UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM S-1 EKSTENSION
ANALISIS POSISI FISKAL DAERAH SUMATERA UTARA
Diajukan oleh :
NAMA : CHRISTA TD. SIALLAGAN
NIM : 060523008
DEPARTEMEN : EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
Fiscal position is relation between the government’s revenue and expenditure.
The revenue increased because there’s a change of taxes roles which decreased
salaries’ tax so it will be increase consumption. For the region level, the revenue can
measured by Gross Domestic Region Product (GDRP ).
The research is aimed at analyzing influence by Gross Domestic Region
Product to North Sumatra Revenue and Expenditure Budgeting such as Total of
North Sumatra Revenue, The Region Original Revenue and Total Region Expenditure
before and after region autonomous in the periods of 1993-2007 using Ordinary Least
Square (OLS).
Estimation result with series data using OLS show that Gross Domestic
Region Product is positively and significantly affecting North Sumatra Revenue and
Expenditure Budgeting. But region autonomous is not significantly affecting
Expenditure Budgeting
ABSTRAK
Posisi fiskal merupakan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Penerimaan meningkat karena adanya perubahan kebijakan perpajakan,
dimana menurunkan pajak pendapatan masyarakat sehingga meningkatkan
pengeluaran agregat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh PDRB dan dummy
terhadap APBD Sumatera Utara yaitu Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah
dan Belanja Daerah seelm dan sesudah otonomi daerah selama kurun waktu
1993-2007 dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS).
Hasil estimasi data series dengan OLS menunjukkan PDRB mempengaruhi
positif Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Daerah Sumatera
Utara. Akan tetapi otonomi daerah sama sekali tidak mempengaruhi Belanja Daerah
Sumatera Utara.
Kata kunci : PDRB, Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah, Belanja Daerah
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Bapaku Yesus Kristus karena kasih
dan karunia-Nya yang selalu menyertai dan memberkati penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul, “Analisis Posisi Fiskal Daerah Sumatera Utara”.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis menghadapi banyak pengalaman dan tantangan
yang berharga. Akan tetapi, menghasilkan suatu perjuangan untuk suatu karya yang
kupersembahkan untuk Tuhanku dan almamaterku tercinta.
Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Tanpa
partisipasi dan kerjasama yang baik mereka, skripsi ini tak akan selesai. Dalam
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimah kasih yang sangat
mendalam kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, Mec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratom, SE, MEc, selaku Ketua Departemen Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan selaku
Dosen Penasehat Akademik.
3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Sekretaris Departemen
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA, selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan waktu, pemikiran, saran dan kesabaran sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu DR. Murni Daulay, SE, MSi, selaku Dosen Penguji I dan Drs. H.B
Tarmizi selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan kritikan
yang berarti dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Seluruh dosen pengajar di Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan nasehat kepada penulis.
7. Seluruh staf administrasi di Fakultas Ekonomi dan Departemen Ekonomi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara.
8. Keluarga tercinta, Ayahanda J.W. Siallagan dan Ibunda R.R Tambunan serta
adik-adikku Alex, Andri dan April yang selalu mendukung dan mendoakan
penulis. Terimakasih orangtuaku dan adik-adikku, kalian hartaku paling
9. Terkhususnya Kekasih Hati dan Jiwaku, Ipda. Samuel Simanjuntak yang jauh
dari sisiku tetapi selalu setia mencintaiku dan memberikan apapun yang
terbaik buatku dalam segala keperluanku. Terimakasih sayangku, semoga
cintamu selalu abadi selamanya.
10.Teman-temanku di Ekstension (Novin, Marganda, Wahyu, Larima, Asima, Ka
Alvi, Sutan, Valino, Romy, Reza, Julesio, Ero, Wani, Lia, Indra dan yang
lainnya). Terimakasih buat kebersamaan yang singkat dan indah selama
kuliah, sukses selalu dan Tuhan Yesus menyertai kita.
11.Sahabat-sahabatku yang jauh (Ira Sibarani, Enika Saragih, Rose Tampubolon,
Megawati Situmorang, Yunita Damanik, Rika Siahaan dan lainnya).
Terimakasih buat semangat dan doa kalian, Tuhan Yesus memberkati.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, sehingga
diperlukan saran dan kritikan yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi yang memerlukannya. Akhir kata, semoda damai Yesus Kristus selalu menyertai
kita semuanya.
Medan, Februari 2009
DAFTAR ISI
ABSTACT ……….…… i
ABSTRAK ……….…... ii
KATA PENGANTAR ………..…… iii
DAFTAR ISI ……… v
DAFTAR TABEL ……… vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ……….……… 1
1.2. Perumasan Masalah ……… 3
1.3. Hipotesis ………. 3
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 3
BAB II URAIAN TEORITIS 2.2. Penganggaran ……….…... 5
2.2.1. Penyususnan APBD ………...…. 5
2.3. Penerimaan Daerah ……….… 8
2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ……….…... 8
2.3.1.1. Pajak Daerah ………... 9
2.3.1.2. Retribusi Daerah ………...….. 12
2.3.1.3. Penerimaan Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya ………... 13
2.3.1.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah ... 15
2.3.2. Dana Perimbangan ……….. 15
2.3.2.1. Dana Bagi Hasil ………. 17
2.3.2.2. Dana Alokasi Umum …………...…... 18
2.3.2.3. Dana Alokasi Khusus ……….... 19
2.3.4. Pinjaman Daerah ………...… 21
2.3.5. Lain-lain Penerimaan Daerah Yang Sah ...… 22
2.4. Belanja Rutin Daerah ……….… 22
APBD ………...… 22
2.4.2. Kelompok Kerja ……… 24
2.5. Belanja Pembangunan Daerah ……….... 24
2.6. Product Domestic Regional Bruto (PDRB) …..…...… 25
2.6.1. Pendekatan Perhitungan PDRB ……… 25
2.6.2. Cara Penilaian Harga Konstan ………. 26
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ………..…. 29
3.2. Jenis dan Sumber Data ……… 29
3.3. Pengolahan Data ……… 29
3.4. Model dan Metode Analisis Data ………... 29
3.5. Uji Kesesuaian (Ordinary Least Square) …………....… 30
3.6. Uji Asumsi Klasik ………... 31
3.7. Defenisi Operasional ……….. 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Indikator Makro Ekonomi Sumatera Utara .. 33
4.1.1. Perkembangan PDRB ADHB dan ADHK ..…… 33
4.1.2. Perkembangan Inflasi ………... 33
4.1.3 Perkembangan Perbankan ………... 34
4.1.4. Perkembangan Ekspor dan Impor ……… 34
4.2. Perkembangan APBD Sumatera Utara …………..…… 36
4.2.1. Perkembangan Penerimaan Daerah ………. 36
4.2.2. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah …....….. 37
4.2.3. Perkembangan Belanja Daerah ……… 39
4.3. Perkembangan PDRB ADHK 1993 Sumatera Utara …. 40 4.4. Hasil dan Analisis ……….. 42
4.4.1. Analisis dan Pengumpulan Data ………..… 42
4.4.2. Hasil Regresi dan Interpretasi Model ………….. 42
4.4.3. Hasil Uji Asumsi Klasik ……….……….… 42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………...……….. 47
5.2. Saran ……….…….. 48
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
2.1 Penerapan Tarif Pajak 10
4.1 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan
Atas Dasar Harga Konstan Provinsi Sumatera Utara,
2000 – 2007 32
4.2 Perkembangan laju Inflasi Sumatera Utara dan Indonesia,
2003 – 2007 33
4.3 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor
Provinsi Sumatera Utara, 2003 – 2007 35
4.4 Perkembangan Penerimaan Daerah Sumatera Utara,
Tahun 1993-2007 36
4.5 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara,
Tahun 1993-2007 38
4.6 Perkembangan Belanja Daerah Sumatera utara,
Tahun 1993-2007 39
4.7 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993
Sumatera Utara, tahun 1993-2007 41
4.8 Hasil Analisa Regresi Penerimaan Daerah Sumatera Utara 42
4.9 Hasil Analisa Regresi Pendapatan Asli Daerah
Sumatera Utara 43
4.10 Hasil Analisa Regresi Belanja Daerah Sumatera Utara 44
4.11 Hasil Uji LM-Test Penerimaan Daerah Sumatera Utara 45
4.12 Hasil Uji LM-Test Pendapatan Asli Daerah
Sumatera Utara 46
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis
perbelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah,
membangun dan memperbaiki struktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan
kesehatan dan membiayai anggota polisi dan tentara untuk menjaga keamanan
merupakan pengeluaran yang tidak terelakkan pemerintah (Sukirno, 2004). Dengan
kata lain, pemerintah memiliki kewajiban mutlak dalam mengumpulkan
sumber-sumber dana (penerimaan) untuk membiayai seluruh pengeluaran yaitu pengeluaran
rutin (belanja rutin) dan pengeluaran pembangunan. Agar terwujud sasaran yang tepat
dalam pengumpulan dana dan pembiayaan maka pemerintah menyusun Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tingkat daerah dinamakan Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah langsung dikelola oleh pemerintah
daerah masing-masing tanpa ada campur tangan pemerintah pusat dalam rangka
perwujudan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal, sebagaimana tercantum dalam
pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya di daerah sendiri.
Pemerintah daerah juga harus mampu menyusun keuangan daerah yang tepat sasaran
dan tujuan dalam pengelolaan sumber-sumber dana dan pembiayaan daerahnya.
Sumber-sumber penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber
pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam daerah
yang bersangkutan yang terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah atau sumber daya alam dan lain-lain pendapatan yang
sah. Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian
bangunan, dan penerimaan dari SDA serta dana alokasi umum dan dan alokasi
khusus. Bagian daerah dari penerimaan PBB, Bea perolehan Hak atas tanah dan
bangunan, dan penerimaan dari SDA merupakan sumber penerimaan yang pada
dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil (Bratakusumah, 2002).
Dengan diberlakukan otonomi daerah sejak tahun 2000, pemerintah lebih
leluasa dalam memaksimalkan hasil-hasil potensi daerah yang ada dalam daerah.
Didaerah Sumatera Utara banyak ditemui potensi daerah, dimana salah satu dari
sekian potensi yang ada adalah perkebunan yang merupakan bagian dari sektor
pertanian. Sektor pertanian memberikan kontribusi besar dalam penerimaan daerah
yang berasal dari SDA.
Penerimaan dan pengeluaran daerah merupakan bagian penting dalam
menjalankan kebijakan pemerintah daerah. Salah satu kebijakan daerah yang
melibatkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah dalam menjalankan
kewajibannya untuk meningkatkan pengeluaran agregat adalah kebijakan fiskal,
dimana dilakukan perubahan di bidang perpajakan. Akan tetapi dalam penelitian ini,
posisi fiskal lebih diarahkan kepada penerimaan di bidang perpajakan dan
pengeluaran daerah untuk mempengaruhi pengeluaran agregat. Perubahan di bidang
perpajakan yang dimaksud adalah pengurangan pajak pendapatan masyarakat yang
bertujuan untuk menambah kemampuan masyarakat dalam membeli barang dan jasa
daerah tersebut sehingga meningkatkan pendapatan asli daerah serta secara langsung
meningkatkan penerimaan daerah.
Untuk mengukur prestasi perekonomian daerah digunakan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), dimana PDRB merupakan nilai tambah dari barang dan jasa
yang dihasilkan dalam 1 periode biasanya 1 tahun. Sektor-sektor yang terdapat dalam
PDRB adalah seperti sektor pertanian, pertambangan, industri, listrik dan gas,
bangunan, perdagangan, pengangkutan, komunikasi, hotel, perbankan dan lembaga
keuangan lainnya dan jasa-jasa.
Jika penurunan pajak pendapatan dilakukan Pemerintah Daerah maka ke-9
sektor lapangan usaha akan bisa dinikmati masyarakat daerah khususya di Sumatera
Utara. Masyarakatpun akan lebih bisa memanfaatkan pendapatannya dan
pengusaha-pengusaha akan lebih bergairah memajukan usahanya sehingga meningkatkan
pendapatan masyarakat. Jika masyarakat dan pengusaha telah dapat memaksimalkan
mendorong peningkatan pendapatan daerah melalui PDRBnya dan dalam setiap
proses ke-9 sektor lapangan usaha juga dikenakan pajak dan retribusi sesuai Peraturan
Daerah, sehingga mempenggaruhi pendapatan asli daerah sekaligus peningkatan
penerimaan daerah dan secara tidak langsung meningkatkan pengeluaran daerah
seperti belanja rutin daerah. Oleh karenanya, akan memberikan dampak positif
terhadap APBD Sumatera Utara, selain sumber penerimaan daerah juga pembiayaan
kesejahteraan pegawai dalam menjalankan tugas pemerintahan yang tujuan akhirnya
juga bertujuan untuk kesejatehraan masyrakat daerah Sumatera Utara dan belanja
pembangunan bertujuan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah yang
bertujuan meningkatkan fasilitas daerah.
Untuk melihat proporsi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang
diperkirakan mempengaruhi Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja
Daerah Sumatera Utara maka penulis mencoba menganalisanya dengan melakukan
penelitian dengan judul ”Analisis Posisi Fiskal Daerah Sumatera Utara”.
1.2.Perumusan Masalah
Adapun perumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah:
1. Apakah ada pengaruh PDRB terhadap Penerimaan Daerah Sumatera Utara?
2. Apakah ada pengaruh PDRB terhadap Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara?
3. Apakah ada pengaruh PDRB terhadap Belanja Daerah Sumatera Utara?
1.3. Hipotesis
Adapun hipotesis sementara yang dapat disimpulkan adalah:
1. Terdapat pengaruh PDRB terhadap Penerimaan Daerah Sumatera Utara, ceteris
paribus.
2. Terdapat pengaruh PDRB terhadap Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara,
ceteris paribus.
3. Terdapat pengaruh PDRB terhadap Belanja Daerah Sumatera Utara, ceteris
paribus.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh PDRB terhadap Penerimaan Daerah Sumatera
Utara.
2. Untuk mengetahui pengaruh PDRB terhadap Pendapatan Asli Daerah
Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui pengaruh PDRB terhadap Belanja Rutin daerah Sumatera
Utara.
Manfaat yang diharapkan dari penelitan ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil keputusan.
2. Sebagai referensi untuk menganalisa masalah-masalah yang ada hubungannya
dengan APBD Sumatera Utara.
3. Sebagai bahan penambah wawasan ilmiah, khususnya bidang keuangan
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.2. Penganggaran
Anggaran dalam suatu negara yang biasa diartikan adalah suatu rencana
keuangan yang konkrit arah tujuannya dan pelaksanaan dalam memenuhi kebutuhan
negara dalam menjalankan segala roda pemerintah negara tersebut yang dituangkan
dalam APBD. Artinya ada 2 hal penting yaitu pendapatan dan pembiayaan,
kemudiaan dialokasikan dana ke masing-masing kegiatan sesuai dengan fungsi dan
sasaran yang hendak dicapai. Masing-masing kegiatan tersebut dikelompokan ke
dalam program berdasarkan tugas dan tanggungjawab dari satuan kerja tertentu.
Misalnya dinas pendidikan; kata dinas disini berarti satuan kerja dan pendididkan
akan terdiri dari sejumlah aktivitas, misalnya penyusunan kurikulum, penyediaan
sarana belajar mengajar, pemeliharaan gedung, penyuluhan tenaga pengajar dan
sebagainya.
2.2.1 Penyusunan APBD
Sistem penyusunan dan pelaksanaan APBD erat kaitannya dengan pola yang
berlaku dalam APBN. Hal ini dapat dilihat dari:
a. Anggaran disusun berdasarkan persentase kenaikan dari tahun ke tahun berikutnya
sehingga yang dipikirkan oleh para penyusun APBD, berapa tambahan dana yang
akan diperoleh dari pusat. Sistem ini kurang memperhatikan sasaran yang dicapai.
b. Anggaran yang disusun merupakan kombinasi antara klasifikasi organisasi dan
objek yang dalam literatur dikenal sebagai line budgeting. Dalam sistem ini
evaluasi terhadap pengeluaran sulit dilakukan antara lain karena sering satu sama
c. Masing-masing organisasi menghendaki jumlah pembagian dana (plafon) yang
lebih besar, walaupun sasaran yang hendak dicapai kurang jelas.
d. Tingkat ketergantungan belanja pegawai dan belanja pembangunan daerah yang
sangat tinggi (rata-rata diatas 70%). Gaji pegawai daerah hampir 100% dibayar
dari APBN, kecuali pegawai honor daerah.
e. Penyusunan anggaran pembangunan daerah yang pembiayaannya disediakan dari
APBN misalnya program inpres.
Perencanaan fisik proyek menerapkan sistem perencanaan dari bawah ke atas
dan dari atas ke bawah. Akan tetapi ternyata campur tangan instansi pusat seperti
bappenas dan departemen dalam negeri lebih dominan, baik dalam penyusunan
rencana fisik maupun dalam alokasi dan pelaksanaan anggarannya. Karena itu dalam
perencanaan anggaran pembangunan, daerah hanya mencantumkan jumlah alokasi
dana inpres ke dalam APBN pada kas penerimaan pembangunan. Dan tujuan program
inpres itu sendiri antara lain berguna untuk menunjang pelaksanaan proyek-proyek
sektoral departemen. Sampai pada tahun anggaran 1998/1999 terdapat setidaknya 12
jenis pembiayaan daerah termasukpembiayaan pembangunan yang dialokasikan
melalui progaram inpres.
Dengan dimulainya pelaksanaan otonomi daerah sejak Januari 2001,
penyusunan APBD dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Dalam PP No. 105
tahun 2000 dikemukakan azas umum dan proses penyusunan APBD seperti berikut:
a. Proses Penyusunan APBD
Tahap-tahap proses penyusunan APBD:
Perumusan kebijakan umum APBD antara Pemda dan DPRD.
Penyusunan strategi pola prioritas oleh Pemda.
Penyusunan RAPBD dilakukan oleh Pemda.
Pembahasan RAPBD dilakukan oleh dan DPRD.
Penetapan APBD oleh Perda.
Apabila DPRD tidak menyetujui RAPBD yang diusulkan, maka dipergunakan APBD tahun lalu.
Perubahan APBD ditetapkan paling lambat 3 bulan. b. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah
Semua pendapatan dan belanja darah dicatat dalam APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD (asas bruto).
Daerah dapat membentuk dana cadangan.
Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya selain sumber
pembiayaan yang telah ditetapkan, seperti kerjasama dengan pihak lain. Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dalam peraturan daerah.
Menurut PP No. 105 struktur APBD terdiri dari: Pendapatan
Belanja
Surplus/Defisit
Pembiayaan
Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, yaitu bulan Januari 2001 merupakan
masa transisi bagi Pemda dari kebiasaan sentralisasi berubah ke permulaan tugas
menyusun sendiri anggarannya (APBD). Lalu menyusul dan beberapa ekses seperti
kekurangan gaji pegawai dan beberapa mengalami daerah APBD defisist. Beberapa
daerah menuntut tamabhan DAU, kemudian pemerintah pusat mengalokasikan dana
kontijensi.
Ekses yang timbul pada masa transisi ini, sebenarnya tidak perlu terjadi
seandainya, sebelum pelaksanaan otonomi daerah sudah disiapkan pelbagai perangkat
terutama yang berkaitan dengan hubungan APBD dan APBN.
Istilah mismatch dalam kebijakan transfer fiscal, sebenarnya kurang dikenal,
lebih tepat disebut misallocation. Karena yang ditransfer dari APBN ke dalam APBD
daerah otonomi itu adalah eks dana SD, inpres, sebagian DIK dan DIP. Demikian juga
limpahan pegawai dari provinsi ke kabupaten/kota, belanja pegawai semestinya
tertampung di dalam DAU.
Bagi daerah-daerah yang kaya SDA, mereka mendapatkan alokasi dana dari
Dana Bagi Hasil (DBH) dalam jumlah yang besar. Sehingga dampak alokasi DAU
dan APBD mereka relatif kurang bermasalah.
Fenomena tersebut memberikan indikasi bahwa banyak daerah yang
karena itulah untuk tahun berikutnya pemerintah daerah dapat meningkatkan jumlah
pendapatannya, antara lain mengupayakan melalui:
a. Kenaikan PAD
b. Land dan Building Valution
c. Menyempurnakan variabel DAU, dengan cara perhitunagan yang disusun oleh
masing-masing daerah, yang kemudian diajukan sebagai susulan ke pusat.
d. Pengelolaan asset daerah dan menyusun neraca SDA.
Aplikasi PP No. 5 tahun 2000 memberikan pedoman ke arah restrukrisasi
format APBD dari T account menjadi I account. Perubahan (reform) format anggaran
itu akan menuju ke arah penyempurnaan Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah
(SAKP), sistem penganggaran dan perbendaharaan untuk mencapai keseragaman
tidak sistem dan prosedur. Selanjutnya beberapa tahun yang akan datang prinsip
pengelolaan keuangan daerah memiliki standar, misalnya untuk perencanaan:
a. Berdasarkan suatu strategic planning
b. Anggaran berbasis kinerja (Performance Based Budgeting dan mengikuti
Government Financial Statistic [GFS]).
Dalam pelaksanaan anggaran daerah harus dilandasi oleh good governance
dan manajemen keuangan yang efisien (cash management efficiency). Sebagai dasar
aplikasi perubahan system akuntansi keuangan daerah itu adalah peraturan daerah
yang DPRD akan menunjang keberhasilan pembangunan daerah. Misalnya pada saat
pembahasan anggaran tahunan dengan DPRD akan dapat dihindari perbedaan
persepsi jumlah alokasi dana rutin dan proyek, sehingga tidak perlu terjadi suatu fight
antar pihak eksekutif dan legislatif daerah. Artinya akan terdapat kesepahaman di
antara kedua lembaga tersebut, karena terdapat “kesetaraan pemahaman ” mengenai
penganggaran, system akuntansi dan pengelolaan asset daerah.
2.3. Penerimaan Daerah 2.3.1. Pendapatan Asli Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah dan undang-undang No.25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada tanggal
1 januari 2001, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan
mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik yang berasal dari daerah maupun dari
APBN.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) diatur dalam undang-undang No. 34 tahun
2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-undang tersebut merupakan
perubahan atau perbaikan UU No. 18 tahun 1997 terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi
dan Bagian Laba Perusahaan Daerah (BLPD).
2.3.1.1. Pajak Daerah
Undang-undang No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan
arahan bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus
menetapkan pengaturan dalam menjamin penerapan prosedur umum Perpajakan
Daerah dan Retribusi Daerah.
Menurut UU No. 18 tahun 1997 menyebutkan bahwa pajak daerah disebutkan
sebagai pajak yang berarti iuran wajib yang dilakukan pribadi atau badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang masih berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Sebelum terbit UU No. 18 tahun 1997, Pajak Daerah kabupaten/kota mencapai
50 jenis, walaupun yang dapat direalisasikan hanya 8 hingga 12 jenis pajak saja.
Artinya terdapat berbagai jenis pajak daerah yang secara ekonomis kurang memenuhi
syarat principle, sedangkan biaya adaministrasi pemungutan akan lebih besar
dibandingkan dengan hasil penerimaan pajak yang akan diterima oleh daerah.
Peningkatan penerimaan antara lain dapat dipenuhi melalui:
a. Upaya meningkatkan penerimaan pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi
terhadap jenis-jenis pajak tertentu, antara lain dengan memberi kemudahan
lapangan usaha baru.
c. Fungsi budgeter dari penerimaan pajak daerah artinya meningkatkan efisiensi
dengan cara mengalokasikan penerimaan pajak untuk membiayai kegiatan yang
produktif.
Adapun pasal 2 ayat (1) dan (2) dalam UU No. 18 tahun 1997 menyebutkan
jenis-jenis pajak daerah yaitu:
a. Jenis pajak daerah Tingkat I terdiri dari: Pajak kendaraan bermotor
Bea balik nama kendaraan bermotor Pajak bahan bakar kendaraan bermotor b. Jenis pajak daerah Tingkat II terdiri dari:
Pajak hotel dan restauran Pajak hiburan
Pajak reklame
Pajak penerangan jalan
Pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
Tabel 2.1 Penerapan Tarif Pajak
No. Jenis Pajak Tarif Pajak Penggenaan Tarif Pajak
1.
2.
3.
4.
Pajak Kendaraan Bermotor Dan Kendaraan Di Atas Air
o Tarif Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan atas
o Tarif Pajak Kendaraan diatas Air dikenakan atas nilai jualnya.
Atas nilai jualnya
Atas nilai jualnya
5.
Tanah dan Air Permukaan
Pajak Hotel
antara lain berdasarkan jenis, volume, kua litas air dan alokasi sumber air.
Atas jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel.
Atas jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran.
Atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan/atau menikmati hiburan.
Atas nilai sewa reklame, yang didasarkan atas nilai jual objek pajak reklame dan nilai strategis pemasangan reklame.
Atas nilai jual tenaga listrik yang terpakai.
Atas nilai jual hasil
pengambilan Bahan Galian Golongan C.
Atas penerimaan
penyelenggaraan parker yang berasal dari pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir kendaraan bermotor.
Tarif pajak daerah Tingkat I ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan
penetapannya seragam diseluruh Indonesia. Sedangkan untuk daerah Tingkat II
ditetapkan oleh Peraturan Daerah masing-masing dan peraturan daerah tentang pajak
daerah tidak dapat berlaku surut. Memperhatikan sumber pendapatan asli daerah
masing-masing sangat bervariasi.
Sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 34 tahun 2000 yang merupakan
perubahan terhadap UU No. 18 tentang pajak dan retribusi daerah, telah diatur antara
lain mengenai bagi hasil pajak dan relokasi pajak daerah provinsi dengan daerah
Menurut ketentuan dalam UU No. 34 tahun 2000, minimum 10% dari hasil
penerimaan pajak kabupaten dialokasikan untuk kepentingan desa. Pengaturan
mengenai alokasi tersebut didasarkan pada aspek pemerataan dan potensi yang
dimilki oleh desa-desa yang bersangkutan. Sementara itu mengenai hasil penerimaan
pajak kabupaten/kota dalam suatu provinsi yang terkonsentrasi pada kabupaten/kota
tertentu, diambil kebijakan oleh gubernur untuk membagikan sebagian hasil
penerimaan pajak itu kepada kabupaten/kota yang lainnya. Dalam hal objek pajak
beralokasi di lintas kabupaten/kota, maka gubernur berwenang menetapkan
pembagian hasil pajak tersebut kepada daerah kabupaten/kota yang berhak.
Kebijakan ini dilakukan oleh gubernur berdasarkan persetujuan dan kesepakatan
dengan pemerintah daerah bersama DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan.
Kebijakan mengenai pembagian hasil penerimaan pajak antara kabupaten/kota dalam
satu provinsi tersebut diatas tentunya dimaksudkan untuk menghindari ketimpangan
penghasilan daerah kabupaten/kota didalam satu wilayah provinsi. Tarif pajak
kabupaten/kota yang berasal dari pajak hiburan, pajak reklame, pajak pengambilan
bahan galian golongan C dan pajak parkir relitif cukup tinggi. Masing-masing 35%,
25% dan 20%. Penetapan dasar tarif pajak tersebut kurang jelas antara lain karena
konsep usulan undang-undangnya disiapkan dalam waktu yang singkat oleh
pemerintah pusat yang selanjutnya diajukan kepada DPR untuk disetujui sebagai
konsekuensi yang dapat terjadi adalah membatasi jumlah konsumen pemakai jasa itu
dan kurang mendorong pengembangan usaha di bidang tersebut.
2.3.1.2. Retribusi Daerah
Retribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada pemakai jasa tertentu yang
disediakan oleh pemerintah daerah. Retribusi sampah dan retribusi pasar misalnya
harus dibayar oleh pengguna jasa-jasa tersebut, karena mereka menikmati langsung.
Dalam UU No. 34 tahun 2000, jenis retribusi air, pemanfaatan air bawah tanah dan
permukaan, serta retribusi bahan galian golongan C dikategorikan sebagai pajak.
Jasa-jasa yang dipungut retribusinya dan penetapan tarifnya dielompokkan menjadi 3
golongan yaitu:
a. Retribusi Jasa Umum, berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan
biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat dan aspek
perundang-undangan yang berlaku mengenai jenis-jenis retribusi yang
berhubungan dengan kepentingan nasional. Di samping itu tetap memperhatikan
aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
b. Retribusi Jasa Usaha, berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan
yang layak. Penetapan tarifnya ditetapkan oleh daerah sehingga dapat tercapai
keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa
yang bersangkutan diselenggarakan swasta.
c. Retribusi Perizinan, berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh
biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Tarif retribusi
perizinan tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat
menutup sebagian dan seluruh perkiraan biaya yang diperlukan untuk
menyediakan jasa yang bersangkutan. Untuk pemberian izin bangunan, misalnya,
dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan
dan biaya pengawasan.
2.3.1.3. Penerimaan Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya
Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah
merupakan salah satu sumber yang cukup potensial untuk dikembangkan. Beberapa
kendala yang dihadapi oleh perusahaan milik daerah seperti kelemahan manajemen,
masalah kepegawaian dan terlalu banyaknya campur tangan pejabat daerah sehingga
tidak berjalan dengan efisien. Dalam menghadapi beban dan kurang mandiri, sehingga
kebanyakan merugi dan menjadi beban APBD. Perusahaan daerah seperti perusahaan
air bersih (PDAM), bank pembanguna daerah, hotel, bioskop, percetakan, perusahaan
bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi sebagai
sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pembangunan ekonomi
daerah.
Sesuai Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang perusahaan daerah
bertujuan untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya, dan
pembangunan ekonomi nasional umumnya, dalam rangka ekonomi terpimpin untuk
memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industrialisasi dan ketentraman
serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat adil dan makmur”.
a. Penyediaan Air Minum
b. Pengelolaan Persampahan
c. Pengelolaan Air kotor
d. Rumah Pemotongan Hewan
e. Pengelolaan Pasar
f. Pengelolaan Objek Wisata
g. Pengelolaan Sarana Wisata
h. Perbankan dan Perkreditan
i. Penyediaan Perumahan dan Pemukiman
j. Penyediaan Transportasi
k. Indusri lainnya
Undang-undang pasal 5 tahun 1962 juga menyebutkan bahwa perusahaan daerah
bersifat:
a. memberi jasa
b. menyelenggarakan pemanfaatan umum
c. memupuk pendapatan.
Menurut teori yang lain ada tiga kiat dalam memilih bidang usaha yang dapat
membantu mengembangkan perusahaan daerah yaitu:
a. pertama, harus ada pemisahaan antara pembuat kebijaksanaan (eksekutif) dengan
bagian keuangan agar menghasilkan pelayanan yang efisien. Maksudnya
memberikan keleluasaan kepada para eksekutif dalam membuat kebijakan
penentuan harga, produksi dan pegawai dan sebagainya.
b. Kedua, produk yang dihasilkan harus laku dijual, berkualitas baik dan bermanfaat
sebagai private good.
c. Ketiga, menetapkan harga harus didasarkan pada hubungan antara biaya produk
dengan harga jual kepada konsumen perorangan.
Dengan demikian perusahaan daerah minimal dapat mencapai kondisi break even dan
selanjutnya dapat memperoleh keuntungan, misalnya perusahaan jalan tol.
Selanjutnya terdapat beberapa hal sebagai penyebab kurang berhasilnya
perusahaan daerah memberi kontribusi dalam PAD disebabkan:
a. Kurang tegas dalam menetapkan visi, misi dan objektif perusahaan, sehingga
secara tepat sasaran dapat dipilih jenis usaha yang menguntungkan pada skala
b. Kualitas sumber daya manusia yang rendah, recuitment dan placement pegawai
yang tidak benar dan ada campur tangan birokrat daerah dengan urusan bisnis
perusahaan daerah telah menyebabkan biaya tinggi atau inefisiensi sehingga
perusahaan lebih sering merugi. Penerimaan pegawai seringkali dilakukan melalui
sistem sanak kerabat dan kenalan bos, selain mengakibatkan merongrong
perusahaan juga merugikan dan menjurus kepada kebangkrutan perusahaan
daerah. Contoh konkret seperti yang dialami oleh perusahaan air minum dan bis
kota.
Dengan demikian untuk menjadi perusahaan daerah sebagai salah satu sumber
penghasilan pendapatan daerah, harus dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menetukan secara jelas tujuan yang akan dicapai oleh perusahaan daerah tertentu
yaitu apakah mencari laba usaha atau memberikan pelayanan kepada publik.
b. Menetukan pilihan usaha, melalui analisis break even.
2.3.1.4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Pendapatan asli daerah tidak seluruhnya memiliki kesamaan, terdapat pula
sumber-sumber pendapatan lainnya, yaitu penerimaan lain-lain yang sah, kelompok
penerimaan lain-lain dalam pendapatan daerah Tingkat II mencakup berbagai
penerimaan kecil-kecil, seperti hasil penjualan alat berat dan bahan jasa. Penerimaan
dari sewa, bunga simpanan giro dan bank serta penerimaan dari denda kontraktor.
Namun walaupun demikian sumber penerimaan daerah sangat bergantung pada
pot ensi daerah itu sendiri.
2.3.2. Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Selain dari pendapatan asli daerah, sumber penerimaan pemerintah daerah
otonom kabupaten/kota berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat
dan daerah. Dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah adalah salah
satu bentuk kebijakan desentralisasi dibidang fiskal yang dilakukan oleh pemerintah
pusat kepada daerah. Secara ideal tujuan dari kebijakan adalah:
a. Dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat dan pemerintah daerah
yang selama ini tertinggal di bidang pembangunan.
b. Untuk mengintensifikasikan aktifitas dan kreatifitas perekonomian masyarakat
Pemerintah daerah dan DPRD bertindak sebagai fasilitator dalam pembangunan
daerah, rakyat dan masyarakat harus berperan aktif dalam perencanaan
pembangunan daerahnya.
c. Mendukung terwujudnya good governance oleh pemerintah daerah melalui
perimbangan keuangan yang transparan.
d. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah secara demokratis, efektif dan efisien
dibutuhkan sumber daya manusia yang profesional serta memiliki akhlak atau
moral yang baik.
Oleh sebab itu desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan
keuangan akan meningkatkan kemampuan daerah untuk membangun dan
meningkatkan pemberian pelayanan kepada masyarakat daerah, artinya bukan sekedar
pembagian dana, lalu memindahkan korupsi, kolusi dan nepotisme dari pusat ke
daerah.
Ketidakseimbangan fiskal yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah selama ini telah menyebabkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah
kepada bantuan dari pemerintah pusat yang mencapai lebih dari 70% kecuali provinsi
DKI Jakarta. Dengan terbitnya UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah akan lebih memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
melaksanakan otonomi akan menjalankan roda pembangunan.
Dana perimbangan terdiri dari bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi
khusus. Bagi hasil sendiri mencakup bagi hasil dari pajak-pajak pusat (Pajak Bumi
dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan Pajak Penghasilan)
dan bagi hasil sumber daya alam (minyak, gas, pertambangan umum, kehutanan dan
perikanan).
Mulai tahun 2001 diharapkan merupakan tahun awal dari daerah membangun.
Selain daripada itu, melalui kebijakan tersebut diharapkan akan terjadi pembagian ke
nasional yang adil dan rasional. Artinya bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan
sumber daya alam akan memperoleh bagian pendapatan yang jumlahnya lebih besar,
sedangkan daerah lainnya akan mengutamakan bagian dana alokasi umum dan alokasi
khusus. Secara filosofi otonomi daerah maksudnya adalah pemberdayaan dan
intensifikasi sumber-sumber daya yang ada di dalam daerah. Oleh karena itu, otonomi
berbelanja atau bepergian ke luar negeri atau menggunakan dana perimbangan untuk
menaikkan gaji pejabat atau anggota DPRD.
Kata otonomi (autos da nomos) berarti mengurus sendiri daerahnya, untuk
sampai pada tahap itu akan membutuhkan suatu proses, waktu dan biaya. Disamping
itu juga memerlukan pula pembaharuan dan perubahan sikap mental dari para pelaku
pembanguan. Dengan kewenangan otonomi, daerah akan dapat melaksanakan
program pembangunan sesuai dengan kondisi dan prioritas lokal yang dimilikinya.
Kondisi lokal, yaitu faktor-faktor endogen yang bersifat kondusif dimaksudkan untuk
menggerakkan roda pembangunan seperti APBD, potensi dan prasarana ekonomi,
ketersediaan SDM, kepastian hukum dan keamanan.
Faktor-faktor tersebut akan memberikan daya tarik kepada investor untuk
melakukan investor. Dalam pada itu prioritas yang berkaitan dengan sasaran
pembangunan perlu segera diwujudkan. Ini termasuk aktivitas yang didahulukan
penyediannya, misalnya dalam jangka waktu dua atau tiga tahun anggaran. APBD
harus dimaanfaatkan untuk lapangan kerja produktif, peningkatan produktifitas dan
daya saing masyarakat daerah. Hal ini penting untuk kesiapan menghadapi ekonomi
global.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 104 tahun 2000, ada tiga sumber dana
perimbangan:
a. Bagi hasil pajak dan penerimaan sumber daya alam.
b. Dana Alokasi Umum (DAU).
c. Dana Alokasi Khusus (DAK).
2.3.2.3. Dana Bagi Hasil (DBH)
Salah satu komponen dari dana perimbangan keuangan dari pemerintah pusat
dan daerah yaitu pembagian hasil penerimaan sumber daya alam dan penerimaan
perpajakan. Termasuk dalam pembagian hasil perpajakan adalah pajak perseorangan
(PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan (BPHTB). Sedangkan pembagian hasil penerimaan dari SDA berasal dari
minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan.
Sementara bagi hasil sumber daya alam jelas-jelas menguntungkan
atau letak sumber daya alam bersangkutan. Bagi hasil ini diatur dalam UU No. 25
tahun 1999 sebagai jawaban terhadap tuntutan daerah dan praktis memang dapat
mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (pusat – daerah). Dominasi pusat dalam
penguasaan keuangan negara berkurang dengan ketegasan dalam pelaksanaan di
daerah. Namun munculnya masalah baru yakni ketimpangan fiskal antar daerah yang
cukup serius.
Dominasi pusat yang dicoba diatas dengan dana perimbangan seperti tersebut
diatas tercermin dari porsi PAD dalam APBD. Sebagaimana diketahui penerimaan
daerah dari PAD pun sangat bervariasi. Namun secara umum, PAD hanya
menyumbang rata-rata 20% - 30% APBD provinsi dan 10% - 20% APBD
kabupaten/kota. Sacara historis, PAD daerah-daerah di Indonesia punya peran relatif
kecil dalam keseluruhan anggaran daerah. Lebih jauh, yaitu PAD untuk daerah-daerah
dengan intensitas kegiatan ekonomi tinggi akan cukup besar misalnya, PAD DKI
Jakarta dan kabupaten bandung. Jadi, adanya kecenderungan bias ke perkotaan.
2.3.2.2. Dana Alokasi Umum
Di era otonomi daaerah, distribusi dana alokasi umum atau dana transfer dari
pemerintah pusat ke daerah dalam bentuk block grant (DAU) sudah dua kali
dilakukan, yaitu untuk tahun 2001 dan 2002 dan hingga sekarang (2008). Namun,
tersimpul belum memuaskan. Terutama pada tahun 2001, DAU belum dapat secara
utuh menjalankan dan merealisasikan amanat UU No. 25 tahun 1999 dimana DAU
sebagai alat pemerataan. Kebanyakan DAU bukan jadi solusi setelah sampai di
daerah-daerah malah menyebabkan permasalahan, sehingga tujuan DAU sebagai
pemerataan dari kekurangan di daerah tidak terealisasi dengan maksimal.
Adapun permasalahan yang kebanyakan dihadapi daerah-daerah yang belum
menerapakan tujuan DAU sebenarnya. Pertama, model formulanya sendiri yang
masih jauh dari sempurna. Memang tidak mudah membuat formula dana transfer ke
daerah yang bersifat umum (general purpose transfer) untuk negara yang sangat
majemuk seperti Indonesia. Penyerderhanaan atas berbagai faktor yang menjadi ciri
khas dari daerah-daerah tertentu harus dilakukan. Artinya, satu atau beberapa faktor
yang sangat menonjol di daerah tertentu terpaksa terabaikan. Sebab, jika sebagian
besar karakteristik dari daerah dicoba ditampung, maka formula akan menjadi rumit,
cenderung tidak realistis. Padahal, untuk situasi dan kondisi saat ini, formula yang
sederhana jauh lebih diperlukan. Kedua, adanya yang berpengaruh lebih dominan,
kentalnya pertimbangan non ekonomi dalam penentuan besaran DAU. Persoalannya
adalah kepentingan politis cenderung dominan, terutama dalam tahap-tahap penting
penentuan formula. Artinya intervensi politik sudah melekat tak terpisahkan dalam
hubungan keuangan pusat dan daerah. Ketiga, DAU hanya cukup bahkan kurang
jumlahnya untuk membayar kebutuhan negara seperti gaji pegawai. Ini terjadi
terutama di daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang dapat menghasilkan.
Hal ini terjadi karena penyusunan formula DAU belum diperhitungkan
variabel-variabel P3D yang dilimpahkan dari institusi pusat maupun pegawai provinsi kepada
pemerintah kabupaten/kota. Keempat, adanya keterlambatan dalam penyaluran DAU
yang dialami oleh beberapa daerah, kemungkinan terjadi karena mekanisme
penyaluran belum berjalan dengan semestinya.
Pada intinya sebenaranya keberadaan DAU seharusnya menjadi penetral bagi
ketimpangan keuangan yang terjadi dalam APBD. Tapi kebanyakan daerah menyalah
fungsikan DAU menjadi sumber penerimaan daerah, sehingga keempat permasalahan
terbenam dalam daerah-daerah yang masih menganggap DAU bukan alat penetral
yang sesungguhnya.
2.3.2.3. Dana Alokasi Khusus
Dana alokasi khusus disediakan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan
penghijaun bagi daerah kabupaten penghasil penerimaan sektor kehutanan. Sesuai
dengan ketentuan dalam UU No. 25 tahun 1999 daerah memperoleh alokasi sebesar
40% dari penerimaan APBN sektor kehutanan. Bagi daerah yang akan menggunakan
DAK diwajibkan menyiapkan dana pendamping minimal 10% dari penerimaan umum
APBD. Jika dilihat dari besaran jumlah DAK ini, tidak seberapa signifikan
peranannya. Namun apabila dikaitkan dengan fungsi belanja itu dengan upaya
pemilihan kondisi ekosistem suatu daerah yang memiliki asset sumber daya hutan,
maka peranan DAK menjadi sangat strategis untuk membiayai investasi jangka waktu
menengah yang nantinya akan bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan rakyat
Sementara itu menurut ketentuan peraturan pemerintah No. 104 tahun 2000
tentang dana perimbangan terdapat ketentuan mengenai dana alokasi khusus seperti
berikut:
a. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu dan membiayai
kebutuhan khusus dengan memperhatikan tersediannya dana dalam APBN.
b. Kebutuhan khusus yang dibiayai dengan DAK yaitu kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU dan atau kebutuhan
yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
c. 40% dari penerimaan negara yang berasal dari dana reboisasi disediakan kepada
daerah sebagai DAK untuk membantu membiayai kegiatan reboisasi dan
penghijauan.
d. Kriteria teknis sektor/kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK ditetapkan oleh
Menteri teknis terkait.
e. DAK diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah. Penyediaan
DAK memerlukan adanya dana pendamping sebesar 10% dari penerimaan umum
APBD (kecuali DAK reboisasi).
f. Pengalokasian DAK ditetapakan oleh Menteri Keuangan dengan memperhatikan
pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Teknis terkait
dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional.
g. Kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK yaitu biaya administrasi, biaya
perjalanan dinas dan biaya administrasi umum dan lain-lain biaya umum sejenis.
h. Penyaluran DAK dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Pemerintah Daerah juga sangat mengharapkan agar Pemerintah Pusat dapat
memberikan kriteria-kriteria yang pasti dan leluasa kepada Pemerintah Daerah dalam
menggunakan DAK, misalnya untuk membiayai masalah pengungsi, bencana alam,
pemekaran daerah serta kondisi darurat tertentu.
2.3.3. Pinjaman Daerah
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa Pinjaman Daerah adalah
sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan
Dana Pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah
yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana. Daerah atau harta
tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan
yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat
bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, daerah dimungkinkan melakukan peminjaman
untuk mengatasi masalah jangka pendek yang berkautan dengan kas daerah.
Pinjaman daerah harus disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat
menimbulkan beban APBD tahun-tahun berikutnya yang cukup berat sehingga perlu
didukung dengan keterampilan perangkat daerah dalam mengelola pinjaman daerah.
Adapun sumber-sumber pinjaman daerah yaitu:
1. Pinjaman daerah dari dalam negeri bersumber dari:
a. Pemerintah Pusat. Ketentuan-ketentuan mengenai pinjaman yang bersumber
dari Pemerintah Pusat seperti jenis, jangka waktu pinjaman, masa tenggang,
tingkat bunga, cara penghitungan dan cara pembayaran bunga,
pengadministrasian dan penyaluran dana pinjaman, ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
b. Lembaga Keuangan Bank. Pelaksanaan pinjaman daerah yang bersumber dari
lembaga keuangan bank mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c. Lembaga Keuangan Bukan Bank. Pelaksanaan pinjaman daerah dari LKBB
mengikuti peraturan yang berlaku.
d. Masyarakat. Pinjaman daerah dari masyarakat melalui penerbitan obligasi
daerah. Pelaksanaan dan pembayaran kembali obligasi daerah mengkuti
peraturan yang berlaku.
e. Sumber lainnya. Pinjaman daerah lainnya berasal dari pemerintah daerah lain.
2. Pinjaman daerah dari luar negeri dapat berubah pinjaman bilateral atau pinjaman
multilateral.
2.3.4. Lain-Lain Penerimaan Daerah Yang Sah
Lain-lain penerimaan daerah yang sah mencakup hibah atau penerimaan dari
Daerah Propinsi atau Daerah Kabupaten/Kota lainnya dan penerimaan lain sesuai
2.4. Belanja Rutin Daerah
Belanja rutin daerah adalah bagian dari anggaran belanja dan pendapatan
daerah (APBD) untuk membiayai program kerja pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugas-tugas umum pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dengan
kata lain belanja rutin adalah dana yang disediakan untuk membiayai kegiatan
operasional pemerintah daerah supaya dapat menjalankan tugas-tugasnya dalam satu
tahun anggaran. Agar dapat mengetahui jumlah dan besarnya dana yang diperlukan,
harus dibuatkan suatu negara yang dapat diartikan sebagai suatau perkiraan
penerimaan dan pengeluaran. Oleh karena itu, dalam mengalokasikan dana anggaran
rutin harus mengacu pada prioritas dan kemampuan penerimaan daerah yang
bersangkutan. Berdasarkan hasil kajian empiris tampak bahwa anggaran rutin
merupakan salah satu fungsi dari kenaikan pendapatan daerah. Artinya jumlah
anggaran rutin akan mengalami kenaikan jika pendapatan daerah meningkat.
2.4.1. Peranan Anggaran Belanja Rutin dalam APBD
Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan daerah, anggaran rutin memiliki
peranan penting agar roda pemerintahan dapat berjalan. Artinya dengan tersedianya
dana rutin akan dipergunakan untuk:
a. Pembiayan administrasi pemerintahan.
b. Pembiayaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum.
c. Pemeliharaan asset daerah.
d. Membiayai kegiatan operasional proyek-proyek pembangunan yand selesai
dibangun.
e. Meningkatkan tabungan pemerintah antara melalui penghematan pemakaian
sumber-sumber kekayaan daerah. Penghematan belanja rutin penting, karena jika
dana itu digunakan secara tepat akan mempengaruhi kelancaran jalannya roda
pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada public.
Prinsip penyusunan rencana belanja rutin selain didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, juga memperhatikan asas berikut ini:
a. Memperbandingkan dengan anggaran dan realisasi tahun sebelumnya.
b. Memperhatikan prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan pada masing-masing
dinas sesuai dengan kemampuan keuntungan daerah.
Selain memperhatikan ketiga prinsip tersebut diatas dalam penyusunan anggaran
belanja daerah secara implisit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Angaran belanja harus disusun secara menyeluruh, mencakup semua kegiatan
dalam satu kesatuan unit organisasi sehingga tercermin suatu rencana kerja yang
akan dilaksanakan.
b. Rencana kerja yang disusun dan alokasi biaya agar dirinci secara jelas dan tertib
sesuai dengan unit kerjanya masing-masing.
c. Jumlah biaya yang dibebankan adalah wajar dan hemat.
d. Transparansi dalam menyediakan anggaran belanja yang dialokasikan kepada
masing-masing dinas sehingga mudah dilakukan kontrol.
Selanjutnya dalam penyusunan anggaran terdapat beberapa hal yang perlu
mendapatkan perhatian karena apabila diabaikan akan membawa dampak terjadinya
defisit dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak mencapai sasaran. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
a. Arah kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah
misalnya, memprioritaskan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan.
Kebijakan ini akan mempeoleh jumlah penyediaan dana untuk pembangunan
gedung sekolah. Terlebih lagi jika kepada siswa dibebaskan uang pembinaan
pendidikan.
b. Perubahan struktur organisasi pemerintah daerah sebagai akibat pelimpahan
pegawai instansi vertikal atau karena dibentuknya unit yang baru.
c. Realisasi anggaran tahun lalu sebelumnya akan berpengaruh terhadap besaran
jumlah anggaran yang sedang disiapkan untuk tahun depan.
d. Kebutuhan riil bagi setiap belanja juga akan mempengaruhi rencana anggaran.
e. Penentuan jumlah alokasi dana menurut kewajaran dalam batas memungkinkan
tugas-tugas dapat dilaksanakan.
2.4.2. Kelompok Kerja
Pada tahun anggaran 1999/2000 dan tahun 2000, belanja daerah
kabupaten/kota:
a. Belanja pegawai
b. Belanja barang
c. Belanja pemeliharaan
e. Belanja lain-lain
Kelancaraan pelaksanaan tugas umum pemerintah merupakan ukuran utama
keberhasilan pemerintah. Dengan perkataan lain pemberian pelayanan kepada
masyarakat merupakan tolok ukur keberhasilan pemerintah daerah. Dalam kaitan ini
misalnya pebangunan gedung kantor akan menunjang pemberian pelayanan yang
lebih cepat dan tepat. Oleh karena itu, penyediaan anggaran rutin secara tepat waktu
dan tepat jumlah penting sekali agar terwujud kelancaran dan peningkatan pelayanan
kepada masyarakat.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah antara lain dalam jangka
panjang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat didaerahnya. Hal ini
membutuhkan dan rutin yang cukup serta administrasi pemerintah yang baik. Kata
”baik” diartikan efisien dan mencapai sasaran. Apabila kondisi ini tidak dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah, maka masyarakat akan merasa kurang puas
terhadap pelayanan yang diberikan, karena akan terjadi biaya birokrasi diluar sistem
anggaran yang membebani masyarakat.
2.5. Belanja Pembangunan Daerah
Belanja pembangunan daerah yaitu pengeluaran pemerintah daerah yang
bersifat penambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik
dan nonfisik. Belanja pembangunan daerah merupakan pengeluaran yang ditujukan
untuk membiayai program-program pembangunan sehingga anggaranya selalu dapat
disesuaikan dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada
berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang direncanakan. Belanja pembangunan
daerah seperti keperluan pembangunan sektor industri, pertanian dan kehutanan,
sumberdaya air dan irigasi, tenga kerja, transportasi, pariwisata dan komunikasi dan
sebagainya.
2.6. Produk Domestik Regional Brutto (PDRB)
PDRB merupakan nilai netto dari barang dan jasa (nilai produksi dikurang
biaya antara) yang dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomiyang melakukan kegiatan
produksi dalam batas wilayah suatu provinsi. Dalam pengertian sektoral, PDRB
merupakan penjumlahan dari nilai tambah yang diciptakan oleh seluruh sektor
pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik,gas dan ari
minum, sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restauran, sektor
pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serat
sektor jasa-jasa.
PDRB dapat dihitung dari penggunaan komponen faktor-faktor produksi yang
digunakan dalam memproduksi suatu barang/jasa. Oleh karena itu, komponen PDRB
terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha (bunga, sewa dan keuntungan), penyusutan
dan pajak tidak langsung.
Dari segi penggunaannya, PDRB dapat pula didefenisikan sebagai jumlah dari
pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga (Ch), penggeluaran untuk konsumsi (Cg),
pembentukan modal tetap (I), perubahan stok (S) dan ekspor netto (X-M). Pengertian
PDRB yang terakhir ini sebenarnya merupakan ”keynesian model”, Y=C+S ; S=I;
Y=C+I. Jadi PDRB menjadi Y=Ch+Cg+I+S(X-M).
Selanjutnya pengertian mengenai PDRB hampir sama dengan PDB, hanya
perhitungannya mencakup nasional.
2.6.1. Pendekatan Perhitungan PDRB
a. Pendekatan Produksi/Supply
PDRB adalah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan olrh berbagai unit
produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (1 tahun). Unit produksi
dalam penyajian dikelompokkan dalam 9 sektor atau lapangan usaha yaitu
pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air,
bangunan, hotel dan restauran, pengangkutan dan komunikasi, jasa keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan dan jasa-jasa.
Modelnya:
PDRB = NTB sektor 1 + NTB sektor 2 + ... + NTB sektor 9
(NTB = Nilai Produksi (Output) – Biaya Antara)
b. Pendekatan Pendapatan/Income
PDRB merupakan penjumlahan seluruh komponen permintaan terakhir yaitu: Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari
untung
Pembentukan modal tetap domestik brutto Perubahan stok
Ekspor netto dalam jangka waktu tertentu Modelnya:
PDRB = Sewa Tanah + Bunga/ Deviden + Upah/Gaji + Keuntungan
c. Pendekatan Pengeluaran/Expenditure
PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta
dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa
faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal
dan keuntungan, semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan
pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB kecuali faktor pendapatan,
termasuk pola komponen penyusutan dan pajak tidak langsung netto.
Jumlah semua komponen pendapatan ini menurut sektor disebut sebagai nilai
tambah bruto sektoral. PDB adalah jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor
(lapangan usaha).
Modelnya:
PDRB = C (Private + Goverment) + Investment (FC) + ∆ Inv + Ex-Im
Dari 3 pendekatan tersebut secara konsep jumlah pengeluaran tadi harus sama
dengan jumlah barang jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah
pendapatan untuk faktor-faktor produksinya. Selanjutnya PDRB yang telah diuraikan
diatas disebut PDRB Atas Dasar Harga Pasar.
2.6.2. Cara Penilaian Harga Konstan
Perhitungan PDRB atas dasar harga tahun dasar tertentu (dipakai tahun 1993)
sangat penting untuk mengetahui perkembangan riil agregat ekonomi yang diamati
dari tahun ke tahun. Harga konstan artinya harga produk didasarkan atas harga pada
tahun tertentu. Tahun yang dijadikan patokan harga disebut tahun dasar untuk
penentuan harga konstan. Jadi, kenaikan pendapatan hanya disebabkan oleh
meningkatnya jumlah fisik produksi, karena harga dianggap konstan. Pada sektor jasa
yang tidak memiliki unit produksi, nilai produksi dinyatakan dalam jumlah harga jual.
Sehingga harga jual dideflasikan dengan menggunakn indeks inflasi atau defalator
lainnya dianggap lebih sesuai. BPS sekarang lebih memakai tahun dasar penentuan
Agregat yang dimaksud dapat berupa PDRB secara keseluruhan maupun
PDRB sektoral. Dalam penghitungan nilai tambah atas dasar harga konstan dikenal 4
cara, sebagai berikut:
a. Revaluasi
Metode ini dilakukan dengan cara menilai produksi dan biaya antara pada,
masing-masing tahun dengan harga pada tahun dasar (tahun 1993). Selisih nilai
produksi dan biaya atas dasar harga konstan merupakan nilai tambah atas dasar
harga konstan.
b. Ekstrapolasi
Nilai tambah suatu tahun atas dasar harga konstan 1993 diperoleh dengan cara
mengekstrapolasi nilai tambah pada tahun dasar dengan indeks produksi. Indeks
produksi ini merupakan indeks dari masing-masing atau sekelompok komoditas
hasil produksi (output) atau indeks dari berbagai indikator produksi seperti tenaga
karja, kapasitas produksi (mesin, kendaraan dan sebagainya) dan lain-lain sesuai
dengan jenis kegiatan ekonomi yang ada.
Ekstrapolasi dapat pula dilakukan terhadap penghitungan nilai produksi atas dasar
harga konstan. Yang perlu diperhatikan dalam cara ini adalah penentuan
ektrapolatornya. Kuantitas produksi dari masing-masing sektor/sub sektor
merupakan ekstrapolator yang terbaik.
c. Deflasi
Penghitungan nilai tambah atas dasar harga konstan 1993 dapat pula dilakukan
dengan cara deflasi, yaitu dengan cara mebagi nilai tambah bruto atas dasar harga
berlaku pada masing-masing tahun dengan indeks harga sesuai dengan
kegiatannya. Indeks harga yang digunakan sebagai deflator antara lain Indeks
Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga Perdagangan Besar, Indeks Produsen dan
sebagainya.
d. Deflasi Berganda
Pada deflasi berganda ini yang diseflasikan adalah nilai produksi dan biaya antara
pada masing-masing tahun, sedangkan nilai tambahnya diperoleh dari selisih
keduanya yang merupakan hasil deflasi. Indeks harga yang digunakan sebagai
deflator dalam perhitungan nilai produksi atas dasar harga konstan biasanya
adalah indeks harga produsen atau indeks harga perdagangan besar sesuai dengan
biaya antara atas dasar harga konstan adalah indeks harga dari komponen biaya
terbesar komoditinya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mencakup apakah PDRB mempengaruhi Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Daerah (APBD) yaitu Total Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli
Daerah, Belanja Daerah Sumatera Utara selama kurun waktu 1993 - 2007.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data digunakan adalah data sekunder yang berbentuk angka kuantitatif
tahunan dari tahun 1993 hingga tahun 2007. Data diperoleh dari Website Departemen
Keuangan, perpustakaan Bank Indonesia Sumatera Utara, BPS Sumatera Utara dan
sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian.
3.3. Pengolahan Data
Pengolahan data yang akan digunakan adalah program Eviews 5.
3.4. Model dan Metode Analisis Data
Model yang digunakan untuk menganalisa pengaruh PDRB terhadap APBD
Sumatera Utara adalah dengan menggunakan ekonometrika. Sedangkan metode
analisisnya akan menggunakan model kuadarat terkecil biasa (Ordinary Least
Square).
Adapun model-model persamaan digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
LTPD = α0 + α1 LPDRB + D+ µ …………. (1)
LPAD = β0 + β1 LPDRB + D + µ ... (2)
LBD = ∂0 + ∂1 LPDRB + D + µ ... (3)
Dimana:
TPD = Penerimaan Daerah Sumatera Utara (Juta Rupiah)
PAD = Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara (Juta Rupiah)
BD = Belanja Daerah Sumatera Utara (Juta Rupiah)
α0,β0,∂0 = Konstanta
α1,β1,∂1 = Koefisien Regresi
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto diproxy dengan harga konstan tahun
1993 (Juta Rupiah)
D = Variabel boneka (0=sebelum otonomi; 1=setelah otonomi)
3.5. Uji Kesesuaian (Ordinary Least Square)
Model ini menjelaskan tentang suatu hasil analisa yang menggunakan data
time series untuk mengestimasi dengan model Ordinary Least Square (OLS).
1. Koefisien Determinasi (R-Square/ R2)
Koefisien Determinasi yang dinotasikan R2, merupakan suatu ukuran yang penting
dalam regresi karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi
yang diestimasi. Nilai koefisien determinasi mencerminkan seberapa besar variasi
dari variabel terikat dapat diterangkan oleh variabel bebasnya. Bila R2 = 0 artinya,
variasi dari variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebasnya.
Sementara R2 = 1 artinya variasi variabel terikat dapat diterangkan variabel
bebasnya.
2. Uji t-statistik
Uji t merupakan suatu pengujian untuk mengetahui apakah masing-masing
koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan
menganggap variabel independen lain konstan. Pengaruh variabel independen
PDRB terhadap Penerimaan Daerah, Penerimaan Asli Daerah dan Belanja Daerah
dilakukan tingkat kepercayaan.
Adapun uji-t dapat didefenisikan sebagai berikut:
H0 : β1 = 0 Tidak signifikan
Hi : β1≠ 0 Signifikan
Dengan kriteria sebagai berikut:
H0 diterima jika t hitung < t tabel
Artinya variabel bebasnya tidak mempengaruhi variabel terikatnya.
H0 ditolak jika t hitung > t tabel
Artinya variabel bebasnya mempengaruhi variabel terikatnya.
3.6. Uji Asumsi Klasik
Dalam hal ini dipakai Uji Autokorelasi saja. Uji ini merupakan hubungan
variabel-variabel dari serangkaian yang tersusun dalam rangkain waktu. Autokorelasi
sama. Autokorelasi dapat terjadi jika kesalahan pengganggu suatu periode korelasi
dengan kesalahan pengganggu periode sebelumnya. Untuk mendeteksi adanya
autokorelasi dalam penelitian dilakukan Uji Lagrange Multiplier Test (LM-Test).
Dengan membandingkan nilai X2 hitung dengan X2 tabel, kriteria penilaian adalah:
a. Jika nilai X2 hitung > X2 tabel, maka hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak
ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak.
b. Jika nilai X2 hitung < X2 tabel, maka hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak
ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan diterima.
3.7. Defenisi Operasional
Untuk membatasi ruang lingkup variabel yang ada, maka defenisi operasional
variabel-variabel yang terkait adalah sebagai berikut:
a. PDRB harga konstan tahun 1993, adalah penerimaan dari ke-9 sektor atau
lapangan uasah daerah seperti sektor pertanian, industri, bangunan dan
sebagainya. (dalam juta rupiah)
b. Penerimaan Daerah adalah seluruh penerimaan yang bersumber dari pendapatan
asli daerah, dana perimbangan, pinjaman pemerintah daerah dan lain-lain
penerimaan daerah yang sah. (dalam juta rupiah)
c. Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang berasal dari pajak daerah,
retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan lain-lain pendapatan daerah
yang sah. (dalam juta rupiah)
d. Belanja Daerah adalah belanja yang terdiri dari belanja rutin daerah yang
merupakan pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah untuk membiayai
pegawai, barang, pemeliharaan, perjalanan dinas maupun pengeluaran tidak
tersangka dan belanja pembangunan daerah yang merupakan pembiayaan
infrastruktur daerah seperti bangunan-bangunan untuk sektor pertanian dan jalan
raya untuk sektor jalan raya. (dalam juta rupiah)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK)
PDRB Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga berlaku (adhb) pada tahun
2002 sebesar Rp. 86.741.280 juta. Sektor pertanian kembali sebagai kontributor utama
dengan peranan mencapai 29,10 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor industri sebesar
27,15 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restauran 18,84 persen. Sementara
sektor-sektor lain hanya memberikan total kontribusi sebesar 24,91 persen terhadap
perekonomian di Sumatera Utara.
Untuk melihat produktivitas ekonomi (dengan mengabaikan inflasi), maka
digunakan PDRB atas dasar harga konstan (adhk). Berdasarkan harga konstan tahun
1993, PDRB Sumatera Utara pada tahun 2002 sebesar Rp. 25.925.360 juta. Sektor
listrik, gas dan air bersih mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 8,60 persen
diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 7,89 persen dan sektor industri
sebesar 7,26 persen. Secara keseluruhan perekonomian Sumatera Utara pada tahun
2002 naik sebesar 4,04 persen jika dibandingkan tahun 2001.
Tabel 4.1 PDRB ADHB dan ADHK Provinsi Sumatera Utara, 2002 – 2007
(dalam Juta Rupiah)
Tahun PDRB ADHB PDRB ADHK 1993
2002 86.741.280,00 25.925.360,00
2003 96.233.390,00 27.071.250,00
2004 114.647.290,00 28.688.853,00
2006 160.033.720,00 25.272.416,52
2007 181.819.740,00 27.234.454,02
Sumber: Sumatera dalam Angka, 2002-2007 dan BI
PDRB Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga berlaku (adhb) pada tahun
2006 sebesar Rp. 160.033.720 juta. Sektor pertanian kembali sebagai kontributor utama
dengan peranan mencapai 25,74 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor pertanian
sebesar 22,18 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restauran 18,96 persen.
Sementara sektor-sektor lain hanya memberikan total kontribusi sebesar 33,12 persen