HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TIPE II
DENGAN BURNING MOUTH SYNDROME DI RUMAH
SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
AZI PERTIWI BINTI HUSSAIN NIM: 080600151
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Tahun 2015
Azi Pertiwi Hussain
Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
v + 50
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan
insulin yang bersifat absolut dan relatif karena produksi insulin yang rendah dari
pankreas atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin. DM memiliki
komplikasi dalam bentuk akut atau kronis yang menyerang berbagai organ tubuh
seperti mata, kulit, ginjal, pembuluh darah, dan juga struktur dalam rongga mulut.
Hubungan antara DM dan perubahan patologis dalam rongga mulut banyak
dijelaskan dalam kepustakaan.Burning mouth syndrome (BMS) merupakan salah satu komplikasi oral yang sering ditemukan pada penderita DM. BMS adalah sensasi nyeri
terbakar pada mukosa oral tanpa adanya kelainan secara klinis. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara DM Tipe II dengan BMS di RSUP HAM.
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada 38 orang pasien DM Tipe II yang berobat ke
instalasi rawat jalan Poli Endokrin Departemen Penyakit Dalam di RSUP HAM
Medan. Pengambilan data dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan intra oral.
Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji statistik Chi-square. Hasil penelitian yang diperoleh dari 38 orang pasien DM Tipe II adalah 5 (13,16%) pasien
DM Tipe II mengalami BMS sedangkan 33 (86,84%) tidak mengalami BMS. Hasil
dari analisis statistik diperoleh nilai P > 0,05 tidak terdapat hubungan antara DM Tipe
tidak terkontrol dengan BMS (0,196). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil
kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara DM Tipe II dengan BMS.
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
dihadapan tim penguji skripsi
Medan, 27 April 2015
Pembimbing: Tanda tangan
Nurdiana, drg., Sp. PM _________________
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji
pada tanggal 27 April 2015
TIM PENGUJI
KETUA : Nurdiana, drg., Sp. PM
ANGGOTA : 1. Indri Lubis, drg
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Hubungan antara Diabetes Melitu Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara.
Rasa terima kasih tidak terhingga penulis ucapkan kepada Ayahanda Hussain
dan Ibunda Nor Ma atas segala kasih sayang, doa dan dukungan serta bantuan baik
berupa moral ataupun material kepada penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada saudara-saudara penulis Ala, Ati, Ami, Ali dan Fattah yang selalu
memberikan dokongan dan motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan
ribuan terima kasih kepada dosen pembimbing Nurdiana drg., Sp.PM yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberi bimbingan dan arahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Nazaruddin drg., C.Ort., Ph.D, Sp.Ort selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Sayuti Hasibuan drg, Sp.PM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit
Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Syafrinani drg, Sp. Pros selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Depertemen Ilmu Penyakit Mulut yang
telah membimbing dan memberi arahan, dan staf pengajar Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang mendidik dan
membimbing penulis selama masa pendidikan dan selama penyusunan
5. Teman-teman penulis Syazwani, Nabilah, Rosma dan Diana yang telah
memberi semangat dan masukan kepada penulis.
Penulis menyedari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak. Akhir kata, penulis mengaharapkan semoga skripsi ini
dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi
DAFTAR ISI
2.2.3 Gambaran Klinis dan Klasifikasi ... 18
2.2.4 Diagnosis ... 18
2.2.5 Penatalaksanaan ... 19
2.3 Hubungan antara DM dan BMS ... 20
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ... 24
3.2 Tempat dan Waktu ... 24
3.3 Populasi dan Sampel ... 25
3.4 Besar Sampel ... 25
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 26
3.5.1 Kriteria Inklusi ... 26 4.1Hasil Analisis Univariat ... 32
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur ... 32
4.1.2 Prevalensi DM Tipe II Terkontrol dan Tidak Terkontrol ... 33
4.1.3 Prevalensi BMS pada DM Tipe II ... 34
4.1.4 Prevalensi BMS pada DM Tipe II Terkontrol ... 34
4.1.5 Prevalensi BMS pada DM Tipe II Tidak Terkontrol ... 35
4.2 Hasil Analisis Bivariat ... 35
4.2.1 Hubungan antara DM Tipe II dengan BMS ... 35
4.2.2 Hubungan antara DM Tipe II Terkontrol dengan BMS ... 36
4.2.3 Hubungan antara DM Tipe II Tidak Terkontrol dengan BMS 36
BAB 5 PEMBAHASAN... 38
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kriteria Diagnosis ... 11
2. Tabel Demografi ... 33
3. Prevalensi DM Tipe II Terkontrol dan Tidak Terkontrol ... 33
4. Prevalensi BMS pada DM Tipe II ... 34
5. Prevalensi BMS pada DM Tipe II Terkontrol ... 34
6. Prevalensi BMS pada DM Tipe II Tidak Terkontrol ... 35
7. Hubungan antara DM Tipe II dengan BMS ... 36
8. Hubungan antara DM Tipe II Terkontrol dengan BMS ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Data Induk
2. Surat Persetujuan Komisi Etik
3. Izin Penelitian Rumah Sakit Haji Adam Malik
4. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian
5. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
6. Rekam Medis Penelitian
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Tahun 2015
Azi Pertiwi Hussain
Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
v + 50
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan
insulin yang bersifat absolut dan relatif karena produksi insulin yang rendah dari
pankreas atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin. DM memiliki
komplikasi dalam bentuk akut atau kronis yang menyerang berbagai organ tubuh
seperti mata, kulit, ginjal, pembuluh darah, dan juga struktur dalam rongga mulut.
Hubungan antara DM dan perubahan patologis dalam rongga mulut banyak
dijelaskan dalam kepustakaan.Burning mouth syndrome (BMS) merupakan salah satu komplikasi oral yang sering ditemukan pada penderita DM. BMS adalah sensasi nyeri
terbakar pada mukosa oral tanpa adanya kelainan secara klinis. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara DM Tipe II dengan BMS di RSUP HAM.
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada 38 orang pasien DM Tipe II yang berobat ke
instalasi rawat jalan Poli Endokrin Departemen Penyakit Dalam di RSUP HAM
Medan. Pengambilan data dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan intra oral.
Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji statistik Chi-square. Hasil penelitian yang diperoleh dari 38 orang pasien DM Tipe II adalah 5 (13,16%) pasien
DM Tipe II mengalami BMS sedangkan 33 (86,84%) tidak mengalami BMS. Hasil
dari analisis statistik diperoleh nilai P > 0,05 tidak terdapat hubungan antara DM Tipe
tidak terkontrol dengan BMS (0,196). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil
kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara DM Tipe II dengan BMS.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan
insulin yang bersifat absolut dan relatif karena produksi insulin yang rendah dari
pankreas atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin.1 Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang terus meningkat prevalensinya di seluruh dunia.2
Pada tahun 2003 sekitar 194 juta orang menderita DM di seluruh dunia, dimana
mencapai 5,1% dari populasi dunia. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat
hingga 333 juta, atau 6,3% dari populasi dunia pada tahun 2025.1 Di Amerika Serikat, diperkirakan 23,6 juta penduduk mengalami DM, 90–95% diantaranya menderita DM Tipe II. Walaupun dapat terjadi pada semua usia, DM Tipe II umumnya didiagnosis
setelah berumur 40 tahun.2 Menurut Dinas Kesehatan Kota Medan, DM di Medan pada bulan September-Oktober 2009 merupakan penyakit dengan penderita
terbanyak, yang terus mengalami peningkatan jumlahnya jika dibandingkan dengan
jumlah penderita Jantung Koroner atau penyakit lainnya.3
Diabetes melitus memiliki komplikasi dalam bentuk akut atau kronis yang
menyerang berbagai organ tubuh seperti mata, kulit, ginjal, pembuluh darah, dan juga
struktur dalam rongga mulut.4 Komplikasi oral pada penderita DM antara lain
penyakit pada mukosa mulut seperti lichen planus, gangguan pengecapan dan
kerusakan neurosensoris.5
Burning mouth syndrome merupakan salah satu komplikasi oral yang sering
ditemukan pada penderita DM.6 Burning mouth syndrome adalah sensasi nyeri terbakar pada mukosa oral tanpa adanya kelainan.7 Pada kebanyakan penderita BMS, sensasi terbakar dimulai pada pagi hari, semakin parah menjelang sore, dan
berkurang pada malam hari. Pasien yang mengalami BMS tidak hanya merasakan
sensasi terbakar yang semakin memburuk menjelang sore tetapi juga dapat
mengalami kesulitan untuk tidur atau terbangun dari tidur di malam hari. BMS dapat
menjadi lebih buruk pada saat stres, lelah, terlalu banyak berbicara dan makan
makanan pedas. Rasa sakit ini dapat hilang dengan makanan dingin, kerja dan
istirahat.8,9
Burning mouth syndrome merupakan penyakit yang harus diwaspadai karena
tidak hanya menyebabkan rasa sakit tetapi juga dapat memberikan dampak yang
merugikan bagi penderitanya. Rasa sakit pada BMS menyebabkan ketidaknyamanan
dan kegelisahan dan ini dapat mengakibatkan pasien lekas marah, cemas, depresi dan
sudah pasti mengganggu kualitas hidup pasien.9
Hubungan antara BMS dengan DM Tipe II masih belum jelas, akan tetapi
menurut beberapa penelitian DM Tipe II memainkan peran dalam terjadinya BMS.10
Beberapa literatur mengatakan terjadinya BMS pada DM Tipe II turut dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti penurunan fungsi kelenjar saliva, dan infeksi kandida.11 Menurut penelitian Khaznadar dan Mahmoud (2006) pada pasien DM Tipe II
mengalami BMS.12 Penelitian lebih lanjut oleh Gupta dan Kumar (2011) pada 100
orang penderita DM Tipe II terkontrol dan tidak terkontrol di Departemen Ilmu
Penyakit Mulut, Diagnosis dan Radiologi di Fakultas Kedokteran Ragas dan RS
Chennai, Tamil Nadu, India, sebanyak 8 (16%) pasien DM Tipe II terkontrol dan 20
(40%) pasien DM Tipe II tidak terkontrol mengalami BMS.Hasil dari penelitian ini
menunjukkan penderita DM Tipe II tidak terkontrol lebih berisiko mengalami BMS
berbanding penderita DM Tipe II terkontrol.13 Penelitian selanjutnya yang dilakukan
oleh Shrimali dkk (2011) memperoleh hasil yang berbeda. Penelitian ini dilakukan
pada 50 orang pasien DM Tipe II dari Fakultas Kedokteran Geetanjali dan RS
Udaipur, India. Hasil dari penelitian ini menunjukkan 8 (32%) dari 25 orang pasien
DM Tipe II terkontrol menderita BMS, sedangkan 6 (24%) dari 25 orang pasien DM
Tipe II tidak terkontrol menderita BMS.14
Berdasarkan latar belakang, masih terdapat perbedaan hasil penelitian tentang
hubungan antara DM dengan BMS. Penelitian tentang hubungan antara DM Tipe II
terkontrol dan tidak terkontrol dengan BMS menunjukkan hasil yang bertentangan
satu dengan lainnya. Sehubungan itu, peneliti merasa perlu dilakukan penelitian
untuk melihat hubungan antara DM Tipe II terkontrol dan tidak terkontrol dengan
1.2 Rumusan Masalah Rumusan Umum:
1. Apakah ada hubungan antara DM Tipe II dengan BMS di RSUP HAM Medan?
Rumusan Khusus:
1. Berapakah prevalensi BMS pada penderita DM Tipe II di RSUP HAM
Medan?
2. Apakah ada hubungan antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS di RSUP
HAM Medan?
3. Apakah ada hubungan antara DM Tipe II tidak terkontrol dengan BMS di
RSUP HAM Medan?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum:
1. Untuk mengetahui hubungan antara DM Tipe II dengan BMS di RSUP HAM Medan.
Tujuan Khusus:
1. Untuk mengetahui prevalensi BMS pada penderita DM Tipe II di RSUP
2. Untuk mengetahui hubungan antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS di
RSUP HAM Medan.
3. Untuk mengetahui hubungan antara DM Tipe II tidak terkontrol dengan BMS
di RSUP HAM.
1.4Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan antara DM Tipe II dengan BMS di RSUP HAM.
2. Ada hubungan antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS di RSUP HAM. 3. Ada hubungan antara DM Tipe II tidak terkontrol dengan BMS di RSUP
HAM.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis:
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi kepada penderita DM
tentang hubungan antara BMS dan DM Tipe II.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian lebih
Manfaat Praktis:
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh dokter, dokter gigi dan tenaga medis
lain tentang usaha promotif dan preventif yang dapat dilakukan untuk
mengatasi BMS pada penderita DM.
2. Hasil penelitian dapat menimbulkan kesadaran kepada penderita DM untuk
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan insulin
yang bersifat absolut dan relatif karena produksi insulin yang rendah dari pankreas
atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin.1 Menurut American Diabetes Association (ADA), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya.15
2.1.1 Epidemiologi
Prevalensi DM untuk semua kelompok usia di seluruh dunia diperkirakan
2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun 2030. Jumlah penderita DM diperkirakan
meningkat dari 171 juta di tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030.16 Di negara berkembang, mayoritas penderita DM berusia 45-64 tahun, sedangkan di negara
maju, sebagian besar penderita DM berusia diatas 65 tahun. Diabetes melitus lebih
sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.17 Sebagian besar DM adalah tipe II yang terjadi lebih dari 90% biasanya pada usia 40 tahun ke atas.18
WHO memprediksi di Indonesia terjadi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil
menunjukkan prevalensi DM tipe II antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% di
Manado. Prevalensi DM Tipe II di Medan belum diketahui dengan pasti tetapi
berdasarkan data 10 besar diagnosis penyakit di RSU Pirngadi Medan, pada Oktober
2009 kunjungan pasien rawat jalan sebanyak 1470 kunjungan, meningkat bila
dibanding dengan jumlah kunjungan pasien rawat jalan di bulan September 2009,
yaitu sebanyak 1403.19
2.1.2 Klasifikasi dan Gambaran Klinis
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia sesuai dengan klasifikasi menurut
American Diabetes Association (ADA 2009) terbagi dalam empat kategori yaitu:15
1. Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes melitus Tipe I juga disebut juvenile-onset diabetes dan
insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM). Diabetes Melitus Tipe I dianggap sebagai
penyakit autoimun, di mana sistem imun secara spesifik menyerang dan merusak sel
beta pankreas penghasil insulin. Pasien DM Tipe I memiliki jumlah insulin yang
kurang, sehingga sel tubuh tidak dapat menyerap glukosa dan glukosa tetap berada
dalam darah. Oleh karena itu, glukosa tidak dapat direabsorbsi, dan energi tidak dapat
digunakan sehingga mengakibatkan pasien merasa lelah dan lesu. Tubuh mulai
menggunakan sumber energi lain seperti lemak dan protein, dimana proses ini
menghasilkan keton. Pasien mengalami kehilangan berat badan, walaupun terjadi
peningkatan asupan makanan (polifagia). Pada keadaan hiperglikemia, osmolaritas
sehingga terjadinya dehidrasi dan rasa haus, dimana keadaan ini menyebabkan
peningkatan asupan air (polidipsia).20 2. Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Melitus Tipe II juga disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus
(NIDDM) dan adult-onset diabetes.20 Diabetes Melitus Tipe II terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon dengan baik aksi insulin yang dihasilkan
oleh pankreas.21 Pasien dengan DM Tipe II biasanya berusia lebih dari 40 tahun pada
saat diagnosis, dan 80-90% mengalami obesitas. Pada DM Tipe II, diperkirakan
bahwa penurunan jumlah reseptor insulin berhubungan dengan hasil penyerapan
glukosa yang tidak diabsorbsi oleh sel tubuh sehingga pasien menunjukkan resistensi
insulin karena kadar insulin serum biasanya dalam batas normal atau bahkan
meningkat. Simtom pada DM Tipe II jauh lebih ringan jika dibandingkan pada DM
Tipe I. Ketoasidosis hampir tidak ditemukan pada pasien dengan DM Tipe II.20
3. Diabetes Mellitus tipe lain
Sekitar 1-2% dari kasus DM adalah dalam kategori ini. Etiologi DM tipe ini
adalah heterogen karena toleransi glukosa yang abnormal merupakan faktor pencetus
sekunder atau kausal dengan cara yang masih belum jelas.Diabetes melitus tipe ini
dapat disebabkan oleh cacat genetik yang spesifik pada fungsi sel beta dan aktivitas
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati dan disfungsi pankreas yang
diinduksi oleh obat-obatan, bahan kimia atau infeksi. Beberapa kelainan genetik
dapat berhubungan dengan DM tipe ini, antara lain sindrom Down dan sindrom
4. Diabetes Gestasional
Diabetes Gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Diabetes
Gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali
ditemukan pada saat kehamilan.21,23 Sekitar 2-5% wanita hamil di Amerika Serikat mengalami peningkatan derajat hiperglikemia atau intoleransi glukosa selama
trisemester ketiga. Hal ini secara signifikan meningkatkan morbiditas dan kematian
prenatal. Patofisiologi Diabetes Gestasional berhubungan dengan peningkatan
resistensi insulin. Insiden Diabetes Gestasional banyak ditemukan pada wanita hamil
yang berusia lebih tua dan obesitas, dimana umur memiliki korelasi tertinggi dengan
kejadian Diabetes Gestasional. Kebanyakan pasien Diabetes Gestasional kembali ke
keadaan normal setelah melahirkan, namun sekitar 30-50% wanita dengan riwayat
Diabetes Gestasional berisiko terkena DM Tipe II dalam waktu 10 tahun.22
2.1.3 Manifestasi Oral
Hubungan antara DM dengan perubahan patologis dalam rongga mulut
banyak dijelaskan dalam kepustakaan. Manifestasi oral pada pasien DM termasuk
gingivitis dan periodontitis, karies, BMS, xerostomia, lesi mukosa mulut seperti
lichen planus, gangguan pengecapan dan kandidiasis.24-27
Suatu penelitian menunjukkan 82,75% pasien DM mengalami periodontitis,
58,33% mengalami kandidiasis oral, 75% mengalami xerostomia, 32,5% mengalami
BMS, 53,33% mengalami gangguan pengecapan, 1,25% pasien mengalami lichen
2.1.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara. Pertama, jika
ditemukan gejala klasik DM berupa polifagia, poliuria, polidipsia, penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, dan pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 mg/dL. Ketiga dengan Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO).19
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM 19
Cara Kriteria Diagnosis DM
1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memerhatikan waktu makan terakhir
Atau
2 Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Atau
3 Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan glukosa setara dengan
2.2 Burning Mouth Syndrome (BMS)
The International Association for the Study of Pain mendefinisikan BMS
sebagai nyeri minimal selama 4-6 bulan pada lidah atau mukosa oral lain tanpa ada
temuan klinis maupun laboratorium.28,29 Istilah lain untuk BMS adalah
stomatopyrosis, glossopyrosis, stomatodynia, glossodynia dan oral dysesthesia.30-32
2.2.1 Epidemiologi
Beberapa literatur melaporkan prevalensi BMS pada populasi umum adalah
0,7-4,6%.33,34 Usia pasien BMS biasanya antara 55-60 tahun dan jarang terjadi pada usia dibawah 30 tahun. Burning mouth syndrome lebih sering terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki dengan rasio 3:1-16:1. Burning mouth syndrome sering terjadi
pada perempuan pasca menopause.35,36
2.2.2 Etiologi
Meskipun hubungan sebab-akibat antara faktor etiologi dengan BMS belum
ditetapkan secara universal, namun menurut para ahli etiologi BMS dianggap sebagai
multifaktorial yaitu BMS primer yang penyebabnya masih belum diketahui dan BMS
sekunder yang meliputi faktor lokal, sistemik dan psikogenik. 37-40
1. Idiopatik
Salah satu etiologi BMS adalah idiopatik. Etiologi BMS dikatakan idiopatik
2. Faktor lokal
a. Kontak alergi
Alergi terhadap bahan makanan dan gigi tiruan dapat menyebabkan terjadinya
BMS. Kandungan dalam bahan gigi tiruan dapat menyebabkan alergi, antara lain
monomeric methyl metacrylate, epoxy resin, bisphenol A dan bahan akrilik dari
merek tertentu. Rasa panas dan eritema yang menyebar pada mukosa yang berkontak
adalah karakteristik kontak alergi karena bahan gigi tiruan. Sebaliknya alergi yang
berhubungan dengan makanan mempunyai karakteristik rasa panas menyeluruh yang
intermiten pada rongga mulut dan tanpa tanda inflamasi. Bahan yang diketahui
merupakan alergen antara lain sorbic acid, nicotinic acid dan propylene glycol.
Sebagai tambahan pada suatu kasus yang dilaporkan, terjadi reaksi alergi terhadap
tambalan amalgam yang mengandung merkuri. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
hasil patch test yang positif dan hilangnya keluhan setelah penyingkiran
alergen.31,37,38
b. Gigitiruan
Menurut beberapa penelitian kebanyakan dari pasien BMS adalah pengguna
gigitiruan.34 Desain gigitiruan yang tidak tepat dapat menyebabkan sensasi terbakar karena peningkatan stres fungsional pada otot sirkum oral atau lingual.38 Desain
gigitiruan yang tidak tepat merupakan penyebab terjadinya BMS pada sekitar 50%
c. Kandidiasis
Beberapa penelitian menyatakan bahwa kandidiasis merupakan faktor
penyebab BMS. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasri dkk (2007) pada 66
orang pasien BMS sebanyak 39 (59%) orang positif Kandida pada tes mikrobiologi
sedangkan pada pemeriksaan klinis tidak satu orang pun memiliki tanda Kandidiasis.
Kandida dapat menyebabkan BMS melalu invasi pada mukosa dan menyebabkan
hipersensitif dengan memproduksi toksin Kandida.9,39
d. Xerostomia
Prevalensi xerostomia pada pasien BMS adalah diantara 34-60%.38 Menurut Gorsky dkk (1987), Grushka dkk (1987), Berghdahl dkk (1999) cit Scala (2003)
46-67% dari pasien BMS memiliki keluhan xerostomia.40 Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk (2007) pada 66 orang pasien BMS sebanyak 36 (54%)
orang memiliki keluhan xerostomia.39 Keluhan rasa panas kemugkinan berkaitan
dengan kurangnya saliva (xerostomia), kelainan fungsi kelenjar saliva dan perubahan
keseimbangan cairan atau elektrolit.36
e. Kebiasaan parafungsional
Beberapa penelitian melaporkan bahwa ditemukan kebiasaan buruk pada
pasien dengan BMS.40 Kebiasaan buruk seperti menghisap bibir dan menjulurkan
lidah dapat menyebabkan BMS.42 Selain itu kebiasaan buruk lainnya seperti
menggigit bibir dan pipi, bruxism, grinding dan bernafas melalui mulut juga dapat
mengakibatkan BMS. Beberapa penelitian membuktikan adanya perubahan
mengakibatkan perubahan neuropatik yang pada akhirnya menimbulkan gejala
BMS.40,41
3. Faktor sistemik
a. Defisiensi vitamin dan mineral
Kekurangan nutrisi dinyatakan sebagai penyebab BMS pada 2-33% pasien.
Peran dari vitamin B kompleks dalam etiologi BMS masih belum jelas.37 Beberapa
pasien BMS menunjukkan kekurangan vitamin B1, B2 dan B6 dalam serum darah.
Namun penurunan tingkat vitamin B12 dalam serum darah adalah penemuan yang
paling umum.Terapi pengganti vitamin B1, B2, dan B6 efektif dalam mengobati 88%
pasien BMS.40 Rasa panas pada pasien dengan defisiensi dapat terjadi karena
perubahan permeabilitas mukosa, perubahan pada aliran darah, atau akibat neuropati.
Defisiensi asam folat yang berperan dalam metabolisma DNA dan RNA dapat
menyebabkan rasa panas dalam mulut. Defisiensi asam folat dan vitamin B12 dapat
menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan rasa sakit dan terbakar
pada rongga mulut.42,43
b. Diabetes melitus (DM)
Korelasi antara DM dan BMS masih menjadi kontroversi. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa DM Tipe II memainkan peran dalam terjadinya BMS sedangkan
beberapa penelitian lain melaporkan tidak ada hubungan antara dua kondisi
kurangnya insulin pada penderita DM mengganggu proses katabolik dalam mukosa
mulut sehingga menyebabkan resistensi jaringan terhadap gesekan normal menjadi
berkurang. Kemungkinan lain adalah adanya xerostomia dan infeksi kandida yang
merupakan keadaan yang sering menyertai pasien DM.40 c. Perubahan hormon (menopause)
Menurut penelitian yang telah dilakukan pada 66 orang pasien BMS sebanyak
52 (92%) orang dari pasien adalah perempuan pasca menopause, dimana kadar
hormon estrogen pada pasien ini adalah < 13 pg/ml berbanding kadar hormon
estrogen normal 50-400 pg/ml.44 Pada penelitian lain dilaporkan bahwa 26% pasien menopause mengalami gejala oral, dimana sepertiga dari mereka mengalami BMS.38
Penelitian pada perempuan yang datang ke klinik kesehatan menunjukkan bahwa
90% gejala BMS dialami pada masa peri maupun pasca menopause. Mereka
melaporkan nyeri dimulai dari 3 tahun sebelumnya dan berlanjut menjadi 12 tahun
setelah menopause. Pada menopause terjadi penurunan hormon estrogen. Hal ini akan
mengakibatkan perubahan intensitas pada indera pengecap yang terdapat pada rongga
mulut yang akan menimbulkan peningkatan intensitas yang berdampak pada nyeri
dan sensasi terbakar.40,42,45
d. Efek samping obat–obatan
Pada penelitian yang melibatkan pasien BMS dan kelompok kontrol, diamati
bahwa 87,5% pasien BMS menggunakan satu atau lebih obat, dimana 44% adalah
obat psikotropika, 25% adalah obat gangguan pencernaan, 25% adalah obat gangguan
mengurangi aliran saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit, atau
mempengaruhi aliran darah ke kelenjar saliva.39 e. Trigeminal Neuralgia
Trigeminal Neuralgia ditandai dengan rasa sakit yang singkat, biasanya pada
orang berusia lebih dari 50 tahun, terutama melibatkan daerah mandibula,
kadang-kadang menyebabkan hipoestesia atau parestesia lidah. Trigeminal Neuralgia dapat
disebabkan oleh kompresi neoplasma, malformasi pembuluh darah, ensefalopati,
siringomielia, trauma atau setelah ekstraksi gigi.41 Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk (2007) pada 66 orang pasien BMS sebanyak 2 orang yaitu
3% mengalami Trigeminal Neuralgia.39
4. Faktor psikogenik
Beberapa penelitian dalam literatur psikiatri mengaitkan kecemasan dan
depresi dengan simptom BMS. Gangguan kejiwaan dapat dikaitkan dengan lebih dari
50% kasus BMS. Kecemasan, depresi dan somatisasi merupakan masalah psikologis
yang paling umum pada pasien BMS. Pasien dengan BMS memiliki status sosial
yang rendah dan tingkat kecemasan yang tinggi bila dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Disamping itu, BMS juga dapat merubah individu secara psikologis dan
2.2.3 Gambaran Klinis dan Klasifikasi
Simtom pada BMS adalah timbulnya rasa nyeri, disgeusia dan xerostomia.
Rasa nyeri, rasa terbakar, panas atau mati rasa merupakan simtom utama dari BMS.
Disgeusia terjadi pada hampir 70% kasus dan dapat berbentuk rasa yang menetap di
mulut atau perubahan persepsi rasa. Perubahan rasa dapat berupa bisa pahit, metalik,
atau campuran. Xerostomia sering ditemukan pada pasien BMS. Menurut penelitian,
46-67% pasien BMS memiliki keluhan xerostomia. 40,44
Burning mouth syndrome dibagi dalam 3 jenis berdasarkan variasi gejala.
BMS Tipe I (35%) memiliki gejala nyeri setiap hari yang tidak muncul pada pagi
hari, meningkat sepanjang hari, memuncak pada sore hari. Faktor nonpsikiatrik
dihubungkan dengan BMS Tipe I. Tipe II (55%) ditandai dengan nyeri yang konstan
disepanjang hari. Faktor ansietas kronik dihubungkan dengan BMS tipe II. Tipe III
(10%) nyeri hilang timbul dengan adanya interval bebas nyeri, dan nyeri timbul pada
tempat yang tidak lazim seperti mukosa mulut, dasar mulut dan tenggorokan. Faktor
alergi pengawet makanan atau makanan dihubungkan dengan BMS Tipe III.45,46
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis BMS dapat dilakukan dengan anamnesis, tinjauan riwayat medis,
pemeriksaan rongga mulut dan pemeriksaan penunjang untuk mengidentifikasi
sumber BMS. Pada anamnesis ditanyakan mengenai rasa nyeri dan terbakar, durasi
rasa nyeri, kapan terjadinya nyeri dan riwayat kesehatan pasien. Pemeriksaan rongga
mulut pada pasien BMS tidak ditemukan adanya lesi klinis dalam rongga mulut.
melihat apakah ada infeksi, defisiensi nutrisi, dan penyakit yang berhubungan dengan
BMS seperti DM dan penyakit tiroid, serta tes elergi untuk bahan gigi tiruan,
makanan dan elemen lain. Pemeriksaan kandida dengan hapusan juga dapat
dilakukan untuk memeriksa kandidiasis oral yang mungkin menyebabkan rasa
terbakar.8,29
2.2.5 Penatalaksanaan
Edukasi merupakan satu hal yang penting dalam menjaga kesehatan pasien.
Pada edukasi dijelaskan apakah itu BMS, bagaimana bisa terjadi dan prognosis
apabila tidak diobati. Informasi, edukasi dan motivasi perlu diberikan kepada pasien
agar mereka sadar pentingnya menjaga kesehatan.47
Dokter gigi turut memainkan peran penting bersama tim medis lainnya dalam
membantu pasien mengontrol kadar gula darah dengan benar dengan mengobati
infeksi oral dan menginstruksi pasien supaya rajin sikat gigi dan lebih menjaga
kesehatan rongga mulut. Selain itu, pasien diinstruksikan agar menjaga pola makan
dengan diet ketat dan mengontrol kadar gula darah sehingga berada pada batas
normal atau mendekati normal. Pasien juga diinstruksikan agar tidak merokok dan
menghindari faktor resiko yang memperburuk komplikasi vaskular. Pasien juga harus
mengontrol kadar gula darah dan memeriksa kondisi rongga mulut ke dokter gigi.48
Tidak ada satu cara yang pasti untuk mengobati BMS. Pengobatan tergantung
pada tanda dan simtom, serta kondisi atau penyakit yang mendasari yang mungkin
Terdapat beberapa jenis obat yang biasa digunakan dalam pengobatan BMS
yaitu klonazepam, lidokain, kapsaikin topikal, doksepin topikal, nortriptilin,
amitriptilin, paroksetin, sestralin, amisulprid, levosulprid, gabapentin dan asam alfa
lipoat.49 Penggunaan obat-obatan seperti benzodiazepin, antidepresan trisiklik dan antikonvulsan dalam dosis yang rendah dapat membantu mengurangi atau
menghilangkan simtom setelah beberapa minggu atau bulan. Obat-obatan ini
berpotensi menimbulkan efek samping seperti xerostomia. Konsultasi dengan dokter
diperlukan karena obat-obatan ini berpotensi menyebabkan kecanduan dan
ketergantungan.14
2.3 Hubungan antara DM dengan BMS
Hubungan antara BMS dengan DM Tipe II masih terdapat perbedaan.10 Akan tetapi menurut beberapa penelitian DM Tipe II memainkan peran dalam terjadinya
BMS. BMS pada pasien DM bisa diakibatkan karena berkurangnya produksi saliva.
Keadaan ini biasanya diikuti dengan gejala rasa haus, lidah terasa kering, keluhan
perih, panas seperti terbakar, dan perubahan pengecapan rasa. 11
Diabetes melitus merupakan faktor predisposisi terjadinya oral kandidiasis
yang menyebabkan iritasi mukosa sehingga menimbulkan BMS. Selain itu, paparan
yang terus-menerus terhadap glukosa dapat menyebabkan deteriorasi ujung saraf.
Sirkulasi yang buruk akibat DM menyebabkan menurunnya ambang nyeri dan dapat
dengan mudah mengganggu fungsi di ujung cabang v2 atau v3 dari saraf trigeminal
Pada pasien BMS, beberapa faktor dapat berhubungan secara sinergis. Pada
pasien DM tidak terkontrol, xerostomia dan kandidiasis dapat menyebabkan simptom
yang berhubungan dengan BMS. Pada kondisi ini, perbaikan kontrol glikemik adalah
2.5 Kerangka Konsep
Diabetes Melitus Tipe II :
Diabetes Melitus Tipe II terkontrol
Diabetes Melitus Tipe II
tidak terkontrol Burning Mouth Syndrome
(BMS)
Variabel Tidak Terkendali:
Lama menderita Diabetes Melitus Tipe II
Jenis Kelamin
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah survei analitik, yaitu penelitian untuk
mencari hubungan antara variabel. Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap
data untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (DM Tipe II) dan
variable dependen (BMS). Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional,
yaitu melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu dimana
subjek hanya diobservasi satu kali dan pengukuran variabel subjek dilakukan pada
saat pemeriksaan tersebut.Dalam penelitian ini, BMS merupakan efek dan DM Tipe
II merupakan faktor risiko yang akan dipelajari korelasinya.51
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di instalasi rawat jalan Poli Endokrin Departemen
Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan.
Pemilihan rumah sakit ini dilakukan kerana RSUP HAM merupakan pusat rujukan,
rumah sakit pendidikan serta terdapat Poli Endokrin Departemen Penyakit Dalam.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien DM Tipe II yang datang berobat ke
instalasi rawat jalan Poli Endokrin Departemen Penyakit Dalam, RSUP HAM Medan.
3.4 Besar Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien DM Tipe II yang datang berobat ke
instalasi rawat jalan Poli Endokrin Departemen Penyakit Dalam, RSUP HAM Medan.
Besar sampel pada penelitian ini menggunakan persentase insiden BMS pada
penderita DM Tipe II berdasarkan penelitian yang dilakukan Bajaj dkk yaitu
sebanyak 10%, diperoleh sampel dengan menggunakan rumus populasi infinit:51 n = Z21-α/2 p . (1-p)
d2
p = proporsi populasi (diambil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Bajaj dkk yaitu sebanyak 10%,).
Z = nilai kepercayaan 0,95 = 1,96
d = presisi relatif 10 %
n = besar sampel minimum
n = 1,962 . 0,10 . (1-0,10)
0,102 = 0.34574
0,01
Untuk menghindari bias penelitian, jumlah sampel dapat ditambah 10 persen
dari jumlah sampel minimum menjadi 38 orang pasien DM Tipe II. Teknik
pengambilan sampel bagi penelitian ini adalah non probability purposive sampling.51
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian pada populasi
target dan pada populasi terjangkau.51 Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Pasien DM Tipe II yang berobat ke instalasi rawat jalan Poli Endokrin
Departemen Penyakit Dalam, RSUP HAM Medan.
2. Pasien DM Tipe II usia 45-64 tahun.
3. Pasien DM Tipe II yang belum menopause.
4. Pasien DM Tipe II tanpa riwayat gangguan kejiwaan dan defisiensi nutrisi,
tidak memakai obat-obatan lain selain obat DM dan tidak memakai gigi
tiruan.
3.5.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi
kriteria inklusi harus dikeluarkan dari studi. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini
adalah:
1. Pasien DM Tipe II yang tidak bersedia menjadi subjek penelitian.
3.6 Variabel Penelitian
3.6.1 Variabel Bebas
1. Pasien DM Tipe II terkontrol
2. Pasien DM Tipe II tidak terkontrol
3.6.2 Variabel Terikat
1. Burning Mouth Syndrome (BMS)
3.6.3 Variabel Tidak Terkendali 1. Jenis kelamin
2. Lama menderita Diabetes Melitus Tipe II
3. Oral hygiene pasien
3.7 Definisi Operasional
1. DM Tipe II (non-insulin-dependent) terjadi karena ketidakmampuan tubuh
untuk merespon dengan baik terhadap aksi insulin yang dihasilkan oleh
pankreas. Kadar gula darah puasa pasien DM Tipe II adalah ≥ 126 mg/dl dan kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl.19
2. DM Tipe II Terkontrol adalah apabila KGD puasa < 130 mg/dl atau KGD
setelah makan < 180 mg/dL (ADA).52,53
3. DM Tipe II Tidak Terkontrol apabila KGD puasa > 130 mg/dl atau KGD
4. BMS adalah sensasi nyeri terbakar kronis dalam rongga mulut selama 4-6
bulan yang dapat terjadi pada lidah, gingiva, bibir, mukosa bukal, palatum,
atau daerah lainnya di seluruh mulut tanpa disertai lesi mukosa atau tanda
klinis lainya.28,36 Pasien didiagnosis berdasarkan penelitian Torgerson melalui anamnesis dengan memberikan pertanyaan ada tidaknya sensasi terbakar pada
rongga mulut pasien.54,55
3.8 Alat dan Bahan Alat
1. Alat diagnosis: kaca mulut, sonde dan pinset
2. Alat tulis
Bahan 1. Desinfektan
2. Masker
3. Sarung tangan
3.9 Prosedur Penelitian 3.9.1 Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan pada pasien DM Tipe II yang datang berobat ke
instalasi rawat jalan Poli Endokrin Departemen Penyakit Dalam di RSUP HAM
Medan. Pasien diberikan penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan dan
menanyakan apakah pasien bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Setelah pasien
Berdasarkan rekam medik dicatat keterangan data pribadi (nama, umur, jenis
kelamin), riwayat penyakit dan kadar gula darah pasien. Setelah itu, dilakukan
anamnesis dengan mengajukan sejumlah pertanyaan untuk mengetahui simtom BMS
yang dirasakan pasien, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan intra oral untuk melihat
kelainan pada rongga mulut yang mungkin memicu terjadinya BMS.
3.9.2 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan sistem manual dan
komputerisasi.
3.10 Analisis Data
3.10.1 Data Univariat
Analisis univariat adalah analisis satu arah yang hanya melibatkan satu
variabel bebas.51 Data univariat disajikan dalam bentuk tabel meliputi: 1. Data Demografi
2. Prevalensi DM Tipe II Terkontrol dan Tidak Terkontrol
3. Prevalensi BMS pada pasien DM Tipe II
4. Prevalensi BMS pada pasien DM Tipe II terkontrol
3.10.2 Data Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang melibatkan dua variabel yaitu satu
variabel bebas dan satu variabel tergantung.56 Data bivariat disajikan dalam bentuk
tabel meliputi tabulasi silang antara DM tipe II dengan BMS, tabulasi silang antara
DM Tipe II terkontrol dengan BMS dan tabulasi silang antara DM Tipe II tidak
terkontrol dengan terjadinya BMS. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji
Chi-square (X2) untuk mengetahui hubungan antara DM tipe II dengan terjadinya
BMS.
3.11 Etika Penelitian
3.11.1 Ethical Clearance
Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada
Komisi Etik Penelitian Kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat
internasional maupun nasional, diperlukan untuk memenuhi aspek legal tatacara
penelitian yang telah disepakati.
3.11.2 Informed Consent
Pada penelitian ini digunakan informed consent atau persetujuan setelah
penjelasan dari subjek penelitian atau keluarga. Pada lembar informed consent berisi
informasi/keterangan yang dibuat oleh peneliti tentang apa yang diteliti, manfaat dan
kemungkinan ketidaknyamanan yang mungkin timbul, kompensasi atas kerugian
waktu (ganti rugi) dan perawatan bila mengalami efek samping yang mengganggu
menandatangani lembar persetujuan agar dapat berpatisipasi dalam kegiatan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian tentang hubungan antara DM Tipe II dengan BMS telah dilakukan
pada bulan Mei sampai Juli 2014 di instalasi rawat jalan Poli Endokrin Departemen
Penyakit Dalam, RSUP HAM Medan. Jumlah subjek yang diperiksa berjumlah 38
orang. Hasil penelitian ini dianalisis secara univariat dan bivariat.
4.1Hasil Analisis Univariat
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur
Pada tabel 2 dapat dilihat karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis
kelamin laki-laki pada usia 45-54 tahun adalah 3 (7,90%) orang sedangkan pada usia
55-64 tahun adalah 8 (21,05%) orang. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan
jenis kelamin perempuan pada usia 45-54 tahun adalah 25 (65,79%) orang sedangkan
pada usia 55-64 tahun adalah 2 (5,26%) orang. Selain itu, diperoleh data jumlah
subjek penelitian berjenis kelamin perempuan sebanyak 27 (71,05%) orang adalah
lebih banyak dibandingkan dengan subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki yaitu
Tabel 2. Tabel Demografi
Umur
Jenis Kelamin
Total
Laki-laki Perempuan
N % N %
45 – 54 3 7,90 25 65,79 28
55 – 64 8 21,05 2 5,26 10
Total 11 28,95 27 71,05 38
4.1.2 Prevalensi DM Tipe II Terkontrol dan Tidak
Tabel 3 menunjukkan prevalensi DM Tipe II terkontrol dan tidak terkontrol.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari 38 orang subjek penelitian 11
(26,32%) adalah pasien DM Tipe II terkontrol sedangkan 27 (73,68%) adalah pasien
DM Tipe II tidak terkontrol.
Tabel 3. Prevalensi DM Tipe II Terkontrol dan Tidak Terkontrol
Terkontrol Tidak Terkontrol
Total
N % N %
4.1.3 Prevalensi BMS pada DM Tipe II
Tabel 4 menunjukkan prevalensi BMS pada DM Tipe II. Pada penelitian ini
diketahui dari 38 orang pasien DM Tipe II, 5 (13,16%) pasien DM Tipe II mengalami
BMS sedangkan 33 (86,84%) tidak mengalami BMS.
Tabel 4. Prevalensi BMS pada DM Tipe II
BMS N %
Ya 5 13,16
Tidak 33 86,84
Total 38 100
4.1.4 Prevalensi BMS pada DM Tipe II Terkontrol
Pada tabel 5 menunjukkan prevalensi BMS pada DM Tipe II terkontrol.
Berdasarkan tabel tersebut diketahui dari 10 orang pasien DM Tipe II terkontrol,
tidak ada pasien DM Tipe II yang mengalami BMS.
Tabel 5. Prevalensi BMS pada DM Tipe II Terkontrol
BMS N %
Ya 0 0
Tidak 10 100
4.1.5 Prevalensi BMS pada DM Tipe II Tidak Terkontrol
Prevalensi BMS pada DM Tipe II tidak terkontrol dapat dilihat pada tabel 6.
Berdasarkan tabel diatas diketahui dari 28 orang pasien DM Tipe II tidak terkontrol, 5
(17,86%) pasien DM Tipe II mengalami BMS sedangkan 23 (82,14%) tidak
mengalami BMS.
Tabel 6. Prevalensi BMS pada DM Tipe II Tidak Terkontrol
BMS
Total
Ya Tidak
N % N %
DM Tipe II
Tidak
Terkontrol
5 17,86 23 82,14 28
4.2Hasil Analisis Bivariant
4.2.1 Hubungan antara DM Tipe II dengan BMS
Tabel 7 menunjukkan hubungan antara DM Tipe II dengan BMS, dimana nilai
P >0,05 yaitu 0,196 maka HO diterima. Oleh karena itu, pada penelitian ini
Tabel 7. Hubungan antara DM Tipe II dan BMS
BMS
P
Ya Tidak
N % N %
DM Tipe II 5 13,16 33 86,84 0,196
4.2.2 Hubungan antara DM Tipe II Terkontrol dengan BMS
Hubungan antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS dapat dilihat pada tabel
8. Nilai P >0,05 yaitu 0,196 maka HO diterima, artinya tidak ada hubungan yang
bermakna antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS.
Tabel 8. Hubungan antara DM Tipe II Terkontrol dan BMS
BMS
P
Ya Tidak
N % N %
DM Tipe II 0 0 10 100 0,196
4.2.3 Hubungan antara DM Tipe II Tidak Terkontrol dengan BMS
Tabel 9 menunjukkan hubungan antara DM Tipe II tidak terkontrol dengan
BMS. Nilai P >0,05 yaitu 0,196 maka HO diterima, artinya tidak ada hubungan yang
Tabel 9. Hubungan antara DM Tipe II Tidak Terkontrol dan BMS
BMS
P
Ya Tidak
N % N %
DM Tipe II
5 17,86 23 82,14
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan di instalasi rawat jalan Poli Endokrin Departemen
Penyakit Dalam, RSUP HAM Medan. Jumlah subjek yang diperiksa berjumlah 38
orang pasien DM Tipe II. Pasien DM Tipe II dengan KGD puasa < 130 mg/dl atau
KGD setelah makan < 180 mg/dL dikategorikan KGD terkontrol sedangkan pasien
dengan KGD puasa > 130 mg/dl atau KGD setelah makan > 180 mg/dL
dikategorikan KGD tidak terkontrol.52,53
Tabel 2 menunjukkan data jumlah subjek penelitian berjenis kelamin
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan subjek penelitian berjenis kelamin
laki-laki yaitu 27 (71,05%) orang berjenis kelamin perempuan dan 11 (28,95%) orang
berjenis kelamin laki-laki. Diabetes Melitus Tipe II lebih sering terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wild dkk
dimana penderita perempuan lebih banyak dibanding laki-laki.16 Diabetes Melitus Tipe II lebih sering terjadi pada perempuan karena selain faktor usia dan obesitas,
sekitar 30-35% wanita hamil dengan riwayat Diabetes Gestasional berisiko terkena
DM Tipe II.22
Pada tabel 2 juga diperoleh data jumlah subjek penelitian pada usia 45-54
tahun adalah lebih banyak berbanding subjek penelitian pada usia 55-64 tahun yaitu
pada usia 45-54 tahun 28 (73,68%) orang dan subjek penelitian pada usia 55-64 tahun
10 (26,32%) orang. Hal ini disebabkan sebagian besar dari subjek penelitian adalah
menopause dan harus dieksklusikan kerana menopause merupakan antara faktor
etiologi BMS. Menurut penelitian Wild dkk mayoritas penderita DM di negara
berkembang berusia 45-64 tahun sedangkan di negara maju berusia 60 tahun ke
atas.16 Sebagian besar DM adalah tipe II yang terjadi lebih dari 90% biasanya pada usia 40 tahun ke atas.18
Manifestasi oral pada pasien DM Tipe II tidak terkontrol adalah lebih banyak
berbanding pasien DM Tipe II terkontrol. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Shrimali dkk, dari 50 orang subjek penelitian 25 (50%) adalah pasien DM Tipe II
terkontrol sedangkan 25 (50%) adalah pasien DM Tipe II tidak terkontrol.14 Pada penelitian ini, diketahui bahwa dari 38 orang subjek penelitian 11 (28,95%) adalah
pasien DM Tipe II terkontrol sedangkan 27 (71,05%) adalah pasien DM Tipe II tidak
terkontrol. Pasien dengan DM tidak terkontrol lebih berisiko mengalami komplikasi
oral berbanding pasien DM terkontrol karena kerusakan sistem saraf dan pembuluh
darah akibat hiperglikemia.
Hubungan antara BMS dengan DM Tipe II masih menjadi kontroversi.10
Akan tetapi menurut beberapa penelitian DM Tipe II memainkan peran dalam
terjadinya BMS. BMS pada pasien DM bisa diakibatkan karena berkurangnya
produksi saliva. Keadaan ini biasanya diikuti dengan gejala rasa haus, lidah terasa
kering, keluhan perih, panas seperti terbakar, dan perubahan pengecapan rasa.11
Berdasarkan tabel 4, diketahui dari 38 orang pasien DM Tipe II, 5 (13,16%) pasien
DM Tipe II mengalami BMS sedangkan 33 (86,84%) tidak mengalami BMS. Hasil
257 pasien DM Tipe II mengalami BMS.12 Pada penelitian yang dilakukan oleh
Shrimali dkk pada 50 orang pasien DM Tipe II, 14 (28%) pasien DM Tipe II
mengalami BMS sedangkan 36 (72%) tidak mengalami BMS.14
Hasil analisis bivariat pada tabel 7 menunjukkan hubungan antara DM Tipe II
dengan BMS. Nilai P > 0,05 yaitu 0,196 maka HO diterima, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara DM Tipe II dengan BMS. Beberapa penelitian telah
menyatakan adanya hubungan antara DM Tipe II dengan BMS karena sindrom ini
ditemukan pada 2-10% pasien DM.42 Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk pada 66 orang pasien BMS sebanyak 4 (7%) orang mengalami DM.39 Ada beberapa alasan yang mendukung bahwa DM Tipe II menyebabkan timbulnya rasa
panas dalam mulut. Kurangnya insulin pada penderita DM mengganggu proses
katabolik dalam mukosa mulut sehingga menyebabkan resistensi jaringan terhadap
gesekan normal menjadi berkurang.40 Kemungkinan lain adalah paparan yang terus
menerus terhadap glukosa dapat menyebabkan deteriorasi ujung saraf. Selain itu,
sirkulasi yang buruk merupakan dampak dari diabetes menyebabkan menurunnya
ambang nyeri sehingga dapat dengan mudah mengganggu fungsi di ujung cabang v2
atau v3 dari saraf trigeminal dan menimbulkan rasa nyeri. 50
Berdasarkan tabel 5 dan 8 diketahui dari 10 orang pasien DM Tipe II
terkontrol, tidak ada pasien DM Tipe II mengalami BMS. Hasil analisis bivariat pada
tabel 8 menunjukkan hubungan antara DM Tipe II terkontrol dan BMS. Nilai P >
0,05 yaitu 0,196 maka HO diterima, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS. Pasien dengan DM tidak terkontrol lebih
kerusakan sistem saraf dan pembuluh darah akibat hiperglikemia. Hasil penelitian ini
tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shrimali dkk (2011) pada 50
orang pasien DM Tipe II dari Fakultas Kedokteran Geetanjali dan RS Udaipur, India
dimana dari penelitian tersebut menunjukkan 8 (32%) dari 25 orang pasien DM Tipe
II terkontrol menderita BMS.14
Tabel 6 dan 9 menunjukkan prevalensi BMS pada DM Tipe II tidak
terkontrol. Berdasarkan tabel 6 diketahui dari 28 orang pasien DM Tipe II tidak
terkontrol, 5 (17,86%) orang mengalami BMS sedangkan 23 (82,14%) tidak
mengalami BMS. Hasil analisis bivariat pada tabel 9 menunjukkan hubungan antara
DM Tipe II tidak terkontrol dan BMS. Nilai P > 0,05 yaitu 0,196 maka HO diterima,
artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara DM Tipe II tidak terkontrol dengan
BMS. DM yang tidak terkontrol mengganggu sistem imunitas tubuh sehingga pasien
lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu, hiperglikemia yang berlangsung dalam
waktu lama akan menyebabkan kerusakan pada saraf dan pembuluh darah sehingga
menimbulkan sensasi terbakar pada rongga mulut. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Gupta (2011) pada 100 orang penderita DM Tipe II terkontrol dan tidak
terkontrol di Departemen Ilmu Penyakit Mulut, Diagnosis dan Radiologi di Fakultas
Kedokteran Ragas dan RS Chennai, Tamil Nadu, India, dimana sebanyak 8 (16%)
pasien DM Tipe II terkontrol dan 20 (40%) pasien DM Tipe II tidak terkontrol
mengalami BMS.Hasil dari penelitian ini menunjukkan penderita DM Tipe II tidak
terkontrol lebih berisiko mengalami BMS berbanding penderita DM Tipe II
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada penelitian ini, diperoleh hasil analisis statistik yang menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara DM Tipe II dengan BMS. Selain itu, juga
diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara DM Tipe II
terkontrol maupun tidak terkontrol dengan BMS.
Penelitian tentang hubungan antara DM Tipe II dengan BMS masih menjadi
kontroversi, dimana penelitian tentang hubungan antara DM Tipe II terkontrol dan
tidak terkontrol dengan BMS masih menunjukkan hasil yang bertentangan satu
dengan lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat
hubungan antara DM Tipe II terkontrol dan tidak terkontrol dengan terjadinya BMS
supaya kedepannya dapat dilakukan usaha pengobatan maupun preventif dalam
rangka meningkatkan kualitas hidup pasien.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian lebih
lanjut tentang hubungan BMS dengan DM Tipe II. Selain itu, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menimbulkan kesadaran kepada penderita DM untuk mengontrol
DAFTAR PUSTAKA
1. Nandya, Maduratna SE, Augustina EF. Status kesehatan jaringan periodontal
pada pasien DM tipe 2 dibandingkan dengan pasien non DM berdasarkan
GPI. 2011.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/e-Journal%20Status%20kesehatan%20jaringan%20periodontal.pdf. (20 Oktober
2013)
2. Ardi M. Telehomecare pada diabetes melitus tipe 2. Tesis. Jakarta: Program
Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia, 2010: 1-11.
3. Fazaris T. Diabetes melitus terus meningkat. 2009.
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id+71175
:-diabetes-melitus-terus-meningkat&catid=14:diabetes&Itemed=27. (12
November 2012).
4. Tumilisar DL. Komplikasi diabetes melitus pada rongga mulut. J Ked Meditek
1996; 4(10): 24-5.
5. Lukisari C, Kusharjanti. 2011. Xerostomia salah satu manifestasi oral
diabetik. http://www.scribd.com (10 November 2012).
6. Amro SO, Al-Attas S. Hyperglycemia and oral mucosal lesions among
diabetic patients in Jeddah city. Egypt Dent J 2009; 55(2): 1-15.
7. Forssell H, Jaaskelainen S, Tenovuo O, Hinkka S. Sensory dysfunction in
8. National Institute of Dental and Craniofacial Research. Burning mouth
syndrome: NIH Publication, 2011: 1-2.
9. Dahiya P, Kamal R, Kumar M, Niti, Gupta R, Chaudhary K. Burning mouth
syndrome and menopause. Int J Prev Med 2013; 4(1): 15-20.
10.Heidari Z, Mahmoudzadeh-Sagheb HR, Mugahi MHN. Burning mouth
syndrome in Zahedan, the Southeast of Islamic Republic of Iran. J of Dent
Tehran Univ of Med 2005; 2(4): 152-8.
11.Vernillo AT. Dental considerations for the treatment of patients with diabetes
mellitus. J Am Dent Assoc 2003; 134(2): 24-33.
12.Khaznadar AA, Mahmmoud B. Oral manifestations of type two diabetes
mellitus. Kurdist Acad J 2006; 4(1): 95-109.
13.Gupta S, Kumar AC. A comparative study on oral manifestations of
controlled and uncontrolled type 2 diabetes mellitus in South India patients. J
of Ind Acad of Oral Med Rad 2011; 23(4): 521-26.
14.Shrimali L, Astekar M, Sowmya GV. Correlation of oral manifestations in
controlled and uncontrolled diabetes mellitus. Int J of Oral Max Path 2011;
2(4): 24-7.
15.American Diabetes Assosiation. Foundation. Diagnosis and classification of
diabetes mellitus. Diabet Care J 2012; 35(1): 64-71.
16.Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes– estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabet Care J 2004;
17.Alamo SM, Soriano YJ, Perez MGS. Dental considerations for the patient
with diabetes. J Clin Exp Dent 2011; 3(1): 25-30.
18.Lely MDA, Indrawati T. Pengaruh kadar glukosa darah yang terkontrol
terhadap penurunan derajat kegoyahan gigi pada penderita diabetes melitus di
RS Persahatan Jakarta. Media Litbang Kesehatan 2004. Sept 3: 38-42.
19.Perkeni. Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 3 rd
ed Jakarta: NHS Manchester, 2006: 1-50
20.Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral and maxillofacial
pathology. 3rd ed., Missouri: Sauders Elsevier, 2009: 843-74.
21.Thomassian B, Mennito AS. The dental patient with diabetes. Herdon:
Publishing Dental Education, 2005: 14-20.
22.Greenberg MS, Glick M, Ship JA. Burket’s oral medicine. 11 th ed. Hamilton: BC Decker; 2008: 511-12.
23.Kidambi S, Patel SB. Diabetes mellitus–considerations for dentistry. J Am Dent Assoc. 2008; 139(2): 8-18.
24.Ship, JA. Diabetes and oral health–an overview. J Am Dent Assoc. 2003; 134(3): 4-10.
25.Pedersen AML. Diabetes mellitus and related oral manifestations. Oral Biosci
Med J 2004; 1(4): 229-48.
26.Segura-Egea JJ, Jimenez-Pinzon A, Rios-Santos JV, Velasco-Ortega E,
Cisneros-Cabello R, Poyato-Ferrera M. High Prevalence of apical
27.Satish Y. Evaluation and comparison of salivary flow rate and candida count
in type 2 diabetic patients. Dissertation. Bangalore: Master of Oral Surgery in
Oral Medicine and Radiology The Oxford Dental Collage, Hospital a nd
Research centre Bangalore, 2006: 7-9.
28.Lopez-Jornet P, Camacho-Alonso F, Andujar-Mateos P, Sanchez-Siles M,
Gomer-Garcia F. Burning mouth syndrome-update. J Med Oral Patol Oral Cir
Bucal 2010; 15(4): 562-6.
29.Lopez-Jornet P, Camacho-Alonso F, Andujar-Mateos P. A prospective,
randomized study on the efficacy of tongue protector in patients with burning
mouth syndrome. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2010; 16(4): 1-19.
30.Fedele S, Fricchione G, Porter SR, Mignogna MD. Burning mouth syndrome
(stomatodynia). Q J Med 2007; 100(9): 527-30.
31.Lamey PJ, Lamb AB. Prospective study of aetiological factors in burning
mouth syndrome. Brit Med J 1988; 296(3): 1243-46.
32.Colak H, Bayraktar Y, Mustafa HM, Uzgur R, Toptancr IR . Prevalance of
burning mouth syndrome in adult Turkish population. Dicle Med J 2011; 3(3):
289-93.
33.Aggarwal A, Panat SR. Burning mouth syndrome: a diagnostic and
therapeutic dilemma. J Clin Exp Dent 2012; 4(3): 180-5.
34.Barker KE, Savage NW. Burning mouth syndrome: an update on recent
findings. Aust Dent J 2005; 50(40): 220-3.
35.Buchanan J, Zakrzewska. Burning mouth syndrome. BMJ Clin Evid J 2009;
36.Maltsman-Tseikhin A, Moricca P, Niv D. Burning mouth syndrome: will
beter understanding yield better management. Pain Practice 2007. March 15:
151-62.
37.Pedersen AML, Smidt D, Nauntofte B, Christiani CJ, Jerlang BB. Burning
mouth syndrome: etiopathogenic mechanisms, symptomatology, diagnosis
and therapeutic approches. In: Aminoff MJ, Boller F, Swaab DF. Handbook
of Clinical Neurology, 3rd ed., Philadelphia: Elsevier., 2004: 3-19.
38.Anil S, Alsqah MN, Rajendran R. Burning mouth syndrome: diagnostic
appraisal and management strategies. Saudi Dent J 2007; 19(3): 128-38.
39.Nasri C, Teixeira MJ, Okada M, Formigoni G, Heir G, Siquera JTT. Burning
mouth complaints: clinical characteristics of a Brazilian sample. In: Clinics,
ed. Proceedings of the 9 th World Congress on Pain. Vienna, 2007; 561-4.
40.Scala A, Checchi L, Montevecchi M, Marini I. Update on burning mouth
syndrome: overview and patient management. Crit Rev Oral Biol Med 2003;
14(4): 275-91.
41.Cercbiari DP, Moricz RD, Sanjar FA, Rapoport PB, Moretti G, Guerra MM .
Burning mouth syndrome: etiology. Braz J Otorh 2006; 72(3): 419-24.
42.Nakazone PA, Nogueira AVB, De Alencar Junior FGP, Massucato EMS.
Burning mouth syndrome: a discussion about possible etiological factors and
treatment modalities. Braz J Oral Sci 2009; 8(2): 62-6.
43.Krasteva A, Kisselova A, Dineva V, Ivanova A, Krastev Z. Folic acid and
44.Metin ZB, Kayhan KB, Unur M. Burning mouth syndrome. Otalaryng J 2006;
18(3): 188-96.
45.Muzyka BC, De Rossi SS. A review of burning mouth syndrome. CUTIS
1999. July 9: 29-35.
46.Souza FTA, Santos TPM, Bernandes VF, Teixera AL, Kummer AM, Silva
TA et al. The impact of burning mouth syndrome on health-related quality of
life. Bio Med Cent J 2011; 9(57): 1-5.
47.Tarigan RN, Setyawati T. Tantangan dalam perawatan oral lichen planus pada
pasien diabetes melitus (laporan kasus). Indon J of Dent 2009; 16(1): 8-7.
48.Kurniawan I. Diabetes melitus tipe 2 pada lanjut usia. Majalah Kedokteran
Indonesia 2010. Des 12: 576-84.
49.Suarez P, Clark GT. Burning mouth syndrome: an update on diagnosis and
treatment methods. Calif Dent Assoc J 2006; 34(8): 611-22.
50.Mubeen K, Ohri N. Burning mouth syndrome-an enigma. Int J Odontost
2011; 5(1): 23-7.
51.Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 3 rd ed.,
Jakarta: Sagung Sato, 2010: 84-288.
52.Hwang KO. Case study: uncontrolled type 2 diabetes mellitus.
http://www.medpagetoday.com/resource-center/diabetes/case%20study-uncontrolled-type%202/a/39768 (2 Januari 2014).
53.Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, Nauck M, Tsapas A, Ferrannini E et
al. Management of hyperglycemia in type 2 diabetes: a patient-centered
54.Torgerson RR. Diagnosis and Treatment of Oral Mucosal Lession : Burning
Mouth Syndrome. J Am Dent Assoc. 2010; 4(2): 194-205.
55.Putri AP. Pengaruh status menopause terhadap burning mouth syndrome.
KTI. Semarang: Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, 2012: 33-4.
56.Sari Wahyuni A. Statistika kedokteran. 1 st ed., Jakarta: Bamboedoea