungannya dengan faktor ekonomi, resiliensi juga dapat dihubungkan dengan faktor sosial-ekologi. Menurut Carpenter (2001) dalam Suryawati (2012), resiliensi sosial-ekologi adalah (1) jumlah gangguan yang dapat diserap oleh sistem dan berada dalam keadaan yang sama, (2) tingkatan dimana sistem memiliki kemampuan mengorganisir kembali dirinya, dan (3) tingkatan dimana sistem mampu membuat dan meningkatkan kapasitas untuk belajar dan beradaptasi. Sistem sosial-ekologis yang kehilangan resiliensi disebut sebagai sistem yang rentan.
Nafkah Rumahtangga Petani Pedesaan
Konsep nafkah memiliki arti sebagai cara hidup. Konsep ini biasanya
disejajarkan dengan konsep livelihood (mata pencaharian). Dharmawan (2006)
memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas
daripada sekedar means of living yang bermakna secara sempit sebagai mata
Menurut Crow dalam Dharmawan (2001), terdapat aspek-aspek penting dalam strategi nafkah, yaitu:
1. Harus terdapat pilihan yang dapat dipilih oleh seseorang sebagai tindakan alternatif
2. Kemampuan melatih kekuatan
3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakapastian yang dihadapi
seseorang dapat diminimalisir
4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang menerpa
seseorang
5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk
dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda
6. Strategi biasanya merupakan keluaran dari konflik dan proses yang terjadi dalam rumahtangga.
Menurut Ellis (2000) pembentuk strategi nafkah dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Berasal dari on-farm
Merupakan strategi nafkah yang didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan sebagainya)
2. Berasal dari off-farm
Berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), konrak upah tenaga kerja non-upah dan lain-lain.
3. Berasal dari non-farm
Sumber pendapatan berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi lima, yaitu: upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian, usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri.
Ellis (2000) memaparkan terdapat lima tipe modal atau yang biasa disebut sebagai (livelihood asset), yakni:
1. Modal manusia yang meliputi jumlah (populasi manusia), tingkat pendidikan
dan keahlian yang dimiliki dan kesehatannya.
2. Modal alam yang meliputi segala sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan
manusia untuk kelangsungan hidupnya, seperti air, tanah. udara, hutan, dan sebaganya.
3. Modal sosial yaitu berupa jaringan sosial dan lembaga dimana seseorang
berpartisipasi dan memperoleh dukungan untuk kelangsungan hidupnya.
4. Modal finansial yaitu berupa kredit dan persediaan uang tunai yang bisa
diakses untuk keperluan produksi dan konsumsi
5. Modal fisik yaitu modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti gedung, jalan dan sebagainya.
Scoones (1998) dalam Tulak (2009) menggolongkan strategi nafkah petani menjadi tiga golongan besar, yakni:
1. Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang merupakan usaha penguasaan sektor
2. Pola nafkah ganda yang merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan)
3. Rekayasa spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara
mobilisasi/perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkular (migrasi)
Berdasarkan beberapa literatur, terdapat berbagai jenis strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga dalam meningkatkan kualitas hidupnya atau sekedar untuk mempertahankan hidupnya. Hasil penelitian Widiyanto (2009) pada petani tembakau di Lereng Gunung Sumbing, diketahui bahwa strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani tembakau dengan mengkombinasikan aset-aset (modal) yang dimiliki, yaitu: modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumberdaya manusia, dan modal sosial. Secara umum rumahtangga petani di daerah penelitian membangun beberapa strategi nafkah, yaitu: strategi produksi,
solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, srabutan,
akumulasi, dan manipulasi komoditas, sedangkan kelembagaan yang dibangun
oleh petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip,
royongan, gabung hasil panen, dan maro.
Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Analisis Penelitian Keterangan :
Berhubungan
Deskriptif Kerentanan
Tingkat Resiliensi Nafkah Penguasaan Livelihood Assets
Modal Alam Modal Manusia
Modal Sosial Modal Fisik Modal Finansial
Tingkat Pendapatan dari Sektor Pertanian
Tingkat Pendapatan dari Sektor Non- Pertanian
Usaha tani merupakan usaha yang rentan. Hal ini dikarenakan keterbatasan petani terhadap berbagai hal seperti akses terhadap informasi, teknologi dan sebagainya. Kerentanan pada petani diperparah dengan adanya ketergantungan terhadap alam yang sangat tinggi, sementara alam tidak dapat diprediksi dan tidak menentu. Kecamatan Kampung Laut merupakan representasi dari hal tersebut. Banjir rob yang merendam wilayah tersebut membuat kehidupan perekonomian masyarakat sekitar semakin sulit. Usaha yang dilakukan untuk keluar dari permasalahan ini dengan cara menerapkan berbagai strategi untuk dapat tetap bertahan hidup. Beragam strategi dapat diterapkan oleh petani sesuai dengan kondisi alam dan karakteristik mereka masing-masing. Salah satunya dengan
penguasaan livelihood asset berupa modal fisik, alam, finansial, sosial, dan
manusia. Dengan penguasaan yang optimal, diduga pendapatan ekonomi rumahtangga akan meningkat pula.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Diduga terdapat hubungan antara penguasaan livelihood asset yang terdiri dari
modal manusia, alam, fisik, finansial dan sosial yang dilakukan rumahtangga terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani
2. Diduga terdapat hubungan antara tingkat resiliensi rumahtangga terhadap
struktur pendapatan yang dibangun rumahtangga baik dari sektor pertanian maupun non-pertanian
3. Diduga rumahtangga petani melakukan berbagai strategi nafkah untuk dapat
bertahan hidup.
Definisi Operasional
1. Livelihood Asset adalah lima modal sumberdaya yang dimanfaatkan dalam penerapan strategi nafkah. Kelima modal tersebut antara lain:
a. Tingkat modal manusia, dilihat dari tingkat pendidikan, penggunaan
tenaga kerja, dan tingkat alokasi tenaga kerja Berikut merupakan pemaparan dari masing masing variabel.
- Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang
dijalani. Tingkat pendidikan termasuk ke dalam jenis data ordinal, dengan kategori :
a. Rendah : tidak sekolah atau lulus SD
b. Sedang : lulus SMP
c. Tinggi : lulus SMA atau PT
- Tingkat penggunaan tenaga kerja adalah jumlah orang yang
dipekerjakan dalam usahatani yang dijalankan. Tingkat penggunaan tenaga kerja masuk ke dalam jenis data ordinal, dengan kategori:
a. Rendah : apabila tidak menggunakan orang lain
b. Sedang : apabila mengunakan satu orang
- Tingkat alokasi tenaga kerja adalah jumlah anggota rumahtangga yang memiliki pendapatan. Pengkategorian variabel ini sebagai berikut:
a. Rendah, apabila hanya kepala keluarga yang bekerja
b. Sedang, apabila ibu dan bapak yang bekerja
c. Tinggi, apabila seluruh anggota keluarga dengan usia produktif
bekerja.
Pengskoran4 untuk tingkat modal manusia adalah sebagai berikut:
Rendah (3 – 5), sedang (6 – 7), dan tinggi (8 – 9)
b. Tingkat modal alam adalah luas kepemilikan lahan pertanian oleh
rumahtangga petani. Kategori variabel tingkat modal alam termasuk dalam jenis data ordinal yang diperoleh dari lapangan, berikut penggolongannya:
a. Rendah, apabila luas lahan yang dimiliki 150 m2 – 850 m2
b. Sedang, apabila luas lahan yang dimiliki 851 m2– 1551m2
c. Tinggi, apabila luas lahan yang dimiliki > 1551 m2
c. Tingkat modal sosial dilihat berdasarkan tiga aspek, yakni kekuatan
jaringan, kepercayaan, tingkat kepatuhan terhadap norma. Rincian ketiga aspek tersebut sebagai berikut :
- Kekuatan jaringan adalah hubungan-hubungan yang terjalin antara
sesama masyarakat yang dapat dilihat dari aspek hubungan pertetanggaan, pertemanan, kerja, maupun hubungan dengan pemangku desa
- Kepercayaan meliputi kepercayaan pada keluarga, tetangga, orang
dari kelas yang berbeda, pada pemilik usaha, pada aparat pemerintah
- Kepatuhan terhadap norma meliputi kesediaan menolong orang lain,
kepedulian pada orang lain, keterbukaan pada orang lain.
Tingkat modal sosial termasuk dalam jenis data ordinal, adapun pengkategoriannya sebagai berikut:
a. Rendah, apabila hanya memiliki satu aspek saja
b. Sedang, apabila memiliki dua aspek
c. Tinggi, apabila memiliki ketiga aspek
d. Tingkat modal finansial adalah investasi keuangan yang dapat
dimanfaatkan untuk mengelola sumber daya dalam memenuhi kebutuhan hidup, yakni berupa tingkat tabungan dan tingkat pinjaman. Tingkat tabungan akan dilihat berdasarkan tingkat pendapatan dan pengeluaran, seperti berikut :
a. Rendah, apabila tabungan bernilai negatif (tidak memiliki) dan
rumahtangga memiliki pinjaman
b. Sedang, apabila tabungan bernilai negatif (tidak memiliki) dan
rumahtangga tidak memiliki pinjaman
c. Tinggi, apabila tabungan bernilai positif (memiliki) dan tidak
memiliki pinjaman
e. Modal fisik adalah berbagai sarana dan prasarana fisik yang dibangun
untuk tujuan-tujuan pembangunan dan penghidupan masyarakat, seperti infrastruktur jalan, listrik, sarana pendidikan dan kesehatan. Tingkat modal fisik akan diukur dengan melihat kepemilikan alat-alat yang mendukung
4
dalam aktifitas nafkah rumahtangga, seperti sepeda motor, traktor dan warung. Tingkat modal fisik termasuk dalam jenis data ordinal, adapun pengkategoriannya sebagai berikut:
a. Rendah, apabila tidak memiliki alat-alat yang mendukung aktifitas
nafkah
b. Sedang, apabila memiliki satu alat-alat yang mendukung aktifitas
nafkah
c. Tinggi, apabila memiliki dua atau lebih alat yang mendukung aktifitas
nafkah
Pengskoran untuk tingkat penguasaan livelihood asset adalah sebagai berikut: rendah (5 – 8), sedang (9 – 12), tinggi (13 – 15)
2. Tingkat resiliensi nafkah adalah lama waktu yang dibutuhkan oleh
rumahtangga untuk recovery ketika terjadi krisis. Variabel tingkat resiliensi nafkah termasuk dalam jenis data ordinal, berikut pengkategoriannya berdasarkan data yang diperoleh di lapang:
a. Rendah, apabila rumahtangga membutuhkan waktu 1 sampai 5 bulan
untuk kembali ke kondisi normal
b. Sedang, apabila rumahtangga membutuhkan waktu 6 sampai 11 bulan
untuk kembali ke kondisi normal
c. Tinggi, apabila rumahtangga membutuhkan waktu lebih dari 11 bulan
untuk kembali ke kondisi normal
3. Tingkat variasi nafkah adalah jumlah aktifitas nafkah yang dilakukan oleh
rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat variasi nafkah termasuk pada data ordinal. Berikut pengkategoriannya:
a. Rendah, apabila hanya memiliki satu aktifitas nafkah
b. Sedang, apabila memiliki dua aktifitas nafkah
c. Tinggi, apabila memiliki tiga aktifitas nafkah
4. Tingkat pendapatan pertanian adalah total uang yang diterima oleh
rumahtangga dari bekerja di sektor pertanian seperti bertani, berternak, dan menangkap ikan. Variabel tingkat pendapatan pertanian merupakan data ordinal. Penentuan kategori tingkat pendapatan pertanian disesuaikan dengan data yang diperoleh di lapang. Berikut penggolongannya:
a. Rendah, jika pendapatan Rp. 500 000 – Rp. 6 800 000 per tahun
b. Sedang, jika pendapatan Rp. 6 800 001 – Rp. 13 100 000 per tahun
c. Tinggi, jika pendapatan > Rp. 13 100 000 per tahun
5. Tingkat pendapatan non pertanian adalah total uang yang diterima oleh
rumahtangga dari bekerja di non sektor pertanian seperti berdagang, membuat gula kelapa, menjadi kuli angkut dan sebagainya. Variabel tingkat pendapatan non pertanian merupakan data ordinal. Penentuan kategori tingkat pendapatan non pertanian disesuaikan dengan data yang diperoleh di lapang. Berikut penggolongannya:
a. Rendah, jika pendapatan Rp. 500 000 – Rp. 9 033 000 per tahun
b. Sedang, jika pendapatan Rp. 9 033 001 – Rp. 17 566 000 per tahun
METODE PENELITIAN
Metode penelitian berisi informasi mengenai lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik pengolahan dan analisis data. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pertanian di daerah tersebut, serta letaknya yang berada di Laguna Segara Anakan yang menjadikan desa ini cukup unik dibandingkan dengan desa lainnya. Penelitian ini difokuskan pada dua dusun, yakni Dusun Lempong Pucung dan Klaces. Data yang diperoleh dari masing-masing dusun disandingkan untuk melihat perbandingan dan variasi data.
Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penjajakan ke lokasi penelitian dan penelusuran literatur yang terkait dengan lokasi penelitian. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Lama pelaksanaan penelitian sekitar enam bulan.
Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data, dan informasi dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data (Singarimbun dan Efendi 1989). Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan. Metode lain yang digunakan adalah melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena aktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di Dusun Lempong Pucung dan Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani. Pemilihan responden dilakukan
dengan teknik simple cluster sampling. Jumlah sampel yang akan dijadikan
Tabel 1. Metode pengumpulan data Teknik
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan
Kuesioner Karakteristik responden
Penguasaan livelihood assets
Struktur pendapatan pertanian
Struktur pendapatan non-pertanian
Struktur pengeluaran
Wawancara mendalam
Bagaimana bencana mempengaruhi penghidupan
petani
Bagaimana petani membentuk strategi dalam
bertahan hidup
Bagaimana strategi nafkah petani
Dampak dari bencana
Bentuk resiliensi petani
Observasi lapang Aktivitas yang dilakukan oleh petani
analisis dokumen Gambaran umum desa melaui data monografi
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul dilakukan reduksi data, yakni pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan terhadap data sehingga menjawab tujuan penelitian. Data yang diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan microsoft excel 2007 sebelum dimasukan ke perangkat lunak SPSS for Windows versi 20 untuk mempermudah pengolahan data. Uji statistik yang
digunakan yakni uji korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan antara
PROFIL MASYARAKAT KAMPUNG LAUT
Pada bab ini, akan dipaparkan mengenai sejarah munculnya Kampung Laut yang berasal dari proses sedimentasi. Selain itu, dipaparkan pula mengenai pola
penguasaan lahan yang terjadi setelah munculnya “tanah timbul”, serta bagaimana
kondisi sosial ekonomi dan fisik masyarakat Kampung Laut secara umum.
Sejarah Munculnya Tanah Timbul
Kecamatan Kampung Laut berada di Laguna Segara Anakan yang berdiri sejak tahun 2004. Kecamatan Kampung Laut terdiri dari empat desa; Panikel, Ujung Alang, Ujung Gagak, dan Klaces. Kondisi wilayah kawasan Segara Anakan termasuk di dalamnya Kecamatan Kampung Laut merupakan wilayah pengembangan sungai Citanduy bagian hilir yang berada diantara pantai selatan Jawa Tengah bagian barat dengan pulau Nusakambangan. Segara Anakan merupakan perairan payau karena percampuran air tawar yang mengalir dari sungai Citanduy, Cibeureum, Donan dan Cikonde serta beberapa sungai lainnya yang bermuara langsung di Segara Anakan dan bercampur dengan air laut Samudera Hindia.
Menurut hasil penelitian Farid et al. (2009), Kampung Laut muncul dari proses sedimentasi muara sungai Citanduy dan Cimeneng yang disebut sebagai tanah timbul. Sedimentasi yang terjadi di wilayah Segara Anakan sangat tinggi,
diperkirakan mencapai 1 juta m3 pertahun. Suryawati (2012) dalam penelitiannya
menyampaikan bahwa telah terjadi penyempitan laguna disetiap tahunnya. Berikut pembagian tahun menurut hasil penelitiannya.
Tabel 2 Kondisi penyusutan wilayah Segara Anakan menurut periode waktu
Periode Kondisi
1980 – 1985 Meletusnya Gunung Galunggung pada Tahun 1982
diyakini sebagian masyarakat sebagai pemicu terjadinya sedimentasi di Segara Anakan.
Terjadi penyusutan laguna sebesar 247 ha akibat
sedimentasi
Mata pencaharian warga mulai berubah dari nelayan
menjadi petani padi sawah tetapi belum secara menyeluruh. Perikanan masih memberi hasil yang mencukupi
Terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran dari
daratan Jawa ke Kampung Laut dengan tujuan mencoba bercocok tanam di tanah timbul, hal ini mengakibatkan kenaikan jumlah populasi di Segara Anakan
Warga mulai mematok wilayah yang diyakini sebagai
1986 – 1990 Sedimentasi terus berlanjut, terjadi penambahan daratan seluas 74 ha dan penyempitan laguna seluas 346 ha.
Penambahan pemukiman seluas 2 ha.
Pemerintah desa mulai mengatur pembagian tanah
timbul kepada setiap rumahtangga seluas 0.5 ha
Kegiatan pertanian terus meningkat dengan adanya
bantuan pengelolaan air dari yayasan keagamaan.
Jumlah pendatang terus meningkat.
1991 – 1995 Sedimentasi terus berlanjut, terjadi penambahan daratan
seluas 1 339 ha dan penyempitan laguna seluas 719 ha.
Penambahan pemukiman seluas 3 ha.
Produksi perikanan dan pendapatan nelayan drastis
menurun
Perubahan ekologi tersebut mendorong berkembangnya
jenis perekonomian baru, yakni tambak ikan.
1996 – 2000 Sedimentasi terus berlanjut, terjadi penambahan daratan
seluas 631 ha dan penyempitan laguna seluas 594 ha.
Penambahan pemukiman seluas 5 ha.
Cakupan areal mangrove yang cukup luas mengundang
para inverstor untuk mengusahakan pertambakan secara intensif. Petambak-petambak tersebut berasal dari luar
daerah seperti Pangandaran, Jakarta, Lampung,
Karawang dan Pekalongan.
Pada periode ini, terjadi degradasi lingkungan yang
sangat cepat.
Pengurangan luasan mangrove berdampak pada ekologi
dan kehidupan masyarakat.
Usaha pertambakan yang dilakukan investor tenyata
berhasil yang kemudian mengundang masyarakat sekitar untuk menirunya. Namun hal ini gagal karena mereka melakukannya pada lahan-lahan yang baru terbentuk, serta sistem irigrasi yang buruk.
2001 – 2012 Sedimentasi terus berlanjut, terjadi penambahan daratan
seluas 631 ha dan penyempitan laguna seluas 366 ha.
Antara tahun 2000 – 2005 dilakukan tiga kali
pengerukan untuk mengurangi sedimentasi. Petani yang tanahnya dipergunakan untuk membuang hasil kerukan
memperoleh kompensasi untuk tanaman-tanaman
ekonomis seperti kelapa. Adanya pengerukan juga membuat perairan menjadi keruh, sehingga menghambat nelayan dalam melaut, sehingga nelayan juga diberikan kompensasi.
Berdasarkan Tabel 2 tersebut, tampak perubahan ekologi yang terjadi di Segara Anakan selalu diikuti dengan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh masyarakat. Perubahan mata pencaharian dari nelayan menjadi petani memang upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk tetap bertahan hidup, namun keterbatasan keterampilan dalam bercocok tanam menjadi hambatan tersendiri bagi mereka. Mendatangkan petani dari luar daerah adalah jalan keluar dari permasalahan yang ada. Semakin hari, jumlah pendatang di Kampung Laut terus bertambah.
Sumber : KPKSA (2009)
Gambar 2 Perubahan luasan Segara Anakan Tahun 1984 – 2003
Sedimentasi yang terus terjadi dengan laju yang sangat tinggi menimbulkan kekhawatiran akan kelestarian Laguna Segara Anakan. Proses sedimentasi di Laguna Segara Anakan terjadi karena beberapa hal. Salah satunya karena penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Kondisi alam di sekitar DAS Citanduy juga terus mempengaruhi kecepatan laju sedimentasi. Tingginya curah hujan pada daerah
hulu yang mencapai 3 000 – 5 500 mm telah membawa partikel tanah yang
berasal dari wilayah sekitarnya. Begitu pula dengan daun-daunan kering yang terseret air masuk ke dalam aliran sungai (Ramadhan A dan Hafsari D 2012).
Penguasaan Tanah Timbul
Dalam UUPA1960, tanah timbul adalah tanah milik negara. Masyarakat dapat memiliki hak kuasa atas tanah timbul dengan sepengetahuan dan izin negara (Farid et al. 2009). Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan warga untuk
yakni pembagian lahan yang dilakukan oleh pemerintah kepada warga Kampung Laut atas seluas tanah. Sistem ini dilakukan sejak tahun 1980-an. Masyarakat dapat membuka lahan seluas 350 ubin bagi masing-masing rumahtangga dan menentukan sendiri letaknya. Saat ini, sistem ini tidak dapat lagi dilakukan mengingat luasan lahan yang sudah habis dibagi rata pada seluruh masyarakat Kampung Laut.
Munculnya tanah timbul pastinya menimbulkan persengketaan antara berbagai pihak yang bersangkutan atas tanah tersebut. Menurut hasil penelitian Farid et al. (2009), terdapat beberapa konflik pengelolaan di atas tanah timbul. Berikut disajikan pada tabel.
Tabel 3 Berbagai konflik yang melibatkan beberapa aktor di Kampung Laut
Aktor Masalah
Masyarakat asli dan pendatang
Masyarakat Kampung laut adalah pertemuan warga pendatang dengan warga asli. Pada proses pendistribusian lahan tanah timbul muncul konfik atas akses lahan antara
Meningkatnya luasan tanah timbul secara terus menerus mengakibatkan perselisihan interpretasi batas-batas tanah
timbul. Setelah dilakukan trukah, masyarakat meyakini
bahwa batasan lahan mereka berada diluar batas wilayah perhutani, namun perhutani tetap bersikukuh bahwa tanah timbul tersebut masuk ke wilayah mereka.
Masyarakat dan beberapa orang saja yang memiliki surat hak atas tanah yang dianggap sah oleh pemerintah desa. Pemerintah desa yang dianggap memiliki kuasa terhadap pengelolaan tanah timbul serta pendistribusiannya dianggap sebagai makelar tanah yang dapat menjual beli surat penguasaan lahan tanah timbul.
Masyarakat dan investor (konflik pengelolaan)
Usaha investor tidak mendapat dukungan oleh masyarakat Kampung Laut. Beragam bentuk perlawanan ditunjukkan oleh masyarakat setempat sebagai bentuk penolakannya seperti melakukan pencurian udang-udang, penjarahan serempak hasil panen, turut serta dalam panen hasil tambak namun tidak dikembalikan kepada pemilik tambak.
Masyarakat dan LP
Nusakambangan (konflik klaim)
Adanya tanah timbul di area LP Nusakambangan mengakibatkan konflik antara masyarakat dan LP Nusakambangan. Masyarakat sempat ditegur oleh pihak LP Nusakambangan karena dianggap mengolah lahan milik LP Nusakambangan. Pada kasus ini, sempat terjadi pembakaran gubug (rumah sementara)
Sumber : Farid et al. (2009)
tindih penguasaan lahan. Selain itu, adanya usaha investor yang melakukan usaha pertambakan di wilayah Kampung Laut juga mengundang perlawanan dari masyarakat setempat
Kondisi Sosial dan Ekonomi
Sub-bab sebelumnya telah menjelaskan bahwa jumlah pendatang di setiap tahunnya terus meningkat. Tahun 2000 sampai 2010 jumlah penduduk terus bertambah dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2.7 persen. Mayoritas pendatang di Kampung Laut berasal dari Jawa Barat, sehingga bahasa yang digunakan Jawa dan Sunda. Ikatan kekerabatan antar penduduk masih tergolong kuat satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dari silsilah keluarga yang masih menyambung antar keluarga. Kondisi seperti ini cukup menguntungkan bagi masyarakat apabila terjadi konflik. Kelembagaan yang terbentuk dan tergolong kuat di kedua desa yaitu kelembagaan informal yaitu seperti pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, serta kelompok badminton remaja. Kelembagaan informal ini merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan masyarakat dibandingkan dengan kelembangaan formal yang ada. Kondisi kelembagaan formal yang ada terutama di Desa Klaces dan Ujung Alang masih lemah khususnya PKK dan Karang Taruna.
Dahulu, mayoritas penduduk di Kecamatan Kampung Laut adalah berprofesi sebagai nelayan dan petani. Meskipun kegiatan pertanian mulai berkembang, mayoritas penduduk asli memilih tetap menjadi nelayan karena masih memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar. Sedimentasi yang mengakibatkan dangkalnya wilayah perairan mengakibatkan banyak nelayan yang berganti profesi sebagai petani. Menurut penuturan salah satu informan, jumlah ikan yang didapat tidak lagi melimpah seperti tahun-tahun sebelumnya, sehingga kadang hanya cukup untuk kebutuhan makan rumahtangga saja.
Lembaga keuangan formal tidak ada di Kecamatan Kampung Laut, sehingga sebagian besar masyarakat meminjam pada kerabat ataupun kepada warga yang memiliki modal berlebih. Biasanya, uang yang dipinjam akan dikembalikan dengan hasil tangkapan ataupun hasil panen di sawah. Hasil yang diperoleh dari pertanian dan perikanan sebenarnya sudah sangat tidak mendukung lagi. Perikanan yang menggantungkan produksi pada jumlah ikan yang melimpah sudah tidak menjanjikan lagi. Pertanian sawah juga menghadapi kendala masuknya air asin ke lahan yang mengakibatkan produkivitas pertanian pun menurun. Kedua hal inilah yang mengakibatkan pendapatan dari sektor pertanian secara luas tidak dapat diandalkan, sehingga banyak warga yang beralih ke sektor non-pertanian.
Kondisi Fisik
kayu tancang5. Kayu yang digunakan pada waktu itu mudah ditemukan di hutan-hutan bakau, adapula yang memperolehnya dari Nusakambangan. Menjelang tahun 1980-an rumah-rumah panggung tersebut semakin menghilang tergerus waktu. Salah satu penyebabnya adalah dangkalnya wilayah perairan. Masyarakat setempat menggunakan tanah timbul untuk menimbun kolong-kolong rumah yang tergenang air, sehingga tidak diperlukan tiang-tiang penyangga lagi. Salah satu penyebab lainnya adalah semakin sulitnya memperoleh kayu untuk dijadikan tancang, sehingga kebanyakan warga memilih untuk menimbun kolong rumah dengan tanah.
Sarana dan prasarana yang terdapat di Kampung Laut dapat dikatakan masih belum baik. Salah satu contoh yang paling nyata adalah kelangkaan air bersih dan energi listrik. Pemenuhan kebutuhan air bersih sangat terbatas, biasanya masyarakat terutama yang berada di Desa Ujung Gagak dan Dusun Motean memperoleh air bersih untuk mandi dan masak dari Nusakambangan. Jaringan listrik dari PLN pun belum merata di semua wilayah, hanya di Desa Panikel dan Ujung Gagak yang sudah mendapatkan fasilitas PLN karena wilayahnya sudah menyatu dengan daratan Jawa. Berbeda dengan Desa Klaces dan Ujung Alang, masyarakat di kedua desa baru bisa menikmati aliran listrik dari PLN semenjak akhir tahun 2012. Sebelumnya warga hanya memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), itupun belum merata ke semua penduduk, hanya 100 KK di masing-masing desa yang dipilih dengan sistem dikocok. Listriknya pun tidak menyala sepanjang hari, melainkan hanya pada jam 6 sore sampai jam 10 malam. Bagi sebagian warga, menggunakan genset merupakan jalan keluar dari kegelapan. Selain itu, infrastruktur jalan di Desa Ujung Alang khususnya Dusun Lempong Pucung baru dirasakan semenjak akhir tahun 2013 lalu (belum merata), berbeda dengan Desa Klaces yang lebih dahulu merasakannya yakni pada tahun 2005.
Ikhtisar
Kecamatan Kampung Laut merupakan wilayah yang berada di Laguna Segara Anakan yang berdiri sejak tahun 2004. Kondisi wilayah Kawasan Segara Anakan termasuk didalamnya Kecamatan Kampung Laut merupakan wilayah pengembangan sungai Citanduy bagian hilir yang berada diantara Pantai Selatan Jawa Tengah bagian barat dengan Pulau Nusakambangan. Menurut hasil
penelitian Farid et al. (2009), Kampung Laut muncul dari proses sedimentasi
muara sungai Citanduy dan Cimeneng yang disebut sebagai tanah timbul. Sedimentasi yang terjadi di wilayah Segara Anakan sangat tinggi, diperkirakan mencapai 1 juta m3 pertahun.
Dalam UUPA1960, tanah timbul adalah tanah milik negara. Masyarakat dapat memiliki hak kuasa atas tanah timbul dengan sepengetahuan dan izin negara (Farid et al. 2009). Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan warga untuk dapat mendapatkan hal akses terhadap tanah timbul adalah dengan sistem trukah, yakni pembagian lahan yang dilakukan oleh pemerintah kepada warga Kampung
5
Laut atas seluas tanah. Munculnya tanah timbul pastinya menimbulkan persengketaan antara berbagai pihak yang bersangkutan atas tanah tersebut. Secara umum, permasalahan yang terdapat diantara beberapa aktor tersebut adalah batas wilayah yang tidak jelas sehingga terjadi perebutan dan tumpang tindih penguasaan lahan. Selain itu, adanya usaha investor yang melakukan pertambakan di wilayah Kampung Laut juga mengundang perlawanan dari masyarakat setempat.
PENGUASAAN
LIVELIHOOD ASSET
RUMAHTANGGA
PETANI
Bab ini membahas mengenai penguasaan livelihood asset yang dimiliki oleh rumahtangga petani Dusun Klaces dan Dusun Lempong Pucung. Adapun livelihood asset dilihat berdasarkan kepemilikan lima modal, yakni modal alam, manusia, sosial, finansial, dan fisik. Adanya kepemilikan kelima modal tersebut oleh rumahtangga petani akan mempengaruhi penghidupan mereka. Modal manusia dalam penelitian ini mencakup tingkat pendidikan, alokasi tenaga kerja rumahtangga, tingkat penggunaan tenaga kerja, usia, dan status kependudukan. Modal alam mencakup pola penguasaan lahan dan luas lahan, baik lahan di tanah timbul maupun di dataran tinggi Nusakambangan. Modal finansial mencakup tabungan dan pinjaman. Modal fisik mencakup kepemilikan asset yang mendukung perekonomian rumahtangga petani. Terakhir, modal sosial mencakup norma, nilai, dan jejaring yang terdapat dalam rumahtangga petani.
Modal Manusia
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Berdasarkan data primer yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa dari 60 responden (30 di Dusun Klaces dan 30 di Dusun Lempong Pucung) rata-rata yang terlibat dalam usaha tani adalah hanya tamatan Sekolah Dasar. Sebagian warga memaparkan bahwa mereka hanya mengikuti Sekolah Rakyat (SR). Penelitian ini mengkategorikan responden menjadi tiga golongan, yakni rendah (tidak bersekolah atau tamatan SD), sedang (tamatan SMP), dan tinggi (tamatan SMA atau Perguruan Tinggi). Sebarannya dapat dilihat pada gambar berikut.
Berdasarkan Gambar 3 tersebut, tingkat pendidikan antara Dusun Lempong Pucung dan Klaces terlihat berbeda, dimana petani di Dusun Lempong Pucung lebih tinggi pada kategori tingkat pendidikan yang rendah dan cenderung rendah pada kategori tingkat pendidikan sedang dan tinggi. Salah satu penyebab dari perbedaan tingkat pendidikan di kedua dusun tersebut adalah akses yang cukup jauh untuk mencapai sarana pendidikan di Dusun Lempong Pucung.
Keterkaitan antara tingkat pendidikan terhadap aktifitas nafkah yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh di lapang, diketahui bahwa tingkat pendidikan ternyata memiliki hubungan dengan pilihan aktifitas nafkah yang dapat mereka lakukan. Mereka yang termasuk kategori sedang dan tinggi cenderung dapat memiliki pilihan aktifitas nafkah yang beragam, misalnya dapat menjadi guru PAUD dan SD, serta menjadi perangkat desa.
Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga
Tingkat alokasi tenaga kerja adalah jumlah anggota rumahtangga yang memiliki pendapatan. Alokasi tenaga kerja dalam rumahtangga sangat mempengaruhi tingkat pendapatan rumahtangga. Rumahtangga yang hanya berpegang pada satu orang sebagai pencari nafkah rumahtangga akan cenderung lebih rentan secara perekonomian dibandingkan dengan rumahtangga yang memiliki beberapa anggota sebagai pencari nafkah. Berikut data yang ditemukan dilapang dari kedua dusun.
Tabel 4 Jumlah dan persentase responden menurut alokasi tenaga kerja di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
No
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
“Ibu-ibu di sini rata-rata tidak ada kegiatan. Dulu ada program pemerintah membuat kerajinan tangan, tetapi ibu-ibu di sini enggan dan bermalas-malasan mengikutinya, katanya mereka tidak kreatif dan tidak memiliki bakat”
Pemaparan tersebut diungkapkan oleh ibu rumahtangga yang berada di Dusun Lempong Pucung. Apabila kedua dusun dibandingkan, ibu-ibu di Dusun Klaces masih lebih kreatif dalam mencari tambahan pendapatan bagi rumahtangganya, seperti menjual kue, membuka warung ataupun membantu di tempat produksi tempe.
Sebenarnya kalangan ibu-ibu juga memiliki peluang bekerja sebagai buruh tani sama seperti laki-laki. Namun upah yang diterima tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki biasanya dibayar Rp. 40 000 dalam sehari, sedangkan perempuan hanya Rp. 35 000 dalam sehari. Alasan ini dipaparkan oleh salah satu warga dikarenakan tenaga yang dicurahkan berbeda antara laki-laki dan perampuan. Biasanya laki-laki lebih kuat dan cekatan.
Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja
Tingkat penggunaan tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani yang dilakukan oleh rumahtangga. Penggunaan tenaga kerja bagi masing-masing rumahtangga berbeda-beda, bergantung pada kondisi perekonomian dan luas lahan yang dimiliki. Berikut pemaparan untuk kedua dusun.
Tabel 5 Jumlah dan persentase responden menurut penggunaan tenaga kerja di Dusun Klaces dan Lempong Pucung tahun 2013 - 2014
No
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1. Hanya sendiri 4 13 6 20
Tabel 5 tersebut memaparkan bahwa pada umumnya rumahtangga petani
menggunakan tenaga tambahan dalam mengelola usahataninya