• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan laju penurunan mutu produk susu bubuk tipe-x pada berbagai suhu di pt frisian flag Indonesia, Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan laju penurunan mutu produk susu bubuk tipe-x pada berbagai suhu di pt frisian flag Indonesia, Jakarta"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU PRODUK SUSU

BUBUK TIPE-X PADA BERBAGAI SUHU DI PT FRISIAN FLAG

INDONESIA, JAKARTA

SKRIPSI

ELISABETH SETYO

F24070099

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DETERMINATION OF QUALITY DEGRADATION RATE OF MILK

POWDER - TYPE-X AT VARIOUS TEMPERATURE IN PT FRISIAN FLAG

INDONESIA, JAKARTA

Elisabeth Setyo1 and Endang Prangdimurti1

1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 817 273370, E-mail: elisabethsetyo@yahoo.com

ABSTRACT

One of the processed milk is milk powder. Milk powder contains many components of food and become a good nutrition source for the body but it can damage easily. Its needs to be identified how the quality degradation rate to prevent further deterioration of milk powder during storage. The objective of this research is determination of quality degradation rate of milk powder-type-X at various temperature. The products were kept at 30°C, 40°C, and 55°C for six weeks of storage. Initial analysis has been done to determine critical parameters that increased milk powder damaged. The results show free fat, peroxide value and insolubility index as major damaged of milk powder. Quality degradation rate of milk powder-type-X followed zero order reaction for free fat and insolubility index. Order reaction of peroxide value cannot be determined because the deterioration has not reached 50% of the final quality value. Deterioration of milk powder-type-X is influenced by internal conditions of milk powder, analysis procedures, and intensity of analysis. Based on models accuracy

test with MRD value obtained zero order reaction of peroxide value at 30oC, first order reaction of

peroxide value at 55oC, and zero order reaction of free fat value at 40oC rather describe the quality

degradation rate of milk powder-type-X.

(3)

Elisabeth Setyo. F24070099. Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta. Di Bawah Bimbingan Endang Prangdimurti. 2011.

RINGKASAN

Susu merupakan salah satu sumber gizi yang baik bagi manusia karena mengandung energi, protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, serta air sebagai bahan penyusun utama. Kandungan gizi yang tinggi menyebabkan susu mudah mengalami kerusakan sehingga susu sering diproses menjadi bentuk lain, salah satunya menjadi bentuk bubuk dengan pengeringan. Walaupun dalam bentuk bubuk, namun susu bubuk juga berpotensi untuk mengalami penurunan mutu. Oleh karena itu perlu ditentukan laju penurunan mutu susu bubuk, dalam hal ini susu bubuk tipe-X, dengan menetapkan ordo reaksinya. Dengan menentukan laju penurunan mutunya, kita dapat mengetahui faktor apa yang dapat mempengaruhi penurunan mutu dari susu bubuk dan seberapa cepat laju kerusakannya. Produk susu bubuk memiliki kadar lemak yang tinggi sehingga dapat memicu reaksi oksidasi lemak. Oksidasi akan menurunkan mutu susu bubuk baik secara fisikokimia maupun organoleptik karena akan menghasilkan off flavor yang dapat menurunkan penerimaan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kritisnya pada berbagai suhu penyimpanan.

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu yang pertama analisis awal untuk menentukan parameter yang paling cepat menurunkan mutu susu bubuk tipe-X. Setelah diketahui parameter yang paling mempercepat penurunan mutu susu bubuk kemudian tahapan yang kedua susu disimpan pada tiga suhu 30oC , 40oC, dan 55oC. Selanjutnya, sampel susu bubuk yang disimpan di tiga suhu tersebut akan dianalisis setiap minggunya dengan parameter yang telah ditentukan pada tahap 1 selama enam minggu. Tahapan yang ketiga adalah penentuan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X sesuai ordo reaksinya. Penentuan ordo reaksi bertujuan untuk mengetahui apakah konsentrasi pereaksi mempengaruhi laju penurunan mutu dari susu bubuk.

Berdasarkan hasil analisis tahap satu didapatkan parameter yang paling cepat mempengaruhi penurunan mutu susu bubuk tipe-X adalah parameter bilangan peroksida, kadar lemak bebas, dan indeks non solubilitas. Berdasarkan hasil kurva regresi, ordo reaksi penurunan mutu susu bubuk tipe-X untuk parameter kadar lemak bebas dan indeks non solubilitas mengikuti ordo reaksi nol sedangkan parameter bilangan peroksida tidak dapat ditentukan ordo reaksinya karena penurunan mutunya belum mencapai 50%. Hal ini menunjukkan bahwa laju penurunan mutu berdasarkan parameter kadar lemak bebas dan indeks non solubilitas tidak dipengaruhi oleh konsentrasi dan terjadi secara konstan.

(4)

juga hasil akhir analisis, dan faktor kesalahan saat analisis dimana subyektivitas saat pengukuran mempengaruhi hasil akhir khususnya pada saat analisis indeks non solubilitas.

(5)

PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU PRODUK SUSU

BUBUK TIPE-X PADA BERBAGAI SUHU DI PT FRISIAN FLAG

INDONESIA, JAKARTA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ELISABETH SETYO

F24070099

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta

Nama : Elisabeth Setyo NIM : F24070099

Menyetujui,

Pembimbing I,

(Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.) NIP 19680723 199203 2 001

Mengetahui:

Plt. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi) NIP 19610802 198703 2 002

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Yang membuat pernyataan,

Elisabeth Setyo

(8)

BIODATA PENULIS

Elisabeth Setyo lahir di Yogyakarta, 17 November 1988 dari pasangan Ayah Alm. Stefanus Marsudi dan Ibu Rosalia Sumartini sebagai anak satu-satunya. Penulis menamatkan pendidikan jenjang SD di SDK Santo Markus II Jakarta (2001), jenjang SMP di SMPK Tarakanita Magelang (2004), jenjang SMA di SMAK Pangudi Luhur Van Lith Muntilan (2007), dan jenjang S1 di Institut Pertanian Bogor (2011) dengan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti KeMaKI, Tim Pendamping, dan HIMITEPA sebagai pengurus maupun anggota serta kegiatan kemahasiswaan, antara lain Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (2009-2010), BAUR (2009) dan HACCP (2009). Penulis mengikuti beberapa seminar nasional dan kegiatan PKMK yang didanai oleh Dikti (2011). Penulis pernah memperoleh Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (2008-2009) dan Karya Salemba Empat

(9)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 ini adalah penyimpanan, dengan judul “Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1. Mom (Rosalia Sumartini) tercinta yang selalu menguatkan penulis dengan doa dan cintanya.

Seluruh keluarga (Bu Tiek, Mas Eko, Mba Riris, Mba Nina, Mba Lila, Mba Rita) yang selalu memberikan motivasi pada penulis dan Sangkot VR Situngkir atas doa, semangat, nasehat dan kasih sayangnya.

2. Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat, masukan dan perhatiannya selama studi dan penelitian.

3. Elvira Syamsir, S.TP, M.Si dan Azis B. Sitanggang, S.TP, M.Sc selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan arahan, kritik, dan saran bagi skripsi ini.

4. Pak Yadi Haryadi, Bu Dede R. Adawiyah, Pak Feri Kusnandar dan Pak M. Arpah atas masukannya untuk penelitian ini.

5. Mba Mirza R. Zulkarnain sebagai pembimbing lapang atas kritik dan sarannya.

6. Seluruh staf Divisi Research and Development PT Frisian Flag Indonesia, Mba Victoria Valentina, Mas Erik, Mba Nini, Mba Velia, Mba Astri, Mas Yuli, Mba Scheling, Mas Heri, Mba Reny, Mba Milka, dan Mas Dony.

7. Seluruh staf Quality Control PT Frisian Flag Indonesia, Pak Ahmad, Pak Ramdani, Pak Zulfi, Pak Hendra, Pak Jose, Pak Har, Pak Jafar, Pak Edi, Pak Aen, Pak Detril, Pak Dani, Mas Reza, dan Mas Welby.

8. Karya Salemba Empat yang telah membantu menyokong dana bagi penulis.

9. Trancy Chandra, Marisa, dan Amelinda Angela atas kebersamaan yang indah selama tiga tahun di perwira 45.

10. Rekan seperjuangan di Divisi RnD PT Frisian Flag Indonesia, Indri, Hans, Muly, dan Risa. 11. KeMaKI dan Tim Pendamping IPB, Keluarga Densus’08 tersayang (Sari, Ulin, Eny, Luci,

Brury, Anton, Adian, Anti, Bambang, Manta, Rio, Ella, Chissy, Ayu, Dika), dan Ambrose yang senantiasa ada dalam suka dan suka.

12. Rekan-rekan ITP, terutama ITP 44, Suriah, Riffi, Dela, Chandra, Mike, Eliana, Reggie, Daniel, Melia, Dinda, Marvin, Ony, Siska, Leo, Vita, Dhina, Esti, Adi, Andrew, Bertha, Nipu, Tiara, Mei, Cherish, Nisa, Belinda, Amelia, Septi, Ricen, Nurina, Punjung, (Alm.) Rina dan teman-teman ITP lainnya.

13. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dan staf unit pelayanan terpadu yang luar biasa (Ibu Novi, Mba Anie) serta semua pihak lain yang belum disebutkan yang telah membantu.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan . Terima kasih.

Bogor, Agustus 2011

(10)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN………..1

A. LATAR BELAKANG ...…..………....1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 2

II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN ... 3

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ... 3

B. VISI DAN MISI ... 3

C. LOGO ... 4

D. ORGANISASI DAN PENGELOLAAN ... 4

E. LOKASI PERUSAHAAN ... 5

F. KETENAGAKERJAAN ... 5

III. TINJAUAN PUSTAKA ………..………..……….………...7

A. SUSU BUBUK ……….………...7

B. PENURUNAN MUTU PRODUK PANGAN …...……….….8

C. KINETIKA REAKSI ...………...………...10

1. Ordo Reaksi Nol ……….………...11

2, Ordo Reaksi Satu ……….………..11

IV. METODOLOGI PENELITIAN ………...……….…….13

A. WAKTU DAN TEMPAT ………..…………13

B. BAHAN DAN ALAT ………...…………13

C. METODE PENELITIAN ……...………..………..13

1. Analisis fisikokimia awal ………...13

2. Analisis fisikokimia sesuai parameter kritis ………..………...18

3. Penetapan laju penurunan mutu ..……..………...19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

A. PENENTUAN PARAMETER MUTU KRITIS ...……….………20

B. PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU ………...………21

1. Bilangan peroksida ……….21

2. Kadar lemak bebas ………..………..25

3. Indeks non solubilitas ………....28

(11)

v

V. PENUTUP ... 34

A. SIMPULAN ... 34

B.REKOMENDASI ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(12)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi (%w/w) pada beberapa susu bubuk …………..……… 7

Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu susu bubuk berlemak……….………... 8

Tabel 3. Perbandingan hasil analisis susu bubuk dengan standar ... 20

Tabel 4. Nilai mutu awal produk susu bubuk tipe-X berdasarkan beberapa parameter …… 21

Tabel 5. Nilai proksimat susu bubuk tipe-X………..……….... 21

Tabel 6. Pengukuran larutan standar FeCl3…….……….. 22

Tabel 7. Data pengukuran bilangan peroksida dalam satuan meq/kg sampel ………. 23

Tabel 8. Data pengukuran kadar lemak bebas dalam satuan % ……… 26

Tabel 9. Data pengukuran indeks non solubilitas dalam ml ………. 28

(13)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Logo Frisian Flag Indonesia ………... 4

Gambar 2. Standar scorched particleuntuk susu bubuk……….……… 18

Gambar 3. Alat ukur oksigen ……… 18

Gambar 4. Grafik kurva standar FeCl3………... 22

Gambar 5. Grafik ordo reaksi nol parameter bilangan peroksida ……….. 23

Gambar 6. Grafik ordo reaksi satu parameter bilangan peroksida ………. 24

Gambar 7. Grafik ordo reaksi nol parameter kadar lemak bebas ………... 26

Gambar 8. Grafik ordo reaksi satu parameter kadar lemak bebas ……….. 27

Gambar 9. Grafik ordo reaksi nol parameter indeks non solubilitas………... 29

Gambar 10. Grafik ordo reaksi satu parameter indeks non solubilitas ………. 29

Gambar 11. Kurva perbandingan data hasil percobaan dan hasil perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol pada suhu 30oC……….. 31

Gambar 12. Kurva perbandingan data hasil percobaan dan hasil perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu pada suhu 55oC ……… 32

(14)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Spesifikasi Alat Pengukur Oksigen (Servomex Gas Analyzer) ………….. 38 Lampiran 2. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter bilangan peroksida ordo

reaksi nol ………. 38 Lampiran 3. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan

mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol ……….

39

Lampiran 4. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu ……… 39 Lampiran 5. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan

mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu ………

40

Lampiran 6. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol ………. 40 Lampiran 7. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan

mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol ……….

41

Lampiran 8. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi satu ……… 41 Lampiran 9. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan

mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi satu ………

42

Lampiran 10. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi nol ………. 42 Lampiran 11. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan

mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi nol ……….

43

Lampiran 12. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi satu ……… 43 Lampiran 13. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan

mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi satu ………

(15)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Susu merupakan salah satu sumber gizi yang baik bagi manusia karena mengandung energi, protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, serta air sebagai bahan penyusun utama. Kandungan gizi dan kadar air (87%) yang tinggi menyebabkan susu menjadi media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme dan memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia yang tidak diinginkan sehingga susu mudah mengalami kerusakan. Hal ini tentu sangat merugikan karena selain kaya akan kandungan gizi, susu juga banyak dimanfaatkan di industri pangan sebagai bahan baku maupun bahan tambahan. Pengolahan susu segar cair menjadi bubuk akan memberikan banyak keuntungan, yaitu meningkatkan total padatan pada susu, umur simpan, dan menurunkan biaya transportasi karena bobotnya yang ringan.

Menurut data USDA (2010), konsumsi susu bubuk Indonesia meningkat 6.000 ton dari 106.000 ton menjadi 112.000 ton selama tahun 2009-2010. Data itu menunjukkan penerimaan masyarakat Indonesia akan susu bubuk cukup tinggi. Selain untuk dikonsumsi, susu bubuk juga banyak dimanfaatkan di industri pangan seperti industri bakery,permen, dan saus. Hal ini karena susu bubuk merupakan sumber nutrisi ekonomis bagi industri yang membutuhkan komponen gizi dari susu seperti lemak susu, mudah dalam transportasi dan penyimpanan, dan mudah direkonstitusi. Indonesia adalah negara beriklim tropis sehingga susu yang kaya nutrisi sangat rentan terhadap serangan mikroorganisme yang mempercepat kerusakannya. Oleh karena itu masyarakat lebih memilih susu dalam bentuk bubuk yang mana memiliki kadar air rendah serta lebih tahan lama sehingga dapat disimpan untuk jangka waktu lebih lama. Di negara yang produksi susunya terbatas seperti Indonesia, susu yang banyak beredar adalah susu rekombinasi. Susu rekombinasi adalah produk susu hasil pencampuran lemak susu dan padatan susu tanpa lemak dengan atau tanpa penambahan air. Pencampuran ini akan menghasilkan susu dengan komposisi lemak tertentu (Walstra 1982).

Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993), mekanisme penurunan mutu untuk produk susu bubuk adalah akibat penyerapan uap air dan oksidasi. Untuk produk susu bubuk dengan kadar lemak yang tinggi, kedua faktor tersebut menjadi sangat penting. Untuk itu peran kemasan sangatlah penting dalam melindungi produk susu bubuk. Kemasan dengan permeabilitas uap air yang rendah dapat menekan pengaruh kadar air dalam penurunan mutu susu bubuk sehingga faktor kritis yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah oksidasi. Oksidasi akan menurunkan mutu susu bubuk baik secara fisikokimia maupun organoleptik karena akan menghasilkan aroma tengik yang dapat menurunkan penerimaan konsumen.

(16)

2 mengetahui faktor apa yang dapat mempengaruhi penurunan mutu dari susu bubuk dan seberapa cepat laju kerusakannya.

B.

TUJUAN PENELITIAN

(17)

II.

TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN

A.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN

PT Frisian Flag Indonesia (FFI) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan susu di Indonesia yang berada di bawah lisensi Royal FrieslandCampina, Belanda. Dengan perjalanan sejarah lebih dari 88 tahun di Indonesia, PT Frisian Flag Indonesia adalah pemimpin pasar di industri susu Indonesia yang berkomitmen untuk memproduksi produk susu berkualitas terbaik dan bernutrisi tinggi dan memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen dan mitra usahanya. Semua ini dimulai di tahun 1922 dengan merk susu ”Friesche Vlag” atau yang lebih dikenal sebagai Susu Bendera diimpor dari Cooperative Condensfabriek Friesland di Belanda, yang kemudian berubah nama menjadi Royal Friesland Foods.

Salah satu pengembangan Royal Friesland Foods adalah didirikannya PT Friesche Vlag Indonesia pada tahun 1969. Perusahaan ini berdiri dengan status penanaman modal asing dari Belanda dan memulai kegiatan usahanya dengan memasarkan produk-produk susu yang diimpor dari sana. Setelah sekian tahun mengimpor susu, pada tahun 1972 PT FVI memulai produksi lokalnya dengan produk komersial pertama berupa susu kental manis (SKM).

PT Frisian Flag Indonesia menjalin kerja sama sinergi internasional dengan Royal Friesland Coberco Dairy Foods yang sekarang dikenal dengan nama Friesland Foods. Saham perusahaan ini dimiliki oleh PT Mantrust sebagai pihak nasional dan Friesland Foods dari Leeuwarden, Belanda. Untuk lebih meningkatkan kapasitas produksinya maka pada tahun 1976 perusahaan ini mengambil alih PT Foremost Indonesia yang juga merupakan produsen susu kental manis. Dalam perkembangannya, perusahaan ini mulai memproduksi susu bubuk pada tahun 1979, dan di bidang susu cair pada tahun 1991. PT FVI kemudian berubah nama menjadi PT Frisian Flag Indonesia (FFI) pada tahun 2002. Pada tahun 2008, perusahaan ini melakukan merger dengan perusahaan Campina dan membentuk organisasi kooperatif dengan nama Royal FrieslandCampina.

PT FFI merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang mendapatkan sertifikat ISO 9001/9002 dan disempurnakan dengan ISO 14001. Proses produksi susu di PT FFI menggunakan teknologi mutakhir dan praktek sterilisasi terbaik dari awal hingga akhir untuk menghindari kontaminasi dalam proses produksinya sehingga menerima GMP Award (Good Manufacturing Practices). Perusahaan ini juga memperoleh OHSAS (Occupational Health & Safety Advisory

Services) serta menerapkan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk menjamin

bahwa produk yang dihasilkan memiliki mutu dan kemasan yang terjamin.

B.

VISI DAN MISI

Sebagai bentuk dari komitmen perusahaan, FFI memiliki visi untuk menjadi pemimpin dalam bidang industri berbahan dasar susu di Indonesia, menjadi perusahaan untuk mengembangkan karyawan yang berbakat, serta mencapai hasil yang bersih dan memuaskan serta dapat dipertahankan bagi para pemegang saham.

(18)

4 posisi merk yang lebih disukai oleh masyarakat seluruh Indonesia, dan memiliki karyawan yang berpotensi dan berdedikasi di semua bidang, serta memiliki succession planning yang dapat memastikan perusahaan dapat terus berkembang, serta memiliki perencanaan yang baik di segala tingkat untuk memastikan agar perusahaan dapat terus berkembang.

C.

LOGO

Pada tanggal 10 Desember 2010, Frisian Flag Indonesia memperkenalkan identitas brand terbaru (Gambar 1), melestarikan karakter Frisian Flag: bendera dan warna biru cerah. Logo baru ini dikelilingi oleh cincin untuk memvisualisasikan radiasi energi Frisian Flag. Logo ini menggambarkan sinar matahari, sumber inspirasi dan vitalitas. Logo ini juga melambangkan segelas susu bergizi, siap untuk diminum. Logo baru dilengkapi dengan tag line: Raih Esokmu. Perubahan logo dan tag line melambangkan komitmen Frisian Flag untuk merespon konsumen dan mencerminkan perubahan yang sesuai dengan hari ini, dinamis dan modern. Logo baru ini juga memiliki irama yang sama dengan keluarga FrieslandCampina lainnya di regional, seperti merek Dutch Lady (di Malaysia & Vietnam) maupun merk Foremost di Thailand

Gambar 1. Logo Frisian Flag

D.

ORGANISASI DAN PENGELOLAAN

Struktur organisasi yang baik sangat berperan penting dalam menunjang suatu kegiatan perusahaan yang lancar dan sistematis. Untuk mencapai hal tersebut, maka PT Frisian Flag pun membentuk suatu struktur organisasi dengan bagian dan pertanggungjawaban yang jelas, serta evaluasi yang dilakukan terus- menerus yang mengarah pada pengembangan yang lebih baik. Perusahaan ini dipimpin oleh seorang Direktur Utama (President Director) yang membawahi lima Direktur lainnya, yaitu Direktur Pemasaran (Consumer Marketing Director), Direktur Administrasi dan Keuangan (Financial Director), Direktur Personalia dan Umum (Human

Resource Development and General Affair Director), Direktur Penjualan (Trade Marketing

Director), serta Direktur Operasi (Operation Director). Seluruh kegiatan produksi yang berjalan

di perusahaan ini berada di bawah tanggung jawab Direktur Operasi, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Manajer Pabrik (Plant Manager) untuk masing-masing Pabrik (Pasar Rebo & Ciracas). Selain Manajer Pabrik, Direktur Operasi juga membawahi beberapa departemen yang masing-masing mempunyai tugas berbeda. Tiap departemen memiliki Kepala Department yang bertanggung jawab dalam departemennya masing-masing, yaitu Corporate

QASHE Manager yang membawahi QA (Quality Assurance) & SHE (Safety Health

(19)

5 Penelitian dan Pengembangan (Corporate Research and Development Manager), dan Supply

Chain Manager.

Dalam menjalankan tugasnya, Plant Manager dibantu oleh beberapa kepala bagian

(head of department) yang bertanggung jawab atas departemennya masing-masing, antara lain

bagian Pengolahan (Processing) & bagian Pengemasan (Packaging). Di Plant Pasar Rebo, terdapat bagian pengolahan Susu Kental Manis (SKM) & pengemasannya (dalam kemasan

sachet & pouch) serta pengolahan susu bubuk & pengemasannya (dalam pouch & duplex).

Sedangkan di Plant Ciracas, terdapat bagian pengolahan SKM & pengemasannya (dalam kaleng) & pengolahan susu cair serta pengemasannya (dalam bentuk kemasan UHT maupun botol steril). Selain itu, Plant Manager juga dibantu oleh Departemen Teknik (Engineering Department). Masing-masing kepala bagian dibantu oleh seorang administrator, shift supervisor, shift

foreman, dan shift operator kecuali untuk Departemen Gudang dan Teknik. Pada kedua

departemen ini supervisor tidak terbagi ke dalam shift.

Untuk menjaga kenyamanan dan kelancaran produksi, PT Frisian Flag Indonesia menyediakan fasilitas berupa pengadaan air dan listrik untuk pabrik. Air yang digunakan merupakan air tanah yang berasal dari sumur dalam dengan kedalaman kurang lebih 180 m, dengan jumlah kurang lebih 3 sumur di sekitar pabrik. Adapun air ini digunakan untuk keperluan produksi, proses pencucian peralatan, dan lain sebagainya. Sementara itu, pengadaan listrik diperoleh dari PLN dengan daya 1500 kVA, 380 V, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik kantor, laboratorium, dan kantin. Fasilitas lain berupa pabrik didayakan dengan 4 unit generator dengan daya masing-masing 512 kVA, 50 0V, dan 2 unit generator dengan daya masing-masing 468 kVA, 400 V. Selain kedua fasilitas produksi tersebut, perusahaan ini juga memiliki pengadaan uap dari ketel uap (boiler) yang merupakan bagian dari unit pabrik. Adapun uap ini digunakan untuk kepentingan produksi. Total ketel uap yang dimiliki ada tiga buah, ketel pertama memiliki kapasitas 2,5 ton/jam dengan tekanan maksimum 12 kg/cm2, ketel kedua memiliki kapasitas 7 ton/jam dengan tekanan maksimum 27,5 kg/cm2, sedangkan ketel terakhir memiliki kapasitas 12 ton/jam dengan tekanan maksimum 29,5 kg/cm2.

E.

LOKASI PERUSAHAAN

PT Frisian Flag Indonesia pusat berlokasi di Jalan Raya Bogor Km 5, Kelurahan Gedong, Cijantung, Jakarta Timur. Secara keseluruhan perusahaan ini memiliki dua pabrik yang beroperasi. Pabrik yang pertama terletak di perusahaan pusat (di Pasar Rebo) yang dipusatkan untuk produksi susu bubuk dan susu kental manis sachet dan pouch (dikenal dengan nama Plant

Pasar Rebo). Pabrik kedua terletak di Jalan Raya Bogor Km 26, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Plant Ciracas. Pada pabrik ini diproduksi susu kental manis kalengan dan susu cair. Pemilihan kedua lokasi tersebut dianggap strategis karena memudahkan pengadaan tenaga kerja, pemasokan bahan baku, transportasi distribusi, serta sarana komunikasi mudah diakses serta dekat dengan daerah pemasaran yang potensial.

F.

KETENAGAKERJAAN

(20)

6 Sebelum seseorang diterima sebagai karyawan tetap, terlebih dahulu harus menjalani masa percobaan selama 3 bulan.

Jumlah jam kerja bagi seluruh karyawan adalah 40 jam kerja setiap minggunya (5 hari kerja, 1 hari = 8 jam). Untuk pekerja kantoran, shift kerja dimulai dari pukul 08.00 sampai 16.30 WIB, sedangkan untuk karyawan pabrik shift kerja diatur dalam 3 shift: shift pertama dimulai dari pukul 07.00 sampai 15.00 WIB, shift kedua dari pukul 15.00 sampai 23.00 WIB, sedangkan

shift terakhir dimulai dari pukul 23.00 sampai 07.00 WIB. Bila karyawan bekerja melebihi 40

jam kerja tersebut, maka karyawan akan diberi upah lembur sesuai dengan ketentuan perusahaan. Setiap hari kantin perusahaan menyediakan makan pagi, siang, sore, dan malam untuk karyawannya. Selain itu, setiap bulan perusahaan juga memberikan jatah susu hasil produksinya kepada karyawannya sesuai dengan ketentuan perusahaan.

Perusahaan menyediakan makan pagi, siang, sore, dan malam hari di kantin bagi karyawan yang hadir bekerja. Karyawan yang bekerja pada shift ke-3 atau berpuasa di bulan Ramadhan akan mendapat uang makan sesuai ketentuan perusahaan.

Gaji karyawan diberikan berdasarkan golongan yang akan ditetapkan oleh PT Frisian Flag dan diberikan tiap bulan. Sekali dalam setahun, perusahaan akan mengadakan penilaian bagi karyawan-karyawannya untuk kenaikan gaji. Penilaian tersebut didasari oleh prestasi, masa kerja, dan kecakapan karyawan tersebut dalam bekerja. Selain penilaian tersebut, kenaikan gaji juga mungkin akan diberikan apabila job value di pasar meningkat atau terjadi kenaikan angka indeks konsumen yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk perusahaan itu.

Agar jabatannya bisa naik, karyawan tersebut haruslah jujur, baik, terampil, dan loyal terhadap perusahaan. Jabatan yang tinggi biasanya mengutamakan seseorang dengan sifat kepemimpinan yang baik. Bila ada kedudukan yang kosong, perusahaan akan mempertimbangkan dulu karyawan-karyawan lama yang memenuhi persyaratan sebelum menerima atau menempatkan orang baru.

Karyawan yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi, dapat berupa peringatan tertulis maupun tidak tertulis. Peringatan tersebut memiliki tiga tingkatan berdasarkan bobot kesalahan yang diperbuat. Semua karyawan berhak mendapatkan cuti tahunan selama 12 hari kerja per tahun, dengan tetap menerima upah penuh setelah bekerja selama 12 bulan terus-menerus. Cuti tidak dapat dikumpulkan dan hanya dapat digunakan selama tahun tersebut. Karyawan wanita yang hamil berhak mendapatkan cuti hamil selama 3 bulan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

(21)

III.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

SUSU BUBUK

Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%) dan padatan susu tanpa lemak (9%) yang mengandung mineral (0.7%), laktosa (4.9%) dan protein (3.4%). Susu segar cair sering diproses menjadi bubuk untuk menghasilkan produk susu yang stabil dengan kandungan solid tinggi. Selain dikonsumsi dengan cara direkonstusi menjadi susu cair, susu bubuk juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri pengolahan pangan contohnya untuk pembuatan produk bakery. Susu bubuk digunakan untuk meningkatkan nilai gizi dan sifat fungsionalnya seperti penerimaan sensori dan tekstur. Susu bubuk sering diaplikasikan sebagai bahan baku maupun bahan tambahan pada industri pangan. Hal ini karena komponen dalam susu bubuk dapat mudah berinteraksi dengan komponen lain ketika diformulasikan dan diproses menjadi suatu produk pangan (Augustin dan Clarke 2008). Adapun komposisi yang terdapat pada susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi (%w/w) pada beberapa susu bubuk (Chandan 1997)

Komponen (%)

Kadar air 3.0

Kadar lemak 27.5

Kadar protein 26.4

Kadar laktosa 37.2

Kadar mineral 5.9

Kandungan air yang tinggi pada susu segar menyebabkan perlu dilakukan pemekatan terlebih dahulu untuk menghasilkan susu dengan kadar air yang lebih rendah. Proses pemekatan awal ini melibatkan evaporasi sehingga terjadi perubahan kadar air menjadi 50% diikuti dengan pengeringan semprot sehingga dihasilkan susu bubuk dengan kadar air rendah, sekitar 3% (Widodo 2003). Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk susu bubuk ditunjukkan pada Tabel 2. Susu bubuk dibuat dengan menurunkan kadar airnya melalui proses pengeringan. Metode pengeringan yang dilakukan dapat dilakukan dengan cara pengeringan drum (drum

drying) atau dengan pengeringan semprot (spray drying). Pengeringan semprot merupakan proses

proses pengeringan yang umum digunakan di industri susu bubuk dimana terjadi atomisasi susu evaporasi dengan menggunakan udara panas (180-220oC). Pengeringan susu dengan pengering semprot akan menghasilkan susu bubuk dengan kelarutan, flavor dan warna yang baik (Walstra et al. 1999). Pada pengeringan drum, susu evaporasi dikontakkan langsung dengan permukaan drum yang panas hingga menjadi kering. Proses ini akan menghasilkan mutu yang kurang baik karena akan memicu karamelisasi laktosa, reaksi Maillard, dan denaturasi protein pada susu bubuk yang dihasilkan (Walstra et al. 1999). Reaksi-reaksi yang terjadi akan meningkatkan partikel hangus dan menurunkan kelarutan dari susu bubuk sehingga proses pengeringan drum ini jarang digunakan di industri susu bubuk (Watson Dairy Consulting 2011).

(22)

8 flavor. Susu bubuk berasal baik dari susu segar dengan atau tanpa rekombinasi dengan zat lain seperti lemak atau protein yang kemudian dikeringkan.

Fennema (1985) memaparkan adanya hubungan yang erat antara kadar air dalam bahan pangan dengan umur simpannya. Pengurangan kadar air dengan pengeringan membantu memperpanjang umur simpan bahan pangan dengan cara mengurangi kerusakan mikrobiologis maupun kerusakan kimiawi. Umur simpan susu bubuk maksimal adalah dua tahun dengan penanganan yang baik dan benar. Susu bubuk dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu susu bubuk berlemak (full cream milk powder), susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder), dan susu bubuk tanpa lemak (skim milk powder).

Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu susu bubuk berlemak

No Jenis Satuan Persyaratan 1 Keadaan

Bau Rasa - - Normal Normal

2 Air b/b, % Maks. 4.0

3 Abu b/b, % Maks. 6.0

4 Lemak % Min. 26.0

5 Protein % Min. 25.0

6 Pati % Tidak terdapat

7 Cemaran Logam Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 20.0 Maks. 0.3 Maks. 40.0 Maks. 40.0/250.0* Maks. 0.03

8 Arsen mg/kg Maks. 0.1

9 Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri Coliform E. coli Salmonella S. aureus koloni/g APM koloni/g koloni/100g koloni/g

Maks. 5x105 Maks. 20 Negatif Negatif 1x102 *untuk kemasan kaleng

Sumber : SNI 01-2970-1999

B.

PENURUNAN MUTU PRODUK PANGAN

Stabilitas produk pangan dihubungkan dengan mudah tidaknya produk mengalami perubahan. Produk pangan mengalami penurunan mutu apabila terjadi perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis, maupun organoleptik yang berpotensi menurunkan mutu dan penerimaan konsumen. Tingkat penurunan mutu dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan kecepatan penurunan mutu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan, seperti suhu, intensitas cahaya, konsentrasi O2 dan CO2, kelembaban relatif, dan tekanan (Arpah

(23)

9 distribusi. Pada selang penyimpanan dengan suhu tertentu, satu atau lebih atribut mutu akan mencapai kondisi yang tidak diinginkan dimana penurunan mutu produk pangan tersebut dapat menyebabkan penolakan konsumen atau bahkan berbahaya bagi orang yang mengonsumsinya (Man 2000). Hasil dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid 1993). Perubahan fisik, kimia dan mikrobiologi merupakan faktor utama yang menyebabkan penuruanan mutu pada produk pangan (Man 2000).

Dalam Man (2000), penurunan mutu fisik pada produk pangan dapat disebabkan oleh kesalahan penanganan pada saat panen, proses, dan distribusi. Produk pangan kering akan meningkat kadar airnya dan menjadi lembab jika disimpan pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, produk snack kering yang hancur selama distribusi akan menurun kualitasnya, dan memar pada buah selama pemanenan akan mempercepat kebusukannya. Umumnya, perubahan fisik pada produk pangan akan mempengaruhi kualitas dari pangan tersebut.

Selama proses dan penyimpanan, perubahan kimia dapat terjadi pada produk pangan yang disebabkan faktor lingkungan dan faktor dari dalam pangan itu sendiri. Perubahan kimia yang paling sering terjadi pada produk pangan adalah reaksi enzimatik, reaksi oksidasi dan reaksi pencoklatan non enzimatik (Man 2000). Reaksi enzimatik akan berlangsung dengan cepat pada suhu yang sesuai, umumnya pada suhu ruang. Selain dipengaruhhi oleh suhu, enzim juga dapat dipicu oleh faktor-faktor lingkungan seperti oksigen, air, dan pH. Keberadaan asam lemak tidak jenuh pada produk pangan juga memicu reaksi oksidasi lemak yang dapat menyebabkan ketengikan selama penyimpanan. Laju oksidasi lemak dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti ketersediaan oksigen, suhu, dan cahaya. Reaksi pencoklatan non enzimatik atau reaksi Maillard menjadi penyebab penurunan gizi dan kualitas pada sejumlah produk pangan. Reaksi Maillard terjadi sebagai akibat interaksi antara gula pereduksi dan asam-asam amino (Man 2000).

Penurunan mutu pangan dengan kadar lemak tinggi oleh oksigen telah menjadi masalah utama dalam penyimpanan produk pangan (Arpah 2001). Lemak yang bereaksi dengan oksigen akan membentuk produk primer dan sekunder. Produk primer oksidasi lemak adalah hidroperoksida sedangkan produk sekundernya antara lain aldehida, asam keton, dan asam hidroksi. Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat memicu terjadinya reaksi peroksidasi lemak yaitu autooksidasi oleh radikal bebas, fotooksidasi, dan reaksi yang melibatkan enzim (Raharjo 2006). Autooksidasi merupakan proses rantai-radikal yang melibatkan tiga tahapan yaitu inisiasi, propogasi dan terminasi dengan serangan dari spesies oksigen reaktif. Reaksi oksidasi lemak berlangsung secara spontan oleh adanya radikal bebas, dimana radikal bebas yang dimaksud adalah oksigen yang dengan semakin lama waktu penyimpanan dan meningkatnya suhu akan menjadi senyawa yang reaktif.

Dalam Arpah (2001), autooksidasi merupakan rangkaian reaksi radikal yang terbagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah inisiasi dimana senyawa lemak yang tidak (atau belum) mengandung radikal peroksida mengalami serangan senyawaan oksigen reaktif pada ikatan karbon tidak jenuh sehingga oksigen dengan mudah melepaskan satu atom hidrogen membentuk radikal. Radikal rantai karbon yang terbentuk cenderung melakukan stabilisasi dengan membentuk diena terkonjugasi. Diena terkonjugasi kemudian bergabung dengan oksigen membentuk radikal peroksil (ROO*). Tahap yang kedua yaitu propagasi merupakan tahap

(24)

10 hidroperoksida. Tahap yang ketiga yaitu tahap terminasi berlangsung jika terdapat dua radikal yang berinteraksi sehingga membentuk senyawa yang relatif stabil.

Untuk menetapkan pengaruh mikroorganisme terhadap penurunan mutu suatu produk pangan, perlu diketahui laju pertumbuhan mikroorganisme pada berbagai kondisi lingkungan. Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme akan meningkat jika tersedia kondisi lingkungan yang tepat seperti suhu, ketersediaan air dan nutrisi, pH, dan ketersediaan O2 atau CO2 (Man 2000).

Perubahan mutu produk pangan selama penyimpanan dapat dipicu oleh berbagai faktor, dimana salah satu yang paling sering mempercepat penurunan mutunya adalah suhu. Kenaikan suhu penyimpanan akan meningkatkan penurunan mutu produk pangan (Man 2000). Fluktuasi suhu juga akan meningkatkan potensi penurunan mutu produk pangan. Oleh karena itu, sering digunakan suatu model matematika untuk memprediksi penurunan mutu produk pangan sebagai fungsi dari suhu penyimpanan yang bervariasi (Labuza 1982).

C.

KINETIKA REAKSI

Dalam produk pangan, dimana sulit untuk menentukan keseluruhan mekanisme reaksi yang menyebabkan perubahan mutu dalam komponen pangan. Oleh karena itu perlu suatu pendekatan matematika untuk memperkirakan reaksi yang terjadi dalam bahan pangan dimana faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban dianggap konstan. Penurunan atau degradasi mutu dalam hal ini dipandang sebagai suatu reaksi kimia yang dapat dikuantifikasikan mengikuti kinetika reaksi. Kinetika kimia menunjukkan kecepatan dan mekanisme perubahan kimia suatu atribut mutu terhadap waktu pada suhu tertentu. Kecepatan reaksi kimiawi ditentukan oleh massa produk yang dihasilkan atau reaktan yang digunakan setiap unit waktu (Man 2000).

Menurut Labuza (1982), permodelan perubahan mutu berdasarkan sifat kimia dapat didekati dengan dua cara, yaitu pendekatan mekanis dan pendekatan semi empiris. Pendekatan mekanis adalah pendekatan yang ditekankan kepada mekanisme reaksi, tahap-tahap reaksi serta pengaruh berbagai komponen terhadap reaksi sedangkan pada pendekatan semi empiris mekanisme reaksi yang sesungguhnya maupun tahap-tahapnya tidak menjadi fokus perhatian namun yang ingin diketahui adalah laju reaksi yang berlangsung atau kinetika reaksi. Laju reaksi merupakan penambahan konsentrasi produk atau pengurangan konsentrasi reaktan per satuan waktu. Laju reaksi dapat ditentukan dari konsentrasi reaktan maupun konsentrasi produk suatu reaksi. Secara matematis laju reaksi dinyatakan sebagai :

n

A k dt dA

] [  

dimana:

dA/dt = laju perubahan konsentrasi A pada waktu tertentu k = konstanta laju reaksi

[A] = konsentrasi pereaksi n = ordo reaksi

(25)

11 Konstanta laju reaksi bersifat konstan terhadap konsentrasi pereaksi namun akan berubah jika terjadi perubahan kondisi lingkungan seperti suhu. Lebih lanjut, Labuza (1983) menyatakan sebagian besar reaksi deteriorasi pada produk pangan termasuk reaksi kinetika ordo nol dan ordo satu.

1.

Ordo Reaksi Nol

Tipe kerusakan yang tergolong dalam reaksi ordo nol menurut Labuza (1982) diantaranya degradasi enzim, pencoklatan non enzimatis dan oksidasi lemak pada bahan pangan. Pada reaksi ordo nol dimana n = 0, laju reaksi tidak tergantung pada konsentrasi pereaksi dan bersifat konstan pada suhu tetap. Jadi laju reaksi ordo nol hanya tergantung pada konstanta laju reaksi yang dinyatakan sebagai k , dimana dinyatakan dalam persamaan:

2.

Ordo Reaksi Satu

Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam reaksi ordo satu diantaranya ketengikan pada lemak atau minyak, pertumbuhan mikroorganisme, off flavor oleh mikroba, kerusakan vitamin, dan kehilangan mutu protein (Labuza, 1982). Laju reaksi menurut ordo satu dimana n = 1, dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi dimana laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi. Hal ini berarti peningkatan konsentrasi akan meningkatkan pula laju reaksi. Laju reaksi ordo satu berdasarkan penurunan konsentrasi pereaksi A terhadap waktu, maka

(26)

12

(27)

IV.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilakukan di divisi Research and Development PT Frisian Flag Indonesia, yang beralamat di Jalan Raya Bogor Km 5, Kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur selama empat bulan dari 1 Februari 2011 hingga 31 Mei 2011.

B.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan adalah susu bubuk yang diproduksi PT Frisian Flag Indonesia. Bahan untuk analisis kadar lemak bebas adalah petroleum benzene, dan etanol. Bahan untuk analisis bilangan peroksida adalah larutan 1-chlorobutane-methanol, larutan iron (II)

chloride, larutan ammonium thiocyanate, HCl 10 mol/L, dan aquades. Bahan untuk analisis

indeks non solubilitas adalah aquades.

Alat yang digunakan adalah inkubator suhu 30oC, 40oC dan 55oC, neraca analitik, sudip. Alat yang digunakan untuk analisis kadar lemak bebas adalah cawan aluminium, oven 105oC, gegep, corong, dan kertas saring. Alat yang digunakan untuk analisis bilangan peroksida adalah labu takar, pipet mikro, pipet mohr, erlenmeyer, erlenmeyer asah bertutup, air cooler, heater 55oC, spektofotometer, kuvet,bulb, gelas ukur, dan kertas saring. Alat untuk analisis indeks non solubilitas adalah homogenizer, gelas piala, sentrifuse, tabung sentrifuse berskala, pipet tetes dan gelas ukur.

C.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap I adalah analisis fisikokimia untuk menentukan parameter mutu kritis susu bubuk, tahap II adalah analisis sesuai parameter yang sudah ditetapkan pada tahap I, dan tahap III adalah penentuan laju reaksi penurunan mutu susu bubuk.

1.

Analisis fisikokimia awal

Analisis awal dilakukan untuk memastikan bahwa mutu susu bubuk secara fisik dan kimia sesuai dengan spesifikasi produk. Dalam penelitian ini, analisis awal dilakukan untuk mengetahui parameter yang paling cepat berubah yang kemudian akan ditetapkan sebagai parameter mutu kritis awal. Parameter kerusakan ditunjukkan oleh hasil analisis terhadap susu bubuk yang melebihi standar atau merupakan parameter yang menjadi tolak ukur penerimaan konsumen. Analisis yang dilakukan, yaitu:

a.

Analisis Kimia

1)

Kadar air (AOAC, 1995)

(28)

14 Sebanyak 2-3 gram sampel dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan berisi sampel tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi contoh yang telah kering dipindahkan ke desikator, didinginkan selama 15 menit dan ditimbang bobot akhirnya. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan bobot, yaitu selisih bobot awal dan bobot akhir.

Kadar air (g/100 g bahan basah) =

Kadar air (g/100 g bahan kering) =

dimana :

W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kering (g) W2 = bobot cawan kosong (g)

2)

Kadar lemak (AOAC, 2006)

Metode yang digunakan pada penetapan kadar lemak adalah metode Mojonnier dengan prinsip gravimetri dan alat Mojonnier Tester. Sampel susu ditimbang sebanyak satu gram dan dimasukkan ke tabung Mojonnier kemudian dilarutkan dengan 9 sembilan ml akuades panas lalu ditambahkan 2 ml amonia 20% dan 10 ml etanol yang dicampur dengan indikator Brom Cresol Purple

(BCP) kemudian diekstrak dengan 20 ml dietil eter dan 25 ml petroleum benzene, lalu disentrifugasi selama dua menit dengan kecepatan 1000 rpm. Setiap penambahan pereaksi, tabung Mojonnier disumbat lalu dikocok dengan

shaker. Proses sentrifugasi akan menghasilkan dua lapisan yaitu lapisan atas dan

lapisan bawah. Lapisan bawah akan diekstrak dua kali lagi untuk memperbesar ketelitian. Tahapan ekstraksi kedua dan ketiga sama seperti ekstraksi pertama hanya berbeda pada penambahan pereaksi, dimana pada ekstrasi kedua, lapisan bawah hasil ekstraksi pertama ditambahkan 5 ml etanol 96% dan 20 ml dietil eter serta 20 ml petroleum benzene sedangkan pada ekstraksi ketiga ditambahkan 10 ml dietil eter dan 10 ml petroleum benzene. Supernatan dari setiap hasil ekstraksi dimasukkan ke cawan aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya dan dipanaskan di atas hotplate hingga diperoleh bobot konstan. Berat residu dinyatakan sebagai berat lemak dalam contoh.

% Lemak = 100%

sampel bobot

kosong cawan bobot -lemak) cawan

(bobot

x

3)

Kadar protein (AOAC, 1990)

(29)

15 analisis dengan faktor konversi (6.38). Nilai faktor konversi 6.38 berdasarkan pada protein murni yang mengandung 15.67% nitrogen pada produk susu (Winarno, 2008). Prinsip metode ini adalah destruksi, destilasi dan titrasi. Dekomposisi senyawa nitrogen organik melalui tahap destruksi dengan asam sulfat pekat dan katalis membentuk ammonium sulfat, kemudian didestilasi dengan natrium hidroksida membentuk gas ammonia yang bereaksi dengan asam borat. Banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui melalui tahap titrasi menggunakan larutan asam klorida dengan indikator Conway (Brom Cresol Green : Metil Merah 1:1). Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya warna merah muda.

Sebanyak 0.6 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung pedal dan diletakkan pada digestion block, kemudian ditambahkan 2 butir tablet kjeldahl (mengandung K2SO4 dan CuSO4) dan 20 ml asam sulfat pekat, larutan dikocok

hingga larut dan didiamkan selama 5 menit. Scrubber cup dipasangkan pada

digestion block dan digestion block diletakkan pada FOSS Digestor, kemudian

sampel didestruksi selama 3 jam (1 jam pada suhu 200oC dan 2 jam pada suhu 400oC). Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades. Tahap selanjutnya yaitu destilasi dilakukan dengan penambahan natrion hidroksida 40%. Gas ammonia yang dihasilkan ditampung dengan menggunakan larutan asam borat 3%. Sampel dititrasi menggunakan HCl 0.1 N dan hasil titrasi ditampilkan di layar. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama tanpa menggunakan sampel. Adapun perhitungan kadar protein:

% protein= 100%

sampel mg

FK x BM x HCl N x blanko) -(sampel HCl Vol

x

FK = Faktor konversi (untuk produk susu bubuk = 6.38)

4)

Kadar lemak bebas (ISO, 2008)

Analisis kadar lemak bebas dilakukan dengan metode gravimetri. Sebanyak 2-3 gram sampel susu bubuk ditimbang dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 100 ml petroleum benzene sambil dikocok agar terekstrak. Kemudian larutan disaring dan ke dalam erlenmeyer ditambahkan lagi 20 ml

petroleum benzene untuk membilas kemudian disaring ke dalam cawan

aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan berisi sampel dipanaskan hingga seluruh petroleum benzene habis menguap. Cawan yang telah didinginkan pada desikator selama 15 menit kemudian ditimbang bobotnya. Kadar lemak bebas dihitung berdasarkan selisih bobot awal dan akhir cawan.

Kadar lemak bebas (%) = dimana:

(30)

16

5)

Keasaman (IDF, 1988)

Analisis keasaman dilakukan dengan pengukuran pH. Sampel susu bubuk sebanyak 10 gram dilarutkan dengan 100 ml aquades sehingga konsentrasinya 10% kemudian diukur keasamannya menggunakan pH-meter.

6)

Bilangan peroksida (IDF, 1991)

Analisis dilakukan menggunakan metode spektrofotometri. Pengukuran bilangan peroksida diawali dengan pembuatan kurva standar FeCl3. Larutan

induk diencerkan hingga konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 μg/ml. Masing – masing ditambahkan larutan ammonium thiocyanate dengan perbandingan 1:1. Campuran larutan dipanaskan pada suhu 55oC selama 5 menit dan didinginkan pada desikator selama 8 menit untuk kemudian diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 510nm. Hasil pengukuran dibuat persamaan garisnya.

Untuk pengukuran sampel, sebanyak 1.25 gram sampel ditimbang ke dalam erlenmeyer asah kemudian ditambahkan 25 ml larutan 1-

chlorobutane-methanol dan diaduk selama satu menit. Sampel dipanaskan pada suhu 55oC

selama lima menit kemudian didinginkan pada desikator selama 10 menit dan disaring dengan kertas saring ke dalam erlenmeyer sehingga diperoleh ekstrak sampel. Sebanyak 3 ml ekstrak sampel dipipet ke dalam erlenmeyer yang lain dan 3 ml larutan 1-chlorobutane-methanol ke dalam erlenmeyer lainnya sebagai blanko. Tujuh ml larutan 1-chlorobutane-methanol ditambahkan ke dalam sampel dan blanko. Sebanyak 0.1 ml campuran larutan iron (II) chloride

ammonium thiocyanate dipipet ke dalam sampel dan blanko. Sampel dan blanko

dipanaskan pada suhu 50oC selama dua menit dan didinginkan pada desikator selama 8 menit kemudian diukur nilai peroksidanya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. Hasil pengukuran diplotkan ke kurva standar FeCl3 untuk menghitung bilangan peroksidanya.

b.

Analisis Fisika

1)

Sieve test

(IDF, 1988)

(31)

17

2)

Densitas kamba (IDF, 1988)

Analisis densitas kamba dilakukan untuk mengetahui ruang dalam kemasan yang dibutuhkan oleh produk dengan berat tertentu. Tabung silinder kosong dipasangkan pada alat tapping dan ditimbang bobot kosongnya kemudian diisikan sampel susu bubuk sebanyak 100 gram ke dalam tabung. Tapping

dilakukan sesuai dengan jenis susu bubuk yang akan diukur yaitu antara 100 – 1250 ketukan. Setelah tapping, tabung silinder ditimbang kembali bobot akhirnya dan nilai densitas kamba akan tertera pada layar.

3)

Indeks non solubilitas (ISO, 2005)

Analisis kelarutan dilakukan dengan metode sentrifugasi untuk melihat fraksi yang tidak larut. Sebanyak 13 gram susu bubuk dilarutkan dalam 100 ml akuades pada suhu 25oC kemudian dihomogenasi selama 10-20 detik dan ditambahkan 2 tetes defoaming agent. Sebanyak 50 ml susu yang telah direkonstitusi dituang ke dalam tabung sentrifugasi berskala. Tabung berisi sampel disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 150 rpm. Bagian supernatan pada tabung sentrifuse dibuang dengan menggunakan pipet tetes setelah itu endapan pada bagian dasar tabung diukur dalam skala ml yang tertera pada tabung kemudian dibandingkan dengan standar dan disebut indeks non-solubilitas.

4)

Kemampuan dispersi (IDF, 1988)

Analisis ini untuk mengukur kemudahan susu bubuk bersatu dalam larutan pada kondisi campuran normal. Sebanyak 34 gram susu bubuk dilarutkan dalam 250 ml akuades pada suhu 25oC dan diaduk secara manual selama 20 detik. Susu bubuk yang telah direkonstitusi kemudian disaring menggunakan kertas saring yang telah ditimbang bobotnya dan penyaring vakum. Kertas saring hasil saringan kemudian ditimbang bobotnya. Jumlah susu bubuk yang terdispersi yaitu susu bubuk yang melewati saringan dalam bentuk terlarutnya ditetapkan dengan menentukan total solid dalam filtrat dan disebut persen dispersibilitas.

5)

Scorched particle

(IDF, 1988)

Merupakan uji untuk mengetahui adanya partikel hangus yang terdapat pada susu. Sebanyak 32.5 gram susu bubuk dilarutkan dalam 250 ml akuades suhu 25oC dan dihomogenisasi selama 1 menit serta ditambahkan 2 tetes

defoaming agent. Larutan susu kemudian disaring dengan kertas saring dan

(32)
[image:32.595.274.429.360.536.2]

18

Gambar 2. Standar Scorched particle untuk susu bubuk

6)

Kadar oksigen dalam kemasan

Analisis kadar oksigen dalam kemasan dilakukan dengan menusukkan jarum syringe pada bagian atas kemasan primer kemudian alat akan secara otomatis membaca kadar oksigen yang terkandung didalamnya. Adapun alat ukur kadar oksigen dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Alat Ukur Oksigen (Spesifikasi alat lihat Lampiran 1)

2.

Analisis fisikokimia secara berkala sesuai parameter yang telah

ditetapkan untuk penghitungan kinetika penurunan mutu

(33)

19

3.

Penetapan laju penurunan mutu

(34)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PENENTUAN PARAMETER MUTU KRITIS

[image:34.595.129.464.416.635.2]

Parameter mutu kritis awal merupakan parameter yang paling mempengaruhi penurunan mutu susu bubuk selama penyimpanan. Penentuan parameter mutu kritis awal diawali dengan melakukan analisis awal. Analisis awal ini dilakukan untuk mengetahui parameter apa yang paling cepat mengalami perubahan mutu selama penyimpanan. Sampel yang akan diuji diambil dari gudang penyimpanan sampel PT Frisian Flag Indonesia. Sampel merupakan susu bubuk yang disimpan hingga kadaluarsa dengan tujuan mengontrol mutu produk. Untuk menentukan parameter kritis awal maka digunakan sampel susu bubuk yang sudah memasuki batas awal masa kadaluarsa. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kimia dan fisik. Analisis kimia meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar lemak bebas, bilangan peroksida, dan keasaman. Analisis fisik meliputi sieve test, scorched particle, dispersibilitas, indeks non solubilitas, densitas kamba, dan oksigen. Hasil analisis sampel yang sudah memasuki batas awal kadaluarsa akan dibandingkan dengan standar. Parameter kerusakan ditunjukkan oleh hasil analisis yang melebihi standar atau merupakan parameter yang menjadi tolak ukur penerimaan konsumen. Perbandingan antara hasil analisis susu bubuk tipe-X dengan standar ditunjukkan oleh Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan hasil analisis susu bubuk dengan standar Analisis Hasil analisis Standar Analisis kimia

Kadar air 2.70% Maks. 4.00 % Kadar lemak 28.90% Min. 26.00 % Kadar protein 25.00% Min. 25.00 % Kadar lemak bebas 3.20% Maks. 3.00%

Kadar peroksida 1.00 meq/kg sampel Maks. 1.00 meq/kg sampel Keasaman 6.4 6.4 – 6.7

Analisis fisik

Sieve test 12% 10 – 16 %

Scorched particle B Min. A/B

Densitas kamba 0.56 g/ml 0.5 – 0.6 g/ml Indeks non solubilitas 0.60 ml Maks. 0.50 ml Dispersibilitas 85.00% Min. 85.00% Oksigen 2.00 % Maks. 3.00%

(35)

21 direkonstitusi secara manual oleh konsumen dalam kondisi sehari-hari. Dalam Skanderby et al.

(2009), uji ini sulit dilakukan secara obyektif karena faktor subyektivitas ketika pengadukan sehingga tidak dimasukkan sebagai parameter kritis susu bubuk tipe-X. Selain itu, partikel susu bubuk yang tidak terdispersi dalam air akan mengendap menjadi fraksi tidak terlarut dimana dapat terhitung sebagai indeks non solubilitas. Parameter bilangan peroksida dimasukkan ke dalam parameter yang mempengaruhi kerusakan susu bubuk karena nilainya sudah memasuki ambang batas. Hal ini disebabkan susu bubuk memiliki kadar lemak yang cukup tinggi (28%) dan bilangan peroksida merupakan hasil tahap awal reaksi oksidatif antara asam lemak bebas berantai ganda dengan oksigen. Oksidasi lemak bertanggung jawab atas perubahan rasa dan aroma produk pangan, seperti susu bubuk, melalui pembentukan off-flavor yang berasal dari produk reaksi sekunder yaitu alkana, alkena, aldehid, dan keton (Romeu-Nadal et al. 2007). Reaksi oksidatif lemak merupakan reaksi yang tidak diinginkan bagi kesehatan manusia dan dapat menurunkan nilai gizi susu bubuk. Selain itu, senyawa peroksida bertanggungjawab atas perubahan mutu secara organoleptik, yaitu rasa dan aroma tengik yang tentu akan menurunkan penerimaan konsumen (Valero et al. 2001).

[image:35.595.135.477.401.460.2]

Karakterisasi susu bubuk sebelum penyimpanan dilakukan untuk memperoleh nilai mutu awal dari produk tersebut. Nilai parameter awal secara objektif ditentukan dengan melakukan analisis kimia terhadap produk susu bubuk yang baru diproduksi tersebut. Karakterisasi ini dilakukan terhadap parameter bilangan peroksida, indeks non solubilitas dan kadar lemak bebas. Adapun hasil pengukuran mutu awal produk susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai mutu awal produk susu bubuk tipe-X berdasarkan beberapa parameter Parameter Nilai Awal (Q0)

Kadar lemak bebas 1.02 %

Kadar peroksida 0.19 mili-equivalen/kg sampel Indeks non solubilitas 0.20 ml

Selain dilakukan pengukuran nilai mutu awal, perlu dilihat pula analisis proksimat dari susu bubuk tipe-X untuk mengetahui komposisi gizi dari produk awal. Data proksimat susu bubuk tipe-X dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai proksimat susu bubuk tipe-X (basis basah)

Komponen (%)

Kadar air 2.5

Kadar lemak Kadar protein Kadar abu

28.0 25.0 8.0 Kadar karbohidrat 35.8

B.

PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU

1.

Bilangan Peroksida

(36)

22 kompleks warna yang kemudian diukur dengan spektrofotometer. Dalam reaksi ini, reagen yang digunakan adalah amonium tiosianat yang akan membentuk kompleks feri-tiosianat (Fe[SCN]3) yang berwarna merah muda dan media reaksi yang digunakan adalah

[image:36.595.155.514.241.555.2]

kloroform:methanol = 7:3. Kurva standar dibuat dari larutan stok standar [1.00 mg Fe(III)/ml dengan 1% HCl] yang dilarutkan dengan kloroform:metanol (7:3) dan reagen ammonium tiosianat sehingga membentuk kompleks warna (lihat Tabel 6). HCl ditambahkan untuk membuat kondisi asam karena ion Fe(III) lebih stabil dalam medium asam. Adapun pengukuran kurva standar FeCl3 dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel 6. Pengukuran larutan standar FeCl3 Konsentrasi (μg/ml) Absorbansi

0.00 0.000 10.00 0.266 20.00 0.565 30.00 0.886 40.00 1.170 50.00 1.434

Gambar 4. Grafik Kurva Standar FeCl3

Analisis bilangan peroksida dilakukan setiap minggu terhadap produk yang disimpan pada suhu 30oC, 40oC, dan 55oC. Penyimpanan pada suhu tinggi ini diharapkan akan mempercepat kerusakan pada produk. Data kenaikan bilangan peroksida setiap minggu kemudian diplotkan ke dalam ordo reaksi 0 dan ordo reaksi 1 (lihat Tabel 7). Pada ordo reaksi 0, data bilangan peroksida sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x dimana dapat dilihat pada Gambar 5. Pada ordo reaksi 1, bilangan peroksida dalam bentuk ln sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x dimana dapat dilihat pada Gambar 6.

Berdasarkan plot bilangan peroksida ke dalam ordo reaksi nol dan ordo reaksi satu diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang rendah pada semua suhu dan terjadi fluktuasi data. Hal ini menunjukkan bahwa model persamaan regresi linier belum mewakili

K o n s e n t r a s i ( m g / L )

0 2 0 4 0 6 0

A

b

so

rb

an

si

- 0 .2 0 .0 0 .2 0 .4 0 .6 0 .8 1 .0 1 .2 1 .4 1 .6

(37)
[image:37.595.152.556.201.347.2]

23 variasi data bilangan peroksida sehingga ordo reaksinya tidak dapat ditentukan. Selain itu, peningkatan suhu penyimpanan tidak berbanding lurus dengan peningkatan nilai bilangan peroksida, dimana minggu ke-1, 2, 4, dan 5 nilai bilangan peroksida pada suhu 55oC lebih rendah dibandingkan pada suhu 40oC. Bahkan nilai bilangan peroksida minggu ke-2, 3, dan 4 pada suhu 55oC lebih rendah daripada ketika suhu 30oC. Selain itu, laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berjalan lambat sehingga akhir reaksi sulit ditentukan.

Tabel 7. Data pengukuran bilangan peroksida dalam satuan meq/kg sampel

M

inggu

Suhu Penyimpanan (oC)

30 40 55

SD RSDA RSDH SD RSDA RSDH SD RSDA RSDH

0 0.19 0.00 0.00 2.57 0.19 0.00 0.00 2.57 0.19 0.00 0.00 2.57 1 0.28 0.00 0.00 2.42 0.29 0.01 4.88 2.41 0.28 0.01 2.57 2.43 2 0.33 0.01 2.18 2.37 0.34 0.01 2.11 2.36 0.25 0.01 2.89 2.47 3 0.33 0.00 0.00 2.36 0.26 0.02 8.32 2.46 0.30 0.00 0.00 2.40 4 0.32 0.03 8.84 2.37 0.34 0.01 2.11 2.36 0.26 0.06 21.76 2.45 5 0.32 0.00 0.00 2.37 0.48 0.01 1.49 2.24 0.45 0.06 12.57 2.26

Gambar 5. Grafik ordo reaksi nol parameter bilangan peroksida

Menurut Stapelfeldt et al. (1997), oksidasi lemak meningkat seiring dengan meningkatnya suhu penyimpanan yang ditandai peningkatan radikal bebas yaitu singlet oksigen dan bilangan TBA pada susu bubuk. Oksidasi lemak akan terjadi ketika singlet oksigen yang reaktif menyerang ikatan rangkap pada rantai asam lemak tidak jenuh. Singlet oksigen akan memicu oksidasi lemak yang dapat membentuk hidroperoksida dan dapat

W a k t u ( m i n g g u )

0 1 2 3 4 5 6

P

V

(

m

eq

/k

g

s

am

p

el

)

0 . 1 5 0 . 2 0 0 . 2 5 0 . 3 0 0 . 3 5 0 . 4 0 0 . 4 5 0 . 5 0

S u h u 3 0oC S u h u 4 0oC S u h u 5 5oC y 3 0oC = 0 . 0 2 2 x + 0 . 2 4

R2 = 0 . 5 6 6

y 4 0oC = 0 . 0 4 3 x + 0 . 2 1 R2 = 0 . 6 9 1

[image:37.595.195.538.377.646.2]
(38)

24 terdegradasi menjadi malonaldehid sebagai produk akhir oksidasi lemak yang terukur dengan bilangan TBA. Dalam Miller et al.(2006), komponen lemak pada produk susu bubuk terdiri dari 56% asam lemak jenuh, 25% asam lemak tidak jenuh (monounsaturated

fatty acid), dan 6% asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid).

[image:38.595.177.527.196.460.2]

Kandungan asam lemak tidak jenuh total sebesar 31% akan meningkatkan potensi terbentuknya senyawa peroksida.

Gambar 6. Grafik ordo reaksi satu parameter bilangan peroksida

Terjadinya fluktuasi data dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi kondisi internal susu bubuk itu sendiri maupun faktor eksternal ketika analisis. Dalam susu bubuk tersedia vitamin A dan juga prekursornya yaitu betakaroten yang merupakan vitamin larut lemak (Miller et al. 2006). Ketersediaan betakaroten dapat berfungsi sebagai antioksidan yang mencegah terbentuknya senyawa peroksida dengan menyumbangkan elektron pada diena terkonjugasi ketika tahap inisiasi oksidasi lemak (Cha´vez-Servı´n et al. 2008). Pencampuran vitamin pada proses pembuatan susu bubuk dilakukan dengan pencampuran kering setelah proses pengeringan susu bubuk (Watson Dairy Consulting 2011). Hal tersebut berpotensi penyebaran komponen vitamin yang kurang seragam pada susu bubuk dan dapat memicu nilai peroksida yang berbeda antar data. Dilihat dari nilai standar deviasi (SD) dan RSD data bilangan peroksida menunjukkan semakin tinggi suhu, semakin banyak data yang memiliki ketelitian rendah yang artinya semakin tinggi suhu variasi antar data semakin besar.

Faktor yang diduga juga dapat mempengaruhi fluktuasi nilai bilangan peroksida adalah pereaksi FeCl2 yang digunakan dimana ada kemungkinan pereaksi sudah teroksidasi.

Nilai bilangan peroksida ditunjukkan oleh oksidasi Fe(II) menjadi Fe(III) oleh senyawa peroksida. Pereaksi FeCl2 yang sudah teroksidasi akan menurunkan reaksi oksidasi oleh

peroksida yang menghasilkan Fe(III) yang kemudian akan membentuk kompleks warna

W a k t u ( m i n g g u )

0 1 2 3 4 5 6

L

n

P

V

(

m

eq

/k

g

s

am

p

el

)

- 1 . 8 - 1 . 6 - 1 . 4 - 1 . 2 - 1 . 0 - 0 . 8

S u h u 3 0oC S u h u 4 0oC S u h u 5 5oC

y 3 0oC = 0 . 0 4 1 x - 1 . 3 1 R2 = 0 . 0 8 2

y 4 0oC = 0 . 0 6 7 x - 1 . 4 0 R2 = 0 . 2 0 0

(39)

25 dengan ammonium tiosianat (Hornero-Méndez et al. 2001). Oksidasi pereaksi FeCl2 dapat

disebabkan oleh fotooksidasi ketika penyimpanan. Hal ini menyebabkan tidak semua senyawa peroksida pada sampel dapat terukur akibat oksidasi sebagian pereaksi FeCl2

sehingga Fe (III) yang berikatan dengan ammonium tiosianat dan diukur dengan spektrofotometer nilainya rendah. Selain itu, nilai absorbansi dari pengukuran kompleks warna tidak diketahui nilainya secara langsung karena nilai bilangan peroksida yang dihasilkan merupakan nilai akhir plot absorbansi ke dalam kurva standar yang otomatis terhitung dalam spektrofotometer. Sebaiknya perlu dilakukan pengukuran absorbansi secara manual untuk mengetahui nilai absorbansi sampel dimana nilai tersebut menunjukkan intensitas peroksida sebelum nilai absorbansi tersebut dimasukkan ke dalam kurva standar.

Laju penurunan mutu yang lambat dapat disebabkan kadar oksigen dalam kemasan yang rendah (< 1%) sehingga kurang memicu reaksi oksidasi. Sebaiknya untuk pengukuran selanjutnya, waktu pengukuran bilangan peroksida ditambahkan untuk semua suhu agar dapat melihat lebih jauh laju penurunan mutunya.

Pengukuran bilangan peroksida hanya dilakukan hingga minggu ke-5 karena data pengukuran minggu ke-6 menunjukkan penurunan nilai bilangan peroksida untuk ketiga suhu. Hal ini tidak sesuai dengan literatur dimana nilai bilangan peroksida meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu penyimpanan. Faktor yang mungkin mempengaruhi adalah kesalahan saat analisis dan sampling.

2.

Kadar lemak bebas

Lemak bebas yang terkandung dalam susu bubuk mengacu pada lemak yang terdapat pada permukaan partikel susu bubuk tanpa membran disekelilingnya (Walstra et al. 1999). Analisis kadar lemak bebas dilakukan setiap minggu terhadap produk yang disimpan pada suhu 30oC, 40oC, dan 55oC. Penyimpanan pada suhu tinggi ini diharapkan akan mempercepat kerusakan pada produk. Data kadar lemak bebas setiap minggu kemudian diplotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1 (lihat Tabel 8). Pada ordo 0, data kadar lemak bebas sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x (lihat Gambar 7), sedangkan pada ordo 1 kadar lemak bebas dalam bentuk ln sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x (lihat Gambar 8).

Berdasarkan plot kadar lemak bebas ke dalam ordo nol dan ordo satu diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi untuk ordo nol maupun ordo satu. Penentuan ordo reaksi dilakukan dengan melihat ordo reaksi yang memiliki koefisien determinasi (R2) lebih besar dimana nilai R2 menunjukkan model persamaan regresi linier dapat menjelaskan perubahan variasi konsentrasi akibat perubahan waktu penyimpanan dan suhu. Suhu 30oC di ordo nol ma

Gambar

Gambar 2. Standar Scorched particle untuk susu bubuk
Tabel 3. Perbandingan hasil analisis susu bubuk dengan standar
Tabel 4. Nilai mutu awal produk susu bubuk tipe-X berdasarkan beberapa parameter
Tabel 6. Pengukuran larutan standar FeCl3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat interaksi yang nyata antara varietas dan temperatur terhadap keserempakan tumbuh dan berat kering kecambah normal, tetapi tidak terdapat interaksi terhadap

Senator Liz Krueger, Chair Senator Jamaal Bailey Senator Brian Benjamin Senator Neil Breslin Senator Leroy Comrie Senator Pete Harckham Senator Brad Hoylman Senator Tim Kennedy

bermain sepakbola (Y). Koefisien regresi tersebut menentukan persamaan regresi motor ability dengan keterampilan bermain sepakbola yaitu Ŷ = 73,134 + 0,842X. Dalam

A possible loss on the unsold assets (P520,000) is distributed to partners in their profit and loss ratio of 30:50:20 to Jenny, Kenny and

The objectives of this thesis is to gain more knowledge and understanding regarding the financial performance valuation analysis using Economic Value Added (EVA) approach, which

Evaluasi kurikulum menurut Reksoatmodjo (2010:105) dibagi dalam empat dimensi, yakni evaluasi atas penggunaan kurikulum oleh guru, evaluasi atas desain

admin cukup menjalankan form-form yang ada dan mengisikan sedikit data maka secara otomatis akan membentuk laporan penagihan piutang sesuai dengan laporan yang dibuat oleh

.findFragmentById(R.id. * This callback is triggered when the map is ready to be used. * This is where we can add markers or lines, add listeners or move the camera. * If Google