• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Tingkat Petani melalui Pengembangan Komoditas Perkebunan di Kabupaten Muna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Tingkat Petani melalui Pengembangan Komoditas Perkebunan di Kabupaten Muna"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DI TINGKAT PETANI MELALUI PENGEMBANGAN

KOMODITAS PERKEBUNAN DI KABUPATEN MUNA

WA ODE ZARMIN HIDAYAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi Pengentasan

Kemiskinan di Tingkat Petani melalui Pengembangan Komoditas Perkebunan di

Kabupaten Muna adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tugas ini.

Bogor, Januari 2009

(3)

ABSTRACT

WA ODE ZARMNI HIDAYAD. Strategies in Alleviating Poverty among

Farmers by Developing Plantation Commodities in Muna Regency. Under the

Supervision of RINA OKTAVIANI as the head of the Supervising

Commission, and A.FAROBY FALATEHAN as its member.

Muna Regency is one of the very potential regencies for the development of

plantation subsector. Most people (74.20 % of the population) of Muna Regency

work in the sector, but the poverty level in the region is also high. For this reason

this study takes the following objectives: 1) to identify the condition of the poor

farmers in the Muna Regency; 2) to identify the excellent commodities of each

districts which have the role in the economy of Mina Regency; 3) to formulate a

plan of poverty alleviation program at the farmer level by developing plantation

commodities in Muna Regency.

For the purpose of identifying the plantation commodities of each district in

Muna Regency, a further analysis is needed on the local commodities that are

potential to develop into the poverty alleviation program that can be expected to

reduce the poverty rate.

The number of poor households in Muna Regency is still high; in 2006 it

accounted for 37.569 or 54.24 per cent. The poverty among the farmers in Muna

Regency is caused by the weak control of production factors, low educational

level, and high dependency on farming activities or businesses. Muna Regency is

one of the main producers in plantation commodities in the Southeast Sulawesi.

The plantation commodities include coconuts, coffee, cashew nuts, candlenut, and

chocolate/cocoa. The commodities of each district differ in both kinds and

quantity.

There are some poverty alleviation programs that can be implemented in

Muna Regency by developing plantation commodities. Such programs are: 1)

partnership program in product marketing; 2) program in human resource

development; 3) program in the supply of production input (seeds/seedling). The

product marketing program can be made in partnership with the processing

industries under mutually beneficial principles. Human resource development

(4)

businesses. The production input program by providing excellent seeds/seedlings

(5)

RINGKASAN

WA ODE ZARMIN HIDAYAD. Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Tingkat Petani melalui Pengembangan Komoditas Perkebunan di Kabupaten Muna. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI sebagai ketua, A.FAROBY FALATEHAN sebagai anggota komisi pembimbing.

Kabupaten Muna merupakan salah satu kabupaten tertinggal yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi relatif rendah (0,1%) termasuk tingkat potensi pengembangannya, dengan jumlah penduduk miskin yang tertinggi dibandingkan dengan 12 Kabupaten lainnya yang ada di Sulawesi Tenggara.

Jumlah kemiskinan di Kabupaten Muna tahun 2006 sebanyak 168.431 jiwa atau 55,27 persen dari total penduduk sebanyak 304.753 jiwa yang tersebar di 29 kecamatan, 254 desa, 39 kelurahan dan satu unit permukinan transmigrasi. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin sebanyak 159.289 jiwa atau 53,01 persen dari jumlah penduduk sebanyak 300.498 jiwa. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin mencapai 157.639 jiwa atau 52,97 persen. Dengan demikian jumlah kemiskinan di Kabupaten Muna mengalami peningkatan sebesar 1,74 persen dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006.

Berdasakan hasil pemetaan tahun 2006 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna, sebanyak 74,20 persen dari jumlah keluarga miskin Kabupaten Muna memiliki mata pencaharian sebagian besar sebagai petani. Secara umum, kemiskinan lebih banyak dialami oleh rumahtangga tani yang bertempat tinggal di perdesaan.

Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah penghasil berbagai produk perkebunan di Sulawesi Tenggara yang seluruhnya merupakan usaha pertanian rakyat dengan jenis tanaman yang beraneka ragam. Kabupaten Muna merupakan penghasil komoditi jambu mete terbesar di Provinsi Sulawesi Tenggara mencapai 12.426,1 ton pada tahun 2006 dan produksi coklat/kakao 3.010,3 ton. Tanaman perkebunan yang cukup menonjol selain jambu mete dan coklat/kakao adalah komoditi kelapa, kopi dan kemiri. Produksi komoditi kelapa sebanyak 6.398,3 ton dan produksi kopi sebanyak 317,9 ton serta komoditi kemiri sebanyak 310,4 ton.

Melihat begitu besarnya potensi subsektor perkebunan di Kabupaten Muna, maka produk-produk tanaman perkebunan dapat menjadi andalan besar untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejateraan masyarakat setempat. Produk-poduk tanaman perkebunan petani perdesaan di Kabupaten Muna selain merupakan mata pencaharian utama masyarakat, juga sebagai penyediaan lapangan kerja serta sumber peningkatan pendapatan.

(6)

kemiri dan coklat/kakao, Kecamatan Barangka dapat dikembangkan komoditas coklat/kakao dan kemiri, Kecamatan Kusambi, Kontunaga dan Watopute dapat dikembangkan komoditas kemiri dan jambu mete.

Kecamatan Katobu dapat dikembangkan satu komoditas kelapa, Kecamatan Lohia, Duruka, Batalaiworu, Napabalano dan Lasalepa hanya dapat dikembangkan satu jenis komoditas jambu mete, Kecamatan Wakorsel dan Pasir Putih dapat dikembangkan komoditas coklat/kakao dan kelapa, Kecamatan Bonegunu dan Kambowa hanya dapat dikembangkan satu jenis komoditas kelapa, Kecamatan Wakorumba dan Maligano dapat dikembangkan komoditas kopi, coklat/kakao dan jambu mete, Kecamatan Kulisusu dapat dikembangkan komoditas jambu mete, Kecamatan Kulisusu Barat dan Kulisusu Utara dapat dikembangkan komoditas kelapa (komoditas basis) dan coklat/kakao.

Komoditas kelapa, kopi, jambu mete, kemiri dan coklat/kakao memiliki kinerja finansial yang masih layak untuk dikembangkan kerana memiliki NPV yang positif, Nilai BC Ratio masih memberikan keuntungan dan nilai IRR yang lebih tinggi dari suku bunga tabungan di bank. Namun kelayakan usahatani kelapa, kopi, jambu mete, kemiri dan coklat/kakao sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga bank, karena nilai NPV yang diperoleh relatif kecil dan nilai IRRnya hanya selisih sedikit dengan tingkat suku bunga tabungan di Kabupaten Muna.

Pengembangan potensi perkebunan di Kabupaten Muna berpusat pada upaya mendorong percepatan perubahan struktur pemberdayaan masyarakat sehingga memperkuat kedudukan dan peran ekonomi petani, dan harus mendapatkan dukungan langsung dari pemerintah. Oleh karena itu rancangan program strategi penanggulangan kemiskinan di tingkat petani melalui pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Muna adalah program kemitraan pemasaran produk. Dengan program ini pihak industri pengolahan kelapa, kopi, jambu mete, kemiri dan coklat/kakao dengan prinsip saling menguntungkan. Program selanjutnya adalah peningkatan SDM petani.

Program ini untuk meningkatkan SDM petani dalam mewujudkan petani handal yang mandiri dalam mengelola usaha perkebunan. Program peningkatan usaha perkebunan dilakukan dengan kegiatan penyuluhan pengelolaan komoditas pertanian dan pelatihan pada masyarakat petani bersama aparat pemda tentang pemanfaatan lahan serta tetap melakukan pendampingan petani dalam mengolah usaha perkebunan dari instansi yang terkait. Hal ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan keterampilan petani dalam meningkatkan usaha produk sampingan, seperti menggunakan lahan pekarangan yang tidak tergarap menjadi lahan yang produktif, serta melakukan diversifikasi produk yang berkualitas dan berorientasi pasar. Program lainnya adalah program Input produksi (bibit/benih).

(7)

@ Hak cipta milik IPB milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis

(8)

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DI TINGKAT PETANI MELALUI PENGEMBANGAN

KOMODITAS PERKEBUNAN DI KABUPATEN MUNA

WA ODE ZARMIN HIDAYAD

Tugas Akhir

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tugas Akhir : Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Tingkat Petani melalui Pengembangan Komoditas Perkebunan di Kabupaten Muna

Nama : Wa Ode Zarmin Hidayad

NRP : H251064115

DISETUJUI

KOMISI PEMBIMBING

Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS Ir. A. Faroby Falatehan, ME

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI ………….………... ii

DAFTAR TABEL……..………... iv

DAFTAR GAMBAR………. vi

DAFTAR LAMPIRAN……….………. vii

I. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Konsep Kemiskinan... 8

2.2. Konsep Indikator kemiskinan... 10

2.3. Strategi Penanggulangan Kemiskinan... 13

2.4 Pembangunan Perdesaan sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan... 14

2.4 Pendekatan Pengentasan Kemiskinan di Tingkat Petani melalui Pengembangan Komoditas Perkebunan... 20

2.6 Teori Basis Ekonomi... 22

2.7 Pola Pemasaran Komoditi Perkebunan... 22

2.8 Ikhtisar... 26

III. METODE KAJIAN……... 27

3.1 Kerangka Pemikiran... 28

3.2 Lokasi Kajian... 29

3.3 Metode Pengumpulan Data... 29

3.4 Metode Pengolahan dan Analisis yang digunakan... 30

3.4.1 Analisis Location Quotient (LQ)... 30

3.4.2 Analisis Kelayakan Finansial ... 31

3.5 Metode Perancangan Program... 33

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN MUNA ... 34

4.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam... 34

4.2 Wilayah Administrasi dan Demografi... 36

4.3 Kemiskinan Kabupaten Muna ... 38

4.4 Pendidikan dan Kesehatan... 40

4.5 Penguasaan Lahan dan Potensi Pengembangan Komoditi Perkebunan... 42

V. ANALISA DAN PEMBAHASAN... 44

5.1 Kondisi Kemiskinan di Tingkat Petani Kabupaten Muna... 44

5.1.1 Ketergantungan Terhadap Usahatani ... 45

5.1.2 Penguasaan Lahan Rumahtangga Tani ... 46

(12)

5.2 Komoditas Perkebunan Unggulan Masing-Masing Kecamatan yang berperan dalam Meningkatkan Perekonomian

Perdesaan di Kabupaten Muna... ... 51

5.2.1 Analisis Basis Ekonomi : Luas Areal dan Hasil Produksi 52 5.2.2 Analisis Kelayakan Finansial ... 55

5.2.2.1 Analisis Finansial Usahatani Kelapa ... 55

5.2.2.2 Analisis Finansial Usahatani Kopi ... 57

5.2.2.3 Analisis Finansial Usahatani Jambu Mete ... 58

5.2.2.4 Analisis Finansial Usahatani Kemiri ... 59

5.2.2.5 Analisis Finansial Usahatani Coklat/Kakao ... 60

5.3 Pola Pemasaran Komoditi Perkebunan di Kabupaten Muna... 62

5.4.1 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Kelapa... 62

5.4.2 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Kopi... 63

5.4.3 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Jambu Mete.... 65

5.4.4 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Kemiri... 66

5.4.5 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Coklat/Kakao.. 68

5.4 Pengembangan Komoditi Perkebunan tiap Kecamatan ... 70

5.5 Ikhtisar... 85

VI. RANCANGAN PROGRAM STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI TINGKAT PETANI MELALUI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN... 87 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

7.1 Kesimpulan... 90

7.2 Saran... 91

DAFTAR PUSTAKA 92

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Muna, Tahun 2004 – 2006.. 2

2. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian Pokok Keluarga

Miskin di Kabupaten Muna, Tahun 2006 ... 3

3. Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan di Kabupaten

Muna, Tahun 2002-2006 ... 4

4. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan ... 29

5. Kontribusi Sektoral di Kabupaten Muna, Tahun 2002-2006... 36

6. Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Tiap-Tiap Kecamatan se Kabupaten Muna, Tahun 2002-2006 ... 37

7. Jumlah Kepala Rumahtangga Miskin Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Muna, Tahun 2006 ... 39

8. Jumlah Fasilitas Pendidikan di Kabupaten Muna, Tahun 2006... 40

9. Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Muna, Tahun 2006... 41

10. Penggunaan Lahan di Kabupaten Muna, tahun 2006... 42

11. Luas Areal dan Produksi Komoditi Perkebunan per Kecamatan di Kabupaten Muna, Tahun 2006 ... 43

12. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Pokok Kepala Rumahtangga Miskin Kabupten Muna, Tahun 2006 ... 45

13. Jumlah Rumahtangga Tani Miskin Pengguna Lahan Pertanian di Kabupaten Muna, Tahun 2006 ... 47

14. Jumlah Rumahtangga Miskin Menurut Pendidikan di Kabupaten Muna, Tahun 2006... 49

15. Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Unit Usaha Tanaman Perkebunan di Kabupaten Muna ... 52

16. Indeks Location Quotient Berdasarkan Luas Areal Komoditas

Perkebunan di Kabupaten Muna ... 54

17. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Perkebunan di

Kabupaten Muna ... 55

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 28

2. Peta Kabupaten Muna ... 35

3. Saluran Pemasaran Komoditi Kelapa ... 62

4. Saluran Pemasaran Komoditi Kopi ... 63

5. Saluran Pemasaran Komoditi Jambu Mete ... 65

6. Saluran Pemasaran Komoditi Kemiri ... 67

7. Saluran Pemasaran Komoditi Coklat/Kakao ... 68

8. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Tongkuno ... 70

9. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Parigi... 71

10. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Bone ... 71

11. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Kabawo... 72

12. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Kabangka... 72

13. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Tikep... 73

14. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Maginti... 73

15. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Tiworo Tengah ... 74

16. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Lawa ... 74

17. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Sawerigadi... 75

18. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Barangka... 75

19. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Kusambi... 76

20. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C di Kecamatan Kontunaga... 76

(15)

22. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Katobu... 77

23. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Lohia... 78

24. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Duruka ... 78

25. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Batalaiworu ... 79

26. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Napabalano ... 79

27. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Lasalepa ... 80

28. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Wakorsel... 80

29. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Pasir Putih... 81

30. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Bonegunu... 81

31. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kambowa... 82

32. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Wakorumba... 82

33. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Maligano... 83

34. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kulisusu... 83

35. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kulisusu Barat... 84

36. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kulisusu Utara... 84

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Analisis Finansial Usahatani Komoditi Kelapa ...

2. Hasil Analisis Finansial Usahatani Komoditi Kopi ... 3. Hasil Analisis Finansial Usahatani Komoditi Jambu Mete ...

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997,

merupakan akibat langsung dari kebijakan ekonomi yang terlalu berpihak pada pertumbuhan ekonomi dengan mengedepankan ekonomi konglomerat dalam

sistem ekonomi kapitalistik. Sistem ekonomi kapitalistik tersebut menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan efisien, tetapi mengabaikan pemerataan dan keadilan.

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 sejak awal tahun 2001, telah terjadi

impilikasi terhadap perkembangan daerah, terutama dengan kewenangan luas untuk mengelola potensi sumberdaya yang tersedia semaksimal mungkin

sebagai upaya dalam memprioritaskan pembangunan daerah yang berbasis pada pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat banyak, peningkatan pendapatan daerah (PAD) serta berwawasan lingkungan.

Pembangunan daerah Kabupaten Muna merupakan bagian integrasi dari pembangunan nasional dan pembangunan daerah Provinsi Sulawesi

Tenggara yang dilaksanakan sendiri, oleh dan untuk rakyat bersama-sama dengan pemerintah yang pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tidak mengabaikan aspek pemerataan

ataupun aspek pertumbuhan yang berkeadilan.

Strategi pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan telah

melahirkan banyak kelemahan, diantaranya adalah terjadinya kesenjangan dalam berbagai sektor pembangunan, seperti halnya pada sektor ekonomi,

industri yang berkembang hanyalah industri yang berskala besar dan menengah yang berpusat di wilayah perkotaan. Kesenjangan ini pada akhirnya melahirkan

urbanisasi dan perubahan struktur dalam perekonomian masyarakat. Program-program yang dibuat lebih banyak berpihak pada kelompok-kelompok usaha

besar dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan sebagai stimulasi pertumbuhan ekonomi.

(18)

lebih berat. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk miskin secara

nasional termasuk di Kabupaten Muna.

Kabupaten Muna merupakan salah satu kabupaten tertinggal yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

relatif rendah (0,1%) dan tingkat potensi pengembangan yang sangat rendah. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Muna merupakan yang tertinggi

dibandingkan dengan 12 Kabupaten lainnya yang ada di Sulawesi Tenggara. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Muna dapat dilihat pada Tabel. 1

Tabel. 1 Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Muna, Tahun 2004 – 2006

Tahun Total Penduduk (jiwa)

Total Penduduk Miskin

Persentase Penduduk Miskin

2004 2005

2006

297.550 300.498

304.753

157.639 159.289

168.431

52,97 53,01

55,27

Sumber : BPS Kabupaten Muna (2006)

Pada Tabel 1 jumlah kemiskinan di Kabupaten Muna tahun 2006

sebanyak 168.431 jiwa atau 55,27 persen dari total penduduk sebanyak 304.753 jiwa yang tersebar di 29 kecamatan, 254 desa, 39 kelurahan dan satu

unit permukinan transmigrasi. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin sebanyak 159.289 jiwa atau 53,01 persen dari jumlah penduduk sebanyak 300.498 jiwa. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin mencapai 157.639

jiwa atau 52,97 persen. Dengan demikian jumlah kemiskinan di Kabupaten Muna mengalami peningkatan sebesar 1,74 persen dari tahun 2004 sampai dengan

tahun 2006.

Meningkatnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Muna, menuntut

pemerintah daerah untuk segera menanggulangi kemiskinan tersebut. Kabupaten Muna merupakan daerah dengan potensi sumberdaya alam yang

sangat besar. Letak geografis yang strategis, kondisi tanah subur dan iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, merupakan modal

utama untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Akan tetapi hingga saat ini potensi yang besar tersebut belum secara penuh dapat dioptimalkan untuk

(19)

Sektor pertanian Kabupaten Muna memiliki potensi penting sebagai

salah satu subyek pelaku ekonomi ditandai dengan 74,20 persen penduduk Kabupaten Muna bermatapencaharian sebagai petani. Kemajuan dan kemakmuran di suatu wilayah dapat dicirikan melalui kemakmuran petaninya.

Tingginya tingkat kemiskinan di suatu wilayah digambarkan oleh banyaknya rumahtangga tani miskin di daerah tersebut. Berbagai permasalahan yang

dihadapi oleh petani pada umumnya adalah: ketidakberdayaan, kemiskinan, rendahnya pendidikan dan rentan terhadap gejolak perekonomian. Kondisi

tersebut mengakibatkan beban sosial ekonomi masyarakat petani yang harus ditanggung begitu besar sehingga kemiskinan terus meningkat.

1.2 Perumusan Masalah

Secara umum, sebagian besar keluarga miskin bertempat tinggal di perdesaan. Pada Tahun 2006 hasil pemetaan yang dilakukan di Kabupaten

Muna oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna, sebanyak 74,20 persen dari jumlah keluarga miskin Kabupaten Muna memiliki mata pencaharian sebagai

petani. Pola penyebaran penduduk miskin Kabupaten Muna menurut mata pencaharian pokok keluarga miskin dapat disajikan pada Tabel 2.

Tabel. 2 Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian Pokok Keluarga Miskin di Kabupaten Muna, Tahun 2006

No Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk (KK) Presentase 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 Petani Nelayan Buruh Pengrajin Peternak Tukang Batu Jasa Angkutan Jasa Perdagangan Tukang Kayu Tidak bekerja 27.871 2.208 1.720 263 43 209 598 320 404 3.927 74,20 5,88 4,58 0,70 0,11 0,56 1,59 0,85 1,08 10,45 Sumber : BPS Kabupaten Muna (2006)

Pada Tabel 2 mata pencaharian pokok keluarga miskin Kabupaten Muna sebagai petani lebih banyak jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan

(20)

1.720 KK atau 4,58 persen. Sedangkan pekerjaan pokok yang paling sedikit

diminati oleh keluarga miskin Kabupaten Muna adalah peternak sebanyak 43 KK atau 0,11 persen dari seluruh jumlah keluarga miskin.

Mengingat kemiskinan lebih banyak dialami oleh rumahtangga tani,

maka upaya-upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Muna dapat dilakukan dengan melakukan pembangunan dengan sasaran utama peningkatan

kesejahteraan petani. Potensi sumberdaya alam berupa produksi perkebunan yang menjadi andalan di Kabupaten Muna, harus dioptimalkan guna

meningkatkan kesejahteraan petani. Bagaimana kondisi kemiskinan di tingkat

petani di Kabupaten Muna?

Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah penghasil produk-produk perkebunan di Sulawesi Tenggara yang seluruhnya merupakan usaha

pertanian rakyat dengan jenis tanaman yang beraneka ragam. Kabupaten Muna merupakan penghasil komoditi jambu mete terbesar di Provinsi Sulawesi

Tenggara. Pada tahun 2006 produksi jambu mete mencapai 12.426,1 ton, sementara itu produksi coklat mencapai 3.010,3 ton. Tanaman perkebunan yang cukup menonjol selain jambu mete dan coklat/kakao adalah komoditi kelapa, kopi

dan kemiri. Produksi komoditi kelapa sebanyak 6.398,3 ton dan produksi kopi sebanyak 317,9 ton serta komoditi kemiri sebanyak 310,4 ton. Komoditi

perkebunan dengan pergembangan luas areal dan jumlah produksi yang seluruhnya merupakan usaha perkebunan rakyat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel. 3 Luas Areal dan Produksi Komoditi Perkebunan di Kabupaten Muna, Tahun 2002 – 2006

Tahun No Jenis Komoditi

2002 2003 2004 2005 2006

I Luas Tanaman (Ha)

1 Kelapa 8.575,4 8.623,7 8.520,0 8.488,0 8.528.0

2 Kopi 968,4 964,8 999,5 984,5 996,2

3 Jambu Mete 38.692,0 38.720,0 36.575 39.116,0 39.226,0

4 Kemiri 339,8 360,0 375,2 376,6 401,6

5 Coklot/Cacao 6.272,6 6.348,0 6.470,5 7.271,6 7.511,0

II Produksi (Ton)

1 Kelapa 4.937,6 5.145,8 5.130,8 6.368,8 6.398,3

2 Kopi 332,3 291,8 302,8 304 317,9

3 Jambu Mete 7.015,9 9.272,8 9.682 11.662,00 12.426,1

4 Kemiri 126,9 275,8 259,7 298,5 310,4

(21)

Melihat begitu besarnya potensi subsektor perkebunan di Kabupaten

Muna, maka produk-produk tanaman perkebunan dapat menjadi andalan besar untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejateraan masyarakat setempat. Produk-poduk tanaman perkebunan petani perdesaan di Kabupaten Muna selain

merupakan mata pencaharian utama masyarakat juga sebagai penyediaan lapangan kerja serta sumber peningkatan pendapatan. Oleh karena itu pada

kajian ini ingin mengetahui komoditas perkebunan yang merupakan komoditas

unggulan di Kabupaten Muna agar dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat ?

Kemiskinan di wilayah perdesaan menjadi masalah utama

pembangunan perdesaan di Kabupaten Muna. Berbagai program pembangunan perdesaan masih bersifat parsial, sehingga masih belum dapat meningkatkan

kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat perdesaan secara signifikan. Pada Tahun 1994, pemerintah pusat meluncurkan program khusus untuk

menanggulangi kemiskinan dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT), meskipun daerah-daerah belum siap. Pelaksanaan di Kabupaten Muna dimulai tahun 1994 hingga 1999. Program IDT bertujuan mengurangi jumlah penduduk miskin di

desa-desa tertinggal melalui usaha yang dilakukan oleh kelompok masyarakat (pokmas) melalui dana bergulir. Sasaran penurunan jumlah penduduk miskin

tidak tercapai karena (1) anggota pokmas tidak tepat sasaran, (2) kegiatan yang dilakukan pokmas banyak yang salah sasaran, (3) dana yang digunakan untuk

keperluan konsumtif, (4) pendampingan tidak berjalan.

Pada tahun 1995-1999 pemerintah pusat melaksanakan Program

Penunjang Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dengan sasaran program ini meliputi pembangunan prasarana desa (jalan, jembatan, air bersih dan tempat

mandi cuci kakus). Program ini terus dilanjutkan sampai tahun anggaran 2001 melalui APBD Kabupaten Muna di bawah koordinasi Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Kebanyakan prasarana yang dibangun bukan prasarana untuk kelancaran kegiatan ekonomi tetapi prasarana yang

berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia.

Program Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras untuk masyarakat miskin yang selanjutnya disebut raskin, mulai dilaksanakan di Kabupaten Muna pada

(22)

meningkatkan pendapatan keluarga miskin sehingga dampaknya terhadap

penurunan jumlah keluarga miskin tidak ada.

Pada Tahun 2004, pemerintah pusat meluncurkan program khusus untuk menanggulangi kemiskinan diperkotaan dengan Program Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan masih berlanjut sampai sekarang. Program ini hanya ditujukan pada keluarga miskin di perkotaan sementara kemiskinan

llebih banyak berada diperdesaan. Pengelolaan program-program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Muna baru pada tahap memenuhi

kebutuhan dasar yang bersifat penanggulangan kemiskinan sementara, sehingga tidak menurunkan jumlah kemiskinan terutama diperdesaan.

Pemahaman terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat perdesaan dan produk utama wilayah tersebut menjadi bekal bagi penyusunan program pembangunan

perdesaan yang terintegrasi. Oleh karena itu kajian atau analisis program pembangunan yang relevan untuk mengurangi kemiskinan perlu dilakukan. Hal

ini mencakup penentuan jenis komoditas perkebunan yang akan dikembangkan

pada setiap kecamatan, yang berperan dalam penyusunan rancangan strategi

dan program pengentasan kemiskinan di tingkat petani untuk dapat

meningkatkan perekonomian masyarakat di Kabupaten Muna ?

1.3 Tujuan Penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi kondisi rumahtangga tani miskin di Kabupaten Muna.

2. Menganalisis komoditas-komoditas unggulan di masing-masing kecamatan yang berperan dalam meningkatkan perekonomian di Kabupaten Muna

3. Menyusun rancangan strategi program pengentasan kemiskinan ditingkat petani di Kabupaten Muna

1.4 Manfaat Penelitian.

Manfaat dari kajian Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten

Muna adalah :

1. Manfaat Bagi Pemerintah Daerah

Memberi masukan kepada pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan/program pembangunan perdesaan bagi peningkatan kualitas hidup

(23)

2. Manfaat bagi penulis

Menambah wawasan dan pengalaman penelitian khususnya kajian mengenai pengentasan kemiskinan melalui pengembangan komoditi unggulan pertanian dan menyusun masukan-masukan bagi pemerintah daerah dimana

penulis bekerja, untuk turut memajukan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kemiskinan

Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu pada

garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan

pada garis kemiskinan disebut absolut (Tambunan, 2003). Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Badan Pusat Statistik, 1998). Jumlah

penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa diperkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka

tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan.

Akibatnya jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefenisikan kemiskinan sebagai suatu

kondisi dimana pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan dan non pangan

(sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar). Berdasarkan indikator internasional seperti terdefenisi miskin dalam kategori

Millenium Development Goals (MDGs) adalah warga miskin yang berpendapatan dibawah satu dolar AS setiap harinya. Kemudian Asian Development menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sebesar

US$ 2 perkapita per hari, setelah dikonversi kedalam rupiah menjadi sekitar Rp 540.000 per bulan.

Menurut Nurkse (1953), ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan struktural. Kemiskinan

alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi karena

lembaga-lembaga yang ada dimasyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain

yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin. Pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada tertumbuhan perbandingan

(25)

Akumulasi kapital hanya akan dimiliki oleh mereka yang memiliki kekayaan yang

banyak. Akibatnya didalam pembangunan yang terlampau bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, pemilik modal lebih diuntungkan di bandingkan orang miskin.

Nurkse (1953), mengemukakan bahwa berbagai persoalan kemiskinan penduduk dapat disimak dari berbagai aspek : sosial, ekonomi, psikologi dan

politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasn informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan faktor

produksi, upah rendah, daya tawar petani rendah, rendahnya tingkat tabungan dan lemahnya mengantisipasi peluang-peluang kesempatan berusaha yang ada.

Dari aspek psikologi, kemiskinan terjadi terutama akibat rasa rendah dari, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya

akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan.

Nurkse (1953), menjelaskan bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian : kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil

pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.

Garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Seseorang yang tergolong miskin

relatif sebenarnya telah hidup diatas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat

dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang

membantunya.

Sajogyo (1987), mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan suatu

tingkat kehidupan yang berada dibawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang

cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sayogyo dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan perdesaan

masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun. Menurut Tambunan (1996), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

(26)

pertumbuhan output (produktivitas), tingkat upah neto, distribusi pendapatan,

kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subtitusi, investasi, alokasi serta kualitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik, hingga politik, bencana alam dan peperangan.

Kalau diamati sebagai faktor tersebut juga mempengaruhi satu sama lain. Misalnya tingkat pajak yang tinggi membut tingkat upah neto rendah dan ini bisa

mengurangi motivasi kerja dari pekerja yang bersangkutan hingga produktivitasnya menurun. Produktivitas menurun dapat mengakibatkan tingkat

upah netonya berkurang, dan seterusnya. Dalam hal ini tidak mudah untuk memastikan apakah karena pajak naik atau produktivitasnya yang menurun

membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah netonya menjadi rendah.

2.2 Indikator Kemiskinan

Sajogyo (1987), mengungkapkan bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah headcount index, yaitu menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi. Meskipun

headcount index ini sangat bermanfaat, namun sering dikritik karena mengabaikan jumlah penduduk yang berada digaris kemiskinan.

Kemiskinan dapat ditunjukan oleh dua indikator. Pertama, Human

Poverty Indekx (HPI), yang dilihat dari angka daya hidup (< 40 tahun), tingkat pendidikan dasar yang diukur berdasarkan persentase penduduk dewasa yang buta huruf dan hilangnya hak pendidikan perempuan, kriteria ekonomi. Kedua,

kemiskinan dilihat dari sisi ekonomi, sosial, politik dan fisik, yakni rendahnya pendapatan, hilangnya sumberdaya material, hilangnya kesempatan, hak

berpendapat, ketidakberdayaan kekuasaan, dan ketidakmampuan mengelola aset.

Kuncoro (1997), mengatakan bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah Headcount Index, yaitu

menghitung jumlah orang miskin seperti proporsi dari populasi. Meskipun Headcount Index ini sangat bermanfaat, namun sering dikritik karena mengabaikan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.

Jika dilihat dari sisi ekonomi, sampai saat ini BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas

(27)

sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis

untuk desa.

Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Seperti menurut Indonesia Nutrition Network (INN) Tahun

2003 adalah Rp 96.956 untuk perkotaan dan Rp 72.780 untuk perdesaan. Kemudian Menteri Sosial menyebutkan berdasarkan indikator BPS garis

kemiskinan yang diterapkan adalah penduduknya adalah penduduk yang memiliki penghasilan dibawah Rp 150.000 per bulan. Bahkan Bappenas

menetapkan batas kemiskinan yakni keluarga yang memiliki penghasilan dibawah Rp 180.000 per bulan.

Badan Pusat Statistik (2004), telah menetapkan empat belas kriteria keluarga miskin seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi

dan Informasi, rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu : 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumahtangga

lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/Poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah ; petani dengan luas lahan

0,5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000 per bulan.

(28)

14. Tidak tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai

Rp 500.000 seperti sepeda motor (kredit/non kredit) emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.

Komite penggulangan kemiskinan Kabupaten Muna (BAPPEDA, BPS

dan BPMD, 2004), menjelaskan bahwa penentuan rumahtangga miskin di Kabupaten Muna dilakukan pada kondisi dari masing-masing kepala

rumahtangga berdasarkan kreteria kepala rumahtangga miskin menyandang salah satu atau lebih masalah/kreteria miskin dimana :

1. Pendapatan rendah sekali / hasil konversi < 20 kg/kapital/bulan

2. Keadaan rumah tidak layak huni, lantai tanah atau terbuat dari

pepohonan/bambu, atap nipa/alang-alang dan dinding terbuat dari non papan dan non beton dalam keadaaan telah rusak/bocor, lapuk atau;

3. Tidak mampu berobat ke dokter jika sakit, maksimal ke puskesmas, dukun, obat tradisional dan obat warung atau;

4. Tidak mampu membiayai pendidikan anak pada tingkat dasar 9 tahun atau;

5. Pada umumya keluarga tidak dapat makan 2 kali sehari atau;

6. Anggota keluarga tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk dirumah,

tempat bekerja, bepergian dan bersekolah bagi anak atau;

7. Tidak memiliki salah satu aset produktif seperti kebun, ojek, perahu dan

lain-lain;

Hendrakusumaatmaja (2002), mengungkapkan bahwa kemiskinan

dicirikan oleh tiga hal yaitu, pertama rendahnya penguasaan aset dimana skala usaha tidak efisien dan mengakibatkan produktivitas menjadi rendah. Kedua,

rendahnya kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kepemilikan atau penguasaan aset. Ketiga, rendahnya kemampuan dalam mengelola aset.

Menurut Salim (1980), lima ciri-ciri orang miskin, yaitu :

1) umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal atau keterampilan ;

2) tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri;

3) Tingkat pendidikan rata-rata rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar;

4) kebanyakan tinggal di perdesaaan, umumnya menjadi buruh tani atau

pekerja kasar diluar pertanian;

5) kebanyakan yang hidup dikota masih berusia muda dan tidak mempunyai

(29)

2.3 Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Badan Pusat Satistik (2005), menjelaskan bahwa beberapa strategi yang dilakukan dalam menanggulangi masalah kemiskinan adalah melalui kebijakan makro ekonomi, pendekatan kewilayahan, dan pendekatan

pemenuhan hak-hak dasar. Kebijakan makroekonomi untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas

ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pendekatan kewilayahan yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan percepatan

pembangunan perdesaan, pembangunan perkotaan, pengembangan kawasan pesisir, dan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Strategi menanggulangi

kemiskinan yang dilakukan melalui pendekatan pemenuhan hak-hak dasar adalah dengan pemenuhan hak atas pangan, sandang, pendidikan, kesehatan,

akses terhadap sumberdaya sosial dan ekonomi, kegiatan usaha produktif, perumahan, air bersih dan rasa aman.

Menurut Suharto (2003), dalam upaya mengatasi kemiskinan diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan program kebijakan dan program anti kemiskinan. Sayangnya hampir semua pendekatan dalam

mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigma) yang dimotori oleh Bank Dunia. Paradigma ini

bersandar pada teori–teori pertumbuhan ekonomi neoklasik (orthodox

neoclassical economics) dan model yang berpusat pada produksi ( production-centerel model). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai menjadi indikator pembangunan Tahun 1950-an, misalnya para ahli ilmu sosial selalu merujuk

pada pendekatan tersebut manakalah berbicara masalah kemiskinan di satu negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif

income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator garis kemiskinan.

Suharto (2003) juga mengemukakan bahwa dibawah kepemimpinan ekonomi asal pakistan, Mahbub UI Haq, pada 1990-an UNDP memperkenalkan

pendekatan human development yang difomulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan Indeks kemiskinan Manusia Human Poverty Index . Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai

Bank Dunia, pendakatan UNDP relatif lebih komprehensif karena mencakup bukan saja dimensi ekonomi (pendapatan), melainkan pula pendidikan (angka

(30)

versi UNDP berporos pada padigma pembangunan populasi/kerakyatan (popular

development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.

Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kemiskinan sebaiknya tidak hanya dari

karakteristik si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya.

Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan

indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga.

Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap dari pada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus

dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key indicators yang mencakup kemampuan

keluarga miskin dalam memperoleh matapencaharian (livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola aset (asset

management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kemasyarakatan (access to sosial capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses).

(Suharto, 2003)

2.4 Pembangunan Perdesaan sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan

Pembangunan perdesaan menurut rumusan Bank Dunia, merupakan suatu strategi untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi lapisan masyarakat

tertentu, masyarakat perdesaan yang miskin dan melibatkan secara luas manfaat dari pola pembangunan untuk kelompok termiskin diantaranya mereka yang

mencari nafkah di perdesaan (Alala, 1992). Khususnya dalam kaitannya dalam kaitanya dengan pembangunan masyarakat, PBB lebih menekankan pada proses dimana semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha

pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat yang ada kedalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberikan kesempatan secara penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa (Conyers, 1987).

(31)

maka usaha untuk memerataan pendapatan dituntut adanya perbaikan

kelembagaan (juora, 1985). Menurut Soekartawi (1990), aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian secera keseluruhan, tetapi juga ekonomi perdesaan. Dikatakan, bahwa aspek

kelembagaan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur pembangunan diperdesaan dikatakan maju sebagaimana yang dikemukakan

Mosher (1974).

Selama ini program-program pembangunan perdesaan seperti IDT

(Inpres Desa Tertinggal) dan PPTAD (Program Pengembangan Terpadu Antar Desa) lebih cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga penekanan

terhadap pembangunan masyarakat umumnya belum tersentuh. Padahal berbagai persoalan yang membutuhkan penanganan pembangunan masyarakat

desa sesungguhnya sangat mendesak, seperti ketertinggalan desa dari kota, tidak terakomodasinya keinginan dan kebutuhan masyarakat dalam

program-program pemerintah dan kualitas pendidikan dan kesejahteraan masih rendah. (Hernowo, 2003)

Ndraha (1987), mengatakan bahwa strategi pembangunan perdesaan

adalah peningkatan kapasitas dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat desa secara langsung dalam setiap tahap proses pembangunan

adalah merupakan ciri utama pembangunan desa yang ideal, yang membedakannya dari pembangunan lainnya.

Dalam hubungannya dengan model pembangunan perdesaan, Samonte sebagimana dikutip Ndraha (1987), berpendapat bahwa basis stategi

pembangunan perdesaan adalah peningkatan kapasitas dan komitmen masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Partisipasi masyarakat desa secara langsung dalam setiap tahap proses pembangunan adalah merupakan ciri utama pembangunan desa yang ideal,

yang membedakan dari pembangunan lainnya. (Ndraha, 1987)

Menurut Saharia (2003), terdapat paradigma baru dalan pembangunan

perdesaan, dimana pertanian diposisikan sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan hasil memadai. Pertanian dapat menjadi sumber pendapatan yang memadai apabila setiap program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang

ada di wilayah perdesaan (sekitar 75 persen) dari total penduduk dan tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini potensi sumberdaya

(32)

pembangunan tersebut akan dapat dicapai apabila potensi sumberdaya manusia

di wilayah perdesaan yang sebelumnya menjadi objek diposisikan menjadi subjek pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan.

Dalam menyikapi perubahan paradigma pembangunan terutama

diwilayah perdesaan, ada beberapa langkah yang harus dipertimbangkan yakni : 1. Menghubungi tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh petani.

2. Menjelaskan latar belakang dan tujuan dari program yang akan diterapkan. 3. Menumbuhkan motivasi pada diri tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh petani

agar program yang akan diterapkan dirasakan sebagai kebutuhan mereka dengan jalan mendiskusikan bersama mereka alasan-alasan dan tujuan dari

pelaksanaan program tersebut.

Sejalan dengan itu, Saharia (2003), mengungkapkan pula bahwa ada beberapa metode pendekatan yang telah dikembangkan untuk memposisikan

masyarakat yang ada diperdesaan dalam hal ini masyarakat tani bukan hanya sebagai objek atau penonton tetapi harus secara aktif ikut serta dalam

perencanaan, pengawasan dan menikmati pembangunan. Metode yang dimaksud adalah :

1. Pendekat secara partisipatif dan dialogis

Pendekatan partisipatif dan dialogis dilakukan antar petani dimana mereka secara bersama-sama menganalsis masalah dalam rangka merumuskan

perencanaan dan kebijakan secara nyata, sehingga pengambilan keputusan dilakukan secar musyawarah dan mufakat sesuai aspirasi dan kepentingan

petani dalam mengatasi permasalahan.

2. Memadukan pendekatan dari bawah dan dari atas (Bottom-Up and

Top-Down Approach)

Dalam merumuskan suatu program harus melihat bagaimana respon

masyarakat terhadap program yang sedang dicanangkan. Sementara petugas lapangan dari instansi terkait hanya berperan sebagai motivator,

fasilitator dan mediator dalam proses perumusan dan pelaksanaan program tersebut.

3. Pendekatan tradisi (socio-Cultural Approach)

Perencanaan maupun pelaksanaan suatu program harus mempertimbangkan kondisi sosial-kultural masyarakat yang ada pada wilayah tersebut dan juga

(33)

4. Menggunakan tenaga pendamping lapangan.

Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari LSM atau perguruan tinggi yang bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam penyusunan dan pelaksanaan suatu program.

Saharia (2003), menjelaskan bahwa berbagai kegiatan dapat dilakukan dalam upaya peningkatan pertisipasi masyarakat di wilayah perdesaan yang

dikelompokkan dalm empat sektor utama dengan beberapa sub kegiatan diantaranya adalah:

1. Pengelolaan Sumberdaya Alam

a. Konservasi daerah aliran sungai (DAS), tanah dan air, yakni pengelolaan

dan perencanaan DAS secara partisipatif

b. Kehutanan: misalnya hutan sosial dan hutan komunitas; penilaian

kerusakan hutan, perlidungan, perawatan dan penanaman tanaman hutan, identifikasi pemanfaaatan pohon, penggunaan dan pemasaran

hasil hutan

c. Perikanan, dan perikanan darat maupun laut d. Zona perlindungan satwa liar

e. Penilaian bahan pangan dan bahan bakar

f. Perencanaan desa: persiapan pengelolaan sumberdaya perdesaan

2. Pertanian

a. Hasil panen, termasuk penelitian persipatoris petani/penelitian sistem

pertanian oleh petani.

b. Irigasi, termasuk rehabilitasi sistem irigasi skala kecil.

c. Pasar, inventigasi pasar dan potensi merebut pasar. 3. Program untuk persamaan

a. Wanita; penilaian partisipatif tentang masalah serta bagaimana mencari solusi dari masalah yang dihadapi.

b. Kredit; identifikasi kebutuhan kredit dan dari mana saja sumber kredit yang dapat dimanfaatkan sebagai modal kerja bagi masyarakat

perdesaan yang kebanyakan bermata pencaharian di sektor pertanian (sebagai petani). Modal kerja ini tentunya diharapkan dengan bunga yang relatif kecil dan angsurannya disesuaikan dengan saat diamana petani

memungut hasil husahanya (waktu panen).

c. Seleksi; pencarian dan pemilahan masyarakat miskin untuk suatu

(34)

d. Pendapatan; identifikasi peluang untuk penghasilan non-pertanian, hal ini

dilakukan agar masyarakat desa mengetahui potensi apa yang sebaiknya mereka kembangka selain bertani.

4. Kesehatan dan Gizi

a. Penilaian dan pemantauan kesehatan: identifikasi pentakit utama, biaya penanganan kesehatan, dan perencanaan proyek kesehatan.

b. Ketersediaan bahan pangan dan peningkatan gizi. c. Sanitasi dan air; perencanaan dan lokasinya.

Dari keempat faktor utama yang telah dikemukakan, tentunya akan lebih efektif apabila banyak melibatkan masyarakat pada wilayah tersebut dan terprogram

sesuai dengan potensi masyarakat yang ada.

Partisipasi masyarakat perdesaan menurut paradigma baru

pembangunan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan perdesaan. Namun sayangnya, partsipasi masyarakat dipandang masih rendah.

Rendahnya partisipasi masyarakat perdesaan dalam pembangunan, sebagaimana sering dipersoalkan, pada dasarnya bersumber pada sistem kelembagaan sosial, terutama pada masyarakat yang memiliki sistem

kelembagaan lokal dengan kontrol sosial yang ketat. Dalam situasi seperti itu pada umumnya masyarakat memperlihatkan pertisipasi internal yang tinggi.

Partisipasi ini menunjuk pada wujud kesetiaaan terhadap norma yang berlaku dalam sistem sosial. Keadaan ini sudah tentu dapat menyebabkan rendahnya

parsipasi eksternal, apabila program-program tertentu menurut pandangan mereka tidak selaras dengan sistem norma dan kelembagaan yang ada

(Soekartawi dan Mustafa, 2002).

Menurut Hasibuan (1995), ada beberapa sebab yang tampaknya menjadi

penghambat ke arah kemajuan desa. Pertama, kondisi geografis yang sedemikian luas, sehingga sulit dalam jangkauan operasional. Kedua, sebaran

dan jumlah penduduk yang berkombinasi dengan kondisi pertama tadi. Ketiga, orientasi pembangunan ekonomi yang cenderung pada pertumbuhan ekonomi,

sehingga prioritas terletak pada segi-segi yang mendukung efisiensi. Keempat, potensi desa belum dikelola secara optimal, oleh karena kendala pertama, kedua dan ketiga tadi. Kelima, kondisi sosio-budaya yang masih membelenggu para

perencana ekonomi, sebagai akibat adanya ”structural-lagged” masa lalu. Keenam, belum jernihnya pandangan tentang desa, sehingga ada sikap

(35)

perkotaan. Ketujuh, pembangunan perdesaan lebih cenderung pada pendekatan

penyiapan prasarana dan sarana fisik daripada sarana non fisik. Kedelapan, partisipasi mesyarakat sulit berkembang karena sistim pemerintahan yang relatif serba sentralistik, baik pusat maupun daerah terhadap desa. Kesembilan, faktor

SDM yang sangat lambat berkembang kualitasnya, dan terjadi brain-drain

tenaga-tenaga yang relatif berkualitas, karena kesenjangan insentif.

Bintaro (1989), mengemukakan bahwa berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat teknologi penduduk desa masih tergolong rendah dan belum

berkembang. Dengan corak kehidupan yang sifatnya agraris, kehidupan mereka sederhana, jumlah penduduk tidak besar dan letaknya relatif jauh dari kota.

Wilayah ini pada umumnya terdiri dari permukiman penduduk dan persawahan, jaringan jalan begitu padat dan sarana transportasi masih sangat langkah.

Keterpencilan dan keterbelakangan daerah perdesaan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor geografis, transportasi dan komunikasi di

samping faktor-faktor lain seperti terbatasnya tenaga penggerak pembangunan. Akibatnya terpencilnya suatu tempat menyebabkan pertumbuhahannya dalam banyak hal menjadi penghambat. Dalam hubungannya dengan kota, maka desa

berfungsi dan berpotensi sebagai desa yang merupakan daerah pendukung dan berfungsi sebagai daerah pemasok bahan makanan seperti padi, jagung, ketela,

kedelai dan buah-buahan. Selain itu desa ditinjau dari sudut potensi ekonomi berfungsi sebagai lumbung bahan baku dan tenaga kerja yang tidak kecil artinya.

Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah pembangunan perdesaan. Menurut Haerun sebagaimana dikutib oleh Hernowo

(2003), ada dua sisi pandang untuk menelaah perdesaan, yaitu :

1) Pembangunan perdesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang

bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan masyarakat desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga

perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. 2) Sisi lain memandang bahwa pembangunan perdesaan sebagai suatu

integrasi antar potensi yang dimiliki oleh masyrkat desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat pembangunan perdesaan.

Adapun sasaran pokok pembangunan perdesaan adalah terciptanya

kondisi ekonomi rakyat perdesaan yang kukuh dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan. Sasaran pembangunan perdesaan tersebut

(36)

1. Peningkatan kualitas tenaga kerja perdesaan

2. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa

3. Penguatan lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat desa, 4. Pengembangan kemampuan sosial ekonomi masyarakat desa,

5. Pengembangan sarana dan prasaranan perdesaan

6. Pemantapan keterpaduan pembangunan desa berwawanan lingkungan.

Kebijakan pembangunan perdesaan harus dilaksanakan melalui pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan

selalu dimulai dari pernyataan yang menyangkut sektor apa yang perlu dikembangkan untuk memcapai tujuan pembangunan. Berbeda dengan

pendekatan sektoral, pendekatan regional lebih menitik beratkan pada daerah mana yang perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan baru kemudian sektor

apa yang sesuai untuk dikembangkan dimasing-masing daerah.

2.5 Pendekatan Pengentasan Kemiskinan di Tingkat Petani melalui

Pengembangan Komoditas Perkebunan.

Menurut Wahab (2004), kemiskinan petani disebabkan oleh beberapa permasalahan pokok. Pertama, pendidikan petani yang rendah sehingga

mempunyai kemampuan terbatas untuk mengikuti perkembangan dunia agribisnis yang berkembang cepat seperti teknologi, selera konsumen, pemilihan

jenis komoditi yang menguntungkan. Kedua, akibat terbatasnya akses terhadap petani, maka petani menemui kesulitan untuk mendapatkan sarana produksi,

teknologi dan informasi yang mereka butuhkan dengan harga yang wajar. Ketiga, letak lahan pertanian yang dikelola petani tersebar diberbagai tempat dengan

luasan masing-masing yang sempit dan pengelolaanya belum mengarah pada usaha yang intensif. Keempat, lemah dan rendahnya teknologi, produktivitas

tenaga kerja, SDM dan modal menyebabkan rendahnya volume dan kualitas produksi serta mengakibatkan naiknya biaya produksi. Kelima, kelembagaan

sosial dan ekonomi ditingkat petani belum mampu mendukung kegiatan usahatani, distribusi dan pemasaran, serta informasi dan ahli teknologi. Keenam, harga jual hasil produksi berfukluasi sebagai akibat dari suplai yang fluktuatif,

mutu yang rendah, serta lemahnya sistem distribusi/pemasaran dan posisi tawar petani. Solusi terhadap keenam permasalahan yang menyebabkan kemiskinan

(37)

pembangunan tersebut adalah pada upaya pemberdayaan agroindustri.

Pengembangan argo industri ini sekaligus akan dapat menyediakan lapangan kerja bagi penduduk perdesaaan sejalan dengan berkembangnya kegiatan sektor pertanian dan diluar pertanian melalui proses pengolahan dan kegiatan

jasa perdagangan komoditas primer.

Solusi permasalahan yang menyebabkan kemiskinan petani adalah

melalui pembangunan ekonomi petani perdesaan sebagi satu kesatuan antara pembangunan sektor pertanian dan industri kecil. Arah dari pembangunan

tersebut adalah pada upaya pemberdayaan agroindustri. Pengembangan agro industri sekaligus akan dapat menyediakan lapangan keja bagi penduduk

perdesaan sejalan dengan perkembangan kegiatan sektor pertanian (on farm) dan diluar pertanian (off farm) melalui proses pengolahan dan kegiatan jasa

perdagangan komoditas prima. Berkembangnya kegiatan tersebut akan meningkatkan nilai tambah di perdesaan, perluasan diversifikasi produksi

perdesaan, pendapatan petani dan mempercepat akumulasi kapital perdesaan (Sandra, 2002).

Kurniawaty (2002), menjelaskan bahwa program yang perlu

dikembangkan diperdesaan untuk mengembangkan sektor pertanian dan industri kecil adalah pengembangan komoditas unggulan dan andalan, peningkatan nilai

tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran yang tidak terdistorsi, penyediaan sarana transportasi dan distribusi produk, pengembangan

kemitraan dan restrukturasi sistem dan kelembagaan pertanian dan agroindustri. Joewono (2001), mengatakan bahwa pada dasarnya nilai tambah

bukan diukur dari apa yang sudah dilakukan termasuk segala biaya yang harus dikeluarkan, tetapi diukur dari persepsi nilai di benak konsumen. Karena nilai

tambah diukur dengan persepsi konsumen, maka peran pemasaran termasuk brand menjadi penting. Jadi kalau kita bisa memberikan persepsi lebih tinggi

melalui value creation dan dilengkapi dengan aplikasi pemasaran yang benar, maka agroindustri akan memberi sumbangan lebih besar. Selama ini komoditas

pertanian sering didera gonjang-ganjing anjloknya harga karena pasokan berlimpah. Nilai tambah bisa ditingkatkan melalui industri pengolahan. Hanya saja industri dalam konteks masa kini tidak perlu memaksakan produksi barang

(38)

2.6 Teori Basis Ekonomi : Location Quotient(LQ)

Location Quotient merupakan suatu metode analisis yang digunakan untuk menunjukan lokasi pemusatan/basis (aktivitas) yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang

lebih luas dalam suatu wilayah (Rustiadi, 2003). Adapun kegiatan ekonomi suatu wilayah dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan

kekurangan yang terjadi dalam sektor pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya

industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luas wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah

sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.

Location Quotient merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas

tersebut dalam total aktivitas wilayah. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang

seragam. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia (Blakey, 1884)

Menurut Shukla (2000), jika penelitian untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat meberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya

maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikkan pendapatan daerah, maka pendapatan

merupakan dasar ukuran yang tepat sedangkan jika hasil produksi yang diperlukan maka jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga menunjukan efisiensi

relatif wilayah, serta terfokus pada subsitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor.

2.7 Pengembangan Agribisnis Perkebunan

Struktur ekonomi nasional, regional dan lokal yang masing berbasis sektor pertanian primer dengan orientasi produksi dan kegiatan industri yang

berbasis pertanian (agroindustri), maka untuk meningkatkan pendapatan masyarakat adalah membangun dan mengembangkan secara bersama dan

(39)

pasar maka paradigma pembangunan pertanian perlu diubah dengan

pendekatan agribisnis.

Agribisnis atau bisnis pertanian pada dasarnya merupakan kegiatan yang sangat luas, mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan dan

penyaluran sarana produksi sampai pada kegiatan tataniaga produk pertanian yang dihasilkan oleh uasahatani. Menurut Arsyad et al. dalam Limbong (2003)

yang dimaksud dengan agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan darai mata rantai produksi, pengolahan

hasil dan pemasaran yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas. Pertanian dalam arti luas yang dimasud adalah kegiatan usaha yang menunjang

kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian. Menurut Saragih (2001), sistem agribisnis dibagi menjadi 4 (empat)

sub-sistem yaitu :

1) sub-sistem agribisnis hulu (up strem agribusines) yaitu usaha-usaha

menghasilkan sarana produksi bagi pertanian seperti usaha pembibitan/perbenihan, agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin hewan dan agrootomotif (alat dan mesin pertanian) ;

2) sub-sistem agribisnis usahatani/budidaya pertanian (on farm agribusiness) yaitu usaha-usaha yang mengkombinasikan barang-barang modal

sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dan proses produksi biologis tanaman/hewan untuk menghasilkan komoditas pertanian primer , yang

meliputi : usahatani tanaman pangan, usahatani holtikultura, usahatani tanaman obat (biofarmaka), usahatani perkebunan, usaha peternakan,

usaha perikanan dan usaha kehutanan ;

3) sub-sistem agribisnis hilir pertanian (down strem agribusiness) yaitu

usaha-usaha yang mengelolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan sesuai dengan kebutuhan pasar. Hal ini mencakup usaha pengolahan

makanan dan minuman, usaha pengolahan pakan ternak ikan, usaha pengolahan barang-barang serta alam, usaha farmasi, usaha estetika dan

energi alternatif ;

4) sub-sistem jasa penunjang agribisnis (supporting institution) yaitu usaha-usaha yang menyediakan jasa bagi ketiga subsitem agribisnis diatas. Hal

(40)

Sub sistem agribisnis hulu adalah seluruh kegiatan ekonomi yang

menghasilkan sarana produksi, seperti : a) industri agrokimia (pupuk, pestisida dan lain-lain), b) industri agrootomotif (mesin dan peralatan), c) industri perbenihan/bibit. sub sistem agribisnis usahatani atau pertanian primer, dahulu

disebut farming system adalah kegiatan yang menghasilkan komoditas pertanian primer. Sub sistem agribisnis hilir adalah kegiatan ekonomi yang mengolah

komoditas pertanian primer menjadi produk olahan, baik yang berbentuk produk antara (intermediate product) maupun bentuk produk akhir (finished product)

serta pemasarananya. Sedangkan sub sistem jasa penunjang agribisnis yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga sub sistem agribisnis lainnya,

seperti lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan serta jaringan informasi dan kelembagaan lainnya.

Selanjutnya dalam pengertian umum yang digunakan saat ini, sistem agribisnis sebenarnya terdiri dari lima bentuk kegiatan, yaitu (1) kegiatan

pertanian (budidaya) sebagai kegiatan utama dan didukung oleh (2) pengadaan sarana produksi pertanian (saprotan), (3) agroindustri pengolahan, (4) pemasaran dan (5) jasa-jasa penunjang (Saragih dan Krisnamurthi, 1994). Jika

dilakukan pengelompokan kegiatan pertanian (budidaya) akan dimasukan sebagai kegiatan usahatani (on-farm activities), sedangkan pengadaan sarana

produksi, agroindustri pengolahan, pemasaran dan jasa-jasa penunjang dikelompokkan kedalam kegiatan luar usahatani (off-farm activities).

Pola pengembangan agribisnis perkebunan ditunjukkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka pola pengembangan yang

diterapkan harus dapat melibatkan peran serta masyarakat. Untuk itu pola pengembangan yang sesuai dilaksanakan dalam agribisnis perkebunan adalah

suatu pola yang melibatkan petani, pemerintah dan ivestor.

Menurut Nogoseno (2003), ada beberapa langkah yang dapat ditempuh

dalam pengembangan agribisnis perkebunan yaitu :

1. Optimalisasi pemanfaatan aset pada subsitem on-farm (peremajaan dan

diversifikasi).

Optimalisasi dilakukan melalui peremajaan perkebunan dan diversifikasi usahatani. Peremajaan pada dasarnya dilakukan untuk mengkondisikan agar

(41)

Pelaksanana peremajaan dilakukan sedemikian rupa sehingga areal pertanaman

masih memungkinkan sebagai sumber pendapatan yang memadai bagi petani. Diversifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa melalui penganekaragaman usahatani. Pelaksanaan diversifikasi dapat

dilakukan pada areal pertanaman yang sudah ada (existing) maupun pada areal yang diremajakan. Diversifikasi pada areal existing maupun pada areal yang

diremajakan dapat dimasukkan tanaman tumpangsari, tanaman perkebunan lainnya. Beberapa diversifikasi usahatani yang dimaksud adalah sebagai berikut :

(a) tumpangsari perkebunan dengan tanaman semusim, (b) tumpangsari dengan tanaman tahunan

2. Penganekaragaman produk (Product devercitication) dan pemasaran

Selama ini petani perkebunan hanya memperoleh pendapatan dari

penjualan komoditi mentah. Kegiatan penganekaragaman produk dimaksudkan untuk menambah peluang petani dalam memperoleh tambahan produk-produk

olahan lainnya. Untuk itu diperlukan unit pengolahan terpadu baik dalam unit kecil maupun unit besar, sekaligus penanganan pemasarannya. Keterlibatan petani dalam pemasaran perlu ditumbuh kembangkan sejak awal sehingga

petani dapat berkiprah secara utuh dalam agribisnis komoditi perkebunan 3. Pemberdayaan petani dan kelembagaan

Pemberdayaan petani dan kelembagaan merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan agribisnis komoditi perkebunan terutama

kaitannya dengan upaya meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi, informasi dan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan serta

pemasaran. Pemberdayaan dilakukan terhadap individu dan kelompok melalui kelembagaan yang bersifat ekonomi (koperasi) dan kelembagaan yang bersifat

non ekonomi (asosiasi) dengan sasaran: (a) meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam pengembangan dan pengolahan organisasi usaha, (b)

meningkatkan kemampuan mengakses sumber-sumber teknologi, informasi, pembiayaan dan pasar (c) meningkatkan posisi tawar petani terhadap mitra

(42)

2.8 Ikhtisar

Kemiskinan merupakan permasalahan pembangunan yang dihadapi oleh setiap daerah bahkan negara. Penanggulangan kemiskinan telah menjadi perhatian banyak pihak untuk sekian lama. Tetapi kemiskinan masih menjadi

masalah di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Penyebabnya antara lain adalah adanya kekeliruan dalam strategi besar dan kelemahan dalam

pelaksanaan pembangunan nasional. Berdasarkan kompleksitas dari permasalahan kemiskinan, maka upaya penanggulangannya perlu dilakukan

secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan para pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat).

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menciptakan peningkatan pada produksi nasional riil, tetapi juga harus ada

perubahan dalam kelembagaan, struktur administrasi, perubahan sikap dan bahkan kebiasaan salah satu syarat yang diperlukan agar pembangunan dapat

berjalan seperti yang diinginkan adalah harus ada dukungan kekuatan dari dalam (indegenous forces). Yang dimaksud kekuatan dari dalam adalah kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri yaitu ada keinginan untuk menaikan taraf

hidupnya. Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan kekuatan

yang dimiliki sehingga pemberdayaan merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Kajian
Tabel 4.  Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan
Gambar  2.  Peta Kabupaten Muna
Tabel. 5   Kontribusi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menandakan bahwa daya dukung (potensi lahan) di Kabupaten Majene masih tergolong bagus sehingga masih perlu dilakukan suatu upaya pengembangan guna

Analisis LQ berdasarkan luas panen selama lima tahun (2001-2005) menunjukkan bahwa komoditas kopi, kakao, lada dan kelapa menjadi sektor basis perkebunan rakyat di Kabupaten

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa faktor internal dan eksternal Strategi Pemasaran Komoditas Jambu Mete di Kecamatan Pasimarannu Kabupeten Kepulauan

berada pada Kuadran III yang artinya kelapa dalam meskipun memiliki kelemahan namun masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan.Salah satu caranya dengan

Hal ini menandakan bahwa daya dukung (potensi lahan) di Kabupaten Majene masih tergolong bagus sehingga masih perlu dilakukan suatu upaya pengembangan guna

Terdapat 6 (enam) hal utama yang menunjukan karakteristik kemiskinan di Kabu- paten Indragiri Hulu yaitu (a) masih banyak rumah tangga miskin yang tidak

Kabupaten Bogor dijadikan sebagai wilayah agraris memang tidak berlebihan. Hal ini disebabkan Kabupaten Bogor masih memiliki luas lahan pertanian yang masih berpotensi

Hasil dari ketiga analisis diatas diketahui bahwa nilai LQ, SS dan SI pada ikan tembang memiliki nilai tertinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan lain yang juga merupakan