• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL DARAH PUTIH dan KOLESTEROL

AYAM PEDAGING yang DIBERI RANSUM

MENGANDUNG TEPUNG DAUN SAMBILOTO

(

Andrographis Paniculata

Nees)

AGUS TRIYANTO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya berjudul “Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees)” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbing para komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.

Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2006

(3)

ABSTRAK

AGUS TRIYANTO. Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Dibimbing oleh Iman Rahayu dan Nahrowi.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dalam ransum terhadap kandungan kolesterol dan darah putih ayam pedaging. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan materi 160 ekor anak ayam yang dibagi dalam 5 perlakuan (P0 = ransum basal/RB; P1 = RB + 0.2% tepung daun

sambiloto; P2 = RB + 0.4% tepung daun sambiloto ; P3 = RB + 0.6% tepung daun

sambiloto; P4 = RB + 0.8% tepung daun sambiloto), 4 ulangan dan masing-masing

ulangan perlakuan terdiri dari 8 ekor ayam. Peubah yang diamati adalah jumlah leukosit, persentase heterofil, limfosit, kandungan kolesterol total daging dada, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL) darah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, mortalitas, indeks prestasi dan lemak abdomen . Data yang diperoleh dianalisa dengan Program Minitab Statistical Software Release 13.30. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan terhadap kandungan darah putih yang diamati. Kandungan kolesterol total daging dada pada P3 sangat nyata (P<0.01) palin g

rendah, sedangkan HDL dan LDL darah nyata (P<0.05) lebih baik dari pada kontrol. Performa pada perlakuan P3 menunjukkan respon yang cukup baik

diantara perlakuan. Lemak abdomen sampai level 0.6% penambahan tepung daun sambiloto masih cukup rendah yaitu sebesar 0.63% dari berat badan.

(4)

ABSTRACT

AGUS TRIYANTO. Leucocytes and Cholesterol Profiles of Broilers Fed Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Leaves Meal in the Diet. Under the supervision of Iman Rahayu and Nahrowi.

The experiment was carried out to studi the effect of adding sambiloto (Andrographis paniculata Nees) leaves meal in the diets on leucocytes and cholesterol profiles of broilers. A completely randomized design used in this research with 160 day old chicken that devided into 5 treatment P0 = basal

diet/BD; P1 = BD + 0.2 % sambiloto meal; P2 = BD + 0.4 % sambiloto meal; P3 =

BD + 0.6 % sambiloto meal and P4 = BD + 0.8 % sambiloto meal. Each treatment had 4 replications with 8 chicks per replication. The variables observed were leucocytes total, heterophile percentage, limfocyte percentage, total cholesterol, feed consumption, weight gain, feed convertion, mortality, production indeks and abdominal fat. The data analysed by Program Minitab Statistical Software Release 13.30. The results showed that treatments had no effect on the leucocytes profile. Total cholesterol was significantly lowest (P<0.01) in P3, however HDL and LDL

of blood were significan tly (P<0.05) better than those of the control. Performances of P3 was better than which in the all treatments.

(5)

Hak cipta milik Agus Triyanto, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

PROFIL DARAH PUTIH dan KOLESTEROL

AYAM PEDAGING yang DIBERI RANSUM

MENGANDUNG DAUN SAMBILOTO

(

Andrographis paniculata

Nees)

AGUS TRIYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto

(Andrographis paniculata Nees)

Nama : Agus Triyanto NRP : D. 051030081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iman Rahayu HS, M.S Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahro wi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 26 Agustus 1964 dari ayah H. Ishak Puradiharja dan Hj. Sintaroh. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2005 ini adalah darah putih dan kolesterol, dengan judul Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Iman Rahayu Hidayati Soesanto , MS dan Bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran kepada penulis. Disamping itu terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman dekat yang telah banyak membantu penulis terutama dorongan moril yang tidak dapat penulis lupakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada yang terhormat Bapak, Ibu, Bapak (alm) dan Ibu Mertua atas kasih dan sayangnya, khusus kepad a istri tercinta Maryati dan Ananda tersayang Dena Heriyanto, Agung Huda Heriyanto dan si kembar Aida Gusti Yanila, Aisya Gusti Yanila dan Adik serta seluruh keluarga, atas segala doa dan segala kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) ... 3

Klasifikasi ... 3

Leukosit, Persentase Heterofil dan Limfosit ... 24

Leukosit ... 24

Heterofil ... 25

Limfosit ... 27

Rasio Heterofil/Limfosit ... 28

Kandungan Ko lesterol Daging Dada, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL) Serum Darah ... 30

Performa Ayam Pedaging ... 32

Konsumsi Ransum ... 33

Pertambahan Berat Badan ... 35

(11)

Mortalitas ... 38

Indeks Produksi ... 39

Lemak Abdomen ... 40

KESIMPULAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan jumlah leukosit berdasarkan umur ayam ... 14 2. Kandungan nutrisi tepung daun sambiloto (Andrographis Paniculata

Nees) ... 19 3. Kandungan nutrisi ransum penelitian ... 20 4. Rataan jumlah leukosit, persentase heterofil (H), limfosit (L) dan

rasio H/L ayam pedaging penelitian ... 24 5. Rataan kandungan kolesterol total daging dada, HDL dan LDL

serum darah ayam pedaging penelitian ... 30 6. Rataan konsumsi ransum total, pertambahan berat badan dan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) ... 4

2. Biosintesis kolesterol ... 11

3. Heterofil ayam ... 15

4. Limfosit ayam ... 17

5. Jumlah leukosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu ... 25

6. Persentase heterofil ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu .... 26

7. Persentase limfosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu ... 27

8. Rasio heterofil/limfosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu ... 29

9. Konsumsi ransum mingguan ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu ... 34

10.Pertambahan berat badan mingguan ayam pedaging pen elitian sampai umur 5 minggu ... 36

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan Jumlah Leukosit ... 50

2. Diferensiasi Leukosit ... 51

3. Pengukuran kadar kolesterol ... 52

4. Hasil sidik ragam ... 53

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejalan dengan meningkatnya populasi ternak, maka produksi sektor peternakan juga diharapkan meningkat. Tingkat konsumsi yang terus meningkat maka akan terjadi impor daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk mengurangi impor daging maka perlu dilakukan beberapa usaha. Ayam pedaging adalah salah satu ternak unggas yang relatif cepat menghasilkan daging, menjanjikan profit yang besar dan mempunyai pangsa pasar yang baik.

Banyak usaha yang telah dilakukan oleh para pengusaha industri perunggasan dalam rangka meningkatkan produktivitas ayam pedaging. Salah satu usaha yang dilakukan adalah penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan dapat menyebabkan menipisnya dinding usus halus, akibat terbunuhnya bakteri pathogen sehingga meningkatkan ketersediaan gizi ransum, berat badan yang dihasilkan lebih tinggi sehingga konversi ransum yang dihasilkan lebih rendah atau lebih efisien (Sinurat et al. 2001). Antibiotik dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas, sebagai growth promotor, mencegah berbagai penyakit serta menyembuhkan penyakit yang menyerang unggas. Akan tetapi penggunaan antibiotik ini sangat beresiko karena meninggalkan residu pada karkas dan resistensi bakteri patogen, sehingga kurang aman dan bahkan dapat membahayakan kesehatan manusia sebagai konsumen (Lee et al. 2001). Permasalahan lain dalam usaha pengembangan peternakan ayam pedaging adalah tingginya kandungan lemak abdomen dan kolesterol ayam pedaging.

(16)

makan, bersifat bakteriostatik, menyembuhkan beberapa penyakit serta dapat meningkatkan pembentukan kekebalan tubuh terhadap infeksi atau penyakit (Prapanza dan Marianto 2003). Nugroho et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian ekstrak sambiloto dosis 160 mg/100 gram berat badan selama 8 minggu menurunkan kadar kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL) dan menaikkan High Density Lipoprotein (HDL) secara bermakna pada tikus putih.

Tanaman sambiloto mempunyai khasiat sebagai obat penyakit gula, darah tinggi, gigitan ular, menyembuhkan penyakit thipus dan demam (Heyne 1987). Penelitian lain bahwa tanaman sambiloto sangat efektif untuk pemulihan kesehatan setelah sakit, penambah nafsu makan, gatal – gatal, gangguan saluran pernafasan dan pencernaan dan cukup aman serta tidak toksik untuk ramuan tradisional (Rahmawati dan Hastiono 1999).

Namun penggunaan tepung daun sambiloto sebagai feed additi ve pada ayam pedaging masih sangat terbatas informasinya khususnya mengenai dampak pemberiannya pada kandungan kolesterol dan profil darah ayam yang mengkonsumsinya, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Tesis ini menguraikan mengenai pengaruh pemberian tepung daun sambiloto terhadap kandungan kolesterol, profil darah putih serta performa ayam pedaging.

Tujuan

1. Mencari level terbaik mengenai penggunaan tepung daun sambiloto sebagai feed additive dilihat dari performa ayam pedaging.

2. Mempelajari kandungan kolesterol dan profil darah putih ayam pedaging yang diberi ransum mengandung tepung daun sambiloto.

Manfaat

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Klasifikasi

Sambiloto banyak dijumpai hampir di seluruh kepulauan Nusantara. Sambiloto dikenal dengan beberapa nama daerah, seperti ki-oray atau ki peurat (Jawa Barat), bidara, takilo, sambiloto (Jawa Tengah dan Jawa Timur), pepaitan atau ampadu (Sumatera), (Yusron et al. 2003). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sambiloto tergolong tanaman herba yang tumbuh di berbagai habitat seperti pinggiran sawah, kebun atau hutan. Secara taksonomi sambiloto dapat diklasifikasikan sabagai berikut :

Divisi : Spermathophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub kelas : Gamopetalae Ordo : Personales Famili : Acanthaceae Sub famili : Acanthoidae Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata Nees

Morfologi

(18)

berbentuk jorong (bulat panjang), panjang sekitar 1.5 cm, lebar 0.5 cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4 keping biji gepeng, kecil-kecil, warnanya coklat muda.(IPTEK 2002 ; Muhlisah 1999).

Gambar 1. Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Sambiloto tumbuh pada ketinggian 1-700 m dpl. Curah hujan setahun 2000-3000 mm/tahun. Bulan basah (di atas 100 mm/bulan) : 5-7 bulan. Bulan kering (di bawah 60 mm/bulan) : 4-7 bulan, suhu udara 25-32 oC, kedalaman air tanah 200-300 cm dari permukaan tanah, keasaman (pH) : 5.5-6.5, kelembaban sedang, penyinaran sedang, tekstur berpasir, drainase baik dan kesuburan sedang (Prapanza dan Marianto 2003).

(19)

Kandungan Kimia dan Khasiat Sambiloto

Menurut Winarto (2003) daun dan cabang sambiloto mengandung lactone yang terdiri dari deoxy-andrographolide, andrographolide (zat pahit) neo-andrographolide, 14 deoxy-11, 12 didehydro andrographolide dan homo andrographolide. Flavonoid dari akar mengandung polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-o-methilwithin, apigenin-7, 4 dimethil ether, alkane, ketose, aldehyde, kalium, kalsium, natrium, asam kersik dan damar. Sambiloto dengan rasa pahit diduga mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Syamsuhidayat dan Robinson 1991).

Flavonoid merupakan pigmen – pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid adalah hormon pertumbuhan dan inhibitor enzim dengan membentuk kompleks dengan protein. Sebagian besar flavonoid dan isoflavonoid di dalam tanaman tidak beracun bagi hewan dan beberapa diantaranya dapat berfungsi sebagai antidiare. Flavonoid memiliki sejumlah gugus hidroksil yang merupakan senyawa polar seperti etanol, metanol, aseton dan air. Flavonoid dapat menghambat parasit dengan bertindak sebagai inhibitor enzim . Mekanisme penghambatan yaitu dengan cara menghambat produksi energi dan sistesis asam -asam nukleat atau protein, melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan parasit kemungkinan dapat ditekan (Rohimah 1997). Menurut Robinson (1991) flavonoid merupakan senyawa dengan inti C6-C3-C6 artinya kerangka karbonnya terdiri atas

dua gugus C6 disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (C3). Flavonoid

terdapat dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Fungsi flavonoid dalam tumbuhan yang mengandungnya adalah pengaturan pertumbuhan, fotosintesa dan anti mikroba.

(20)

Tanin merupakan senyawa polifenol yang tersebar luas pada berbagai tumbuhan. Tanin terbagi dua yaitu tanin terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi. Tanin yang terhidrolisis terbentuk reaksi asam fenolat dengan gula sederhana. Tanin terkondensasi terbentuk akibat kondensasi flavonoid yang merupakan polimer dari katekin dan epi katekin (Harborne 1987).

Winarto (2003), menyatakan bahwa tumbuhan sambiloto bersifat menurunkan panas, antidemam, antibiotik, antibakteri, antipiretik, antiradang, antibengkak, antidiare, antitumor dan hepatoprotektor (perlindungan sel hati). Pemberian residu (ekstraksi yang tidak larut dalam air) dalam sambiloto secara oral pada mencit 2 kali sehari selama 2 hari dengan dosis 0.1; 0.5 dan 1 mg setiap 25 gram berat badan menyebabkan aktivitas fagositosis makin meningkat (imunostimulant) (Nuratmi et al. 1986).

Menurut Prapanza dan Marianto (2003), Andrographolide adalah komponen utama dalam sambiloto yang memiliki multiefek farmakologis. Zat aktif ini terasa pahit sehingga mampu meningkatkan nafsu makan karena dapat merangsang sekresi kelenjar saliva dan meningkatkan produksi antibodi sehingga kekebalan tubuh meningkat. Kadar zat aktif (andrographolide) 2.5 – 4.6 % dari bobot kering (Santa 1996).

(21)

peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil dan basofil (Mills dan Bone 2000). Menurut Syamsuhidayat dan Robinson. (1991) herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees) berkhasiat sebagai obat demam, diabetes, penyakit kulit, radang telinga dan masuk angin.

Beberapa penelitian tentang sambiloto

Tipakorn (2002) menyatakan bahwa pemberian tepung sambiloto dengan level 0.1-0.4 % tidak berpengaruh terhadap bobot badan dan konversi ransum ayam pedaging tetapi berpengaruh menurunkan mortalitas dibandingkan kontrol. Semakin tinggi level sambiloto yang digunakan, semakin rendah mortalitas ayam pedaging. Pemberian tepung sambiloto level 0.2 dan 0.4 % pada penelitian ini mampu mengurangi infeksi dari bakteri terhadap organ dalam. Supritianto (1998), pemberian Sambiloto dosis 800 mg/kg bb, menunjukkan efek perlindungan terhadap organ hati itik dari kerusakan akibat aflatoxin dan memberikan efek positif terhadap hati itik Tegal, yakni warna hati dan ukuran hati itik normal, tidak terlihat adanya pembentukan nodul.

Ekstrak sambiloto mampu meningkatkan fungsi pertahanan tubuh, ditandai dengan meningkatnya neotrofil dan limfosit (Iptek 2002). Sugiyarto dalam Winarto (2003), menyatakan pemberian rebusan daun sambiloto 40 % b/v sebanyak 20 %/kg bb menurunkan kadar glukosa darah tikus putih. Nuratmi et al. (1996) menyatakan infus daun sambiloto dosis 0.3 gram/kg bb secara oral mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah kelinci. Nugroho dan Nafrialdi (2001) menyatakan pemberian ekstrak sambiloto dosis 160 mg/100 g bb selama 8 minggu menurunkan kadar kolesterol total, LDL dan menaikkan HDL secara bermakna pada tikus putih. Nuratmi et al. (1996) menyatakan bahwa infus daun sambiloto 15.4 mg/100 gr bb secara oral dapat meningkatkan efek antiimflamasi (anti radang) pada tikus putih.

Lemak Abdomen

(22)

jaringan adiposa dalam bentuk cadangan lemak. Piliang dan Djojosoebagio (1990) menyatakan bahwa jaringan adiposa merupakan jaringan yang berperan sebagai reservoir dalam penyimpanan lemak. Salah satu tempat penyimpanan lemak adalah rongga perut (abdomen). Prosentase lemak abdomen sangat dipengaruhi oleh kandungan serat makanan.

Kubena et al. (1974), menyatakan lemak rongga tubuh terdir i dari lemak dinding abdomen, lemak rongga dada dan lemak alat pencernaan. Lemak abdomen adalah lemak yang berada di sekeliling gizzard dan yang terdapat diantara otot perut dan usus.

Lemak abdomen ayam bisa meningkat jika diberikan ransum den gan lemak dan energi tingkat tinggi (North dan Bell 1990). Sebaliknya persentase berat lemak abdomen dapat diturunkan dengan meningkatkan kandungan serat kasar dalam ransumnya. Persentase lemak abdomen antara 1.40-2.60 % dari berat hidup (Leeson dan Summer 1980).

Kolesterol

Kolestrol merupakan subtansi lemak khas hasil metabolisme yang banyak ditemukan di dalam darah serta cairan empedu (Frandson 1992). Selain itu juga terdapat pada hati, daging, otak dan kuning telur, serta terdapat pada usus, ginja l, lemak hewan, darah, jaringan urat syaraf dan kortilis adrenal (Harper et al. 1979) Kolestrol banyak terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan seperti daging, hati, otak dan kuning telur (Mayes 1999). Menurut Frandson (1992), jumlah kolesterol dalam darah tergantung pada sebagian besar makanan, umur dan jenis kelamin, juga dapat dipengaruhi oleh konsumsi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh.

(23)

Dalam keadaan normal kolesterol merupakan senyawa esensial yang diperlukan tubuh untuk membentuk membran sel, struktur insulin otak, sistem syarat pusat dan vitamin D (Martin et al. 1984). Kolesterol juga berperan dalam pengangkutan asam lemak melalui dinding usus ke limpa dan merupakan bahan baku untuk pembentukan hormon yang dihasilkan oleh Cortek adrenal, testis (testosteron) dan ovarium (estrogen dan progesteron).

Frandson (1992) menyatakan bahwa kadar kolesterol yang tinggi dalam darah merupakan predisposisi terhadap atherosclerosis, suatu keadaan dimana kolesterol dan lipida masuk ke dinding pembuluh darah bagian dalam, ditandai oleh penumpukan (deposisi) esterkolestrol dan lipid a di dalam jaringan penyambung dinding arteri. Mayes (1999) mengatakan bahwa atherosclerosis ini berkaitan erat dengan makanan yang tinggi kadar kolesterol serta lemak jenuhnya. Harper (1983) melaporkan bahwa penyakit – penyakit kardio vaskuler tertentu seperti Atherosclerosis atau pengerasan dari urat – urat nadi sebagian dianggap diakibatkan oleh kadar kolesterol yang tinggi di dalam darah. Kadar kolesterol dalam darah dianggap aman jika tidak melebihi 225 mg/dl ( Piliang dan Djojosoebagyo 1990).

Menurut Mayes (1999), kolesterol di dalam plasma darah terdapat dalam empat golongan lipoprote in yaitu (1). Khylomikron, merupakan lipoprotein mempunyai densitas rendah berfungsi mentransfer triglisenida dan sebagian kolesterol, (2). Very low density lipoprotein (VLDL) berfungsi sebagai pembawa trigelisenida dari jaringan tubuh ke jaringan adiposa untuk disimpan, (3). Low density lipoprotein (LDL) berfungsi mengangkut kolesterol dari hati dan lumen usus kecil ke jaringan tubuh, (4). High density lipoprotein (HDL) berfungsi mengangkut fo sfolipid dan kolesterol ester dari jaringan perifer kembali ke hati untuk diubah menjadi asam empedu. Mayes (1999) menambahkan diantara keempat lipoprotein tersebut yang paling berperan dalam pengangkutan kolesterol adalah HDL dan LDL.

(24)

meningkat LDL, semakin banyak tumpukan kolesterol di dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan athero sclerosis. Wirahadikusuma (1985) menyatakan kandungan HDL tinggi maka akan bermanfaat dalam menurunkan resiko penyakit jantung koroner dan mencegah terjadinya atherosclerosis. Lehninger (1997) menerangkan apabila kandungan HDL men ingkat maka kolesterol akan menurun.

Biosintesis Kolesterol

Kolesterol disintesa dalam tubuh, terutama oleh sel-sel hati, usus, dan kelenjar adrenal, meskipun seluruh sel-sel mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sterol, di dalam darah kolesterol terdapat bersamaan dengan trigliserida, fosfolipida, dan apropotemi untuk diubah menjadi lipoprotein (Piliang dan Djojosoebagyo 1990). Kolesterol dalam tubuh berupa kolestrol eksogen dan endogen di mana kolesterol eksogen berasal dari makanan (25 %) dan sebalikny a kolestrol endogen dibentuk oleh sel-sel tubuh (75 %) terutama di dalam hati (Girindra 1988).

(25)

endoplasma dari lanosterol setelah melewati beberapa tahap, termasuk pelepasan 3 gugus metil ( Mayes 1999). Biosintesis kolesterol secara skematis seperti tampak pada Gambar 2.

Gambar 2. Biosintesis kolesterol (Mayes 1999) Asetil ko-A

Asetoasetil ko-A

HMG ko-A ( 3-hidroksi-3

methilglutanil ko -A) Mevalonat Skualena

(26)

Ismadi (1993) menjelaskan bahwa semua kolesterol dari ransum digabungkan ke dalam misel-misel yang dibentuk dari unsur-unsur amfipatik yang ada dalam empedu. Misel mengandung asam empedu terkonjugasi dan fosfolipid di samping kolesterol. Emulsifikasi diperlukan karena kelarutan kolesterol rendah dalam medium berair di rongga usus. Tiap kolesterol yang di esterkan dihidrolisis di dalam ronga usus oleh enzim yang disekresikan oleh getah pankreas yaitu esterase kolesterol. Hidrolisis ester kolesterol oleh esterase kolesterol terjadi pada atau di dalam misel. Kolesterol diabsorbsi melalui difusi dari misel ke dalam sel mukosa kemudian diubah menjadi ester kolesterol. Absorbsi kolesterol sebagian besar terjadi di jejenum. Selanjutnya ester kolesterol bergabung dengan kolesterol yang tidak diesterkan ka dalam partikel-partikel lipid protein besar yang lepas ke dalam limpa (kilo mikron). Kilo mikron mengangkut kolesterol dan lemak ransum dari limpa ke dalam plasma lewat duktus torasikus, akhirnya tersimpan di hati. Kolesterol yang dilepas dari hati ke dalam usus berupa asam empedu bersama sel mukosa yang mengelupas akan dikeluarkan dari tubuh bersama feses.

Kolesterol dalam tubuh dapat dikeluarkan dengan dua jalan yaitu melalui perubahan menjadi asam empedu dan sterol netral yang dikeluarkan melalui feses (Mayes 1999). Lebih lanjut Muhtadi et al. (1993) menjelaskan bahwa jalur utama pembuangan olesterol dari tubuh adalah melalui konversi oleh hati menjadi asam empedu yaitu asam kholat dan chenodeoxy cholic yang berkaitan dengan glisin atau taurin membentuk garam empedu, kemudian diekskresi di dalam empedu ke dalam duodenum. Sebagian besar asam empedu direabsorpsi oleh hati melalui sirkulasi dan selanjutnya diekskresi kembali ke dalam empedu. Asam empedu yang tidak diserap didegradasi oleh mikroba usus besar dan diek skresi ke dalam feses.

Darah

(27)

berat bnnya. Variasi volume darah dalam tubuh tergantung pada umur, nutrisi, kesehatan ternak, aktivitas tubuh, jenis kelamin dan faktor lingkungan.

Komposisi sel-sel darah merupakan salah satu cara untuk melihat adanya penyakit ataupun stress pada hewan. Menurut Post et al. (2002) peubah sel darah merupakan ukuran yang berguna pada penelitian kesehatan dan kesejahteraan hewan. Pemeriksaan darah merupakan salah satu metode untuk menetapkan suatu diagnosis penyakit yang dapat memberi gambaran tentang keadaan patologis dan fisiologis. Kelainan-kelainan dalam darah atau organ-organ pembentuk tubuh ternak dapat diketahui melalui pemeriksaan darah ini (Guyton 1986).

Frandson (1992) menyatakan bahwa darah pada hewan merupakan medium transportasi. Beberapa fungsi darah yaitu: (1) membawa nutrien dari saluran pencernaan ke seluruh jaringan, (2) membawa produk akhir metabolisme dari sel ke organ pengeluaran, (3) membawa O2 dari paru -paru ke jaringan, (4)

membawa CO2 dari jaringan ke paru-paru dan (5) mengandung faktor-faktor

penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit. Menurut Sturkie dan Grimminger (1976), darah terdiri atas cairan (plasma), garam-garam, zat-zat kimia dan butiran sel-sel darah. Sel-sel tersebut terdiri atas eritrosit (sel darah merah) dan leukosit (sel darah putih).

Leukosit

Leukosit atau sel darah putih mempunyai nukleus dan memiliki kemampuan gerak independen. Kebanyakan sel-sel darah putih di dalam aliran darah bersifat non fungsional karena hanya diangkut ke jaringan dan di lokasi ketika dibutuhkan(Frandson 1992). Leukosit dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit mengandung granula dalam sitoplasmanya yang terdiri atas heterofil, eosinofil dan basofil. Agranulosit tidak mempunyai granula pada sitoplasmanya yang terdiri dari atas monosit dan limfosit.

(28)

akan meningkat pada penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Pengamatan leukosit adalah sebagai cara yang bermanfaat untuk mendiagnosis kondisi atau status kekebalan ternak yang bersangkutan. Respon pertahanan atau kekebalan tubuh yang tertekan disebabkan oleh rusaknya jaringan-jaringan tubuh yang berfungsi untuk membentuk atau mendewasakan sel-sel yang berperanan dalam respon kekebalan misalnya timus, bursa fabrisius, sumsum tulang, limpa dan jaringan lainnya (Unandar 2003) karena pada jaringan -jaringan tersebut dibentuk sistem pertahanan tubuh yaitu leukosit.

Jumlah leukosit jauh di bawah eritrosit dan bervariasi yang tergantung pada jenis hewannya. Menurut Tizzard (1987), variasi jumlah leukosit yang tinggi dipengaruhi oleh genetik, hormon, status nutrisi yang bervariasi antara individu ternak. Fluktuasi jumlah leukosit pada setiap individu cukup besar pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya stress, aktivitas fisiologis, gizi dan umur.

Menurut Sturkie dan Grimminger (1976) faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah jenis kelamin, umur, pakan, lingkungan, efek hormon, obat-obatan dan sinar-X. Jumlah total leukosit berpengaruh nyata pada unggas dengan adanya peradangan (nephritis) dibandingkan dengan unggas tanpa gejala klinis dan luka.

Perbandingan jumlah leukosit normal ayam dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan jumlah leukosit berdasarkan umur ayam

(29)

Heterofil

Heterofil atau neutrofil adalah leukosit granulosit yang bersifat polimorfonuklear-pseudoesinofilik. Pada unggas disebut heterofil dan dibentuk di sumsum merah (Swenson 1977), sedangkan pada manusia dan mamalia disebut neutrofil. Heterofil pada ayam biasany a berbentuk bulat dengan diameter 10-15 µm, granula sitoplasmanya berbentuk batang pipih seperti jarum dan ditengahnya terletak nukleus bersegmen (Sturkie 1976).

Gambar 3. Heterofil ayam

Fungsi utama heterofil adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis (Tizzard 1987). Heterofil mencari, memakan dan membunuh bakteri serta dinamakan garis pertahanan tubuh pertama terhadap infeksi bakteri (Ganong 1995). Menurut Swenson (1977), heterofil menunjukkan aktivitas amuboid dan aktif dalam memfagosit untuk mempertahankan tubuh dari infeksi bahan asing dengan menyerang bakteri dan partikel kecil lainnya. Heterofil akan muncul dalam jumlah besar pada saat peradangan. Jumlah heterofil dapat digunakan untuk menduga adanya stres pada burung atau unggas. Stres dan penyakit dapat mempengaruhi jumlah heterofil dan limfosit (Sturkie dan Grimminger 1976)

(30)

lisosom dilepaskan dan bersatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Enzim-enzim tersebut antara lain Enzim-enzim preteolitik, mieloperoksidase, ribonuklease, dan fosfolipase (Tizzard 1987).

Heterofil mempunyai aktivitas amuboid dan bersifat fagositosis untuk mempertahankan tubuh melawan in feksi atau benda asing seperti bakteri, virus, dan partikel kecil lain. Invasi bakteri, virus dan parasit yang terjadi di jaringan akan mengakibatkan heterofil bergerak ke daerah invasi dengan diapedesis dan gerakan amuboid.

Sel-sel heterofil sewaktu memasuki jaringan sudah merupakan sel-sel dewasa/matang sehingga dapat segera memulai fagositosis. Sebuah sel heterofil dapat memfagositosis 5 – 20 bakteri. Sel heterofil mempunyai sejumlah besar enzim lisosom yang berisi enzim preteolitik untuk mencerna bakteri dan bahan -bahan protein asing (Guyton 1986).

Limfosit

Limfosit bersifat motil, dapat berubah bentuk dan ukuran serta mampu menerobos jaringan atau organ lunak karena menyediakan zat kebal untuk pertahanan tubuh (Dellman dan Brown 1989).

(31)

menghasilkan sel T, berasal dari timus dan limfosit B yang menghasilkan sel B, berasal dari bursa (Dellman dan Brown 1989). Ganong (1995) menyatakan bahwa pada bangsa burung, prekursor yang ditemukan banyak pada bursa fabrisius dan struktur limfoid dekat kloaka; ditransformasi ke limfosit yang bertanggung jawab bagi immunitas humoral (limfosit B).

Gambar 4. Limfosit ayam Rasio Heterofil/Limfosit

Gross dan Siegel (1983) menyatakan bahwa rasio heterofil/limfosit merupakan sebuah ukuran yang tepat untuk menunjukkan tingkat cekaman yang dialami ayam pada lingkungan. Rasio heterofil/limfosit darah ayam normal 0.17 (Sturkie dan Grimminger 1976) dan berkisar antara 0.45 – 0.5 (Swensen 1984). Cekaman dapat menyebabkan involusi jaringan - jaringan limpoid (timus, limpa dan bursa fabrisius), sehingga terjadi penurunan jumlah sirkulasi jumlah limfosit dan peningkatan jumlah heterofil (Siegel 1980). Peningkatan jumlah heterofil menyebabkan ayam kebal terhadap infeksi, tetapi tidak terhadap virus (Zulkifli dan Siegel 1995).

(32)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan September sampai dengan November 2005, di Balai Besar Diklat Agribisnis Peternakan dan Kesehatan Hewan (BBDAPK) Cinagara, Bogor. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan (Fapet) IPB Bogor dan Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Cimanggu Bogor. Analisis darah dilakukan di Laboratorium Histologi dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Analisis kolesterol karkas (daging dada) dan serum darah dilakukan di Balai Besar Teknologi Pascapanen Cimanggu Bogor.

Materi Penelitian Ternak Percobaan

Materi penelitian yang digunakan adalah ayam pedaging umur sehari (DOC) Strain Hubbard sebanyak 160 ekor, yang di bagi ke dalam lima perlakuan pakan dimana setiap perlakuan terdiri dari empat ulangan dan setiap ulangan terdiri dari delapan ekor.

Kandang dan Perlengkapan

(33)

merata menandakan panas yang dibutuhkan ayam cukup. Dinding kandang di tutup dengan plastik sampai umur dua minggu agar ayam tidak kedinginan dan menghindari hembusan angin.

Ransum Penelitian

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal tanpa antibiotik, dengan kandungan protein 21%, kadar air 13%, lemak 6%, abu 6.5%, phospor 0.7%, calcium dan serat kasar 4%. Semua ransum perlakuan menggunakan bahan pakan yang sama, hanya berbeda pada konsentrasi penambahan tepung daun sambiloto. Bahan ransum yang digunakan terdiri dari jagung, dedak, tepung ikan, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung daging dan tulang, pollard, bungkil kacang tanah, vitamin, calcium, phosphate, dan premix. Daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) kering d iperoleh dari Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Cimanggu Bogor. Tepung daun sambiloto dibuat dengan cara digiling menggunakan cutter grinder. Ransum perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut : Perlakuan 0 (P0) : Ransum Basal (tanpa

penambahan tepung daun sambiloto), Perlakuan 1 (P1) : Ransum basal + 0.2 %

tepung daun sambiloto , Perlakuan 2 (P2) : Ransum Basal + 0.4 % tepung daun

sambiloto, Perlakuan 3 (P3) : Ransum Basal + 0.6 % tepung daun sambiloto,

Perlakuan 4 (P4) : Ransum Basal + 0.8 % tepung daun sambiloto

Tabel 2. Kandungan nutrisi tepung daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Hasil analisa : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2005)

(34)

Tabel 3. Kandungan nutrisi ransum penelitian

Hasil analisa : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2005)

Metode Penelitian

Pelaksanaan Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan kandang dan perlengkapannya terlebih dahulu dibersihkan, dikapur dan disucihamakan dengan menggunakan disinfektan. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah penyimpangan hasil penelitian akibat kemungkinan adanya gangguan penyakit. Hal ini dilakukan satu minggu sebelum ayam datang. Anak- anak ayam (DOC) yang baru datang di timbang dan diberi nomor (tag) pada bagian sayap, kemudian DOC ditempatkan pada masing-masing kelompok secara acak. Lampu dinyalakan terus selama 3 minggu pertama dan selanjutnya hanya dinyalakan pada malam hari. Ransum dan air minum diberikan secara cukup setiap hari dengan menimbang jumlah pakan yang diberikan dan sisa ransum juga ditimbang untuk mengetahui konsumsi ransum yang dihabiskan. Penimbangan sisa ransum dilakukan setiap seminggu sekali.

(35)

Penimbangan berat badan ayam dilakukan setiap seminggu sekali selama berlangsung penelitian (35 hari). Penimbangan bobot badan dilakukan secara individu. Pengambilan darah selama penelitian dilaksanakan pada minggu 1, 3 dan 5. Darah diambil dari vena axillaris yang terletak dibawah sayap dan dibuat preparatulas darah tipis, untuk mengetahui jumlah sel darah putih (leukosit).

Pada akhir minggu ke-5 (umur 35 hari) setelah penimbangan, dua ekor ayam per ulangan dipilih secara acak dan dipotong untuk pengambilan sampel darah. Selanjutnya darah tersebut disentrifus untuk memisahkan antara serum dan darah, kemudian serum dianalisa kadar kolesterolnya. Sebelum ayam dipotong, ayam dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam, selanjutnya setelah dipotong direndam dalam air panas dengan suhu 50-60 0C selama 1-2 menit, dilanjutkan dengan pembersihan bulu serta pemotongan kepala dan kaki. Karkas, hati, jantung, ampela, usus dan lemak abdomen ditimbang untuk diambil datanya. Bagian karkas yang diambil adalah bagian daging dada untuk dianalisa kandungan kolesterolnya.

Peubah yang diamati :

1. Konsumsi ransum (g/ekor/minggu)

Konsumsi ransum setiap kelompok ulangan dihitung setiap minggu berdasarkan selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum.

2. Pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu)

Pertambahan bobot badan dihitung setiap minggu berdasarkan bobot akhir dikurangi bobot badan awal setiap minggu selama penelitian.

3. Konversi ransum

Koversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan antara rataan konsumsi ransum dengan rataan pertambahan berat badan setiap minggu.

4. Persentase mortalitas

(36)

5. Indeks Prestasi

Indeks prestasi diperoleh dari :

Persentase ayam hidup x rataan bobot badan akhir Konversi pakan x lama pemeliharaan Keterangan :

= 120 : Prestasi sangat jelek 121 – 140 : Prestasi jelek 141 – 160 : Prestasi cukup 161 – 180 : Prestasi baik 181 – 200 : Prestasi sangat baik

= 200 : Prestasi Istimewa (North dan Bell 1990) 6. Persentase lemak abdomen

Persentase lemak abdomen dihitung berdasarkan perbandingan berat lemak abdomen dengan berat hidup x 100 %

7. Kandungan total kolestero l, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL).

Pengukuran kad ar kolesterol daging dilakukan berdasarkan metode Lieberman Burchard ( Kleiner dan Dotti 1962 )

8. Jumlah leukosit (103/mm3)

Pengambilan darah dilakukan dengan pipet leukosit darah dicampur dengan larutan pengencer modifikasi nees dan echer. Kemudian dengan menggunakan hemasitometer (kamar hitung), banyaknya leukosit dihitung dibawah mikroskop.

Jumlah leukosit/mm3 darah = 20 x 10/4 x b butir. (Sastradipraja et al. 1989) Keterangan :

20 : Faktor pengenceran

10/4 : Volume kamar hitung ( hemasito meter )

b : Hasil perhitungan jumlah leukosit di dalam kamar hitung. 9. Persentase heterofil

Persentase heterofil didapat dari butir heterofil dib agi dengan leukosit dikali 100 %.

(37)

10.Persentase limfosit

Persentase limfosit didapat dari butir limfosit dibagi dengan leukosit dikali 100%

11.Rasio heterofil/limfosit

Rasio heterofil/limfosit didapat dari perbandingan jumlah heterofil dengan limfosit.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas lima macam perlakuan dan empat ulangan.

Model matematisnya adalah sebagai berikut:

Yij : nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan ransum ke-i

µ : nilai rata-rata sesungguhnya

αi : pengaruh perlakuan ransum ke-i

εij : pengaruh galat dari satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan ransum ke-i

Analisis Data

Analisis data dengan menggunakan sidik ragam (Analisis of Variance) jika hasilnya terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan‘s Multiple Range Test menurut Steel dan Torrie (1991). Data diolah dengan menggunakan komputer program Minitab Statistical Software Release 13.30

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Leukosit, P ersentase Heterofil dan Limfosit

Hasil pengamatan terhadap jumlah leukosit, persentase heterofil, limfosit dan rasio heterofil/limfosit ayam pedaging penelitian umur 5 minggu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan jumlah leukosit, persentase heterofil (H), limfosit (L) dan rasio H/L ayam pedaging penelitian

Keterangan : P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal +

0.2 % tepung daun sambiloto), P2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto),

P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 %

tepung daun sambiloto)

Leukosit

Jumlah leukosit ayam pedaging tidak menunjukkan hasil yang signifikan diantara perlakuan . Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung daun sambiloto dalam ransum tidak meningkatkan jumlah leukosit ayam pedaging, kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti cekaman yang dialami ayam pada saat penimbangan berat badan, stress pada saat pengambilan sampel darah dan udara panas. Menurut Sturkie dan Grimminger (1976) faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah jenis kelamin, umur, pakan, lingkungan dan obat-obatan.

(39)

sebagai imunosupres an. Unandar (2003) menyatakan ayam tidak memberikan respon yang optimal terhadap rangsangan sesuatu yang bersifat imunogenik, yang dalam hal ini adalah feed additive ransum. Feed additive yang dimaksud adalah tepung daun sambiloto.

Pada minggu ke tiga rata-rata jumlah leukosit naik untuk semua perlakuan (P0, P1, P2, P3 dan P4). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tepung daun

sambiloto yang mengandung zat aktif serta perlakuan vaksin yang bersifat merangsang tanggap kebal dalam tubuh ayam sehingga meningkatkan jumlah leukosit. Meningkatnya rangsangan produksi leukosit merupakan proses timbulnya kekebalan. Adanya androgopholid dalam sambiloto sebagai immunostimulan membantu tubuh ayam dalam mencegah infeksi mikroorganisme maupun benda asing ditandai dengan meningkatnya jumlah leukosit (Puri et al. 1993; Iptek 2002). Untuk lebih jelas jumlah leukosit pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Jumlah leukosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu

Berdasarkan kisaran jumlah leukosit hasil penelitian secara keseluruhan berada di bawah kisaran normal, kemungkinan bahwa ayam penelitian mengalami stress panas karena lingkungan.

Heterofil

Persentase heterofil ayam pedagin g tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara perlakuan. Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah persentase heterofil terjadi fluktuasi diantara perlakuan. Berfluktuasinya persentase heterofil diduga

(40)

berkaitan erat dengan fungsi sambiloto sebagai imunosupresan dan imunostimulan. Mekanisme kerja dari herba sambiloto sebagai imunosupresan sangat terkait dengan keberadaan dari kelenjar adrenal. Hal ini dikarenakan sambiloto dapat merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik hormon (ACTH) dari kelenjar pituitar i anterior yang berada didalam otak yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal bagian kortek untuk memproduksi kortisol. Kortisol yang dihasilkan ini selanjutnya akan bertindak sebagai imunosupresan. Akibat pelepasan kortisol sistem imun ayam akan ditekan. Penampakan hal tersebut terlihat dari penurunan persentase heterofil sebagai salah satu sistem kekebalan. Peningkatan fungsi heterofil dikarenakan fungsi sambiloto sebagai imunostimulan (Puri et al. 1993).

Rataan persentase heterofil ayam penelitian berkisar antara 27.75-37.67%. Hasil ini lebih besar dari yang dilaporkan oleh Swensen (1977) kisaran normal persentase ayam sebesar 25-30 %. Sturkie dan Grimminger (1976) menyatakan bahwa efek pemberian obat-obatan akan meningkatkan jumlah heterofil. Dalam hal ini tanaman obat yang ditambahkan pada ransum pada penelitian ini yaitu tanaman sambiloto. Kanniapan et al. (1991); Nuratmi et al. (1996) menyatakan bahwa andrographolid bersifat sebagai antiimflamasi dan antibakteri sehingga rata-rata persentase heterofil melebihi normal. Rataan persentase heterofil ayam pedaging selama penelitian disajikan pada Gambar 6.

(41)

Gambar 6 terlihat bahwa rataan persentase heterofil cenderu ng meningkat sesuai dengan bertambahnya umur untuk setiap perlakuan. Peningkatan persentase heterofil diduga terkait dengan fungsi heterofil sebagai basis pertahanan tubuh pertama yang langsung bereaksi apabila terdapat bahan asing yang masuk kedalam tubuh (Tizzard 1987). Ganong (1995) menyatakan bahwa heterofil akan mencari, mencerna dan membunuh benda asing serta berperan sebagai garis pertahanan pertama. Puri et al. (1993) menyatakan bahwa peningkatan persentase heterofil dikarenakan fungsi sambiloto sebagai immunostimulan. Menurut Mills dan Bone (2000) androgopolide yang berfungsi sebagai immunostimulan akan membantu tanggap kebal tubuh ayam terhadap infeksi Emiria tenella yang terjadi pada dinding usus dengan cara meningkatkan mobilisasi sel heterofil dalam memfagosit parasit di dinding usus.

Kisaran heterofil yang tinggi pada ayam penelitian ini dari kisaran normal mengindikasikan adanya upaya ayam tersebut untuk meningkatkan sistem kekebalan terhadap serangan penyakit atau benda asing sehingga dalam hal ini sambiloto berperan merangsang jumlah heterofil dalam jumlah banyak.

Limfosit

Persentase limfosit ayam pedaging tidak menunjukkan hasil yang signifikan diantara perlakuan. Artinya penambahan tepung daun sambiloto dengan level 0.2-0.8 % pada ransum tidak mempengaruhi persentase limfosit ayam penelitian. Rataan persentase limfosit disajikan pada Gambar 7.

(42)

Gambar 7. terlihat bahwa persentase limfosit pada minggu pertama melebihi kisaran normal. Kisaran limfosit yang lebih tinggi dari kisaran normal mengindikasikan adanya upaya ayam tersebut untuk meningkatkan sistem kekebalan terhadap serangan penyakit atau benda asing sehingga dalam hal ini tepung daun sambiloto berperan merangsang jumlah limfosit dalam jumlah banyak. Puri et al. (1993) menyatakan bahwa sambiloto dapat merangsang sistem kekebalan tubuh baik berupa respon kekebalan spesifik maupun non spesifik. Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan persentase limfosit dalam jumlah besar terutama limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein yang akan mengikat antigen dan merangsang proses fagositosis, sedangkan kekebalan non spesifik ditandai dengan adanya peningkatan persentase heterofil. Tizzard (1987) unsur utama dalam mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang salah satunya adalah limfosit. Disamping itu tingginya persentase limfosit dari normal kemungkinan disebabkan oleh cekaman yang diperoleh setelah vaksinasi dan setelah penimbangan berat badan.

Pada minggu ke tiga dan ke lima persentase jumlah limfosit cenderung normal pada setiap perlakuan. Menurut Swensen (1977) rata-rata persentase limfosit ayam berkisar antara 55-60 %; Sturkie (1976) berkisar antara 60-69 %. Kisaran limfosit yang normal menunjukkan adanya upaya ayam tersebut untuk mempertahankan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit maupun benda asing.

Rasio Heterofil/Limfosit

(43)

rasio heterofil/limfosit normal adalah 0.17 sedangkan Swensen (1977) sebesar 0.45-0.50. Lebih tingginya rasio dalam penelitian ini, kemungkinan karena pengaruh penambahan tepung daun sambiloto dalam ransum. Menurut Iptek (2002) ekstrak sambiloto mampu meningkatkan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan ditandai dengan meningkatnya netrofil dan limfosit pada tikus. Menurut Siegel (1980) sel darah putih merespon stres dengan meningkatkan jumlah heterofil untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit akibat bakteri. Gross (1962) menyatakan bahwa pertahanan melawan infeksi virus maupun bakteri lebih banyak melib atkan peran limfosit dan heterofil secara berturut-turut. Cekaman yang mengakibatkan kenaikan jumlah heterofil dan penurunan jumlah limfosit akan meningkatkan ketahanan terhadap infeksi bakteri tetapi tidak untuk infeksi virus begitu juga sebaliknya (Zulkifli dan Siegel 1995).

Rataan rasio heterofil/limfosit ayam pedaging penelitian disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Rasio heterofil/limfosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu

Pada penelitian ini perlakuan P3 (penambahan 0.6% tepung daun

(44)

Kandungan kolesterol daging dada, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low

Density Lipoprotein (LDL) darah

Hasil pemeriksaan terhadap kandungan kadar kolesterol pada daging dada ayam pedaging dan LDL yang diberi ransum perlakuan sambiloto sampai level P3

menunjukkan bahwa nyata (P<0.01) menurun, sedangkan HDL nyata meningkat (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol (P0). Kandungan kolesterol total daging

dada, HDL dan LDL serum darah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan kandungan kolesterol total daging dada, HDL dan LDL serum darah ayam pedaging Keterangan : P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal +

0.2 % tepung daun sambiloto), P2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto),

P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 %

tepung daun sambiloto). S uperscrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01). Superscrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)

Pengaruh perlakuan tepung daun sambiloto terhadap kandungan kolesterol total daging dada menunjukkan hasil yang signifikan (P<0.01) diantara perlakuan (Tabel 5). Nugroho et al. (2001) melaporkan bahwa pemberian ekstrak sambiloto dosis 160 mg/100g bb (berat badan) selama 8 minggu menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) dan menaikan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) secara bermakna pada tikus putih.

Kandungan kolesterol daging dada ayam pedaging umur lima minggu akibat penambahan tepung daun sambiloto nyata mengalami penurunan. Rataan penurunan kandungan kolesterol daging dada ayam pedaging selama penelitian cukup tajam. Hal ini terlihat antara perlakuan 0% (P0) dengan 0.2% (P1) sebesar

18.87 %, antara 0% (P0) dengan 0.4% (P2) sebesar 32.78 %, antara 0% (P0)

(45)

49.84 % sangat berbeda (P<0.01), demikian juga antara perlakuan 0.2% (P1)

dengan 0.4% (P2) sebesar 18.38 %, antara 0.2% (P1) dengan 0.6% (P3) sebesar

40.80 %, antara 0.2% (P1) dengan 0.8% (P4) sebesar 38.17 % dan penambahan

0.4% (P2) dengan 0.6% (P3) sebesar 26.89 %, antara 0.4% (P2) dengan 0.8% (P4)

sebesar 24.25 % terlihat perbedaan yang nyata, sedangkan antara penambahan 0.6% (P3) dengan 0.8% (P4) tidak terlihat perbedaan yang nyata. Kandungan

kolesterol total terendah terjadi pada pada penambahan 0.6% (P3) sebesar 20.52 ±

0.70 mg% (Tabel 5).

Proses penurunan kolesterol pada penelitian ini dapat diduga terjadi akibat pengaruh tepung daun sambiloto yang mengandung zat aktif andrographolide yang menghambat efek fisiologis dalam tubuh dalam menghambat sintesa cairan empedu, sehingga sekresi cairan empedu menurun. Akibat menurunnya sekresi cairan empedu, maka kecernaan lemak kasar dan absorbsi lemak juga menurun sehingga komponen lemak dan kolesterol menjadi berkurang. Dalam mekanisme ini kolesterol berperan sebagai prekusor pembentukan asam empedu. Mills dan Bone (2000) menyatakan bahwa sambiloto berperan dalam merangsang produksi empedu. Zat aktif sambiloto di dalam usus halus akan mengikat asam empedu dan lemak yang akan membentuk senyawa komplek yang susah untuk diserap usus dan akan dikeluarkan bersama feses. Peningkatan asam empedu akan meningkatkan ekskresi kolesterol sehingga kadar kolesterol pada jaringan menurun (de Roos dan Katan 2000). Mayes (1999) menyatakan bahwa 2/3 kolesterol disintesa di dalam tubuh sedangkan yang 1/3 berasal dari makanan yang di konsumsi. Menurut Piliang dan Djojosoebagio (1990), kadar kolesterol di dalam darah dianggap aman jika tidak melebihi 225 mg/dl.

Berdasarkan Tabel 5 kandungan HDL hasil penelitian nyata mengalami peningkatan cukup tajam (P < 0.05) antara P0 dengan P1, P2, P3 dan P4

berturut-turut sebesar 52.66 %, 46.70 %, 39.47 % dan 34.25 %. Kandungan HDL paling tinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 106.30 ± 7.80 mg/dl, sedangkan

kandungan LDL nyata mengalami penurunan (P < 0.05) antara P0 dengan P1, P2,

P3 dan P4 berturut-turut sebesar 52.19 %, 41.91 %, 44.10 %, 11.05 %. Kandungan

(46)

Rasio HDL -LDL perlakuan yang diberikan daun sambiloto memberikan respon yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P0). Hal ini

menggambarkan bahwa kekuatan peran dari HDL lebih besar daripada LDL di dalam proses pembentukan ko lesterol daging dada ayam pedaging. Lehninger (1997) menyatakan jika kandungan HDL meningkat maka kandungan kolesterol total akan menurun karena HDL akan mentransfer kolesterol dari jaringan otot menuju hati sedangkan peranan LDL merupakan kebalikan dari peranan HDL yaitu mentransfer kolesterol dari hati ke jaringan.

Taraf penambahan tepung daun sambiloto dalam ransum memiliki tendensi meningkatkan HDL dan LDL yang diikuti dengan penurunan kandungan kolesterol. Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan transportasi kolesterol dari jaringan hati sehingga kandungan kolesterol pada daging dada menurun. Kandungan HDL yang tinggi akan bermanfaat dalam menurunkan resiko penyakit jantung koroner dan mencegah terjadinya atherosklerosis (Heslet 1977 dan Wirahadikusuma 1985).

Rasio HDL dan LDL paling tinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar

3.10. Menurut Alais dan Linden (1991) bahwa resiko atherosklerosis akan tinggi apabila rasio HDL dan LDL kurang dari 0.25.

Peningkatan rasio HDL-LDL ini akan memberikan informasi mengenai peningkatan HDL serta kesehatan ayam pedaging yang dihasilkan sehingga aman bagi konsumen.

Performa ayam pedaging

(47)

Tabel. 6 Rataan konsumsi ransum total, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam pedaging penelitian

Perlakuan Konsumsi ransum total (gr/ekor) Berat akhir (gr/ekor)

Pertambahan

Keterangan : P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal +

0.2 % tepung daun sambiloto), P2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto), P3

(Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 % tepung

daun sambiloto).

Konsumsi Ransum

Nilai konsumsi ransum sangat menentukan dalam analisis ekonomi pemeliharaan ayam potong. Ransum yang dikonsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk hidup pokok, produksi dan pertumbuhan.

(48)

dikonsumsi akan merangsang sekresi kelenjar saliva (Prapanza dan Marianto 2003).

Meskipun tidak menunjukkan hasil yang signifikan, namun pada Tabel 6 terlihat bahwa ayam yang mendapat ransum yang mengandung tepung daun sambiloto 0.6 % (P3) cenderung mengkonsumsi ransum lebih rendah yaitu sebesar

2 652.19 ± 16.89 gr/ekor atau sekitar 0.36 %, 0.46 %, 0.46 % dan 0.29 % dibandingkan berturut-turut dengan perlakuan P0 (Ransum basal tanpa

penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal + 0.2 % tepung daun

sambiloto), P2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto) dan P4 (Ransum

basal + 0.8 % tepung daun sambiloto).

Rataan konsumsi ransum mingguan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Konsumsi ransum mingguan ayam pedaging penelitin sampai umur 5 minggu

Gambar 9 terlihat bahwa rataan konsumsi ransum meningkat dengan bertambahnya umur hingga minggu akhir penelitian. Peningkatan konsumsi ini diperlukan sejalan dengan bertambahnya ukuran tubuh ayam sesuai pendapat North dan Bell (1990), konsumsi pakan mingguan akan meningkat seiring dengan kenaikan bobot tubuh. Menurut Scott et al. (1982), bahwa sebagian besar pakan yang dikonsumsi ayam digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi pertumbuhan, jaringan tubuh dan melaksanakan aktivitas fisik.

(49)

Pada penelitian ini konsumsi ransum berkisar antara 2 652.19 – 2 664.41 gr/ekor. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Widjaya (2005) berkisar antara 2 767.62 – 2 842.41 gr/ekor, akan tetapi lebih tinggi dari yang dilaporkan National Research Council (1994) dimana konsumsi ransum pada minggu ke lima sebesar 2.576 gr/ekor. Perbedaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain Strain, lingkungan atau tempat pemeliharaan. Wahyu (1982) menyatakan banyaknya makanan yang dikonsumsi tergantung pada jenis ternaknya (strain), aktivitas, temperatur, lingkungan dan pertumbuhan maupun untuk mempertahankan produksi serta tingkat energi di dalam ransum.

Pertambahan berat badan

Pertambahan berat badan tidak menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata diantara perlakuan (Tabel 6). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan zat-zat makanan yang tidak berbeda antara kontrol dengan perlakuan (pemberian tepung daun sambiloto dalam ransumnya). Disamping itu bahan aktif yang ada pada sambiloto antara lain androgapholid yang tidak mempengaruhi proses metabolisme yang merugikan pada ternak. Hasil penelitian ini sama dengan yang dilaporkan Tipakorn (2002) bahwa pemberian tepung sambiloto dengan level 0.1% sampai 0.4 % tidak berpengaruh terhadap bobot badan.

(50)

Gambar 10. Pertambahan berat badan mingguan ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu

Konversi ransum

Nilai konversi ransum semua perlakuan cukup baik (1.80 – 1.85) dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan diantara perlakuan (Tabel 6). Nilai konversi ransum yang diperoleh pada penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Tipakorn (2002) melaporkan bahwa pemberian tepung sambiloto dengan berbagai level (0.1- 0.4 %) tidak berpengaruh terhadap konversi ransum.

Secara statistik konversi ransum tidak berpengaruh nyata namun apabila ditinjau dari sudut ekonomi nilai konversi ransum P3 lebih baik dari yang lainnya,

dimana pada perlakuan P0 (kontrol) nilai konversi ransum sebesar 1.84, sedangkan

pada perlakuan P3 (penambahan tepung daun sambiloto 0.6 %) nilai konversi

ransum sebesar 1.80, berarti ada selisih 0.04. Apabila harga ayam Rp.8.000,00/kg berarti ada nilai lebih sebesar Rp.320,00/ekor. Jika berat ayam 1.000 kg maka nilai lebih yang di dapat sebesar Rp.320.000,00. Hasil ini menunjukkan bahwa tanaman sambiloto dapat digunakan sebagai feed suplemen untuk meningkatkan efisiensi peningkatan ransum pada ayam pedaging. Menurut Tipakorn (2002) menyatakan zat aktif dalam sambiloto dapat menyebabkan menipisnya dinding usus, bersifat antibakterial yang dapat menghambat bakteri patogen dan dapat menghambat aktivitas enzim urease. Perkembangan bakteri patogen dan aktivitas enzim urease yang terhambat menyebabkan semakin sedikit protein atau asam amino yang dirombak menjadi produk amonia dan air, sehingga protein atau

(51)

asam-asam amino yang terdapat dalam pakan dapat dimanfaatkan lebih baik untuk pertumbuhan berat badan.

Nilai konversi ransum pada penelitian ini (Tabel 6) lebih rendah dari yang dilaporkan Widjaya (2005) bahwa nilai konversi ransum ayam pedaging umur 5 minggu berkisar antara 1.81-2.24. Rendahnya nilai konversi ransum pada perlakuan P3 kemungkinan dikarenakan oleh produk metabolisme yang terdapat

pada daun sambiloto, sehingga secara langsung produk metabolisme tersebut dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak untuk membentuk atau menambah ukuran jaringan baru, sehingga dapat memperbaiki angka konversi ransum. Rendahnya konversi ransum pada perlakuan P3 memberikan pengaruh positif yang ditandai

dengan rendahnya jumlah konsumsi ransum dan tingginya pertambahan berat badan dibandingkan dengan kontrol (P0) (Tabel 6).

Semakin tinggi nilai konversi ransum menunjukkan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan persatuan berat. Demikian sebaliknya semakin rendah nilai konversi ransum semakin baik kualitas ransum.

Anggorodi (1985) melaporkan bahwa konversi ransum merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran tentang tingkat efisiensi penggunaan ransum. Semakin rendah nilai konversi ransum, maka semakin tinggi tingkat efisiensi penggunaan ransumnya.

(52)

Gambar 11. Konversi ransum mingguan ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu

Mortalitas

Mortalitas adalah angka yang menunjukkan jumlah ayam yang mati selama pemeliharaan. Mortalitas merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam suatu usaha peternakan ayam. Menurut North dan Bell (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian antara lain bobot badan, bangsa, tipe ayam, kebersihan lingkungan, sanitasi peralatan dan penyakit.

Selama penelitian berlangsung tidak ada mortalitas (0 %). Hal ini kemungkinan karena kekebalan tubuh ayam pedaging meningkat selama penelitan. Tipakorn (2002) melaporkan bahwa pemberian tepung sambiloto dengan level 0.1–0.4 % berpengaruh menurunkan mortalitas dibanding kontrol. Semakin tinggi level sambiloto yang digunakan semakin rendah mortalitas ayam pedaging. Tanaman sambiloto dapat mengobati berbagai penyakit diantaranya penyakit saluran pencernaan dan pernafasan (Abeysekeres et al. 1990), antidiare yang disebabkan oleh bakteri (Gupta et al. 1990 ; Kanniapan et al. 1991). Selanjutnya Dairse dan Sulaeman (1997) menyatakan jamu – jamuan bersifat sebagai antibakteri yang mampu membunuh mikroorganisme patogen seperti Eschenchia coli, Streptococcus aureus dan Salmonella typhosa, sambiloto mampu meningkatkan immunostimulant (Nuratmi et al. 1996).

(53)

Indeks Produksi

Salah satu cara yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam usaha ternak adalah dengan menghitung indeks produksi. Menurut Arifien (1997) tingkat keberhasilan usaha ternak tidak hanya dipengaruhi rendahnya nilai konversi ransum akan tetapi juga perlu dilihat indeks produksinya. Indeks produksi dipengaruhi oleh bobot badan akhir, persentase ayam yang hidup, lama pemeliharaan dan konversi ransum.

Indeks produksi ayam pedaging dari lima macam ransum perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Indeks produksi ayam pedaging penelitian

Perlakuan Peubah

P0 P1 P2 P3 P4

Persentase ayam hidup 100 100 100 100 100 Rataan bobot badan akhir

(gr /ekor) 1 449.06 1 444.69 1 470.63 1 470.94 1 446.25 Konversi ransum 1.84 1.84 1.81 1.80 1.84 Lama pemeliharaan (hari) 35 35 35 35 35 Indeks produksi 225.00 224.33 228.36 228.41 224.57 Prestasi Istimewa Istimewa Istimewa Istimewa Istimewa Keterangan : P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal +

0.2 % tepung daun sambiloto), P2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto),

P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 %

tepung daun sambiloto)

Dari Tabel 7 terlihat bahwa indeks produksi tertinggi dicapai pada pakan perlakuan P3 dan P2 yaitu 228.41 dan 228.36. Namun secara numerik terlihat

(54)

Lemak Abdomen

Lemak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi selera konsumen terhadap ayam pedaging. Salah satu sifat daging ayam broiler adalah kandungan lemaknya yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging ayam kampung (Abubakar et al. 1998), dan umumnya masyarakat menyukai daging ayam dengan kandungan lemak yang rendah untuk menghindari kadar kolesterol tinggi.

Salah satu dari beberapa bagian tubuh yang digunakan untuk menyimpan lemak pada ayam pedaging adalah bagian disekitar perut yang disebut lemak abdomen. Rataan persentase lemak abdomen ayam pedaging umur 5 minggu disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan persentase lemak abdomen ayam pedaging peneelitian Perlakuan

Satuan

P0 P1 P2 P3 P4

( % ) 0.83 ± 0.21ab 0.67 ± 0.08 b 0.67 ± 0.08 b 0.63 ± 0.09 b 0.93 ± 0.12 a Keterangan : P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal +

0.2 % tepung daun sambiloto), P2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto),

P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 %

tepung daun sambiloto). S uperscrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)

Perlakuan tepung daun sambiloto secara nyata (P<0.05) mempengaruhi persentase berat lemak abdomen . Ayam yang diberi pakan mengandung sambiloto 0.8 % (P4) mempunyai lemak abdomen yang nyata lebih tinggi dari perlakuan

lainnya dan antara perlakuan P1, P2, dan P3 tidak menyebabkan adanya perbedaan

(55)

ayam pedaging dan meningkatnya energi dalam ransum makin men ingkatkan lemak abdomen (Deaton dan Lott 1985).

Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan lemak abdomen yang mendapat penambahan tepung daun sambiloto cenderung (P<0.05) mengalami penurunan dibandingkan kontrol (P0). Rendahnya kandungan lemak abdomen yang diberi

(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pemberian tepung daun sambiloto tidak mempengaruhi profil darah putih (jumlah leukosit, persentase heterofil dan limfosit), dan performa (konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum) ayam pedaging penelitian, sedangkan kandungan kolesterol total menurun, meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) dan menurunkan Low Density Lipoprotein (LDL) dan lemak abdomen.

Penambahan 0.6 % tepung daun sambiloto dalam ransum meru pakan level terbaik terhadap kandungan kolesterol total, HDL dan LDL serta performa ayam pedaging penelitian.

Saran

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Abeysekers AM, De Silva KT, Ratnayake S. 1990. An Iridoid Glucoside from Andographis paniculata. Fitoterapi. 61: 473 -474

Abubakar R, Dharsana, Nataamijaya RG. 1998. Preferensi dan Nilai Gizi Daging Ayam Hasil Persilangan (Pejantan Buras dengan Betina Ras) dengan Pemberian Jenis Pakan yang Berbeda. Bogor. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 1- 2 Desember 1998. hlm 779 – 785.

Alais C, Linden G. 1991. Food Biochemistry. London. Ellis Horwood Ltd. Anggorodi R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Jakarta. Universitas

Indonesia Press.

Anisuzzaman M, Chowdhury SD. 1995. Use for Litter of Reasing Broiler. Brit Poult Sci. 365:541 – 545.

Arifien M. 1997. Kiat Menekan Konversi Pakan pada Ayam Broiler. Edisi Januari. Poult Indones 203: 11 – 12.

Billgili SF, Moran ET, Acar N. 1992. Strain Cross Response of Heavy Male Broilers to Dietary Lysine Infinisher Feed Live Perfo rmance and Further Processing Yield. Poult Sci : 71 : 850 - 858

Boehringer Mannhaem GMBH Diagnostik, 1987. Enzymatic Cholesterol High Performance CHOD – PAPKIT. France SA 38240.

Bordwell CE, Erdman JW. 1988. Nutrient interaction. New York. Marcel Dekker. Brown BA. 1989. Haematology Principles and Procedurs. Ed ke-3. Philadelphia.

Lea and Febiger.

Dairse M, Sulaeman. 1997. Ekstraksi Komponen Kimia Daun Katuk asal Sulawesi Selatan Berbagai Metode serta Penelitian Daya Hambat terhadap Bakteri Uji. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. 3 (3):37 – 38

Deaton JW, Lott BD. 1985. Age and Dietary Energy Effect on Broiler Abdominal Fat Deposition. Poult Sci. 64 : 2161 - 2164

Dellman HD, Brown EM. 1989. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-3 Jakarta. Iowa State University. Ames Iowa. Terjemahan. UI Press.

Deng WL. 1978. Preliminary studies on the Pharmacology of the Andrograpis product Dihydroandrographolide Sodium Succinate. Newsletters of Chinese Herb Med 8: pp 26-28. http://www.altcancer.com/andcan.htm# 101. De Roos NM, Katan MB. 2000. Effect of Probiotik Bacteria on Diarrhea, Lipid Metabolism and Karsino Genesis. A Review of Paper Published Between 1988 dan 1998. Am J Clic Nutr. 71 (2) : 405–411.

(58)

Esminger ME. 1992. Poultry Science. Ed ke-3.United States of America. Interstate Publisher, Inc.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4 Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Ganong WF. 1983. Review of Medical Physiology. Ed ke 10. California. Lange Medical Publication.

Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-14. Jakarta. Terjemahan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Girindra A. 1988. Biokimia I. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustak a Utama. Gross WB. 1962. Blood Culture, Blood Counts and Temperature Record in an

Experimentally Produced Air Sac Disease an Uncomplicated Escherichia coli Infection of Chicken. Poult Sci. 41 : 691-700

Gross WB, Siegel HS. 1983. Evaluation of Heterofil/Limphocyte Ratio as a Measure of Stress Chickens. Avi Dis. 27:972-979

Gross WB, Dunnington EA, Siegel PB. 1984. Enviromental Effects on the will Being of Chickens from Lines Selected for Responses to Sosial Strife. Arch. Geflugelled. 48 : 3-7

Gupta S, Choudbury MA, Yadapa JNS, Tandon JS. 1990. Antidiarrheal Activity of Andrographis paniculata (Kal-megh) Against Escherichia coli Enterotoksin in Vivo Model. Lat. J. Crud Drug Race. Rice : Sevets and Zettlinger. V. 28 (4) : 273 – 283.

Guyton AC. 1986. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-5. Jakarta. Terjemahan. EGC.

Hallgreen BO. 1981 The Rule of Dietary Fibre in Food Dalam : Problem in Nutrition Research Today. Switzerland : Academic Press.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung. Institut Teknologi Bandung.

Harianto. 1996. Manfaat Serat Makanan. Sadar Pangan dan Gizi 5 (2) : 4 – 5 Harper RP, Rodwell VW, Mayes PA. 1979. Review of Phisiological Chemistry.

Ed ke-17. California : Lange Medical.

Harper AE. 1983. Coronary Heart Desease an Epidemic Related to Diet. Am Clin Nutr 37 : 669

Hayse PL, Marion W. 1973. Eviscerated Yield, Component Part and Meat Skin and Bone Ratio in The Chicken Broiler. Poult sci : 52:718-721.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Jakarta. Yayasan Sarana Wana Jaya.

Gambar

Gambar 1. Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
Gambar 2. Biosintesis kolesterol (Mayes  1999)
Tabel 1. Perbandingan jumlah leukosit berdasarkan umur ayam
Gambar 3. Heterofil ayam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bila sudut pandang hukum materiil yang kita lihat dalam penegakan hukum yang kita bahas, kiranya masing-masing sistem hukum, baik Common Law System maupun Civil Law System,

Berdasarkan pendapat dari ketiga ahli di atas dapat disimpulkan bahwa mengajar merupakan suatu interaksi antara guru dan siswa untuk menciptakan aktivitas belajar berupa

Penelitian yang dilakukan menghasilkan akurasi sistem diagnosa Anorexia Nervosa Menggunakan Finite State Automata sesuai dengan hasil diagnosa sistem pakar dan dapat

Penelitian Ramos et al (2016) meyebutkan bahwa karyawan dengan usia tua (lebih berpengalaman) adalah yang paling tangguh dan terikat dengan pekerjaanya, hal ini

Orang tua akan marah jika anak melakukan sesuatu tidak sesuai dengan yang diinginkannya, hal ini juga dapat dilihat pada pertanyaan yang diberikan kepada orang

Terkait dengan penelitian ini sekalipun telah menggunakan beberapa metode baik itu metode Delphi, AHP dan LQ dan telah menetukan jenis kriteria produk unggulan

Perusahaan dengan keahlian dan kerajinan dewan yang tinggi berpengaruh positif terhadap pembentukan RMC Andarini dan Januarti (2010) Hubungan Karakteristik Dewan Komisaris

Kalsium dapat ditentukan secara langsung dengan EDTA bila pH contoh uji dibuat cukup tinggi (12-13), sehingga magnesium akan mengendap sebagai magnesium hidroksida dan pada