PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING, EMOTIONAL BRANDING, DAN BRAND TRUST TERHADAP BRAND LOYALTY
(Studi Pada Mahasiswa Pengguna Produk Smartphone Merek Nokia di Universitas Lampung)
(Skripsi)
Oleh
EKA RENNY NOVIATI WAHYUNI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF EXPERIENTIAL MARKETING, EMOTIONAL BRANDING, AND BRAND TRUST TOWARD BRAND LOYALTY
(Study On Student User of Nokia Smartphone Product at Lampung University)
Oleh: Eka Renny
In the current globalization, smartphone manufacturers are required to produce a product that can create a unique experience for its customers (experience), can build relationships with consumers by way of penetrating the consumer emotions needs appropriately (emotional), and can create a sense of confidence in themselves (trust) that consumers will eventually become loyalty base. The purpose of this research is to know the influence of experiential marketing, emotional branding, and brand trust toward brand loyalty of student user of Nokia smartphone product at Lampung University. The type of research that is used in explanatory research. Research population is the student user of Nokia smartphone product at Lampung University with the sample research is 150 people. Analysis data use multiple linear regression test by SPSS 16.0 program.
By that result data analysis known that experiential marketing, and brand trust has influence significantly to brand loyalty, while variable emotional branding have influence insignificant to brand loyalty. Meanwhile, simultaneous testing shows that there is significant influence between experiential marketing, emotional branding, and brand trust to brand loyalty with the value as much as 35,8%. The suggest of this research is Nokia could improve its marketing strategy.
ABSTRAK
PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING, EMOTIONAL BRANDING, DAN BRAND TRUST TERHADAP BRAND LOYALTY
(Studi Pada Mahasiswa Pengguna Produk Smartphone Merek Nokia Di Universitas Lampung)
Oleh: Eka Renny
Di era globalisasi saat ini produsen smartphone dituntut untuk memproduksi produk yang dapat menciptakan pengalaman unik bagi pelanggannya (experience), dapat membangun hubungan dengan konsumen dengan cara menembus kebutuhan emosi konsumen (emotional), dan dapat menumbuhkan kepercayaan pada diri konsumen (trust) yang akhirnya akan menjadi basis loyalitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh experiential marketing, emotional branding, dan brand trust terhadap brand loyalty pada mahasiswa pengguna smartphone merek Nokia di Universitas Lampung. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian eksplanatori. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa pengguna produk smartphone merek Nokia di Universitas Lampung dengan sampel berjumlah 150 orang. Teknik analisis data menggunakan uji regresi linier berganda dengan program SPSS 16.0.
Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa experiential marketing dan brand trust memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand loyalty, sedangkan variabel emotional branding memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap
brand loyalty. Sementara itu, pengujian secara simultan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara experiential marketing, emotional branding, dan brand trust terhadap brand loyalty sebesar 35,8%. Saran dari penelitian ini agar Nokia dapat meningkatkan strategi pemasarannya.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi saat ini yang ditandai dengan semakin canggihnya teknologi
informasi dan selera konsumen yang perlahan-lahan berubah, maka hal ini
menuntut para pemasar untuk mengubah paradigma mereka dari pemasaran
lama ke pemasaran baru. Seperti yang dikatakan oleh Kartajaya (2006) bahwa
saat ini marketing lama (Mars) di bumi telah menjelma menjadi marketing
Venus yang emosional. Kalau di Mars pelanggan fokus ke feature dan benefit, maka di Venus pelanggan fokus ke customer experience. Kalau di Mars pelanggan dilihat sebagai makhluk yang rasional, maka di Venus pelanggan
dilihat sebagai makhluk yang rasional sekaligus emosional. Saat ini untuk
memenangkan pangsa pasar, perusahaan tidak cukup bergantung pada benefit
produk saja, tetapi produk juga harus dapat menciptakan pengalaman unik
yang tak terlupakan bagi pelanggannya (experience) dan produk dapat menawarkan benefit-nya pada tingkat lebih dengan menyentuh sisi emosional konsumen, yakni membangun hubungan dengan konsumen dengan cara
menembus kebutuhan emosi konsumen secara tepat karena hal tersebut yang
nantinya akan menjadi basis loyalitas. Melalui emosi dimaksudkan bagaimana
merek tersebut selalu diingat oleh konsumen dan ketika ia memerlukan suatu
produk, maka ia akan langsung teringat pada suatu merek yang mewakili
produk tersebut. Marc Gobe (2005) menyatakan bahwa pada dasarnya
emotional branding merupakan upaya pengembangan merek dengan menonjolkan manfaat-manfaat emosional produk. Di bidang komunikasi
misalnya, iklan yang baik mestinya bukan sekedar menonjolkan apa manfaat
dan kegunaan riil produk tersebut atau harganya yang mungkin jauh lebih
rendah. Oleh sebab itu, membangun suatu emotional branding sangatlah penting karena pendekatan ini dapat meningkatkan pembelian yang hanya
sekedar dipicu oleh kebutuhan menjadi pembelian yang muncul dari alam
hasrat.
Berbicara tentang produk, maka tidak lepas pula berbicara tentang merek
karena semua produk pada umumnya adalah sebuah merek. Merek adalah label
yang mengandung arti dan asosiasi. Komisaris Unilever Niall Fitzgerald dalam
Kotler (2004) berpendapat bahwa merek adalah gudang penyimpan
kepercayaan yang semakin penting peranannya seiring dengan meningkatnya
jumlah pilihan yang dihadapi masyarakat karena pada dasarnya masyarakat
hanyalah ingin membuat hidup mereka menjadi semakin mudah dan sederhana.
Sejalan dengan itu, Marc Gobe (2005) menyatakan bahwa merek/produk
mempunyai pesona, suatu merek mampu menarik hati konsumen pada tataran
paling dalam melalui emosi konsumen sehingga ketika mereka memilih produk
dengan merek tertentu konsumen akan lebih dipengaruhi oleh hati dan emosi
daripada logika. Sebagai contoh, sebut saja Nokia yang sudah beberapa tahun
Indonesia, bahkan dunia. Mau tahu rahasianya? Secara teknologi, Nokia tak
jauh berbeda dengan ponsel-ponsel lainnya yang mengedepankan teknologi
canggih di dalamnya, namun Nokia memiliki perbedaan dari ponsel lainnya.
Letak perbedaan itu berada pada tagline-nya yang berbunyi: “Nokia Connecting People”. Suatu kalimat sederhana yang berdampak besar bagi
Nokia. Ini berarti bahwa Nokia selain mengedepankan keunggulan teknologi
canggihnya, ia juga memfokuskan pada penyentuhan sisi emosional konsumen
melalui tagline-nya tersebut. Bagi Nokia, teknologi adalah alat yang mengakomodasi kebutuhan emosional konsumen untuk berhubungan
(mengobrol, sharing pendapat, bercanda, curhat, dll) dengan orang lain.
Tak dipungkiri bahwa di Indonesia sudah semakin banyak pengguna
handphonetanpa memandang strata sosial. Hal tersebut terlihat pada penelitian
yang dilakukan oleh Nielsen Company Indonesia seputar dunia ponsel di
Indonesia seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 1. Kepemilikan Handphone Di Indonesia Dari Tahun 2005 – 2010
Sumber: www.teknojurnal.com
sampai tahun 2010. Sedangkan untuk kepemilikan telepon kabel mengalami
penurunan yang sangat drastis. Jadi dapat disimpulkan bahwa kini masyarakat
telah beralih dari menggunakan telepon kabel ke telepon genggam yang
mungkin dirasa lebih praktis. Begitu pula pada penggunaan smartphone. Kini, orang-orang sudah beralih dari menggunakan handphone biasa ke handphone
pintar dengan sejumlah fasilitas yang menarik nan mumpuni daripada
handphone biasa. Pada mahasiswa misalnya, di era maraknya status jejaring
sosial saat ini memungkinkan mereka menggunakan internet, dan untuk
menjelajah di dunia maya tersebut mereka cukup mengoperasikannya melalui
smartphone. Seperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa merupakan salah satu kelompok yang memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi pada teknologi
canggih semacam ini, dan mahasiswa juga merupakan salah satu kelompok
yang senang berinteraksi atau berbagi pendapat dengan kelompok lain di status
jejaring sosial tertentu.
Berbicara mengenai smartphone, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tomi Ahonen Consulting yang melakukan riset di 42 negara besar menunjukkan
bahwa tingkat penjualan smartphone mencapai 72% dari total penggunaan
smartphone dunia, yakni Singapura (54%), Kanada (39%), Hongkong (35%) Swedia (35%), Spanyol (35%), dan Amerika Serikat (35%). Sedangkan
Indonesia berada di peringkat 38 yang kemudian disusul oleh Meksiko,
Slovakia, China, dan India berturut-turut berada diperingkat 39, 40, 41, dan 42
(www.teknoup.com). Saat ini ponsel pintar yang tengah digandrungi oleh masyarakat Indonesia, khususnya para kawula muda yang menyukai
menggeser kedudukan Nokia, ponsel pintar asal Finlandia yang selama ini
bertahan dengan predikat “Raja Smartphone”-nya. Padahal pada akhir tahun
2010 lalu Nokia masih menguasai pangsa pasar smartphone di Indonesia. Menurut riset Strategy Analitics pada akhir tahun 2010 lalu, Nokia masih
menguasai 34,2% pangsa pasar dibandingkan RIM hanya sekitar 16,7% dan
Apple sekitar 16,2% (www.ichindotech.com). Dalam periode yang sama,
vendor ponsel asal Finlandia itu berhasil mencatat tonggak sejarah baru sebagai
produsen pertama yang memasarkan 100,1 juta unit smartphone secara global. Sementara RIM mampu memasarkan 48,8 juta unit Blackberry yang ternyata
mengalami peningkatan dari tahun 2009 yang hanya mampu memasarkan 34,5
juta unit Blackberry. Namun kini kehadiran ponsel Blackberry dari RIM
mampu mengalahkan kejayaan Nokia selama ini. Hal tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut:
Gambar 2. Data Market Share Smartphone di Indonesia
Dari data di atas, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Frost dan Sullivan
tahun 2011 mengungkapkan bahwa pertumbuhan smartphone secara keseluruhan di Asia, Symbian OS yang merupakan platform smartphone dari Nokia mengungguli pangsa pasar sebesar 52,99% dan Blackberry OS yang
merupakan platform smartphone dari Blackberry hanya 9,64%. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk pertumbuhan smartphone secara keseluruhan di Asia,
smartphone dari Nokia-lah yang unggul, sedangkan untuk di Indonesia sendiri justru Blackberry smartphone yang mengungguli pangsa pasar sebesar 38,64% dan Nokia 38,38%. Dilihat dari perbandingan angka pangsa pasar yang berbeda
tipis antara Blackberry dan Nokia di Indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa
sebagian besar penduduk Indonesia masih ada yang menggunakan platform smartphone dari Nokia, misalnya berupa Symbian OS, Meego OS ataupun Windows Phone 7 OS. Mereka masih mempercayai kehandalan ponsel pintar
asal Finlandia tersebut, seperti keawetan produk, kecepatan dalam browsing, ketajaman kamera, ataupun seringnya Nokia melakukan inovasi pada
produknya, serta beberapa penghargaan yang telah didapatkan oleh Nokia juga
menjadi pertimbangan, diantaranya:
♦ Penghargaan Selular Award 2009 sebagai Best CDMA Phone untuk Nokia
2608
CDMA, Best Camera Phone untuk Nokia N86 8 MP, dan Best Mobile Office Phone untuk Nokia E71
♦ Penghargaan Selular Award 2010 untuk kategori Best Music Phone pada
X6, Best Valuable Phone pada Nokia C3, Best Mobile Office Phone pada Nokia E72, dan Best Phone of The Year untuk Nokia E72
♦ Penghargaan Indonesia Cellular Award (ICA) 2011 sebagai The Best Design
Phone untuk nokia X3-02, dan The Best Performance Phone untuk nokia N8
♦ Penghargaan Best Smartphone pada ajang CES 2012 untuk Nokia Lumia
900
(http://vinadiazpnk1.blogspot.com/2010/04/lima-penghargaan-di-raih-nokia.html). Hal ini membuktikan bahwa Nokia mencoba untuk
mempertahankan kedudukannya sebagai Raja Smartphone, walaupun kedudukannya kini telah digeser oleh Blackberry. Berdasarkan uraian tersebut
di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang experience, emotional, dan brand trust yang dialami konsumen sehingga menjadikan mereka loyal
dengan judul “Pengaruh Experiential Marketing, Emotional Branding, dan
Brand Trust Terhadap Brand Loyalty (Studi PadaMahasiswa PenggunaProduk
Smartphone Merek Nokia Di Universitas Lampung)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan
diteliti adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar experiential marketing berpengaruh terhadap brand loyalty?
4. Seberapa besar experiential marketing, emotional branding, dan brand trust berpengaruh secara simultan terhadap brand loyalty?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh experiential marketing terhadap
brand Loyalty
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh emotional branding terhadap brand loyalty
3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh brand trust terhadap brand Loyalty
4. Untuk mengetahui besarnya pengaruh experiential marketing, emotional branding dan brand trust secara simultan terhadap brand loyalty
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan pemikiran
terhadap pengembangan kajian bidang pemasaran di jurusan Ilmu
Administrasi Bisnis dan dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi
bagi penelitian-penelitian selanjutnya sehingga mampu memperbaiki dan
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perusahaan
sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menentukan langkah dan
kebijakan perusahaan, khususnya dalam penentuan strategi pemasaran, serta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Konsumen A.1 Definisi
American Marketing Association mendefinisikan perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku, dan kejadian di
sekitarnya dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka.
Sedangkan Schiffman dan Kanuk mendefinisikannya sebagai perilaku dalam
mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk
atau jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka
(Sumarwan, 2003). Secara sederhananya, perilaku konsumen itu meliputi: apa
yang dibeli konsumen, mengapa konsumen membelinya, kapan mereka
membelinya, di mana mereka membelinya, dan seberapa sering mereka
membelinya, juga seberapa sering mereka menggunakannya.
B. Proses Belajar Konsumen B.1 Definisi
Terdapat banyak definisi yang diungkapkan para ahli mengenai definisi dari
proses belajar konsumen. Salah satunya pengertian dasar proses belajar
bahwa proses belajar konsumen merupakan proses dimana seseorang
memperoleh pengetahuan dan pengalaman pembelian dan konsumsi yang
akan ia terapkan pada perilaku yang terkait pada masa datang. Sementara itu,
Dharmmesta dan Handoko (2000) mengartikan proses belajar itu sebagai
perubahan-perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil akibat adanya
pengalaman, yang mana perubahan tersebut dapat bersifat tetap ataupun
fleksibel. Pada intinya proses belajar itu memberikan dampak yang besar bagi
perusahaan karena konsumen akan memberikan tanggapan di masa
mendatang dilihat dari pengalaman yang telah mereka alami sebelumnya.
Apabila dari pengalaman sebelumnya konsumen merasa puas, maka
tanggapannya mengenai suatu produk atau jasa akan semakin kuat, dan
konsumen akan memiliki kecenderungan untuk terus membeli produk atau
jasa tersebut setiap kali melakukan pembelian.
C. Experiential Marketing C.1 Definisi
Experiential marketing berasal dari dua kata, yaitu experiential dan
marketing. Experiential berasal dari kata dasar experience yang berarti pengalaman, sedangkan marketing yang berarti pemasaran. Secara harfiah,
experiential marketing dapat dikatakan sebagai pemasaran yang berdasarkan pengalaman. Pengertian experience menurut Schmitt dalam Utami (2009),
kenyataan, angan-angan, maupun virtual. Experiential marketing merujuk pada pengalaman nyata pelanggan terhadap brand, produk, atau service untuk meningkatkan penjualan. Experiential marketing ini sangat berguna bagi perusahaan dalam menciptakan kembali merek yang mengalami penurunan,
mendiferensiasikan sebuah produk dari pesaingnya, menciptakan sebuah
image dan identitas untuk sebuah perusahaan, mempromosikan inovasi, mendorong pembelian, dan menciptakan loyalitas.
Bernd Schmitt yang dikutip dari Nurrohman (2011) mengungkapkan bahwa
merek dapat membantu menciptakan lima tipe pengalaman berbeda, yaitu
mengindera (sense); merasa (feel); berpikir (think); bertindak (act); dan berelasi (relate). Melalui konsep ini, perusahaan mencoba melibatkan konsumen melalui emosi, perasaan, mendorong mereka untuk berfikir,
melakukan tindakan, maupun menjalin komunitas. Keberhasilan perusahaan
akan tertanam lebih dalam di hati pelanggan menjadi sebuah experiential. Menurut Yue et.al (2007) dalam Nurrohman (2011) adanya pengaruh positif
antara experiential marketing dan loyalitas merek melalui aspek-aspek
experiential marketing diantaranya sense, feel, think, act, dan relate. Begitu pula yang dikatakan oleh Schmitt (1999), Munson (2001), Pullen (2001),
Palupi (2001), Stenhouse (2003), Pektus (2004), Hannam (2004), Amir
Hamzah (2007), Fransisca Andreani (2007), Mira Maulani Utami (2009)
bahwa experiential marketing sangat efektif bagi pemasar untuk membangun loyalitas pada merek melalui aspek-aspek sense, feel, think, act, dan relate
jelaslah bahwa indikator dari experiential marketing adalah sense, feel, think, act, dan relate.
C.2 Indikator Dari Experiential Marketing 1) Mengindera (Sense)
Sense merupakan tipe experience yang muncul untuk menciptakan pengalaman panca indera melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan,
rasa, dan bau (Schmitt dalam Indrakusuma, 2011). Namun, indikator
sense yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah pendengaran dan penglihatan. Tujuan sense secara keseluruhan adalah menyediakan kesenangan estetika melalui rangsangan terhadap kelima indera manusia
(Nurrohman, 2011). Sense yang diciptakan oleh suatu organisasi ini dapat memberikan dampak positif ataupun negatif terhadap kepuasan
konsumen akan suatu produk atau jasa, yang kemudian munculah rasa
kepercayaan konsumen terhadap suatu merek/produk tertentu, dan
berakhir pada loyalitas. Dengan adanya loyalitas mungkin konsumen
tidak akan berpikir lagi mengenai harga yang ditawarkan karena berapa
pun harganya, konsumen pasti akan bayar.
2) Perasaan (Feel)
Feel bertujuan memberikan pengalaman yang dimulai dari suasana hati yang lembut sampai pada emosi yang kuat terhadap kesenangan dan
terhadap perusahaan dan merek melalui perangkat penyedia pengalaman
(experiences providers) dengan tujuan untuk mempengaruhi mood
(suasana hati), perasaan dan emosi yang ditimbulkan oleh events
(peristiwa), orang yang melakukan peristiwa, dan objek (suatu hal yang
telah dilihat). Perangkat penyedia pengalaman yang dimaksud berupa:
♦ Komunikasi : Seperti iklan, humas, laporan
tahunan,brosur, dan laporan
berkala.
♦ Identitas Visual/Verbal : Berupa nama, logo, tanda, dan
transportasi.
♦ Kehadiran Produk : Rancangan produk, kemasan.
♦ Merek Bersama : Pemasaran secara khusus (event)
dan pensponsoran, aliansi dan
kemitraan,perlisensian,serta
penempatan produk dalam TV.
♦ Lingkungan : Ruang eceran dan publik, kamar
dagang, bangunan perusahaan,
pabrik, dan interior lain.
♦ Situs Web dan Media Elektronik : Situs korporat, situs produk dan
jasa,email, iklan.
3) Berpikir (Think)
Think bertujuan untuk menciptakan suatu pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berpikir kreatif (Schmitt dalam Indrakusuma,
2011). Think ini mempengaruhi pelanggan agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif dan dapat menciptakan kesadaran melalui proses berfikir
yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap perusahaan, produk, dan
jasa. Sebagai contoh motor Yamaha misalnya dengan menggunakan iklan
yang dapat memberikan gambaran bagi konsumen, citra yang positif
yang dapat membangkitkan kemampuan untuk membeli motor Yamaha.
Slogan “Semakin di depan” motor Yamaha dapat membangkitkan pikiran
konsumen untuk selalu memilih motor Yamaha. Motor Yamaha lebih
baik dari pada yang dijanjikan. Menurut Schmitt dalam Nurrohman
(2011) kampanye think dapat diciptakan melalui: (1) Kejutan (Surprise)
Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun
pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif.
Kejutan dihasilkan ketika pemasar memulai dari sebuah harapan.
Kejutan harus bersifat positif, yang berarti pelanggan mendapatkan
lebih dari yang mereka minta, lebih menyenangkan dari yang mereka
harapkan, atau sesuatu yang sama sekali lain dari yang mereka
harapkan yang pada akhirnya dapat membuat pelanggan merasa
dengan pengalaman-pengalaman yang mengejutkan dapat
memberikan kesan emosional yang mendalam dan diharapkan dapat
terus membekas di benak konsumen dalam waktu yang lama.
(1) Memikat (Intrigue)
Apabila surprise berawal dari sebuah harapan, maka intrigue
mencoba berangkat dari membangkitkan rasa ingin tahu konsumen
yakni apa saja yang memikat konsumen. Namun, daya pikat ini
tergantung dari acuan yang dimiliki oleh setiap konsumen.
Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu
yang membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat
pengetahuan, kesukaan, dan pengalaman konsumen tersebut.
(2) Provokasi (Provocation)
Provokasi dapat menimbulkan sebuah diskusi, atau menciptakan
sebuah perdebatan. Provokasi dapat beresiko jika dilakukan secara
tidak baik dan agresif. Perusahaan harus cepat tanggap terhadap
kebutuhan dan keluhan konsumen. Terutama dalam persaingan
bisnis yang ketat sekarang ini, perusahaan dituntut untuk dapat
berfikir kreatif. Salah satunya dengan mengadakan program yang
melibatkan konsumen.
4) Tindakan (Act)
Act merupakan tipe experience yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen (Schmitt dalam
membentuk persepsi pelanggan terhadap produk dan jasa yang
bersangkutan (Kertajaya dalam Indrakusuma, 2011). Act marketing
didesain untuk menciptakan pengalaman konsumen dalam hubungannya
dengan Physical body, lifestyle, dan interaksi dengan orang lain. Act ini berhubungan dengan bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan
mengekspresikan gaya hidupnya. Riset pasar menunjukkan banyak orang
membeli Volkswagen Beetle sebagai mobil kedua setelah BMW atau
Lexus. Mereka mempunyai gaya hidup tertentu, mereka ingin
mengendarai mobil yang lebih enak untuk dikendarai daripada mobil
pertama mereka yang profesional. Jadi act di sini meliputi perilaku yang nyata atau gaya hidup yang lebih luas.
5) Hubungan (Relate)
Relate marketing merupakan tipe experience yang digunakan untuk mempengaruhi pelanggan dan menggabungkan seluruh aspek sense, feel, think, dan act serta menitikberatkan pada penciptaan persepsi positif dimata pelanggan (Schmitt dalam Indrakusuma, 2011). Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang dapat
menciptakan identitas seseorang. Seorang pemasar harus mampu
menciptakan identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi
pelanggannya dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat
menggunakan simbol budaya dalam kampanye iklan dan desain web
yang mampu mengidentifikasi kelompok pelanggan tertentu. Relate
action dengan berhubungan dengan konteks sosial dan budaya yang merefleksikan suatu merek. Harley Davidson adalah salah satu contoh
kampanye relate yang mampu menarik beribu-ribu pengendara motor
besar di Amerika dalam rally di penjuru negara itu. Pelanggannya kebanyakan mempunyai tattoo berupa logo Harley Davidson di lengan atau bahkan di seluruh tubuhnya. Mereka menunjukkan kelompok
referensi tertentu dengan apa yang dimilikinya.
D. Emotional Branding D.1 Definisi
Emotional berasal dari kata emosi yang menurut William James adalah kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila berhadapan dengan
objek tertentu dalam lingkungannya (Asi, 2010). Emosi merupakan perasaan
atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan
atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama kesejahteraan
dirinya (Campos, dkk dalam Asi, 2010). Sedangkan branding adalah brand
atau merek. Jadi secara harfiah, emotional branding adalah pembentukan merek dengan nuansa emosional. Secara luas dapat juga didefinisikan sebagai
menciptakan hubungan emosional antara konsumen dengan perusahaan
melalui produknya. Kata “emosional” di sini adalah bagaimana suatu merek
menggugah perasaan dan emosi konsumen, bagaimana suatu merek menjadi
hidup bagi masyarakat, dan membentuk hubungan yang mendalam dan tahan
dalam suatu metode yang mengagumkan secara emosional. Emotional branding ini merupakan strategi yang efektif digunakan karena kita pada umumnya merespon pengalaman hidup kita secara emosional dan secara
alami memproyeksikan nilai-nilai emosional kita ke dalam objek-objek di
sekitar kita. Pada dasarnya emotional branding didasarkan pada rasa percaya yang unik yang terjalin erat dengan konsumen. Pendekatan ini meningkatkan
pembelian yang hanya sekedar dipicu oleh kebutuhan menjadi pembelian
yang muncul dari alam hasrat. Misalnya, komitmen pada sebuah produk atau
institusi, kebanggaan yang kita rasakan saat menerima hadiah cantik dari
merek yang kita senangi, atau pengalaman berbelanja yang positif dalam
sebuah lingkungan yang menakjubkan (Gobe, 2005).
D.2 Empat Pilar Emotional Branding
Marc gobe (2005) menerangkan konsep dasar dari proses emotional branding
didasarkan pada empat pilar penting, yakni:
(1) Hubungan (relationship)
Adalah menumbuhkan ikatan yang mendalam dan menunjukkan rasa
hormat pada jati diri konsumen yang sebenarnya serta memberikan
mereka pengalaman emosional. Gagasan inti untuk berhubungan dengan
konsumen dan melayani konsumen sebagai makhluk yang nyata, hidup,
bernapas, dan kompleks akan selalu mengalahkan laju program
pemasaran jangka pendek dan akan selalu mejadi kunci dalam
menciptakan suatu merek yang mempunyai keberadaan emosional jangka
hubungan ini, maka suatu perusahaan akan dapat mengetahui posisi
merek (positioning) dari produk yang dikeluarkannya karena hal tersebut sangatlah penting untuk mengidentifikasi bagaimana perasaan pelanggan
mengenai suatu merek dalam konteks pengertian merek tersebut bagi
perusahaan dan bagaimana cara mewujudkan hubungan antara kedua hal
tersebut serta di manakah hubungan tersbut dapat terputus.
(2) Pengalaman Panca Indera (Sensorial Experience)
Merupakan suatu area yang sangat besar yang belum diekplorasi
sepenuhnya dan juga merupakan tambang emas yang potensial untuk
merek. Menyediakan konsumen suatu pengalaman panca indera dari
suatu merek adalah suatu kunci untuk mencapai jenis hubungan
emosional dengan merek yang menimbulkan kenangan manis serta akan
menciptakan preferensi merek dan menciptakan loyalitas. Sejalan dengan
meningkatnya penawaran atas produk-produk yang semakin serupa satu
sama lain, elemen panca indera dapat menjadi faktor kunci yang dapat
membedakan satu pengalaman merek dengan merek lainnya. Senada
dengan yang diungkapkan oleh Holbrook dan Hirschman yang dikutip
dari jurnal Universitas Pendidikan Indonesia bahwa banyak produk yang
menampilkan stimulus-stimulus nonverbal yang penting yang harus
dilihat, didengar, dicicipi, dirasakan atau dibaui untuk dapat
diapresiasikan dengan tepat yang pada akhirnya dampak dari konsumsi
tercermin dalam kesenangan yang diperoleh seseorang dari suatu produk
atau kegembiraan yang ditawarkan dan kepuasan yang ditimbulkan oleh
(3) Imajinasi (Imagination)
Merupakan salah satu pilar penting dalam emotional branding dengan menetapkan desain merek dalam upaya membuat proses emotional branding menjadi nyata. Pendekatan imajinatif dalam desain produk, kemasan, iklan, dan situs web memungkinkan merek menembus batas
atas harapan dan meraih hati konsumen dengan cara yang baru dan segar.
(4) Visi
Adalah faktor utama kesuksesan merek dalam jangka panjang. Merek
berkembang melalui suatu daur hidup yang alami dalam pasar dan untuk
menciptakan serta memelihara keberadaannya dalam pasar saat ini, merek
harus berada dalam kondisi seimbang sehingga dapat memperbaharui
dirinya kembali secara terus menerus.
Emotional branding ini merupakan faktor emosional yang dirasakan konsumen, seperti kepribadian merek, kesukaan terhadap merek, dan
pengalaman terhadap merek sangat dipengaruhi oleh kepuasan saat
menggunakan suatu merek yang akan menimbulkan kepercayaan terhadap
merek dan mengakibatkan repeat buying dan recommended buying. Faktor emosional dan merek memiliki hubungan erat seperti yang dikatakan oleh
Gobe (2005) bahwa emosional memiliki maksud bagaimana suatu merek
menggugah perasaan dan emosi konsumen, bagaimana suatu merek menjadi
hidup bagi masyarakat dan membentuk hubungan yang dalam dan tahan
D.3 Sepuluh Perintah Emotional Branding
Sepuluh perintah emotional branding berikut ini mengilustrasikan perbedaan antara konsep kepedulian merek yang tradisional dengan dimensi emosional
yang diperlukan oleh merek untuk mengekspresikan dirinya sehingga menjadi
disukai (Gobe, 2005).
1. Dari konsumen menuju manusia
Konsumen membeli, manusia hidup. Dalam lingkaran komunikasi
konsumen sering dianggap musuh secara tak langsung. Hal yang baik
digunakan dalam menumbuhkan kesan positif di benak konsumen adalah
dengan melakukan pendekatan yang didasari pada hubungan saling
menghormati karena konsumen merupakan sumber informasi terbaik bagi
perusahaan.
2. Dari produk menuju ke pengalaman
Produk memenuhi kebutuhan, pengalaman memenuhi hasrat. Pembelian
memenuhi kebutuhan melalui harga dan kenyamanan. Bagi produk yang
sudah mapan, untuk menarik dan mempertahankan minat konsumen
dibutuhkan penjualan yang inovatif, iklan, dan peluncuran produk baru
yang dapat menangkap imajinasi konsumen. Sebuah produk dapat menjadi
baru dan lama pada saat yang bersamaan jika produk tersebut terus
mempunyai relevansi emosional terhadap konsumen.
3. Dari kejujuran menuju kepercayaan
Kejujuran diharapkan. Kepercayaan bersifat melekat. Oleh karena itu,
untuk memperoleh kejujuran dan kepercayaan dibutuhkan perjuangan
merek yang memerlukan usaha keras dari sebuah perusahaan. Salah satu
gerakan terkuat dalam membangun kepercayaan adalah pelaksanaan “tidak
adanya pertanyaan yang ditanyakan” kembali (konsumen dengan
mudahnya membeli kembali tanpa adanya pertanyaan mengenai kondisi
produk). Strategi ini memberikan kenyamanan sepenuhnya bagi para
konsumen yang mana mereka bisa mendapatkan manfaat dari pilihan
mereka sendiri.
4. Dari kualitas menuju preferensi
Saat ini kualitas dengan harga yang tepat sudah menjadi hal biasa.
Preferensi menciptakan penjualan. Kualitas merupakan hal yang penting
bagi perusahaan untuk bertahan dalam dunia bisnis yang sebaiknya
diwujudkan, sedangkan preferensi terhadap merek merupakan hubungan
yang nyata dengan kesuksesan. Levi’s adalah suatu merek yang
berkualitas, nmun kini ia telah kehilangan status preferensinya.
5. Dari kemasyuran menuju aspirasi
Menjadi terkenal bukan berarti dicintai. Kemasyuran merupakan apa yang
menjadikan sesuatu terkenal. Untuk menjadi sesuatu yang didambakan
maka sesuatu tersebut harus diekspresikan sesuai aspirasi konsumen.
6. Dari identitas menuju kepribadian
Identitas adalah pengakuan. Kepribadian adalah mengenai karakter dan
kharisma. Identitas adalah penggambaran dari karakter dan kharisma.
Identitas merek adalah sesuatu yang unik, dan mengekspresikan suatu
merepresentasikan karakter kharismatik dan mendorong terjadinya
tanggapan emosional.
7. Dari fungsi menuju ke perasaan
Fungsionalitas hanya mengacu pada kegunaan dan kualitas dari produk
saja, sedangkan desain penginderaan adalah mengenai pengalaman.
Fungsionalitas akan menjadi usang apabila penampilan dan kegunaannya
tidak didesain berdasarkan pertimbangan perasaan konsumen. Banyak
perusahaan yang mendesain produk mereka hanya pada pemaksimalan
fungsi produk saja, bukan pada pembentukan pengalaman bagi para
konsumennya. Desain adalah tentang solusi manusia, atas dasar inovasi
yang menghadirkan suatu rangkaian pengalaman panca indera yang baru.
8. Dari ubikuitas menuju keberadaan
Ubikuitas (keberadaan yang sangat umum) dapat dilihat, sedangkan
kehadiran emosional dapat dirasakan. Merek dapat membentuk hubungan
yang permanen dan kuat dengan manusia jika merek tersebut disiasatkan
menjadi sebuah gaya hidup.
9. Dari komunikasi menjadi sebuah percakapan
Komunikasi adalah pemberitahuan, sedangkan percakapan adalah berbagi.
Banyak perusahaan yang melakukan komunikasi satu arah, yakni seperti
melakukan pengiklanan dengan mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit
demi menarik perhatian konsumen. Padahal dengan sebuah
dialog/percakapan dapat merepresentasikan hubungan dua arah antara
10. Dari pelayanan menuju suatu hubungan
Pelayanan adalah menjual, sedangkan hubungan adalah penghargaan.
Pelayanan adalah apa yang menghasilkan, sedangkan hubungan adalah
orang-orang yang berusaha untuk memahami dan menghormati
konsumen.
Menurut Morrison dan Crane dalam Mutyalestari (2009) pada umunya
apabila berbicara tentang emotional branding, maka sebagian besar akan membahas ke arah product brand (tangibles) dan service brand (intangibles).
Namun dalam pelayanan marketing, permainan emosi merupakan kunci dalam keputusan dan perilaku konsumsi konsumen. Bedasarkan teori perilaku
emosi Ajzen, dan O’Shaughnessy dalam Mutyalestari (2009) membuat
kerangka untuk memahami bagaimana konsumen melihat produk dan jasa
saat proses keputusan pembelian terdapat enam kriteria, yaitu:
1. Technical Criteria
Berbicara mengenai elemen fungsional dari sebuah produk. Jika tambahan
fungsi dan fitur produk dapat membuat pengoperasian menjadi mudah
dilaksanakan, maka produk tersebut akan diterima secara luas atas barang
pengganti lainnya. Technical criteria, meliputi desain produk, atmosfir toko, dan perlengkapan toko.
2. Economic/Sacrifice Criteria
Manfaat yang diterima dibandingkan pengeluaran (biaya) dan pemakaian
3. Legalistic Criteria
Meliputi pemenuhan produk atau jasa terhadap keinginan dan permintaan
konsumen.
4. Integrative Criteria
Menciptakan mimpi pada pikiran konsumen bahwa orang-orang suka
melihat keindahan suatu objek. Apabila mereka melihat sesuatu yang
menarik hati, mereka akan mengasosiasikannya terhadap produk tersebut
dan mereka akan semakin menyukainya sehingga memberikan mereka
rasa penerimaan di masyarakat dengan keyakinan yang lebih besar
misalnya kepercayaan sosial, status, visi, fashion produk atau jasa dalam
satu lingkungan.
5. Adaptive Criteria
Sesuatu yang meminimalisir resiko, seperti kekhawatiran, ketidakpastian,
dan penyesalan saat membeli produk atau jasa.
6. Intrinsic Criteria
Menyoroti fakta bahwa produk harus menarik rasa pelanggan. Pelanggan
didorong oleh perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman.
Mereka ingin mengasosiasikannya melalui kesenangan, keindahan,
kebanggaaan, dan kepercayaan diri. Hal itu berupa bentuk produk,
perasaan, wangi/bau, dan musik.
E. Brand Trust (Kepercayaan Terhadap Merek) E.1 Definisi
Kepercayaan memiliki peran penting dalam pemasaran industri. Dinamika
cara memasarkan produknya dengan lebih kreatif dan fleksibel untuk
beradaptasi, salah satunya adalah menciptakan sebuah kepercayaan merek
karena kepercayaan merupakan salah satu aset penting dalam menciptakan
loyalitas. Ballestar yang dikutip dari Prawitowati (2008) mendefinisikan
brand trust sebagai perasaan aman yang diperoleh konsumen dalam interaksinya dengan merek yang didasarkan pada persepsi bahwa merek
tersebut dapat diandalkan dan memenuhi kepentingan serta keselamatan
konsumen. Trust didefinisikan sebagai persepsi konsumen mengenai reliabilitas yang didasarkan pada pengalaman atau serangkaian interaksi yang
dikarakteristikan oleh konfirmasi dari harapan atas kinerja produk dan
kepuasan. Lau dan Lee mendefinisikan brand trust sebagai keinginan pelanggan untuk bersandar pada sebuah merek dengan resiko-resiko yang
dihadapi karena ekspektasi terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang
positif (dalam Tjahyadi, 2006)
E.2 Dimensi Brand Trust
Dimensi brand trust menurut Ballestar dalam Prawitowati (2008) terbentuk olehdua indikator, yaitu:
1. Fiability
Fiability merupakan dimensi yang bercirikan teknikal yang mencakup
persepsi bahwa merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen, dan merek
2. Intentionality
Dimensi ini merefleksikan perasaan aman yang membuat individu merasa
ada jaminan bahwa merek akan bertanggung jawab dan memperhatikan
konsumen walaupun terjadi perubahan situasi dan lingkungan konsumsi
produk. Dengan demikian, dimensi ini juga menjelaskan bahwa merek
tidak mengambil keuntungan dari kelemahan konsumen
F. Brand Loyalty (Loyalitas Merek) F.1 Definisi
Loyalitas merek memiliki pengertian sikap yang menyenangi terhadap suatu
merek yang direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap
merek tersebut sepanjang waktu (Setiadi, 2003). Sedangkan Sumarwan
(2003) mendefinisikan brand loyalty sebagai sikap positif konsumen terhadap suatu merek, konsumen memiliki keinginan kuat untuk membeli ulang merek
yang sama pada saat sekarang maupun masa mendatang.
F.2 Pendekatan Loyalitas Merek
Menurut Setiadi (2003) terdapat dua pendekatan yang dapat dipakai untuk
mempelajari loyalitas merek, yaitu: (1) pendekatan instrumental atau
pendekatan behavioral yang memandang bahwa pembelian yang konsisten
sepanjang waktu adalah menunjukkan loyalitas merek. Jadi, pengukuran
bahwa seorang konsumen itu loyal atau tidak dilihat dari frekuensi dan
konsistensi perilaku pembelian terhadap satu merek. Pengukuran loyalitas
pendekatan yang didasarkan pada teori kognitif yang mana loyalitas
dinyatakan sebagai komitmen seorang konsumen terhadap merek yang
mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian yang terus
menerus. Konsumen mungkin sering membeli merek tertentu karena
harganya murah, dan ketika harganya naik, konsumen beralih ke merek lain.
F.3 Tingkatan Loyalitas Merek
Adapun tingkatan dari loyalitas merek menurut Aaker dalam Ardha yaitu:
1. Brand Switcher (berpindah-pindah)
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai
pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi
frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek
ke merek lain mengindikasikan bahwa mereka sebagai pembeli yang sama
sekali tidak loyal terhadap merek tersebut. Pada tingkatan ini, merek apa
pun mereka anggap memadai serta memiliki peranan yang sangat kecil
dalam keputusan pembelian. ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan
ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya yang murah.
2. Habitual Buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)
Pembeli yang berada pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang
puas dengan merek produk yang dikonsumsi. Habitual buyer ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan
untuk membeli produk yang lain atau berpindah merek, terutama jika
pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pelanggan dalam membeli
suatu merek lebih didasarkan atas kebiasaan mereka.
3. Satisfied Buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)
Pada tingkatan ini, pelanggan termasuk dalam kategori puas bila
mengkonsumsi merek tersebut, meskipun ada kemungkinan mereka
beralih dari merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang
merupakan konsekuensi ketika mereka beralih ke suatu merek.
4. Likes The Brand (menyukai merek)
Dalam kategori ini, pelanggan sungguh-sungguh menyukai suatu merek
tertentu. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada
merek. Rasa suka pelanggan bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait
dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya,
baik yang dialami pribadi maupun dialami oleh kerabat, atau dapat juga
disebabkan oleh kesan kualitas yang tinggi.
5. Commited Buyer (pelanggan yang komit)
Merupakan tingkatan tertinggi pada piramida loyalitas. Pada tahapan ini,
pelanggan merupakan seorang pelanggan yang setia dan memiliki
kebanggan sebagai pengguna suatu merek tertentu, dan bahkan merek
tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsi
maupun sebagai ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Salah satu
aktualisasi loyalitas pelanggan ini ditunjukkan oleh tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada orang
F.4 Indikator Brand Loyalty
1) Selalu diingat
2) Merekomendasikan
3) Membeli ulang (Arjun dan Moris dalam Utami, 2009)
Hal tersebut sependapat dengan yang diungkapkan oleh Amir Hamzah dalam
Utami (2009) bahwa terdapat tiga indikator dalam emotional branding, yaitu:
Retention, Related Sales (Repeat Purchasing Intention), dan Referrals.
G. Penelitian Terdahulu
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yulfan Nurrohman dengan judul
“Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Merek (Studi Empirik
Pada Pengguna Telepon Seluler Merek Nokia Di Surakarta) menunjukkan
bahwa variabel experiential marketing yang terdiri dari sense, feel, think, act, dan relate berpengaruh signifikan terhadap peningkatan loyalitas merek. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil pengujian nilai probabilitas adalah (p)
< 0,05. Penelitian tersebut dilakukan di wilayah Kota Surakarta dengan 155
responden. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan cara
metode convenience sampling, dan untuk menginterpretasikan dan menganalisis data dalam penelitian tersebut menggunakan analisis data
Structural Equation Model (SEM). Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa
sense, feel, think, act, relate, dan brand loyalty telah memenuhi kriteria
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Nuruni Ika Kustini dengan judul
“Experiential Marketing, Emotional Branding, and Brand Trust and Their
Effect On Loyalty On Honda Motorcycle Product”. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari experiential marketing (X1), emotional branding (X2), brand trust (X3), dan brand loyalty (Y). Analisis data menggunakan SEM (Structural Equation Modeling). Berdasarkan analisis data tersebut dihasilkan bahwa emotional branding tidak berpengaruh positif terhadap brand loyalty. Hal ini disebabkan karena nilainya lebih tinggi dari 0,10 yaitu 0,991.
Sedangkan variabel brand trust dan variabel experiential marketing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand loyalty karena nilai mereka lebih rendah dari 0,10 yang masing-masing memiliki nilai 0,000 dan 0,063.
H. Hubungan Antar Variabel
1. Hubungan Experiential Marketing Terhadap Loyalitas
Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan dalam pemasaran yang bertujuan untuk menciptakan pengalaman pelanggan. Terdapat
banyak manfaat yang dapat dipetik dari adanya pendekatan experiential marketing ini, khususnya bagi perusahaan, yakni experiential marketing
dapat meningkatkan sebuah merek/produk yang mengalami penurunan,
experiential marketing juga dapat berfungsi sebagai pembeda antar produk satu dengan produk lainnya, menciptakan image produk, dan hal yang terpenting adalah dapat menciptakan pelanggan yang loyal (Rini,
2009). Konsumen merupakan makhluk yang selalu ingin belajar, dan
dari pengambilan keputusan pembelian produk. Konsumen yang
menyukai produk tertentu, kemudian memilihnya, lalu menjadi loyal, itu
semua merupakan hasil dari proses belajar konsumen dari pengalaman
sebelumnya dalam mengkonsumsi produk. Apabila konsumen tidak puas
terhadap produk yang dikonsumsinya, maka konsumen akan kecewa dan
akan terjadi sebuah pengalaman buruk baginya. Pengalaman buruk ini
akan memberikan pelajaran kepada diri konsumen yang nantinya akan
mempengaruhi keputusan pembelian produk tersebut di masa mendatang.
Mungkin saja produk tersebut nantinya tidak akan disukai lagi, dan
mungkin konsumen tidak akan membeli produk itu lagi. Hal tersebut juga
didukung dengan hasil penelitian Nurrohman (2011) yang menyatakan
bahwa experiential marketing yang terdiri dari sense, feel, think, act, dan
relate memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan loyalitas merek.
H1 : Experiential marketing berpengaruh signifikan terhadap loyalitas
2. Hubungan Emotional Branding Terhadap Loyalitas
Emotional branding merupakan sebuah pendekatan yang didasarkan pada rasa percaya yang unik yang terjalin erat dengan konsumen. Pendekatan
ini meningkatkan pembelian yang hanya sekedar dipicu oleh kebutuhan
menjadi pembelian yang muncul dari alam hasrat karena konsumen
dianggap sebagai makhluk yang rasional sekaligus emosional (Gobe,
dan emosi konsumen, serta bagaimana merek dapat membentuk suatu
hubungan yang mendalam dan tahan lama dengan konsumen sehingga
ketika konsumen melakukan pembelian, pembelian tersebut akan lebih
dipengaruhi oleh hati dari pada logika. Diharapkan dengan adanya
kedekatan emosional antara konsumen dengan produk/merek ini akan
melahirkan pembelian yang berulang. Pendapat tersebut tidak didukung
penelitian yang dilakukan oleh Kustini (2011). Hasil penelitiannya
mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara
emotional branding terhadap loyalitas pelanggan pada pengguna produk sepeda motor Honda. Hal ini berarti bahwa merek tidak mampu meraih
sisi emosional konsumen, dan merek tidak mampu menciptakan hubungan
dengan pasar sasaran karena pada dasarnya emotional branding berfokus pada pemenuhan sisi emosional konsumen, pemenuhan keinginan
konsumen, dan kepuasan konsumen sehingga ketika mereka memilih
suatu produk akan lebih dipengaruhi oleh hati dari pada logika.
H2 : Emotional branding berpengaruh positif terhadap loyalitas
3. Hubungan Brand Trust Terhadap Loyalitas
Menurut Ballestar dalam Prawitowati (2008), memandang trust sebagai konstruk utama dalam hubungan konsumen dan merek, trust menjadi kontributor penting bagi timbulnya komitmen emosional konsumen yang
mengarah pada loyalitas jangka panjang. Seseorang termotivasi untuk
mencari merek yang terpercaya sebagai kriteria penentu keputusan
kepuasan konsumsinya. Semakin tinggi rasa percaya konsumen terhadap
suatu merek, maka komitmen konsumen akan semakin tinggi terhadap
merek tersebut. Dengan demikian, adanya brand trust memberi penjelasan mengenai adanya keterikatan antara konsumen dengan merek.
Fournier berpendapat bahwa trust merupakan variabel utama terhadap berkembangnya loyalitas merek (Prawitowati, 2008). Pendapat tersebut
juga didukung oleh penelitian Gede Riana bahwa brand trust berpengaruh signifikan terhadap brand loyalty. Menurutnya, dalam upaya meningkatkan loyalitas merek, pihak perusahaan harus senantiasa
meningkatkan dan mempertahankan kepercayaan pelanggan.
H3 : Brand trust berpengaruh signifikan terhadap loyalitas
I. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan telaah pustaka di atas, maka dapat dikembangkan sebuah
kerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran
Experiential Marketing
Emotional Branding
Brand Trust
J. Hipotesis
H1 : Experiential marketing berpengaruh signifikan terhadap brand loyalty
H2 : Emotional branding berpengaruh signifikan terhadap brand loyalty
H3 : Brand trust berpengaruh signifikan terhadap brand loyalty
H4 : Experiential marketing, emotional branding dan brand trust berpengaruh
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksplanatori yang menjelaskan
pengaruh antar variabel dalam penelitian dan menguji hipotesis yang telah
dirumuskan sebelumnya (Sugiyono, 2003). Pada penelitian ini akan menjelaskan
pengaruh experiential marketing, emotional branding, dan brand trust terhadap
brand loyalty.
B. Definisi Konseptual
Definisi konseptual merupakan pemaknaan dari konsep yang digunakan sehingga
memudahkan peneliti untuk mengoperasikan konsep tersebut di lapangan
(Singarimbum dan effendi dalam Ropenda, 2010). Jadi konsep dari penelitian ini
adalah:
1. Experiential marketing merupakan strategi pemasaran yang berdasarkan pada pengalaman nyata pelanggan terhadap produk atau jasa untuk meningkatkan
2. Emotional Branding merupakan strategi pemasaran yang mana konsumen
secara tidak langsung berhubungan dengan perusahaan melalui produk dari
perusahaan tersebut dalam suatu metode yang mengagumkan (Gobe, 2005).
3. Brand Trust merupakan sebuah perasaan aman yang diperoleh konsumen dalam interaksinya dengan merek yang didasarkan pada persepsi bahwa
merek tersebut dapat diandalkan dan memenuhi kepentingan serta
keselamatan konsumen (Ballestar dalam Prawitowati, 2008).
4. Brand Loyalty merupakan sikap positif konsumen terhadap suatu merek, konsumen memiliki keinginan kuat untuk membeli ulang merek yang sama
pada saat sekarang maupun pada masa mendatang (Sumarwan, 2003).
C. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu
variabel atau konstrak dengan cara menspesifikasikan kegiatan yang diperlukan
untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut (Nazir dalam Ropenda, 2010).
Definisi operasional variabel pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Tabel 1. Definisi Operasional Variabel
Variabel Sub Variabel Indikator Item
Experiential Marketing (X1)
Sense - Desain produk bervariasi - Memiliki pilihan warna
yang beragam
- Memiliki spesifikasi yang menarik
- Fitur yang beragam - Kejernihan suara speaker
Feel
- Iklan Nokia menunjukkan kualitas yang - Nokia sering mengadakan
kegiatan menarik
- Adanya Customer Service yang cepat tanggap
Emotional dapat berinternetan dengan cepat
- Ketajaman layar
- Dapat membuka document viewers
- Dapat multitasking - Baterai yang tahan lama
- Harga beli smartphone smartphone merek Nokia tinggi
- Fasilitas yang ditawarkan smartphone merek Nokia telah memenuhi keinginan saya
- Fasilitas yang diberikan smartphone merek Nokia telah memenuhi kebutuhan saya
- Rasa tidak keberatan dengan harga beli smartphone merek Nokia
- Menyukai interface Nokia smartphone yang atraktif - Menyukai konsep
smartphone merek Nokia yang berbeda dari smartphone merek lainnya - Menyukai model
smartphone merek Nokia yang fashionable
- Adanya Nokia Care Center yang siap melayani
- Adanya suku cadang yang mudah ditemukan
Intrinsic Criteria
- Kualitas smartphone merek Nokia terjamin
- Model smartphone merek Nokia unik
- Memiliki corak warna yang menarik
- Kepuasan dengan kualitas smartphone merek Nokia smartphone merek Nokia dapat memenuhi kebutuhan konsumen
- Kepercayaan bahwa kualitas smartphone merek Nokia adalah yang terbaik - Kepercayaan bahwa
kualitas smartphone merek Nokia dapat memberikan nilai lebih dari yang diharapkan
- Perasaan aman dengan adanya Pusat Pelayanan Nokia
- Keyakinan bahwa produk smartphone merek Nokia tahan lama/awet
- Keyakinan bahwa harga jual smartphone merek Nokia tinggi
39-44
Brand
Loyalty (Y) Selalu Diingat
Merekomendasikan
- Selalu mengingat produk Nokia ketika hendak membeli handphone - Nokia menjadi pilihan
utama
- Menceritakan keunggulan produk smartphone merek
Melakukan ulang terhadap produk smartphone merek Nokia - Tidak ingin mengganti
handphone dengan merek lain
D. Populasi dan Sampel D.1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa di Universitas Lampung yang
menggunakan produk smartphone merek Nokia.
D.2. Sampel
Sampel merupakan bagian atau sejumlah cuplikan tertentu yang diambil dari
suatu populasi dan diteliti secara rinci (Santoso dan Tjiptono, 2001). Teknik
pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah non probability sampling, yaitu dengan metode purposive sampling. Alasan menggunakan
purposive sampling dikarenakan sampel dalam penelitian ini merupakan mahasiswa di Universitas Lampung yang menggunakan smartphone merek Nokia yang telah menggunakannya minimal selama satu tahun karena mereka
dianggap memiliki informasi yang baik dalam menggunakan smartphone
tersebut. Penentuan jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah
ukuran sampel yang lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 sudah memadai bagi
kebanyakan penelitian.
E. Sumber Data
1. Data Primer
Diperoleh langsung dengan melakukan penyebaran angket kepada mahasiswa
di Universitas Lampung yang menggunakan produk smartphone merek Nokia. 2. Data Sekunder
Diperoleh secara tidak langsung melalui buku, internet, dan media perantara
lainnya.
F. Metode Pengumpulan Data 1. Kuesioner
Merupakan suatu cara pengumpulan data dengan memberikan atau
menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden dengan harapan responden
dapat memberikan respon atas daftar pertanyaan tersebut (Umar, 2005).
Model kuesioner yang digunakan adalah model tertutup karena pada setiap
soal diberikan 5 jawaban dengan masing-masing skor adalah sebagai berikut :
a. Diberi skor 1, dengan kategori sangat tidak setuju b. Diberi skor 2, dengan kategori tidak setuju
Dalam penelitian ini pengukuran data yang digunakan adalah skala likert.
Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dan skala likert
ini biasanya menggunakan lebih dari satu item pertanyaan (Ferdinand, 2006).
2. Dokumentasi
Adalah teknik mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, dan sebagainya (Arikunto dalam Ropenda, 2010).
G. Teknik Pengujian Instrumen 1. Validitas
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur itu mampu mengukur apa
yang ingin diukur. Dalam penelitian ini uji validitas kuesioner menggunakan
analisis faktor dengan program SPSS 16.0 karena untuk mengenali atau
mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu set variabel yang
lebih banyak jumlahnya (Supranto, 2004). Kembali Supranto menjelaskan
bahwa analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas
prosedur yang utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas
data dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel, misalnya dari
15 variabel diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut dengan faktor.
Penjelasan dari Solimun (2001) yang dikutip oleh Lestari (2011), prinsip
dasar dari analisis faktor adalah untuk mengekstraksi sejumlah faktor bersama
sedikit dibandingkan dengan banyaknya variabel asal, dan sebagian informasi
variabel asal tersimpan dalam sejumlah faktor. Pada dasarnya analisis faktor
mendekatkan data pada suatu pengelompokkan atau pembentukan suatu
variabel baru yang berdasarkan adanya keeratan hubungan antar dimensi
pembentuk faktor sebagai variabel baru atau faktor. Model umum dari analisis
faktor adalah sebagai berikut:
X1 = C11 F1 + C12 F2 + ... + C1m Fm + ε1 X2 = C21 F1 + C22 F2 + ... + C2m Fm + ε2
. . . . .
. . . . .
XP = Cp1 F1 + Cp2 F2 + ... + Cpm Fm+ εpss
Keterangan: Xj : variabel
Fj : faktor persamaan ke j
Cij : bobot loading dari variabel ke i pada faktor ke j yang menunjukkan
pentingnya faktor ke dalam komposisi dari variabel ke i
εj : galat error faktor spesifik
Untuk menentukan kelompok variabel layak atau tidak sebagai faktor, maka
digunakanlah eigenvalue yang nilainya harus lebih besar dari 1, maka variabel tersebut dikatakan layak dan harus dipertahankan. Sedangkan untuk
mengetahui sumbangan masing-masing faktor dapat dilihat dari total varian
masing-masing faktor. Kemudian untuk melihat peranan masing-masing
component analysis. Bila terdapat loading yang berbeda maka hipotesis diterima. Terdapat tiga tahapan dalam melakukan analisis faktor, yaitu:
a) Matrix korelasi
Data yang telah terkumpul akan diproses di dalam komputer yang
nantinya akan menghasilkan matrix korelasi. Berdasarkan koefisien
korelasi dapat diidentifikasi variabel-variabel tertentu yang hampir tidak
memiliki korelasi lain sehingga dapat dikeluarkan analisis lebih lanjut.
b) Ekstraksi faktor
Setelah variabel disusun kembali berdasarkan korelasi hasil langkah
pertama, maka program komputer akan menentukan jumlah faktor yang
diperlukan untuk mewakili data. Untuk menentukan jumlah faktor yang
dapat diterima atau layak, secara empiris data dapat dilihat pada
eigenvalue suatu faktor yang besarnya lebih atau sama dengan 1 (≥1).
c) Rotasi
Hasil ekstraksi faktor yang sering kali masih sulit untuk menentukan pola
atau pengelompokkan variabel-variabel secara bermakna, dengan rotasi
dapat diidentifikasi dengan memilih nilai loading lebih besar.
Berikut ini terdapat beberapa istilah statistik yang terkait dengan analisis
faktor ialah:
a. Barlett test of spericity : test statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bahwa antar variabel tidak
b. Correlation matrix F : korelasi antar semua variabel yang diteliti dan elemen diagonal dihilangkan.
c. Communality : jumlah varian yang dimiliki semua variabel yang dianalisis atau yang dapat dikatakan
sebagai proposi varian yang dapat dijelaskan
oleh faktor umum.
d. Eigenvalue : nilai yang mewakili total varian yang dijelaskan oleh setiap faktor.
e. Faktor loading plot : titik potong dari variabel-variabel asli yang menggunakan faktor loading sebagai koordinat.
f. Faktor matrix F : memuat faktor-faktor loading dari seluruh variabel pada faktor-faktor yang telah terpilih.
g. Faktor score : merupakan estimasi nilai skor bagi setiap responden dari suatu faktor.
h. Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequency. Indeks yang digunakan untuk menguji ketepatan analisis faktor. Nilai yang tinggi
(0.5-1.0) menunjukkan bahwa analisis tersebut tepat, dan tidak tepat apabila
berada di bawah 0.5.
Dari Tabel 2 di bawah ini terlihat bahwa dari 50 item pernyataan yang semula
criteria, intrinsic criteria, fiability, intentionality, selalu mengingat (retention), merekomendasikan (referrals), dan membeli ulang (repeat purchasing intention), ternyata setelah dilakukan olah data dengan analisis faktor eigenvalue dengan nilai lebih dari 1 hanya dapat membentuk 15 sub variabel atau yang disebut dengan faktor. Jadi ada satu sub variabel yang
nilainya lebih kecil dari 1 sehingga sub variabel tersebut tidak dianalisis lebih
lanjut. Berikut ini adalah hasil uji validitas 50 item kuesioner yang disebar
kepada 150 responden yang dianalisis menggunakan analisis faktor
eigenvalue, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Total Variance Explained
Kemudian ke 15 faktor di atas tersebut diberi nama baru sesuai dengan faktor
yang terbentuk. Nama baru dari ke 15 faktor tersebut ialah retention fiability, think integrative, act technical, referrals purchase, sense act, legalistic, intentionality, intrinsic, feel 1, relate, economic legalistic, sense, think relate, adaptive, dan feel 2. Berikut ini adalah hasil dari pengelompokkan 50 item pernyataan menjadi 15 faktor.
Tabel 3. Rotated Component Matrixa
Hasil dari Tabel 3. Rotated Component Matrix memperlihatkan bahwa 50 item pernyataan telah mengelompok menjadi 1 faktor. Meskipun masih ada
beberapa item yang nilainya menempati di 2 kolom faktor, namun item
tersebut dipilih berdasarkan mengelompoknya nilai tersebut pada 1 faktor.
Nilai yang tidak sesuai tidak dianalisis lebih lanjut.
2. Reliabilitas
Merupakan ukuran suatu kestabilan dan konsistensi responden dalam
menjawab hal yang berkaitan dengan konstruk-konstruk pertanyaan yang
merupakan dimensi suatu variabel dan disusun dalam suatu bentuk kuesioner
(Nugroho Agung Bhuono dalam Ropenda, 2010). Menurut Ferdinand (2006),
sebuah instrumen pengukur data dan data yang dihasilkan disebut reliabel atau
terpercaya apabila instrumen itu secara konsisten memunculkan hasil yang
sama setiap kali dilakukan pengukuran. Adapun cara yang digunakan untuk
menguji reliabilitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Alpha Cronbach yaitu:
Keterangan :
r11 : reliabilitas instrument
k : banyak butir pertanyaan : jumlah varians butir