• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Dengan Sengaja Membantu Melakukan Aborsi Studi Putusan PN Kendal No. 60 Pid.Sus 2013 PN Kendal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Dengan Sengaja Membantu Melakukan Aborsi Studi Putusan PN Kendal No. 60 Pid.Sus 2013 PN Kendal"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fungsi reproduksi sering merepotkan manusia. Banyak pasangan ingin

sekali mendapat anak, tetapi sesudah hidup perkawinan selama sepuluh tahun atau

lebih, mereka belum dapat anak. Mereka bersedia memikul beban finansial yang

besar dan beban psikologi yang berat untuk mewujudkan cita-cita mempunyai

anak sendiri. Pasangan-pasangan seperti itu sekarang kerap kali bisa dibantu

berkat perkembangan ilmu kedokteran. Tetapi ironis sekali disisi lain ada

pasangan yang isterinya menjadi hamil, tetapi kehamilan tersebut tidak

diharapkan. Mereka justru menempuh segala cara untuk menggugurkan

kandungan tersebut tanpa pertimbangan nurani kemanusiaan. Mereka juga

mengalami beban psikologi yang berat, dan kadang-kadang biaya financial cukup

besar untuk mewujudkan tujuan tersebut. Tentu saja, kehamilan yang tidak

diinginkan banyak terjadi juga diluar nikah.1

Dalam memandang bagaimana kedudukan aborsi di Indonesia sangat perlu

dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Apakah

perbuatan tersebut dilakukan untuk menolong nyawa sang ibu (indikasi medis)

atau hanya karena untuk menutupi aib keluarga dan perasaan malu saja. Sejauh

ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat

sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi

pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan abortus

1

(2)

provokatus medicialis. Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak

pidana lebih dikenal sebagai abortus provokatus criminalis. Terlepas dari

persoalan apakah pelaku aborsi melakukannya atas dasar pertimbangan kesehatan

(abortus provokatus medicialis) atau memang melakukannya atas dasar alasan

lain yang kadang kala tidak dapat diterima oleh akal sehat, seperti kehamilan yang

tidak dikehendaki oleh sang ibu atau takut melahirkan ataupun karena takut tidak

mampu membesarkan anak karena minimnya kondisi perekonomian keluarga.2

Berkaitan dengan pilihan menggugurkan atau mempertahankan kehamilan

sekarang dikenal istilah yang disebut dengan prochoice dan prolife. Prochoice

adalah pandangan yang menyatakan bahwa keputusan menggugurkan atau

mempertahankan kandungan adalah hak mutlak dari ibu yang mengandung bayi

tersebut. Pandangan ini berawal dari keinginan untuk mengurangi angka kematian

ibu akibat aborsi, karena dengan melarang aborsi ternyata ibu yang akan aborsi

menggunakan jasa – jasa aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) sehingga

banyak ibu yang meninggal ketika menjalani aborsi. Jika pandangan ini diterima

oleh masyarakat dan kemudian ditetapkan dalam sistem hukum Indonesia, maka

aborsi tidak akan dilarang lagi. Lebih lanjut pemerintah wajib untuk menyediakan

fasilitas klinik aborsi yang akan melayani ibu- ibu yang melakukan aborsi. Klinik

aborsi ini mempunyai tingkat keamanan yang tinggi, karena menggunakan standar

prosedur aborsi yang aman (safe abortion). Adanya safe abortion akan membuat

berkurangnya jumlah kematian ibu akibat aborsi.3

2

http://www.aborsi.org/hukumaborsi.html, diakses pada tanggal 3 November 2011 , 20:30 WIB

3

(3)

Di lain pihak prolife adalah pandangan yang menentang adanya aborsi.

Mereka berpandangan bahwa janin mempunyai hak hidup yang tidak boleh

dirampas oleh siapapun, termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Melakukan

aborsi sama saja dengan melakukan pembunuhan, dan pembunuhan merupakan

dosa yang sangat besar. Oleh karena itu para penganut paham prolife ini sangat

menentang dilakukannya aborsi. Menurut mereka melegalisasi aborsi

bertentangan dengan agama karena memang kelompok prolife ini kebanyakan

berasal dari kaum agamawan tetapi memiliki pandangan prolife4

Dalam hukum positif di Indonesia, pengaturan tindakan aborsi terdapat

dalam dua undang-undang yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang

selanjutnya akan ditulis KUHP) Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 serta diatur

dalam Undang-Undang ( yang selanjutnya akan ditulis UU) No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan Pasal 75, 76,77. Terdapat perbedaan antara Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan dalam mengatur masalah aborsi. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun, sedangkan

Undang-Undang Tentang Kesehatan membolehkan aborsi atas indikasi medis maupun

karena adanya perkosaan. Akan tetapi ketentuan aborsi dalam Undang-Undang

No. 36 Tahun 2009 tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar misalnya

kondisi kehamilan maksimal 6 bulan setelah hari pertama haid terakhir. Selain itu

berdasarkan Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, tindakan medis

(aborsi), sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat

4

(4)

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan

tim ahli. Hal tersebut menunjukkan bahwa aborsi yang dilakukan bersifat legal

atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum dan segala perbuatan yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan

merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan.5

Berbeda dengan aborsi yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis,

aborsi tersebut dikatakan illegal serta tidak dapat dibenarkan secara hukum.

Tindakan aborsi ini dikatakan sebagai tindak pidana atau tindak kejahatan karena

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengkualifikasikan perbuatan

aborsi tersebut sebagai kejahatan tehadap nyawa.6

Dalam prosesnya, tindakan aborsi ada yang dilakukan sendiri, ada pula

yang menggunakan bantuan orang lain. Aborsi yang dilakukan sendiri misalnya

dengan cara memakan obat-obatan yang membahayakan janin, atau dengan

melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja ingin menggugurkan janin.

Sedangkan bila dengan bantuan orang lain, aborsi dapat dilakukan dengan bantuan

dokter, bidan, dukun berana atau rakyat sipil lainnya. Apabila tindak pidana aborsi

ini dibantu oleh orang lain, maka peristiwa pidana tersebut terdapat lebih dari 1

orang pelaku, sehingga harus dicari pertanggungjawaban dan peranan masing –

masing peserta dalam peristiwa tersebut. Pertanggungjawaban pidana ialah

diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara

5

Sulistyowati Irianto, Perempuan Dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berspektif Kesetaraan Dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI Jaya,2006), hal,521

6

(5)

subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana

karena perbuatannya itu.7

Didalam hukum pidana, orang yang turut serta melakukan tindak pidana

aborsi disebut dengan deelneming. Turut serta (deelneming) adalah suatu tindak

pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, yang mana antara orang yang

satu dengan yang lainnya terdapat hubungan sikap batin dan atau perbuatan yang

sangat erat terhadap terwujudnya tindak pidana tersebut. Bentuk pernyertaan

tersebut terdiri atas: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh melakukan tindak

pidana. Adanya hubungan kesengajaan dengan tindak pidana yang hendak

diwujudkan serta mengetahui antara pelaku dengan pelaku yang lain nya dan

bahkan dengan apa yang diperbuat oleh pelaku tersebut merupakan syarat

penyertaan dari sudut subjektif. Di dalam Kitab Undang –undang Hukum Pidana

(KUHP) terdapat dua bentuk penyertaan, yang disebut sebagai pembuat (dader)

dan pembantu (mededader)

Adapun kedudukan dari pembuat (dader) dan pembantu (mededader)

diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu: dalam Pasal 55

KUHP menyebutkan empat golongan pembuat (dader) yang dapat dipidana yaitu

pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger), dan

penganjur (uitlokker). Sedangkan didalam Pasal 56 KUHP menerangkan yang

dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan (mededader), yaitu: mereka yang

7

(6)

sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan mereka yang

memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Apapun alasan yang diajukan untuk menggugurkan kandungan, jika hal itu

bukan disebabkan alasan medis maka ibu dan orang yang membantu

menggugurkan kandungannya akan dihukum pidana. Sebagaimana penguguran

dan pembunuhan kandungan atas persetujuan perempuan yang mengandung dapat

dijerat dengan Pasal 348 KUHP yang berbunyi:

(1) Barang siapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Namun demikian, meskipun terdapat pro dan kontra tentang aborsi, serta

secara jelas dan tegas Undang-Undang menyatakan bahwa pada dasarnya aborsi

adalah perbuatan yang dilarang, tetap saja dalam kenyataan sekarang ini, aborsi

tetap marak dengan berbagai cara dan alasan yang mendasarinya, misalnya kasus

Fitrotun alias Fita Binti Muhtarom (24 thn) dan Priyanto alias Kambing Binti

(alm) Sakban (42 thn) pada awalnya terdakwa I (Fitrotun als Fita) dengan

maksudmembantu Munjaroah yang datang menceritakan bahwa Munjaroah telah

hamil selama 2 bulan oleh pacarnya dan ingin menggugurkan janinnya dengan

alasan Fitrotun belum siap menikah karena masih punya anak yang masih kecil

dan masih mempunyai tanggungan hutang ;

Kemudian terdakwa I (Fitrotun als. Fita) menghubungiterdakwa II

(Priyanto als. Kambing) untuk dicarikan obat penggugur janin dengankesepakatan

(7)

(Fitrotun als. Fita), Priyanto langsung menghubungi Stefanus Herman yang

membuka toko obat di pasar Johar Semarang untuk memesan obat penggugur

janin, setelah mendapatkan obat penggugur janin dari terdakwa II (Priyanto als.

Kambing) kemudiaan menyerahkannya kepada Fitrotun di Lokalisasi Gambilangu

turut RT.2 RW.1 Desa Sumberejo Kec. Kaliwungu Kab. Kendal pada hari Senin

tanggal 30 September 2013;

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi dengan

mengangkat judul ”Pertanggungjawaban Tindak Pidana Dengan Sengaja

Membantu Melakukan Aborsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kendal

No.60/Pid.Sus/2013/PN.Kendal)“.

B. RumusanMasalah

Agar pembahasan dalam penulisan ini tidak melebar, maka Penulis

memberikan batasan dalam pembahasan,yaitu :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang pembantuan terhadap tindak pidana

aborsi di Indonesia ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana dengan

sengaja membantu melakukan aborsi (studi putusan pengadilan negeri Kendal

nomor 60/Pid.Sus/2013/PN.Kendal) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang pembantuan terhadap tindak pidana

(8)

2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana

dengan sengaja membantu melakukan aborsi menurut putusan pengadilan

negeri Kendal No. 60/Pid.Sus/2013/PN. Kendal

Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat memberi

manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya

tentang pemahaman mengenai penanganan tindak pidana aborsi khususnya yang

dilakukan oleh pelaku turut serta.

2. Manfaat Praktis

Memberi masukan kepada pemerintah, aparat penegak hukum dan pihak

yang berkompeten dibidang penangan tindak pidana aborsi.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Dengan Sengaja membantu melakukan Aborsi (studi putusan

pengadilan negeri Kendal No. 60/Pid.Sus/2013/PN.Kdl)” sepengetahuan penulis

bahwa dilingkungan Universitas Sumatera Utara penulisan tentang judul tersebut

belum pernah dilakukan oleh mahasiswa lain sebelumnya dan skripsi ini asli

disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat. Semua ini merupakan implikasi

etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat

(9)

terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan mempertanggung

jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu strafbaar feit.8 Para ahli hukum mengemukakan istilah yang

berbeda-berbeda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit sayangnya

sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Beberapa istilah yang pernah

digunakan, baik dalam perundang-perundangan yang ada dalam literature hukum

sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit ini adalah sebagai berikut:9

a. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan pidana kita, hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan

menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan

istilah ini seperti Wirdjono Prodjodikoro.

b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Tresna

dalam bukunya asas-asas Hukum Pidana, H.J.Van Schravendijk dalam

buku pelajaran tentang hukum pidana, Zainal Abidin, dalam buku beliau

Hukum Pidana.

c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin Delictum juga digunakan

untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.

8

Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana edisi 2, (Medan:USU Press,2013), hlm,73

9

(10)

Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan

perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya.

“Tindak” menunjuk pada kelakuan manusia yang pasif atau negative (naleten).

Padahal pengertian yang sebenarnya dala istilah feit itu adalah termasuk baik

perbuatan aktif maupun pasif tersebut.10 Menurut Tongat, penggunaan berbagai

istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang

penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya.11 Secara

harfiah tindak pidana, peristiwa pidana, dan perbuatan pidana merupakan

beberapa istilah dari penterjemahan istilah strafbaar feit kedalam bahasa

Indonesia, dimana istilah strafbaar feit terdiri dari: straf berarti hukuman

(pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa (perbuatan). Jadi

istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang

dapat dipidana.12

Beberapa pengertian Tindak Pidana yang dirumuskan oleh para ahli

yaitu:13

a. D.Simons

Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan

10

Ibid.,hlm,70. 11

Tongat,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:UMM Press), hlm,102

12

P.A.F Lamintang, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia,(Bandung:Sinar Baru,, 1997), hlm,181

13

(11)

seperti ini, maka menurut simons untuk adanya suatu tindak pidana harus

dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1). Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif

(berbuat) maupun negatif ( tidak berbuat )

2). Diancam dengan pidana

3). Melawan hukum

4). Dilakukan dengan kesalahan

5). orang yang mampu bertanggungjawab

b. J.Bauman

Menurut J.Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang

memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan

kesalahan.

c. Wirdjono Prodjodikoro

Menurut beliau,tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenakan pidana.

d. Pompe

Menurut Pompe,dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit

(tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.

2. Pengertian Membantu Melakukan

Pidana berdasarkan Pasal 56 KUHP:14Dihukum sebagai orang yang

membantu melakukan kejahatan:

1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;

14

(12)

2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau

keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia

sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak

sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan

itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau

“tadah” melanggar Pasal 480 KUHPidana, atau peristiwa pidana yang tersebut

dalam Pasal 221 KUHPidana.15

Dalam penjelasan Pasal 56 KUHPidana ini dikatakan bahwa elemen

“sengaja” harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak

mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk

melakukan kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan

itu harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau

keterangan itu. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri,

maka orang itu bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).16

Klasifikasi menurut pasal 56 dan 57 KUHPidana yaitu membantu

melakukan yaitu dengan adanya pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang

didalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan yaitu pelaku tindak

pidana dan ada orang lain yang membantu terlaksananya tindak pidana itu.

Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu

tindak pidana. Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak

15

R. Soesilo.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1981),

16

(13)

pidana itu dan ada orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidana itu.

Hal ini diatur dalam pasal 56 KUHP, yang menyebutkan:17

Dipidana sebagai pembantu kejahatan kejahatan:

1) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan yang

dilakukan.

2) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.

Dalam hal membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini

dipertegas dalam pasal 60 KUHP. Membantu dalam delik pelanggaran tidak

dipidana karena dianggap demikan kecil kepentingan hukum yang dilanggar.

Melihat pasal 56 diatas, pembantuan dapat dibedakan berdasarkan waktu

diberikannya suatu bantuan terhadap kejahatan, antara lain:

1. Apabila bantuan diberikan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi

jenis bantuannya. Berarti jenis bantuan apapun yang diberikan oleh orang

yang membantu dalam suatu kejahatan dapat dipidana.

2. Apabila bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan, jenis bantuan

dibatasi yaitu kesempatan, sarana, dan keterangan.

Tentang pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya

termuat dalam pasal 57 KUHP yang berbunyi:

1. Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan

dikurangi sepertiga.

2. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.

17

(14)

4. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkna hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

Dalam penjelasan pasal 57 meniyatakan dalam hal pembantuan,

maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.

Pertanggungjawaban pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang

dibantunya saja. Apabila dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana yang

berlebih, maka tindak pidana yang lebih tersebut bukan merupakan tanggung

jawab pembantu. Kecuali tindak pidana yang timbul tersebut merupakan akibat

logis dari perbuatan yang dibantunya.18

3. Pengertian Aborsi

Istilah aborsi dipakai kalangan kedokteran dan hukum. Aborsi (abortus,

abortion) adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin

mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, defenisi ini terbatas pada terminasi

kehamilan sebelum 20 (dua puluh minggu) didasarkan pada tanggal hari pertama

haid normal terakhir. Defennisi lain yang sering digunakan adalah keluarnya janin

yang beratnya kurang dari 500 (lima ratus) gram.19Didalam kamus hukum

karangan Sudarsono20, disebutkan:

a. Abortus (Lat),- abortus: terpencarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup

(sebelum habis bulan keempat dari kehamilan); keguguran; keluaran; keadaan

terhentinya pertumbuhan yang normal (tentang makhluk hidup); guguran

(janin).

18

Ibid.,hlm. 61 19

F.Gray Cunningham, Norman F.Gant dkk. Obstetri Williams Edisi 21, (Jakata, Penerbit Buku Kedokteran :2006), hlm.951.

20

(15)

b. Abortus Procuratio (Lat), pengguran bayi yang ada dalam kandungan dengan

sengaja ialah, dengan mengusahakan lahirnya bayi sebelum waktunya tiba.

c. Abortus Provocatus (Lat); keguguran karena kesengajaan, keguguran

kandungan (kehamilan) dikarenakan adanya kesengajaan. Abortus disebabkan

adanya unsur-unsur kesengajaan dari pihak manapun adalah merupakan

tindak pidana yang dapat dituntut.

Secara medis, abortus adalah penghentian dan pengeluaran hasil

kehamilan dari rahim sebelum janin dapat hidup diluar kandungan.21 Sebagai

batasan ialah kehamilan kurang dari 20 (dua puluh minggu ) atau berat janin

kurang dari 500 (lima ratus) gram. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan

disebut abortus spontang, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja

dilakukan tindakan disebut abortus provokatus.22 Menurut Saifullah, aborsi dapat

dibagi kedalam dua macam, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi buatan

terbagi dua macam pula yaitu Aborsi Artificialis Theraphicus dan Aborsi

Provocatus Criminali.23

Aborsi (Pengguguran) berbeda dengan keguguran, Aborsi atau

pengguguran kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang

disengaja (abortus provocatus), yakni kehamilan yang di provokasi dengan

21

Mien Rukmini, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional departemen Kehakiman dan HAM RI. 2002), hlm.18.

22

Sarwono Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, (Jakarta, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: 2008), hlm.72.

23

(16)

berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran. Keguguran adalah kehamilan

berhenti karena faktor-faktor alamiah (abortus prontaneous).24Abortus provocatus

meliputi :25

a. Abortus Provocatus Medicalis, yakni penghentian kehamilan (terminasi)

yang disengaja karena alasan medis, praktek ini dapat dipertimbangkan,

dapat dipertanggungjawabkan, dan dibenarkan oleh hukum.

b. Abortus Provocatus Criminalis, yakni penghentian kehamilan (terminasi)

ataunpengguguran kandungan yang melanggar kode etik kedokteran,

melanggar hukum agama, dan melanggar undang-undang (criminal. Cara

tersebut kasusnya dapat diperkarakan.

Secara umum dan singkat, dapat di rinci bahwa faktor yang mendorong

seseorang melakukan aborsi adalah :26

a. Kondisi usia masih muda atau menurutnya belum layak memiliki anak,

b. Malu diketahui oleh orangtua atau keluarga masyarakat,

c. Pria yang menghamilinya tidak bertanggungjawab (kabur),

d. Masih bersekolah,

e. Kondisi ekonomi yang tidak mencukupi.

f. Janin yang dikandung akibat perkosaan,

g. Dorongan dari orangtua atau keluarga.

Metode untuk pelaksanaan aborsi dapat dilakukan dengan menempuh

berbagai cara, diantaranya dengan cara menggunakan jasa ahli medis dirumah

sakit atau kepada para dukun atau bahkan menggugurkan kandungannya sendiri

dengan memakai alat-alat yang kasar. Penggunaan jasa dukun yang tidak memiliki

24

Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi, (Jakarta:Fakultas Kedokteran Indonesia : 2009 ), hlm.64.

25

Ibid, hlm.64. 26

(17)

keahlian dalam pengguguran kandungan biasanya menggunakan cara-cara yang

kasar dan keras seperti memijat beberapa bagian tertentu, perut atau pinggul

misalnya, atau tubuh wanita yang akan digugurkan kandungannya. Pengguguran

kandungan yang dilakukan secara medis dibeberapa rumah sakit biasanya

menggunakan metode antara lain:

a. Kuretasi dan Dilatasi27

b. Mempergunakan alat khusus untuk memperlebar mulut rahim kemudian

janin dikuret dengan alat seperti sendok kecil.

c. Aspirasi, yaitu penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.

d. Operasi.

Metode aborsi lain seperti penggunaan pil aborsi atau RU-486 ditemukan

di Perancis dan mulai dipakai disana sejak 1988. Selain di Perancis, pil aborsi ini

juga dipakai di 11 negara lain dan 15 negara UNI Eropa. Di Amerika, setelah

masa pertimbangan yang lama sekali, pil aborsi ini baru disetujui oleh Food and

Drug Administration pada tahun 2000.28

Melalui Internet pil aborsi ini dijual dengan sangat bebas. Nama kimia dari

pil aborsi ini adalah Mifepristone, namun lebih dikenal dengan nama Pil Abortus,

RU-486, Mifegyn, atau Mifeprex. Ada juga Misoprostol atau yang lebih dikenal

dengan nama Cytotec, Arthrotec, Oxaprost, Cyprostol, Mibetec, Prostokos, atau

27

Kurentasi dan dilatasi adalah operasi rahim untuk wanita. Dilatasi adalah membuka leher rahim, kuretasi adalah mengangkat isi rahim. Kuretasi dapat dilakukan dengan cara menggosokkan alat pada dinding rahim (alat tersebut adalah kuret atau kuretase hisap/aspira vakum yang berbentuk seperti vakum). Metode ini biasanya dilakukan untuk mengeluarkan jaringan yang tertinggal di dalam rahim. Ibid, hlm 25.

28

(18)

Misotrol.29 Cara ini adalah cara yang paling aman bagi wanita untuk menggugurkan kehamilannya sampai dengan usia 12 minggu. Beberapa website

bahkan menjamin tingkat keberhasilan dari penggunaan pil aborsi ini lebih dari

97%.

4. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Membicarakan pertanggungjawaban pidana harus didahului dengan

mengetahui apa itu perbuatan pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai

pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana,

karena akan tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu

tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut. 30

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk kedalam pengertian

pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang

dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang

melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam

melakukan perbuatan itu, orang tersebut memiliki kesalahan (Geen straf zonder

schuld; actus non facit reum nisi mens sist rea).31

Dalam hukum pidana, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan

konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran

kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Dalam bahasa Inggris doktrin

tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind

is legally blameworthy (suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah

29

http://www.womenonwaves.org/id/page/702/how-to-do-an-abortion-with-pillsmmisopr ostol-cytotec.htmldiakses tanggal 21 april 2017, 20: 45 WIB

30

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana,Jakarta:Aksara Baru, 1983, hlm.20-23

31

(19)

kecuali jika pikiran orang itu jahat). Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat

yang harus dipenuhi untuk dapat di pidananya seseorang, yaitu perbuatan lahiriah

yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat (mens

rea).32

Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan diteruskannya celaan objektif

yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk

dapat dipidana karena perbuatannya itu.33 Dasar adanya perbuatan pidana adalah

asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya seseorang adalah asas

kesalahan. Hubungan mengenai pertanggungjawaban pidana dengan kesalahan

tersebut ddipertegas oleh Roeslan Salah dalam bukunya yang berjudul Perbuatan

Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Dalam

Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa :

“Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pelaku bukanlah bergantung apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana itu. Karena itulah maka juga dikatakan : dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas terlarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.34

Perbedaan mendasar dari delik pidana dengan pertanggungjawaban pidana

terletak pada unsurnya. Walaupun unsur tiap delik berbeda, namun pada

umumnya memiliki unsur yang sama seperti:

a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif

b. Akibat Yang ditimbulkan

32

Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11 Tahun 1999, hlm.27

33

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana,( Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm.156 34

(20)

c. Melawan hukum formil dan melawan hukum materil

d. Tidak ada alasan pembenar35

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesalahan

merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidanakan seseorang. Tanpa

itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Oleh karena itu dalam

hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder

schuld).

Prof. Romli Artasasmita, pakar ilmu hukum pidana menyatakan konsep

sistem pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: rumusan tentang

pertanggungjawaban atau liability, seorang filosof besar hukum abad ke-20,

Roscou Pound menguraikan bahwa liability diartikan sebagai kewajiban untuk

membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah

dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang

terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan

adanya keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka

pembayaran ganti rugi bergeser kedudukannya yang semula sebagai suatu hak

istimewa kemudian menjadi suatu kewajiban. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi

dari nilai suatu pembalasan yang harus dibayar, melainkan dari sudut berapa

kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang

bersangkutan.36

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang

sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan

35

H. A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta:Sinar Grafika, 2007) hlm.221. 36

(21)

objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur

pertangungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari

kemampuan bertanggungjawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan

menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan

bertanggungjawab harus ada37:

1) Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk yang merupakan faktor akal.

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut yang merupakan faktor

perasaan/kehendak.

b. Adanya kesalahan pembuat

Terdapat dua kesalahan yaitu:

1) Kesengajaan (dolus)

Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori

kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori

kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur

delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan

pistol kepada B dan A menembak mati B. A adalah “sengaja” apabila A

benar-benar menghendaki kematian B.

37

(22)

Menurut teori pengetahuan atau membayangkan, manusia tidak

mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat

menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu

akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena

suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu

tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang

terlebih dahulu dibuat.

Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu:

a) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk) adalah apabila pembuat

menghendaki akibat perbuatannya atau dengan kata lain jika

pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya

tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui

perbuatannya.

b) Sengaja dilakukan dengan keinsyafan agar tujuan tercapai,

sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa

pelanggaran juga.

c) Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan besar

dapat ditimbulkan suatu pelanggaran disamping pelanggaran

pertama.

2) Kealpaan (culpa)

Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud

melanggar larangan dalam undang-undang, tetapi ia tidak

(23)

mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan

sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang

dilarang. Menurut Moeljatno mengutip pernyataan Van Hamel,

kealpaan mengandung dua syarat yaitu tidak mengadakan

penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan

penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat, maka kealpaan

tersebut dapat dibedakan atas dua, yaitu:

a) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) terjadi apabila si pembuat

dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya

suatu akibat yang menyertai perbuatannya meskipun ia telah

berusaha mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.

b) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) terjadi apabila si

pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan

timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi

seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan

kemungkinan suatu akibat tersebut.

Ada pula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat

ringannya, yang terdiri dari:

a) Kealpaan berat (culpa lata) dan

b) Kealpaan ringan (lichte chuld)

c. Alasan penghapus pidana

(24)

1) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak

pada diri orang tersebut; dan

2) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak

di luar orang itu.

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain

terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat

dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pelaku. Oleh karena itu

dibedakan dua jenis alasan penghapusan pidana, yaitu:

1) Alasan pembenar yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya

perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik

dalam undang-undang.

2) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan yaitu seseorang tidak

dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatannya bersifat melawan

hukum. Dalam hal ini ada alasan yang menghapuskan kesalahan dari

pelaku sehingga tidak dipidana.

Di dalam KUHP sendiri, tidak disebutkan secara eksplisit sistem

pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering

menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, namun kedua istilah

tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Baik

negara-negara civil law maupun common law, merumuskan pertanggungjawaban

pidana secara negatif yaitu undang-undang merumuskan keadaan-keadaan yang

(25)

dilihat pada ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya

merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.38

Dengan demikian ternyata bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa

harus39:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).

b. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab.

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan.

d. Tidak adanya alasan pemaaf.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana.

Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula serta merta akan

dijatuhi pidana. Pelaku tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai

kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normative yaitu

dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan

terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan.

2. Data dan Sumber Data

38

Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, Hal. 260. 39

(26)

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data skunder, yang diperoleh

dari :

a. Bahan hukum primer

Yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh

pihak-pihak yang berwenang diantaranya Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),

Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah

No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi dan Putusan Pengadilan

Negeri Kendal Nomor 60/Pid.Sus/2013/PN.Kendal

b. Bahan Hukum sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang

berkaitan dengan tindak pidana turut serta membantu melakukan aborsi, seperti

seminar-seminar, jurnal - jurnal hukum. Majalah-majalah, surat kabar/Koran,

karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan

persoalan diatas.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus,

ensiklopedia dan lain- lain

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut

(27)

skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku, baik koleksi pribadi maupun dari

perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media

elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan-peraturan

pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis

dengan menggunakan metode deduktif dan induktif,. Metode deduktif dilakukan

dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif

dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan

topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan

tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

Data yang diperoleh dari penelitian studi dokumen ini disusun secara

sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang penyelesaian hukum dalam tindak

pidana aborsi yang dilakukan oleh pihak turut serta (deelneming) membantu.

Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian ,

menghubungkan dengan peraturan – peraturan yang berlaku, menghubungkan

dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan

pendekatan deduktif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi

ini dan untuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini

kedalam 4 (empat) Bab.

(28)

Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN

TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

Berisi tentang penegakan hukum di Indonesia, dan bentuk-bentuk pidana

pembantuan terhadap tindak pidana aborsi serta sanksi pidana yang

dijatuhkan terhadap pidana pembantuan terhadap tindak pidana aborsi.

BAB III :PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA DENGAN SENGAJA MEMBANTU

MELAKUKAN ABORSI (StudI Putusan PN Kendal No.

60/Pid.Sus/2013 /PN.Kendal )

Menguraikan pertanggungjawaban terhadap tindak pidana dengan segaja

membantu melakukan aborsi dalam putusan PN. Kendal no.

60/Pid.Sus/2013/PN.Kendal. Bab ini menjelaskan secara detail

pertanggungjawaban tindak pidana serta berisi tentang penerapan hukum

pidana materil terhadap pelaku pidana pembantuan terhadap tindak

pidana aborsi, dimana penulis akan mendeskripsikan kasus yang

menyangkut tentang pidana pembantuanterhadap tindak pidana aborsi

dan penulis akan memberikan analisi terhadap kasus tersebut.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi tentang kesimpulan dan pembahasan skripsi ini dan saran-saran

Referensi

Dokumen terkait

'angger /angger/ teguh; percaya; ya- kin (ttg kekuatan seseorang atau sesuatu): nyak kak temen - Juno , nikeu saya telah yakin akan engkau?. 2

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase

Volume kerucut ď‚· Siswa membahas menentukan rumus volume kerucut dengan melakukan kegiatan siswa seperti pada halaman 83, dengan bimbingan guru.. ď‚· Siswa membahas soal

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Susu Formula Pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di Kelurahan Helvetia Timur, Tesis, FKM USU, Jakarta.. Hubungan antara pengetahuan

Laki-laki dari tanah karo memiliki sifat yang sabar dan mau menolong. “Datang seseorang laki -laki dari Tanah Karo memberitahukan kepada Guru Penawar bahwa dua anaknya

Mekanisme seleksi lomba inovasi pembelajaran guru SMP diatur sebagai berikut. 1) Secara garis besar seleksi lomba inovasi pembelajaran pada tingkat satuan pendidikan

[1] Istilah Rokoko juga bisa diartikan sebagai kombinasi kata "barocco" (bentuk teratur dari mutiara, kemungkinan berasal dari kata "baroque") dan kata

This Classroom Action Research aimed at improving students’ competence in writing recount text through chain story game.. The research was conducted at one of the Junior High