• Tidak ada hasil yang ditemukan

The utilization of plant diversity by community around KGPAA Mangkunagoro I Grand Forest Park (case studies in Sukuh and Gondangrejo Hamlet, Berjo Village, Ngargoyoso, Karanganyar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The utilization of plant diversity by community around KGPAA Mangkunagoro I Grand Forest Park (case studies in Sukuh and Gondangrejo Hamlet, Berjo Village, Ngargoyoso, Karanganyar)"

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN

TAMAN HUTAN RAYA K.G.P.A.A. MANGKUNAGORO I

(Studi Kasus di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar)

RIZKA NOVIA SETYANING RAHAYU

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

K.G.P.A.A. MANGKUNAGORO I

(Studi Kasus di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar)

RIZKA NOVIA SETYANING RAHAYU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Tumbuhan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Hutan Raya KGPAA Mangkunagoro I (Studi Kasus di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar). Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL AM ZUHUD.

Masyarakat sekitar kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I melakukan interaksi dengan kawasan melalui kegiatan pemanfaatan sumberdaya, terutama tumbuhan. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan oleh masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I, mengidentifikasi bentuk interaksi masyarakat terhadap TAHURA KGPAA Mangkunagoro I, mengidentifikasi kearifan lokal masyarakat yang berhubungan dengan konservasi tumbuhan di kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I.

Penelitian dilaksanakan di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar. Jenis data yang diambil meliputi spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan bentuk pemanfaatannya serta bentuk kearifan lokal masyarakat yang berhubungan dengan konservasi. Metode yang digunakan adalah dengan wawancara dan eksplorasi. Wawancara dilakukan dengan sensus yang mewakili setiap kepala keluarga. Kemudian dilakukan eksplorasi terhadap spesies tumbuhan yang dimanfaatkan.

Hasil dari penelitian ini teridentifikasi jumlah spesies yang dimanfaatkan masyarakat sebanyak 140 spesies dari 57 famili. Famili yang paling banyak dimanfaatkan adalah Fabaceae. Tumbuhan paling banyak dimanfaatkan adalah sebagai tumbuhan pangan yang tediri dari 78 spesies. Interaksi masyarakat yang masih terjalin dengan kawasan TAHURA hanya terbatas pada pengambil rumput dan kayu bakar. Kearifan lokal yang masih ada dalam masyarakat antara lain sistem araman, mencari kayu bakar, dan pemanfaatan lahan sekitar rumah (pekarangan) sedangkan yang sudah mulai ditinggalkan adalah sistem berkebun organik.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan bahwa kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan dan interaksi masyarakat terhadap kawasan TAHURA sudah mulai menurun. Mempertahankan kearifan lokal masyarakat sebagai salah satu upaya konservasi yang dapat mendukung kelestarian spesies tumbuhan yang berguna bagi masyarakat.

(4)

by Community around KGPAA Mangkunagoro I Grand Forest Park (Case Studies in Sukuh and Gondangrejo Hamlet, Berjo Village, Ngargoyoso, Karanganyar). Under supervision of AGUS HIKMAT and ERVIZAL AM ZUHUD.

Community around KGPAA Mangkunagoro I Grand Forest Park (TAHURA KGPAA Mangkunagoro I) interact with the protected area by utilizing resources, especially plants. Therefore, information about plants utilization by community is required. This research aims to identify the utilization of plant diversity by community around TAHURA KGPAA Mangkunagoro I, community interaction in TAHURA KGPAA Mangkunagoro I, local wisdom of the community related to plants conservation in TAHURA KGPAA Mangkunagoro I.

The research was conducted in Sukuh and Gondangrejo Hamlet, Berjo Village, Ngargoyoso, Karanganyar. The various data was collected, including plant species and how it is utilized by the community, and also the form of society local wisdom related to conservation. The methods used in the research consist of interviewing and doing exploration. The interviews were conducted with a representative census of each family head. Thus, the exploration deal with plant species utilized by the community has been done as well.

The result of this research identified that the numbers of species utilized by the society are as much as 140 species from 57 families. The most family used by the society is Poaceae. Plants which most widely used as food plants consisting of 78 species. Community interaction in TAHURA KGPAA Mangkunagoro I is still limited in gathering grass and firewood. Local wisdom found still exist in the community for instance applying, they are araman system, gathering firewood, and using land around the house (yard). Whereas, the abandoned one is the system of organic gardening.

The conclusion of this research showed that the community local wisdom in utilizing plants and community interaction in TAHURA KGPAA Mangkunagoro I has been decreasing as well. Sustaining the society local wisdom is as an effort to support sustainable conservation of plant species that are useful for community.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan

Keanekaragaman Tumbuhan Oleh Masyarakat Sekitar Kawasan Taman Hutan

Raya KGPAA Mangkunagoro I (Studi Kasus di Dukuh Sukuh dan Dukuh

Gondangrejo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar)

adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing

dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau

lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Rizka Novia Setyaning Rahayu

E34080016

(6)

KGPAA Mangkunagoro I (Studi kasus Dukuh Sukuh dan

Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,

Kabupaten Karanganyar)

Nama : Rizka Novia Setyaning Rahayu

NIM : E34080016

Menyetujui,

Pembimbing I,

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc

NIP. 196209181989031002

Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, MS

NIP. 19590618198503003

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata,

Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS

NIP. 195809151984031003

(7)

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala

curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan

Juli-Agustus 2011 ini adalah pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat, dengan

judul Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan oleh Masyarakat di Sekitar

Kawasan Taman Hutan Raya KGPAA Mangkunagoro I (Studi kasus Dukuh

Sukuh dan Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat,

M.Sc.F dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, MS selaku pembimbing.

Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pengelola TAHURA

KGPAA Mangkunagoro I dan Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar yang

telah memberikan dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini. Hasil penelitian ini

akan penulis dedikasikan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar TAHURA

KGPAA Mangkunagoro I khususnya di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo,

Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2012

(8)

Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 16 November

1990 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Purn.

Serma Sahlin dan Sih Setyo Lestariati, S.Pd (almh). Jenjang

pendidikan formal yang ditempuh penulis, yaitu SDN 03

Buran (2002), SMPN 1 Karanganyar (2005) dan pada tahun

2008 penulis lulus dari SMA Negeri Karangpandan. Pada

tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Institut

Pertanian Bogor dan memilih jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata Fakultas Kehutanan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut

Pertanian Bogor (USMI).

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis juga mengikuti sejumlah organisasi

kemahasiswaan yakni sebagai anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) dan

Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) Himpunan Mahasiswa Konservasi

(HIMAKOVA), anggota Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (PSDM) Badan

Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2009-2010, pengurus

Paguyuban Mahasiswa Solo dan Sekitarnya (AYUMAS).

Pada tahun 2010 penulis mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan

(PPEH) jalur Kamojang-Sancang Barat. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan

Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penulis

juga sudah melaksanakan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman

Nasional Kayan Mentarang-Kalimantan Timur dan bekerjasama dengan GIZ

dalam kegiatan survey kondisi sosial ekonomi masyarakat zona penyangga

TNKM (Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau,

Kalimantan Timur).

Skripsi yang bejudul “Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan oleh

Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Hutan Raya KGPAA Mangkunagoro I

(Studi kasus Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo, Kecamatan

Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar)” diselesaikan oleh penulis selama 1 tahun

dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud,

(9)

curahan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya

ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ervizal AM

Zuhud, MS selaku pembimbing skripsi, atas kesediaan membimbing,

memberikan ilmu dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Soegiarto selaku Kepala TAHURA KGPAA Mangkunagoro I dan

segenap staff TAHURA yang telah membantu dalam penelitian ini.

3. Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si selaku moderator dalam seminar hasil

skripsi, Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M. Sc selaku ketua ujian komprehensif

serta Ir. Ahmad Hajib, MS selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif

atas semua masukannya.

4. Seluruh Dosen, Staf dan Pegawai Fakultas Kehutanan, khususnya Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah mengajar,

mendidikku, dan membantuku selama berkuliah di IPB.

5. Septiani Dian Arimukti teman seperjuangan terutama pada saat penelitian.

6. Bapak Suparno yang telah mendampingi dalam pengambilan data dilapangan

beserta seluruh masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo yang telah

bersedia berbagi informasi.

7. Persembahan khusus untuk Ayahku Purn. Serma Sahlin dan ibuku Sih Setyo

Lestariati, S.Pd (almh) yang selalu menjadi penyamangat dalam setiap

langkahku, dan kakakku mas Ibnu Mas’ud Setiawan yang selalu

mendukungku.

8. Keluarga besarku atas motivasi dan doa yang selalu menyertaiku.

9. Ibu Sih Setyo Hari Sukarelawati (almh) yang telah menjadi ibu kedua bagiku,

terima kasih telah menjagaku dan merawatku selama ini dan mbak Ayu Sari

yang telah menyemangatiku selama ini.

10.Keluarga besar Supriyanto (alm), bulik Dedeh, Mas Ajis, Mas Huda dan dek

Icha yang telah menjadi keluarga kedua selama di Bogor.

11.Rizki, Ichal, Wiwik, Rista, Iin, Mu’alim, Agus, Rachma, Junisa, Wahyu,

(10)

selalu mengalir.

12.Sahabat-sahabatku Rizki Magistra, Hari Kuncoro, Hendrik, Ogie, Indra, Adit,

Ari Ndoli, Diwanata, Dian, Sulis, Aisyah, Marina Putri, Budi, Dwi Harjono

atas semangat yang selalu diberikan.

13.Dora, Kiki, Illah, Nezi, Tira, mbak Fitri, Mbak Nur yang telah memberikan

kehangatan dalam sebuah persaudaraan yang terjalin selama di asrama TPB

hingga saat ini.

14.Dina Oktavia, Siti Munawaroh, Davi, Erlinda, Vera, Nurika, Tantri, Eko,

Kuspri, Rama, Rei, Ina, Ayu W, Yasri, Fitri, Ajeng, Ririn, Ana, Laela, Rifki,

Nararya, Ardhianto, Teko, dan seluruh keluarga besar Edelweiss 45 (SIAL)

yang telah memberikan warna dalam perjalanan hidupku.

15.Rekan-rekan lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih

atas dukungan dan doanya.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Masyarakat denganTumbuhan ... 3

2.2 Pemanfaatan Tumbuhan ... 4

2.2.1 Tumbuhan obat ... 5

2.2.2 Tumbuhan pangan ... 6

2.2.3 Tumbuhan penghasil warna ... 6

2.2.4 Tumbuhan penghasil pestisida nabati ... 7

2.2.5 Tumbuhan hias ... 8

2.2.6 Tumbuhan penghasil pakan ternak ... 8

2.2.7 Tumbuhan keperluan ritual adat dan keagamaan ... 8

2.2.8 Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan ... 9

2.2.9 Tumbuhan penghasil kayu bakar ... 9

2.2.10 Tumbuhan penghasil bahan bangunan ... 10

2.3 Taman Hutan Raya (TAHURA) ... 10

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

3.2 Alat dan Objek Penelitian ... 12

3.2.1 Alat ... 12

3.2.2 Objek penelitian ... 13

(12)

3.4 Teknik Pengambilan Data ... 13

3.4.1 Penentuan responden ... 13

3.4.2 Wawancara dan pengamatan langsung ... 14

3.4.3 Pembuatan herbarium ... 14

3.5 Metode Analisis Data ... 15

3.5.1 Tipologi masyarakat ... 15

3.5.2 Klasifikasi penggunaan ... 16

3.5.3 Persen famili ... 16

3.5.4 Persen habitus ... 16

3.5.5 Persen bagian yang digunakan ... 17

3.5.6 Persen tipe habitat ... 17

3.5.7 Persen budidaya ... 17

3.5.8 Analisis hubungan masyarakat dengan Tahura KGPAA Mangkunagoro I ... 18

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas ... 19

4.2 Sejarah Kawasan ... 19

4.3 Kondisi Fisik Kawasan ... 20

4.4 Kondisi Biologi Kawasan ... 21

4.5 Kondisi Sosial Budaya Masyarat ... 21

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Masyarakat ... 23

5.1.1 Kondisi masyarakat ... 23

5.1.2 Pola hidup masyarakat ... 26

5.1.3 Interaksi masyarakat dengan Tahura ... 27

5.2 Pemanfaatan Tumbuhan ... 28

5.2.1 Tumbuhan pangan ... 34

5.2.2 Tumbuhan obat ... 38

5.2.3 Tumbuhan tumbuhan penghasil pakan ternak ... 45

5.2.4 Tumbuhan hias ... 46

5.2.5 Tumbuhan untuk keperluan ritual adat dan keagamaan ... 47

(13)

5.2.7 Tumbuhan penghasil kayu bakar ... 50

5.2.8 Tumbuhan penghasil bahan bangunan ... 51

5.2.9 Tumbuhan penghasil warna ... 51

5.2.10 Tumbuhan penghasil pestisida nabati ... 52

5.3 Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat ... 54

5.3.1 Sistem Araman ... 54

5.3.2 Sistem pengambilan kayu bakar ... 56

5.3.3 Pola pekarangan ... 57

5.3.4 Sistem berkebun ... 61

5.4 Pengembangan Kampung Konservasi POGA ... 62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 68

6.2 Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(14)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Tahap kegiatan dan metode pengumpulan data ... 13

2. Klasifikasi tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat ... 16

3. Perbandingan hasil etnobotani di beberapa kawasan konservasi ... 31

4. Data total pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat sekitar TAHURA

KGPAA Mangkunagoro I ... 32

5. Daftar spesies yang dibudidayakan di pekarangan ... 59

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Denah lokasi penelitian ... 12

2. Klasifikasi rmasyarakat berdasarkan kelas umur ... 24

3. Klasifikasi masyarakat berdasarkan jenis kelamin ... 24

4. Klasifikasi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan ... 25

5. Karakteristik masyarakat berdasar pada pekerjaan ... 26

6. Klasifikasi responden berdasar kelas umur ... 29

7. Klasifikasi responden berdasarkan jenis kelamin ... 29

8. Pemanfaatan tumbuhan berdasarkan kelompok penggunaan ... 31

9. Keanekaragaman tumbuhan dari 10 famili dengan spesies terbanyak ... 32

10. Persen habitus tumbuhan yang dimanfaatkan ... 33

11. Persen habitat ... 34

12. Persen budidaya ... 34

13. Lima famili yang banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan pangan ... 35

14. Bagiantumbuhan yang banyak dimanfaatkan untuk pangan... 36

15. Tumbuhan kol ... 36

16. Suasana perdagangan sayuran di pasar lokal ... 38

17. Keanekaragaman tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat 39 18. Bagian yang digunakan untuk tumbuhan obat ... 40

19. Jenis penyakit yang paling banyak disembuhkan. ... 41

20. Spesies tumbuhan obat a) Janggelan, b) Labu ... 42

21. a) Kondisi pohon kina yang sudah dikuliti, b) Kingkong ... 44

22. Spesies tumbuhan yang diperjual-belikan sebagai tumbuhan obat ... 45

23. Rumput pakan ternak ... 45

24. Anthurium jemani ... 46

25. Budidaya tanaman hias ... 47

26. Awar-awar ... 47

27. Anyaman a) Mendong(bahan anyaman), b) Tikar dari mendong ... 48

28. Kerajinan a) Bambu (bahan kerajinan), b) Keranjang dari bambu ... 49

(16)

30. a) Buah pinus, b) Kayu yang digunakan untuk kayu bakar ... 50

31. Kayu sebagai bahan bangunan ... 51

32. Alur pembuatan araman – penyimpanan rumput ... 56

33. Pemanfaatan kayu bakar oleh masyarakat ... 57

34. Sketsa pemanfaatan lahan oleh masyarakat ... 58

35. Bentuk pemanfaatan lahan sebagai pekarangan ... 58

36. Pemanfaatan pekarangan oleh masyarakat ... 59

37. Persentase pemanfaatan tumbuhan yang ada di pekarangan ... 60

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat ... 74

2. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat ... 79

3. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan pangan ... 83

4. Tumbuhan yang dimanfaatkan untuk bahan kerajinan, anyaman dan tali 85

5. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai kayu bakar ... 85

6. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pewarna ... 85

7. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak ... 86

8. Tumbuhan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual keagamaan ... 86

9. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tanaman hias ... 86

10. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pestisida nabati ... 87

11. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan ... 87

12. Tumbuhan yang dibudidayakan di pekarangan ... 88

13. Sketsa pemanfaatan lahan oleh masyarakat ... 89

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelangsungan hidup manusia antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan

sumberdaya alam hayati. Kebutuhan dasar manusia adalah pangan, sandang,

papan, dan kesehatan. Dalam pemenuhan kebutuhannya manusia menggunakan

keanekaragaman sumberdaya, baik lokal maupun dari luar. Sumberdaya lokal

adalah sumberdaya yang tersedia di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Hal

ini sangat mempengaruhi kemandirian masyarakat di suatu lokasi.

Contoh nyata bahwa lingkungan mempengaruhi kemandirian suatu

masyarakat adalah pada kehidupan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan

hutan. Hal tersebut dikarenakan hutan banyak menyediakan sumber kehidupan

bagi manusia. Namun kelestarian sumberdaya hayati suatu lokasi dapat terjaga

jika masyarakat merasakan manfaat kawasan tersebut secara langsung, sehingga

masyarakat akan ikut serta dalam upaya pelestarian kawasan tersebut.

Bentuk pemanfaatan tersebut dapat dilihat pada kehidupan masyarakat di

Indonesia yang masih mempertahankan kearifan lokalnya serta masih bergantung

pada hutan di kawasan mereka. Sehingga perlu adanya upaya konservasi yang

dilakukan oleh masyarakat tersebut. Konservasi adalah pemanfaatan yang optimal

secara berkelanjutan dengan syarat berkeadilan, beradab dan berdaulat (Zuhud

2011).

Salah satu masyarakat yang kehidupannya memiliki hubungan dengan

lingkungan adalah masyarakat yang hidup di sekitar kawasan Taman Hutan Raya

(TAHURA) KGPAA Mangkunagoro I, Ngargoyoso, Jawa Tengah. Bentuk

interaksi masyarakat dengan TAHURA antara lain berupa pemanfaatan tumbuhan

yang sudah terjalin kuat sebelum penetapan kawasan tersebut menjadi TAHURA.

Selain dari hutan, sumberdaya lokal yang digunakan masyarakat untuk memenuhi

kebutuhannya juga bearasal dari lingkungannya sebagai contoh dari pekarangan

maupun ladang milik mereka.

Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai pemanfaatan tumbuhan oleh

(19)

masukkan kegiatan pengelolaan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I sehingga

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kemandirian dalam

pemanfaatan tumbuhan secara bijaksana. Kesejahteraan masyarakat tersebut

diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap kelestarian kawasan

TAHURA. Oleh karena itu, kajian mengenai pemanfaatan tumbuhan oleh

masyarakat di kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I perlu dilakukan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi bentuk interaksi masyarakat terhadap TAHURA KGPAA

Mangkunagoro I

2. Mengidentifikasi pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan oleh masyarakat

sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I

3. Mengidentifikasi kearifan lokal masyarakat yang berhubungan dengan

konservasi tumbuhan di kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I.

1.3Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

dalam penyusunan kebijakan pengembangan dan pengelolaan kawasan TAHURA

KGPAA Mangkunagoro I dan mengembangkan konservasi tumbuhan pada

masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo, Desa Berjo sehingga

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Masyarakat dengan Tumbuhan

Interaksi adalah suatu bentuk hubungan timbal balik. Bentuk interaksi dapat

berupa interaksi positif maupun negatif. Pemanfaatan sumberdaya hutan oleh

masyarakat merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan untuk

menjamin kelestarian diperlukan upaya untuk pengelolaan, sehingga akan muncul

interaksi antara masyarakat dengan hutan (Ardhita et al. 2012). Bentuk interaksi masyarakat dengan lingkungan dapat pula dalam skala yanag lebih kecil misalnya

dalam pemanfaatan tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Bentuk interaksi

masyarakat dan tumbuhan dapat di kaji dan diperdalam dengan dasar etnobotani.

Jika dilihat dari asal katanya etnobotani berasal dari bahasa Yunani,ethos

yang berarti bangsa dan botany yang berarti tumbuhan, sehingga etnobotani dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hubungan langsung antara

manusia dengan tumbuhan dalam pemanfaatan secara tradisional. Sedangkan

menurut Walujo dan Rifai (1992) etnobotani adalah ilmu yang mendalami

hubungan budaya suatu masyarakat dengan komunitas alam hayati disekitarnya

(khususnya tumbuhan).

Etnobotani merupakan ilmu yang kompleks karena tidak hanya melibatkan

satu disiplin ilmu saja. Banyak disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk menunjang

pelaksanaan dan pendekatan etnobotani, misalnya taksonomi, ekologi, kehutanan,

sejarah, antropologi dan ilmu lainnya (Riswan & Soekarman 1992).

Pengertian mengenai etnobotani semakin berkembang seiring

perkembangan jaman. Menurut Martin (1998), etnobotani adalah segala bentuk

pengetahuan (mengenai tumbuhan) yang menggambarkan hubungan antara

masyarakat lokal (etnis) dengan sumberdaya alam.

Akhir-akhir ini etnobotani mulai banyak digali oleh para ahli. Hal ini

banyak dilakukan karena mulai punahnya beberapa spesies tumbuhan berguna

yang belum sempat diteliti. Dengan menggunakan etnobotani diharapkan dapat

menggali potensi tumbuhan berguna dan pola pemanfaatannya. Dengan

(21)

diharapkan dapat mengimbangi perkembangan teknologi yang pesat (Riswan &

Soekarman 1992).

Bentuk pemanfaatan tumbuhan (etnobotani) di setiap daerah di Indonesia

sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan, potensi tumbuhan dan

kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Misalnya, pada masyarakat

Bali bentuk pemanfaatan etnobotani lebih berhubungan dengan acara ritual dan

keagamaan. Menurt Purwita (1990), tumbuhan yang digunakan dalam upacara

ngaben tertera dalam pustaka lontar ajaran agama Hindu seperti Empulutuk,

Ngaben, Basundari, Purwayatmatatwa. Tumbuhan tersebut merupakan simbol,

sesaji, hidangan dan bekal selama jiwa manusia kembali keasal-usulnya. Hampir

semua bagian tumbuhan dapat dimanfaatkan, dapat berupa umbi, batang, daun,

bunga, buah, biji dan bagian lainnya. Sebagian besar tumbuhan yang digunakan

dalam upacara ngaben adalah tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri yang

dapat menghasilkan tumbuhan aromatik, misalnya cendana (Santalum album), kenanga (Cananga odorata) dan beberapa jenis lainnya.

Pemanfaatan tumbuhan dalam bentuk lain adalah pemanfaatan tumbuhan

pada pada tradisi “nyekar” di daerah Yogyakarta. Tumbuhan yang dimanfaatkan

dalam tradisi nyekar adalah jenis-jenis tumbuhan yang memiliki bau wangi.

Misalnya mawar, kenanga, kantil, melati dan telasih. Jenis-jenis tumbuhan

tersebut biasanya memiliki manfaat yang beragam, tidak hanya untuk satu

pemanfaatan (Anggana 2011).

Beragamnya bentuk pemanfaatan tumbuhan dari berbagai daerah dapat

dijadikan kekayaan kebudayaan Indonesia. Selain perbedaan dalam pola

pemanfaatan tumbuhan, juga memungkinkan masyarakat dapat memanfaatkan

tumbuhan yang sama dalam manfaat yang berbeda maupun tumbuhan berbeda

dengan manfaat yang sama.

2.2 Pemanfaatan Tumbuhan

Sebagian masyarakat Indonesia tinggal disekitar hutan untuk dapat

memanfaatkan hutan sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidup. Banyak jenis

tumbuhan liar yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik untuk

(22)

Soekarman dan Riswan (1992) baru sekitar 3-4% tumbuhan bermanfaat yang ada

di Indonesia sudah dibudidayakan, selain itu masih diambil dari alam khususnya

hutan. Masyarakat sekitar kawasan hutan juga hanya memenfaatkan sekitar 17%

spesies yang ada di hutan.

Tumbuhan dapat dimanfaatkan dalam banyak hal, menurut Siswoyo et al.

(2004), klasifikasi kelompok kegunaan tumbuhan di masyarakat meliputi

tumbuhan obat, tumbuhan aromatik, tumbuhan pangan, tumbuhan penghasil

warna, tumbuhan penghasil pestisida nabati, tumbuhan hias, tumbuhan penghasil

pakan ternak, tumbuhan untuk keperluan ritual dan keagamaan, tumbuhan

penghasil tali, anyaman, kerajinan, tumbuhan penghasil kayu bakar, tumbuhan

penghasil minuman, dan tumbuhan penghasil bahan bangunan. Selain beragam

pemanfaatnnya setiap tumbuhan juga memiliki bagian-bagian yang berbeda dalam

pemanfaatannya. Misalnya saja bagian yang dimanfaatkan adalah buah, daun,

umbi, akar, kulit, bunga, biji, getah, batang, dsb.

2.2.1 Tumbuhan obat

Bagi masyarakat Indonesia yang khususnya bertempat tinggal di daerah

pedesaan di sekitar hutan, pemanfaatan tumbuhan untuk kepentingan

kesehatannya merupakan salah satu bentuk kearifan yang sudah turun-menurun

sehingga bukan merupakan sesuatu yang baru. Namun dewasa ini masyarakat

yang tinggal di kota juga mulai kembali menggunakan tumbuhan sebagai

tumbuhan obat.

Tumbuhan obat tersebut dikelompokan kedalam tiga kelompok (Zuhud et al

1994) yaitu :

1. Tumbuhan obat tradisional: spesies tumbuhan yang diketahui atau

dipercaya memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan obat

tradisional.

2. Tumbuhan obat moderen: spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah

dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat

dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

3. Tumbuhan obat potensial: spesies tumbuhan yang diduga mengandung

(23)

2.2.2 Tumbuhan pangan

Indonesia memiliki kekayaan tumbuhan pangan yang tersebar luas, namun

ada pula beberapa jenis tumbuhan yang menjadi khas suatu daerah, karena

keberadaannya jarang dijumpai di daerah lain. Hal ini dikarenakan perbedaan

iklim dan kondisi alam di beberapa daerah di Indonesia. Perbedeaan spesies

tumbuhan pangan yang ada di setiap daerah juga menjadikan beragamnya pola

makan dan masakan khas setiap daerah. Selain digunakan sebagai tumbuhan

penghasil pangan, biasanya tumbuhan tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk

penggunaan lain. Riswan dan Soekarman (1992) menyebutkan bahwa tumbuhan

penghasil pangan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Komoditas utama: padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi

jalar dan ubi kayu.

2. Komoditas potensial: sorgum, gude, kacang tunggak, wijen, talas, ubi

kelapa dan sagu.

3. Komoditas introduksi: terigu, jewawut, kara, ganyong.

Dewasa ini mulai banyak dikembangkan tumbuhan penghasil pangan

dengan kandungan karbohidrat tinggi sehingga dapat menggantikan beras sebagai

bahan makanan pokok utama. Karena keragaman potensi tumbuhan penghasil

pangan di Indonesia juga dapat menambah kekayaan budaya Indonesia. Contoh

tumbuhan yang mulai dikembangkan sebagai tumbuhan penghasil pangan adalah

sukun (Artocarpus artilis). Kandungan karbohidrat pada sukun dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan penghasil pangan selain beras.

2.2.3 Tumbuhan penghasil warna

Tumbuhan penghasil warna atau tumbuhan pewarna adalah tumbuhan

yang dapat memberikan pengaruh warna terhadap benda baik berupa pewarna

makanan, minuman, atau benda lainnya baik yang sudah diolah maupun belum

diolah. Pewarna yang berasal dari tumbuhan dapat pula disebut sebagai pewarna

nabati.

Sebagian besar pewarna dapat dihasilkan dari tumbuhan. Misalnya warna

dasar yaitu kuning, merah, biru, hitam dan cokelat maupun warna hijau yang

diperoleh dari perpaduan warna biru dan kuning. Contoh dari pewarna nabati

(24)

orellana, Gordonia excela. Masyarakat pada umumnya membuat warna hijau alami secara tradisional dengan menggunakan daun suji (Pleomele angustifolia) atau daun pandan (Pandanus tectorius) (Rostiana et al. 1992). Lebih lanjut Heyne (1987) mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia telah banyak menggunakan

tumbuhan sebagai bahan pewarna nabati dan sudah lama pula mereka mengenal

bahan pewarna alami dari tumbuhan untuk makanan. Misalnya saja warna hijau

dari daun suji (Pleomele angustifolia), warna merah pada agar-agar menggunakan daun Iresine herbstii, rimpang kunyit (Curcuma domestica) untuk pewarna kuning, dan kulit kayu soga (Peltophorum pterocarpum) sebagai bahan pewarna cokelat pada batik.

2.2.4 Tumbuhan penghasil pestisida nabati

Menurut Kardinan (1999) pestisida adalah suatu zat yang bersifat racun,

menghambat pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembanganbiakan,

kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai

pemikat, penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT (Organisme

Perusak Tanaman). Pestisida nabati secra umum dapat diartikan sebagai suatu

pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan.

Pestisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuab dan pengetahuan

yang terbatas, oleh karena itu pestisida nabati akan mudah terurai di alam

sehingga tidak akan mencemari lingkungan. Selanjutnya menurut Kardinan (1999)

pestisida nabati bersifat “pukul dan lari” yaitu apabila digunakan akan membunuh

hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat

menghilang di alam. Penggunaan pestisida nabati nabati diharapkan dapat

mengurangi intensitas penggunaan pestisida sintetis yang beresiko tinggi terhadap

kerusakan lingkungan.

Menurut Rachmat dan Wahyono (2007) efektivitas pengaruh pestisida

nabati tergantung dari bahan yang dipakai, karena satu jenis tumbuhan yang sama

dapat memiliki resistensi yang berbeda terhadap pestisida nabati, hal ini

dikarenakan perbedaan sifat bioaktif atau sifat racunnya yang tergantung dari

kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tanaman tersebut.

Secara sederhana pembuatan pestisida nabati dilakukan melalui beberapa

(25)

kehilangan aktivitas hayatinya. Kehilangan aktivitas hayati dapat terjadi pada

tahap pengkoleksian, penyimpanan dan persiapan bahan atau material tumbuhan

(Rachmat & Wahyono 2007).

Menurut Rachmat dan Wahyono (2007) beberapa jenis yang dapat

digunakan untuk bahan pestisida nabati antara lain pacar cina (Aglaia adorata), bengkuang (Pachyrrhyzus erosus), selasih (Ocimum basilicum), mimba (Azadirachta indica), cengkeh (Syzygium aromaticum) dan beberapa jenis lainnya.

2.2.5 Tumbuhan hias

Tumbuhan hias adalah tumbuhan yang memiliki nilai estetika. Keindahan

visual dan tekstur tanaman dapat mempengaruhi keindahan tanaman (Hasim

2009). Berdasarkan pada daya tariknya tumbuhan hias dapat dibagi menjadi

tumbuhan hias daun dan bunga. Selain itu warna dari tanaman dapat memiliki

makna masing-masing. Misalnya saja warna gelap memberikan kesan teduh

sedangkan warna cerah memberikan kesan riang dan ceria. Komposisi warna yang

senada memberikan kesan ketenangan, sedangkan susunan warna kontras

memberikan kesan ceria (Hasim 2009).

Dalam kehidupan sehari-hari perbanyakan ataupun budidaya tanaman hias

dapat dilakukan di dalam maupun diluar rumah. Di beberapa daerah tumbuhan

hias dapat menjadi komoditas utama penghasilan masyarakatnya.

2.2.6 Tumbuhan penghasil pakan ternak

Tumbuhan hijau merupakan pakan utama bagi satwa herbivora. Sebagian

besar tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan satwa adalah jenis tumbuhan

bawah dan perdu. Jenis tumbuhan bawah atau semak yang banyak digunakan

sebagai pakan antara lain jenis rumput gajah dan alang-alang (Ardiansyah 2008).

Jenis – jenis tersebut biasanya dapat tumbuh secara alami dengan mudah.

2.2.7 Tumbuhan keperluan ritual adat dan keagamaan

Kartiwa dan Martowikidro (1992) menyebutkan bahwa diantara

pengetahuan tentang tumbuhan yang dimiliki oleh masyarakat, ada yang bersifat

spiritual, magis, dan ritual. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya spesies tumbuhan

(26)

masyarakat dalam keperluan adat disebabkan oleh perbedaan pengetahuan

masing-masing masyarakat di berbagai etnis di Indonesia.

Asnawi (1992), upacara adat adalah upacara yang dilakukan secara

turun-temurun, yang tidak diketahui siapa yang melaksanakan pertama kalinya.

Meskipun bentuknya bermacam-macam tetap berkaitan dengan kepercayaan dan

religi. Menurut Kartiwa dan Martowikidro (1992) di masyarakat ada kepercayaan

bahwa tumbuhan yang dianggap mengandung khasiat magis dapat pula mengobati

penyakit yang disebabkan gangguan magis pula. Hal ini menyebabkan tumbuhan

atau bagian tumbuhan yang dianggap dapat mengusir roh jahat menduduki

peringkat penting dalam ritual.

Tata cara adat yang masih ada di daerah pedesaan khususnya di daerah Jawa

antara lain ruwahan, muludan, nyadran, suran, grebeg sukuh, bakdan, selikuran

dan peringatan pada orang meninggal. Upacara tradisional daur hidup yang masih

dilaksanakan adalah tingkepan, brokohan, supitan atau tetesan, temanten,

kematian dan upacara lainnya hanya terdapat di masyarakat sporadik saja

(Purnomo 1992).

2.2.8 Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan

Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan merupakan tumbuhan

yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan tali, anyaman dan kerajinan.

Indonesia memiliki banyak potensi tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan

kerajinan yang dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan barang-barang

yang dapat menjadi komoditas ekspor Indonesia. Menurut Anggana (2011) jenis

tumbuhan yang banyak digunakan sebagai bahan kerajinan adalah tumbuhan yang

menghasilkan serat dengan kualitas yang baik.

2.2.9 Tumbuhan penghasil kayu bakar

Spesies tumbuhan yang baik digunakan untuk kayu bakar adalah spesies

yang mudah dimakan api (mudah terbakar), mudah kering, dan mudah diperoleh

(Uluk et al. 2001). Kayu bakar yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar

hutan biasanya adalah “rencek” yang berasal dari potongan kayu, ranting yang

(27)

2.2.10 Tumbuhan penghasil bahan bangunan

Tumbuhan penghasil bahan bangunan oleh masyarakat tradisional biasanya

digunakan untuk membangun rumah sebagai sarana berkumpul bahkan sebagai

sarana beribadah. Menurut Uluk et al. (2001) menyebutkan bahwa kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan dipilih berdasar pada segi kekuatan, tahan

lama, serat halus dan sebagainya. Spesies yang umum digunakan sebagai bahan

bangunan adalah jati (Tectona grandis), sengon (Paraseriantes falcataria), ulin (Eusideroxylon zwageri) dan beberapa spesies lainnya.

2.3 Taman Hutan Raya (TAHURA)

Menurut Undang – undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan ekosistemnya, Taman Hutan Raya

(TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan

atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang

dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

Kriteria penunjukan suatu kawasan TAHURA berdasar pada PP No 68

Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam adalah

sebagai berikut:

1. Memiliki ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang

ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah;

2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;

3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi

tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.

Keputusan Menteri Kehutanan No.107/Kpts-II/2003 Tentang

Penyelenggaraan Tugas dan Pembantuan Pengelolaan Taman Hutan Raya Oleh

Gubernur atau Bupati/Walikota menyebutkan bahwa tugas pembantuan

pengelolaan TAHURA diberikan kepada:

1. Gubernur sepanjang wilayah Taman Hutan Raya yang bersangkutan berada

pada lintas Kabupaten/Kota;

2. Bupati sepanjang wilayah Taman Hutan Raya yang bersangkutan berada di

(28)

Tugas pembantuan yang dimaksud adalah:

1. Tugas pembantuan pengelolaan Taman Hutan Raya meliputi: pembangunan,

pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan Taman Hutan Raya.

2. Tugas pembantuan pengelolaan Taman Hutan Raya sebagaimana dimaksud

yang berkaitan dengan teknis, dikoordinasikan dengan Kepala Balai

Konservasi Sumberdaya Alam setempat.

TAHURA setidaknya memuat tujuan pengelolaan dan garis kegiatan yang

menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Upaya

pengawetan kawasa TAHURA dilaksanakan dalam bentuk perlindungan dan

pengamanan, inventarisasi potensi kawasan serta penelitian dan pengembangan

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2011 di

TAHURA KGPAA Mangkunagoro I, Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo

Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Denah lokasi

penelitian dapat dilihat pada gambar 1.

: Lokasi penelitian

Gambar 1 Denah lokasi penelitian.

3.2 Alat dan Objek Penelitian

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Pengambilan data: alat tulis, tape recorder, kamera, kuisioner

b. Pembuatan herbarium: alkohol 70%, kantong plastik bening, koran

bekas, kertas karton, kertas label, pensil, gunting, benang.

(30)

- Buku identifikasi tumbuhan

3.2.2 Objek penelitian

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah: spesies tumbuhan

yang digunakan oleh masyarakat, lingkungan disekitar masyarakat,

kawasan hutan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I.

3.3 Jenis Data dan Metode Pengambilan Data

Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat

dilihat di Tabel 1.

Tabel 1 Tahap kegiatan dan metode pengumpulan data

No Tahapan

Kelurahan Desa Berjo, LIPI, Dinas Pariwisata dan

Data kajian lapangan dan sejumlah literatur

Analisis diskriptif (kualitatif).

3.4 Teknik pengambilan data

3.4.1 Penentuan responden

Menurut Singarimbun dan Effendi (1989) pelitian survei adalah penelitian

(31)

alat pengumpulan data yang pokok. Meneliti sebagian dari populasi, diharapkan

bahwa hasil yang diperoleh akan dapat menggambarkan sifat populasi yang

bersangkutan. Pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik

sensus berdasarkan pada kepala keluarga, yaitu dengan menentukan responden

yang mewakili seluruh kepala keluarga dalam Dukuh Sukuh dan Dukuh

Gondangrejo, Desa Berjo, Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Walaupun

dengan menggunakan sensus penentuan responden awal juga berdasrkan pada

tokoh kunci dalam kampung tersebut. Pertimbangan dasar yang digunakan dasar

dalam penentuan responden pertama dalam penelitian ini adalah orang yang

dituakan di dukuh tersebut dan dianggap mengetahui mengenai kawasan

TAHURA dan pemanfaatan tumbuhan, responden awal yang dijadikan kunci

adalah tukang pijit bayi. Responden pertama akan digali pengetahuan mengenai

pemanfaatan tumbuhan di desa tersebut, kemudian untuk menentukan responden

kedua berdasarkan rekomendasi dari responden pertama, untuk menentukan

responden ketiga dan seterusnya menggunakan cara yang sama. Jumlah responden

yang diwawancarai adalah sebanyak 34 responden yang mewakili masing-masing

KK.

3.4.2 Wawancara dan pengamatan langsung

Wawancara yang dilakukan menggunakan teknik wawancara semi

terstruktur, yaitu menggunakan cara pengisian kuisioner dengan pendalaman

pertanyaan sesuai dengan kebutuhan data terhadap sejumlah responden.

Data dari setiap spesies tumbuhan yang dimanfaatkan adalah nama lokal,

kegunaan, habitus, bagian yang digunakan, serta cara menggunakannya. Selain

dari wawancara, juga dilakukan pengamatan langsung untuk mengetahui kearifan

lokal masyarakat sekitar kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I dalam

upaya konservasi tumbuhan serta jenis pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat.

Pengambilan data juga dilakukan melalui survey pasar tradisional di daerah

setempat (pasar Kemuning dan pasar Karangpandan).

3.4.3 Pembuatan herbarium

Herbarium adalah bentuk kumpulan spesimen yang telah diawetkan. Tujuan

(32)

tumbuhan yang belum teridentifikasi di lapangan. Herbarium biasanya berupa

awetan dari bagian tumbuhan misalnya daun, bunga, ranting, kuncup, buah, dan

lain sebagainya. Pembuatan herbarium dilakukan dengan cara herbarium basah.

Menurut Anggana (2011) tahapan pembuatan herbarium adalah:

1. Mengambil contoh herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan

daunnya, jika ada bunga dan buahnya juga sebaiknya diambil.

2. Pengambilan contoh herbarium bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan

wawancara dengan masyarakat.

3. Contoh herbarium diberi dipotong dengan menggunakan gunting sepanjang 40

cm.

4. Kemudian contoh herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan

memberikan etiket yang berukuran 3 cm x 5 cm. etiket berisi keterangan

tentang nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama kolektor.

5. Selanjutnya beberapa herbarium disusun diatas sasak yang terbuat dari bamboo

dan disemprot alcohol 70%.

6. Selanjutnya herbarium dioven dengan suhu 50-70oC selama 48 jam.

7. Herbarium kering lengkap dengan keterangan yang diperlukan diidentifikasi

untuk mendaatkan nama ilmiah.

3.5 Metode Analisis Data

3.5.1 Tipologi masyarakat

Hasil survei lapang yang didukung dengan data-data dari Pengelola

TAHURA KGPAA Mangkunagoro I dan Kelurahan Desa Berjo, khususnya

Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo masyarakat yang ada di Dukuh Sukuh dan

Dukuh Gondangrejo tersebut dikelompokan menjadi beberapa tipologi masyarakat

yang didasarkan pada tingkat interaksinya dengan pemanfaatan tumbuhan yang

ada di kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I. Tipologi masyarakat

tersebut antara lain adalah pencari rumput, petugas TAHURA, pencari kulit kina,

(33)

3.5.2 Klasifikasi penggunaan

Hasil dari wawancara dengan sejumlah responden dikelompokan

berdasarkan kegunaannya. Kalasifikasi dari penggunanaan tumbuhan dapat dilihat

di Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat

No Kegunaan 1 Tumbuhan obat 2 Tumbuhan pangan

3 Tumbuhan penghasil pestisida nabati 4 Tumbuhan hias

5 Tumbuhan penghasil pakan ternak

6 Tumbuhan untuk keperluan ritual adat dan keagamaan 7 Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan 8 Tumbuhan penghasil kayu bakar

9 Tumbuhan penghasil bahan bangunan.

Sumber : Siswoyo et al (2004) dan disesuaikan dengan kondisi lapangan

3.5.3 Persen famili

Persen famili adalah presentase dari famili tumbuhan yang dimanfaatkan

masyarakat. Persen famili ini digunakan untuk mengetahui tingkat kebutuhan

masyarakat terhadap tumbuhan tertentu untuk menjaga kelestariannya.

Persen famili tersebut dapat diperoleh dari :

persen famili tertentu ∑ spesies dari famili tertentu∑ total spesies %

3.5.4 Persen habitus

Presentase habitus merupakan telaah tentang besarnya suatu habitus yang

digunakan tehadap seluruh habitus yang ada. Habitus tersebut meliputi pohon,

semak, perdu, liana dan herba. Adapun rumus yan digunakan adalah :

persen habitus tertentu ∑ Spesies dengan habitus tertentu∑ total spesies %

Herba adalah tumbuhan berbatang lunak dengan percabangan rendah atau

menempel pada tanah. Semak adalah tumbuhan berbatang kecil sedikit mengayu

dengan percabangan rendah pola hidupnya seperti rumput. Liana adalah tumbuhan

(34)

tanaman berbatang lebih besar dan lebih keras daripada herba, percabangannya

juga lebih tinggi daripada semak. Pohon adalah sebutan untuk tanaman yang

berbatang besar dan berkayu (Hasim 2009).

3.5.5 Persen bagian yang digunakan

Perhitungan persen bagian yang digunakan untuk mengetahui presentase

setiap bagian tumbuhan yang digunakan masyarakat dalam pemanfaatan

tumbuhan. Bagian tumbuhan yang digunakan meliputi daun, akar, buah, bunga,

batang, kulit kayu, rimpang dan umbi. Perhitungan dilakukan secara umum

terhadap semua spesies tumbuhan yang diperoleh dari wawancara, kemudian di

analisis berdasarkan pada kelompok penggunaannya. Persen bagian yang

digunakan diperoleh melalui perhitungan berikut ini :

persen bagian yang digunakan ∑ bagian tertentu yang digunakan∑ seluruh bagian yang digunakan X %

3.5.6 Persen tipe habitat

Perhitungan persen tipe habitat digunakan untuk mengetahui presentase

setiap tipe habitat tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa tipe

habitat yang ada di sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I adalah kebun,

pekarangan dan hutan. Perhitungan dilakukan secara umum terhadap semua

spesies tumbuhan yang diperoleh dari wawancara, kemudian di analisis

berdasarkan lokasi dimana tumbuhan tersebut diperoleh. Persen tipologi habitat

diperoleh melalui perhitungan dengan rumus berikut ini :

persen tipe habitat ∑ spesies yang ditemukan di habitat tertentu∑ seluruh spesies dari seluruhtipe habitat X %

3.5.7 Persen budidaya

Perhitungan persen budidaya digunakan untuk mengetahui seberapa besar

presentase tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berasal dari hasil

budidaya dan berasal dari tumbuhan liar. Perhitungan ini berlaku untuk semua

spesies yang ditemukan dari hasil wawancara. Persen budidaya diperoleh melalui

perhitungan dengan rumus berikut ini :

(35)

3.5.8 Analisis hubungan masyarakat dengan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I

Data mengenai keterkaitan masyarakat sekitar dengan kawasan TAHURA

KGPAA Mangkunagoro I dibutuhkan untuk mengetahui interaksi antara

keduanya, sehingga dapat diketahui pula manfaat dari TAHURA untuk

masyarakat serta bagaimana pengaruh antara TAHURA dengan masyarakat

maupun masyarakat dengan TAHURA. Jika TAHURA tersebut bernilai positif

bagi masyarakat dapat digunakan pula sebagai acuan bagi pengelola bagaiman

kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sehingga dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat tersebut dengan tetap menjaga ekosistem hutan TAHURA. Selain itu

juga dapat melihat nilai konservasi yang dilakukan masyarakat dalam

pemanfaatan sumberdaya di TAHURA tersebut. Sehingga kesinambungan antara

pemanfaatan dan pelestarian dapat dikemas dalam satu bentuk upaya konservasi

(36)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Kawasan hutan Sukuh Ngargoyoso ditetapkan sebagai Kawasan Taman

Hutan Raya Ngargoyoso yang sekarang dikenal dengan nama TAHURA KGPAA

Mangkunagoro I, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.

849 / Kpts-II / 1999 pada tanggal 11 Oktober 1999 (Balai Konservasi Sumberdaya

Alam Provinsi Jawa Tengah 2010). Luas kawasan TAHURA KGPAA

Mangkunagoro I ± 231,3 ha. Kawasan ini terletak di Resort Pemangkuan Hutan

Lawu Utara, Kesatuan Pemangkuan Hutan Surakarta, Kabupaten Karanganyar,

Propinsi Jawa Tengah, tepatnya di Desa Berjo dan Desa Girimulyo, Kecamatan

Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Batas Desa Berjo adalah:

¾ Sebelah timur : Gunung Lawu

¾ Sebelah utara : Desa Girimulyo

¾ Sebelah barat : Desa Puntukrejo dan Kecamatan Karangpandan

¾ Sebelah selatan : Kecamatan Tawangmangu

4.2 Sejarah Kawasan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:

849/Kpts-II/1999 tanggal 11-10-1999 kawasan Hutan Lindung seluas 231,3 yang

terletak di RPH Tambak, BKPH Lawu utara, KPH Surakata. Secara wilayah

administrasi berada di Desa Brejo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten

Karanganyar ditetapkan menjadi TAHURA KGPAA Mangkunagoro I. TAHURA

KGPAA Mangkunagoro I berada di kaki Gunung Lawu dengan ketinggian ±

1.200 m dpl dan memiliki keanekaragaman flora dan fauna baik yang dilindungi

Undang-undang maupun tidak dilindungi Undang-undang.

TAHURA KGPAA Mangkunagoro I dikelola langsung oleh Dinas

Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dengan nama BPTP (Balai Penelitian

Tumbuhan dan Pengelolaan) TAHURA KGPAA Mangkunagoro I. Tujuan

(37)

a. Terjaminnya kelestarian kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I.

b. Terbinanya koleksi tumbuhan dan satwa serta potensi kawasan TAHURA

c. Optimalnya manfaat TAHURA KGPAA Mangkunagoro I untuk wisata alam,

penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan penunjan budidaya, budaya bagi

kesejahteraan masyarakat

d. Terbentuknya taman propinsi yang menjadi kebanggan Provinsi Jawa Tengah

Dalam pemanfaatannya, Taman Hutan Raya Ngargoyoso dibagi menjadi

tiga, yaitu :

a. Hutan Lindung

Sebagai kawasan konservasi alam flora dan fauna yang ada di dalamnya

dengan berbagai ekosoitem yang ada.

b. Hutan Alam

Dengan pemanfaatan langsung Sumber Daya Alama yang ada didalamnya

dengan tidak merusak tatanan hutan yang sudah ada.

c. Sebagai penyangga kehidupan masyarakat di sekitar kawasan TAHURA

KGPAA Mangkunagoro I.

Prinsip pengelolaan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I antara lain :

a. Pendayagunaan potensi TAHURA KGPAA Mangkunagoro I untuk kegiatan

koleksi tumbuhan dan satwa, wisata alam, penelitian, ilmu pengtahuan,

pendidikan dan penyediaan plasma nutfah untuk budidaya diupayakan tidak

mengurangi luas dan tidak mengubah fungsi kawasan TAHURA KGPAA

Mangkunagoro I.

b. Sebagai taman kebanggaan Provinsi Jawa Tengah, maka dalam

pengembangan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I mengutamakan koleksi

jenis tumbuhan dan satwa dari Provinsi Jawa Tengah.

4.3 Kondisi Fisik Kawasan

TAHURA KGPAA Mangkunagoro I terletak di lereng gunung Lawu.

Kondisi fisik kawan ini antara lain :

a. Jenis tanah: kompleks andosol cokelat dan andosol cokelat keabuan

(38)

c. Kondisi hidrologi: didominasi oleh sungai permanen

d. Jumlah penduduk: jarang ( 484 – 1216 jiwa / km2 )

e. Kemiringan lahan: didominasi dengan kelerengan lebih dari 40%.

4.4 Kondisi Biologi Kawasan

Kondisi biologi kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I dapat dilihat

dari keanekaragaman satwa dan tumbuhan yang ada di dalam kawasan. Tumbuhan

yang terdapat di dalam kawasan antara lain: pinus (Pinus sp), puspa (Schima sp), akasia (Accacia ducuren), pampung (Unanthe javanica dc), kina (Cinchona sp), pasang (Quercus spp), kayu Uni, palem (Palmae sp), kopi hutan (Coffea sp), dan kaliandra (Calliandra sp).

Sedangkan satwa yang terdapat di dalam kawasan antara lain elang ular bido

(Spilornis cheela), elang jambul hitam (Ictinaetus malayensis), elang belalang (Microhierax fringgilarius), cengekan, ayam hutan hijau (Gallus varius), punai manten (Treron griseicauda), tekukur (Streptopilia chinensis), wiwik lurik (Cacamantis sonneratii), walet sapi (Collacalia escrienta), kapinis jarum kecil

(Rhaphidura leucopygialis), tepekong jambul (Hemiprocae longipennis), dan satwa lainnya.

4.5 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TAHURA KGPAA

Mangkunagoro I adalah masyarakat lokal yang sering disebut dengan istilah “

uwong kejawen “. Mata pencaharian sebagaian masyarakat adalah peternak dan

petani. Komoditas utama yang dihasilkan masyarakat adalah sayuran hasil

perkebunan dan tanaman hias yang dijual hingga keluar kota Solo.

Jika dilihat dari jumlah penduduk yang mencapai 5874 jiwa, terdiri dari laki

– laki yaitu 2956 jiwa dan perempuan 2918 jiwa. Desa Berjo terdiri dari 1355

Kepala Keluarga. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Berjo adalah setara

Sekolah Menengah Pertama (SMP), namun saat ini sudah mulai banyak warga

yang mengenal Sekolah Menengah Atas (SMA) bahkan perguruan tinggi. Jumlah

perantau dan pendatang relatif kecil, sehingga masih disebut sebagai masyarakat

(39)

Beberapa upacara ritual yang dilaksanakan di Desa Berjo antara lain adalah

ritual “grebeg Sukuh”, ritual ini dilaksanakan di kawasan Candi Sukuh. Kedua

ritual “sedekah bumi”, ritual ini dilaksanakan pada musim panen sebagai ucapan

terima kasih atas hasil panen. Selain itu upacara adat yang dilakukan secara

(40)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Masyarakat

5.1.1 Kondisi Masyarakat

Masyarakat sekitar Taman Hutan Raya (TAHURA) KGPAA

Mangkunagoro I yang bertempat tinggal di Dukuh Sukuh dan Dukuh

Gondangrejo, Desa Berjo masih tergolong masyarakat asli namun kehidupannya

sudah modern. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya bangunan rumah permanen

yang terbuat dari semen, pasir, batu bata meskipun masih banyak ornamen kayu.

Masyarakat juga sudah mengenal makanan cepat saji seperti sosis, nugget dan lain

sebagainya. Masyarakat dalam pengobatannya juga sudah mulai menggunakan

jasa bidan maupun dokter yang ada di sekitar mereka.

Meskipun demikian masyarakat di Dukuh Sukuh tergolong kelompok

masyarakat yang kecil. Berdasarkan pada data kependudukan tahun 2010, Dukuh

Sukuh hanya terdiri dari 10 kepala keluarga dengan 46 orang penduduk,

sedangkan Dukuh Gondangrejo terdiri dari 24 kepala keluarga dengan 117 orang

penduduk. Berdasarkan pada data tersebut jika dilihat berdasarkan kelas umur

masyarakat dapat dikelompokan kedalam sebelas kelompok (Gambar 2).

Masyarakat yang paling banyak adalah usia 21-30 tahun. Sedangkan usia paling

tua mencapai 110 tahun dan terdapat lima orang masyarakat yang usianya lebih

dari 80 tahun.

Seluruh masyarakat yang tinggal di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo

100% beragama Islam. Meskipun semua penduduknya Islam namun tradisi yang

berdasar pada kepercayaan juga masih dilakukan oleh masyarakat, misalnya

member sesaji di makam leluhur, peringatan kematian, dll.

Sumber informasi sebagian besar masyarakat adalah dari televisi dan radio,

namun sebagian ada yang menggunakan surat kabar dan internet. Dengan

demikian modernisasi sudah banyak masuk ke lingkungan masyarakat Dukuh

Sukuh dan Dukuh Gondangrejo. Menurut masyarakat pengaruh teknologi yang

mulai banyak mempengaruhi pola kehidupan masyarakiat adalah mulai

(41)

banyaknya obat kimia yang mulai masuk dan mulai menggeser obat-obatan

organik. Hal tersebut mulai mempengaruhi pola kehidupan masyarakat dan

berdampak pada lunturnya kearifan lokal masyarakat setempat.

Gambar 2 Klasifikasi rmasyarakat berdasarkan kelas umur.

Masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I lebih banyak

perempuan daripada laki-laki (Gambar 3), begitupula untuk masyarakat yang

masih tinggal di Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo adalah perempuan. Hal

ini dikarenakan mulai banyaknya laki-laki yang merantau keluar daerah untuk

bekerja.

Gambar 3 Klasifikasi masyarakat berdasarkan jenis kelamin.

Berdasarkan tingkat pendidikan (Gambar 4) rata-rata dari responden adalah

lulusan Sekolah Dasar (SD). Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lebih

dikarenakan sulitnya akses untuk menuju sekolah (SMP dan SMA), selain itu

kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan juga menjadi alasan

rendahnya tingkat pendidikan. Masyarakat lebih mengutamakan bekerja

(42)

(berladang) daripada bersekolah, karena menurut mereka dengan bekerja mereka

bisa mendapatkan uang, sedangkan sekolah jika tidak sampai perguruan tinggi

juga akan menjadi buruh saja. Kondisi ini juga diterapkan kepada anak-anak

mereka, sehingga belum banyak anggota keluarga yang mengenyam pendidikan

hingga tamat SMA. Sutarno selaku ketua RT setempat menyatakan “rendahnya

tingkat pendidikan di daerahnya karena factor biaya yang tidak dapat dipenuhi

oleh masyarakat dan mereka berpendapat bahwa usi sekolah adalah usia produktif

untuk bekerja”.

Gambar 4 Klasifikasi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan.

Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo mayoritas adalah petani,

53% masyarakat bermata pencaharian utama sebagai petani (Gambar 5).

Meskipun ada beberapa yang bekerja di luar bidang pertanian namun masyarakat

masih menerapkan pertanian misalnya dalam memanfaatkan pekarangan.

Kehidupan bertani adalah pola hidup masyarakat sejak dulu. Meskipun lahan yang

mereka miliki tidak luas atau bahkan tidak memiliki sawah dan ladang namun

masyarakat memanfaatkan lahan sisa di sekitar mereka untuk bercocok tanam.

Hasil dari pertanian tersebut selain untuk dimanfaatkan untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya juga dimanfaatkan sebagai komoditas pertanian yang

dijual ke pasar lokal hingga keluar daerah, karena daerah ini menjadi salah satu

produsen sayuran. Selain sebagai produsen kebutuhan sayuran di pasar lokal

(Pasar Kemuning), daerah ini juga dapat menjual produk sayurannya hinga ke

daerah Pacitan, Jawa Timur.

SD 76% SMP

19%

(43)

Gambar 5 Karakteristik masyarakat berdasar pada pekerjaan.

5.1.2 Pola kehidupan masyarakat

Kehidupan masyarakat sekitar TAHURA dapat dikategorikan pada pola

kehidupan yang teratur. Pagi setelah Sholat Subuh sekitar pukul 05.00-07.00 WIB

mereka sudah berangkat ke hutan untuk mencari rumput sebagai pakan ternak

(biasanya dua sampai tiga kali balik ke tempat araman). Setelah itu mereka

melanjutkan aktifitasnya untuk berladang sambil mencari kayu bakar. kegiatan itu

biasanya dilakukan hingga pukul 14.00 kemudian mereka istirahat sejenak dan

setelah sholat ashar mereka kembali ke hutan atau ke kebun untuk melanjutkan

pekerjaannya hingga menjelang magrib. Setelah itu masyarakat sholat magrib

berjama’ah di masjid yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Setelah magrib

mereka menunggu waktu isya sambil bersosialisasi dengan warga lainnya. Setelah

isya biasanya mereka kembali kerumah dan beristirahat mengumpulkan tenaga

untuk aktifitas esok hari.

Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo adalah masyarakat yang

ramah. Hal ini ditunjukan dengan sikap mereka yang menyambut baik wisatawan

yang datang setiap harinya. Wisatawan yang datang lebih dominan wisatawan

asing, meskipun mereka terkendala bahasa namun mereka berusaha untuk

memberi sambutan sebaik mungkin. Keramahan lain yang mereka tunjukan

adalah sapaan hangat mereka terhadap orang-orang baru yang belum mereka

kenal. Tenggang rasa antar mereka juga sangat kuat, tenggang rasa itu lebih

ditunjukan ketika ada salah satu warga yang punya hajatan mereka akan

bergotong royong untuk membantunya, pada kondisi “kesripahan” ada yang

meninggal juga akan sangat tampak kondisi tenggang rasa dan gotong royong

penjaga purbakala

1%

swasta 36%

pelajar 10% petani

(44)

mereka. Hal lain yang dapat dilihat adalah ketika ada salah satu yang membangun

rumah maka mereka akan “sambatan” membantu tanpa dibayar.

Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo juga memiliki pola

kehidupan sehari-hari yang teratur. Masyarakat memiliki pola makan yang teratur,

menurut mereka makan teratur akan membuat mereka terhindar dari masalah

pencernakan. Masyarakat rata-rata makan tiga kali dalam sehari, namun

masyarakat tidak selalu makan nasi. Mereka sering menggantikan nasi dengan

beberapa jenis makanan pengganti seperti singkong, garut, ubi, sukun dan

beberapa jenis lainnya. Selain itu dalam makan masyarakat selalu menggunakan

sayuran, meskipun tidak banyak jenis sayuran yang mereka konsumsi karena

biasanya mereka hanya mengambil dari pekarangan mereka. Meskipun sederhana

masyarakat berusaha untuk memenuhi pola makan yang sehat. Sumber protein

masyarakat berasal dari ikan asin, tempe, tahu dan beberapa jenis makanan

lainnya. Sedangkan sumber vitamin biasanya diperoleh dari buah-buahan. Dengan

pola makan yang sehat masyarakat mengharapkan mereka dapat terhindar dari

penyakit.

Masyarakat juga menerapkan hidup sehat dengan mengkonsumsi obat

herbal. Misalnya dengan mengkonsumsi jahe untuk menghangatkan tubuh

mengingat suhu di daerah ini rendah. Masyarakat juga membuat minuman sendiri,

misalnya untuk teh atau kopi mereka lebih sering membuatnya sendiri secara

manual, bukan mengkonsumsi minuman instan. Namun beberapa pola kehidupan

masyarakat sudah mulai ditinggalkan.

5.1.3 Interaksi mayarakat dengan kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagro I

Masyarakat sekitar TAHURA KGPAA Mangkunagoro I masih memenuhi

sebagian kebutuhan hidupnya dari hutan di dalam kawasan TAHURA. Dengan

demikian maka terbentuklah interaksi antara masyarakat dengan kawasan

TAHURA. Namun, saat ini bentuk interaksi tersebut sudah banyak yang

ditinggalkan. Dahulu hampir semua kebutuhan hidup masyarakat dipenuhi dari

dalam kawasan. Misalnya untuk bahan bangunan masyarakat mengambil

(45)

pakan ternak dan lain sebagainya mereka masih memanfaatkan sumberdaya yang

ada di dalam hutan.

Sumberdaya yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tumbuhan.

Misalnya dahulu masyarakat mengambil kayu untuk bahan bangunan dari hutan,

selain bahan bangunan juga ada bahan untuk kerajinan dan beberapa manfaat

lainnya. Namun sekarang bentuk interaksi itu sudah mulai hilang. Masyarakat

mulai mengurangi interaksi mereka terhadap kawasan bukan semata-mata karena

perubahan status kawasan dari milik Perhutani hingga menjadi kawasan

konservasi berupa TAHURA. Kekhawatiran masyarakat terhadap dampak yang

akan timbul seperti bencana alam adalah alasan utama masyarakat mulai

mengurangi interaksi dengan hutan dan mulai mengadakan upaya budidaya.

Masyarakat masih sangat tergantung pada kawasan hutan untuk memenuhi

kebutuhan air, sehingga masyarakat akan menjaga sumber air tersebut untuk

menjamin kebutuhan mereka.

Masyarakat tidak benar-benar melepaskan kebutuhannya dari hutan, mereka

masih melakukan interaksi dengan hutan untuk beberapa kebutuhan. Pemanfaatan

plasma nutfah dari dalam hutan juga merupakan bentuk interaksi. Misalnya

masyarakat banyak membudidayakan spesies penting dari hutan untuk memenuhi

kebutuhannya. Contoh budidaya tersebut antara lain sudah banyaknya spesies

penting seperti garut, ganyong dan gadung yang mulai dikembangkan sebagai

tumbuhan pangan. Banyaknya budidaya watel dan suren sebagai bahan kayu

bangunan. Bentuk interaksi yang masih ada hingga saat ini adalah dalam mencari

kayu bakar dan membudidayakan pakan ternak. Selain untuk kebutuhan kayu

bakar dan pakan ternak masyarakat berusaha untuk membudidayakan spesies yang

mereka manfaatkan. Budidaya yang dilakukan oleh masyarakat merupakan salah

satu bentuk upaya konservasi.

5.2Pemanfaatan Tumbuhan

Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat sekitar TAHURA KGPAA

Mangkunagoro I diperoleh dari hasil wawancara pada 34 responden yang

mewakili setiap keluarga. Klasifikasi responden berdasarkan kelar umur dapat

(46)

hal ini dikarenakan masyarakat pada kelas umur tersebut masih banyak

mengetahui pemanfaatan tumbuhan dan masih mudah untuk berkomunikasi.

Responden yang usianya lebih dari 55 tahun lebih banyak mengetahui

mengenai pemanfaatan tumbuhan obat. Hal ini dikarenakan masyarakat tersebut

mengetahui langsung pemanfaatannya dan masih menerapkan pemanfaatan

tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Gambar 6 Klasifikasi responden berdasar kelas umur.

Responden dalam wawancara mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagian

besar adalah laki yaitu sebanyak 53% (Gambar 7). Hal ini dikarenakan

laki-laki lebih banyak mengetahui pemanfaatan tumbuhan terutama yang digunakan

sebagai bahan bangunan, pakan ternak dan kayu bakar. Meskipun demikian ada

pula responden perempuan.

Gambar 7 Klasifikasi responden berdasarkan jenis kelamin.

Masyarakat Dukuh Sukuh dan Dukuh Gondangrejo masih tergantung

terhadap tumbuhan yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka, baik dari hutan

di sekitar mereka (kawasan TAHURA KGPAA Mangkunagoro I), di ladang milik

mereka bahkan di pekarangan yang berada disekeliling rumah mereka. Tumbuhan

yang diambil langsung dari hutan biasanya adalah untuk pakan ternak, kerajinan

dan kayu bakar. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya masyarakat

memanfaatkan tumbuhan yang ada di ladang maupun pekarangan milik pribadi.

3 8

15

8 0

5 10 15 20

< 25 25-40 41-55 >55

Jumlah responden Umur

Laki‐

laki 53% Perempuan

Gambar

Tabel 1 Tahap kegiatan dan metode pengumpulan data
Gambar 3  Klasifikasi masyarakat berdasarkan jenis kelamin.
Gambar 5  Karakteristik masyarakat berdasar pada pekerjaan.
Gambar  9  Keanekaragaman tumbuhan dari 10 famili dengan spesies terbanyak.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi dasar (basic function) seharusnya merupakan fungsi dasar terkcil dalam industri/organisasi untuk menghasilkan produk atau jasa kepada klien external maupun klien

Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian tepung daging limbah ikan lele sepenuhnya dapat menggantikan tepung ikan tanpa mempengaruhi bobot potong, namun

Jalinan ikatan yang menghubungkan golongan rakyat dengan tuan tanah dan seterusnya raja dengan tuan tanah merupakan asas kepada sistem feudal di Eropah.. Kelembapan ilmu

Perencanaan operasi pembangkit PLTA Jelok didasarkan dari 3 hal yaitu musim, jatah air dari Dirjen Sumber Daya Air dan yang terakhir yaitu perencanaan target operasi. PLTA merupakan

Adapun kegiatan salama proses pengawasan pidana bersyarat yang dilakukan oleh Jaksa diluar dari ordonansi pelaksanaan hukuman bersyarat di berbagai wilayah tersebut

Pada perkembangan teknik pemograman berorientasi objek, muncul sebuah standarisasi bahasa pemodelan untuk pembangunan perangkat lunak yang dibangun dengan menggunakan

Berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir yang berat badannya pada saat Berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir yang berat badannya pada saat kelahiran kurang dari 2500

Pada gambar diatas terlihat bahwa port 2 dapat terhubung dengan port 4, sesu- sesu- ai dengan konfigurasi karena port 2 dan port 4 masuk sebagai anggota dalam ai dengan