• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan Balsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan Balsa"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN

ARANG TEMPURUNG KELAPA UNTUK MENINGKATKAN

PERTUMBUHAN SEMAI GMELINA DAN BALSA

TIRSA EKA SAPUTRI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2012

Tirsa Eka Saputri

(4)

ABSTRAK

TIRSA EKA SAPUTRI. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan Balsa. Dibimbing oleh SRI WILARSO BUDI R dan MAMAN TURJAMAN.

Tanah latosol memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia, namun tanah ini sudah sangat tua sehingga tingkat kesuburannya rendah. Salah satu tingkat keberhasilan penanaman di tanah latosol dapat dilakukan dengan cara pemilihan jenis dan kualitas bibit yang tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas bibit yaitu dengan pemberian fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan arang tempurung kelapa. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca dengan menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design) dalam pola rancangan acak lengkap. Kombinasi interaksi terbaik pada semai G. arborea ditunjukkan oleh perlakuan FMA jenis Gigaspora sp. dengan tanpa penambahan arang yaitu dengan nilai indeks mutu bibit sebesar 14,87, sedangkan kombinasi interaksi terbaik pada semai O. bicolor ditunjukkan oleh perlakuan FMA jenis Glomus sp. dengan penambahan arang 20% yaitu dengan nilai indeks mutu bibit sebesar 0,04. Secara umum inokulasi Gigaspora sp. memberikan respon yang lebih baik dibandingkan dengan inokulasi Glomus sp. dan yang tidak diinokulasi (kontrol).

Kata kunci: arang tempurung kelapa, balsa, fungi mikoriza arbuskula, gmelina

ABSTRACT

TIRSA EKA SAPUTRI. Utilization of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Coconut Shell Charcoal to Increase Growth of Gmelina and Balsa Seedlings. Supervised by SRI WILARSO BUDI R AND MAMAN TURJAMAN.

Latosol has spread quite widely in Indonesia, but this soil was very old so that have low soil fertility. The success rate of planting in latosol can be support by species selection and high quality seedling. The one way to improve seedlings quality is the application of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and coconut shell charcoal. The research was conducted in a greenhouse used split plot design

with a completely randomized design. The combination of the best interactions on seedling quality index on G. arborea seedling shown by AMF type was

Gigaspora sp. without the addition of charcoal was 14.87. While the combination of the best interactions on seedling quality index on O. bicolor seedling shown by AMF type was Glomus sp. with the addition of charcoal 20% dose was 0.04. In general, inoculation of Gigaspora sp. provided better response than inoculation of

Glomus sp. and was not inoculated (control).

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

PEMANFAATAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN

ARANG TEMPURUNG KELAPA UNTUK MENINGKATKAN

PERTUMBUHAN SEMAI GMELINA DAN BALSA

(

Santalum album

L.)

TIRSA EKA SAPUTRI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelina dan Balsa

Nama : Tirsa Eka Saputri NIM : E44080036

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS Pembimbing I

Dr Ir Maman Turjaman, DEA Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 ini ialah Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelinadan Balsa.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS dan Dr Ir Maman Turjaman, DEA selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) khususnya bagian Lab. Mikrobiologi Hutan Pak Sugeng, Pak Yani, Pak Babas, Mba Herni, Pak Najmullah, Pak Wahyu yang telah membantu dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Yudistiro Anggeno atas semangat, dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis. Kepada temean-teman satu bimbingan Sabti dan Intan, terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian maupun dalam penyusunan skripsi. Kepada teman-teman Departemen silvikultur 45, khususnya Ageng, Fitria DK, Rizka, Fitri, Erik, Uan dan Putri yang telah memberikan dukungan dan saran. Terima kasih juga kepada dunsanak IPMM atas semangat dan dukungannya saat penulis dilanda kegalauan khususnya Agung, Jeni, Maktam, Ool, Ola, Ajo, dll. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, November 2012

(9)

DAFTAR ISI

Pengaruh pemberian arang terhadap tanah 3

Pengaruh arang terhadap FMA 3

Jenis tanaman 4

Persiapan media semai dan sapih 6

Inokulasi FMA 6

Pemeliharaan 6

Pengamatan parameter dan pengumpulan data 7

Tinggi bibit 7

Diameter batang 7

Pengukuran berat kering akar dan pucuk 7

Indeks mutu bibit (IMB) 7

Analisis ragam Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) 10 Analisis ragam Balsa (Ochroma bicolor Rowlee) 10

Karakteristik media tanam 11

(10)

vi

1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang

tempurung kelapa terhadap semai G. arborea (12 MST) 10

2 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang

tempurung kelapa terhadap semai O. bicolor (8 MST) 11

3 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap

kolonisasi akar semai G. arborea (12 MST) dan O. bicolor (8 MST) 11

4 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi

semai G. arborea (12 MST) 12

5 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap

diameter semai G. arborea (12 MST) 13

6 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal arang tempurung

kelapa terhadap diameter semai G. arborea (12 MST) 13

7 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap berat

kering pucuk semai G. arborea (12 MST) 14

8 Hasil uji Duncan pengaruh interaksi FMA dan arang tempurung kelapa terhadap indeks mutu bibit semai G. arborea (12 MST) 14

9 Hasil uji Duncan pengaruh interaksi FMA dan arang tempurung

(11)

vii 10 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi

semai O. bicolor (8 MST) 15

11 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap

diameter semai O. bicolor (8 MST) 16

12 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap berat

kering pucuk semai O. bicolor (8 MST) 16

13 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap indeks

mutu bibit semai semai O. bicolor (8 MST) 17

DAFTAR GAMBAR

1 Keragaman pertumbuhan G. arborea pada umur 12 MST: (a) A0M0,

A1M0, A2M0; (b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A1M2, A2M2 12

2 Keragaman pertumbuhan G. arborea pada umur 12 MST: (a) A0M0,

A1M0, A2M0; (b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A!M2, A2M2 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis sifat kimia tanah dan tekstur tanah latosol

(Hardjowigeno 1995) 27

2 Hasil pengukuran pH media latosol sebelum dan setelah perlakuan

(Hardjowigeno 1995) 27

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lebih dari 15 juta hektar hutan hujan tropis di Indonesia termasuk dalam kategori lahan kritis. Sebagian dari lahan kritis tersebut merupakan tanah latosol. Tanah latosol memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia, yaitu sebesar 9% (Soepardi 1983). Tanah ini sudah sangat tua sehingga tingkat kesuburannya rendah (Leiwakabessy 1988). Menurut Cahyono (1992) tanah latosol memiliki kandungan primer dan unsur hara yang rendah, bereaksi masam hingga sangat masam, fiksasi ion fosfat sangat tinggi serta kapasitas pertukaran basa yang rendah. Perbaikan sifat-sifat tanah latosol diperlukan untuk keberhasilan kegiatan penanaman diantaranya dengan cara pemberian bahan organik sekaligus penggunaan bahan pembenah tanah seperti arang dan selanjutnya didukung pula dengan pemanfaatan simbiosis mikroorganisme tanah yang bermanfaat seperti fungi mikoriza arbuskula (FMA) (Karyaningsih 2009).

Faktor pemilihan jenis yang tepat juga diperlukan guna mendapatkan hasil yang optimal. Dasar yang dapat digunakan untuk memilih jenis tanaman secara umum yaitu pertumbuhannya cepat, nilai komersialnya tinggi (banyak diminati pasar), mudah mendapatkan benih dan bibit yang kualitasnya tinggi, serta tidak banyak mendapatkan serangan hama dan penyakit (F/FRED 1992). Faktor inilah yang mendasari penulis untuk memilih tanaman gmelina dan balsa dalam topik penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Gmelinadan Balsa. Gmelina (Gmelina arborea) merupakan tanaman eksotik yang berasal dari India yang memiliki nilai ekonomi dan produksi yang cukup tinggi yaitu riap sebesar 35 m3/ha/tahun. Jenis ini mudah beradaptasi dan tumbuh baik pada tipe-tipe tanah pada kisaran yang luas yakni pada tanah masam, tanah lempung dan tanah laterit (Sukajadi 1992). Balsa (Ochroma bicolor) merupakan tanaman yang tumbuh secara alami di hutan hujan lembab Amerika Tengah dan Selatan. Pemanfaatan kayu balsa dewasa ini semakin berkembang sejalan dengan kemajuan industri perkayuan yang semakin meningkat, antara lain digunakan untuk keperluan bahan pelampung, bahan isolasi (peredam suara), pesawat model (aeromodeling), peralatan olahraga dan pulp serat pendek. Pada tanah yang kurang subur pohon ini masih dapat tumbuh, tetapi produksinya lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang subur (Alrasyid 1996).

Tujuan Penelitian

(13)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dalam rangka peningkatan pertumbuhan dan kualitas bibit gmelina dan balsa melalui aplikasi FMA dan arang tempurung kelapa di media tanah latosol.

Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah

1. Penggunaan FMA berpengaruh terhadap pertumbuhan semai gmelina (G. arborea) dan balsa (O. bicolor) pada media tanah latosol.

2. Pemberian arang tempurung kelapa dapat memacu pertumbuhan semai gmelina (G. arborea) dan balsa (O. bicolor) pada media tanah latosol.

3. Interaksi FMA dengan arang tempurung kelapa dapat mempengaruhi pertumbuhan semai gmelina (G. arborea) dan balsa (O. bicolor) pada media tanah latosol.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah

Tanah sebagai benda alam mempunyai sifat-sifat yang bervariasi. Sifat tanah yang berbeda-beda pada berbagai tempat mencerminkan pengaruh dari berbagai faktor pembentuknya di alam. Tanah bukan merupakan timbunan bahan padat yang mati dan statis, melainkan merupakan suatu proses yang dinamis dan hidup yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu (Suwardi 2002). Setiap tanah tersusun dari bahan mineral, bahan organik, air tanah. Bahan mineral berasal dari hasil pelapukan batuan, sedangkan bahan organik berasal dari hasil penguraian organisme yang mati. Di dalam tanah selalu terjadi proses destruktif dan konstruktif. Proses destruktif adalah penguraian bahan mineral dan organik, sedangkan proses konstruktif adalah proses penyusunan kembali hasil penguraian bahan mineral dan organik menjadi senyawa baru (Soepardi 1979).

Tanah latosol merupakan jenis yang banyak dijumpai di sekitar kita. Tanah latosol yaitu tanah yang telah mengalami pelapukan intensif, warna tanah tergantung susunan bahan induknya dan keadaan iklim tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan intensif dan perkembangan tanah lanjut. Tanah latosol umumnya memerlukan pemupukan N, P, K, Ca, Mg dan beberapa unsur mikro tertentu. Semakin tua umur tanah maka semakin banyak hara yang perlu ditambahkan karena pada tanah-tanah tua proses pencucian sudah berlangsung lama (Leiwakabessy 1988).

(14)

3

1000 meter, batuan induk dari tufa, material vulkanik, breksi batuan beku instrusi (Soepardi 1983).

Pengaruh pemberian arang terhadap tanah

Kemampuan tanah menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sangat terbatas sehingga perlu masukan dari luar baik berupa pupuk anorganik maupun organik. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian arang. Pemberian arang selain dapat menambah unsur hara juga dapat sebagai pembenah tanah (soil amandement). Arang merupakan jenis-jenis bahan organik yang berasal dari berbagai sumber. Sumber dan komposisi bahan yang berbeda akan menyebabkan kemampuan penyediaan fosfor dan kalium pada tanah berbeda pula (Soepardi 1979).

Arang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penyerap dan pelepas unsur hara (pupuk) karena memiliki luas permukaan yang sangat besar, relatif sama dengan koloid tanah. Pohan (2002) menyatakan bahwa arang dari tempurung kelapa dan sekam padi mempunyai luas permukaan yang paling besar dibandingkan dengan yang lain, yaitu masing-masing 1500 m²/g dan 2000 m²/g, sehingga sangat efektif dalam menangkap partikel-partikel yang sangat halus.

Ukuran arang akan mempengaruhi kemampuan bahan dalam pelepasan unsur hara karena ukuran yang makin kecil akan membuat total luas permukaan yang mungkin melakukan pertukaran kation menjadi lebih luas dan hal ini berarti makin banyak unsur hara yang dapat dipertukarkan. Ini berarti juga makin banyak unsur hara kalium yang dapat dilepaskan ke dalam tanah dan makin banyak unsur hara tersebut dapat diserap oleh tanaman. Arang tempurung kelapa lebih banyak melepaskan unsur kalium dibandingkan dengan semua jenis arang lainnya karena tempurung kelapa diduga mengandung lebih banyak kalium dibandingkan jenis arang lainnya. Tingginya kemampuan pelepasan unsur kalium pada arang tempurung kelapa juga disebabkan tempurung kelapa mempunyai nilai KTK yang tinggi (16,7 me/100 g) dibandingkan dengan jenis arang lainnya (Herdiana et al.

2008).

Pengaruh arang terhadap FMA

FMA termasuk ke dalam kelompok endomikoriza. FMA memiliki penyebaran yang sangat luas di dunia mulai dari daerah padang pasir, sub-tropika, tropika dan dapat berasosiasi lebih dari 90% tanaman yang ada di bumi. FMA telah diketahui di dalam akar tanaman lebih dari 100 tahun yang lalu, tetapi struktur reproduktifnya baru diketahui 30 tahun terakhir (Turjaman et al. 2006; Setiadi 1989; Sylvia 2005).

(15)

4

Peningkatan pertumbuhan semai tanaman uji yang yang diperkaya dengan bubuk arang juga meningkatkan jumlah spora pada medianya, ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan metabolisme tanaman seperti fotosintesis yang menghasilkan gula-gula (fotosintat) yang kemudian disalurkan ke akar yang berfungsi sebagai sumber karbon bagi FMA. Dengan adanya suplai karbon/fotosintat yang sesuai memungkinkan mikoriza berkembang dengan membentuk spora lebih banyak.

Jenis Tanaman

Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Klasifikasi dan Penyebaran

Gmelina tumbuh secara alami di India, Nepal, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan Cina Selatan. Klasifikasi taksonomi spesies ini yaitu sebagai berikut (Martawijaya 1995):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Lamiales

Famili : Verbenaceae

Genus : Gmelina

Spesies : G. arborea

Gmelina dapat tumbuh pada ketinggian 0–800 m dpl walaupun masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 m dpl. Spesies ini dapat tumbuh di daerah yang bercurah hujan 1.778–2.286 mm per tahun dan musim kering antara 2–4 bulan (Alrasjid dan Widiarti 1992).

Deskripsi Botani

Pohon berukuran sedang yang tingginya dapat mencapai lebih (30–40) meter, batang silindris, diameter rata-rata 50 cm terkadang mencapai 140 cm. Kayu gmelina termasuk dalam kategori kelas kuat III–IV dan kelas awet III. Tanaman gmelina berbunga dan berbuah setiap tahun. Di sebaran alami beriklim musim, mulai berbunga pada musim kemarau ketika pohon menggugurkan daun. Di luar sebaran alami beriklim musim, periode pembungaan dan pembuahan tidak jelas, bunga dan buah terlihat kira-kira sepanjang tahun. Buah masak terjadi 1,5 bulan setelah pembungaan (Martawijaya 1995). Benih umumnya cepat berkecambah dalam jumlah yang banyak. Kecambah gmelina termasuk epigeal (kotiledon terangkat dari permukaan tanah) (Alrasyid dan Widiarti 1992).

Pemanfaatan

(16)

5

menambahkan, bahwa kayu gmelina bisa juga digunakan untuk bahan veneer dan kayu lapis, papan partikel dan moulding.

Balsa (Ochroma bicolor Rowlee) Klasifikasi dan Penyebaran

Balsa berasal dari Amerika Latin, ditanam sebagai tanaman introduksi di Indonesia. Klasifikasi taksonomi spesies ini yaitu sebagai berikut (Martawijaya 1995):

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Malvales

Famili : Bombacaceae

Genus : Ochroma

Spesies : O. bicolor

Pohon ini tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, 0–1000 m dpl, dan yang terbaik pada ketinggian tempat 0–800 m dpl. Rata-rata curah hujan yang dibutuhkan yaitu 1500–3000 mm dengan jumlah bulan kering sampai dengan 3 bulan per tahun. Rata-rata suhu udara yang dikehendaki berkisar antara 22–29oC, sedangkan suhu maksimum dan minimumnya masing-masing berkisar antara 24– 30oC dan 22–28oC. Pohon ini termasuk spesies intoleran dan membutuhkan banyak cahaya untuk pertumbuhannya (Alrasyid 1996).

Deskripsi Botani

Pohon balsa dapat mencapai ukuran tinggi di atas 23 m dan diameter di atas 80 cm. Kayu balsa memiliki sifat yang ringan dan lentur, kayu ini memiliki BJ 0,29 kg dan tidak gampang lapuk, di samping itu struktur kayu balsa memiliki kekuatan dan ketahanan yang tinggi. Kayu balsa bukan kayu yang paling ringan, namun kayu balsa dianggap kayu terkuat menurut beratnya. Pohon balsa muda cepat menghasilkan kayu ringan. Pembentukan kayu keras terjadi setelah tujuh tahun dan kayunya menjadi berwarna kemerah-merahan sehingga nilai jualnya berkurang (Soekotjo 1975).

Pemanfaatan

(17)

6

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2012 sampai dengan Juli 2012, di Laboratorium Mikrobiologi Hutan dan Rumah Kaca Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Gunung Batu, Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah bak kecambah, polibag, label, sprayer, saringan bertingkat, neraca analitik, gunting, oven, plastik, amplop, mikroskop stereo, mikroskop binokuler, autoklaf, preparat, tabung reaksi, gelas ukur, cawan petri, alat tulis, kamera, mistar, kaliper dan alat hitung. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media kecambah (pasir), benih gmelina dan balsa, tanah latosol, mikoriza Glomus sp. dan Gigaspora sp., arang tempurung kelapa, akuades, KOH 10%, HCl 2%, tryphan blue dan larutan destaining.

Metode Pelaksanaan Penelitian Persiapan media semai dan sapih

Media semai yang digunakan untuk benih gmelina dan balsa adalah pasir. Sebelum media digunakan, pasir harus diayak terlebih dahulu dengan menggunakan ayakan dengan tujuan untuk mendapatkan butiran yang halus dan memisahkan kotoran dari media tersebut. Setelah itu media dimasukkan ke bak kecambah. Untuk media sapih yang digunakan adalah tanah latosol dan pasir dengan perbandingan 2:1. Sebelum dimasukkan ke dalam polibag, media diayak terlebih dahulu. Untuk perlakuan campuran arang ke media sapih, arang tempurung kelapa ditumbuk lalu dicampur sampai merata dengan tanah pada taraf 0%, 10% dan 20% (w/w) kemudian dimasukkan ke dalam polibag berukuran 10 cm x 15 cm. Kemudian polibag diberi label sesuai dengan perlakuan. Semua media yang digunakan disterilisasi terlebih dahulu menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 30 menit.

Inokulasi FMA

Setelah tanaman gmelina dan balsa disapih dan dipelihara selama dua minggu atau sampai semai terlihat telah dapat beradaptasi (stabil) dilakukan inokulasi FMA. Proses ini dilakukan pada saat penyapihan dengan cara memberikan inokulum FMA ke lubang tanam sebanyak 10 gram. FMA yang digunakan yaitu jenis Glomus sp. dan Gigaspora sp.

Pemeliharaan

(18)

7

Pengamatan parameter dan pengumpulan data

Parameter yang diamati selama pengamatan yaitu: (1) tinggi bibit, (2) diameter batang, (3) pengukuran berat kering akar dan pucuk, (4) perhitungan indeks mutu bibit (IMB), (5) perhitungan nisbah pucuk akar (NPA) dan (6) kolonisasi akar FMA. Selain itu dilakukan pula analisis sifat fisik-kimia tanah awal dan arang tempurung kelapa serta pengukuran pH tanah setelah pemberian perlakuan. Untuk pengamatan tinggi dan diameter dilakukan di rumah kaca, sedangkan untuk pengukuran biomassa dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi.

Tinggi bibit

Pengukuran tinggi semai dilakukan setelah penyapihan, selanjutnya setiap dua minggu sekali selama tiga bulan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mistar diukur mulai dari titik bekas kotiledon sampai titik tumbuh tunas yang paling muda/titik tertinggi (meristem apikal) pada batang. Nilai tersebut dinyatakan dalam satuan centimeter (cm).

Diameter batang

Pengukuran diameter dilakukan dengan menggunakan alat kaliper, diukur pada ketinggian 1,5 cm di atas permukaan media. Nilai tersebut dinyatakan dalam satuan milimeter (mm). Pengukuran diameter dilakukan setiap satu bulan sekali selama tiga bulan.

Pengukuran berat kering akar dan pucuk

Pengukuran berat kering akar dan pucuk dilakukan setelah kegiatan pemanenan. Setelah bibit dipanen, bagian tanaman dipisahkan antara akar dan pucuknya kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC selama 72 jam, lalu berat kering akar dan pucuk ditimbang. Nilai tersebut dinyatakan dalam satuan gram (g).

Indeks mutu bibit (IMB)

Menurut Lackey dan Alm (1982) dalam Hendromono (1987), indeks mutu bibit dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

A + B IMB =

C/D + A/B Keterangan:

IMB = indeks mutu bibit A = bobot kering pucuk (g) B = bobot kering akar (g) C = tinggi tanaman (cm) D = diameter tanaman (mm)

(19)

8

Nisbah pucuk akar (NPA)

Nisbah pucuk akar merupakan hasil perhitungan yang membandingkan antara berat kering pucuk dengan berat kering akar tanaman. Besarnya nilai nisbah pucuk akar tanaman sangat ditentukan oleh pertumbuhan pucuk dan akar tanaman.

Kolonisasi akar FMA

Identifikasi kolonisasi akar dilakukan dengan cara mengambil contoh akar yang muda (serabut) secara acak dari polibag kemudian dilakukan proses pembersihan dan pewarnaan akar. Kolonisasi akar ditandai dengan adanya hifa, arbuskula dan vesikel atau salah sat dari organ tersebut. Menurut Setiadi et al.

(1992), pengukuran persen kolonisasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut yaitu: akar diambil, dicuci dengan air untuk melepaskan semua miselium luar. Lalu bagian akar muda (serabut) diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan direndam dalam larutan KOH 10%, dibiarkan selama semalam (24 jam) atau sampai akar berwarna kuning bersih, lalu larutan KOH 10% dibuang dan akar dibilas dengan air. Lalu akar direndam dengan larutan HCl 2% selama 24 jam, lalu larutan HCl 2% dibuang dan diganti dengan larutan staining (gliserin dan aquades dengan perbandingan 70:30) ditambah dengan trypan blue 0,05% (0,2 gram trypan blue dalam satu liter aquades) kemudian dibiarkan selama semalam. Setelah itu larutan trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan distaining

(larutan staining tanpa trypan blue yaitu gliserin dan aquades dengan perbandingan 1:1) selama semalam. Akar kemudian dipotong-potong sepanjang satu cm, lalu disusun pada gelas objek (satu gelas objek untuk 10 potong akar). Untuk setiap tanaman sampel dibuat tiga preparat. Selanjutnya diamati dengan mikroskop stereo. Potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang terinfeksi ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda seperti hifa, arbuskula maupun vesikula. Persentase kolonisasi akar dihitung dengan rumus yang dikembangkan oleh Brundrett et al. (1996):

∑ bidang pandang yang terkoloni

% kolonisasi = x 100 % ∑ keseluruhan bidang pandang

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan petak terbagi (split plot design) dalam pola RAL yang terdiri dari dua faktor, yaitu faktor pemberian mikoriza (petak utama) terdiri dari tiga taraf dan faktor pemberian arang tempurung kelapa (anak petak) terdiri dari tiga taraf.

Faktor M = fungi mikoriza arbuskula (FMA) M0 = tanpa inokulasi mikoriza

M1 = jenis mikoriza Glomus sp. M2 = jenis mikoriza Gigaspora sp. Faktor A = arang tempurung kelapa

(20)

9

Terdapat sembilan perlakuan untuk setiap tanaman, tiap perlakuan dilakukan ulangan sebanyak lima kali. Dengan demikian, jumlah total polibag pengamatan seluruhnya berjumlah 90 polibag. Kombinasi perlakuan yang diujicobakan yaitu:

1. Kontrol (A0M0)

2. Arang tempurung kelapa 10% (A1M0) 3. Arang tempurung kelapa 20% (A2M0) 4. Mikoriza Glomus sp. (A0M1)

5. Arang tempurung kelapa 10% dikombinasikan dengan mikoriza Glomus

sp. (A1M1)

6. Arang tempurung kelapa 20% dikombinasikan dengan mikoriza Glomus

sp. (A2M1)

7. Mikoriza Gigaspora sp. (A0M2)

8. Arang tempurung kelapa 10% dikombinasikan dengan mikoriza

Gigaspora sp. (A1M2)

9. Arang tempurung kelapa 20% dikombinasikan dengan mikoriza

Gigaspora sp. (A2M2)

Analisis Data

Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, maka dilakukan analisi data menggunakan software SAS 9.1.3. Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s multiple range test–DMRT). Model linier aditif dalam penelitian ini sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2002):

Yijk = µ + ρk + αi + βj + (αβ)ij + ik + jk

i = petak utama yaitu mikoriza jenis Glomus sp. dan Gigaspora sp. j = anak petak yaitu arang dengan dosis 0%, 10% dan 20%

k = ulangan 1, 2, 3 dan 4 Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan pada petak utama taraf ke-i, anak petak taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ = nilai rataan umum ρk = pengaruh ulangan ke-k

αi = pengaruh perlakuan petak utama yang ke-i βj = pengaruh perlakuan anak petak yang ke-j

(αβ) ij = pengaruh interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan perlakuan anak petak ke-j

ik = komponen acak dari petak utama ke-i, ulangan ke-k yang menyebar normal

(21)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Analisis Ragam Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)

Hasil analisis ragam terhadap parameter pertumbuhan G. arborea meliputi tinggi, diameter, berat kering pucuk, berat kering akar, indeks mutu bibit dan nisbah pucuk akar serta analisis ragam kolonisasi akar disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang tempurung

kelapa terhadap semai G. arborea (12 MST)

Parameter FMA Arang tempurung kelapa FMA x Arang tempurung kelapa

Kolonisasi akar ** tn tn

Tinggi * tn tn

Diameter * * tn

Berat kering akar tn tn tn

Berat kering pucuk * tn tn

Indeks mutu bibit ** ** **

Nisbah pucuk akar ** ** **

**=berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; *=berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn=tidak berpengaruh nyata

Tabel 1 memperlihakan bahwa faktor tunggal inokulasi FMA pada tanaman

G. arborea memberikan pengaruh nyata terhadap kolonisasi akar, diameter, berat kering pucuk, indeks mutu bibit (IMB), dan nisbah pucuk akar (NPA), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering akar. Faktor tunggal arang tempurung kelapa pada semai G. arborea menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap indeks mutu bibit (IMB) dan nisbah pucuk akar (NPA). Faktor tunggal arang tempurung kelapa juga berpengaruh nyata (p > 0,05) pada diameter, tetapi tidak berpengaruh nyata pada tinggi, berat kering pucuk, berat kering akar, dan kolonisasi akar. Faktor interaksi perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap indeks mutu bibit (IMB) dan nisbah pucuk akar (NPA), sedangkan pada parameter yang lain interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata.

Analisis Ragam Balsa (Ochroma bicolor Rowlee)

Hasil analisis ragam terhadap parameter pertumbuhan O. bicolor meliputi tinggi, diameter, berat kering pucuk, berat kering akar, indeks mutu bibit dan nisbah pucuk akar serta analisis ragam kolonisasi akar disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan bahwa faktor tunggal pemberian FMA pada O. bicolor

(22)

11

Tabel 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang tempurung kelapa terhadap semai O. bicolor (8 MST)

Parameter FMA Arang tempurung kelapa FMA x Arang tempurung kelapa

**=berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; *=berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn=tidak berpengaruh nyata

Karakteristik media tanam

Karakteristik media tanam merupakan faktor penting yang harus diketahui untuk dijadikan pertimbangan dalam usaha peningkatan pertumbuhan tanaman. Kemampuan media tanam dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman merupakan persoalan utama dalam produksi tanaman. Hasil analisis sifat kimia tanah pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa media tanah latosol yang digunakan tergolong sangat masam karena memiliki pH 4,1. Selain itu media juga memiliki C-organik sangat rendah, N-total yang rendah, kandungan P tergolong sangat rendah yaitu 5,2 ppm, kandungan K, Ca, Mg serta KTK juga tergolong rendah. Dari hasil analisis terlihat bahwa secara umum kondisi tanah yang digunakan yaitu tidak subur.

Hasil analisis sifat kimia arang tempurung kelapa pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa arang yang digunakan tergolong alkalis karena memiliki pH 9,6. Media arang ini memiliki kandungan C-organik yang sangat tinggi, N-total yang sangat tinggi yaitu 0,8 %, P tersedia yang tergolong sangat tinggi, Ca yang rendah yaitu 4,38 me/100 g, Mg yang tinggi yaitu 2,2 me/100 g, kandungan K dan persen KB yang sangat tinggi, serta nilai KTK yang tergolong sedang yaitu 18,47 me/100 g (Hardjowigeno 1995). Berdasarkan pengukuran pH di akhir penelitian (Lampiran 3), penambahan arang dapat meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH semai G. arboreameningkat dari 4,10−4,50 dan pada semai O. bicolor meningkat dari 4,10−4,30.

Perkembangan FMA

Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan faktor pemberian tunggal FMA berpengaruh sangat nyata terhadap kolonisasi akar semai G. arborea, tetapi tidak berpengaruh nyata pada pemberian tunggal arang tempurung kelapa maupun interaksi antar keduanya.

(23)

12

Tabel 3 menunjukkan hasil uji DMRT pada selang kepercayaan 95%, tampak bahwa adanya kolonisasi pada seluruh akar G. arborea dan O. bicolor

baik diinokulasi mikoriza maupun yang tidak diinokulasi mikoriza. Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kolonisasi akar tertinggi dimiliki oleh inokulum FMA jenis

Glomus sp. untuk masing-masing semai G. arborea dan O. bicolor dengan nilai masing-masing 11,475% dan 7,320% atau mengalami peningkatan terhadap kontrol masing-masing 96,95% dan 95,36%.

Pertumbuhan tanaman

Pertumbuhan tanaman Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Pertumbuhan tinggi

Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan faktor pemberian tunggal FMA berpengaruh nyata terhadap tinggi semai G. arborea, namun faktor pemberian tunggal arang tempurung kelapa maupun interaksi antara FMA dan arang tempurung kelapa tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi semai G. arborea disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi semai G. arborea (12 MST)

FMA Tinggi (cm)

Tanpa inokulum FMA 32,960b

Glomus sp. 41,780b

Gigaspora sp. 44,613a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Inokulasi kedua jenis FMA yang digunakan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Tinggi terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. yaitu sebesar 44,613 cm atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 26,12%. Secara visual pertambahan tinggi semai dan perkembangan akar pada G. arborea

dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Keragaman pertumbuhan G. arborea pada umur 12 MST: (a) A0M0, A1M0, A2M0; (b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A1M2, A2M2 (A0=tanpa pemberian arang tempurung kelapa; A1=pemberian arang tempurung kelapa taraf 10% (v:v); A2=pemberian arang tempurung kelapa taraf 20% (v:v); M0=tanpa inokulasi FMA; M1=inokulasi FMA jenis Glomus sp.; M2=inokulasi FMA jenis Gigaspora sp.)

(24)

13

Pertumbuhan diameter

Hasil analisis ragam (Tabel 1) pemberian tunggal FMA dan pemberian tunggal arang tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap diameter semai G. arborea, namun interaksi antara FMA dan arang tempurung kelapa tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap diameter semai G. arborea disajikan pada Tabel 5 dan pengaruh pemberian tunggal arang tempurung kelapa disajikan pada Tabel 6. Diameter terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis Glomus sp. yaitu sebesar 3,481 mm atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 27,92% (Tabel 5). Untuk diameter terbesar pada perlakuan pemberian arang yaitu ditunjukkan oleh pemberian arang pada taraf 10% yaitu sebesar 3,461 mm atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 24,05% (Tabel 6).

Tabel 5 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap diameter semai G. arborea (12 MST)

FMA Diameter (mm)

Tanpa inokulum FMA 2,509b

Glomus sp. 3,481a

Gigaspora sp. 3,095b

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Tabel 6 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal arang tempurung kelapa terhadap diameter semai G. arborea (12 MST)

Arang tempurung kelapa Diameter (mm)

Arang tempurung kelapa 0% 2,629b

Arang tempurung kelapa 10% 3,461a

Arang tempurung kelapa 20% 3,000ab

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berat kering akar

Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan faktor tunggal pemberian FMA, faktor tunggal pemberian arang maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering akar semai G. arborea. Semai G. arborea pada semua perlakuan mempunyai berat kering akar antara 0,15–0,40 gram.

Berat kering pucuk

Hasil analisis ragam (Tabel 1) pemberian tunggal FMA berpengaruh nyata terhadap berat kering pucuk semai G. arborea. Pemberian tunggal arang tempurung kelapa dan interaksinya tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian FMA terhadap berat kering pucuk semai G. arborea

disajikan pada Tabel 7. Berat kering pucuk terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis

(25)

14

Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap berat kering pucuk semai G.arborea (12 MST)

FMA Berat kering pucuk (g)

Tanpa inokulum FMA 0,962b

Glomus sp. 1,387b

Gigaspora sp. 2,291a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Indeks mutu bibit

Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa interaksi FMA dan arang tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap indeks mutu bibit semai G. arborea. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Tabel 8), pemberian FMA dan arang tempurung kelapa dapat meningkatkan indeks mutu bibit semai G. arborea

dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan yang menggunakan FMA Gigaspora sp. tanpa penambahan arang menunjukkan nilai indeks mutu bibit tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 14,866. Bibit akan memiliki daya hidup tinggi jika ditanam di lapangan jika nilai IεB ≥ 0,09, semakin besar nilai IMB maka semakin tinggi mutunya. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa bibit

G. arboreamemiliki mutu yang baik dikarenakan nilai IεB ≥ 0,09.

Tabel 8 Hasil uji Duncan pengaruh interaksi FMA dan arang tempurung kelapa terhadap indeks mutu bibit G. arborea (12 MST)

FMA Arang tempurung kelapa

Arang 0% Arang 10% Arang 20%

Tanpa inokulum FMA 7,015b 4,761c 5,834bc

Glomus sp. 7,451b 7,335b 5,888bc

Gigaspora sp. 14,866a 7,733b 6,710b

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Nisbah pucuk akar

Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa interaksi FMA dan arang tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap nisbah pucuk akar semai G. arborea. Pada Tabel 9 terlihat bahwa nilai NPA pada penelitian ini sangat tinggi. Nilai NPA yang baik berkisar antara 1–3 dan yang terbaik adalah yang mendekati minimum (Frianto 2007). Nilai NPA yang tinggi pada penelitian ini disebabkan oleh adanya pemberian mikoriza sehingga fotosintatnya lebih banyak dialokasikan pada daerah pucuk dibandingkan dengan daerah akar.

Tabel 9 Hasil uji Duncan pengaruh interaksi FMA dan arang tempurung kelapa terhadap nisbah pucuk akar semai G. arborea (12 MST)

FMA Arang tempurung kelapa

Arang 0% Arang 10% Arang 20%

Tanpa inokulum FMA 6,920bc 4,633c 5,749bc

Glomus sp. 7,357b 7,110b 4,683c

Gigaspora sp. 14,681a 7,530b 6,580bc

(26)

15

Pertumbuhan tanaman Balsa (Ochroma bicolor Rowlee) Pertumbuhan tinggi

Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian tunggal FMA berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai O. bicolor. Pemberian tunggal arang tempurung kelapa dan interaksinya tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap pertumbuhan tinggi semai O. bicolor disajikan pada Tabel 10. Perlakuan dengan inokulasi FMA mempunyai pertambahan tinggi yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa inokulasi FMA. Tinggi terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. yaitu sebesar 13,500 cm atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 38,32%. Secara visual pertumbuhan tinggi semai dan perkembangan akar O. bicolor dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 10 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap tinggi semai O. bicolor (8 MST)

FMA Tinggi (cm)

Tanpa inokulum FMA 8,327b

Glomus sp. 12,447a

Gigaspora sp. 13,500a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 2 Keragaman pertumbuhan O. bicolor pada umur 8 MST: (a) A0M0, A1M0, A2M0; (b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A1M2, A2M2 (A0=tanpa pemberian arang tempurung kelapa; A1=pemberian arang tempurung kelapa taraf 10% (w/w); A2=pemberian arang tempurung kelapa taraf 20% (w/w); M0=tanpa inokulasi FMA; M1=inokulasi FMA jenis Glomus sp.; M2=inokulasi FMA jenis Gigaspora sp.)

Pertumbuhan diameter

Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian tunggal FMA berpengaruh nyata terhadap diameter semai O. bicolor, namun faktor tunggal arang tempurung kelapa dan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap diameter semai O. bicolor disajikan pada Tabel 11. Diameter terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. yaitu sebesar 2,643 mm atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 33,14%.

(27)

16

Tabel 11 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap diameter semai O. bicolor (8 MST)

FMA Diameter (mm)

Tanpa inokulum FMA 1,767b

Glomus sp. 2,403a

Gigaspora sp. 2,643a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berat kering akar

Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan faktor tunggal pemberian FMA, faktor tunggal pemberian arang maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering akar semai O. bicolor. Semai O. bicolor

pada semua perlakuan mempunyai berat kering akar antara 0,02–0,07 gram. Berat kering pucuk

Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian tunggal FMA berpengaruh nyata terhadap berat kering pucuk semai O. bicolor, sedangkan pemberian tunggal arang tempurung kelapa dan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Tabel 12), pemberian tunggal FMA dapat meningkatkan berat kering pucuk semai O. bicolor

dibandingkan dengan tanpa pemberian FMA. Berat kering pucuk terbesar ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. yaitu sebesar 0,278 gram atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 59,35%.

Tabel 12 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tunggal FMA terhadap berat kering pucuk semai O. bicolor (8 MST)

FMA Berat kering pucuk (g)

Tanpa inokulum FMA 0,113b

Glomus sp. 0,239a

Gigaspora sp. 0,278a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Indeks mutu bibit

Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian tunggal FMA berpengaruh nyata terhadap indeks mutu bibit semai O. bicolor namun tidak berpengaruh nyata terhadap pemberian tunggal arang tempurung kelapa maupun interaksi antar keduanya. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Tabel 13), pemberian tunggal FMA jenis Gigaspora sp. mempunyai nilai indeks mutu bibit yang lebih besar dibandingkan dengan FMA jenis Glomus sp. maupun tanpa inokulasi FMA. Nilai indeks mutu bibit terbaik ditunjukkan oleh FMA jenis

(28)

17

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Nisbah pucuk akar

Hasil analisis ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa faktor tunggal pemberian FMA, faktor tunggal pemberian arang maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap nsbah pucuk akar semai O. bicolor. Semai O. bicolor pada semua perlakuan mempunyai nilai nisbah pucuk akar akar antara 3– 6. Nilai NPA yang baik berkisar antara 1–3 dan yang terbaik adalah yang mendekati minimum (Frianto 2007). Pada penelitian ini nilai NPA sangat tinggi dikarenakan adanya pemberian mikoriza.

Pembahasan Karakteristik media tanam

Media tanam merupakan media yang mendukung kelangsungan hidup tumbuhan baik secara fisik sebagai tempat berpegang dan sebagai penyedia semua kebutuhan tumbuhan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Kestabilan media tumbuh (agregat tanah) tergantung pada kandungan bahan organik yang terdapat di dalamnya dan keadaan alami hasil kerja mikroba tanah (Susanto 2002). Kondisi agregat ini penting karena berkaitan dengan pergerakan udara, air dan hara dalam tanah. Soepardi (1983) menyatakan bahwa pengaruh bahan organik terhadap sifat fisik maupun kimia sangatlah besar melebihi jumlah bahan organik yang terdapat dalam tanah. Setengah dari kapasitas tukar kation tanah biasanya berasal dari bahan organik yang merupakan pemantap agregat tanah.

Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah (Lampiran 1) menunjukkan bahwa tanah latosol ini termasuk ke dalam kriteria tanah yang tingkat kesuburannya rendah (Hardjowigeno 1995). Tanah ini tergolong sangat masam karena memiliki pH 4,1. Selain itu media juga memiliki C-organik sangat rendah, N-total yang rendah, kandungan P tergolong sangat rendah yaitu 5,2 ppm; kandungan K; Ca; Mg serta KTK juga tergolong rendah. Terdapat kendala bagi tanah latosol yang mempunyai pH yang masam yaitu dalam hal megikat unsur P. Akar tanaman menyerap fosfat dari dalam tanah yaitu dalam bentuk ion ortofosfat: HPO42- atau H2PO4-. Pada tanah dengan pH rendah, unsur P bersenyawa dengan Fe dan Al sehingga P menjadi tidak tersedia untuk tanaman. Ketersediaan P yang maksimum terdapat pada tanah yang memiliki pH 6,50–7,00 (Soemarno 2011).

(29)

18

persen KB yang sangat tinggi, serta nilai KTK yang tergolong sedang yaitu 18,47 me/100 g (Hardjowigeno 1995). Dengan karakteristik seperti di atas, arang tempurung kelapa diharapkan dapat memperbaiki media tanam tanah latosol yang tidak subur sehingga nantinya dapat menghasilkan kualitas bibit yang bagus di persemaian.

Penambahan arang ke dalam media dapat meningkatkan pH tanah dari 4,10–4,50 pada semai G. arborea dan 4,10–4,30 pada semai O. bicolor, akan tetapi pH tanah masih tergolong masam. Nilai pH tanah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hara dalam larutan tanah. Jumlah terbesar unsur hara essensial tersedia pada kisaran pH antara 5,20–6,50. Nilai pH di atas dan di bawah kisaran tersebut, sebagian haranya terikat kuat oleh partikel tanah dan tidak tersedia bagi tanaman, misalnya Fe dan Mn (Soemarno 2011). Arang yang ditambahkan ke dalam media tanam mempunyai kadar N, P, dan K yang tinggi sehingga penambahan arang dapat meningkatkan ketersediaan hara pada tanah latosol. Arang merupakan salah satu pembenah tanah yang dapat membantu tanaman dalam penyediaan unsur hara secara terus-menerus di dalam tanah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan semai. Adanya peningkatan pH tanah dari 4,10–4,50 pada semai G. arborea dan 4,10–4,30 pada semai O. bicolor

menunjukkan bahwa ketersediaan hara makro dalam tanah meningkat sehingga pertumbuhan semai G. arborea dan O. bicolor lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan hasil pengukuran pH di akhir penelitian menunjukkan taraf arang 20% memiliki peningkatan pH yang lebih besar dibandingkan dengan taraf 10%. Hal ini sesuai dengan percobaan rumah kaca yang dilakukan Matsubara et al. (1995), pH tanah dengan perlakuan penambahan arang meningkat dari 5,40 sampai 6,20 (10% arang dari volume total) dan 6,30 (30% arang dari volume total).

Arang menyediakan unsur-unsur hara essensial makro dan mikro yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Siregar et al. (2002) penambahan bubuk arang pada media tanam secara nyata meningkatkan pH tanah, C-organik, KTK, N total, dan basa-basa dapat ditukar. Perlakuan penambahan arang pada taraf 10% dan 20% ke dalam media tanam dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan kontrol. Ketersediaan hara bagi tanaman karena adanya pembenah tanah arang dan juga FMA akan dapat membantu mengatasi kendala pada tanah latosol.

Perkembangan FMA

(30)

19

Setiap tanaman memiliki tingkat ketergantungan yang berbeda-beda terhadap mikoriza (Brundrett et al. 1996). Setiap tanaman memiliki perbedaan kemampuan untuk tumbuh tanpa bantuan mikoriza. Hal ini mencerminkan perbedaan kebutuhan terhadap unsur hara, kecepatan pertumbuhan tanaman serta kemampuan sistem perakaran yang tidak terinfeksi untuk menyerap hara yang dibutuhkan. Kondisi ini disebut Mycorrhizal dependency (MD) yaitu suatu ketergantungan tanaman terhadap fungi mikoriza dalam mencapai pertumbuhan dan hasil maksimum di bawah kondisi kesuburan tanah tertentu (Sieverding 1991). Variasi respon perbedaan FMA mengingatkan bahwa efisiensi simbiotik ditentukan tidak hanya oleh jenis FMA tetapi juga tergantung dari jenis inang dan kondisi lingungan (Fakuara 1988).

Pada parameter kolonisasi akar, pengaruh pemberian tunggal arang tempurung kelapa terhadap semai G. arborea (Gambar 1) maupun semai O. bicolor (Gambar 2) menunjukkan pengaruh yang berbeda dengan penambahan FMA jenis Glomus sp. maupun jenis Gigaspora sp. Pada semai G. arborea terjadi peningkatan persentase kolonisasi akar pada perlakuan yang menggunakan FMA jenis Glomus sp., namun pada perlakuan yang menggunakan FMA jenis

Gigaspora sp. terjadi penurunan persentase kolonisasi akar seiring dengan penambahan taraf arang tempurung kelapa. Untuk perlakuan menggunakan arang tidak berpengaruh secara statistik terhadap kolonisasi akar semai G.arborea. Pada semai O. bicolor terjadi penurunan persentase kolonisasi akar pada perlakuan yang menggunakan FMA jenis Glomus sp. maupun Gigaspora sp. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf arang, kolonisasi akar semakin menurun. Hal ini berarti interaksi pemberian arang dengan inokulum jenis Glomus

sp. dapat meningkatkan perkembangan FMA namun interaksi pemberian arang dengan inokulum jenis Gigaspora sp. dapat menghambat perkembangan FMA.

Penambahan arang pada media yang diaplikasikan dengan FMA Glomus

sp. menunjukkan peningkatan persentase kolonisasi akar. Ini terjadi seiring dengan meningkatnya pH media yang digunakan oleh karena penambahan arang. Sebagaimana menurut Corryanti (2007) bahwa Glomus sp. lebih mampu berkembang pada tanah yang yang memiliki pH lebih tinggi, sedangkan penambahan arang pada media yang diaplikasikan dengan FMA Gigaspora sp. menunjukkan penurunan persentase kolonisasi akar. Penambahan arang pada media akan meningkatkan pH media tersebut. Ini bertentangan dengan pernyataan Tommerup (1994) bahwa Gigaspora sp. lebih toleran terhadap tanah yang masam dan memiliki kandungan aluminium yang tinggi. Maka dari itu penambahan arang dengan FMA Gigaspora sp. pada media tidaklah optimal karena penambahan arang dapat menghambat perkembangan FMA Gigaspora sp.

(31)

20

oleh lapisan hifa/miselium sehingga mencegah masuknya infeksi oleh patogen. Kegunaan lain dari FMA adalah mempercepat siklus mineral dan tahan akan kekeringan. Hal ini dapat terjadi karena akar yang bermikoriza mempunyai jaringan xilem yang lebih potensial sebagai jaringan penyalur atau pengangkut air dari tanah ke dalam tanaman.

Pertumbuhan tanaman

Pertumbuhan (growth) adalah perubahan secara kuantitatif selama siklus hidup tanaman yang bersifat tak terbalikkan (irreversible). Bertambah besar dan bertambah berat bagian atau proses pertambahan jumlah, bentuk, ukuran serta fungsi sel akibat adanya pembelahan sel. Bersifat kuantitatif, dapat diukur dengan suatu alat ukur tertentu, serta dapat terlihat secara fisik akibat adanya penambahan unsur-unsur struktural yang baru. Peningkatan ukuran tanaman yang tidak akan kembali sebagai akibat pembelahan dan pembesaran sel. Misalnya, dalam ukuran sel, jaringan, organ. Perkembangan (development) diartikan sebagai proses perubahan secara kualitatif atau mengikuti pertumbuhan tanaman/bagian-bagiannya. Proses hidup yang terjadi di dalam tanaman yang meliputi pertumbuhan, diferensiasi sel, dan morfogenesis (Hendromono 1987).

Tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman dapat dilihat dari parameter tinggi, diameter, berat kering akar, berat kering pucuk, indeks mutu bibit, dan nisbah pucuk akar. Hasil pengamatan pada semua parameter menunjukkan bahwa pemberian FMA dan arang tempurung kelapa serta kolonisasinya memberikan pengaruh yang beragam terhadap pertumbuhan semai G. arborea dan O. bicolor

tetapi secara umum dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan semai G. arborea dan O. bicolor dibandingkan dengan kontrol. Mikoriza berperan dalam penyediaan unsur hara bagi tanaman, kolonisasi FMA akan menyebabkan perubahan morfologi dan fisiologi akar yaitu perubahan konsentrasi hormon tumbuh, naiknya laju fotosintat dari daun ke akar sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan (Smith & Read 1997).

Mikoriza berperan dalam penyediaan unsur hara bagi tanaman, kolonisasi FMA akan menyebabkan perubahan morfologi dan fisiologi akar yaitu perubahan konsentrasi hormon tumbuh, naiknya laju fotosintat dari daun ke akar sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan (Smith & Read 1997). Secara statistik semai G. arborea dan O. bicolor yang diinokulasi FMA memiliki nilai rata-rata pertambahan tinggi dan diameter lebih besar daripada perlakuan tanpa FMA. Secara umum inokulasi FMA jenis Gigaspora sp.

memberikan respon yang lebih baik dibandingkan dengan inokulasi Glomus sp. dan yang tidak diinokulasi (kontrol). Hal ini karena FMA telah bersimbiosis secara baik dengan tanaman inang. Dengan demikian kebutuhan mikoriza akan nutrien dapat terpenuhi dari akar tanaman.

(32)

21

Interaksi antara FMA dan arang tempurung kelapa memiliki pengaruh yang nyata terhadap indeks mutu bibit dan nisbah pucuk akar pada semai G. arborea dan tidak berpengaruh nyata terhadap semai O. bicolor. Perlakuan yang menggunakan FMA Gigaspora sp. + arang 0% menunjukkan perlakuan yang terbaik pada semai G. arborea. Pemberian arang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman, dikarenakan pertumbuhan tanaman lebih memanfaatkan penambahan FMA dibandingkan dengan arang, sesuai dengan hasil penelitian Norton et al. (1990) bahwa tanaman bermikoriza di tanah yang subur umumnya tumbuh tetap subur namun mikorizanya tidak berkembang, tetapi akan tumbuh lebih baik pada tanah yang kekurangan zat hara karena mikorizanya bisa berkembang.

Smith & Read (1997) juga menyebutkan persentase kolonisasi akar tergantung pada jenis FMA dan tanaman inang, sering dihubungkan dengan pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman. Glomus macrocarpus sangat lambat mengkolonisasi akar Allium cepa, sedikit atau tidak berpengaruh pada pertumbuhan tanaman atau pengambilan P, sedangkan Glomus mossae dan

Gigaspora sp. mengkolonisasi A. cepa lebih cepat sehingga pengambilan P dan pertumbuhan meningkat. Perkembangan spora FMA juga dipengaruhi oleh pH tanah, menurut Gunawan (1993) Glomus sp. mampu tumbuh optimum pada pH 5,5–9,5 dan Gigaspora sp. berkisar antara 4–6. Berdasarkan hasil analisis tanah (Lampiran 1) menunjukkan bahwa media tanah latosol yang digunakan tergolong sangat masam karena memiliki pH 4,1. Kondisi ini optimal untuk pertumbuhan

Gigaspora sp. dibandingkan dengan Glomus sp., walaupun kisaran adaptasi keasaman media pada Glomus sp. lebih luas tetapi kondisi-kondisi yang lain mendukung pertumbuhan Gigaspora sp. sehingga secara umum pertumbuhan

Gigaspora sp. pada tanaman uji menjadi lebih baik (Karyaningsih 2009).

Pada semua jenis tanaman uji, secara umum inokulasi FMA Gigaspora sp. memberikan respon yang lebih baik dibandingkan dengan inokulasi FMA Glomus

sp. dan yang tidak diinokulasi (kontrol). Pada penelitian Corryanti (2007) juga menunjukkan bahwa inokulasi Gigaspora sp. memberikan respon yang paling optimal baik pada perkembangan mikoriza maupun pertumbuhan bibit tanaman jati (tinggi, diameter, BKT, dan NPA) dibandingkan dengan bibit yang diinokulasi

Glomus sp., demikian pula penyerapan hara tanaman lebih optimal ditunjukkan oleh inokulasi Gigaspora sp. dari pada Glomus sp. Abbot & Gazey (1994) juga mengungkapkan bahwa spora Glomus sp. dalam berbagai situasi lingkungan sering tidak berkembang dengan baik sementara Scutellospora sp., Gigaspora sp., dan Acaulospora sp. mampu dan banyak dijumpai pada berbagai tipe tanah.

Keberadaan FMA pada akar tanaman memberikan pengaruh yang positif pada beberapa aspek fisiologis tanaman di antaranya ialah meningkatkan penyerapan unsur hara. Adanya peningkatan penyerapan hara terutama N, P, dan K oleh akar tanaman dapat membantu memacu pertumbuhan semai jabon, karena nitrogen, fosfor, dan kalium merupakan unsur yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan, terutama dalam proses fotosintesis. Pengaruh positif ini merupakan implikasi dari peranan utama endomikoriza yaitu membantu penyerapan hara tanah dengan meningkatkan luas bidang penyerapan.

(33)

22

amino, lemak, dan sulfur, oksidasi biologis, dan sejumlah reaksi dalam proses hidup. Hakim et al. (1986) menambahkan bahwa fosfor sangat berperan aktif dalam mentransfer energi dalam sel dan dapat meningkatkan efisiensi kerja kloroplas, serta fosfor adalah penyusun fosfolid, nukleoprotein dan fitin, yang selanjutnya akan menjadi banyak tersimpan di dalam biji. Dengan meningkatnya kandungan P pada tanaman akan meningkatkan laju fotosintesis dan merangsang pembentukan daun baru yang akan mengakibatkan berat kering tanaman bertambah.

Nitrogen (N) mempunyai fungsi untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman dan membantu proses pembentukan asam amino dan protein dalam tanaman (Hardjowigeno 1995). Salisbury dan Ross (1995) menambahkan bahwa nitrogen mempunyai peran penting bagi tanaman yaitu merangsang pertumbuhan vegetatif yaitu menambah tinggi tanaman, merangsang pembentukan semai daun, membuat tanaman lebih hijau karena merupakan bahan penyusun klorofil. Kalium (K) mempunyai peranan yang tidak kalah penting dalam proses-proses fisiologis seperti metabolisme nitrogen dan sintesa protein, metabolisme karbohidrat, pembentukan, pemecahan dan translokasi pati, mengawasi dan mengatur aktivitas beragam unsur mineral, netralisasi asam-asam organik yang penting, mengaktifkan berbagai enzim, mempercepat pertumbuhan jaringan meristematik, mengatur pergerakan stomata, dan hal-hal yang berhubungan dengan air (Hakim et al. 1986).

Tinggi semai G. arborea menunjukkan pengaruh yang nyata dari faktor pemberian tunggal FMA. Berdasarkan analisis statistik, tinggi terbaik pada 12 MST ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. sebesar 44,613 cm. Pada semai

O. bicolor faktor tunggal inokulasi FMA memiliki pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, namun faktor pemberian arang tempurung kelapa serta interaksi kedua faktor tidak memiliki pengaruh nyata terhadap tinggi. Perlakuan yang menunjukkan pertambahan rata-rata tinggi terbaik pada 8 MST ditunjukkan oleh FMA jenis Gigaspora sp. sebesar 13,500 cm.

Indeks mutu bibit merupakan salah satu parameter yang diamati dengan tujuan untuk mengetahui keadaan mutu semai (bibit), sehingga kemampuan suatu semai untuk tumbuh di lapangan dapat diketahui. Menurut Lackey dan Alm (1982) dalam Hendromono (1987) menyatakan bahwa semakin besar angka indeks mutu menandakan bibit semakin tinggi mutunya. Selanjutnya Roller (1977) dalam Hendromono (1987) menambahkan bahwa bibit yang mempunyai angka indeks mutu lebih kecil dari 0,09, bibit tidak akan berdaya hidup tinggi dikondisi lapangan. Pada penelitian ini perlakuan arang 10% dengan tanpa inokulasi FMA menunjukkan nilai IMB terendah yaitu 4,761 berarti semua bibit akan memiliki daya hidup yang tinggi jika ditanam di lapangan karena nilainya di atas 0,09.

(34)

23

kebutuhan pucuk. Terjadinya hambatan media pertumbuhan tanaman akan diikuti oleh penurunan nisbah pucuk dan akar (Hairiah et al. 2004).

Besarnya nilai nisbah pucuk akar dapat dihubungkan dengan serapan hara oleh tanaman. Perlakuan yang mempunyai serapan hara yang tinggi mempunyai nisbah pucuk akar yang tinggi demikian juga sebaliknya, hal ini berarti hubungan serapan hara tanaman dengan pertumbuhan tanaman sangat erat sekali, serapan hara yang rendah akan mempunyai pertumbuhan yang buruk dan rasio pucuk akar yang rendah. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan semai G. arborea dan O. bicolor terutama pada pertumbuhan akar tanaman kontrol karena pucuknya tumbuh tidak optimal dibanding yang lain. Nilai nisbah pucuk akar yang baik berkisar antara 1–3 dan yang terbaik adalah yang mendekati minimum (Frianto 2007).

Nilai nisbah pucuk akar tertinggi pada semai G. arborea yaitu pada perlakuan menggunakan FMA Gigaspora sp. tanpa penambahan arang sebesar 14,681. Pada penelitian ini nilai nisbah pucuk akar sangatlah tinggi. Menurut Yuniawati (1998) nilai nisbah pucuk akar yang tinggi menunjukkan kemampuan perkembangan bagian pucuk lebih tinggi daripada perkembangan akar, yang menggambarkan bahwa unsur hara yang tersedia dapat diangkut dengan baik oleh akar dan hasilnya digunakan secara optimal untuk memacu pertumbuhan bagian pucuk tanaman. Tanaman bermikoriza mempunyai akar lebih sedikit dibandingkan dengan pucuk. Hal ini berhubungan dengan pengambilalihan sebagian besar fungsi akar dalam menyerap unsur hara dan air oleh mikoriza sehingga energi untuk pertumbuhan dan perkembangan akar dapat dikurangi. Akibatnya nisbah pucuk akar biasanya lebih besar pada tanaman yang bermikoriza. Hal ini menunjukkan fotosintat yang dihasilkan oleh tanaman bermikoriza lebih banyak dialokasikan pada daerah pucuk dibandingkan dengan daerah akar.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan terbaik untuk pertumbuhan semai G. arborea pada tanah latosol yaitu perlakuan yang menggunakan inokulasi FMA Gigaspora sp. tanpa pemberian arang, sedangkan untuk semai O. bicolor yaitu perlakuan yang menggunakan inokulasi FMA Gigaspora sp. dengan penambahan arang 20%. Secara umum jenis inokulum Gigaspora sp. memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan semai G. arborea dan O. bicolor.

Saran

(35)

24

DAFTAR PUSTAKA

Abbott LK, Gazey C. 1994. An ecological view of formation of VA mycorrhizas.

Plant Soil 159(2):69-78.

Alrasyid H. 1991. Faktor kualitas lahan pembatas untuk pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. Buletin Penelitian Hutan 540(3):1-23.

Alrasyid H, Widiarti A. 1992. Teknik Penanaman dan Pemungutan Hasil Gmelina arborea. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor.

Alrasyid H. 1996. Teknik Penanaman dan Pemungutan Kayu Balsa. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor.

Brundrett M, Boucher N, Dell NB, Gove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mychorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian Centre for International Agriculture Research (ACIAR).

Cahyono BE. 1992. Sifat-sifat mikromorfologi dan hubungannya dengan pedogenesis beberapa tanah Ultisol Lampung Selatan dan Alfisol Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Charomaini M. 2001. Studi variasi pertumbuhan tingkat semai untuk penyiapan populasi dasar balsa. Warna Benih 4(1):17-23.

Corryanti. 2007. Perkembangan mikoriza arbuskula dan pertumbuhan jati

(Tectona grandis) yang diinokulasi spora FMA asal tanah hutan tanaman jati.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 1(2):24-30.

Dickson A, Leaf AL, Hosner JF. 1960. Quality appraisal of white spruce and white pine seedling stocks in nurseries. Forest Chron 36(1):10-13.

Fakuara Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

[F/FRED] Forestry/Fuelwood Research and Development Project. 1992. Growing Multipurpose Trees on Small Farms. Bangkok: Winrock International Thailand.

Frianto. 2007. Aplikasi arang kompos pada media sapih dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan Hopea odorata di persemaian. Jurnal Penelitian Hasil Hutan dan Konservasi Alam 7(3):281-282.

Gunawan AW. 1993. Mikoriza Arbuskula. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

Gusmailina. 2000. Alternatif arang aktif sebagai soil conditioning pada tanaman.

Buletin Penelitian Hasil Hutan 19(3):185-199.

Hairiah K, Sugiarto C, Utami SR, Purnomosidhi P, Roshetko JR. 2004. Diagnosa faktor penghambat pertumbuhan akar sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) pada ultisol di Lampung Utara. Agrivita 26:90-98.

Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Diha MA, Hong GB, Bailey HH. 1986. Diktat Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung (ID): Universitas Lampung.

Gambar

Tabel 1  Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang tempurung
Tabel 2  Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh FMA dan arang tempurung kelapa terhadap semai O
Gambar 1  Keragaman pertumbuhan G. arborea pada umur 12 MST: (a) A0M0, A1M0, A2M0; (b) A0M1, A1M1, A2M1; (c) A0M2, A1M2, A2M2 (A0=tanpa pemberian arang tempurung kelapa; A1=pemberian arang tempurung kelapa taraf 10% (v:v); A2=pemberian arang tempurung kelapa taraf 20% (v:v); M0=tanpa inokulasi FMA; M1=inokulasi FMA jenis Glomus sp.; M2=inokulasi FMA jenis Gigaspora  sp.)
Gambar 2  Keragaman pertumbuhan O. bicolor pada umur 8 MST: (a) A0M0, A1M0,  A2M0;

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh tidak berbeda nyata diduga karena unsur hara yang dibutuhkan untuk membentuk anakan pada tanaman hanjeli sudah tercukupi, sehingga pemberian pupuk silika

Diketahui sifat organoleptik pada rasa dari snack bar berbahan campuran tepung cassava dan tepung kacang merah, dan snack bar yang memiliki tingkat kesukaan

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Shetty et al pada tahun 2012 bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara jumlah trombosit pada

Dalam kurikulum 2013 mengandung relevansi dengan mengedepankan kreasi dan bakat siswa, hal ini senada dengan pembelajaran yang berdasarkan kecerdasan Majemuk

Di Indonesia sendiri, sebuah penelitian di Denpasar dengan subjek anak-anak menunjukkan bahwa pada awal infeksi virus dengue, penderita yang mengalami

Pada kategori ketiga (berat) pasien PD yang lanjut sudah terjadi kerusakan motorik yang progresif meskipun telah mendapat terapi levodopa, dan tidak berespon secara baik

Zakon o davčnem postopku ureja tudi davčno preiskavo, kjer se za posameznega davčnega zavezanca ali skupino davčnih zavezancev z zbiranjem podatkov, dokumentov in drugih