• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus : Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus : Kabupaten Bogor)"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

SUHAILA MARISA H14070047

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

oleh ALLA ASMARA)

Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan hidup suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, pertanian sebagai aspek pendukung ketersedian pangan di suatu negara. Oleh karena itu, terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian. Salah satu kebijakan ini adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendukung sektor pertanian dengan memberikan subsidi input berupa penetapan HET pupuk. Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan enam indikator keberhasilan yaitu tepat jenis, jumlah, harga, mutu, tempat, dan waktu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk untuk mendukung produksi padi dengan mengambil studi kasus pada Kabupaten Bogor. Metode pengambilan contoh menggunakan purposive sampling dimana pemilihan responden berdasarkan pertimbangan peneliti. Sampel penelitian ini yaitu dua kecamatan dan masing-masing kecamatan dipilih dua desa. Dari desa ini dipilih lagi masing-masing 30 responden yang diharapkan dapat mewakili populasi yang ada. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif, serta metode regresi linier berganda. Metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk dengan menggunakan empat indikator utama yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Metode regresi linier berganda digunakan untuk mengukur respon permintaan pupuk urea terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu harga urea, harga TSP, harga padi, dan luas lahan, serta respon produksi padi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga.

(3)
(4)

Oleh:

SUHAILA MARISA H14070047

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(5)

Nomor Registrasi Pokok : H14070047

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Alla Asmara, S. Pt, M.Si NIP. 19730113 199702 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec NIP. 19641022 198903 1 003

(6)

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2011

(7)

Yusuf dan Ibu Khayati. Penulis memulai pendidikan di TK Negeri Rembang dan lulus pada tahun 1995. Pendidikan dasar di SD Negeri Ngotet Rembang pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Rembang dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB dengan mayor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis juga mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2008-2011.

(8)

sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Skripsi ini berjudul “Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus : Kabupaten Bogor)”. Kebijakan subisidi pupuk merupakan topik yang menarik karena diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap produksi padi dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Kabupaten Bogor.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator, dan menganalisis pengaruh efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak, ibu, dan saudara tercinta (Kadar Yusuf, Khayati, dan Muhammad Arif Dahlan) yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang. Semoga skripsi ini menjadi persembahan yang membanggakan.

2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah banyak memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.

4. Deni Lubis, MA selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran terkait dengan tata cara penulisan dan bahasa dalam penulisan skripsi ini.

(9)

Farida yang telah memberikan saran, kritik, dan motivasi dalam meyelesaikan penelitian ini.

8. Seluruh keluarga IE 44 khususnya Ida, Rani, Feri, Siska, Martha, Rini, Nindya, Riri, Yoga, Dian atas kebersamaan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Arif dan teman-teman Pondok Ratna (Resty, Fina, Naila, Sarah, Age, Maya, Idah, Yunika, dan Lilis) yang telah memberikan bantuan, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

10. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala dukungan, bantuan, dan kerjasama baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bogor, September 2011

(10)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...11

2.1. Tinjauan Teori-teori ...11

2.1.1. Pengertian Efektivitas ...11

2.1.2. Pengertian Pupuk dan Pupuk Bersubsidi ...11

2.1.3. Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi ...12

2.1.4. Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk ...14

2.1.5. Teori Produksi ...15

2.1.6. Teori Permintaan ...19

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ...20

2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ...27

III. METODE PENELITIAN ...30

3.1. Jenis dan Sumber Data ...30

3.2. Metode Pengumpulan Contoh ...30

3.3. Metode Analisis Data ...31

3.3.1. Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif ...31

3.3.2. Metode Regresi Linier ...33

IV. GAMBARAN UMUM ...38

4.1.Gambaran Umum Kabupaten Bogor ...38

(11)

V. PEMBAHASAN ...46

5.1.Karakteristik Usaha Tani Responden ...46

5.2.Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk...55

5.3.Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi ...67

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...80

6.1.Kesimpulan ...80

6.2.Saran ...81

DAFTAR PUSTAKA ...83

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi

Sawah Menurut Jenis Pengeluaran ... 4

1.2. Banyaknya Desa di Kabupaten Bogor Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Penduduk ... 5

1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010 ... 8

4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2006-2009 ...38

4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005 ...39

4.3. Data Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Utama Kabupaten Bogor Tahun 2006 ...40

4.4. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2009 ...41

5.1. Wilayah Studi Penelitian ...46

5.2. Perbedaan Pengeluaran Pupuk Subsidi dan Non Subsidi pada Setiap Musim Tanam ...54

5.3. Rata-rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden ...56

5.4. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi ...57

5.5. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi ...60

5.6. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi ...62

5.7. Persentase Tingkat Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi ...63

5.8. Persentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk ...64

5.9. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk Urea ...68

5.10. Uji Asumsi Klasik ...70

5.11. Hasil Estimasi Produksi Padi ...73

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000 ... 1

1.2. Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010 ... 2

1.3. Produksi Padi Tahun 1996-2010 ... 3

2.1. Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total ...17

2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi ...18

2.3. Kerangka Pemikiran ...28

4.1. Mekanisme Distribusi Pupuk dengan Produsen ...44

4.2. Mekanisme Distribusi Subsidi Pupuk dengan Semua Produsen ...45

5.1. Karakteristik Pendidikan Responden ...47

5.2. Luas Lahan Responden ...48

5.3. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010 ...49

5.4. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden ...50

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuisioner Responden ... 87

2. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk ... 98

3. Uji Asumsi Normalitas ... 98

4. Uji Asumsi Heteroskedastisitas ... 99

5. Uji Asumsi Autokorelasi ... 99

6. Uji Korelasi Parsial antar Peubah Bebas ... 99

7. Hasil Estimasi Produksi Padi ...100

8. Uji Asumsi Normalitas ...100

9. Uji Asumsi Heteroskedastisitas ...101

10. Uji Asumsi Autokorelasi ...101

11. Uji Korelasi antar Peubah Bebas ...101

(15)

Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan hidup suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, pertanian sebagai aspek pendukung ketersedian pangan di suatu negara. Oleh karena itu, terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian. Selain itu, pendapatan negara juga sebagian besar berasal dari sektor pertanian. Hal ini terlihat pada Gambar 1.1.

Sumber : BPS, 2010

Gambar 1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000

13%

Distribusi PDB

Tahun

2010 Setiap Sektor

Atas Harga Konstan 2000

Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan

(16)

Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap PDB. Pertanian mempunyai kontribusi sebesar 13% terhadap PDB yang merupakan sektor terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, sektor pertanian harus mendapatkan prioritas karena pertanian juga memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan. Berbagai langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam melaksanakan kebijakan pangan seperti subsidi input produksi, kebijakan harga, dan pembenahan kelembagaan pangan (Amang dan Sawit, 1999). Salah satu kebijakan-kebijakan subsidi input produksi tersebut adalah kebijakan subsidi pupuk.

Kebijakan subsidi pupuk sebagai salah satu dari kebijakan fiskal pemerintah yang ditujukan pada petani dengan tujuan meningkatkan produksi pertanian. Kebijakan ini sudah dilakukan sejak tahun 1960 dan juga pernah dihapuskan pada saat krisis moneter 1998 dan mulai diberlakukan kembali pada pertengahan tahun 2001. Perkembangan alokasi subsidi pupuk untuk sektor pertanian akan disajikan secara lengkap pada Gamber 1.2 di bawah ini.

Sumber : Kementrian Keuangan, 2010

Gambar 1.2. Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010

(17)

Pada Gambar 1.2 terlihat bahwa alokasi subsidi pupuk setiap tahun mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai 2009. Namun, pada tahun 2010 alokasi subsidi pupuk mengalami penurunan dari sebesar 17.537 (miliar rupiah) pada tahun 2009, menjadi 11.291,5 (miliar rupiah) pada tahun 2010. Hal ini dikarenakan adanya anggaran negara yang digunakan untuk subsidi pupuk yang terlalu besar dan juga adanya indikasi ketidakefektivitasan penggunaan subsidi pupuk ini untuk mendukung sektor pertanian. Pengaruh adanya subsidi pupuk terhadap produksi padi akan ditunjukkan pada Gambar 1.3. berikut ini.

Sumber : Kementrian Pertanian, 2010

Keterangan : *Mulai tahun1999 tidak termasuk Timor Timur

Gambar 1.3. Produksi Padi Tahun 1996-2010

(18)

1997 menjadi sebesar 49.236.692 ton pada tahun 1998. Pada periode 1998 sampai 2001 produksi padi cenderung tidak stabil.

Pada tahun 2002 dimana subsidi pupuk sudah mulai diberlakukan kembali dengan semua produsen pupuk diberikan kesempatan untuk pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Dengan adanya pemberlakuan subsidi pupuk kembali, produksi padi juga meningkat sejak tahun 2002 sampai 2009. Namun, pada tahun 2010 terjadi pengurangan anggaran subsidi pupuk dari sebesar 17.537 (miliar rupiah) pada tahun 2009 menjadi sebesar 11.291,5 (miliar rupiah) pada tahun 2010 yang dijelaskan pada Gambar 1.2. Pengurangan subsidi pupuk dengan selisih sebesar 6245,5 (miliar rupiah) tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan produksi padi bahkan produksi padi tetap mengalami peningkatan dari sebesar 64.398.890 pada tahun 2009 menjadi sebesar 65.980.670 pada tahun 2010. Hal ini mengindikasikan adanya pertanyaan terhadap tingkat efektivitas penyerapan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian.

Tabel 1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi

Tenaga Kerja 1586,01 26,73

Sewa Lahan 734 12,37

Alat/sarana Usaha 463 7,80

Jasa 1553 26,18

Lainnya (bunga kredit, iuran irigasi, PBB Lahan

Sawah, dll) 424 7,15

Jumlah 5932,72 100

(19)

Efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan enam indikator, antara lain tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Efektivitas subsidi pupuk menjadi hal yang penting dalam mendukung produksi sektor pertanian. Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa pupuk mempunyai proporsi sebesar 13,26 persen terhadap keseluruhan biaya produksi padi per hektar pada setiap musim tanamnya. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk mempunyai proporsi yang besar dalam biaya produksi padi sehingga pupuk menjadi hal yang harus diprioritaskan oleh pemerintah terkait dengan kebutuhan petani. Pupuk menjadi input yang perlu disubsidi pemerintah terkait dengan peranannya yang penting dalam menentukan produksi pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini membahas tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap kaitannya dengan produksi padi dengan mengambil studi kasus pada kabupaten Bogor. Bogor dipilih menjadi studi kasus dalam penelitian ini berdasarkan berbagai pertimbangan seperti yang dijelaskan pada Tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2. Banyaknya Desa di Kabupaten Bogor Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Penduduk

Sektor Perekonomian Banyaknya Desa

Pertanian 248

Pertambangan dan Penggalian 1

Industri Pengolahan 32

Perdagangan 64

Jasa 73

Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2006 (diolah)

(20)

begantung pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Sektor ini mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Oleh karena itu, Bogor dipilih menjadi sampel untuk penelitian ini yang mengangkat topik tentang “Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi (Studi

Kasus: Kabupaten Bogor)”.

1.2. Perumusan Masalah

(21)

mendapatkan pupuk bersubsidi dengan mudah karena pengecer resmi juga dapat dengan mudah menjual ke siapa saja.

Peningkatan input produksi berupa penambahan penggunaan pupuk secara teori dapat meningkatkan produksi padi apabila penggunaannya sesuai dengan dosis yang dibutuhkan (400 kg/ha) pada setiap produksinya (Purwono dan Heni, 2009). Namun, apabila penambahan pupuk untuk produksi sudah pada batas optimum penggunaan maka apabila dilakukan penambahan lagi akan berakibat negatif pada peningkatan produksi. Seringkali petani tidak memperhatikan dosis anjuran yang tepat untuk setiap penggunaannya berkaitan dengan luas lahan yang mereka miliki sehingga berakibat pada penurunan produktivitas pada hasil produksinya (Kementerian Pertanian, 2009).

(22)

Tabel 1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010

**) Berlaku 1 Januari-31 Juli 2003 *** ) Berlaku 1 Agustus-31 Desember 2003

(23)

sebesar 6,09 persen (Jurnal Berita, 2011). Salah satu hal yang menjadi alasan bagi para pelaku distribusi menaikkan harga secara tidak resmi adalah untuk mendapatkan marjin pemasaran dari upah pelaku distribusi dan biaya pemasaran karena harga pupuk bersubsidi yang kurang realistik. Kenaikan harga ini akan merugikan petani karena harga pupuk bersubsidi di pasar lebih tinggi dari HET yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dari berbagai uraian-uraian permasalahan yang telah dijelaskan maka dalam penelitian ini akan dirumuskan permasalahan menjadi lebih rinci, antara lain :

1. Bagaimana efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator keberhasilan subsidi pupuk?

2. Bagaimana pengaruh efektivitas subsidi pupuk terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator keberhasilan subsidi pupuk.

(24)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan gambaran efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian khususnya padi di Kabupaten Bogor.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1.Tinjauan Teori-teori 2.1.1. Pengertian Efektivitas

Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya dengan output realisasi atau sesungguhnya, dikatakan efektif jika output seharusnya lebih besar daripada output sesungguhnya (Schemerhon John R. Jr, 1986). Menurut Hidayat (1986) efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Semakin besar persentase yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Menurut Gibson (2002), efektivitas adalah sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama. Pengertian efektivitas yang digunakan dalam penelitian mengacu pada ketiga pengertian di atas, yaitu suatu ukuran pencapaian target yang menunjukkan output realisasi yang telah tercapai dari output yang seharusnya tercapai.

2.1.2. Pengertian Pupuk dan Pupuk Bersubsidi

(26)

langsung. Pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses rekayasa secara kimia, fisika dan atau biologi dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa dan dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan atau biologi tanah.

Pupuk bersubsidi menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005 adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian. Menurut peraturan ini juga ditentukan jenis pupuk bersubsidi yaitu pupuk anorganik (urea, superphos, ZA, NPK) dan pupuk organik. Menurut Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2010, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini IV. Pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani, pekebun, peternak dan pembudidaya ikan atau udang yang mengusahakan lahan seluas-luasnya dua hektar setiap musim tanam per keluarga petani, kecuali pembudidaya ikan atau udang seluas-luasnya satu hektar.

2.1.3. Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi

(27)

diajukan Pemerintah Daerah, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahunan. Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk bagi tanaman sesuai dengan status hara tanah dan kebutuhan tanaman untuk mencapai produktivitas yang optimal dan berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/OT.140/4/2007.

Pengadaan pupuk adalah proses penyediaan pupuk bersubsidi yang dilakukan oleh produsen yang berasal dari produksi dalam negeri dan atau impor (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Penyaluran pupuk adalah proses pendistribusian pupuk bersubsidi dari produsen sampai dengan petani dan atau kelompok tani sebagai konsumen akhir (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk berubsidi sampai ke penyalur Lini IV (pengecer resmi) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Produsen, penyalur Lini III dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai prinsip enam tepat (tepat jenis, jumlah, mutu, tempat, waktu, dan harga sesuai HET). Produsen wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I sampai dengan Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Distributor wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Pengecer resmi melaksanakan penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani sesuai dengan peruntukannya di Lini IV wilayah tanggungjawabnya.

(28)

resmi) dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) daerah berdasarkan prinsip enam tepat. Produsen pupuk bersubsidi wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I sampai Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Penyalur Lini III (distributor) wajib melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan, penyimpangan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini IV (pengecer resmi) setempat. Penyalur Lini IV (pengecer resmi) wajib melaksankan pemantauan dan pengawasan terhadap perkembangan dan keadaan pertanaman serta penyediaan, penyimpanan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani setempat. KP3 daerah wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk bersubsidi di daerah serta melaporkan kepada Bupati, dengan tembusan disampaikan kepada produsen selaku penganggungjawab wilayah. Pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini IV ke petani atau kelompok tani dilakukan oleh KP3 di daerah bersama Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) serta Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT), Tenaga Bantu Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (TB-POPT), dan Ketua Gabungan Kelompok Tani.

2.1.4. Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk

(29)

indikator-indikator subsidi pupuk adalah tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, dan tepat mutu. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini terfokus pada empat indikator tepat yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah. Pemilihan keempat indikator ini disebabkan oleh empat indikator tersebut dapat dikuantifikasikan sehingga dapat diinterpretasikan.

Pengertian tepat harga adalah suatu kondisi dimana harga pembelian pupuk oleh petani secara kontan di tingkat pengecer atau kios resmi per saknya

sama dengan harga eceran tertinggi (Syafa’at, et al., 2007). Pengertian tepat

tempat berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk tersedia di dekat atau di sekitar rumah atau lahan petani yang diindikasikan dengan pembelian pupuk oleh petani dilakukan di kios di dalam desa. Pengertian tepat waktu berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk secara fisik tersedia pada saat dibutuhkan oleh petani. Pengertian tepat jumlah menurut Rahman (2009) adalah jumlah pemupukan yang dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Menurut Purwono dan Heni (2009), jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 75-100kg/ha, dan KCL sebanyak 75-100kg/ha.

2.1.5. Teori Produksi

(30)

Dalam suatu proses produksi juga terdapat adanya perubahan keluaran yang dihasilkan oleh perubahan dalam satu masukan produksi. Teori ini sering disebut dengan Marginal Physical Product (Produk Fisik Marginal) yang pengertiannya adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut dengan mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :

Produk fisik marginal dari modal :

...(2.1)

Produk fisik marginal dari tenaga kerja :

... (2.2)

Produk fisik marginal dari sebuah masukan bergantung pada jumlah masukan tersebut yang dipergunakan. Sebagai contoh pupuk tidak dapat ditambahkan secara tidak terbatas untuk sebidang tanah tertentu (dengan mempertahakan jumlah peralatan, tenaga kerja, dan sebagainya) yang pada akhirnya akan menunjukkan penurunan produktivitas. Hal ini akan dijelaskan pada Gambar 2.1.

Kurva pada Gambar 2.1 memperlihatkan produktivitas rata-rata dan produktivitas marginal untuk pupuk dapat diturunkan dari kurva produk total. Kurva TPP dalam (a) mewakili hubungan antara masukan pupuk dan keluaran,

dengan asumsi bahwa semua masukan lain dipertahankan konstan. Pada (b) diperlihatkan bahwa kurva TPP merupakan produk marginal pupuk (MPP), dan

(31)

menghasilkan produk rata-rata pupuk (APP). Kurva ini menjelaskan hubungan

antara jumlah masukan tertentu (pupuk) dan keluaran atau output total (TPP).

Untuk jumlah pupuk yang kecil, keluaran meningkat dengan cepat kemudian pupuk ditambahkan tetapi karena semua masukan lain tetap konstan, pada akhirnya kemampuan pupuk tambahan untuk menghasilkan keluaran tambahan mulai menurun. Pada akhirnya, pada P***, keluaran mencapai tingkat maksimum dimana pada setiap pupuk yang ditambahkan akan mengurangi keluaran.

P* P** P*** Masukan pupuk per periode (a) Produk Total Kurva Pupuk

MPP APP

MPP

APP

P* P** P*** Masukan pupuk per periode (b) Kurva Produk Rata-rata dan Marginal untuk Pupuk Sumber : Nicholson (1991)

Gambar 2.1. Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total jumlah per

(32)

Kurva total produk tersebut akan menggambarkan produksi atau keluaran dari penggunaan suatu input tertentu. Pada Gambar 2.2 akan dijelaskan pengaruh dari adanya subsidi. Pada kurva ini akan dilihat adanya pengaruh dari pemberian subsidi terhadap kurva penawaran pupuk dan produksi padi.

P S

S’

P

P’

D

Q Q’ Q

(a) Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran Pupuk Output (Q)

Q’

Input (pupuk)

(b) Pengaruh Subsidi terhadap Produksi Sumber : Widjajanta dan Widyaningsih (2007)

Gambar 2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi

Dari Gambar 2.2 dapat terlihat pengaruh adanya subsidi terhadap kurva penawaran dan produksi. Subsidi merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada produsen terhadap produk yang dihasilkan atau dipasarkan, sehingga harga lebih rendah sesuai dengan keinginan pemerintah dan daya beli masyarakat

(33)

meningkat. Subsidi pupuk merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada petani agar dapat memproduksi dengan biaya lebih rendah. Adanya subsidi

menyebabkan penawaran pupuk bertambah dari S ke S’. Pupuk yang ditawarkan

di pasar menjadi bertambah dari Q ke Q’, sedangkan harga keseimbangan pasar

dengan adanya subsidi akan turun dari P ke P’ seperti terlihat pada kurva (a).

Dampak dari adanya subsidi adalah biaya produksi menjadi lebih rendah yang menyebabkan kemampuan produsen untuk membeli input produksi lebih tinggi sehingga jumlah input produksi meningkat. Adanya peningkatan input produksi

akan menyebabkan jumlah barang yang diproduksi menjadi naik (dari Q ke Q’)

seperti terlihat pada kurva (b). Jadi, adanya subsidi dapat meningkat kemampuan produksi suatu barang.

2.1.6. Teori Permintaan

Fungsi permintaan menurut Nicholson (1991) adalah hubungan antara harga dan kuantitas yang diminta konsumen per unit waktu, ceteris paribus. Harga dan kuantitas permintaan berbanding terbalik sehingga kurva permintaan berslope negatif. Pada prinsipnya, untuk mencapai utilitas maksimum pada tingkat optimal X1, X2, …, Xn (dan λ, pengali Lagrangian) sebagai fungsi dari semua

harga dan pendapatan. Secara matematis fungsi permintaan dinyatakan sebagai berikut :

X1* = D1 (P1, P2, …, Pn, I) ... (2.3)

X2* = D2 (P1, P2, …, Pn, I) ... (2.4)

(34)

Notasi D menyatakan permintaan, P menyatakan harga, X menyatakan jumlah yang ingin dibeli dan I menyatakan pendapatan sehingga dapat diketahui jumlah yang akan dibeli seseorang individu untuk masing-masing barang. Proses produksi terjadi karena adanya permintaan output yang dihasilkan. Permintaan input akan muncul karena adanya suatu proses produksi. Jadi, permintaan input timbul karena adanya permintaan akan output. Hal inilah yang disebut dengan permintaan turunan (derived demand) dimana permintaan input yang muncul karena adanya permintaan output. Permintaan terhadap input merupakan permintaan turunan karena input digunakan dalam memproduksi output tertentu sehingga besarnya permintaan input tergantung dari besarnya output yang digunakan. Begitu pula dengan permintaan terhadap pupuk yang merupakan input produksi timbul karena adanya permintaan output (produk pertanian) sehingga besarnya pupuk yang diminta berdasarkan permintaan output (produk pertanian) yang dibutuhkan oleh masyarakat.

2.2.Penelitian-Penelitian Terdahulu

(35)

struktur input antara dan permintaan antara sektor industri pupuk, menganalisis daya penyebaran ke depan dan indeks daya penyebaran ke belakang sektor industri pupuk dan sektor pertanian, menganalisis multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor pertanian dan industri pupuk, membandingkan hasil analisis dampak penyebaran dan multiplier sektor pertanian dengan sektor industri pupuk. Selain itu, tujuan lain yang berkaitan dengan penelitian ini adalah menganalisis dampak pencabutan subsidi pupuk di sektor industri pupuk terhadap pembentukan jumlah output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor-sektor pertanian Indonesia.

(36)

secara khusus terhadap penerima sesungguhnya dari pemberian subsidi pupuk (petani, pekebun, dan peternak kecil).

Penelitian lain tentang subsidi pupuk adalah penelitian Rahman (2009) tentang Kebijakan Subsidi Pupuk : Tinjauan terhadap Aspek Teknis, Manajemen, dan Regulasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sistem distribusi pupuk belum menjamin ketersediaan di tingkat petani. Hal ini disebabkan oleh masih adanya kelemahan-kelemahan serta pemahaman yang beragam dalam implementasinya. Dalam peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan distribusi pupuk bersubsidi perlu dilakukan perbaikan kebijakan baik pada aspek teknis, manajemen, maupun regulasi.

(37)

sanksi terhadap pelanggaran dalam penyaluran pupuk bersubsidi sesuai Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2005.

Penelitian lain terkait dengan subsidi pupuk adalah penelitian yang dilakukan oleh Yessi (2009) dengan judul Mekanisme Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi dan Pengaruhnya terhadap Pemenuhan Pupuk Petani Padi di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi pada Kabupaten Agam terkait dengan permasalahan bahwa semakin tingginya permintaan pupuk yang menyebabkan peluang dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang ikut andil dalam perdagangan pupuk tanpa menaati peraturan yang berlaku. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengadaan pupuk dari Lini III (distributor) dan Lini IV (pengecer) kurang efektif karena tidak berdasarkan kebutuhan petani atau kelompok tani. Penyaluran pupuk yang bersifat terbuka dan pasif menyebabkan petani sulit untuk memperoleh pupuk bersubsidi. Penyimpangan dilakukan penyalur terhadap tugas dan tanggungjawabnya menyebabkan kebutuhan petani terabaikan.

(38)

ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki mekanisme penyaluran pupuk dalam negeri yang menyebabkan adanya kelangkaan pupuk dan penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Pada periode 2003 sampai sekarang masih belum adanya jaminan ketersediaan pupuk di tingkat petani karena adanya penyelundupan pupuk lewat ekspor ilegal sehingga harga pupuk naik drastis di pasar dunia. Saran dari penelitian ini adalah adanya sistem tata niaga pupuk yang berkeadilan, dan adanya ketegasan pemerintah dalam menjalankan kebijakan ini seperti penetapan sanksi yang tegas terhadap yang melakukan pelanggaran dan kecurangan.

(39)

Penelitian tentang efektivitas kebijakan publik yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sari (2007). Penelitian ini berjudul Analisis Efektivitas dan Efisiensi Distribusi Raskin. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan harga patokan dengan harga aktual di tingkat rumah tangga penerima Raskin, mengetahui surplus yang diterima rumah tangga miskin dari subsidi beras miskin, mengetahui tingkat efektivitas, serta untuk mengetahui tingkat efisiensi dari penyaluran beras miskin sampai ke rumah tangga di daerah penelitian. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Metode penentuan tingkat efektivitas dari program Raskin dilakukan dengan analisis deskriptif kuantitatif dengan membandingkan antara persentase indikator yang tepat dengan yang tidak tepat. Apabila persentase tingkat ketepatan indikator sama atau lebih besar dari 80 persen maka program raskin dapat dikategorikan efektif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan harga Raskin di tingkat rumah tangga dengan harga patokan pemerintah sebesar Rp 400, surplus yang didapatkan oleh penerima Raskin sebesar Rp 10.692 untuk setiap kepala keluarga, tingkat keefektifan program pendistribusian Raskin sebesar 33,4 persen sehingga masih dikategorikan tidak efektif, tingkat efisiensi pendistribusian Raskin dalam kategori efisien.

(40)

penelitian ini adalah menganalisis keefektifan pelaksanaan program Raskin pada tahun 2007, menelaah tanggapan masyarakat miskin terhadap kenaikan harga tebus raskin, serta merumuskan saran-saran perbaikan yang diperlukan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan program Raskin di masa datang. Metode pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan sengaja. Metode analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah program Raskin dikategorikan tidak efektif karena harga tebusan yang lebih mahal dan jatah beras yang diterima lebih sedikit dari seharusnya, rumah tangga miskin tidak keberatan dengan kenaikan harga tebusan Raskin, saran untuk perbaikan program Raskin yaitu peningkatan jumlah Raskin yang diterima rumah tangga miskin dan harga tebusnya, serta merevitalisasi kelembagaan MUDES.

Penelitian tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi yang digunakan rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2008). Penelitian ini berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Produksi Padi Sawah di Kabupaten Dharmasraya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di kabupaten Dharmasraya. Hasil dari penelitian ini adalah luas lahan, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan tenaga kerja mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah produksi padi sawah di kabupaten Dharmasraya.

(41)

Penelitian ini berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi dengan Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan produksi padi sawah, dan menganalisis tingkat optimasi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani padi sawah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, pengalaman petani dalam berusahatani, jarak rumah petani dengan lahan garapan, dan sistem irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi sawah. Selain itu, luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, jarak lahan garapan dengan rumah petani, dan sistem irigasi berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi sawah, sedangkan pengalaman petani tidak berpengaruh (non significant) terhadap peningkatan produksi padi sawah.

2.3.Kerangka Pemikiran Konseptual

(42)

bersubsidi ini juga diadakan pengawasan terutama berkaitan dengan prinsip enam tepat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pasal 6 ayat (3). Dari pengawasan ini akan ada suatu evaluasi tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi oleh KP3 daerah. Pada penelitian ini akan membahas efektivitas kebijakan pupuk bersubsidi terutama berkaitan dengan produksi padi di Kabupaten Bogor. Kerangka pemikiran akan dijelaskan pada gambar berikut ini.

Keterangan : = Ruang lingkup penelitian

(43)
(44)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, dan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara kepada 120 responden di Kabupaten Bogor.

3.2.Metode Pengumpulan Contoh

Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara semi terbuka kepada petani di Kabupaten Bogor menggunakan instrumen kuisioner (Lampiran 1). Penentuan sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling dimana memilih contoh berdasarkan pertimbangan tentang karakteristik yang cocok dalam penelitian ini. Hal yang menjadi pertimbangan pada penentuan sampling ini adalah berdasarkan data sasaran luas tanam padi di daerah Bogor. Dengan menggunakan teknik ini didapatkan dua kecamatan yang mewakili daerah sentra produksi padi di daerah Kabupaten Bogor, yaitu Pamijahan, dan Darmaga. Dari dua kecamatan tersebut diambil masing-masing dua desa. Setiap desa tersebut masing-masing diambil 30 responden (petani) sehingga semuanya berjumlah 120 responden.

(45)

3.3.Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitaif dan kualitatif, serta regresi linear berganda. Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator utama yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Regresi linear digunakan untuk mengukur respon dari kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi.

3.3.1. Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif

Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur efektifitas kebijakan subsidi pupuk dilihat dari empat indikator utama. Untuk menghitung ketepatan indikator-indikator ini akan dihitung menggunakan rumus berikut ini.

Ketepatan harga

ΔP = Pr - Pp ... (3.1)

Keterangan :

ΔP = perbedaan harga (Rp)

Pr = harga yang diterima responden (Rp)

Pp = harga eceran tertinggi (HET) dari pemerintah (Rp)

Ketepatan Jumlah

ΔQ = Qr - Qp ... (3.2)

Keterangan :

(46)

Qr = jumlah pupuk yang dipergunakan oleh responden (kg/ha)

Qp = jumlah pupuk yang disarankan oleh pemerintah (kg/ha)

Ketepatan harga dalam indikator efektivitas subsidi pupuk diukur berdasarkan rumus (3.1). Berdasarkan rumus tersebut dilihat selisih antara harga aktual dengan HET. Setelah itu dilakukan perbandingan antara responden yang memperoleh harga aktual sama dengan HET dengan responden yang memperoleh harga aktual tidak sama dengan HET. Hasil dari perbandingan responden tersebut ditransformasi dalam bentuk persen. Apabila presentasi tepat harga sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka indikator tepat harga dikategorikan efektif.

Ketepatan tempat dalam indikator efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan kios tempat responden membeli pupuk yaitu di dalam atau di luar desa. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang membeli pupuk di dalam desa dengan di luar desa dalam bentuk persen. Apabila persentase yang membeli pupuk di dalam desa sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat tempat.

(47)

menyatakan bahwa pupuk selalu ada ketika dibutuhkan sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa tepat waktu sudah efektif.

Indikator terakhir dalam penentuan efektivitas kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat jumlah. Pengukuran tepat jumlah ini berdasarkan selisih antara jumlah aktual dengan jumlah seharusnya yang dijelaskan pada rumus (3.2). Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang menggunakan pupuk sesuai dengan anjuran dengan responden yang menggunakan pupuk tidak sesuai anjuran dalam bentuk persen. Apabila persentase responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat jumlah. Dari keseluruhan persentase indikator dibuat rata-ratanya dalam bentuk persen. Apabila rata-rata tingkat ketepatan sama dengan atau lebih dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk sudah efektif.

3.3.2. Metode Regresi Linear

Model regresi linear berganda menurut Juanda (2008) adalah fungsi linear dari beberapa peubah bebas X1, X2,..., Xk dan komponen sisaan error. Analisis

(48)

menggunaakan fixed data (data yang telah ditetapkan) maka informasi yang diperoleh lebih kuat dalam menjelaskan hubungan sebab akibat antara variabel X dan variabel Y. Namun, jika menggunakan observational data, informasi yang diperoleh belum tentu merupakan hubungan sebab akibat. Fixed data biasanya diperoleh melalui percobaan laboratorium dimana peneliti telah memilki beberapa nilai variabel X yang ingin diteliti. Pada observational data variabel X yang diamati tergantung keadaan di lapangan dimana biasanya data ini diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Pada penelitian ini menggunakan data berupa observational data. Variabel-variabel ini akan dibentuk persamaan regresi untuk dapat merepresentasikan hubungan dari data-data yang diperoleh. Persamaan model regresi berganda secara umum adalah sebagai berikut.

Yi= β1+ β2X2i+ β3X3i+ .... + βkXki+ εi ... (3.3)

Pada penelitian ini menggunakan regresi linear berganda yang menggambarkan respon penggunaan pupuk terhadap perubahan harga. Persamaan ini akan dijelaskan sebagai berikut.

Persamaan regresi linear berganda respon penggunaan pupuk:

LnPPKi = β0+ β1LnPUi+ β2LnPTi+ β3LnPHDi+ β4LnLLHi + ei, ... (3.4)

Persamaan regresi linear berganda respon produksi padi terhadap perubahan variabel-variabel:

LnPPi = β0 + β1LnPPKi + β2LnTTKi + β3LnLLHi + β4LnBBT + β5LnD1i +

β6LnD2i + ei ... (3.5)

Keterangan:

(49)

PTi : Harga TSP-i

PHDi : Harga padi-i

PPi : Total produksi padi pada penggunaan pupuk dengan jumlah-i

PPKi : Penggunaan pupuk dengan jumlah-i

TTKi : Penggunaan tenaga kerja dengan jumlah-i

LLHi : Penggunaan lahan dengan jumlah-i

BBTi : Penggunaan bibit atau benih dengan jumlah-i

D1i : Penggunaan dummy bibit dengan jumlah-i (1=ciherang, 0=non ciherang)

D2i : Penggunaan dummy efektivitas harga-i (1=tepat, 0=tidak tepat)

Βi : dugaan parameter koefisien regresi (intersep)

ei : sisaan atau simpangan atau perbedaan antara total produksi padi

sesungguhnya dengan nilai dugaan untuk penggunaan pupuk dengan jumlah-i

(50)

masing-masing variabel indenpendenya yang dibandingkan dengan taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen.

Hipotesis awal dari persamaan regresi (3.4) adalah harga urea mempunyai tingkat elastisitas yang lebih kecil dari satu (inelastis) . Sifat yang inelastis ini berarti bahwa ketika terjadi perubahan harga ura tidak akan berpengaruh besar pada perubahan jumlah pupuk urea yang digunakan oleh petani. Faktor-faktor lain selain harga urea mempunyai pengaruh yang positif terhadap permintaan urea. Sementara itu, hipotesis awal dari persamaan regresi (3.5) adalah masing-masing variabel independen mempunyai pengaruh positif terhadap variabel dependen. Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan pada luas lahan sebanyak satu satuan juga akan mempengaruhi peningkatan produksi padi satuan. Hal ini terjadi juga pada peningkatan variabel-variabel lainnya sebanyak satu satuan yang juga akan meningkatkan produksi padi satuan.

(51)

tinggi, tetapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan karena simpangan baku koefisien besar (Juanda, 2008).

Pelanggaran asumsi klasik yang kedua adalah adanya autokorelasi. Autokorelasi menurut Gujarati (1978) adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) dan ruang (seperti dalam data cross-sectional). Pengujian ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Breusch-Goldfrey Serial Correlation LM Test. Apabila nilai probabilitas yang didapatkan lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen maka tidak terdapat pelanggaran autokorelasi atau tidak ada autokorelasi dalam model.

Pelanggaran asumsi klasik yang terakhir adalah adanya heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas adalah varians setiap unsur disturbance ui,

(52)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan suatu daerah tingkat II di Jawa Barat yang mempunyai luas wilayah sebesar 2.301,95 Km2. Batas Kabupaten Bogor sebelah utara adalah Kota Depok, batas barat dengan Kabupaten Lebak, batas barat daya dengan Kabupaten Tangerang, batas timur dengan Kabupaten Purwakarta, batas timur laut dengan Kabupaten Bekasi, batas selatan dengan Kabupaten Sukabumi, dan batas tenggara dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 427 desa/kelurahan, 3.516 RW, dan 13.603 RT berdasarkan data pada tahun 2006. Sementara itu, jumlah penduduk Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2006-2009

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

2006 4.216.186

2007 4.316.236

2008 4.402.026

2009 4.453.927

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2010

(53)

Bahkan jumlah penduduk Kabupaten Bogor tercatat sebagai jumlah penduduk terbesar diantara Kabupaten lain di Jawa Barat. Sementara itu, perekonomian wilayah Kabupaten Bogor dilihat berdasarkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005

Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

2002 4,48

2003 4,81

2004 5,56

2005 5,85

Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2005

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat PDRB Kabupaten Bogor dari tahun 2002 sampai 2005. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa Kabupaten Bogor memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat pada periode 2002 sampai 2005. Pada Tahun 2005 laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,85 persen yang meningkat 0,29 persen dari tahun sebelumnya. Sektor-sektor perekonomian Kabupaten Bogor juga menentukan besarnya laju pertumbuhan ekonomi. Sektor yang menjadi penyumbang terbesar dalam penyerapan tenaga kerja akan ditunjukkan pada Tabel 4.3.

(54)

Tabel 4.3. Data Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Utama Kabupaten Bogor

Listrik, Gas, dan Air Minum 2.451

Konstruksi 66.022 merupakan salah satu sektor unggulan Kabupaten Bogor yang menyerap tenaga kerja sebesar 258.631. Sektor pertanian ini merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar ketiga setelah sektor perdagangan, dan industri. Ketiga sektor unggulan tersebut harus mendapatkan perhatian dari pemerintah agar penyerapan hasil dari ketiga sektor tersebut dalam PDRB Kabupaten Bogor dapat terserap secara optimal.

(55)

Tabel 4.4. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Sawah

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2010

(56)

yang juga akan mendukung ketahanan pangan terkait dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk.

4.2. Perkembangan Kebijakan Subsidi Pupuk

Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian terutama tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan penduduk terpenuhi. Kebijakan ini sudah diadakan sejak tahun 1960 dan telah mengalami berbagai perubahan pola kebijakan untuk memperbaiki efektivitas dari penyerapan subsidi pupuk ini. Kebijakan subsidi pupuk pertama dimulai sejak tahun 1960 dimana penyaluran subsidi pupuk dilakukan secara konsinyasi. Pertanggungjawaban penyediaan pupuk diserahkan pada PT. Pupuk Sriwijaya. Namun, pada periode ini tidak ada jaminan ketersediaan pupuk karena tidak ada ketentuan stok pupuk. Selain itu, hal ini dikarenakan adanya pengembalian kredit yang bermasalah dari petani dan tidak adanya dana yang cukup dari pemerintah untuk mengimpor pupuk. Kondisi ini berlangsung sampai tahun 1979 kemudian kebijakan selanjutnya juga masih menjadi tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya dalam pengadaan dan penyaluran semua jenis pupuk untuk sektor pertanian. Pada periode ini ketersediaan stok pupuk sampai lini IV lebih terjamin karena adanya ketentuan stok pupuk berdasarkan enam indikator (tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga).

(57)

tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya. Pupuk lainnya seperti SP 36, ZA, dan KCL mulai disubsidi pada awal 1998 tetapi hanya sementara karena pada akhir Desember subsidi pupuk dicabut. Hal ini berkaitan dengan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia yang mendorong Indonesia untuk mencabut kebijakan ini terkait dengan adanya pinjaman hutang dari IMF. Adanya pinjaman dari IMF membuat Indonesia harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh IMF sehingga Indonesia harus mencabut kebijakan subsidi pupuk dan pupuk menjadi komoditas bebas melalui mekanisme supply dan demand. Pada periode ini terjadi kelangkaan pupuk dan mahalnya tingkat harga pupuk. Pencabutan subsidi pupuk ini berlangsung sampai tahun 2001.

Pada tahun 2001 diberlakukan kembali adanya subsidi pupuk urea sesuai dengan SK Menperindag No. 93 Tahun 2001. Pada periode ini penyaluran dan pengadaan pupuk urea pada sektor pertanian dibawah tanggung jawab semua produsen pupuk, tidak hanya pada PT. Pupuk Sriwijaya. Pada tahun 2003 dikeluarkan kembali peraturan yang mengatur pengadaan dan penyaluran subsidi pupuk yaitu SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2003 dimana pendistribusian pupuk bersubsidi berdasarkan sistem rayonisasi. Semua produsen pupuk bertanggungjawab terhadap pengadaan pupuk pada wilayah sekitarnya apabila ada kesulitan dalam pengadaanya dapat melakukan kerjasama dengan produsen lain.

(58)

jawab satu produsen yaitu PT. Pupuk Sriwijaya. Mekanisme distribusi peyaluran subsidi pupuk ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Sumber : Ilham (1999)

Gambar 4.1. Mekanisme Distribusi Pupuk dengan Produsen PT. Pusri

(59)

Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Kujang Cikampek, dan PT. Pupuk Iskandar Muda).

Sumber : Ilham (1999)

Keterangan : : Jalur utama

: Jalur insidentil

Gambar 4.2. Mekanisme Distribusi Subsidi Pupuk dengan Semua Produsen

(60)

V. PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Usaha Tani Responden

Penelitian ini dilakukan terhadap petani yang mendapatkan pupuk bersubsidi dari pemerintah. Penelitian ini memilih sampel di kabupaten Bogor. Pemilihan sample dilakukan berdasarkan produksi padi di setiap daerah di kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan dipilih dengan kriteria mewakili daerah sentra produksi padi dengan luas tanam terbesar yaitu 8042 hektar, sedangkan kecamatan Darmaga dipilih dengan kriteria mewakili daerah yang rata-rata produksi padi dengan luas tanam sebesar 1400 hektar (Kementerian Pertanian, 2010). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan wilayah sebaran sampel.

Tabel 5.1. Wilayah Studi Penelitian

Kecamatan Desa/Kelurahan

Pamijahan Ciasihan

Ciasmara

Darmaga Cikarawang

Ciherang

(61)

Gambar 5.1. Karakteristik Pendidikan Responden

Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa tingkat pendidikan mayoritas responden adalah SD-MI dengan presentase sebesar 46,36 persen. Jenjang pendidikan tertinggi responden yaitu S1 hanya mencapai presentase sebesar 2,73 persen. Hal ini menunjukkan bahwa responden yaitu petani berpendidikan tidak tinggi sehingga pengetahuan mereka terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan penyuluhan dari berbagai instansi khususnya dinas pertanian untuk memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang pertanian untuk dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Selain itu, juga diperlukan adanya kelompok tani untuk dapat melakukan berbagai pertemuan yang membahas tentang masalah-masalah pertanian mereka untuk dapat diselesaikan secara bersama.

(62)

didukung dengan data tersebut dimana petani dengan total luas lahan dibawah satu hektar adalah sebesar 80 persen, sedangkan petani dengan luas lahan lebih besar dari satu hektar adalah sebesar 20 persen. Dari data tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan responden dengan luas lahan kurang dari satu hektar. Keadaan luas lahan tersebut yang sebagian besar dimiliki oleh petani kecil juga akan berpengaruh pada penerimaan pendapatan petani dan tingkat kesejahteraan petani. Olah karena itu, dibutuhkan berbagai kebijakan yang memihak kepada petani untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini penting karena petani sebagai pemenuh kebutuhan pangan pokok Indonesia.

Gambar 5.2. Luas Lahan Responden

(63)

terlihat bahwa rata-rata produksi padi setiap musim tanam periode 2010 terbanyak yaitu antara 100-900 kg sebesar 42,5 persen. Produksi terbesar kedua yaitu antara 1000-1999 kg per musim tanam sebesar 37,5 persen sedangkan sisanya yaitu sebesar 20 persen terdapat pada rentang produksi lebih dari 2000 kg per musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi setiap musim tanam masih rendah yang didukung dengan luas lahan yang juga masih rendah. Oleh karena itu diperlukan teknik produksi, bibit, pupuk, tenaga kerja yang lebih bagus dan terampil tentunya dengan bantuan berbagai kebijakan dari pemerintah. Adanya kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi padi setiap tahunnya mengingat adanya keterbatasan lahan dan bahkan semakin menyempit serta dengan semakin banyaknya peningkatan jumlah penduduk yang ada yang menggeser fungsi lahan dan meningkatkan pemintaan kebutuhan pangan.

Gambar 5.3. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010

Pada Gambar 5.2 dan 5.3 telah dijelaskan bahwa karakteristik luas lahan responden yang kecil dapat berpengaruh pada produksi padi responden yang rendah pada setiap musim tanamnya yang juga berdampak pada tingkat

(64)

pendapatan petani yang juga rendah. Padahal diketahui bahwa pengeluaran petani untuk biaya-biaya produksi semakin meningkat dengan adanya peningkatan harga serta peningkatan kebutuhan pada input-input produksinya seperti pupuk, bibit, obat-obatan, serta tenaga kerja. Berikut ini adalah gambar tentang pengeluran petani pada masing-masing input produksi.

Gambar 5.4. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden

Dari Gambar 5.4 terlihat bahwa pengeluaran input produksi terdiri dari bibit, pupuk, tenaga kerja, sewa alat pertanian, pengairan, pemeliharaan alat/sarana, biaya pengangkutan, obat-obatan, dan lainnya (seperti pajak). Dari sembilan input produksi tersebut pengeluaran terbesar adalah biaya untuk upah tenaga kerja sebesar 42,89 persen. Biaya tenaga kerja menjadi pengeluaran petani yang terbesar karena sistem bagi hasil upah tenaga kerja dengan pemilik lahan

Rincian Pengeluaran Input Produksi Per Musim Tanam

(65)

sedangkan pemilik lahan mendapatkan bagian lima dari seluruh produksi padi. Pengeluaran bagi hasil ini belum termasuk biaya tenaga kerja setiap harinya yang mencapai 20000-30000 untuk setiap hari pada tahap-tahap produksi tertentu seperti pada saat tahap tanam, pemupukan, dan panen yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja.

(66)

Biaya terbesar ketiga adalah sewa alat pertanian sebesar 19,14 persen. Sewa alat pertanian menjadi biaya terbesar ketiga setelah pupuk karena kebanyakan petani tidak mempunyai peralatan sendiri seperti untuk keperluan membajak sawah. Responden yang sebagian besar merupakan petani kecil masih membutuhkan alat pertanian seperti kerbau dan traktor dengan cara sewa yang membutuhkan biaya cukup mahal. Biaya kerbau sekitar Rp 100.000 setiap harinya sekaligus dengan tenaga kerjanya. Pembajakan lahan dilakukan sekitar satu minggu ataupun lebih tergantung dari luas lahan masing-masing responden. Traktor membutuhkan biaya sebesar 400.000 sampai 600.000 rupiah pada setiap musim tanamnya.

(67)

itu, diharapkan bahwa kebijakan subsidi benih dilakukan dengan memperhatikan kualitas serta dilakukan uji coba dari kualitas benih yang diberikan kepada petani sehingga petani percaya menggunakan benih subsidi dari pemeritah dan hasil produksi padi juga akan semakin meningkat.

Pengeluaran lain setelah benih adalah pengeluaran untuk obat-obatan, pengairan, biaya pengangkutan, pemeliharaan alat/sarana, serta pengeluaran lainnya seperti pajak yang masing-masing sebesar 3,94 persen, 1,54 persen, 1,45 persen, 0,36 persen, serta 0,13 persen. Pengeluaran-pengeluaran tersebut juga penting untuk mendukung produksi padi terutama pengairan. Daerah di kecamtan Pamijahan cenderung memiliki kondisi irigasi pengairan yang lebih bagus dibandingkan pada daerah Darmaga. Pengairan di Pamijahan langsung dari irigasi sungai sehingga membutuhkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan pada daerah Darmaga. Pengairan yang lancar pada daerah Pamijahan juga mendukung produksi dimana di daerah ini bisa dilakukan dua sampai tiga kali tanam pada setiap tahunnya sedangkan di kecamatan Darmaga hanya bisa satu kali musim tanam padi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan produksi pada daerah Pamijahan dan Darmaga pada setiap tahunnya.

(68)

Tabel 5.2. Perbedaan Pengeluaran Pupuk Subsidi dan Non Subsidi pada Setiap

Total harga (Rp) 1.020.000 1.845.000

Selisih harga subsidi dan non

subsidi 825.000

(69)

5.2. Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk

Pupuk merupakan kebutuhan yang cukup penting dalam menunjang produksi padi. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian karakteristik pertanian responden bahwa pupuk mempunyai proporsi pengeluaran terbesar setelah tenaga kerja. Oleh karena itu, diperlukan program kebijakan fiskal yang dapat membantu terpenuhinya kebutuhan pupuk petani dengan mudah dan dengan harga terjangkau agar kesejahteraan petani meningkat. Kebijakan mengatur pupuk yang saat ini diterapkan adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk yang saat ini diterapkan adalah dengan menentukan harga eceran tertinggi yang diterima petani pada setiap jenis pupuk. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu kebutuhan pupuk di tingkat petani.

(70)

Tabel 5.3. Rata-rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden

Uraian Urea TSP/SP-36 NPK

Harga Rata-rata Pembelian (Rp/kg) 1900 2400 2500

Harga Eceran Tertinggi (Rp/kg) 1600 2000 2300

Deviasi Absolut (Rp/kg) 300 400 200

Deviasi Relatif (%) 18,75 20 8,70

Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat harga pupuk aktual dan harga pupuk seharusnya yang diterima responden. Jenis pupuk bersubsidi yang digunakan responden adalah urea, TSP/SP-36, dan NPK. Pupuk urea mempunyai harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 1600/kg. Namun, pada kenyataanya harga pupuk urea yang diperoleh responden rata-rata sebesar 1900 sehingga terdapat selisih sebesar Rp 300 dari harga sesungguhnya. Responden telah membeli pupuk urea dengan harga 18,75 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram pupuk daripada harga sesungguhnya.

Pupuk jenis lain yang digunakan oleh responden adalah TSP atau SP-36. Harga eceran tertinggi dari pupuk jenis ini adalah sebesar Rp 2000/kg. Reponden rata-rata memperoleh pupuk bersubsidi jenis ini dengan harga sebesar Rp 2400/kg atau terdapat selisih sebesar Rp 400/kg. Dari harga yang diperoleh responden ini maka responden telah membeli pupuk TSP atau SP-36 dengan harga 20 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram pupuk dibandingkan dengan harga sesungguhnya.

(71)

diperoleh responden maka responden membeli pupuk NPK dengan harga 8,70 persen lebih tinggi daripada harga sesungguhnya. Dari ketiga jenis pupuk tersebut dapat dikategorikan bahwa ketiga jenis pupuk tersebut mempunyai harga pembelian yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi. Hal ini akan mempengaruhi tingkat efektivitas dari kebijakan subsidi pupuk. Jumlah responden yang memperoleh harga yang tepat dan tidak tepat dalam memperoleh subsidi pupuk akan dijelaskan pada tabel berikut ini.

Tabel 5.4. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi

Jenis Pupuk Kesesuaian Harga dengan HET Jumlah Persentase (%)

Urea Tepat 40 35,00

Tidak Tepat 74 64,91

NPK Tepat 4 9,52

Tidak Tepat 38 90,48

TSP/SP-36 Tepat 14 15,22

Tidak Tepat 78 84,78

TOTAL Tepat 58 23,39

Tidak Tepat 190 76,61

(72)

harga yang sama dengan HET. Harga eceran tertinggi untuk urea adalah Rp 1600/kg yang berlaku dari tahun 2010 dan sampai sekarang masih diberlakukan HET yang sama. Urea mempunyai HET yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk jenis lain. Jumlah responden yang menerima HET tepat sama dengan harga yang dibayarkan adalah 40 responden, sedangkan jumlah responden yang tidak memperoleh harga sama dengan HET adalah 74 responden. Responden menggunakan pupuk urea untuk mendukung pertumbuhan daun. Persentase dari responden yang memperoleh harga sama dengan HET dan tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 35,09 persen dan 64,91 persen. Urea merupakan pupuk yang jumlahnya paling banyak diminta oleh responden sebesar 114 dibandingkan dengan jenis pupuk lain seperti NPK dan TSP/SP-36 yang masing-masing hanya sebesar 42 dan 92. Oleh karena itu, banyak responden yang berharap bahwa urea tidak akan dicabut atau tetap disubsidi oleh pemerintah. Hal ini juga didukung dengan adanya wacana penurunan alokasi subsidi pupuk untuk beberapa tahun ke depan, dan adanya beberapa jenis pupuk yang sudah tidak lagi disubsidi seperti KCL.

(73)

9,52 persen dimiliki oleh responden yang memperoleh harga sama dengan HET sedangkan responden yang memperoleh harga leih tinggi dari HET sebesar 90,48 persen. NPK mempunyai kecenderungan yang sama dengan urea dimana keduanya memiliki persentase yang lebih besar dalam hal ketidaktepatan dengan HET yang berlaku bahkan NPK memiliki selisih persentase yang lebih besar dibandingkan dengan urea.

(74)

bersubsidi. Hal-hal tersebut yang membuat pupuk bersubsidi pada penelitian ini belum bisa dikategorikan memenuhi prinsip tepat harga.

Indikator kedua yang menentukan keefektifan program kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat tempat. Tepat tempat yang dimaksud adalah petani sebagai penerima subsidi pupuk dapat memperoleh pupuk di kios yang dekat dengan rumah atau lahan petani atau kios berada di dalam desa. Hasil penelitian tentang indikator tepat tempat akan dijelaskan pada tabel berikut ini.

Tabel 5.5. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi

Tempat Pembelian Pupuk Jumlah Responden Persentase (%)

di dalam desa 52 43,33

di luar desa 68 56,67

TOTAL 120 100

(75)

Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terdapat 68 responden yang melakukan pembelian pupuk di luar desa. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa tidak ada kios yang ada di dalam desa. Selain itu, harga pupuk bersubsidi di luar desa atau di kios yang terletak pada pusat kecamatan lebih murah karena merupakan kios resmi meskipun responden masih dibebani dengan biaya transportasi. Responden biasanya melakukan pembelian dalam jumlah besar agar tidak merasa dirugikan dengan adanya biaya transportasi. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan oleh beberapa petani dengan modal yang cukup besar untuk membeli dalam jumlah yang banyak. Petani dengan modal yang terbatas dimana tidak ada kios yang berada dalam desa dan tetap melakukan pembelian pupuk di luar desa akan merasa terbebani dengan biaya transportasi karena mereka hanya membeli pupuk dengan jumlah yang tidak besar dan tidak sebanding dengan biaya transportasi yang mereka keluarkan. Persentase responden yang melakukan pembelian pupuk di dalam desa dengan responden yang melakukan pembelian pupuk di luar desa masing- masing sebesar 43,33 persen dan 56,67 persen. Dari persentase tersebut terlihat bahwa masih banyak responden yang melakukan pembelian pupuk bersubsidi di luar desa dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan sehingga kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat tempat.

Gambar

Gambar 1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000
Tabel 1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi
Tabel 1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010
Gambar 2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH KELANGKAAN PUPUK SUBSIDI TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN BABADAN KABUPATEN PONOROGO JAWA

Penelitian bertujuan untuk mengetahui proses pengendalian mutu yang telah berlangsung, mengetahui permasalahan yang dihadapi terkait mutu, mengetahui masalah dominan

Untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi petani, pemerintah sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk sektor pertanian dengan tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas distribusi subsidi pupuk organik oleh Pemerintah Provinsi Bali dan dampaknya terhadap pendapatan usahatani

Untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi petani, pemerintah sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk sektor pertanian dengan tujuan

Implementasi kebijakan pemerintah daerah tentang Subsidi Penerbangan Daerah Perbatasan Dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah tentang Subsidi Penerbangan Daerah

Koefisien regresi variabel Pupuk Subsidi (X₁) bertanda positif (+) berarti antara variabel Pupuk Subsidi (X₁) dengan variabel Tingkat Pendapatan (Y) memiliki

Ini berarti bahwa kebijakan penghapusan subsidi pupuk berdampak negatif terhadap pendapatan riil petani padi, dengan tingkat penurunan pendapatan riil yang berbeda