• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MISI GKI DI TANAH PAPUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB III MISI GKI DI TANAH PAPUA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

MISI GKI DI TANAH PAPUA

A. PENDAHULUAN

Kehadiran dan keterlibat an gerej a didal am duni a tidak t erlepas

dari panggilan dan pengutusannya, sebab gereja berada didalam dunia karena

diutus oleh Allah. Misi gereja tidak dapat berhasil tanpa campur tangan dari

Allah. Seperti dikatakan Yesus sama seperti Engkau telah mengutus Aku

kedalam dunia" (Yohanes 17:18).

Gerej a ada karena di utus Al l ah kedal am "duni a" sebagai a l at

kar ya penyelamatan Allah. Dunia yang dimaksudkan adalah dunia dimana

gereja itu hidup dan melakukan segala aktifitasnya. Dunia dimana umat manusia

hidup, bekerja dan berjuang, dunia yang penuh dengan persoalan -persoalan

disegala bidang baik itu bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ekologi dan

teknologi. Dalam situasi seperti itulah gereja terpanggil untuk melaksanakan

misi Allah dalam kata dan perbuatan setiap hari.

Misi Allah yang diemban oleh gereja harus dilakukan. Keterpanggilan GKI

di Tanah Papua merupakan bagian yang mutlak dalam proses pemenuhan misi Allah.

GKI TP merupakan gereja yang missioner untuk mewartakan kabar sukacita

dan damai sejahtera khususnya bagi umat Allah di Tanah Papua. Dengan

(2)

bentuk-bentuk misi yang dilakukan oleh GKI di Tanah Papua umumnya dan

bagaimana pola pelaksanaannya pada tingkat klasis dan seterusnya di jemaat-jemaat.

B. GAMBARAN UMUM PAPUA

Papua138 merupakan propinsi139 yang paling luas wilayahnya dari seluruh Propinsi yang ada

di Indonesia. Luas Propinsi Papua +_410.660 Km2 atau merupakan +_ 21 % dari luas wilayah

Indonesia. Lebih dari 75 % masih tertutup hutan-hutan tropis yang lebat, dengan +_ 80%

penduduknya masih dalam keadaan semi terisolir di daerah pedalaman bagian tengah Papua. Jumlah

penduduk 2,3 juta jiwa atau kurang dari satu persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Dan

tinggal di wilayah yang luasnya tiga kali pulau jawa. Walaupun penduduknya sedikit, akan tetapi

daerah ini memiliki diversivitas budaya paling banyak dibanding penduduk lain di Indonesia. Sebab

terdapat 253 etnik dan bahasa daerah. Kebanyakan diantara mereka tidak atau kurang saling mengenal

satu sama yang lain, ditambah lagi puluhan atau bahkan ratusan etnik, bahasa dan kedaerahan

masyarakat kelompok migran spontan dan trasmigran. Kemajemukan masyarakat telah melahirkan

suatu struktur sosial, relasi sosial, lapisan sosial, dan jaringan sosial yang belum banyak terjadi

sebelumnya, serta diantara relasi-relasi sosial itu terdapat relasi kekerasan dan konflik antara individu

dan antar kelompok-kelompok masyarakat.

Secara geografis Papua berada diantara garis miridian 0,19-100 45 LS dan antara garis

bujur130o 45-141o 48 BT yang membentang dari barat ke timur dengan silang 11o atau 1.200 km yaitu

dari kota Sorong sampai Jayapura, sedangkan lebarnya dari utara ke selatan sejauh +_ 736 km yaitu

dari kota Jayapura ke Merauke. Batas wilayah provinsi Papua meliputi, sebelah utara berbatasan

dengan samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan laut Arafura, sebelah barat berbatasan

139 Saat ini Propinsi Papua telah terbagi atas dua sistim pemerintahan yakni, Propinsi Papua dengan

(3)

dengan laut Seram, laut Banda, Propinsi Maluku, dan sebelah Timur berbatasan dengan Negara Papua

New Guinea.

Masyarakat Papua secara fisik maupun sosial, menganggap diri berbeda dari masyarakat

Indonesia lainnya. Jika mayoritas orang Indonesia tergolong kedalam rumpun Melayu yang berasal

dari Yunan Kamboja, maka secara fisik orang Papua adalah Rumpun Melanesia ras Negroid di Pasifik.

Demikian pula, secara sosial orang Papua memiliki pandangan dan cara hidup tersendiri yang sangat

berbeda dari mayoritas rakyat Indonesia.

Populasi penduduk asli di Propinsi Papua terdiri dari kurang lebih 253 kelompok bahasa140.

Masing-masing kelompok memiliki tradisi, konsep agama, struktur sosial dan, bahasa, sama halnya

dengan budaya material dan bentuk ekonomi.

Mata pencaharian penduduk Papua dikelompokan dalam tiga wilayah geografis yang

berbeda serta menentukan cara hidup rakyat Papua secara umum yakni: daerah pantai yang dihuni

nelayan dan pelaut; daerah pegunungan yang dihuni para petani dengan pola berpindah-pindah dan

berburu; serta wilayah yang sangat jarang penduduknya, yakni tanah rawa diantara pantai dan

pegunungan, dihuni oleh kelompok semi nomadik bermata pencaharian berburu, menangkap ikan dan

mengumpulkan bahan makanan141

Patut dicatat bahwa orang Papua memiliki otoritas yang bersifat khas dalam mengatur,

mengembangkan kebutuhan, dan menyelesaikan masalah berdasarkan hikum adat yang membebani

hak dan kewajiban adat pada para individunya.

Khusus dalam bidang keagamaan menunjukan bahwa di Papua selain terdapat agama-agama

besar, Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Budha Kong Hu Cu yang merupakan agama-agama

pendatang, karena disana terdapat agama-agama suku yang dimiliki penduduk asli Papua. Dari data

jumlah penduduk propinsi yang dikelompokan berdasarkan agama/kepercayaan menunjukan bahwa

sebagian besar penduduk Papua merupakan penganut agama Kristen Protentan(54%) dan Katolik

140

Ibid,7 Perkiraan berubah-ubah. Ada yang menyebutkan 329 kelompok bahasa dan mengacu pada data SIL(Summer Institute of Linguistik). Sebagian besar artikel menyebutkan 253.

(4)

(23%) yang keduanya kalau dijumlahkan mencapai 77% dari seluruh penduduk. Penduduk yang

beragama Islam hanya berjumlah 21%. Sementara penganut agama lainnya hanya menempati porsi

sangat kecil, seperti Hindu berjumlah 0,3% dan Budha berjumlah 0,18%.

Di kota madya jayapura sendiri, data menunjukan bahwa jumlah penganut Kristen Protestan

dan pemeluk Islam, hampir berimbang jumlahnya, yakni 89,241 jiwa dan 83,916 jiwa. Sementara

penganut agama Budha sedikit lebih banyak daripada yang beragama Hindu. Diantara wilayah

kabupaten, penganut Kristen Protestan dan Katolik yang terbanyak terdapat di kabupaten Nabire,

Mimika dan Paniai. Penganut agama Kristen Protestan selalu sebih banyak darpada yang beragama

Katolik, tetapi di kabupaten Asmat dan Mappi terjadi sebaliknya.

Penganut agama Islam terbanyak terdapat di kota Jayapura, kemudian di ikuti penduduk di

kabupaten Merauke, Jayapura, Nabire dan Mimika, yang sebagian besar umumnya merupakan

penduduk pendatang dari luar Papua.

Masyarakat Papua secara fisik maupun sosial, menganggap diri berbeda dari masyarakat

Indonesia lainnya. Jika mayoritas orang Indonesia tergolong kedalam rumpun Melayu yang berasal

dari Yunan Kamboja, maka secara fisik orang Papua adalah Rumpun Melanesia ras Negroid di

Pasifik. Demikian pula, secara sosial orang Papua memiliki pandangan dan cara hidup tersendiri yang

sangat berbeda dari mayoritas rakyat Indonesia.

Populasi penduduk asli di Propinsi Papua terdiri dari kurang lebih 253 kelompok bahasa142.

Masing-masing kelompok memiliki tradisi, konsep agama, struktur sosial dan, bahasa, sama halnya

dengan budaya material dan bentuk ekonomi.

Mata pencaharian penduduk Papua dikelompokan dalam tiga wilayah geografis yang

berbeda serta menentukan cara hidup rakyat Papua secara umum yakni: daerah pantai yang dihuni

nelayan dan pelaut; daerah pegunungan yang dihuni para petani dengan pola berpindah-pindah dan

berburu; serta wilayah yang sangat jarang penduduknya, yakni tanah rawa diantara pantai dan

(5)

pegunungan, dihuni oleh kelompok semi nomadik bermata pencaharian berburu, menangkap ikan dan

mengumpulkan bahan makanan143

Patut dicatat bahwa orang Papua memiliki otoritas yang bersifat khas dalam mengatur,

mengembangkan kebutuhan, dan menyelesaikan masalah berdasarkan hikum adat yang membebani

hak dan kewajiban adat pada para individunya.

Khusus dalam bidang keagamaan menunjukan bahwa di Papua selain terdapat agama-agama

besar, Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Budha Kong Hu Cu yang merupakan agama-agama

pendatang, karena disana terdapat agama-agama suku yang dimiliki penduduk asli Papua. Dari data

jumlah penduduk propinsi yang dikelompokan berdasarkan agama/kepercayaan menunjukan bahwa

sebagian besar penduduk Papua merupakan penganut agama Kristen Protentan(54%) dan Katolik

(23%) yang keduanya kalau dijumlahkan mencapai 77% dari seluruh penduduk. Penduduk yang

beragama Islam hanya berjumlah 21%. Sementara penganut agama lainnya hanya menempati porsi

sangat kecil, seperti Hindu berjumlah 0,3% dan Budha berjumlah 0,18%.

Di kota madya jayapura sendiri, data menunjukan bahwa jumlah penganut Kristen Protestan

dan pemeluk Islam, hampir berimbang jumlahnya, yakni 89,241 jiwa dan 83,916 jiwa. Sementara

penganut agama Budha sedikit lebih banyak daripada yang beragama Hindu. Diantara wilayah

kabupaten, penganut Kristen Protestan dan Katolik yang terbanyak terdapat di kabupaten Nabire,

Mimika dan Paniai. Penganut agama Kristen Protestan selalu sebih banyak darpada yang beragama

Katolik, tetapi di kabupaten Asmat dan Mappi terjadi sebaliknya.

Penganut agama Islam terbanyak terdapat di kota Jayapura, kemudian di ikuti penduduk di

kabupaten Merauke, Jayapura, Nabire dan Mimika, yang sebagian besar umumnya merupakan

penduduk pendatang dari luar Papua.

(6)

C . G K I D I T A N A H P A P U A D A L A M S E J A R A H

1. Arti Nama GKI Di Tanah Papua

Gereja Kristen Injili di Tanah Papua merupakan sebutan yang

diwacanakan oleh para pendiri gereja ini144, Dalam tulisannya Sostenes Sumihe145

mengatakan bahwa nama ini penuh dengan makna teologis, terutama dalam kerangka

misi gereja. Hal ini terungkap dalam sebutan-sebutan "Gereja", "Kristen",

"Injili", "di", dan "Tanah Papua

Pemahaman gereja sebagai persekutuan orang percaya, yang terbentuk

karena panggilan Tuhan, memiliki dasar Alkitabiah yang kuat dan

melahirkan hakikat pelayanan gereja yang koinonia, marturia, dan

diakonia. Ketiga hal tersebut adalah satu kesatuan yang utuh.

Menonjolkan yang satu dan mengabaikan dua yang lain, berarti gagal

menjalankan amanat itu sepenuhnya.

Kata kristen dijabarkan dari istilah "Kristus", dan itu menunjuk

kepada seorang atau lebih yang mengikut Kristus (Kis 11:26). Kristus

adalah pusat dalam gereja ini. Dalam Tata Gereja GKI-TP ditegaskan:

"Yesus Kristus adalah Tuhan dan kepalanya yang memerintah dan

memelihara gereja dengan Firman dan Roh-Nya146 Gereja ini adalah

milik Yesus Kristus dan Dia adalah Tuhannya, Dia memimpin,

memerintah dan memelihara gereja-Nya.

Kata Injil itu sendiri bermakna "kabar baik", "berita kesukaan". Maka

kata sifat "injili" itu mau menjelaskan sifat atau karakter gereja itu;

144

Awalnya disebut sebagai Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea, kemudian Gereja Kristen Injili di Irian Barat, kemudian menjadi Gereja Kristen Injili di Irian Jaya dan terakhir berdasarkan Sidang Sinode Sorong tahun 2000 menjadi Gereja Kristen Injili di Tanah Papua.

145

S. Sumihe, 50 Tahun GKI di Tanah Papua: Pelajaran dari Perspektif Eklesiologi (Makalah), Jayapura, 146

(7)

yakni bahwa pada diri gereja itu ada nilai-nilai Injil (kebaikan,

sukacita, damai-sejahtera, dstnya) dan

kehadirannya merupakan sebuah kabar baik atau berita kesukaan bagi mereka

yang mendiami Tanah Papua. Ini berarti melalui GKI TP, jemaat maupun

masyarakat merasakan dan mengalami kebaikan, kesukaan dalam

kehidupan sekarang ini. jadi, dengan kata "injili" mau ditekankan sifat

misioner gereja. GKI TP adalah gereja yang misioner, gereja yang selalu

dan selamanya terutus untuk menyatakan kebaikan, sukacita, damai

dan kesejahteraan bagi masyarakat di Tanah Papua.

Amanat dan tugas tersebut berlangsung dalam sebuah konteks,

yaitu Tanah Papua. Penekanan pada konteks ini diperjelas dan

diperkuat oleh kata penunjuk

di. Gereja itu ada di Tanah Papua, gereja tidak berada dalam sebuah

ruang hampa, melainkan dalam sebuah ruang yang disebut Tanah

Papua. Tanah Papua ini bukan hanya sekedar tempat di mana gereja itu

ada, melainkan menerangkan realitas di dalamnya gereja itu

menjalankan amanat dan misinya. Realitas ini bersifat dinamis, karena

Tanah Papua (manusianya) selalu mengalami perubahan. Dan karena

itu amanat dan tugas di atas selalu harus ditafsirkan ulang. Pada

dasarnya amanat dan tugas itu tetap sama, dahulu, sekarang dan akan

datang, tetapi isinya harus selalu dimaknai secara baru agar misi gereja ini

selalu kontekstual dan relevan.147

Jadi kata penunjuk di memiliki makna teologis penting dalam

rangka kehadiran gereja tersebut dalam konteks serta realitas yang ada. Oleh

karenanya realitas GKI yang dimaksudkan adalah realitas yang ada di Tanah

(8)

Papua dan bukan yang lain. Selain itu kata penunjuk di juga mempertegas

sifat oikumenis GKI-TP, yang mengakui kehadiran dan keberadaan

gereja-gereja di daerah lain sebagai bagian yang utuh dan esa dari Gereja Kristus di

dunia ini. Maka siapa saja yang datang di Tanah Papua, diterima sebagai

anggota GKI TP, begitu pula sebaliknya GKI TP tidak mendirikan gereja

di luar Tanah Papua, tetapi menganjurkan warganya untuk jadi anggota gereja

yang seasas di daerah tersebut.

Tetapi, sifat oikumenis ini tidak hanya mengenai kepelbagaian

latar belakang asal gereja warga GKI-TP, melainkan juga

menggarisbawahi kepelbagaian latar belakang budaya, bahasa, etnis,

sosial, ekonomi dan politik dari manusia yang menghuni Tanah Papua.

Jadi sifat oikumenis itu tidak hanya menjelaskan bersatunya warga gereja

dari berbagai latar belakang tradisi ke dalam satu denominasi (GKI-TP),

tetapi juga menjelaskan bahwa dalam GKI-TP terwujud kesatuan

manusia dari berbagai latar belakang.

2. Sejarah Berdirinya GKI Di Tanah Papua

Tanggal 26 Oktober 1956, merupakan awal berdirinya Gereja Kristen

Injili di Irian jaya. yang saat ini kita kenal dengan Gereja Kristen Injili

di-Tanah Papua. GKI TP bila kita mempelajari sejarahnya dengan baik, maka kita

harus mengetahui masa sebelum Gereja berdiri sendiri. Sehingga apabila kita

menyebut Gereja Kristen di Tanah Papua, maka ini tentu tidak terlepas dari

utusan Zending yang datang membawa kabar sukacita ketengah-tengah orang

Papua melalui kedua Rasul Papua Carl. Wilhelm Ottow dan Johann Got lob

Geissler dan para Zendeling lain yang pernah bekerja dan mengabdi di

(9)

terpisahkan dari sejarah berdirinya Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Tentang

berdirinya gereja ini, mantan ketua sinode ke 3 Pdt W. Maloali,148 mengatakan

bahwa:

Karena GKI Papua yang berdiri sendiri itu hasil karya Zending selama satu abad, di Irian Jaya, yakni dari Tahun 1855- 1956 (awal masukn ya Injil di Pulau Mansinam (Manokwari), Tanggal 5 Februari 1855 sampai berdirinya GKI di Irian Jaya Tanggal 26 Oktober 1956). Sejak GKI dilantik, maka Gereja mengambil alih serta meneruskan. tugas Zending itu sampai sekarang.

Gereja yang berdiri sendiri pada saat itu sudah terdapat sembilan resort

dan satu klasis berbahasa Belanda. Sinode- sinode resor itu terdiri dari utusan-

utusan dari klasis- klasis yang membentuk resort, yang di pilih secara gerejani.

Sedangkan utusan-utusan atau anggota klasis dipilih dari jemaat- jemaat yang

terdapat didalam klasis. Jadi anggota- anggota Sinode Umum itulah utusan

resort yang telah terpilih secara gerejani yang demokratis dan mereka dibagi

dalam beberapa wilayah resort sebagai berikut:

2.1. Resort pertama berada didaerah paling timur, Sukarnapura-Nimboran

(HollandiaNimboran) yakni gabungan dari dua resort, yaitu Hollandia dan

Nimboran, ini merupakan daerah perkumpulan para Pendeta, yang berpusat di

Genyem.

2.2 Resort yang kedua adalah daerah Sarmi, yang terdapat di daerah

(10)

Sukarnapura dengan sungai Mamberamo yang berpusat di kota Sarmi.

2.3. Resort yang ketiga adalah Yapen-Waropen, yaitu pulau- pulau Yapen,

Kurudu dan pesisir Waropen yaitu antara sungai Mamberamo dan

Wapoga, yang pusatnya di Serui.

2.4. Resort yang keempat ialah Biak-Numfor. Sebelumnya merupakan

bagian dari resort Manokwari. Dalam tahun 1946 pada waktu

penertiban kembali, maka Ketua Zending menganjurkan supaya klasis

Numfor memilih sendiri kemana mereka ingin bergabung, apakah

daerah Biak atau Manokwari. Nyatalah bahwa yang d i p i l i h i al a h

d a e r a h B i ak ; i t upu n d en ga n h as i l p e r s et uj u an d e nga n

pemerintahan distrik Numfor kepada Kepala Pemerintah Biak (1945).

Pusat resor mula- mula bertempat di Biak, kemudian pada tahun 1948

dialihkan ke daerah Korido dan tahun 1952 berpindah ke Biak kota.

2.5. Resort kelima ialah Miei yang memanjang dari perbata san sungai

wapoga sampai perbatasan distrik Ransiki dan pulau Rumberpon; serta

bagian Idoor dan Bintuni, yang pusatnya di daerah Miei.

2.6. Resort keenam ialah Manokwari antara perbatasan Miei bagian timur

dan perbatasan Sorong sebelah timur dari Sausapor termasuk

pedalaman yang meliputi Anggi, Hatam sampai Kebar yang berpusat di

Kwawi (Manokwari).

2.7. Resort ketujuh adalah Sorong, yang berbatasan dengan manokwari

(11)

Teminabuan), ditambah dengan bagian pedalaman Karoon, Mooi

beserta dengan kepulauan Raja Ampat dengan pusat di Saoka,

kemudian tahun 1956 sesudah perang dunia II berpindah ke Doom dan

tahun 1960 pindah ke kampung bar u (kabalai) Sorong.

3. Struktur Dasar GKI-TP

Dimaksudkan dengan "struktur dasar" di sini adalah

gagasan-gagasan pokok yang di atasnya mekanisme kehidupan gereja ditata

sehingga amanat dan misi gereja dapat dijalankan sebagaimana

mestinya. Pemahaman diri GKI-TP sebagaimana dijelaskan sebelumnya

mengisyaratkan dua hal sebagai struktur dasar GKI-TP

Pertama adalah koinonia. Hakikat GKI-TP adalah sebuah

persekutuan atau koinonia. Persekutuan ini pertama-tama mengenai relasi

iman dengan Tuhan. Tetapi, relasi ini mendapat wujudnya yang nyata

dalam persekutuan dengan sesama umat percaya. Penataan mekanisme

kehidupan dalam GKI-TP selalu dan selamanya harus didasarkan pada

persekutuan dan senantiasa menceminkan persekutuan itu.

Kedua adalah prebisterial sinodal, sebagai implikasi koinonia dalam

pola dan tata pemerintahan gereja. Peran tua-tua dalam jemaat penting

untuk menjalankan mekanisme kehidupan jemaat; dan peranan ini

berlangsung dalam prinsip kolegial. Pola prebisterial sinodal sebagai

implementasi dari koinonia menjadi nyata bukan saja ke tika para tua

(12)

terjadi dalam pelayanan bersama para tua jemaat di setiap jemaat.149 Jadi

jemaat setempat sudah merupakan penampakan struktur dasar sebagaimana

diuraikan di atas.

Maka apabila mekanisme kehidupan jemaat diperluas ke luar

jemaat lokal, perluasan itu tidak mengabaikan struktur dasar tersebut.

Mekanisme sinodal misalnya harus mencerminkan mekanisme struktur

dasar yang ada pada setiap jemaat lokal. Begitu Pula halnya jika antara

jemaat dan sinode diciptakan mekanisme baru dalam bentuk klasis atau

lainnya, mekanisme baru ini tidak boleh mematikan mekanisme struktur

dasar yang ada pada tiap jemaat, atau mungkin berjalan dengan

mekanisme yang sama sekali lain dari struktur dasar yang ada.

Apabila hal ini terjadi maka hakikat jemaat sebagai penampakan

koinonia pada lingkup, lokal akan mengalami gangguan dan pertumbuhan

jemaat menjadi terhambat.

Dari dua konsep struktur dasar di atas jelas bahwa di dalam GKI-TP jemaat

mempunyai posisi dan peranan penting dalam kehadiran dan misi gereja ini di

Tanah Papua; jemaat merupakan basis gereja dan dari sana dapat diamati tingkat

kemisionerannya. Sidang sinode XV di Wamena menggaris bawahi posisi

149

(13)

jemaat demikian dengan menekankan restrukturisasi dan menonjolkan jemaat

sebagai basis GKI-TP150, Maka pertumbuhan jemaat tidak dapat diabaikan

dan perlu langkahlangkah strategis- untuk memberdayakan seluruh

komponen dalam jemaat. Pola pembinaan jemaat yang tidak menyentuh dan

mendorong warga jemaat mewujudkan imamat am orang percaya itu sudah harus

diganti dengan alternatif lain yang dapat menumbuhkan dinamika pelayanan

yang baru dalam jemaat.

4. Tata Gereja GKI-TP

Sebagai Gereja yang berdiri sendiri maka GKI TP perlu

memiliki Tata Gereja yang mengandung pemahaman teologis atau

iman Gereja serta prinsip-prinsip penyelenggaraan Gereja. Tata Gereja

ini tunduk dan disorot oleh Firman Allah dalam alkitab serta merupakan

suatu alas atau sarana dalam menolong Gereja melakukan tugas-tugas

kesaksian, persekutuan dan pelayanan kasih secara teratur, bertanggung

jawab dan semaksimal mungkin.

Dalam penerapan tata gereja yang menyangkut hal-hal tehnis,

bilamana di suatu saat ternyata bahwa pemahaman teologis dan

prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya tidak lagi sesuai dengan

alkitab atau tidak lagi menolong Gereja dalam menjalankan tugasnya,

maka Tata Gereja tersebut dapat ditinjau kembali atau dirubah151

150

Perhatikan Amandemen Tata Gereja pada Sidang Sinode ke-15 di Wamena. Tahun 2006

151

(14)

melalui usulan amandemen pada sidang sebelumnya.

Tata Gereja ini merupakan perumusan ulang atas naskah-naskah

Tata Gereja yang pernah berlaku dalam GKI di Irian Jaya (Papua)

sesuai Keputusan Sidang Sinode ke IX GKI- di Irian Jaya tahun 1980

di Biak. Naskah-naskah Tata Gereja tersebut adalah sebagai berikut:

Tata Gereja tahun 1956, Tata Gereja tahun 1968, Tata Gereja tahun

1971, Tata Gereja tahun 1977. Dalam perumusan ulang naskah -naskah

tersebut diperlakukan sebagai berikut: a). Hal -hal yang prinsipil

gerejawi dalam naskah-naskah tersebut tidak mengalami perobahan. b).

Hal-hal tersebut adalah dasar teologis yang menjiwai terbentuknya GKI

di Irian Jaya sebagaimana yang terkandung dalam Pengakuan, Amanat,

Jabatan pelayanan dan susunan jenjang organisasi gerejawi; hal-hal yang

karena bersifat tehknik pelaksanaan mengalami penyesuaian atau

perobahan; c). Hal-hal yang telah menjadi praktek gerejawi dan yang

diterima secara umum namun yang belum tertampung dalam

naskah-naskah tersebut, dicantumkan dalam Tata Gereja yang bar u.152 Tata

152

Hal-hal tersebut ditampung dalam 4 (empat) macam tingkatan peraturan yaitu:

a. TataGereja yang memuat pemahaman teologis' Gereja serta prinsip - prinsip dasat

(15)

Gereja ini tetap mempertahankan 3 (tiga) jenjang dalam struktur

organisasi GKI yaitu Jemaat, Klasis dan Sinode153.

Dengan demikian Amanat Pelayanan dan Penggembalaan gereja,

diuraikan secara khusus dalam rumusan-rumusan Peraturan dan Petunjuk

bagi pelaksanaan pelayanan agar diuraikan secara terbuka dan terarah bagi seluruh

bagian kelengkapan pelayanan yang ada dalam di GKI di TP.

5. Struktur Organisasi dan Kepemimpinan GKI-TP

Keseriusan dalam menjalankan Amanat Penggembalaan dalam visi dan

misi GKI TP dapat terlihat dalam Struktur Organisasi Gereja Kristen Injili Di Tanah

Papua Tingkat Sinode.154 Uraian data statistik155 yang menunjukkan

pertumbuhan Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua dengan luas wilayah

pelayanan ± 422.000 km2, sebagai berikut:

5.1. Sekretariat Kantor Sinode terdiri dari: Bidang Umum, Bidang Tata Usaha,

Bidang Personalia, Bidang Pensiun dan Kesejahteraan Pegawai,

Bidang Keuangan, Bidang Kemitraan dan Hubungan Oikumenis, Bidang

Hukum, dan Bidang Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.

5.2. Departemen-departemen156 terdiri dari: Departemen Pekabaran Injil (DPI),

Departemen Pembinaan Jemaat (DPJ), Departemen Pendidikan

153

Lih. Struktur GKI secara Teologis.

154

Lih. Struktur Gereja Kristen Injih Di Tanah Papua Tingkat Sinode

155Data Perayaan 50 GKI TP, Jayapura: Sinode GKI 2006. 156

(16)

(DP), Departemen Ekonomi Keuangan dan Pembangunan

(DEKUBANG) dan Departemen Penelitian dan Pengembangan

(LITBANG); Yayasan Pendidikan Kristen di Tanah Papua (YPK);

Yayasan Percetakan GKI Di Tanah Papua; Yayasan Diakonia GKI Di

Tanah Papua; Yayasan Ottow & Geissler GKI Di Tanah Papua : Yayasan

Izaak Samuel Kijne GKI Di Tanah Papua; PT Mansinam Global Mandiri .

Gambaran ini jelas menunjukan perkembangan pelayanan yang cukup

matang terutama dalam mengantisipasi perkembangan dan pergumulan

yang senantiasa berubah dan tidak menentu dalam konteks gereja di

Tanah Papua, sejak berdiri tahun 1956 hingga sekarang. Hal ini

bermaksud agar pelayanan yang dilakukan gereja menjadi relevan

dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat itu. Data pertumbuhan

pelayanan, termasuk tenaga pelayan, baik yang ada di perkotaan maupun

(17)

Bagan 2: Pertumbuhan Pelayanan dan SDM GKI TP157

IV. ANGGOTA JEMAAT 404.407

V. PENDETA158

Jumlah Seluruh Pegawai GKI Di Tanah Papua 1.155

157

Data dikelolah dari data statistik dalam makalah Pdt. C. Berotabui, "Gereja Kristen Injili di Tanah Papua Visi dan Misinya di masa yang akan datang", Makalah disampaikan

pads seminar dalam rangka memperingati 50 nn. GKI di Tanah Papua 2006 158

(18)

Disamping itu, untuk meningkatkan mutu pelayanan dan pembinaan, GKI juga mempersiapkan berbagai lembaga pendidikan baik Formal maupun non formal serta sarana pendukung lainnya seperti yang terlihat pada tabel berikut:

Bagan 3: Lembaga Pendidikan Formal dan Non Formal

No Nama Lembaga Jumlah

1 Lembaga

Pendidikan Dasar (Taman, SD, SLIP) 520

2. Lembaga Pendidikan Menengah, (umum & Kejuruan) 18

3. Perguruan Tinggi 2

4. Lembaga Pendidikan Non-Formal159 10

5. Pendidikan Sekolah Pola Asrama 11

6. Asrama Umum 6

Jumlah Keseluruhan 565

Dalam GKI TP, lembaga-lembaga ini berfungsi untuk menopang

Gereja dalam menjalankan dan mengevaluasi program-program gereja,

sedangkan di tingkat jemaat melakukan kegiatan-kegiatan pembinaan dan

peningkatan sumber daya manusia atau jemaat secara praktis dan

berkesinambungan.

6. Realitas Sosial di Papua

Berdasarkan situasi dan keadaan Jemaat-jemaat di Papua dewasa ini persoalan

kemajemukan telah membawa perubahan secara positif tetapi juga negati f di

159

(19)

berbagai bidang kehidupan. Gereja sementara diperhadapkan dengan

kemajemukan suku yang ada di Tanah Papua sendiri (± 255) sekaligus kehadiran

suku-suku lain di luar Papua yang juga menjadi suatu keragaman yang tidak bisa

ditolak atau diabaikan160. Keadaan ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap

pelayananan dan pertumbuhan GKI Di TP di masa sekarang dan masa yang akan

datang. Kebutuhan pelayanan secara holistik semakin mendesak dan

berkembang ketika perbedaan antara warga jemaat yang satu dengan warga

jemaat yang lain, juga antara jemaat yang satu dengan jemaat yang lain ditemukan.

Gereja tidak lagi hanya mengandalkan kemampuan pelayanan secara rohani

tetapi juga dituntut untuk melayani dalam wawasan pengetahuan yang lu as

termasuk juga ahli dalam bidang-bidang tertentu161, seperti keputusan

menghadirkan Bidang Hukum dan bidang Keadilan, Perdamaian dan

Keutuhan Ciptaan (KPKC)162 Hal ini bahkan semakin urgen -ketika

gejala-gejala perubahan social dalam kehidupan warga yang majemuk ini lantas

melahirkan pula konflik-konflik secara sosial, ekonomi, bahkan politik yang

berujung pada meningkatnya kasus-kasus kekerasan baik disektor domestik maupun

publik.163 Situasi ini pada akhirnya membuat GKI TP akhirnya memutuskan

dalam Sidang Sinode XIV di Sorong tahun 2000 bahwa suatu proteksi

pelayanan yang terpadu terhadap persoalan Pastoral dan Penggembalaan di Papua

sudah harus diprioritaskan melalui berbagai cara penanganan.

160

Wawancara dengan Pdt. A. Yoku (Wasek Sinode GKI) tanggal 10 September 2009.9 Ibid. 161

ibid

162

ibid

(20)

Pandangan gereja, khususnya GKI TP ternyata juga menjadi perhatian

lembaga p e r w a k i l a n m a s y a r a k a t A d a t d i P a p u a . K h u s u s n y a t e r h a d a p

kemajemukan, pada sisi keagamaan, Realitas heterogenitas jemaat-jemaat

Kristen di Tanah Papua, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP)Agus Alua164

memberikan pandangannya bahwa :

jemaat-jemaat Kristen di Tanah Papua terdiri dari jemaat yang homegen, terutama di karnpung-karnpung; dan jemaat yang heterogen yang ada di kota-kota. Realitas jemaat yang demikian perlu disikapi secara arif dalam kerangka tugas pastoral yang dapat membangun persekutuan kasih yang kokoh. Realitas kemajemukan demikian, dalam kepemimpinan gereja sudah semestinya diakomodasi secara arif dan bijaksana.

Situasi dan kondisi sedemikian rupanya semakin diperhitungkan

mengingat Pengalaman Penderitaan (Memoria Passionis),165 di bidang politik

ekonomi, sosial dan budaya, Lingkungan hidup selama integrasi Papua ke dalam

NKRI selama 43 tahun dan pelaksanaan undang-undang No.21 tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus di Provinsi Papua turut mempengaruhi perkembangan Gereja

Kristen Injili di Tanah Papua di masa-masa yang akan datang.166

Keseriusan dan keberpihakan pada situasi kemajemukan diperingatkan

oleh Sostenes Sumihe25 bahwa di tengah pergumulan gereja melakukan tugas

pembaharuan dunia menyangkut kemajemukan ini, gereja dan segenap

warganya, wajib memperhatikan unsur-unsur kemajemukan itu sendiri agar

tidak jatuh ke dalam persoalan orientasi ekslusif, orientasi pad a kepentingan

164

Agus Alua, Tugas-tugas Gereja di Papua, makalah untuk semiloka 50 tahun GKI TP, (Jayapura,2006) Hlm.3

165

Ibid

166

(21)

kelompok dan golongan sendiri. Catatan ini, penting untuk direnungkan baik

oleh orang (asli) Papua maupun saudara seiman dari luar Papua.

Sementara itu Kemajemukan GKI TP dalam Pandangan W. Maloali,167

sejak awal mula gereja terbentuk sudah terakomodasi dalam kepemimpinan

GKI TP. Dalam sebuah Semiloka memperingati 50 tahun GKI TP, ia

menguraikan bahwa:

Gereja ini bukan Gereja dari satu bangsa melainkan satu Gereja yang mempersatukan segala oknum dari segala bangsa yang mengaku dasar Gereja ini selaku dasar iman. Sekarang dalam Gereja telah mempersatukan segala suku bangsa di Nieuw Guinea atau Papua dalam satu Badan yaitu Orang Inanwatan, Biak, Serui, Sarmi, Sorong, Wondama, Sentani, Hollandia semuanya terkumpul atas kehendak sendiri dalam satu Gereja di Nieuw Guinea. Dalam perkembangan masyarakat ke depan gerejalah yang berjalan di muka". Dalam Sidang Sinode Umum Ke-IV Tahun 1965 di Silkarnapura, data keanggotaan jemaat GKI sudah makin luas, bukan saja anggota jemaat orang Papua namun juga meliputi anggota jemaat dan Gerejagereja wilayah lain di Indonesia yang anggotanya berpindah ke Tanah Papua oleh karena penugasan kedinasan di Papua. Kebanyakan mereka adalah Punpinan Dinas dan Biro-pada instansi-instansi Pemerintahan, yang bekerja bersama dengan saudara-saudaranya dari Papua.

Kemajemukan dalam warga GKI TP ini tentunya menjadi daya dorong bagi

perkembangan Oikumenis baik ke dalam maupun keluar Papua. Hal ini dibuktikan

oleh GKI TP di mana ketika membentuk Badan Pekerja Am Sinode Pertama tahun

1956. ketika itu Pdt. F.J.S. Rumainum terpilih sebagai Ketua Umum, dengan anggota

yang memiliki dari Oikumenis, yaitu terdiri dari berbagai suku; Papua, Sanger,

Menado, Ambon, jawa, kalimantan, Sumatera, bahkan Tenaga Utusan Gereja (TUG)

167

(22)

dari gereja-gereja mitra luar negeri.168 Perkembangan dalam kehidupan

bergereja dan berjemaat semakin nampak baik di kota-kota dan desa-desa.

Pemandangan dalam. jemaat-jemaat GKI yang berwajah multi bangsa atau heterogen

itu telah memberikan dorongan kepada GKI TP untuk tetap, memperhatikan

kerjasama Oikumenis dengan Gereja-Gereja di Papua. Hubungan Kerjasama ini

bukan saja menyangkut pelayanan kerohanian saja, namun juga untuk

memperkuat bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain

sebagainya. Sehingga dalam perkembangan kehidupan Anggota jemaat yang

Oikumenis serta masyarakat Papua secara umum ke depan, Gerejalah yang

harus berperan akti.

Akan tetapi realitas kehidupan warga jemaat/masyarakat yang majemuk

ini lantas diperhadapkan dengan berbagai fakta yang mengarah kepada

munculnya berbagai konflik, b aik secara sosial, ekonomi dan politik

yang seolah-olah menempatkan Gereja dan jemaat pada situasi pertentangan

(Ambivalen) menghadapi kondisi dan situasi tersebut. Bahkan muncul sikap

tidak peduli (apatis) antara satu dengan yang lainnya. Namun di sisi yang lain

jemaat/masyarakat sebagai korban dari situasi seperti ini secara tidak sadar telah

menjadi pelaku-pelaku kekerasan yang tentu saja semakin memperkeruh dan

memperpanjang terwujudnya cita-cita damai di Tanah Papua.169 di sisi yang lain

fakta-fakta di lapangan menyebutkan bahwa banyak para pekerja sosial, atau HAM

168

Bdn. FJ.S. Rumainum, Sepuluh Tahun...., Idem, 49.

(23)

termasuk para konselor atau Pendeta telah mengalami intimidasi.170 Intimidasi itu

sendiri terjadi dalam berbagai bentuk, seperti; penolakkan/larangan pelayanan,

tekanan-tekanan dengan cara-cara kekerasan (fisik dan non fisik), dan lain sebagainya.

Meskipun demikian, tidak ada pilihan lain kecuali berada di posisi sebagai

gembala yang harus menuntun dan mengarahkan jemaat dalam menghadapi

masalah.171 Keputusan untuk bertahan dan menghadapi situasi pelayanan seperti ini

karena GKI TP memahami bahwa Tugas Gereja adalah menegakan kebenaran

dan keadilan. Gereja bukan hanya mewartakan kebenaran yang terdapat dalam

Alkitab, tetapi juga menyikapi dan menegakkan kebenaran dan keadilan dalam

situasi kongkrit yang dialami oleh umatnya. Para Petugas Gereja diharapkan

tidak hanya berkata-kata, tetapi juga menyerukan suara kenabian dan

mewujudkannya dalam tindakan nyata, dalam kata dan perbuatan atau menjadi

"Garam dan Terang".

Usaha keberpihakkan GKI TP dalam situasi seperti ini tentunya bukan

sesuatu cita-cita yang mudah. Tahun 2002 dalam sebuah Pertemuan bersama Para

pemimpin agama yang diprakarsai oleh GKI TP, Uskup jayapura, menyebutkan

Enam sumber konflik di Papua, sebagaimana yang diuraikan sewaktu Konferensi

170

Wawancara dengan Pdt. A. Yoku, Tanggal 14 September 2009.

171 Wawancara dengan Pdt. A. Dimara (Klasis GKI Mimika), jayapura 27 juli 2008. Dalam sebuah pelatihan HAM yang diadakan

di Aula P3W-GKI jayapura oleh KPKC Sinode GKI, Pdt. Dimara, sebagai salah seorang peserta mengakui bahwa sebagai pegawai GKI TP dirinya siap ditempatkan di mans saja, termasuk di jemaat yang menghadapi konflik dengan apar at keamanan. Dalam pengalamannya terhadap situasi yang kompleks ini, dirinya hanya bisa bertahan baik menghadapi

ancaman aparat keamanan tapi juga ancaman warga setempat. Untuk itu menurutnya seorang Pelayan seperti dirinya sangat membutuhkan pelatihan dan pendidikan HAM sebab tanpa itu ia khawatir tidak mampu menempatkan diri secara pribadi dan secara

(24)

Perdamaian,172 yaitu:

[1] perbedaan aspirasi politik – kubu O (Otonomi) dan kubu

M(Merdeka); [2] penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan; [3] pemerintahan

yang semu; [4] kecurigaan antar kelompok etnis dan suku, [5] kecurigaan

antar kelompok agama; dan [6] kesenjangan sosial ekonotni. Kemudian

hari, dalam sebuah diskusi Panel Perayaan Injil masuk di Tanah

Papua,173 Theo van den Broek Ofm,174 menambahkan dua pokok lagi

sumber konflik Papua, yakni; [7] kehilangan pegangan hidup

bersama, dan [8] pengurasan sumber daya alam.

Belum lagi berbagai tantangan yang terus -menerus datang dan

menguji komitmen yang sudah dibangun, seperti: a). Tantangan geografis:

Tantangan utama GKI di Tanah Papua, berasal dari dalam. Wilayah yang

terlalu luas dengan tingkat kesulitan yang tinggi untuk penjangkauannya.

Perlengkapan bentuk transportasi dan alat komunikasi yang belum memadai, yang

berdampak kepada terhambatnya arus informasi dan mobilisasi dari satu tempat

ke tempat yang lain. b) Adat-istiadat: berkembangnya fenomena Adat

pembayaran mas kawin dan kebangkitan kembali harapan-harapan mesianis (cargo

cult) akibat kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik yang tidak

172 Mgr. Leo L. Ladjar ofin, Uskup Jayapura, Konferensi Perdamaian uniuk Papua, Jayapura,

2002) 3

173

Perayaan Injil Masuk di Tanah Papua dirayakan setiap tanggal 5 Februari oleh seluruh komponen keagamaan di Papua. Berdasarkan ketetapan Sidang DPRD Propinsi Irian Jaya tanggal 16 Agustus 2000.

(25)

menguntungkan warga Papua (asli). c). Arus Migrasi: Tantangan pelayanan

terhadap arus migrasi yang masuk ke Papua setiap hari tanpa terbendung,

memberi dampak terhadap semakin tingginya persaingan pada sektor tenaga

kerja. Nampaknya ruang bagi tenaga kerja orang Papua (asli) dipersempit. Oleh

karena itu mereka mulai merasa sebagai minoritas yang mana justru

memperlebar efek hilangnya kesempatan ekonomi dan justru memicu

meningkatnya diskriminasi serta konflik.175 Dan itu berarti kerugian kesempatan

kerja dan mencari nafkah untuk dapat hidup layak bagi warga gereja orang

Papua semakin jauh. Seluruh komponen warga Papua terutama Gereja "dipaksa"

untuk secara serius dan cepat dalam menyikapi arus migrasi dan pemberlakuan

pasar bebas - terhadap keberadaan masyarakat Papua. d). Cara Hidup: Situasi

kehidupan Anggota Jemaat dewasa ini semakin hari menunjukan tanda-tanda

kekecewaan warga/masyarakat yang tertindas dan terhimpit akibat persaingan

kehidupan, seperti muncul sifat ketidakjujuran yang terus meningkat akibat

pengaruh lingkungan. Hal tersebut kadang-kadang muncul pada praktek money

politic dalam Pelaksanaan PILKADA". Korupsi di Papua dilakukan hampir

tanpa memiliki rasa takut.

Menurut Maloali,176 tindakan-tindakan ini seolah-olah pembalasan

terhadap hidup yang susah dan miskin sebelumnya. Kemalasan, semakin

175

Agus Sumule, Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya di Papua Barat, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2006) 157.

(26)

terlihat pada kalangan generasi muda baik di kota-kota dan di kampung-kampung.

Semangat untuk berprestasi dan bersaing secara sehat di segala bidang kehidupan

masih sangat minim. Begitupun hal pemabukan. Di mana-mana di seluruh wilayah

pelayanan GKI TP, masalah pemabukan hampir secara pasti ditemukan,

terutama terjadi di lingkungan orang muda.

Meskipun gejala ini dianggap sebagai akumulasi terhadap persoalan-persoalan

Papua, terbukti sifat konsumerisme terhadap alkohol ini telah mendorong

kehdiran banyak sekali rumah -rumah minu m seperti Bar d an Karaoke,

Bil yard yang menawarkan berbagai jenis minuman produksi pabrik. Namu n

bukan produk-produk berlabel ini saja yang diserbu atau dicari. Ternyata

warga jemaat/masyarakat juga secara rutin menghasilkan sendiri "minuman

lokal" beralkohol atau yang dikenal dalam berbagai istilah samaran seperti;

Milo (Minuman lokal), SBY (Susu Buatan Yoka)177. Nampaknya kesukaan

terhadap minuman beralkohol ini menjadi salah satu pintu utama siklus

pembodohan terhadap orang Papua.178 Karena itu tidak heran cara hidup seperti

ini justru menjadi "lingkaran setan" yang memunculkan berbagai tindakan

kekerasan yang ada di Papua. Terutama di kota Jayapura.

Pola hidup "harap gampang" dan istant, juga lahir dalam pandanga n

banyak generasi muda terutama sekali karena topangan budaya kekeluargaan

yang masih sangat terpelihara. Sehingga warga jemaat/masyarakat terkesan

177

Kedua istilah ini sangat terkenal di Klasis Jayapura karena merupakan produk lokal

(27)

tidak peduli dengan segala ketertinggalan dan keterpurukan. Bagi banyak orang, itu

bukan masalah sebab keadaan demikian terjadi hampir setiap saat dan di mana saja.

Nampaknya kesadaran akan buruknya lingkungan sosial justru membingungkan

atau menakutkan orang untuk keluar dari tekanan lingkungan yang sudah ada.

7. Misi GKI di Tanah Papua dalam Periodisasi

Gereja Kristen Injili di Tanah Papua179 mulai disebut sebagai suatu

Gereja mandiri ialah pada Sidang Sinode Umum yang pertama tanggal 16-29

Oktober 1956 di Abepura. Kemudian dinyatakan resmi berdiri tanggal 26

Oktober 1956 melalui surat keputusan Gubernur Nederlands Nieuw Guinea

tanggal 8 Februari 1957180 Sejarah sebelumnya disebut Zending di Nederlands

Nieuw-Guinea (5 Pebruari 1855 s/d 26 Oktober 1956).181

Perjalanan waktu penginjilan yang sangat lama untuk menjadi gereja

tentu bukan suatu hal yang mudah. Kamma, seorang Zendeling Etnolog Papua,

pernah menyebutkan182 bahwa baik gereja sebagai persekutuan manusia

maupun zending sebagai kegiatan manusia adalah hasil karya Roh Kudus yang

kreatif.

Pernyataan Kamma tersebut sangat beral asan mengingat sejarah

179

Tentang. Perubahan nama Gereja Kristen Injili Di Irian jaya.

a. Secara historis culture, pemberitaan Injil di mulai di Tanah Papua. Dan secara teologis mempunyai sifat oikumenis, di mana semua etnis yang berada dan hidup di tanah ini adalah anggota GKI.

b. Pengertian Tanah Papua mengandung pula pemahaman bahwa GKI tidak berekspansi keluar membentuk jemaat-jemaat di luar Tanah Papua.

c. Berdasarkan pemahaman diatas, maka Sidang Sinode XIV GKI Di TP memutuskan untuk merubah nama GEREJA KRISTEN INJILI DI IRIAN JAYA menjadi GEREJA KRISTEN INJILI DI TANAH PAPUA. Lih. Keputusan dan Ketetapan Sidang Sinode XIV GKI Di TP, (Sorong tahun 2000) hal 62.

180

FJS Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah 101 Tahun Zending Di Irian Barat, (Irian Barat:Sukamapura, 1966) 55

181

Kunrad Kreeuw, Perkembangan Tata Gereja GKI 1956 – 1977, Oayapura, 1982) 2

(28)

perjalanan Pekabaran Injil (PI) di Tanah Papua bukan saja diwarnai oleh ketidak

mengertian dan penolakaan para zendeling atas makna sosial upacara-upacara dan

budaya orang Irian, namun juga karena keputusasaan mereka atas pola hidup

orang Irian saat itu yang masih suka berkelana.183

Cara hidup semacam itu dalam pandangan kaum zendeling seolah -olah

mengabaikan benih pekerjaan zending dan tidak memperoleh tempat di

kehidupan mereka. Apalagi pad a abad ke-19 itu orang Irian masih

menganut agama asli mereka.184 Akan tetapi Th van den End185 mencatat suatu

fakta lain tentang Pola hidup orang Numfor186 yang suka berkelana itu dan sering

dikecam para pekabar Injil. Oleh karena cara hidup seperti ini sangat tidak

memungkinkan orang mengunjungi gereja dan sekolah dengan teratur. Namun

menariknya, justru karena pola hidup nomaden itulah orang meneruskan

kemana-mana cerita-cerita Alkitab yang pernah mereka dengar dalam

kebaktian. Sebenarnya, itu bukan maksud mereka yang utama. Mereka meneruskan

cerita-cerita itu ialah untuk menaikkan gengsi. Tetapi ternyata, melalui cara itu

Injil disebarkan bak benih oleh burung-burung di langit.187

Situasi ini diakui dan dicatat pula dalam tulisan sejarah PI karya Kamma, di mana ia

hampir tiba dalam suatu kekecewaan menyaksikan bahwa dalam masyarakat

183

ibid

184

Jos Mansoben, Sistim Politik Tradisional di Irian Jaya, (Leiden-Netherland, 1994) 246 "

185

Th van den End, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 123

186

Orang Numfor adalah komunitas suku yang mina -mina menerima kedatangan dua zendeling pertama di pulau Mansinam (1855). Mereka adalah kelompok suku yang berbahasa. Biak. Menurut Mansoben seorang Antropolog Papua, suku yang menggunakan bahasa Biak adalah suku dengan wilayah penyebaran yang lugs (dalam dan luar Irian) dan memiliki pengaruh yang sangat besar. B and. Jos Mansoben, Sistim..., Ibid, 224

(29)

yang masih sangat tradisional tersebut acapkah dijumpai suatu keteratutan

yang sangat bersifat tirani. Ia mengindikasikan bahwa nurani kolektif dari

suku-suku yang dijumpai para zendeling turut menentukan terlaksananya

pemberitaan Injil saat itu.188 Sebab setiap orang/keluarga diatur dan diikat oleh

pemahaman kelompok yang ada. jadi dapat dimengerti apabila pengurus

zending UZV beberapa kali menimbang untuk menarik diri dari medan PI di

Tanah Papua, antara lain pada tahun 1864 dan 1870. Sebab waktu itu mereka

segera mendapad bahwa Tanah Papua adalah lapangan kerja yang berbahaya,

mahal, kurang sehat dan tidak subur.189

jika pada kenyataannya pekerjan zending masih bisa diteruskan di Papua

itu tidak terlepas dari peran Ottho Gerhard Heldring190 dalam memainkan

peran pastoralnya sebagai penasihat dari pengurus badan zending UZV (Utrechtse

Zendingsvereniging), terutama karena menurut pendapat Heldring, UZV mempunyai

dua panggilan rangkap di Tanah Papua, yaitu memberitakan Injil dan

mengembangkan kesejahteraan rakyat. Untuk melindungi dua tujuan PI ini, ia

188

Bdn.FC. Kamma, Ajaib ... Ibid, 544

189 48 Hommo Reenders, Mendalarni Beberapa Pokok Sejarah Gereja, Gayapura: SIT GKI IS. Mine,

1993) 47

190

Heldring adalah Tokoh PI ke Tanah Papua. Ia dan Gossner menggunakan metode zendeling 'Tukang Kristen' mengirim dua zendeling pertama, Ottow dan Geissler ke Papua tahun 1855. PI dalam perspektif Heldring dapat dirnengerd dalam ada 3 sifat: Pertama, bukan menekankan hal spiritualisme tetapi keinginannya memakai orang-orang emigran yang berpindah ke Indonesia sebagai alas penyebaran agama Kristen. Kedua, tidak bersifat faith-mission. Artinya, seorang tukang Kristen tidak menerima gaji, hal ini dikarena Heldring

berpendapat bahwa 4a seorang zendeling itu hidup karena menantikan pemeliharaan Tuhan, maka seorang tukang Kristen justru harus bertukang dan mencari naflcahnya sendiri. Tugasnya tidak berkhotbah, tetapi bertukang. Ia harus mengarnalkan iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, mini PI-nya tidak bersifat apokalyptis, tidak menyerupai 'semacam' barisan pernadarn kebakaran rohani yang ingin

(30)

sering menasihatkan badan zending UZV untuk bekerjasama dengan

pemerintah, pengusaha perkapalan dan melakukan perdagangan supaya

memajukan komunikasi ant ar s uku d an m eni n gk at ka n ke m akm ur an

m as ya ra kat P apu a. T erm asuk memperbaiki keadaan keuangan badan Zending

UZV sendiri. Meski tidak menyetujui hal ini dilakukan oleh zendeling, namun UZV

akhirnya mengirim tenaga pembantu zendeling sebagai pedagang kristen untuk

maksud tersebut. Nampaknya jalan kolonialis menurut Heldring adalah yang paling

strategis dengan konteks saat itu191

Walaupun demikian, hal menarik lain lagi yang dicatat oleh sejarah

gereja192 bahwa akibat situasi amat sulit saat itu, terutama mengenai metode

yang tepat untuk menarik sebanyak mungkin orang Papua untuk mengenal Injil,

para zendeling rupanya sadar bahwa harus ada strategi lain dalam PI mereka,

yaitu pendekatan secara Individual.

Kecuali satu dua orang, orang Irian dewasa ternyata tidak dapat

ditarik dengan metode tersebut. Maka para zendeling melakukan

pendekatan mel alui generasi mud a dengan dua car a. Mereka mendirikan

sekolah-sekolah, supaya di sana anak-anak, di samping belajar "tiga m",

mendengar cerita-cerita Alkitab dan belajar menyanyi lagu-lagu Kristen.

Selain itu, para zendeling menebus anak-anak yang telah diperbudak, lantas mendidik

mereka di rumah sendiri. Mereka mengharap anak -anak itu bisa tumbuh

191

ibid, 50

(31)

tanpa mengalami pengaruh jahat masyarakat Numfor, sehingga setelah dewasa

bisa menjadi kelompok inti jemaat Kristen, bahkan membantu dalam karya

P1. Setelah menjadi dewasa, orang-orang tebusan ini, bersama dengan orang

Irian merdeka yang sudah dibaptis, diharuskan tinggal dalam sebuah "kampung

Kristen". Di kemudian hari olehnya dihasilkan juga beberapa tenaga bermutu,

seperti Filipus dan guru Petrus Kafiar (± 1875-1926).

Dalam gambaran seperti ini, terlihat bagaimana kerumitan yang dialami di

medan PI dan sekaligus keseriusan yang ditunjukan oleh para zendeling dalam

menghadapi orang Papua. Bahwa buruknya situasi medan PI ini justru merubah cara

pandang para zendeling atas panggilan mereka untuk menjadikan orang Papua

pengikut Kristus. Pola Penebusan budak itu sendiri adalah bagian dari upaya

melibatkan orang Papua dalam memberdayakan hidup mereka sendiri, menghadapi

situasi atau perubahan yang telah datang kepada mereka. Terutama karena memang

keadaan orang Irian pada waktu itu sangat jauh berbeda dalam segala hal dengan

keadaan manusia Eropa yang datang menyebarkan agama kristen kepada mereka.193

Itu sebabnya Kamma sekali lagi mencata t194 bahwa

bagaimanapun ada sejumlah alasan terbesar yang membuat orang Irian

saat itu menerima Injil dan itu dapat ditemukan dalam sejumlah faktor,

yang pengaruhnya masih juga datang dari atau ditentukan oleh

kerumitan watak budaya (psychosocial) masyarakat tradisional itu

193

F. Ulcur & Cooley, Benih Yang Tumbuh 8, (Jakarta: BPK GM, 1977) 18 194

(32)

sendiri. Makanya dalam lingkungan masyarakat yang masih sangat

dilematis waktu itu munculah sejumlah aliran. Yang pertama: Aliran

adisional (bersifat menambahkan), yaitu Injil atau unsur -unsur tertentu

yang di dalamnya ditambahkan kepercayaan kepada dew a-dewa dan

setan-setan yang sudah ada. Biasanya aliran ini mengarah kepada

sinkretisme. Yang kedua; Aliran substitutional (bersifat menggandakan),

yaitu agama yang tradisional dilepaskan dan seluruhnya digantikan

dengan Injil. Dan yang ketiga, Aliran sekularisasi, yaitu kepercayaan dan

agama apa saja dipersoalkan dan diganti sejumlah alternatif (pilihan lain).

Pilihan pilihan lain itu seringkali bersifat ekonomis atau intelektualistis

-rasionalistis. Waktu itu keadaan ini berlangsung hampir di seluruh

perkotaan. Sedangkan di desa masih pada orang-orang tertentu195.

Disebutkan bahwa agar orang Irian tertarik, maka sehabis kebaktian

mereka ini disuguhi tembakau atau gambir 196 . Namun di samping itu

sudah muncul pula tradisi; sekunder, yaitu tradisi para zendeling dan

penghantar jemaat dari masa awal. Tradisi sekunder itu digenggam orang

seolah sama kuatnya seperti tradisi primer (adat) sebelumnya. Kuatnya tradisi

sekunder ini nampaknya telah berhasil membawa kepada institusionalisme

(terkurungnya iman dalam lembaga yang kaku).197

Di kemudian hari, tepatnya setelah 130 tahun Pekabaran Injil di Tanah

195

Ibid. 196

ss1b van den End, R4 ....Ibid, 121

(33)

Papua, dalam suatu perayaan 29 tahun GKI Di TP, ditemukan suatu situasi dan

kondisi yang tidak jauh beda dari gambaran Kamma diatas. Sejumlah gejala seperti

Formalisme, sinkritisme dan apatisme ditemukan secara nyata dalam konteks

bergereja GKI Di TP. Dalam sebuah tulisan evaluatif terhadap GKI Di TP, K.Ph

Erari198 menyampaikan bahwa bahaya formalisme seperti pemahaman dan

penerapan nilai-nilai injil dalam hidup bergereja telah dilakukan secara kaku,

hanya sebagai warisan199 turun-temurun. Disamping itu data sejumlah klasis

menunjukan bahwa gejala-gejala sinkritisme semakin kuat dan bahkan

semakin berani menyatakan diri dalam bentuk gerakan -gerakan messianic

yang semakin subur setelah Perang Dunia II. Kondisi dan situasi ini seumpama

mengembalikan, warga jemaat ke wilayah lingkaran kekafiran. Akibatnya

munculah praktek-praktek sinkritisme yang Illegetim200. Sementara itu di

kalangan warga jemaat, dijumpai sikap apatisme yang diakibatkan oleh pengalaman-

pengalaman dalam masyarakat yang jug a mengecewakan. Akibat situasi

yang mempengaruhi sisi -sisi psikologis warga itulah yang turut memicu

sikap masa bodoh, ketidakpercayaan, saling mencurigai bahkan pemberontakan.

Salah satu yang paling mempengaruhi situasi gereja dan masyarakat saat itu

ialah kondisi sosial politik yang dialami sejak Perang Dunia II hingga Papua

diintegrasi kedalam wilayah NKRI.

Berbagai soal diatas telah dimuat dalam catatan sidang-sidang Sinode

198

K. Ph. Erari, Upaya Menemukan Identitas Berteologi, (makalah Sidang Sinode 29), (Manokwari., 1985) 4

199

Contoh: Liturgi-liturgi Ibadah

(34)

GKI TP selama 13 tahun, sejak 1967-1980. Ketegangan yang dialami baik

secara internal maupun eksternal gereja ini akhirnya dibahas dalam Sidang

Sinode IX di Biak tahun 1980.201 Berdasarkan sejumlah catatan persoalan yang ada,

terungkaplah suatu situasi di mana telah terjadi perpecahan dalam pelayanan akibat

strukturalisme, masalah kemiskinan dan penderitaan warga

jemaat/masyarakat, dan ketegangan akibat politik dualisme yang mengarah kepada

disintegrasi.

Bagi GKI TP, berdasarkan kondisi nyata jemaat -jemaat yang ada saat

itu, maka melalui Sidang Sinode IX tahun 1980 ini menyatakan

kepeduliaannya secara tegas mengenai masalah-masalah kemanusiaan. Bahwa

solidaritas gereja bersama orang banyak dan kesediaan untuk berkorban demi

memperjuangkan nilai keadilan dan kebenaran patut dipayungi dalam

program-program pelayanan secara konkrit. Tuntutan pembaharuan dalam

lingkungan GKI TP, terutama di bidang Pastoral dan Penggembalaan, menjadi tugas

utama bagi seluruh pelayan dan warga jemaatnya.

Perjuangan gereja melalui tugas pastoral tersebut meliputi segala aspek, yaitu:

spiritual, mental, sosial, psikologis. Dalam hal ini digariskan secara strategi s

dalam tiga langkah besar yang menjadi program utama GKI Di TP, yaitu:

201

(35)

kedewasaan Iman (Teologia, kemandirian Daya, dan kemadirian dana202. Selanjutnya

dalam Sidang Sinode XIII di fak-fak, berdasarkan sejumlah pertimbangan

ditambahkan lagi satu program untuk mengakomodir sejumlah jenis persoalan baru,

yakni di Program Bidang umum, sehingga dengan demikian, Empat program utama

tersebut menjadi cara atau petunjuk untuk memetakan permasalahan yang dialami

warga GKI di TP, termasuk kondisi umum masyarakat Papua sebagai implementasi

dari misi gereja.

Menurut FJS Rumainum203 Ketua Sinode GKI yang pertama, bahwa untuk

memahami kondisi pelayanan GKI di TP, maka perlu untuk mengetahui situasi

pekerjaan zending sebelumnya karena bukan saja hal ni mempunyai hubungan yang

erat tetapi oleh karena GKI di TP sendiri adalah hasil karya zending selama satu abad

melayani di Irian Barat204. Cara ini merupakan bagian paling penting dari usaha

memahami pekerjaan zending selama satu abad di Tanah Papua, sejak 1855-1956,

termasuk juga cara memandang situasi dan kondisi pelayanan yang harus dihadapi

dan diteruskan dalam pelayanan GKI TP hingga kini.

Periodisasi yang dimaksud adalah : periode pertama: dimulai 1855-1863,

merupakan masa perintisan yang dimulai dengan kedatangan dua orang Zendeling

dan permulaan pekabaran Injil di Pulau Mansinam (manokwari) oleh utusan

Gosner-Heldring, yaitu C.W.Ottow dan J.G. Geissller dari Jerman yang disebut Zendeling

202

Ibid. 203

FJS Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah 101 Tahun Zending Di Irian Barat, (Irian Barat Sukarnapura ,1966) 7

(36)

(utusan tukang). Menurut teori,205 kedua, zendeling tukang ini, setelah tiba di

tanah penginjilan akan menggunakan keahlian sebagai 'tukang' dalam mencari

nafkah, di samping tugas pokok mereka yaitu memberitakan Injil dan

mengajar orang asli Papua. Namun sayang rupanya, keadaan yang ditemui

berbeda sekali dengan kenyataanya. Sebab penduduk tidak memerlukan hasil

pertukangan. Dalam masa ini, pekerjaan dua zendeling perintis belum lagi

menunjukan hasil. Bahkan keadaan semakin suram manakala Ottow

meninggal tahun 1869. Istrinya, Ny. Ottow-Letz, sempat mendirikan sekolah

gadis tahun 1857 tetapi akhirnya tutup karena adat tidak menginjinkan perempuan

bersekolah. Istri Ottow kemudian pergi dari Tanah Papua menuju Ternate

untuk bersalin. Ia berangkat tanggal 17 April 1863, sehari sebelum Para

zendeling utusan UZV tiba.

Periode kedua: dari tahun 1863 — 1907, dalam tahun ini empat pendeta

zending dari Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV) diutus. Mereka adalah:

J.L. van Hasselt, Klaassen, Otterspoor dan Jaesrich. Mereka tiba di teluk Dore

(Manokwari) tanggal 18 April 1863. Badan zending ini, tidak mengijinkan Para

Pendeta ini untuk berdagang atau mencari pekerjaan lain karena mereka di

gaji secara teratur. Kemudian hari, UZV mengirim 2 tenaga baru, yaitu, Tn.

Bink, sebagai tukang kayu dan T. Kamps, seorang penginjil dan petani.

Pada masa ini, baik Geissller dan zendeling lain sudah mulai melakukan

(37)

pengajaran katekisasi dan membaptis orang pribumi. Di samping mengajar

hal-hal rohani mereka juga melakukan pengajaran dalam hal-hal berdagang atau

bersosialisasi dengan pedagang Tionghoa yang pada zaman itu sudah datang ke

Tanah Papua. Bukan itu saja, bahasa melayu (Indonesia) sudah diajarkan di

sekolah desa yang ada di Mansinam dan Kwawi. Maklum saja P ara

zendeling rupan ya t el ah m empel aj ari bahasa ini dalam t ugas mereka

sebelumnya.206 Namun karena orang pribumi tidak mengerti penggunaan bahasa

ini maka zendeling berusaha keras untuk mempelajari bahasa Numfor. Itulah

sebabnya sejak tahun 1859 kebaktian-kebaktian mulai diadakan dalam bahasa

Numfor (bahasa suku Biak). Bahkan pada tahun 1861 sudah dapat diterbitkan

sebuah kumpulan lagu-lagu Kristen dalam bahasa itu dan sebelum 1870 beberapa

kitab PB sudah berhasil diterjernahkan.207 Di kemudian hari Wilayah

pengijinlanpun semakin meluas, bukan saja di pulau Mansinam dan Kwawi,

melainkan sudah merambah jauh ke bagian pedalaman Manokwari.208

Periode ketiga, dari tahun 1907 – 1924: selama jangka waktu ini

pekerjaan Zending telah merambat ke berbagai tempat seumpama mengikuti

arah mata angin. Ke arah Barat ada daerah Sorong dan kepulauan Raja Ampat,

ke Utara ada Biak- Numfor dan Supiori, sedangkan ke Selatan ada

Inanwatan-Teminabuan, Babo dan FakFak. Selanjutnya menuju Timur ke daerah Sentani dan

206

Idem 11

207

1b van den End, Ragi Ibid. 122 67 F. 208

(38)

Teluk Yotefa Jayapura). Pada periode ini, disebutkan bahwa perkembangan PI

kian berpengaruh. Banyak orang menjandi kristen. Banyak pemuda yang mulai di

didik untuk menjadi guru sekolah dan guru jemaat dalam sekolah guru yang

didirikan oleh F.J.F van Haselt. Subsidi pemerintahpun diberikan secara penuh.

Di masa ini mulai didirikan 11 resort yang dipimpin oleh seorang pendeta

zending. Akibat dari perkembangan yang mencolok tersebut, periode ini dikenal

sebagai periode keemasan perkerjaan zending.

Periode ke-empat: dari tahun 1924 – 1942. Periode ini merupakan

langkah selanjutnya yang menentukan. Karena dalam periode ini bertambah

banyak tenaga Zending Belanda yang datang dan bekerja. Bukan itu saja badan misi

lain termasuk Katolik turut serta membuka daerah Papua. Namun setelah itu

terjadi penghematan baik dari pihak pemerintah maupun zending maka penurunan

usaha-usaha di berbagai bidang mengalami gangguan. Walaupun begitu,

susunan dan organisasi gereja berkembang terus dan menjadi lebih kokoh.

Resort-resort mulai dipimpin oleh orang-orang pribumi, termasuk guru -guru

ambon yang sangat berperan saat itu bagi pekerjaan PI.209 Masa ini ditutup

dengan pecahnya PD II.

Periode ke-lima, tahun 1942 – 1945, disebut dengan nama "Masa Ujian

dan Pencobaan atau masa perombakan dan pembangunan kembali. Salah satu

209

(39)

indikator dampak PD II yang dilancarkan oleh Kekaisaran Jepang di Tanah

Papua ialah 'diamankannya' para, pemimpin Gereja.210 Semua Zendeling di

internir di kamp-kamp tawanan di Pare-Pare Sulawesi Selatan dan ke Sumatera,

(I.S.Kijne, dan HJ.Teutcher).211 Banyak Guru jemaat dan Penginjil pribumi

meninggalkan pekerjaan dan bekerja di kota akibat tuntutan kebutuhan, sandang

dan pangan. Di m an a-mana t empat muncu l pergerakan sukuism e,

nasionalisme yang bernuansa Cargo Cult. Keadaan ini terutama dialami pada

masa peralihan antara Hindia Belanda. Kehidupan masyarakat, baik secara

mental maupun spiritual rusak akibat kekejaman perang termasuk jug a

gerakan-gerakan keagamaan yang mencampurkan unsur agama kristen dengan

mythe nenek-moyang yang ada.

Periode ke-enam: tahun 1945 – 1956 disebut masa Pembangunan

kembali persiapan menuju Gereja yang berdiri sendiri. Belajar dari peristiwa

periode lalu, maka kesadaran untuk mengikut sertakan tenaga-tenaga pribumi

sebagai pimpinan resort mulai muncul di kalangan zendeling. Periode: 1956 –

1971, merupakan fase pengujian kedua (masa pergumulan dibawah tekanan

pemerintah zending Belanda (1956-1962) dan masa pergumulan di bawah

pemerintah RI (1963-1971).

Periode ketujuh:1971-1980-an, merupakan masa pengharapan dan

pembangunan gereja serta pembinaannya yang terarah. Dalam mas a ini sudah

210

FJS Rumainum, Sepuluh Tahun GKI.. Ibid. 23

(40)

tercapai kestabilan politik dan keadaan ekonomis yang mulai membaik serta

dalam kepemimpinan GKI sudah mulai terlihat pendeta muda yang berpendidikan

baik.

Periode kedelapan: 1980- sekarang, merupakan upaya

kemandirian di tiga bidang pelayanan GKI TP; Teologia, Daya dan Dana.

Menurut Pdt. B. Wamblolo, mantan Rektor STT GKI "IS Kijne", meski

sejarah PI di Tanah Papua adalah produk dari situasi keagamaan Barat,

terutama situasi di Eropa yang mengalami penderitaan rohani akibat

Rasionalisme dan formalisme serta ritualisme.212 Akan tetapi yang menarik

dan penting untuk diteladani ialah bahwa cara Pandang dan pelayanan para

zendeling di zaman yang masih kafir itu bersifat "komprehensip" terhadap

masyarakat. Terutama semangat memanusiakan manusia melalui bermacam-macam

pelayanan gereja seperti pendidikan, pertanian, pertuk angan, perdagangan,

budak tebusan, bahkan mempelajari bahasa asli setempat agar Injil dapat

dipahami dan dihayati oleh masyarakat asli. Ketahanan para zendeling itulah

yang patut diteladani dalam pelayanan gereja-gereja dewasa ini. Sebab mereka

tidak saja melakukan tugas dan tujuan mereka ke tanah Papua, melainkan juga

mengadakan suatu pendampingan dan penggembalaan dimasa yang sulit,

bukan saja untuk melahirkan GKI TP tetapi juga masyarakat Papua yang lebih

beradab.

Gambar

Gambaran ini jelas menunjukan perkembangan pelayanan yang cukup

Referensi

Dokumen terkait

 Tentukan invers dari nilai peubah acak transformasi itu, sehingga akan diperoleh duanilai peubah acak lama yang merupakan fungsi dari nilai peubah

Terapi hormonal diberikan pada kanker payudara stadium IV. Prinsip terapi ini berdasarkan adanya reseptor hormon yang menjadi target dari agen terapi kanker. Ketika

Segitiga berlian yang ada di Banyuwangi sangat potensial untuk mempromosikan Banyuwangi sebagai pusat-pusat penyebaran wisatawan sebagai daya tarik dari pariwisata

Pelaporan BPKP 1445 Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah BPKP 1446 Sistem Administrasi Keuangan Daerah I (edisi kelima) BPKP 1447 Sistem Administrasi

TPK berperan sebagai pengelola kegiatan, sedangkan TP bertugas untuk mengawasi pengelolaan TPK terhadap program KFCP. Selanjutnya, kedua tim berkewajiban melaporkan

Menurut arti dari tata bahasanya, kata dalam bahasa Mandarin dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kata konkrit/ 实词 (kata yang mempunyai arti yang konkrit dan dapat berdiri

Dengan menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Leaarning (PBL) dan pendekatan Scientific Learning, diharapkan peserta didik mampu membuat model matematika dari masalah

Setelah selesainya pelatihan ini, para peserta diharapkan akan mempunyai ide-ide dan pemikiran baru yang lebih baik tentang bagaimana menggunakan berbagai macam tools