• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil darah ayam broiler yang diberi ransum mengandung aflatoksin dengan penambahan metionin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil darah ayam broiler yang diberi ransum mengandung aflatoksin dengan penambahan metionin"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL DARAH AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM

MENGANDUNG AFLATOKSIN DENGAN

PENAMBAHAN METIONIN

SKRIPSI

NOVIA ELISABETH GUNAWAN

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

NOVIA ELISABETH GUNAWAN. D24063557. 2010. Profil Darah Ayam Broiler

yang Diberi Ransum Mengandung Aflatoksin dengan Penambahan Metionin.

Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Jajat Jachja F. A., M. Agr. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M. Sc. Agr.

Indonesia memiliki iklim tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi sehingga menjadi kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan kapang. Hal ini menimbulkan salah satu masalah yang sering dihadapi dalam bidang pakan yaitu adanya cemaran

kapang. Kapang menghasilkan toksin yang dapat berbahaya bagi ternak yang

mengonsumsi pakan tersebut.

Aflatoksin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillusflavus dan Aspergillus parasiticus. Jika termakan ternak akan menimbulkan masalah kesehatan bagi ternak. Pengaruh aflatoksin yang telah diteliti pada broiler yaitu pada performa, organ dalam dan pada parameter darah. Penambahan suplemen dan aditif seperti antioksidan, vitamin, asam amino mengandung sulfur dan lainnya telah dilakukan untuk mengatasi efek negatif dari aflatoksin. Penelitian ini ditujukan untuk melihat pengaruh pemberian metionin ke dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin terhadap profil darah dan nilai IgY (imunoglobulin Y) pada broiler.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2010 bertempat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan pabrik pakan Indofeed. Terdapat dua periode yang diamati pada penelitian ini yaitu periode starter dan finisher. Penelitian ini menggunakan RAL pola faktorial 3x3 dengan 4 ulangan dimana faktor A adalah level metionin (0%, 0,25%, dan 0,35% untuk periode starter ; 0%, 0,20%, dan 0,30% untuk periode finisher) dan faktor B adalah level aflatoksin (0 ppb, 150 ppb, dan 300 ppb). Adapun parameter yang diukur yaitu hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit diferensiasi leukosit dan IgY.

Hasil penelitian ini ada yang menunjukkan terjadinya interaksi, perbedaan nyata dan perbedaan tidak nyata pada parameter yang diamati. Interaksi terjadi pada nilai eritrosit dan IgY broiler periode starter. Perbedaan yang nyata karena pengaruh penambahan DL-metionin dapat dilihat pada nilai leukosit periode finisher dan perbedaan nyata karena pengaruh level aflatoksin dapat dilihat pada nilai leukosit broiler starter serta nilai heterofil pada periode starter. Parameter lainnya menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.

(3)

ABSTRACT

Blood Profile of Broiler Chicken Fed with Aflatoksin Diet and Methionine Additive

Gunawan, N. E., J. Jachja and I. G. Permana

Tropical climate inIndonesia have high temperature and humidity that supports the growth of fungi. It causes one of the common feed problem in Indonesia, in example fungal contaminations. Fungi produces a toxin that will give a harmfull effect for the livestock. Aflatoxin is a mycotoxin that produces by Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. It makes a health problem to livestock. The effects of aflatoxin that found on farm animal such as a variation in organ’s weight and the decrease of some hematology parameters. The use of additives and supplements in diets were developed in order to minimize the effects of aflatoxin. The aim of this research was to evaluate the effect of methionine addition in diet that contaminated with aflatoxin on blood profile and IgY (immunoglobulin Y) of broiler. The experiment was arrange with factorial completely randomized design with three level of methionine (0%, 0.25%, and 0.35% for starter; 0%, 0.20%, and 0.30% for finisher), three level of aflatoxin (0 ppb, 150 ppb and 300 ppb) and four replicates. Parameters that measured were hemoglobin, hematocrit, erythrocyte, leucocyte, leucocyte differentiation and IgY. The result of this research was showed an interaction, segnificant difference and no significant difference. In starter period, there are interaction effects on erythrocytes and IgY, while leukocytes was influenced by the level of methionine and heterophils was influenced by the level of aflatoxin. For finisher period, only leucocyte that has a different value due to aflatoxin’s level.

(4)

PROFIL DARAH AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM

MENGANDUNG AFLATOKSIN DENGAN

PENAMBAHAN METIONIN

NOVIA ELISABETH GUNAWAN D24063557

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Profil Darah Ayam Broiler yang Diberi Ransum Mengandung Aflatoksin dengan Penambahan Metionin

Nama : Novia Elisabeth Gunawan

NIM : D24063557

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Jajat Jachja F. A., M.Agr) (Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr)

NIP. 19480902 197412 1 001 NIP. 19670506 199103 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr.Ir.Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 November 1989 di Samarinda,

Kalimantan Timur. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari

pasangan Boyke Gunawan dan Wenny Simon.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Katolik 2 W. R. Soepratman

Samarinda pada tahun 2001. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di SLTP

Negeri 1 Samarinda dan lulus pada tahun 2003. Kemudian melanjutkan pendidikan

di SMA Negeri 1 Samarinda dan lulus pada tahun 2006.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan mulai mengikuti perkuliahan di

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, dari tahun

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan karena atas berkat dan kasihNya

setiap hari maka penulis dapat memulai dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini

mungkin tidak sempurna, namun rasa senang dan syukur yang besar tetap penulis

rasakan atas skripsi ini. Bantuan dari berbagai pihak, dukungan dari keluarga dan

penyertaan Tuhan memungkinkan terbentuknya skripsi ini.

Beberapa waktu yang lalu kita dihadapkan pada masalah cemaran yang

terjadi pada pakan dan bahan pakan ternak yang dapat menimbulkan permasalahan

kesehatan. Aflatoksin merupakan salah satunya yang berbahaya, tidak hanya pada

ternak namun juga manusia, dan sampai saat ini masih belum didapatkan cara

menghilangkannya. Berbagai macam penelitian telah dilakukan dan menghasilkan

cara pencegahan dan pengurangan terhadap efek toksin bagi ternak, yaitu dengan

penambahan bahan-bahan aditif tertentu dalam pakan. Penelitian ini juga merupakan

salah satu percobaan untuk mengatasi masalah aflatoksin dimana bahan yang

ditambahkan yaitu asam amino sintetis, DL-metionin.

Masih ada beberapa hal dalam penelitian ini yang perlu diperdalam dan

dilanjutkan agar bisa menyumbangkan hasil yang lebih baik terhadap permasalahan

mengenai aflatoksin. Namun harapan penulis, semoga hasil penelitian dalam skripsi

ini dapat ikut membantu dan membuka pemahaman kita semua dan bagi mereka

yang ingin meneliti tema yang sama. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Januari 2011

(8)

DAFTAR ISI

Ayam Pedaging (Broiler)...………... 3

Jagung...………….……...……... 4

Perbanyakan Kultur Aspergillus flavus... 16

Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung... 17

Pembuatan Ransum...………….……....…… 18

(9)

Pembuatan Ransum... 27

Profil Darah... 28

Hemoglobin... 28

Hematokrit... 29

Eritrosit... 30

Leukosit... 32

Diferensiasi Leukosit... 33

IgY... 35

MCV dan MCHC... 36

Performa dan Organ Dalam... 38

KESIMPULAN DAN SARAN... 40

Kesimpulan... 40

Saran... 40

UCAPAN TERIMA KASIH... 41

DAFTAR PUSTAKA...……..……...………...….…. 42

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kebutuhan Nutrisi Broiler...………. 3

2. SNI Bahan Pakan Jagung... 5

3. Nilai Hematologis Darah Ayam Broiler...………... 10

4. Persentase Leukosit Berdasarkan Umur Ayam... 12

5. Komposisi Ransum Periode Starter (0-3 minggu)... 18

6. Komposisi Ransum Periode Finisher (3-6 minggu)... 19

7. Kandungan Nutrien dan Aflatoksin Ransum Periode Starter (0-3 minggu)... 20

8. Kandungan Nutrien dan Aflatoksin Ransum Periode Finisher (3-6 minggu)... 21

9. Nilai Hemoglobin (g %) Broiler Periode Starter dan Finisher yang Mendapat Perlakuan... 28

10.Nilai Hematokrit (%) Broiler Periode Starter dan Finisher yang Mendapat Perlakuan... 29

11.Nilai Leukosit (103/mm3) Broiler Periode Starter dan Finisher yang Mendapat Perlakuan... 32

12.Nilai Diferensiasi Leukosit Broiler Periode Starter dan Finisher yang Mendapat Perlakuan... 34

13.Nilai IgY (µg/ml) Broiler Periode Starter dan Finisher yang Mendapat Perlakuan... 36

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Jagung yang terserang Aspergillus flavus...……. 4

2. Aspergillus flavus...……..……...…. 6

3. Diferensiasi Leukosit... 12

4. Tahapan Perbanyakan Kultur Aspergillus flavus... 16

5. Tahapan Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung... 17

6. Nilai Eritrosit Periode Starter (0-3 minggu)... 30

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Hemoglobin

Broiler Periode Starter (0-3 minggu)... 46 2. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Hematokrit

Broiler Periode Starter (0-3 minggu)... 46 3. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Eritrosit Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 47 4. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Leukosit Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 47 5. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai IgY Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 48 6. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai MCV Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 48 7. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai MCHC Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 49 8. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Limfosit Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 49 9. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Heterofil Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 50 10.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Monosit Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 50 11.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Eosinofil Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 51

12.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Hemoglobin

Broiler Periode Finisher (3-6 minggu)... 51 13.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Hematokrit

Broiler Periode Finisher (3-6 minggu)... 52 14.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Eritrosit Broiler

Periode Finisher (3-6 minggu)... 52 15.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Leukosit Broiler

Periode Finisher (3-6 minggu)... 53 16.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai IgY Broiler

Periode Finisher (3-6 minggu)... 53 17.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai MCV Broiler

Periode Finisher (3-6 minggu)... 54 18.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai MCHC Broiler

(13)

19.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Limfosit Broiler

Periode Finisher (3-6 minggu)... 55 20.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Heterofil Broiler

Periode Finisher (3-6 minggu)... 55 21.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Monosit Broiler

Periode Finisher (3-6 minggu)... 56 22.ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Eosinofil Broiler

Periode Finisher (3-6 minggu)... 56 23.Uji Duncan Interaksi Perlakuan Terhadap Nilai Eritrosit

Broiler Periode Starter (0-3 minggu)... 57 24.Kontras Ortogonal Pengaruh Level Metionin Terhadap Nilai

Leukosit Broiler Periode Starter (0-3 minggu)... 57 25.Uji Duncan Interaksi Perlakuan Terhadap Nilai IgY Broiler

Periode Starter (0-3 minggu)... 58 26.Kontras Ortogonal Pengaruh Level Aflatoksin Terhadap Nilai

Heterofil Broiler Periode Starter (0-3 minggu)... 58 27.Kontras Ortogonal Pengaruh Level Aflatoksin Terhadap Nilai

Leukosit Broiler Periode Finisher (3-6 minggu)... 59 28.Nilai Hematologi Broiler yang Diberi Ransum Komersil dan

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung merupakan bahan pakan sumber energi utama dalam ransum unggas.

Penggunaan jagung dalam pakan unggas bisa mencapai 70% (Amrullah, 2004). Oleh

karena itu, jika jagung tercemar oleh bahan asing maka akan menurunkan kualitas

pakan dan membahayakan bagi ternak.

Masalah di bidang pakan yang sering dihadapi di Indonesia salah satunya

adalah adanya cemaran kapang. Kondisi Indonesia yang beriklim tropis dengan suhu

dan kelembaban yang tinggi mempercepat terjadinya penurunan kualitas bahan baku

pakan dan pertumbuhan kapang selama penyimpanan. Ahmad et al. (1999) telah

memeriksa cemaran kapang pada ransum unggas dan hasil pemeriksaan

menunjukkan bahwa Aspergillus spp. merupakan pencemar utama pada pakan dan

bahan penyusun pakan, dengan Aspergillus flavus adalah pencemar terbesar (43%).

Sudjadi et al. (1999) menyatakan bahwa sampel kacang yang dikumpulkan dari

sawah, gudang petani, kolektor, distributor dan pasar, telah terkontaminasi A. flavus

dengan kisaran 60-80% dengan kandungan aflatoksin 40-4100 ppb.

Jagung merupakan bahan penyusun pakan yang paling banyak dicemari

kapang. Purwoko et al. (1991) melaporkan adanya cemaran A. flavus dan A.

parasiticus serta kandungan aflatoksin pada 34 sampel jagung dari peternakan dan

pabrik pakan di wilayah Bogor dan Jakarta. Hampir seluruh sampel tersebut

tercemari A. flavus dan hanya tujuh sampel yang tercemari A. parasiticus. Cemaran

akibat aflatoksin B1 mencapai 91%, sisanya adalah aflatoksin G.

Aflatoksin adalah produk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh A. flavus

dan A. parasiticus (Bryden, 1999). Ada 4 tipe aflatoksin yang umum ditemui, yaitu

aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 (B = blue fluorescence; G = green fluorescence)

(Lillehoj, 1986). Aflatoksin B1 merupakan yang paling berbahaya bagi kesehatan.

Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga di

dalam darah dan organ lainnya. Tubuh akan berusaha mengurangi efek racun dari

aflatoksin dan akan dikeluarkan oleh tubuh melalui cairan empedu, susu, telur, dan

air seni. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi

perubahan patologis dan menimbulkan beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat

(15)

Aflatoksin pada hewan dapat menyebabkan bobot organ dalam bervariasi

(pembesaran hati, limpa, ginjal, fatty liver syndrome), pengurangan bursa fabricius

dan timus, perubahan tekstur dan warna organ (hati dan tenggorokan), anemia,

pendarahan, imunosupresi, kerusakan kulit, dan penurunan efisiensi breeding (Riley

dan Norred 1996). Beberapa parameter darah juga terpengaruh oleh aflatoksin jika

termakan pada level tertentu. Leeson et al. (1995) menyatakan bahwa parameter darah yang terpengaruh yaitu penurunan signifikan pada hemoglobin, hematokrit,

eritrosit dan MCV (Mean Corpuscular Volume).

Metionin merupakan asam amino yang mengandung sulfur. Penambahan

suplemen seperti antioksidan, vitamin, asam amino bersulfur dan lainnya telah

dilakukan untuk mengatasi efek dari aflatoksin. Peningkatan protein dalam ransum

juga diduga dapat melindungi dari efek aflatoksin (Leeson et al., 1995). Pada penelitian ini dilakukan percobaan pengaruh penambahan metionin dalam ransum

yang mengandung jagung yang terkontaminasi aflatoksin.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh

pemberian metionin pada level berbeda terhadap profil darah dan imunoglobulin Y

(IgY) ayam broiler yang diberikan ransum terkontaminasi aflatoksin dalam batas

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Pedaging (Broiler)

Broiler atau ayam pedaging adalah jenis unggas yang telah mengalami seleksi

gen selama bertahun-tahun sehingga hanya dalam waktu produksi 35 sampai 40 hari

sudah layak dikonsumsi. Dalam Kartasudjana (2005) dikatakan bahwa ayam broiler

merupakan ayam-ayam muda jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur

sekitar 5-6 minggu dengan bobot badan antara 1,2-1,9 kg/ ekor dan bertujuan sebagai

sumber daging. Kebutuhan nutrisi broiler dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Broiler

Nutrien Periode

(17)

strain Ross memiliki keunggulan dan karakteristik sendiri dibanding strain lainnya yaitu memiliki FCR lebih efisien, laju pertumbuhan lebih cepat, daya hidup lebih

bagus dan fokus pengembangan genetik pada kekuatan kaki sebagai penyeimbang

berat badan.

Faktor pendukung pertumbuhan ayam adalah kualitas dan kuantitas makanan,

suhu dan manajemen pemeliharaannya (Rasyaf, 2003). Selain itu, kecepatan

pertumbuhan ayam sangat dipengaruhi oleh mutu makanan, suhu lingkungan, sistem

perkandangan dan pengendalian penyakit. Pakan yang tercemar kontaminan seperti

jamur akan menjadi tidak palatabel bagi ayam dan jika ternyata beracun akan

menimbulkan masalah kesehatan bagi ayam. Di dalam SNI ransum broiler tahun

1995 terdapat batasan kadar afllatoksin yaitu sebesar 50 ppb untuk broiler periode

starter dan 60 ppb untuk broiler periode finisher.

Jagung

Jagung termasuk bahan makanan yang utama digunakan dalam pakan ternak.

Jagung digemari karena disukai dan sesuai untuk semua jenis ternak. Jagung

digunakan sebagai sumber energi utama karena nilai energi dan nutrien tercernanya

cukup tinggi dibanding biji-bijian lainnya. Menurut Tillman et al. (1983), di dalam biji-bijian, karbohidrat terutama terdapat dalam bentuk pati. Pati jagung terdiri atas

amilosa (27%) dan amilopektin (83%). Pati biji jagung terdapat di beberapa tempat

seperti endosperm (84,4%), lembaga (8,2%) dan tudung biji (5,3%) sedangkan

protein jagung terdapat dalam lembaga (8,5 %) dan endosperma (8,6 %). Jagung

terutama digunakan sebagai penyusun ransum ternak unggas. Penggunaan jagung

dalam ransum broiler bisa mencapai 70 % (Amrullah, 2004).

Gambar 1. Jagung yang Terserang Aspergillus flavus

(18)

Indonesia sebagai negara tropis memiliki lingkungan yang cocok untuk

pertumbuhan dan perkembangan berbagai macam mikroba. Mikotoksin seperti

aflatoksin banyak didapat pada tanaman yang ditanam di Indonesia. Jagung dan

kacang tanah merupakan bahan yang sering terserang Aspergillus flavus yang merupakan kapang penghasil aflatoksin seperti terlihat pada Gambar 1. Menurut

Sauer dan Tuite (1986), suhu dan kelembaban merupakan dua faktor penting yang

menentukan berkembangnya Aspergillus flavus dan kemampuannya memproduksi aflatoksin. Karena faktor lingkungan yang mendukung, tidak jarang ditemui jagung

dengan kadar aflatoksin tinggi dari hasil panen petani-petani di Indonesia. Kondisi

lingkungan dan iklim, varietas jagung dan kerusakan oleh serangga merupakan faktor

yang mempengaruhi konsentrasi aflatoksin pada jagung (Plumlee, 2004). Berikut

merupakan standar kualitas jagung bahan pakan menurut SNI nomor 01-4483-1998.

Tabel 2. SNI Bahan Pakan Jagung

Komposisi Jumlah kandungan

Kadar air Maks 14%

Kadar Protein Kasar Min 7,5%

Kadar Serat Kasar Maks 3%

Kadar Abu Maks 2%

Kadar Lemak Min 3%

Mikotoksin

1) Aflatoksin (maksimum) Maks 50 ppb

2) Okratoksin (maksimum) Maks 5 ppb

Butir Pecah Maks 5%

Warna Lain Maks 5%

Benda Asing Maks 2%

Kepadatan Min 700 kg/cm3

Sumber : Direktorat Jendral Peternakan, 2009

Aflatoksin

Kapang merupakan jenis mikroba yang sering mencemari tanaman pangan

terutama serealia dan kacang-kacangan. Kapang dapat menghasilkan mikotoksin

yang berbahaya bagi kesehatan ternak. Kapang yang umum ditemui adalah

(19)

berbahaya bagi kesehatan manusia karena menghasilkan aflatoksin sebagai produk

metabolit sekundernya.

Aflatoksin adalah molekul kecil yang tidak suka terhadap air, tahan perlakuan

fisik, biologi dan kimia serta tahan terhadap suhu tinggi. Ada 4 tipe aflatoksin yang

umum ditemui (Lillehoj, 1986), yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 (B = blue

fluorescence; G = green fluorescence). Tipe aflatoksin yang berbeda memiliki suhu

dan waktu pertumbuhan yang berbeda pula (Diener dan Davis, 1986). Aflatoksin B1

merupakan tipe yang paling berbahaya bagi kesehatan. Kebanyakan strain

Aspergillus flavus hanya menghasilkan afaltoksin B namun terdapat juga strain Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang tidak memproduksi aflatoksin (Plumlee, 2004).

Gambar 2. Aspergillus flavus

Sumber: Brown (2009)

Cemaran Aspergillus flavus saat budidaya dipengaruhi beberapa faktor, antara lain, suhu tanah, lengas tanah, kandungan unsur hara dalam tanah serta hama dan

penyakit. Kelembaban udara tinggi (90-98%) dan suhu tanah 17-42oC menyebabkan

Aspergillus flavus menjadi lebih kompetitif. Plumlee (2004) mengatakan bahwa pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin dipertinggi oleh kadar air lebih dari

15%, kelembaban di atas 75%, suhu yang hangat dan kecukupan oksigen. Cemaran

aflatoksin pada jagung bergantung pada kondisi lingkungan dan perlakuan pasca

panen. Kandungan aflatoksin total pada jagung pipil lebih tinggi daripada pada

jagung tongkol. Menurut Diener dan Davis (1986), kontaminasi terjadi saat

(20)

Bila pakan yang tercemar aflatoksin termakan oleh ternak (unggas dan

ruminansia) maka aflatoksin akan masuk ke tubuh ternak dan terakumulasi pada

organ terutama hati dan ginjal. Aflatoksin yang termakan akan mengalami proses

biotransformasi enzimatis pada organ seperti hati dan ginjal sebagai respon tubuh

ternak untuk mengeluarkan toksin tersebut dari tubuh (Leeson et al., 1995). Dijelaskan oleh Plumlee (2004) mengenai mekanisme kerja aflatoksin dimana

produk hasil epoksidasi (salah satu proses biotransformasi enzimatis) aflatoksin B1

akan berikatan dengan komponen sel seperti asam nukleat, organel sel dan protein

kemudian memecah proses anabolis dan katabolis tubuh. Hal ini menyebabkan

kerusakan fungsi organ, karsinogenesis, imunosupresi, mutagenesis dan

teratogenesis.

Metionin

Umumnya hewan tidak mampu mensintesa asam-asam amino seperti pada

tanaman, sehingga dalam pakannya harus tersedia asam-asam amino yang

dibutuhkannya. Cheeke (2005) menyebutkan bahwa asam amino dibedakan menjadi

asam amino esensial dan asam amino non esensial. Asam amino esensial tidak dapat

disintesis tubuh ternak sedangkan asam amino non esensial dapat disintesis untuk

memenuhi kebutuhan. Sangat sulit untuk membuat patokan kebutuhan asam amino

esensial secara umum dari satu spesies ke spesies lainnya karena terdapat perbedaan

kualitatif dan kuantitatif kebutuhan asam amino dalam makanan. Unggas, seperti

halnya tikus dan anjing, memerlukan 10 asam amino yang esensial.

Asam amino metionin merupakan salah satu asam amino yang esensial dalam

hidup ternak. Asam amino metionin termasuk ke dalam golongan asam amino yang

mengandung sulfur selain sistin dan sistein (Tillman et al., 1983). Asam amino metionin sangat diperlukan untuk kecepatan pertumbuhan dan hidup pokok semua

hewan. Apabila terjadi kekurangan protein akan menekan laju pertumbuhan ternak,

efisiensi konversi pakan, respon imun dan efisiensi reproduksi. Defisiensi metionin

pada ransum yang mengandung jagung atau bungkil kedelai maka akan

mengakibatkan laju pertumbuhan yang rendah, serta penurunan bobot dan produksi

telur (Shane, 2005). Plumlee (2004) menyatakan bahwa pemberian metionin yang

rendah dalam ransum akan menyebabkan peningkatan hepatokarsinogenesis dan

(21)

maka akan bersifat racun dan berakibat buruk bagi ternak. D’ Mello (2003)

mneuliskan bahwa metionin adalah asam amino yang paling menekan pertumbuhan

jika diberikan berlebihan pada ternak.

Hasil penelitian Nahrowi et al. (2007) menunjukkan bahwa konsumsi metionin yang berlebih pada ayam petelur (432 mg/hari/ekor) menyebabkan

penurunan performa ayam. Hasil yang terbaik didapat dari ayam yang

mengkonsumsi metionin sebanyak 388,8 mg/hari/ekor dengan total kandungan

metionin dalam pakan sebesar 0,38%, selain itu juga pada ayam yang mendapat

suplementasi metionin 0,05% pada air minum. Peubah yang diamati mendapat hasil

terbaik yaitu produksi hen-day, FCR, berat telur, berat albumin dan berat kerabang. Asam amino metionin memiliki sifat glikogenik (menghasilkan glukosa saat

proses metabolisme) dan lipotropik (memecah lemak dalam tubuh ketika proses

metabolisme). Piliang dan Djojosoebagio (2006) mengatakan bahwa sifat glikogenik

metionin meningkatkan pembentukan glukosa dan glikogen. Karena itu, pemberian

metionin dapat meningkatkan jumlah energi bruto dalam tubuh ayam karena energi

bruto yang dibuang melalui ekskreta diturunkan.

Asam amino yang terdapat pada tumbuhan dan hewan pada umumnya

memiliki bentuk isomer L. DL-metionin (Dekstro-Levo-Methionine) merupakan

salah satu jenis asam amino sintetis yang berbentuk serbuk. DL-metionin merupakan

sumber asam amino komersial yang memiliki tingkat kemurnian 99%. Ketika

digunakan, DL-metionin bisa memenuhi kebutuhan metionin pada ransum (NRC,

1998). D’ Mello (2003) mengatakan bahwa DL-metionin merupakan hasil produksi

melalui sintesis kimia yang mencampurkan isomer D dan L. Asam amino D tidak

digunakan oleh ternak untuk sintesis protein maupun keperluan metabolik lain. Oleh

karena itu, D-metionin akan diubah oleh tubuh menjadi L-metionin sebelum dapat

digunakan.

Penambahan DL-metionin ke dalam ransum diharapkan dapat mengurangi

efek negatif dari aflatoksin. Metionin diharapkan bekerja sebagai bahan pengikat

atau inaktivator aflatoksin. Inaktivator berperan untuk mengikat atau mengubah

mikotoksin selama proses pencernaan sehingga menghalangi mikotoksin

(22)

pengikat memiliki kemampuan untuk mengikat substansi kimia sehingga merintangi

penyerapan aflatoksin di saluran pencernaan.

Darah

Darah terdiri dari sel-sel yang terdapat dalam plasma. Sel darah terdiri dari 3

macam, yaitu sel darah merah (erythrocyte), sel darah putih (leukocyte) dan kepingan

darah (thrombocytes atau platelets) (Dellman dan Brown, 1992).

Fungsi darah menurut Rastogi (2007) yaitu:

1. Membawa nutrien yang telah diserap saluran pencernaan menuju ke berbagai

jaringan tubuh,

2. Membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh,

3. Membawa karbon dioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru,

4. Membawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk

diekskresikan,

5. Berperan penting dalam pengendalian suhu dengan cara mendistribusikan panas

ke seluruh bagian tubuh,

6. Memiliki kapasitas buffer yang menjaga keseimbangan asam-basa tubuh agar

tetap normal,

7. Mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebih sewaktu terluka melalui

kerja trombosit darah,

8. Menjaga keseimbangan air tubuh dengan menukarkan air antara darah dengan

cairan jaringan,

9. Memberi perlindungan bagi tubuh melawan infeksi dan antibodi,

10. Membawa hormon untuk didistribusikan ke berbagai bagian tubuh,

11. Berperan untuk suplai metabolit kimia dan esensial.

Ternak yang sehat akan memiliki profil darah yang normal. Ada dua faktor

yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan profil darah yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal antara lain kesehatan, stres, status gizi, suhu tubuh,

pertambahan umur dan siklus estrus sedangkan faktor eksternal seperti perubahan

suhu lingkungan dan infeksi kuman (Guyton dan Hall, 1996). Infeksi kuman salah

satunya adalah ditandai dengan jumlah leukosit yang meningkat (Frandson, 1992).

(23)

Tabel 3. Nilai Hematologis Darah Ayam Broiler

Profil darah Satuan Sumber 1) Sumber 2)

Eritrosit 106/mm3 2,5-3,2 2,0-3,2

Hemoglobin g/100ml 6,5-9,0 7,3-10,9

Hematokrit % 30,0-33,0 24,0-43,0

Leukosit 103/mm3 20,0-30,0 16,0-40,0

Heterofil % 25,0-30,0 9,0-56,0

Limfosit % 55,0-60,0 24,-84,0

Monosit % 10,0 0-30,0

Eosinofil % 3,0-8,0 0-7,0

Sumber : 1) Swenson (1984)

2) Mangkoewidjojo dan Smith (1988)

Mikotoksin adalah racun yang dihasilkan oleh golongan cendawan.

Mikotoksin yang termakan oleh ayam sampai pada batas tertentu akan menimbulkan

gejala, salah satunya yaitu melemahnya sistem pertahanan tubuh ayam atau sering

disebut imunosupresi. Dari sekitar 300 jenis mikotoksin yang telah terdeteksi dari

100.000 spesies jamur, setidaknya ada 4 jenis mikotoksin yang bersifat imunosupresi

pada ayam, yaitu aflatoksin, ochratoksin, fumonisin dan trichothecenes (T2).

Aflatoksin dapat menyebabkan pengecilan bursa fabricius, limpa maupun thymus. Aflatoksin juga dapat merusak sel limfosit B, mengganggu fungsi fagosit sel-sel

fagositik serta menurunkan aktivitas fungsional dari komplemen. Ocratoksin

mengakibatkan atropi thymus, menghambat fungsi fagositosis sel-sel heterofil

fagositik dan menyebabkan penipisan sel limfosit T dan B. Atropi organ limfoid dan

kerusakan makrofag juga diakibatkan oleh adanya fumonisin sedangkan

trichothecenes mengakibatkan nekrosis jaringan limfoid dan sumsum tulang

belakang. Plumlee (2004) menuliskan salah satu gejala klinis dari paparan aflatoksin

kronis yaitu terjadinya anemia pada ternak.

Hemoglobin

Hemoglobin adalah senyawa yang berasal dari ikatan komplek antar protein

(24)

globin maka terbentuk hemoglobin (Rastogi, 2007). Hemoglobin merupakan

petunjuk kecukupan oksigen. Kandungan oksigen yang rendah dalam darah

menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan eritrosit (Swenson, 1984).

Hematokrit

Persentase sel darah merah dalam 100 ml darah dinamakan hematokrit atau

packed cell volume (PCV). Rastogi (2007) mengatakan bahwa nilai hematokrit biasanya tiga kali dari nilai hemoglobin dan dituliskan dalam bentuk persen. Nilai

hematokrit yang rendah mengindikasikan anemia atau overhidrasi sedangkan nilai

hematokrit yang tinggi menandakan polisitemia atau dehidrasi.

Sel Darah Merah (Eritrosit)

Eritrosit adalah sel darah merah yang membawa hemoglobin ke dalam

sirkulasi. Eritrosit pada unggas intinya terletak di tengah dan berbentuk oval.

Erittrosit dibentuk di sumsum tulang dan dalam jumlah sedikit di limpa (Swenson,

1984). Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan hematokrit, selain itu

juga dipengaruhi oleh umur, bangsa, jenis kelamin, aktivitas, nutrien, produksi telur,

volume darah, panjang hari, faktor iklim dan suhu lingkungan.

Sel Darah Putih (Leukosit)

Leukosit merupakan sel darah putih dengan jumlah lebih sedikit daripada

eritrosit (Swenson, 1984). Peningkatan nilai leukosit dari jumlah normal menandakan

terjadinya infeksi sedangkan penurunan leukosit menandakan depresi sumsum

tulang, yang diakibatkan oleh infeksi viral atau reaksi toksik terhadap agen kimia

(Ratogi, 2007). Nilai diferensiasi leukosit berdasarkan umur ayam dapat dilihat pada

Tabel 4.

Leukosit dibagi menjadi granulosit (bergranula dalam sitoplasmanya) seperti

heterofil, eosinofil dan basofil serta agranulosit seperti limfosit dan monosit.

Menurut Frandson (1992), masa hidup sel darah putih berbeda-beda mulai dari

beberapa jam untuk granulosit, bulanan pada monosit dan tahunan pada limfosit.

(25)

a) Eosinofil; b) Neutrofil/ Heterofil; c) Basofil

d) Monosit; e) Limfosit

Gambar 3. Diferensiasi Leukosit Sumber: Fakhrizal (2009)

Tabel 4. Persentase Leukosit Berdasarkan Umur Ayam

Umur Persentase (%)

Heterofil Eosinofil Basofil Limfosit Monosit

0 hari 72,4 2,5 1,1 15,9 8,8

3 hari 52,7 1,6 0,67 38,7 6,4

8 hari 50 0,25 0 48,3 1,5

10 hari 26,7 1,7 0,64 68,6 2,3

1 minggu 24 0 0 75 1

2 minggu 20,6 3,1 1,9 66 8,1

6 minggu 26 0 1 69 3

Sumber: Hodges (1997)

Neutrofil

Neutrofil atau juga dikenal dengan nama heterofil pada unggas mengandung

granula yang memberikan warna tidak merah dan tidak biru, sitoplasmanya

mengambil sedikit warna sehingga inti terlihat lebih jelas. Heterofil pada ayam

biasanya bulat berdiameter 10-15 µm dengan sifat inti polimorfik dan lobus

bervariasi (Frandson, 1992).

Monosit

Sel ini bersifat fagositik, yang berarti kemampuan menerkam material asing

(26)

selain menghancurkan partikel asing dan jaringan mati juga mengolah bahan asing

sedemikian rupa sehingga bahan asing tadi akan membangkitkan tanggap kebal.

Limfosit

Limfosit adalah leukosit yang merupakan bagian terbesar dalam darah unggas

(Swenson, 1984). Limfosit dibentuk di sumsum tulang belakang, tetapi sebagian

dibentuk dari sel prekusor yang berasal dari sumsum tulang, di dalam kelenjar limfe,

timus dan limpa. Tizard (1987) menyatakan bahwa limfosit memiliki fungsi

kompleks dengan fungsi utama memproduksi antibodi (limfosit B) atau sebagai sel

efektor khusus ketika menanggapi antigen yang melekat pada makrofag (limfosit T).

Adanya infeksi dan stres dapat mempengaruhi jumlah limfosit (Swenson, 1984).

Eosinofil

Eosinofil terlihat sebagai granula berwarna merah di dalam sitoplasma. Sel

ini berjumlah tidak banyak namun dapat meningkat saat tubuh terkena penyakit

kronis seperti terinfeksi parasit atau saat reaksi alergi (Frandson, 1992). Fungsi

utamanya adalah untuk toksifikasi terhadap protein asing yang masuk ke tubuh

melalui paru-paru dan saluran pencernaan serta racun yang dihasilkan bakteri dan

parasit.

Basofil

Jumlah basofil dalam sirkulasi darah hanya sedikit. Sel ini ditandai dengan 2

lobus dan mempunyai granula intrasitoplasmik berwarna ungu (Kresno, 2001).

Leukosit darah yang kaya basofil melepaskan histamin pada reaksi serupa dengan

reaksi sel mast. Saat ada rangsangan alergen, sel-sel tersebut dapat melepaskan

berbagai mediator yang mengakibatkan reaksi anafilaktik.

Sistem Imun

Sistem imun dalam tubuh memberikan respons dan melindungi tubuh

terhadap unsur-unsur patogen. Respon imun sangat bergantung terhadap kemampuan

sistem imun untuk mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen

potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan

sumber antigen tersebut. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur utama

sistem imun yaitu limfosit, yang kemudian diikuti fase efektor yang melibatkan

(27)

Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai

molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab

infeksi. Imunoglobulin terdiri dari molekul-moluekul protein yang memiliki struktur

dan sifat biologik yang sama tetapi memiliki perbedaan dalam susunan asam amino

yang membentuknya. Imunoglobulin (Ig) dibentuk oleh sel limfosit B (Kresno,

2001). Imunoglobulin pada manusia dibagi menjadi 5 jenis yaitu IgM (µ), IgD ( ),

IgG ( ), IgA ( ), IgE ( ). Unggas memiliki imunoglobulin (Ig) dengan tipe IgM, IgY

dan IgA. Penamaan IgY sering dipakai pada unggas untuk menggantikan IgG (Glick,

2000). IgG dalam serum kadarnya sekitar 75% dan IgE kadarnya rendah yang

meningkat pada reaksi alergi (Kresno, 2001). IgY diproduksi setelah IgM pada

respon antibodi primer dan merupakan isotipe utama yang diproduksi pada respon

(28)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010 hingga Juli 2010 yang

bertempat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Terpadu,

Kandang Percobaan Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Fakultas Peternakan dan Laboratorium Fisiologi Departemen Fisiologi dan

Farmakologi FKH, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu kultur

Aspergillus flavus yang dibiakkan dalam jagung. Selain itu digunakan 720 ekor broiler strain Ross Jumbo 747, ransum dengan level aflatoksin dan metionin yang berbeda, vaksin ND dan vaksin Gumboro serta bahan pendukung lainnya.

Peralatan yang digunakan yaitu kawat ose, plastik tahan panas kapasitas 5 kg,

karet gelang, autoclave, freezer, terpal, plastik penutup, sarung tangan, masker, peralatan pembersih kandang, selang, hygrometer, timbangan, koran, tempat pakan

dan air minum, sekat pembatas, pemanas, lampu, kawat dan peralatan pengambilan

darah yaitu kapas, syringe 3 ml serta tabung yang sudah berisi anti-koagulan.

Metode

Metode penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan. Tahapan pertama yaitu

persiapan ransum yang meliputi perbanyakan kultur Aspergillus flavus dan transfer kapang Aspergillus flavus ke dalam jagung yang akan dipakai untuk membuat ransum. Skema prosesnya dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. Kultur

Aspergillus flavus merupakan koleksi yang terdapat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Tahapan selanjutnya yaitu pembuatan ransum

penelitian dan persiapan kandang diikuti dengan tahap pemeliharaan ayam broiler di

(29)

Perbanyakan Kultur Aspergillus flavus

Diagram alur metode perbanyakan kultur Aspergillus flavus disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahapan Perbanyakan Kultur Aspergillus flavus PDA (Potato Dextrose Agar) ditimbang sebanyak 0,975 g untuk 5 tabung

Erlenmeyer

Ditambahkan aquades yang telah disterilkan (1 liter aquades untuk 39 g PDA)

Dipanaskan dan diaduk agar homogen

Diambil 5 ml agar untuk setiap tabung, ditutup kapas

Autoclave (1210C, 45 menit)

Media agar miring

Kultur Aspergillus flavus dioles di atas media agar

Ditutup kapas dan parafilm

(30)

Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung

Diagram alur metode transfer kapang Aspergillus flavus ke dalam jagung disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Tahapan Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung Kultur Aspergillus flavus

ditambahkan aquades steril

Dicampur ke dalam 10 kg jagung

Inkubasi (1 minggu)

Jagung terkontaminasi Aspergillus flavus

500 kg jagung di autoclave (1210C,

45 menit)

Air di autoclave sebanyak 107 L (1210C, 60 menit)

Dicampur hingga homogen

Jagung yang sudah terkontaminasi jamur Aspergillus flavus diambil sebanyak 200 g untuk 10 kg jagung

kuning yang sebelumnya telah dicampur dengan air

(31)

Pembuatan Ransum

Ransum yang dibuat meliputi ransum periode starter dan finisher. Ransum yang dibuat ada 9 macam yaitu tiga level aflatoksin dengan tiga dosis DL-metionin

di setiap levelnya. Komposisi bahan pakan ransum starter dan finisher diperlihatkan pada Tabel 5 dan 6. Pencampuran ransum dilakukan dengan menggunakan mixer dari bahan yang paling halus dan berjumlah sedikit. Selanjutnya pakan dibuat pellet dan crumble.

Tabel 5. Komposisi Ransum Periode Starter (0-3 minggu)

Bahan pakan Komposisi

M1A1 M1A2 M1A3 M2A1 M2A2 M2A3 M3A1 M3A2 M3A3

Jagung kuning (%) 47,95 47,95 47,95 47,95 47,95 47,95 47,95 47,95 47,95

Dedak padi (%) 12,01 12,01 12,01 12,01 12,01 12,01 12,01 12,01 12,01

Bgkl kedelai (%) 25,00 25,00 25,00 25,00 25,00 25,00 25,00 25,00 25,00

(32)

Tabel 6. Komposisi Ransum Periode Finisher (3-6 minggu)

Bahan pakan Komposisi

M1A1 M1A2 M1A3 M2A1 M2A2 M2A3 M3A1 M3A2 M3A3

Jagung kuning (%) 52,00 52,00 52,00 52,00 52,00 52,00 52,00 52,00 52,00

Dedak padi (%) 13,00 13,00 13,00 13,00 13,00 13,00 13,00 13,00 13,00

Bgkl kedelai (%) 19,00 19,00 19,00 19,00 19,00 19,00 19,00 19,00 19,00

Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010); M1A1= ransum basal + 0% metionin + 0 ppb aflatoksin, M1A2= ransum basal + 0% metionin + 150 ppb aflatoksin, M1A3= ransum basal + 0% metionin + 300 ppb aflatoksin, M2A1= ransum basal + 0,20% metionin + 0 ppb aflatoksin, M2A2= ransum basal + 0,20% metionin + 150 ppb aflatoksin, M2A3= ransum basal + 0,20% metionin + 300 ppb aflatoksin, M3A1= ransum basal + 0,30% metionin + 0 ppb aflatoksin, M3A2= ransum basal + 0,30% metionin + 150 ppb aflatoksin, M3A3= ransum basal + 0,30% metionin + 300 ppb aflatoksin.

Penambahan DL-metionin pada periode starter yaitu sebesar 0, 0,25% dan 0,35%, sedangkan pada periode finisher sebesar 0, 0,20% dan 0,30%. Nilai kandungan nutrien ransum starter dan finisher yang meliputi hasil analisis proksimat, kandungan aflatoksin dan kandungan asam amino ransum diperlihatkan pada Tabel 7

dan 8.

Persiapan Kandang

Kandang yang dipakai untuk pemeliharaan terlebih dahulu dibersihkan

dengan disapu, disikat dan dibilas dengan detergen dan air. Kemudian setelah kering

kandang diberi sekat-sekat, dipasang papan nomor dan dikapur. Kandang dipasang

tirai lalu ke dalam setiap sekat ditaburkan sekam dan dipersiapkan tempat pakan dan

(33)

Tabel 7. Kandungan Nutrien dan Aflatoksin Ransum Periode Starter (0-3 minggu) Nutrien Komposisi

M1A1 M1A2 M1A3 M2A1 M2A2 M2A3 M3A1 M3A2 M3A3

PK (%) 23,37 23,80 23,93 23,74 23,90 23,38 25,53 24,60 24,62

LK (%) 3,82 4,18 3,04 3,42 3,74 3,41 3,55 3,83 3,50

SK (%) 4,52 4,11 3,76 3,48 4,37 4,51 3,44 3,65 4,47

Abu (%) 6,77 6,42 6,58 6,42 6,51 6,67 6,23 6,52 6,69

Beta-N (%) 46,75 47,04 48,13 47,71 46,95 46,40 47,35 47,56 46,98

Ca (%) 1,17 1,30 1,24 1,18 1,49 1,48 1,54 1,60 1,69

P (%) 1,00 1,06 1,03 1,00 0,97 1,01 1,01 1,01 1,02

GE (kal/gr) 3824 3811 3849 3825 3813 3923 3863 3920 3997

Metionin (%) 0,42 0,50 0,50 0,52 0,59 0,51 0,55 0,46 0,56

Aflatoksin (ppb) 25,65 19,24 25,60 24,02 26,15 27,35 29,11 34,50 29,69

(34)

Tabel 8. Kandungan Nutrien dan Aflatoksin Ransum Periode Finisher (3-6 minggu)

Nutrien Komposisi

M1A1 M1A2 M1A3 M2A1 M2A2 M2A3 M3A1 M3A2 M3A3

PK (%) 20,20 20,40 21,00 21,00 21,00 21,20 21,00 20,00 22,00

LK (%) 5,99 4,57 4,10 3,80 5,00 5,81 7,70 6,20 5,20

SK (%) 4,13 4,54 4,80 6,00 5,30 5,31 4,00 3,90 6,70

Abu (%) 5,80 5,73 5,80 5,60 5,90 5,98 5,30 5,50 5,70

Beta-N (%) 52,10 52,70 53,00 52,00 51,00 49,80 50,00 52,00 48,00

Ca (%) 1,21 1,22 1,30 1,20 1,20 1,11 1,10 1,10 1,00

P (%) 0,86 0,85 0,90 0,80 0,90 0,89 0,80 0,90 0,90

GE (kal/gr) 3893 3895 3908 3921 3843 3888 3890 3839 3902

Metionin (%) 0,51 0,48 0,56 0,48 0,48 0,69 0,52 0,50 0,62

Phenilalanin (%) 0,30 0,31 0,36 0,29 0,23 0,32 0,24 0,25 0,38

Lysin (%) 1,27 0,98 1,23 1,16 0,94 1,28 1,01 0,99 1,24

Aflatoksin (ppb) 69,57 72,64 71,67 78,50 74,33 72,51 68,33 66,67 62,35

(35)

Pemeliharaan

DOC yang baru datang ditimbang dan dibagi ke dalam 9 perlakuan dan 4

ulangan sehingga setiap sekat berisi DOC sebanyak 20 ekor. Pada awal masuk, DOC

diberikan larutan gula kemudian dilanjutkan pemberian Vita Stress ke dalam air minum selama tiga hari pertama dan setiap setelah penimbangan. Pemeliharaan

dilakukan selama 42 hari. Ransum starter diberikan mulai dari DOC hingga ayam berumur 21 hari dilanjutkan dengan pemberian ransum finisher mulai umur 22 hari hingga umur 42 hari. Ayam diberi pakan dan minum secara ad libitum. Sisa ransum yang tidak habis kemudian ditimbang dan dicatat. Pengukuran pertambahan bobot

badan dilakukan setiap minggu.

Pencegahan terhadap penyakit dilakukan melalui vaksinasi. Vaksinasi ND

(newcastle disease) dilakukan saat ayam berumur 3 hari dengan tetes mata dan saat

berumur 21 hari melalui oral (ditambahkan ke dalam air minum). Sedangkan

vaksinasi IBD atau gumboro dilakukan secara oral (ditambahkan ke dalam air

minum) saat ayam berumur 10 hari.

Pengambilan Darah

Darah diambil dari seekor ayam secara acak dalam masing-masing perlakuan

dan setiap ulangan. Pengambilan darah pada ayam dilakukan melalui vena jugularis. Pengambilan darah dilakukan pada periode starter dan finisher, yaitu saat ayam

berumur 20 hari dan 41 hari, sebelum pemberian ransum yaitu pada pagi hari antara

pukul 08.00-10.00 WIB.

Analisa profil darah meliputi kadar hemoglobin, hematokrit, butir darah

merah (BDM) dan butir darah putih (BDP) dilakukan di Laboratorium Fisiologi,

Departemen Fisiologi dan Farmakologi, FKH. Analisa kadar hemoglobin dilakukan

dengan menggunakan metode Sianomethemoglobin. Analisa hematokrit dengan

menggunakan metode mikrohematokrit, sedangkan BDM dan BDP dihitung dengan

menggunakan hemositometer.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) pola faktorial 3x3 dengan 3 level faktor A dan 3 level faktor B. Faktor A

adalah level metionin dan faktor B adalah level aflatoksin. Perlakuan ransum yang

(36)

M1= tanpa penambahan DL-metionin

M2= penambahan 0,25% DL-metionin

M3= penambahan 0,35% DL-metionin

A1= level aflatoksin ransum 0 ppb

A2= level aflatoksin ransum 150 ppb

A3= level aflatoksin ransum 300 ppb

Perlakuan ransum finisher yang diberikan adalah sebagai berikut: M1= tanpa penambahan DL-metionin

M2= penambahan 0,20% DL-metionin

M3= penambahan 0,30% DL-metionin

A1= level aflatoksin ransum 0 ppb

A2= level aflatoksin ransum 150 ppb

A3= level aflatoksin ransum 300 ppb

Model matematika yang digunakan adalah :

Yijk = µ + αi + βj +(αβ) ij + εijk

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan perlakuan ke-i, perlakuan ke-j, dan ulangan ke-k

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i

βj = Pengaruh perlakuan ke-j

(αβ) ij = Pengaruh interaksi perlakuan ke-I dan perlakuan ke-j

εij = Error perlakuan ke-i, perlakuan ke-j, dan ulangan ke-k

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa dengan menggunakan sidik

ragam (Analysis of Variance), Jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Kontras

Ortogonal (Steel dan Torrie, 1991).

Peubah yang Diamati

1. Hemoglobin (g%)

2. Hematokrit (PCV) (%) 3. Eritrosit(juta/mm3) 4. Leukosit(ribu/mm3)

5. Diferensiasi leukosit (%)

(37)

7. MCV (Mean Corpuscular Volume)(fl)

PCV x 10

∑ eritrosit

8. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)(%)

Hb x 100

∑ PCV

Analisa Laboratorium

Penghitungan Jumlah Hematokrit

Pengisian pipa mikrokapiler dilakukan dengan memiringkan tabung yang

berisi sampel darah dengan menempatkan ujung mikrokapiler yang bertanda (merah

atau biru). Pipa diisi sampai mencapai 4/5 bagian kemudian ujung pipa disumbat

dengan “crestaseal” dan pipa mikrokapiler tersebut diletakkan di sentrifuge selama 5

menit dengan kecepatan 12.000 rpm. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur

% volume eritrosit (lapisan merah) dari darah dengan menggunakan alat baca

mikrohematokrit (microcapillary hematocrit reader).

Penghitungan Jumlah Eritrosit

Sampel darah dihisap menggunakan pipet eritrosit hingga tanda tera 0,5 atau

1,0 dengan aspirator pada pipet. Ujung pipet dibersihkan dengan menggunakan tisu,

lalu larutanan pengencer Rees dan Ecker dihisap hingga tanda 101. Kemudian pipet

diputar dengan membentuk angka 8. Setelah homogen, cairan yang tidak terkocok

pada ujung pipet dibuang dengan menempelkan ujung pipet ke kertas tisu. Setelah itu

diteteskan satu tetes ke dalam himocytometer, usahakan jangan sampai ada udara yang masuk. Setelah itu cairan didiamkan beberapa saat agar mengendap, lalu

perhitungan dapat dimulai.

Untuk menghitung eritrosit dalam hemocytometer, digunakan kotak eritrosit yang berjumlah 25 buah dengan mengambil bagian sebagai berikut: satu kotak pojok

kanan atas, satu kotak pojok kiri atas, satu kotak di tengah, satu kotak pojok kiri

bawah dan satu kotak pojok kanan bawah. Untuk mengetahui eritrosit dalam 1 mm3

misalnya jumlah eritrosit yang terhitung adalah sebanyak a, maka a dikalikan 5000.

(38)

Penghitungan Jumlah Leukosit

Sampel darah dihisap menggunakan pipet leukosit hingga tanda tera 0,5 atau

1,0 dengan aspirator. Ujung pipet dibersihkan dengan menggunakan tisu, lalu

laruatan pengencer Rees & Ecker dihisap hingga tanda 11. Kemudian diputar dengan

membentuk angka 8. Setelah homogen, cairan yang tidak terkocok pada ujung pipet

dibuang dengan menempelkan ujung pipet ke kertas tisu. Setelah itu teteskan satu

tetes kedalam himocytometer, usahakan jangan sampai ada udara yang masuk. Setelah itu biarkan cairan beberapa saat agar mengendap, lalu perhitungan dapat

dimulai.

Untuk menghitung leukosit dalam hemocytometer, digunakan 5 buah kotak besar yang di dalamnya berisi 25 buah kotak kecil dengan mengambil bagian sebagai

berikut satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas, satu kotak di tengah,

satu kotak pojok kiri bawah dan satu kotak pojok kanan bawah. Untuk mengetahui

leukosit dalam 1 mm3 misalnya jumlah leukosit yang terhitung adalah sebanyak b,

maka b dikalikan 200.

Jumlah Leukosit = b x 200

Setelah itu, pembuatan preparat ulas yaitu, diambil dua buah gelas objek yang

sudah dibersihkan dengan alkohol. Darah diambil dan diteteskan pada bagian ujung

gelas objek yang pertama, lalu bagian ujung depan gelas objek yang kedua

ditempelkan pada darah tadi dengan membentuk sudut 30o dan darah disebar

sepanjang sudut sepanjang gelas objek. Setelah darah menyebar, dengan hati-hati

gelas objek kedua didorong dengan cepat hingga didapat ulasan darah yang tipis.

Preparat dikeringkan udara dan diwarnai dengan cara dimasukkan ke dalam metanol

selama 5 menit lalu dikeringkan dan dimasukkan ke dalam larutan zat warna Giemsa

selama 30 menit. Setelah itu diagkat dan dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan

dengan udara terbuka.

Penghitungan ulas darah dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali.

Penghitungan deferensiasi leukosit ini, berdasarkan hasil pengamatan dengan

menghitung jumlah heterofil (butir/mm3), basofil (butir/mm3), eosinofil (butir/mm3),

(39)

Heterofil : granula netral, halus, inti berbentuk batang

Basofil : granula biru tua, besar-besar

Eosinofil : granula merah, besar-besar

Limfosit : inti bulat, biru tua, sitoplasma sedikit, biru muda

Monosit : inti berlekuk, biru tua, sitoplasma banyak, biru muda

Imunoglobulin.

Imunoglobulin dihitung menggunakan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorbsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan

menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan

bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat

ditentukan secara kualitatif dengan pembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA

plate reader.

Siapkan larutan tween 10% sebanyak 500 µl dan dilarutkan ke dalam 500 ml

aquades untuk mencuci tabung sample. Masing-masing sampel dimasukkan ke dalam

gelas erlenmeyer dan dilarutkan dengan larutan metanol 70%, lalu dikocok dan

didiamkan sampai mengendap. Setelah itu disaring dengan menggunakan kertas

saring whatman. Setelah sample disaring, sample dianalisa secara ELISA.

Penghitungan Jumlah Hemoglobin

Langkah yang dilakukan yaitu Reagen Drabkins dipipet dengan tepat

sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi 1 dan 2. Kemudian, ke dalam

tabung ke 2 ditambahkan 0,02 ml darah. Pipet dibilas agar tidak ada darah yang

tertinggal dengan cara mengisap dan meniupkan cairan yang ada dalam tabung reaksi

ke 2. Lalu larutan dicampurkan dengan baik dan dibiarkan paling sedikit 10 menit

pada suhu kamar agar terbentuk sianmethemoglobin dengan baik. Terakhir dilakukan

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Ransum

Rancangan awal yang diinginkan pada penelitian ini yaitu perlakuan level

aflatoksin sampai dengan 300 ppb dan jumlah metionin yang kurang, cukup dan

berlebih di dalam ransum unggas baik periode starter maupun finisher. Namun jika dilihat hasil analisis ransum yang telah dibuat (Tabel 7 dan 8), ternyata tidak sesuai

dengan rancangan. Level metionin ransum pada kedua periode rata-rata hampir sama

pada semua perlakuan. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya kehati-hatian

ketika mencampur pakan, adanya DL-metionin yang terbawa angin, tumpah maupun

tertinggal di mesin. Sedangkan level aflatoksin pakan yaitu pada periode starter berkisar antara 19,24-34,50 ppb dan pada finisher antara 62,35-78,50 ppb. Masing-masing perlakuan memiliki level aflatoksin faktual yang berbeda-beda dan acak jika

dibandingkan dengan rancangan awal. Hal ini dikarenakan beberapa penyebab, salah

satunya yaitu kemungkinan adanya penurunan karena pengaruh pengolahan. Level

aflatoksin yang didapat susah untuk mencapai level yang diinginkan jika

menggunakan metode kontaminasi kapang ke dalam jagung.

Ternyata untuk menumbuhkan kapang dan menghasilkan level aflatoksin

yang tinggi tidak mudah karena kapang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu

untuk pertumbuhannya. Diener dan Davis (1986) menyebutkan bahwa tidak semua

isolat dan strain A. flavus dan A. parasiticus menghasilkan aflatoksin ketika berada di lapangan atau di laboratorium. Sebagai contoh yaitu hasil cemaran aflatoksin B1

yang ditemukan di Lampung paling tinggi yaitu 32,2 ppb dan di Jawa Timur sebesar

134,2 ppb (Bahri et al., 2005). Selain itu, kapang membutuhkan suhu, kelembaban dan oksigen yang cukup untuk pertumbuhannya. Walaupun setiap hari jagung yang

diinokulasi kapang diberikan udara namun pada penelitian ini kecukupan oksigen

sulit untuk didapat karena jagung yang dikontaminasi tersebut ditutup dengan plastik

untuk meminimalisir terkontaminasi oleh bahan atau mikroorganisme lain juga agar

spora kapang tidak bebas berterbangan. Penelitian lain mengenai aflatoksin pada

umumnya menggunakan aflatoksin murni agar levelnya dalam pakan lebih tinggi dan

dapat diatur namun pada penelitian ini aflatoksin murni tidak dapat digunakan karena

harganya sangat mahal. Ransum yang seharusnya memiliki level aflatoksin minimal

(41)

telah terkontaminasi. Hal tersebut bisa terjadi selama pembuatan ransum dan

penyimpanan karena diletakkan di tempat yang sama.

Profil Darah

Darah adalah jaringan khusus yang berperan dalam sirkulasi (Dellman dan

Brown, 1992). Fungsi utama darah yaitu mempertahankan homeostasis tubuh. Perlakuan penambahan DL-metionin ke dalam pakan yang mengandung aflatoksin

akan dilihat pengaruhnya terhadap profil darah broiler. Sampel darah yang diambil

adalah pada periode starter dan finisher. Pengamatan profil darah meliputi eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit dan diferensiasi leukosit.

Hemoglobin

Penambahan DL-metionin ke dalam pakan yang mengandung aflatoksin

diharapkan dapat bekerja mendetoksifikasi aflatoksin dalam tubuh ternak. Nilai

hemoglobin broiler periode starter dan finisher yang telah mendapat pakan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Jumlah hemoglobin yang normal menurut

Mangkoewidjojo dan Smith (1988) adalah 7,3-10,9 g/100 ml sedangkan menurut

Swenson (1984) berkisar antara 6,5-9,0 g/100 ml.

Tabel 9. Nilai Hemoglobin (g %) Broiler Periode Starter dan Finisher yang

Nilai hemoglobin dalam penelitian ini masih berada di dalam kisaran normal

meskipun dalam nilai yang minimum. Level aflatoksin berada di bawah batas aman

menurut SNI yaitu sebesar 50 ppb (starter) dan 60 ppb (finisher). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya interaksi antara level aflatoksin dan

penambahan DL-metionin dalam pakan. Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang

(42)

Nilai hemoglobin yang tidak berbeda ini berarti bahwa penambahan DL-metionin

maupun aflatoksin tidak mengganggu nilai hemoglobin. Hal ini terjadi karena level

aflatoksin yang memang masih dalam batas aman, sejalan dengan Leeson et al. (1995), yaitu penurunan hemoglobin baru terjadi pada level aflatoksin sebesar 1,25

ppm. Korelasi (R2) antara jumlah hemoglobin dengan eritrosit menunjukkan nilai

yang kecil yaitu 35,44% pada periode starter dan 15,49% pada periode finisher. Hal ini menunjukkan bahwa nilai eritrosit ayam pada penelitian ini hanya sedikit

dipengaruhi oleh jumlah hemoglobinnya.

Hematokrit

Nilai hematokrit yaitu persentase eritrosit (berdasarkan volume) terhadap

total darah. Persentase hematokrit pada ayam normal yaitu 24% - 43% dan 30% -

33% (Mangkoewidjojo dan Smith (1988) dan Swenson (1984)). Nilai hematokrit

broiler yang mendapat perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai Hematokrit (%) Broiler Periode Starter dan Finisher yang Mendapat Perlakuan

Pada periode starter nilai hematokrit broiler pada penelitian ini masih berada di dalam kisaran normal, namun pada periode finisher rataan nilai hematokrit sedikit di bawah kisaran normal. Akan tetapi, hasil sidik ragam tidak menunjukkan adanya

pengaruh nyata perlakuan terhadap nilai hematokrit dan tidak terjadi pengaruh

interaksi pada kedua periode tersebut. Hasil penelitian Aravind et al. (2003) menunjukkan penurunan hematokrit terjadi pada level aflatoksin 168 ppb. Korelasi

antara nilai hematokrit dan eritrosit pada periode starter dan finisher adalah sebesar 17,56% dan 54,11%. Hal ini berarti bahwa nilai hematokrit pada kedua periode

(43)

Kenaikan jumlah eritrosit akan diikuti dengan kenaikan hematokrit dan

biasanya akan meningkatkan volume darah total (Guyton dan Hall, 1996). Tung et al. (1975) memperkirakan bahwa mekanisme penurunan nilai hematokrit saat terjadi

aflatoksikosis terkait dengan destruksi pada eritrosit. Hasil penelitian ini

menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap nilai hematokrit dari level aflatoksin dan

metionin.

Eritrosit

Hasil sidik ragam menunjukkan terjadinya interaksi antara level metionin dan

aflatoksin terhadap jumlah eritrosit pada broiler periode starter. Namun nilai eritrosit pada periode finisher tidak menunjukkan terjadinya interaksi. Gambaran nilai eritrosit pada periode starter dan finisher dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Nilai Eritrosit Periode Starter (0-3 minggu)

(44)

Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai eritrosit broiler yang diberi pakan tanpa

penambahan DL-metionin tidak berbeda dengan yang diberi pakan dengan

penambahan DL-metionin 0,35%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan

metionin yang berlebih tidak mempengaruhi eritrosit selama level aflatoksin berada

dalam batas normal. Namun pada level aflatoksin 300 ppb terjadi penurunan nilai

eritrosit yang signifikan. Penambahan 0,25% DL-metionin menunjukkan penurunan

pada level aflatoksin 150 ppb dan peningkatan eritosit pada level aflatoksin yang

lebih tinggi yaitu 300 ppb. Pada level aflatoksin 300 ppb, penambahan DL-metionin

0,25% signifikan lebih tinggi dari pada tanpa penambahan DL-metionin maupun

penambahan sebesar 0,35% DL-metionin pada pakan.

Kisaran normal eritrosit menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) adalah

2,0-3,2 x 106/mm3. Guyton dan Hall (1996) menyebutkan bahwa ketinggian dan

kontak tubuh dengan oksigen akan mempengaruhi jumlah pembentukan eritrosit.

Semakin dewasa umur ayam maka eritrosit semakin meningkat. Produksi sel darah

merah diatur oleh salah satu hormon eritropoietin yang dihasilkan ginjal. Selain itu

eritrosit dipengaruhi juga oleh aktivitas, nutrisi, produksi telur, bangsa, panjang hari,

suhu lingkungan dan faktor iklim. Ketebalan dan diameter eritrosit dipengaruhi oleh

status nutrisi dan spesies hewan (Swenson, 1984).

Perlakuan tanpa penambahan metionin dan penambahan 0,35%

DL-metionin pada level aflatoksin 300 ppb periode starter memiliki jumlah eritrosit yang di bawah normal, begitu pula dengan beberapa perlakuan pada periode finisher. Gambar 7 menunjukkan nilai eritrosit pada periode finisher. Tidak ada pengaruh interaksi yang terjadi pada periode finisher dan tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap nilai eritrositnya walaupun terdapat beberapa perlakuan yang nilainya

berada di bawah kisaran normal. Nilai eritrosit yang lebih kecil pada periode finisher ini berbanding dengan rataan bobot ginjal ayam hasil penelitian, dimana terjadi

peningkatan bobot ginjal pada ayam periode finisher. Hal ini dikarenakan level aflatoksin pakan yang memang di atas batas SNI sehingga mengganggu kerja ginjal

(45)

Leukosit

Leukosit berperan dalam sistem kekebalan tubuh ternak. Tabel 11

menunjukkan jumlah leukosit yang terdapat dalam darah broiler hasil penelitian pada

periode starter dan finisher.

Tabel 11. Nilai Leukosit (103/mm3) Broiler Periode Starter dan Finisher yang Mendapat Perlakuan

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01). Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). huruf kapital menunjukkan perbedaan pada faktor A dan huruf kecil menunjukkan perbedaan pada faktor B.

Pada periode starter, penambahan DL-metionin 0,25% dan 0,35% nyata menurunkan nilai leukosit. Namun kandungan aflatoksin tidak berpengaruh terhadap

nilai leukosit. Pada periode finisher, level aflatoksin dalam ransum menurunkan leukosit darah. Pakan yang terkontaminasi aflatoksin menunjukkan penurunan yang

nyata terhadap jumlah leukosit pada darah broiler. Hal ini disebabkan karena level

aflatoksin dalam pakan periode finisher yang melebihi batas aman menurut SNI. Pengaruh penambahan DL-metionin dan interaksi tidak terlihat pada periode ini.

Jumlah leukosit ayam kedua periode pada semua perlakuan rendah. Menurut

Mangkoewidjojo dan Smith (1988) dan Swenson (1984) jumlah leukosit normal

yaitu antara 16,00-40,00 ribu/mm3 dan 20,00-30,00 ribu/mm3. Hal ini terjadi diduga

karena beberapa faktor seperti strain ayam yang dipakai, kondisi ayam yang tidak

baik atau karena faktor luar seperti lingkungan. Namun, jika dibandingkan antara

ayam yang mendapat perlakuan dengan ayam yang diberi ransum komersil dan

dipelihara pada saat bersamaan, ternyata ayam yang diberikan ransum komersil juga

memiliki jumlah leukosit yang berada di bawah kisaran pada literatur yaitu sebesar

(46)

ayam broiler yang diberikan ransum komersil dan dipelihara pada tempat dan waktu

yang sama dengan ayam perlakuan dapat dilihat pada Lampiran.

Diferensiasi Leukosit

Data nilai diferensiasi leukosit periode starter dan finisher ayam broiler yang mendapat perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12. Secara umum dapat dilihat bahwa

nilai limfosit periode starter lebih tinggi daripada finisher dan kebalikannya dapat dilihat bahwa nilai heterofil periode starter lebih kecil daripada finisher. Hal tersebut menyebabkan rata-rata rasio heterofil limfosit pada periode finisher lebih besar.

Heterofil. Heterofil dan makrofag adalah sel yang terutama menyerang dan

menghancurkan bakteri, virus dan bahan-bahan merugikan lain yang menyerbu

masuk ke dalam tubuh (Guyton dan Hall, 1996). Hasil sidik ragam terhadap nilai

heterofil broiler periode starter menunjukkan hasil yang signifikan (P<0,05) pada level aflatoksin yang berbeda sedangkan pada periode finisher tidak berbeda nyata. Level aflatoksin yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan heterofil yang

signifikan namun masih berada di dalam kisaran normal. Kisaran normal heterofil

menurut Swenson (1984) yaitu 25% - 30%. Hampir semua nilai heterofil pada

periode starter berada di bawah kisaran normal, berbeda dengan periode finisher yang justru berada di atas normal. Nilai heterofil yang meningkat di atas normal ini

karena level aflatoksin pada periode finisher yang sudah melebihi batas menurut

SNI. Campbell (1995) mengatakan bahwa heterofilia sering dikaitkan dengan

penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri, fungi (seperti Aspergillus spp.) dan klamidia.

Limfosit. Persentase normal limfosit yaitu 24% - 84% (Mangkoewidjojo dan Smith,

1988). Nilai limfosit hasil penelitian ini sebagian besar masih berada di dalam

kisaran normal. Hasil sidik ragam tidak menunjukkan adanya pengaruh penambahan

DL-metionin dan level aflatoksin serta interaksi keduanya pada kedua periode

perlakuan. Limfosit berperan dalam merespon antigen dan pengembangan imunitas.

Pembentukan limfosit terutama terjadi di berbagai organ limfogen seperti kelenjar

limfe, limpa, timus, tonsil dan berbagai kantong jaringan limfoid di tubuh (Guyton

(47)

perlu meningkatkan sel-sel ini sehingga jumlahnya dalam darah masih berada dalam

batas normal.

Tabel 12. Nilai Diferensiasi Leukosit Broiler Periode Starter dan Finisher yang Mendapat Perlakuan

(48)

Rasio heterofil limfosit. Rasio ini berguna dalam menunjukkan tingkat stres yang

terjadi pada broiler. Rasio ini pada periode starter masih berada pada angka normal sedangkan pada periode finisher hampir semua berada di atas normal, yang berarti bahwa terjadi tingkat stres yang tinggi pada ayam. Stres pada ayam ini dapat

disebabkan karena kebutuhan nutrien yang tidak tercukupi dan juga karena berbagai

faktor lingkungan.

Eosinofil. Persentase eosinofil normal menurut Swenson (1984) yaitu 3% - 8%.

Eosinofil merupakan sel fagosit lemah dan masih diragukan fungsinya dalam

pertahanan tubuh terhadap infeksi umum jika dibandingkan dengan heterofil.

Namun, eosinofil akan banyak diproduksi pada penderita infeksi parasit (Guyton dan

Hall, 1996). Nilai eosinofil ayam pada kedua periode tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata yang menandakan tidak terjadinya infeksi parasit pada ayam perlakuan.

Penambahan aflatoksin maupun metionin tidak menimbulkan pengaruh terhadap

nilai sel darah ini.

Monosit. Monosit adalah sel imatur dengan sedikit kemampuan untuk melawan

bahan-bahan infeksius. Namun, saat masuk ke jaringan kadang diameternya akan

membesar menjadi makrofag, yang mempunyai kemampuan hebat dalam memberantas agen penyakit. Kisaran normal monosit yaitu 0% - 30%

(Mangkoewidjojo dan Smith, 1988). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada

persentase monosit tidak ada perbedaan yang signifikan dan masih berada di dalam

kisaran normal.

Basofil. Basofil dan sel mast sangat berperan pada beberapa tipe reaksi alergi.

Basofil tidak terdapat pada darah broiler yang telah mendapat perlakuan baik pada

periode starter maupun finisher. Hal ini menunjukkan bahwa level aflatoksin dan penambahan DL-metionin tidak memicu pembentukan sel darah ini. Aflatoksin

dalam pakan tidak menyebabkan reaksi alergi pada ayam.

IgY

Nilai imunoglobulin Y (IgY) pada broiler periode starter dan finisher berdasarkan hasil penelitian dipaparkan pada Tabel 13. Pengaruh level aflatoksin dan

Gambar

Gambar 5.  Tahapan Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung
Tabel 5.  Komposisi Ransum Periode Starter (0-3 minggu)
Tabel 6.  Komposisi Ransum Periode Finisher (3-6 minggu)
Tabel 7. Kandungan Nutrien dan Aflatoksin Ransum Periode Starter (0-3   minggu)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian tepung daun sambiloto tidak mempengaruhi profil darah putih (jumlah leukosit, persentase heterofil dan limfosit), dan performa (konsumsi ransum, pertambahan berat badan

Pemberian tepung daun sambiloto tidak mempengaruhi profil darah putih (jumlah leukosit, persentase heterofil dan limfosit), dan performa (konsumsi ransum, pertambahan berat badan

Konversi ransum yang hampir sama diduga disebabkan penambahan enzim fitase pada berbagai level dalam penelitian ini juga memberikan pengaruh yang tidak nyata

Konversi ransum yang hampir sama diduga disebabkan penambahan enzim fitase pada berbagai level dalam penelitian ini juga memberikan pengaruh yang tidak nyata

penambahan tepung bawang putih dan tepung jintan memberikan pengaruh yang nyata (P&lt;0,05) pada minggu kelima, dapat dilihat bahwa P0 berbeda nyata dengan P2

Nilai tersebut hampir setara dengan nilai standar kebutuhan EMSn ayam broiler berdasarkan standar NRC (1994) karena kandungan metionin dalam ransum S2 hampir sesuai

penambahan tepung bawang putih dan tepung jintan memberikan pengaruh yang nyata (P&lt;0,05) pada minggu kelima, dapat dilihat bahwa P0 berbeda nyata dengan P2

Penambahan enzim fitase pada ransum berbeda level protein tidak berpengaruh nyata pada 6 minggu perlakuan terhadap massa P tulang, sesuai dengan retensi P yang tidak