• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapat Pribadi Tentang Pesimis Atau Optimis Pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010 (Manajemen Strategik Rumah Sakit)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pendapat Pribadi Tentang Pesimis Atau Optimis Pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010 (Manajemen Strategik Rumah Sakit)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAPAT PRIBADI TENTANG PESIMIS ATAU

OPTIMIS PENCAPAIAN VISI INDONESIA SEHAT 2010

(Manajemen Strategik Rumah Sakit)

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

RINA AMELIA

067013030

PROGRAM MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

SEKOLAH PASCASARJANA USU

MEDAN

(2)

VISI INDONESIA SEHAT 2010

Oleh : Rina Amelia (067013030)

WHO telah menetapkan program Sehat Bagi Semua tahun 2000 (Health For All

2000) dengan tolok ukur sebagai berikut: (1) Angka Harapan Hidup pada saat lahir 60

tahun; (2) Angka Kematian Bayi di bawah 50 per 1,000 kelahiran hidup; dan (3) Angka

Kematian Balita di bawah 70 per 1000 kelahiran hidup.

Ditinjau dari HDI (Human Development Index) atau Indeks Pembangunan

Manusia yang dikembangkan oleh UNDP, sampai dengan tahun 1997, indeks kita terus

mengalami perbaikan, bahkan sudah sejak tahun 1980 Indonesia termasuk dalam kategori

menengah. Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks komposit dari indeks

harapan hidup, indeks pendidikan, dan indeks pendapatan nasional untuk mengukur

tingkat perkembangan pemerataan pembangunan. Namun krisis moneter yang lalu telah

menyebabkan peringkat kita terpuruk, sehingga pada tahun 2002 peringkat Indonesia

turun di urutan ke-110, tepat di bawah Vietnam. “Krismon” yang berkepanjangan itu

akhirnya menyebabkan posisi Indonesia merosot lagi ke peringkat 112 pada tahun 2003.

Indeks global yang diciptakan lembaga-lembaga dunia seperti WHO dan UNDP

tidak mampu menangkap disparitas pembangunan yang sifatnya subtil, sehingga kedua

indeks tersebut memberikan kesan keberhasilan semu dan cenderung membuat kita

terlena.

Visi Indonesia Sehat 2010

Visi Indonesia Sehat 2010 yang telah dirumuskan oleh Dep.Kes (1999)

menyatakan bahwa, gambaran masyarakat Indonesia dimasa depan yang ingin dicapai

melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai

oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku yang sehat, memiliki

kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan

merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah

(3)

Dalam dokumen Visi Indonesia Sehat (VIS) 2010, dijelaskan bahwa Misi

pembangunan kesehatan adalah (1) menggerakkan pembangunan kesehatan berwawasan

kesehatan, (2) mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, (3) memelihara

dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau, dan (4)

memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta

lingkungannya.

Berdasarkan UU Kesehatan No.23 tahun 1992, pengertian sehat meliputi

kesehatan jasmani, rohani, serta sosial dan bukan hanya keadaan bebas dari penyakit,

cacat dan kelemahan. Masyarakat Indonesia yang dicita citakan adalah masyarakat

Indonesia yang mempunyai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat

sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, sebagai salah satu unsur dari

pembangunan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya.

Visi tersebut telah tiga tahun yang lalu berhasil dirumuskan oleh Departemen

Kesehatan RI yang mestinya telah dijabarkan kedalam program kerja yang lebih bersifat

operasional untuk mencapai visi itu.

Pembangunan Kesehatan tahun-tahun belakangan ini bisa dibilang cukup

fenomenal dalam perjalananan pembangunan kesehatan bangsa. Silih berganti

permasalahan muncul. Deretan angka yang menunjukkan masih lemahnya intervensi

pembangunan kesehatan, terutama pada daerah-daerah pedalamanan dan terpencil, masih

setia bertengger dalam tabel dan grafik pembangunan. Fenomena beban ganda (double

burden) juga tidak kalah menariknya disimak, diperparah dengan merebaknya kasus new

emerging forces semisal munculnya wabah flu burung yang mematikan sedikitnya 7

orang di beberapa daerah. Jika melihat indeks yang lebih peka seperti status gizi balita,

terlihat bahwa gizi balita Indonesia masih belum berhasil ditangani dengan baik. Indeks

balita bergizi baik yang untuk tahun 2001 ditargetkan sebanyak 80% ternyata hanya

mampu dicapai 64,14% (Profil Kesehatan Indonesia 2001).

Hasil Susenas 2001 menunjukkan persentase WUS yang menderita KEK 21,53%.

(4)

lebih sensitif lainnya adalah indeks kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur

(WUS) yang menunjukkan status gizi wanita usia subur usia 15-49 tahun dengan

menggunakan standar lingkar lengan atas (LILA) <23,5 cm. Hasil Susenas 2001

menunjukkan persentase WUS yang menderita KEK 21,53%. Artinya, masih meleset dari

target tahun 2001 yang ditetapkan sebesar 20%. Berdasarkan standar WHO,7 ini berarti

situasi rawan pangan di tingkat rumah tangga sudah berada pada tingkatan serius

sehingga perlu perhatian khusus. Dari segi ketersediaan pangan nasional, konsumsi

rata-rata penduduk Indonesia sesungguhnya masih di atas kecukupan asupan kalori yang

dianjurkan. Namun diakui bahwa selama lima tahun terakhir millenium kedua telah

terjadi kerawanan pangan di tingkat rumah tangga. Pada tahun 1995 terdeteksi 49%

rumah tangga di wilayah perkotaan dan 53% rumah tangga di perdesaan mengalami

defisit kalori, dan kondisi ini semakin memburuk pada tahun 1997 dan 1998. Situasi ini

tampak pada adanya prevalensi anemia yang merupakan proksi indikator dari rendahnya

kualitas asupan makanan. Anemia pada anak, khususnya anak di bawah dua tahun, akan

berakibat sangat buruk pada status kesehatan, menurunkan prestasi akademik dan

mengganggu pertumbuhan psiko-sosial anak, sedangkan pada orang dewasa akan

menurunkan kinerja dan produktivitas masyarakat.

Data memperlihatkan bahwa di daerah perdesaan anemia pada anak baduta (6-23 bulan)

berkisar antara 67% – 81%, kondisi terburuk ditemui di Lombok, sedangkan di daerah

kumuh dan miskin perkotaan antara 66% – 72%, dan keadaan terburuk ditemui di

Makassar. Secara keseluruhan lebih dari 65% anak baduta berada dalam kondisi anemik,

namun sampai saat ini belum ada program nasional untuk mengatasi masalah ini.

Setelah diguncang hebat oleh pemberitaan media massa tentang bencana

kelaparan dan busung lapar endemik di daerah NTB diikuti oleh sejumlah daerah lainnya,

kita pun tidak luput disapa oleh penyakit klasik yang diakui telah dieradikasi (ditekan

hingga zero growth), polio. Tahun ini pula, program kompensasi pengurangan subsidi

BBM (PKPS-BBM) diformulasikan menjadi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Masyarakat Miskin (JPKMM), dalam bentuk Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat

Miskin (ASKESKIN) yang dikelola oleh PT Askes (Persero), yang diperuntukkan bagi

(5)

sejumlah problem, khususnya dalam penentuan siapa yang “berhak” dan

pendistribusiannya di daerah-daerah.

Di beberapa tempat, masih juga banyak rumah sakit yang menolak melayani

pasien yang datang tidak dengan dokumen lengkap meski kasusnya terbilang gawat dan

atau darurat. Obat-obatan juga tetap masih sulit dijangkau oleh mereka yang tidak

memiliki kemampuan ekonomi memadai. Berbagai program eradikasi penyakit-penyakit

infeksi tropic semisal TB, Malaria dan DBD, masih terkesan jalan di tempat. Semestinya

fungsi ini diperankan oleh puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di

masyarakat. Tetapi apa bisa dikata. Rasio Puskesmas dengan penduduk saat ini masih

jauh dari proporsional, terutama pada daerah pelosok. Tahun 2002 lalu, rasio Puskesmas

berbanding penduduk adalah 1: 27.600. Dalam keterbatasn itu, dari ribuan puskesmas

yang ada, sebagian besarnya belum difungsikan dengan maksimal.

Peter Stalker dalam bukunya Beyond Krismon, The Social Legacy of Indonesia’s

Financial Crisis (2000), sebagaimana dikutip Kompas dalam Laporan Akhir Tahun

2005-Humaniora, menuliskan bahwa ribuan puskesmas yang ada di Indonesia memang tidak

sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat. Kendalanya adalah mahalnya biaya

transportasi menuju puskesmas. Tulisan Stalker ini sekaligus menggambarkan bahwa

tanpa didukung oleh sector pembangunan lain, pembangunan kesehatan tidak akan

berjalan optimal. Kita masih tetap di persimpangan jalan.

Selain di atas, di era reformasi saat ini, masih banyak program pembangunan kesehatan

dalam frame desentralisasi terkesan masih dilaksanakan secara “tertutup” dan tidak

transparan, mungkin karena hampir tidak ada elemen sosial yang menggerakkan fungsi

pengawasan (watching) kebijakan pembangunan kesehatan di pusat dan daerah-daerah

atau karena memang “mental model” pejabat-pejabat kesehata. Kita tentunya belum lupa

dengan berkembangnya dugaan bahwa dana dekonsentrasi bidang kesehatan yang

miliaran rupiah beberapa bulan lalu telah dikorupsi oleh pejabat berwenang di beberapa

dinas kesehatan daerah. Sekarang ini, potensi masalah kembali terbuka lebar dengan

dikucurkannya dana Dezentralisation Health Service (DHS) kepada dinas kesehatan

propinsi dalam jumlah yang cukup melimpah. njelang penghujung tahun ini,

(6)

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat di bawah Alwi Shihab

menggelar Seruan Aksi Nasional (SAN) dengan tema “Tingkatkan Derajat Kesehatan

Masyarakat” di Jakarta pada tanggal 21-22 November 2005 lalu. Pertemuan yang diikuti

oleh para Gubernur dan ketua DPRD dari 33 provinsi di Indonesia itu berhasil

menyepakati “Tri Aksi” yang tertuang dalam Deklarasi Peningkatan Derajat Kesehatan

Masyarakat.

Tri Aksi yang dimaksudkan adalah pertama, daerah segera menindaklanjuti hasil

pertemuan Seruan Aksi Nasional menjadi kegiatan nyata di lapangan. Hal ini dilakukan

dengan segera menetapkan satu kabupaten atau kota sebagai percontohan (pilot project).

Kedua, daerah akan mengembangkan program lintas sektoral yang melibatkan dana

mengikutsertakan institusi nonpemerintah dan masyarakat secara konkret, terjadwal dan

terukur. Ketiga, daerah akan menyiapkan dukungan anggaran secara proporsional dan

optimal dalam meningkatkan program aksi.

Menurut Menko Kesra Alwi Shihab, Seruan Aksi Nasional ini diselenggarakan dalam

rangka mempercepat pencapaian pembangunan millennium bidang kesehatan. Tetapi jika

lebih dicermati, sesungguhnya isi dari Tri Aksi ini hanya merupakan penyederhanaan

Visi Indonesia Sehat 2010 yang sampai saat ini belum cukup meyakinkan untuk bisa

kita capai.

Dalam strategi pelaksanaannya, VIS 2010 dilaksanakan dengan jenjang ke bawah;

Propinsi sehat 2008, Kabupaten/kota sehat 2006, Kecamatan sehat 2004, dan Desa sehat

2002. Meskipun tidak bermaksud mengecilkan semangat untuk mencapai tujuan VIS

2010, toh kita bisa melihat capaian indikator dan level yang dijalankan saat ini. Jika

merunut dari penjelasan pada bagian-bagian awal tulisan ini, maka akan tampak jelas,

bahwa tanpa perubahan strategi dan penekanan kembali pada komitmen

mengimplementasikan VIS 2010, maka Indonesia Sehat 2010 akan tidak lebih dari

sekadar utopia semata. Jika kebijakan pembangunan kesehatan saat ini tidak segera

direformasi, terutama dalam meletakkan pembangunan kesehatan pada aras untuk

diprioritaskan dalam kebijakan politik bangsa, maka tak ayal kita akan semakin terpuruk

(7)

turut mempengaruhi tingkat kecerdasan dan kualitas manusia Indonesia secara

keseluruhan.

Setelah meninjau uraian di atas dan melihat fakta di lapangan, saya pribadi menjadi

pesimis untuk tercapainya Indonesia Sehat 2010, karena untuk mencapai cita-cita

Indonesia Sehat 2010 kita harusnya mempunyai sistem kesehatan yang dilaksanakan

secara paripurna, dengan tranparansi dan pertanggungjawaban public yang accountable,

dengan mengedepankan pemihakan kepada mereka yang tidak mampu. Tapi

kenyataannya sistem itu dibuat sedemikian rupa tapi hanya sebagai topeng dan tidak

dijalankan sebagaimana seharusnya, apa mungkin kita bisa mencapai cita-citanya?

Bagaimana pun keadaannya, negara (pemerintah) bertanggung jawab menyehatkan

(8)

DAFTAR PUSTAKA

1. Indikator Indonesia Sehat 2010, dan pedoman penetapan indikator provinsi sehat

dan kabupaten/kota sehat

2. Depkes RI, Petunjuk Teknis Program JPS-BK: Sistem Kewaspadaan Pangan dan

Gizi, Jakarta, 1999.

3. Depkes RI, Rencana Aksi Pangan dan Gizi, Jakarta, Juli 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu pembangunan terutama di Indonesia bisa diusahakan untuk sesuai dengan tuntunan agama Islâm yang menitik beratkan pada konsep keadilan terutama

Dari pesan komunikasi politik serat Kala Tida, dapat ditarik kesimpulan bawa subjek dalam hal ini adalah Pujangga memberikan gambaran yang dominan pada rusaknya tatanan

Data spesifikasi cukup penting dalam menentukan apakah amplifier dapat memenuhi kebutuhan sistem audio mobil Anda atau tidak, jadi sebelum menentukan amplifier yang akan digunakan,

Filsafat adalah kegiatan refleksif. Filsafat memang juga kegiatan akal budi, tetapi lebih merupakan perenungan dan suatu tahap lebih lanjut dari kegiatan rasional umum. Yang

• Kuantor Eksistensial adalah suatu pernyataan yang berlaku secara khusus, notasinya “∃x” dibaca “ada nilai x” atau “beberapa nilai x”.. • Ingkaran dari

Tujuan strategi komunikasi dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara rinci strategi – srtategi dari segi rancangan program hingga strategi komunikasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran pemuda dalam mengembangkan Eco Edu Wisata Mangrove dan untuk mengkaji implikasi pengembangan Eco Edu Wisata Mangrove oleh

Ultrafiltrasi (UF) adalah filtrasi membran dimana tekanan hidrostatik memaksa cairan menembus membran semipermeabel sehingga padatan tersuspensi dan pelarut dengan