TESIS
Oleh
MUHAMMAD SYAHRIL
097024021/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
KONSENTRASI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PELAKSANAAN PERATURAN PROGRAM SISTEM STASIUN
JARINGAN PADA LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI SWASTA
LOKAL DI SUMATERA UTARA DALAM PERSPEKTIF
TANGGUNG JAWAB SOSIAL MEDIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)
Dalam Program Studi Pembangunan Konsentrasi Komunikasi Pembangunan Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unversitas Sumatera Utara
Oleh
MUHAMMAD SYAHRIL
097024021/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
KONSENTRASI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TANGGUNG JAWAB SOSIAL MEDIA Nama Mahasiswa : Muhammad Syahril
Nomor Pokok : 097024021
Program Studi : Studi Pembangunan Konsentrasi Komunikasi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D Drs. Humaizi, M.A
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A
Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
Telah diuji pada Tanggal 8 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D Anggota : 1. Drs. Humaizi, M.A
PELAKSANAAN PERATURAN PROGRAM SISTEM STASIUN JARINGAN PADA LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI SWASTA LOKAL
DI SUMATERA UTARA DALAM PERSPEKTIF TANGGUNG JAWAB SOSIAL MEDIA
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juni 2011
Peneliti,
ABSTRAK
Pertumbuhan media penyiaran yang sedemikian pesat di tanah air menunjukkan bahwa tingginya kebutuhan informasi masyarakat. Dari sisi pengusaha atau pemilik media yang pada umumnya berorientasi bisnis sudah tentu melalui lembaga penyiaran yang dikelolanya sedapat mungkin diarahkan kepada sebesar-besar keuntungan; sementara dari sisi kebutuhan masyarakat, melalui lembaga penyiaran yang ada diharapkan akan mendapatkan nilai manfaat dalam rangka pemenuhan salah satu kebutuhan esensial hidupnya yakni memperoleh informasi yang sehat. Berdasarkan pertimbangan dari dua sisi inilah pemerintah mengambil posisi untuk berperan sebagai motivator sekaligus regulator sehingga kebutuhan antara keduanya dapat terpenuhi dengan menerbitkan Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi dan undang-undang 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang diturunkan dalam bentuk peraturan pemerintah nomor 50 tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta serta peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI nomor 43 tahun2009 tentang Sistem Stasiun Jaringan bagi lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi.
Khusus mengenai pelaksanaan Sistem Stasiun Jaringan ditinjau dari perspektif tanggung jawab sosial media sebagai tema penelitian ini, jika dipandang dari sisi kebutuhan informasi masyarakat pemberlakuan peraturan ini sangat potensial dan memiliki nilai urgensitas yang cukup tinggi. Kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa maraknya informasi yang disajikan melalui media penyiaran televisi nasional, namun varian isi siarannya (diversity of content) baik secara kualitas maupun kuantitas dinilai tidak berimbang. Pada umumnya isi program siarannya hanya didominasi oleh informasi yang bersumber dari pusat Jakarta (central oriented), mengakibatkan masyarakat daerah (publik lokal) tidak mendapatkan informasi yang memadai berkaitan dengan kejadian/peristiwa di daerahnya sendiri. Keadaan ini sekaligus dapat menghambat tumbuh dan berkembangnya potensi daerah atau mengarah kepada penghilangan eksistensi kearifan lokal.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa meskipun secara argumentatif para penanggung jawab/pengelola lembaga penyiaran televisi swasta nasional menyatakan sikap antusiasme untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan SSJ, namun secara realita di lapangan sama sekali berbanding terbalik. Secara keseluruhan dari lembaga penyiaran televisi swasta nasional itu, tidak satu pun dari mereka yang konsisten dalam mengaplikasikan peraturan khususnya tentang Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Alasan yang dipakai semata-mata menyangkut untung rugi perusahaan. Kalaupun ada diantara lembaga penyiaran yang berusaha memberi sebahagian dari keseluruhan slot waktu penyiarannya menyiarkan materi program lokal, namun secara ideal masih belum cukup memadai dalam memenuhi amanat peraturan secara konsisten. Akibatnya, masyarakat masih tetap berada pada posisi minus terhadap informasi lokal.
Kata Kunci : Sistem Stasiun Jaringan: Pelaksanaan Peraturan, Tanggung Jawab Sosial Media
general business-oriented course through broadcasters under its management as far as may be directed to the at-large profits, while in terms of community needs, through the existing broadcasters are expected to get the value of benefits in order to fulfill one of the essential needs life that is healthy to obtain information. Based on consideration of the two sides is the government taking a position to act as a motivator as well as the regulator so that the needs of both can be satisfied by issuance of Law No. 36 of 1999 on telecommunications and the law 32 of 2002 on broadcasting which is derived in the form of government regulation number 50 year 2005 concerning the broadcasting of Private Broadcasters and the regulations of the Minister of Communications and Informatics RI numbers 43 of 2009 about the Network Station systems for private broadcasting television broadcasting services.
Especially with regard to the implementation of Systems Network Station viewed from the perspective of social responsibility as a media theme of this research, when viewed from the side of the information needs of society is the potential application of the rules and have a high enough value urgensitas. The fact that can not be denied that the rise of information presented through the medium of national television broadcasting, but broadcasting content variants (diversity of content) both in quality and quantity assessed is not balanced. In general, the content of programs broadcast only dominated by information originating from the center of Jakarta (central oriented), resulting in local communities (local public) do not obtain adequate information relating to the incident / event in its own country. This situation as well as to inhibit the growth and development potential of the area or lead to the elimination of the existence of local wisdom.
Based on these results we can conclude that although the argumentative the person in charge / manager of the national private television broadcasters expressed the attitude of enthusiasm to implement government regulation relating to the SSJ, but in reality on the ground at all inversely. On the whole the national private television broadcasters that, none of themare consistent in applying rules in particular about the Network Station System (SSJ). The reason that is used solely related to profit and loss firms. Even if there are among broadcasters who try to give a party of the overall broadcasting time slots to broadcast local programming content, but the ideal is still not adequate enough to fulfill the mandate of the rules consistently. As a result, people still remain in the position of minus local information.
Keywords: Network Station System: Implementation of the Regulation, Corporate Social Responsibility Media
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, akhirnya tesis ini dapat peneliti
selesaikan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar pada jenjang
pendidikan Program Pascasarjana Magister Studi Pembangunan Konsentrasi
Komunikasi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara (USU) Medan.
Dengan judul tesis “Pelaksanaan Peraturan Program Sistem Stasiun Jaringan
Pada Lembaga Penyiaran Televisi Swasta Lokal Di Sumatera Utara dalam
Perspektif Tanggung Jawab Sosial Media” peneliti berharap materi penelitian
dalam tesis ini dapat memberi manfaat kepada khalayak dan dunia pendidikan,
khususnya kepada pemerintah serta para penanggung jawab lembaga penyiaran
televisi di tanah air.
Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini terdapat banyak kelemahan,
mengingat bahwa ilmu pengetahuan senantiasa mengalami perkembangan. Oleh
karenanya ketidaksempurnaan yang terdapat di dalam tesis ini merupakan bahagian
yang tidak dapat terhindarkan. Terhadap segala kekurangan yang ada, kritik dan
saran sangat peneliti harapkan demi memenuhi keutuhan penulisan tesis yang
Pohan, M.Si, Ph.D dan bapak Drs. Humaizi, M.A serta para dosen penguji yakni
bapak Amir Purba, M.A, Ph.D dan bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si. Kepada
mereka peneliti mengucapkan terimakasih.
Selain itu peneliti ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada isteri, Rika
Hayati Siagian dan anak-anak: R.A. Amalia Kulowani, R.A. Wulaningtyas
Kulowani, R.A. Shafna Kulowani dan Raden Syah Alam Kulowani.
Ucapan terimakasih juga peneliti aturkan kepada ketua KPIDSU, H.A. Haris
Nasution, S.H, M.kn, para asisten peneliti di KPID SU, Silviani Rahmah Tarigan,
Yogi Frassoby dan Heri Winata Harahap, serta Kepala Biro Metro TV Medan-Aceh
bapak Yuda R. Panjaitan, dan Kepala Biro TV One Medan ibu Linova Rifianty.
Dalam kesempatan ini peneliti juga menyampaikan penghargaan kepada para
dosen dan staf administrasi di kantor jurusan studi pembangunan USU serta segenap
kerabat yang mendukung peneliti selama mengikuti perkuliahan di Universitas
Sumatera Utara, Medan. Dukungan yang telah diberikan kepada peneliti tidak dapat
dibalas dengan apa pun, semoga pengabdian dari masing-masing hamba mendapat
nilai dari Allah SWT sebagai bahagian dari pelaksanaan amanah ‘Amal Ma’ruf
Akhirnya dengan senantiasa mengharap ridho dari Allah SWT, semoga
kesemua ilmu pengetahuan yang peneliti dapatkan selama mengikuti perkuliahan di
program Pascasarjana USU Medan memberi nilai ibadah bagi peneliti serta
bermanfaat bagi alam semesta, Amiin.
Medan, Juni 2011
Peneliti,
TPT/TGL LAHIR : Medan, 15 Juli 1963
AGAMA : Islam
STATUS : Kawin
PEKERJAAN : PNS-Dinas Komunikasi dan Informatika Sumut
ALAMAT : Jl. Karya SG, Desa Sei Mencirim , Pasar V, Diski,
Kabupaten Deli Serdang
I RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Negeri No. 88 Medan, Lulus thn 1975
2. SMP Swasta Perg. Islamiyah Tuanku Imam Bonjol Medan, Lulus thn 1979 3. SMA Bersubsidi Widyasana Medan, Lulus thn 1982
4. Sarjana (S-1)IKIP Medan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Lulus thn 1991 5. S-2 Universitas Sumatera Utara (USU) Jurusan Studi Pembangunan –
Konsentrasi Komunikasi Pembangunan
II RIWAYAT PENDIDIKAN DINAS 1. Pra Jabatan TK II SUMUT, thn 1992 2. Penyegaran Profesi Penyiar TVRI, thn 1996
3. Kursus Peningkatan Keterampilan ( In The Job Training) Prod. Acara Siaran Televisi Angk. I, thn 1992
5. Program D-II Prog. Studi Perencanaan Program Siaran, MMTC Yogyakarta, thn 1996/1997
6. Pendidikan dan Pelatihan Dasar Penerangan II Angkatan IV DEPPEN SUMUT, thn 1998
7. Lokakarya Menemukan Format Siaran Seni Tradisi untuk Televisi oleh Sto. Audio Visual Puskat dengan The Ford Foundation Yogyakarta, thn 1999 8. Pembinaan Intensif Produksi Acara Drama di TVRI Medan, thn 2000 9. Diklat Pimpinan Tk. III Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI Bekerja- sama dgn Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Sumatera Utara, thn 2005
10. Penataran Kader Pembina Sarana Prasarana Nasional untuk Pertahanan Negara, Ditjen Pothan Dephan di PEMDA PROP-SU, thn 2006
11. Diklat Cyber Journalism MMTC Yogyakarta, thn 2007
III RIWAYAT PEKERJAAN
1. Penyiar Continuity/Presenter, thn 1986-1990
2. Penyiar Berita/Pewawancara, thn 1993-2005
3. Sekretaris Tim Penyeleksi Naskah Drama TVRI Medan, thn 1992-1998
4. Perencana Produksi Siaran, Penulis Feature dan Laporan Bulanan
TVRI Medan, thn 1993-1998
5. Mutasi ke Seksi Pemberitaan TVRI Sumut thn 2000
6. Penyiar Berita/ Pewawancara/ Reporter/ E.I.C (Desk Editor)/ Produser Dialog
thn 2000-2005
7. Kepala Seksi Current Affairs dan Siaran Olahraga Bidang Pemberitaan TVRI
Sumut thn 2005-2007
IV AKTIVITAS NON FORMAL
1. Kursus Pengetahuan Dasar Perfilman Dewan Kesenian Sumut, Thn 1984
2. Penataran P-4 Pola 120 Jam Bp-7 Sumut Thn, 1985
3. Ketua Teater Patria Medan, Thn 1985
4. Tutor Pelatihan Seni Drama Guru SD Se-Kota Medan Di Taman Budaya
Medan, Tahun 1991-1994
5. Pendiri Lembaga Kesenian Teater (LKK) IKIP Negeri Medan, Thn 1987
6. Dosen Luar Biasa M.K. Penyiaran Pada Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Medan, Thn 2001-2003
7. Pengurus Dewan Kesenian Sumatra Utara Membidangi Komite Film Dan
Sinetron, Thn 1999-2004
8. Sering Mengikuti Seminar Ilmiah Sebagai Peserta Maupun Pemrasaran
9. Sering Menulis Naskah Drama Dan Sutradara Teater Di Medan, Baik
Untuk Pentas Maupun Televisi
10. Pengurus Lembaga Kesenian Islam Sumut, Thn 2008-2012
11. Sering Menjadi Juri Event Budaya/Kesenian Di Medan
12. Sekjen Paguyuban Jawa Rembug “Pajar” Sumut, Thn 2009-2014
Medan, Juni 2011
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRAK……….. i
ABSTRACT……… ii
KATA PENGANTAR……… iii
RIWAYAT HIDUP………... vi
DAFTAR ISI……….. ix
DAFTAR TABEL……….. xi
DAFTAR LAMPIRAN……….. xii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
1.1. Latar Belakang Masalah………... 1
1.2. Perumusan Masalah……….. 13
1.3. Tujuan Penelitian……….. 14
1.4. Manfaat Penelitian……… 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 17
2.1. Media Penyiaran Televisi………..…….. 17
2.2. Lembaga Penyiaran Indonesia………..…... 19
2.3. Penyelenggaraan Sistem Stasiun Jaringan………... 23
2.4. Kepemilikan Lembaga Penyiaran………..….. 32
2.5. Persyaratan Perizinan LPS………... 34
2.6. Tahapan Perizinan……… 38
2.7. Paradigma Teori………... 40
3.2. Proses Penelitian………..… 55
3.2.1. Lokasi Penelitian……… 55
3.2.2. Subjek Penelitian……… 56
3.2.3. Sumber Data………... 60
3.2.3.1. Jenis Data………. 60
3.2.3.2. Teknik Pengumpulan Data………... 61
3.2.3.3. Teknik Analisis Data……… 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……… 65
4.1. Data Umum Metro TV Biro Sumut & Aceh………... 65
4.2. Data Umum TV One Biro Medan……….... 68
4.3. Resume Data Kedua Lembaga (Metro TV & TV One)…. 74 4.4. Nama LPS TV Lokal yg telah EDP……… 75
4.5. Hasil Wawancara dan Pembahasan……….. 77
4.5.1. Hasil Wawancara……… 79
4.5.2. Hasil Wawancara………. 90
4.6. Kategorisasi dan Coding Tema Wawancara………. 99
4.6.1. Analisis Tema Hasil Wawancara……… 107
4.6.2. Uraian Poin Resume Hasil Wawancara………... 108
BAB V PENUTUP……… 112
5.1. Kesimpulan………... 112
5.2. Saran………. 114
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Paradigma Ilmu Sosial/Komunikasi………. …. 41
2. Epistemologi-Perspektif-Metodologi-Metode………. . 42
3. Teori dan Pendekatan Paradigma Dalam Ilmu Komunikasi ..43
4. Empat Dasar Media Massa………. 50
5. Daftar Nama TV Swasta Yang Telah EDP….……… 75
6. Wawancara Dengan Ka. Biro Metro TV Medan…... 79
7. Wawancara Dengan Ka. Biro TV One Medan………. 90
8. Kategorisasi dan Coding Tema Wawancara (Yuda) …..….. 100
9. Kategorisasi dan Coding Tema Wawancara (Linova) …….. 104
2. Balasan Izin Penelitian Dari Kepala Biro TV One Medan
3. Surat Keterangan Penelitian Dari Ketua Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah Sumatera Utara
4. Prosentase Jawaban Tertulis Penanggung Jawab Lembaga Penyiaran
Televisi Swasta Pusat
5. Foto Wawancara Peneliti Dengan Subjek, Kepala Biro Metro TV
Sumut-Aceh
6. Foto Wawancara Peneliti Dengan Subjek, Kepala Biro TV One Medan
7. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika RI, Nomor 43 Tahun
2009 Tentang Penyelenggaraan Sistem Stasiun Jaringan Oleh
Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi
ABSTRAK
Pertumbuhan media penyiaran yang sedemikian pesat di tanah air menunjukkan bahwa tingginya kebutuhan informasi masyarakat. Dari sisi pengusaha atau pemilik media yang pada umumnya berorientasi bisnis sudah tentu melalui lembaga penyiaran yang dikelolanya sedapat mungkin diarahkan kepada sebesar-besar keuntungan; sementara dari sisi kebutuhan masyarakat, melalui lembaga penyiaran yang ada diharapkan akan mendapatkan nilai manfaat dalam rangka pemenuhan salah satu kebutuhan esensial hidupnya yakni memperoleh informasi yang sehat. Berdasarkan pertimbangan dari dua sisi inilah pemerintah mengambil posisi untuk berperan sebagai motivator sekaligus regulator sehingga kebutuhan antara keduanya dapat terpenuhi dengan menerbitkan Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi dan undang-undang 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang diturunkan dalam bentuk peraturan pemerintah nomor 50 tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta serta peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI nomor 43 tahun2009 tentang Sistem Stasiun Jaringan bagi lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi.
Khusus mengenai pelaksanaan Sistem Stasiun Jaringan ditinjau dari perspektif tanggung jawab sosial media sebagai tema penelitian ini, jika dipandang dari sisi kebutuhan informasi masyarakat pemberlakuan peraturan ini sangat potensial dan memiliki nilai urgensitas yang cukup tinggi. Kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa maraknya informasi yang disajikan melalui media penyiaran televisi nasional, namun varian isi siarannya (diversity of content) baik secara kualitas maupun kuantitas dinilai tidak berimbang. Pada umumnya isi program siarannya hanya didominasi oleh informasi yang bersumber dari pusat Jakarta (central oriented), mengakibatkan masyarakat daerah (publik lokal) tidak mendapatkan informasi yang memadai berkaitan dengan kejadian/peristiwa di daerahnya sendiri. Keadaan ini sekaligus dapat menghambat tumbuh dan berkembangnya potensi daerah atau mengarah kepada penghilangan eksistensi kearifan lokal.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa meskipun secara argumentatif para penanggung jawab/pengelola lembaga penyiaran televisi swasta nasional menyatakan sikap antusiasme untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan SSJ, namun secara realita di lapangan sama sekali berbanding terbalik. Secara keseluruhan dari lembaga penyiaran televisi swasta nasional itu, tidak satu pun dari mereka yang konsisten dalam mengaplikasikan peraturan khususnya tentang Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Alasan yang dipakai semata-mata menyangkut untung rugi perusahaan. Kalaupun ada diantara lembaga penyiaran yang berusaha memberi sebahagian dari keseluruhan slot waktu penyiarannya menyiarkan materi program lokal, namun secara ideal masih belum cukup memadai dalam memenuhi amanat peraturan secara konsisten. Akibatnya, masyarakat masih tetap berada pada posisi minus terhadap informasi lokal.
Kata Kunci : Sistem Stasiun Jaringan: Pelaksanaan Peraturan, Tanggung Jawab Sosial Media
general business-oriented course through broadcasters under its management as far as may be directed to the at-large profits, while in terms of community needs, through the existing broadcasters are expected to get the value of benefits in order to fulfill one of the essential needs life that is healthy to obtain information. Based on consideration of the two sides is the government taking a position to act as a motivator as well as the regulator so that the needs of both can be satisfied by issuance of Law No. 36 of 1999 on telecommunications and the law 32 of 2002 on broadcasting which is derived in the form of government regulation number 50 year 2005 concerning the broadcasting of Private Broadcasters and the regulations of the Minister of Communications and Informatics RI numbers 43 of 2009 about the Network Station systems for private broadcasting television broadcasting services.
Especially with regard to the implementation of Systems Network Station viewed from the perspective of social responsibility as a media theme of this research, when viewed from the side of the information needs of society is the potential application of the rules and have a high enough value urgensitas. The fact that can not be denied that the rise of information presented through the medium of national television broadcasting, but broadcasting content variants (diversity of content) both in quality and quantity assessed is not balanced. In general, the content of programs broadcast only dominated by information originating from the center of Jakarta (central oriented), resulting in local communities (local public) do not obtain adequate information relating to the incident / event in its own country. This situation as well as to inhibit the growth and development potential of the area or lead to the elimination of the existence of local wisdom.
Based on these results we can conclude that although the argumentative the person in charge / manager of the national private television broadcasters expressed the attitude of enthusiasm to implement government regulation relating to the SSJ, but in reality on the ground at all inversely. On the whole the national private television broadcasters that, none of themare consistent in applying rules in particular about the Network Station System (SSJ). The reason that is used solely related to profit and loss firms. Even if there are among broadcasters who try to give a party of the overall broadcasting time slots to broadcast local programming content, but the ideal is still not adequate enough to fulfill the mandate of the rules consistently. As a result, people still remain in the position of minus local information.
Keywords: Network Station System: Implementation of the Regulation, Corporate Social Responsibility Media
B A B I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bisnis penyiaran akhir-akhir ini terlihat semakin marak, terbukti dengan
bermunculannya lembaga-lembaga penyiaran baik radio maupun televisi, seiring
dengan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang seakan tidak bisa
terbendung.
Di daerah sumatera utara terdapat tidak kurang dari 45 stasiun lembaga
penyiaran radio lokal, 4 stasiun televisi lokal ditambah 10 stasiun televisi nasional
dan 2 radio lokal berjaringan yang setiap harinya mengudara memenuhi ruang –
ruang publik, menembus mata dan telinga para pendengarnya dengan tidak
mengenal latar belakang, status, siapa dan di mana mereka berada.
Namun dari antusiasme masyarakat dalam menerima informasi melalui kedua
media itu, berdasarkan pengamatan peneliti secara kasat mata, masyarakat
kelihatannya lebih cenderung menyaksikan acara yang ditayangkan melalui media
televisi dibandingkan dengan radio. Hal ini dimungkinkan karena media televisi
dianggap memberikan informasi yang lebih sempurna dibanding dengan media radio,
dengan adanya suara dan gambar (Audio - Visual) muncul secara bersamaan yang
Selain itu, waktu mendapatkan informasi masyarakat khususnya bagi mereka
yang memiliki kegiatan rutin setiap harinya menjadi alasan tersendiri untuk
menjadikan televisi sebagai media informasi yang dianggap cocok. Karena bagi
masyarakat pada umumnya tidak dapat setiap saat menyediakan waktunya untuk
menerima informasi. Atau tidak memungkinkan semua waktunya dipakai hanya
untuk mendapatkan informasi.
Kondisi itulah yang menjadi alasan mengapa televisi lebih dominan menjadi
media untuk dijadikan saluran informasi masyarakat, karena media televisi telah
menetapkan slot waktu program siarannya yang disesuaikan dengan perkiraan jadwal
menonton masyarakat. Menurut john Vivian, Banyaknya audien televisi
menjadikannya sebagai medium dengan efek yang besar terhadap orang dan kultur
dan juga terhadap media lain. Sekarang televisi adalah medium massa dominan untuk
hiburan dan berita. (224:2008)
Dari jumlah lembaga penyiaran televisi yang ada di masing-masing daerah
dengan status sebagai televisi lokal, pada kenyataannya masih belum dapat
mengimbangi jumlah lembaga televisi nasional yang mendominasi pasar informasi
masyarakat lokal. Sehingga informasi yang diperoleh oleh masyarakat di
masing-masing daerah secara potensial lebih banyak bersumber dari informasi yang berasal
dari pusat (Jakarta) baik secara kualitas maupun kuantitas.
Akibatnya, pengetahuan masyarakat lebih banyak diperoleh melalui informasi
3
masyarakat. Atau dengan perkataan lain bahwa masyarakat lebih mengetahui
peristiwa yang terjadi di daerah lain dibanding dengan kejadian peristiwa di
daerahnya sendiri.
Kondisi ini menunjukkan adanya suatu gejala keterpaksaan masyarakat lokal
untuk menerima informasi secara nasional atau terjadinya pemaksaan informasi yang
dilakukan oleh pemegang kendali informasi yang bekerja di media penyiaran
nasional. Sebagaimana yang dikatakan Eko Harry Susanto (109:2009) bahwa
sesungguhnya aneka acara di layar kaca yang mereka saksikan hanyalah sekedar
keterpaksaan, karena memang tidak ada acara lain yang bisa memenuhi kebutuhan
mereka……Sebab harapan mereka adalah, televisi benar-benar mampu memberikan
pendidikan, pengetahuan, dan perlindungan yang bermanfaat untuk mendorong
tercapainya kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah, khususnya
pedesaan…..Mereka merindukan tayangan bermutu dalam perspektif pedesaan,
seperti strategi mengeksploatasi potensi alam, perlindungan usaha pedesaan,
manajemen usaha kecil di bidang pertanian, perikanan dan usaha akar rumput
lainnya.
Munculnya fenomena seperti ini tidak terlepas disebabkan oleh kebijakan
pemerintah orde baru pada saat memberikan peluang izin siaran kepada pihak swasta
untuk mendirikan lembaga penyiaran televisi dengan cakupan area penyiarannya
secara nasional.
Kebijakan dimaksud dapat terlihat melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan
membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi lembaga televisi swasta untuk
mengeksplorasi medium frekuensi sekaligus memberi ruang yang cukup besar untuk
meraup keuntungan bagi perusahaannya tanpa memperdulikan hak-hak masyarakat
lokal dalam memperoleh informasi lokal.
Keputusan menteri penerangan tersebut dilakukan sebagai koreksi atas
kebijakan sebelumnya, bahwa televisi swasta hanya diberi izin dalam wilayah tertentu
melalui sistem Siaran Saluran Terbatas (SST).
Di dalam surat keputusan menteri itu tidak lagi secara tegas membatasi wilayah
jangkauan siaran bagi lembaga televisi swasta dengan pola system saluran terbatas,
melainkan hanya berisikan tentang pembagian klasifikasi status lembaga penyiaran
televisi yang disesuaikan dengan pembagian wilayah secara politis, yakni :
1. Stasiun penyiaran nasional atau pusat, 2. Stasiun penyiaran regional,
3. Stasiun penyiaran lokal, 4. Stasiun produksi, 5. Stasiun transmissi, dan 6. Antena parabola.
Padahal dalam SK menteri penerangan sebelumnya No.
190/A/Kep/Menpen/1987 tentang Siaran Saluran Terbatas (SST) telah diatur
mengenai pembatasan jangkauan siaran bagi televisi swasta. Kecuali TVRI, semua
televisi swasta hanya diberikan izin berdasarkan cakupan area tertentu sesuai dengan
wilayah tempat di mana stasiun itu berdiri.
Sebagai contoh, pada saat itu RCTI sebagai Lembaga Televisi Swasta pertama
5
sekitarnya saja. Sementara SCTV hanya mendapat ijin wilayah jangkauan siarannya
se kawasan Jawa Timur dan Bali saja. (SK Direktur Televisi No. 12/SP/Dir/TV/1988)
Dengan telah ditetapkannya keputusan baru oleh Menteri Penerangan No.
111/thn 1990 tentang pembagian klasifikasi stasiun televisi yang tidak lagi
mencantumkan izin Sistem Saluran Terbatas (SST) maka secara otomatis izin “SST”
tidak berlaku lagi.
Akibatnya, semua televisi yang sebelumnya hanya memegang izin penyiaran
saluran terbatas tentu saja menyambut keputusan menteri yang baru itu dengan
sangat antusias. Karena dengan kebijakan itu mereka dapat lebih leluasa menguasai
pangsa pasar nasional dan sekaligus masing-masing dari mereka berusaha menjadi
pemegang kendali informasi nasional. Oleh karena itu sangat memungkinkan
terjadinya suatu gejala monopoli arus informasi nasional seperti yang dirasakan
masyarakat Indonesia dewasa ini.
Ben Bagdikian (dalam John Vivian 29:2008) mengatakan bahwa konglomerasi
mempengaruhi diversitas pesan yang diberikan media massa. Mereka berusaha
menguasai atau mendominasi pasar bukan hanya untuk satu medium tetapi semua
media. Tujuannya adalah mengontrol semua peroses dari naskah awal atau serial baru
sampai ke penggunaannya dalam beragam bentuk…Salah satu efek negatif dari
konglomerasi terjadi ketika perusahaan induk memanfaatkan anak perusahaannya
hanya untuk memperkaya konglomerat secepat mungkin dan dengan cara apa saja,
Sikap monopoli arus informasi yang dilakukan oleh lembaga penyiaran televisi
swasta nasional itu belakangan baru dirasakan oleh berbagai pihak, ternyata akibat
dari pemberlakuan Kepmen No. 190 itu memiliki dampak yang sangat luar biasa
parahnya dalam tatanan informasi nasional terutama dalam pemenuhan kebutuhan
informasi masyarakat daerah secara seimbang dan merata.
Arus informasi yang selama beberapa dekade didominasi oleh Lembaga
Penyiaran Televisi Swasta Nasional dari pusat ke daerah menimbulkan reaksi yang
sangat kuat terutama oleh komunitas masyarakat lokal yang menyadari akan
kebutuhannya untuk mendapatkan informasi lokal. Berbagai reaksi dapat terdengar
dari ungkapan yang ada di tengah-tengah masyarakat terutama direpresentasikan
oleh para orang tua, para guru, kaum agamawan, kalangan intelektual maupun
tokoh-tokoh adat dengan nada yang umumnya sama, yakni timbulnya kekhawatiran mereka
akan masa depan generasi muda daerah sebagai pewaris budaya lokal.
Kekhawatiran itu sangat beralasan, karena suguhan informasi yang mereka
terima setiap hari didominasi oleh informasi berskala nasional dan bahkan
internasional. Jika fenomena ini dibiarkan terus maka sangat logis jika kian hari kian
mengikis pemahaman masyarakat daerah terhadap potensi lokalnya sendiri, terutama
yang berkaitan dengan aspek budaya serta aspek sosio kultural lainnya. Apalagi jika
dikaitkan dengan tujuan dari konsep otonomi daerah, maka kondisi yang terjadi saat
ini sangat tidak relevan.
Sebagaimana yang dikatakan Eko Harry Susanto (20:2009) bahwa peran
7
indikator yang menunjang keberhasilan Pemerintah Daerah dalam distribusi sumber
daya, transparansi penyelenggaraan pemerintahan, hubungan kekuasaan pusat-daerah,
hubungan horizontal dengan sesama Kabupaten/Kota dan lebih penting lagi adalah
hubungan interaktif pemerintah dengan masyarakat secara langsung.
Jika fenomena ini dibiarkan terus maka Indonesia yang dikenal sebagai sebuah
negara pluralis dengan kekayaan dan keragaman potensi budayanya, lambat laun dan
dapat dipastikan hanya akan menjadi tinggal nama saja.
Munculnya Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang penyiaran memberi
sinyal bagi masyarakat bahwa adanya kesadaran dari pihak eksekutif bersama dengan
pihak legislatif terhadap fenomena yang sangat memperihatinkan terjadi di
masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 32 tersebut berisikan tentang pengaturan
terhadap dinamika yang terjadi di dunia penyiaran Indonesia, antara lain mencakup
tentang ketentuan strategis berupa aspek perijinan, serta isi (content) siaran.
Dalam pasal 31 UU No. 32 tentang penyiaran menyebutkan :
(1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa
penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun
penyiaran lokal.
(2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem
stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia.
(3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun
oleh KPI bersama Pemerintah.
(5) Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah
Negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada
lokasi tersebut.
(6) Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal
diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.
Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan UU penyiaran ini, maka dibentuk
sebuah lembaga independen yang bertugas mengatur tentang segala aspek dalam
sistem penyiaran di Indonesia sesuai dengan pasal (6) ayat (4) Undang-Undang
penyiaran.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk
sebuah komisi penyiaran ( KPI ); dan pada pasal berikutnya dikatakan : “ KPI terdiri
atas KPI pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI daerah di bentuk di tingkat
provinsi.”
Sesuai dengan tuntutan undang-undang itu pula dalam rangka lebih
memaksimalkan pengaturan serta pengawasan isi siaran oleh Lembaga Penyiaran
khusunya media Televisi, pemerintah menuangkannya dalam Peraturan Pemerintah
(PP) nomor 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran
Swasta yang kemudian diikuti oleh kementerian komunikasi dan informatika dengan
9
antara pusat dan daerah dengan model Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) melalui
Peraturan Menteri Kominfo nomor 43 tahun 2009.
Terbitnya peraturan ini semata-mata bertujuan agar seluruh lembaga penyiaran
yang selama ini mengudara secara nasional dibatasi cakupan areanya, sekaligus
membatasi volume isi siarannya secara proporsional yakni 50% lokal dan 50%
pusat melalui suatu sistem jaringan antara stasiun induk jaringan dengan anggota
jaringannya di berbagai wilayah, propinsi, kabupaten/kota.
Untuk mencapai sasaran dimaksud, maka kepada semua lembaga penyiaran
televisi harus memiliki stasiun lokal dengan serta merta mengurus administrasi
perijinan di lokasi tempat mana stasiun lokal itu akan didirikan.
Berdasarkan amanat Permen Kominfo tersebut, bahwa di Negara ini tidak ada
lagi lembaga Penyiaran yang berstatus sebagai Stasiun Televisi Nasional, melainkan
hanya Stasiun Lokal yang berjaringan dengan stasiun induk jaringannya.
Dari aspek isi siaran, dengan telah terjadinya perubahan status kelembagaan
media penyiaran ini, maka secara berangsur-angsur menayangkan volume siarannya
dimulai dari 10% muatan lokal dan 90% siaran nasional hingga pada akhirnya setiap
lembaga penyiaran televisi harus menyiarkan batas minimum isi siarannya 50%
berisikan muatan lokal dan 50% muatan nasional, sehingga terjadi pembagian muatan
isi siaran (diversity of content).
Dengan demikian masyarakat pemirsa yang tinggal di masing-masing daerah
sendiri dan seiring dengan itu dapat pula mengikuti perkembangan yang terjadi secara
nasional.
Pemberlakuan peraturan ini efektif harus dilaksanakan sejak masa
diberlakukannya Peraturan Menteri ini, yakni pada tanggal 19 oktober 2009.
Namun kenyataannya sejak diberlakukannya Permen Kominfo tersebut,
khususnya di daerah Sumatera Utara, hingga saat penelitian ini dilakukan belum ada
satu pun dari lembaga penyiaran swasta televisi nasional yang
mengoperasionalisasikan kegiatan stasiun lokalnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Atau dengan perkataan lain belum terlihat satu pun dari mereka secara
konsisten menjalankan tuntutan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun
Peraturan Menteri Kominfo tentang Sistem Stasiun Jaringan.
Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari sekretariat KPID-SU, sejak
diberlakukannya Permen Kominfo No 43/2009 bahwa semua Lembaga Penyiaran
televisi swasta nasional sudah mendaftarkan proposalnya ke KPID-SU untuk
mendirikan televisi lokal berjaringan di daerah ini dan dari kesemuanya telah pula
melakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dan telah mengantongi Rekomendasi
Kelayakan (RK) dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Utara
(KPID-SU), yakni :DELI TV, SPACE TOON TV, DAAI TV, SCTV, RCTI, GLOBAL
TV, TPI, TV ONE, AN-TV, METRO TV, TRANS TV, TRANS 7, dan INDOSIAR.
Meskipun diantara mereka ada beberapa stasiun televisi swasta yang telah
mendapatkan izin percobaan siaran sebelum keluarnya Permen Kominfo tersebut.
11
dalam populasi penelitian ini, dikarenakan mereka telah terlebih dahulu mengikuti
EDP dengan KPID-SU sebelum terbitnya Permen Kominfo tahun 2009, yakni :
DELI TV, DAAI TV, dan SPACE TOON TV.
Pertimbangan lain yang menjadikan alasan peneliti tidak memasukkannya di
dalam objek penelitian ini (SPACE TOON, DAAI TV dan DELI TV) karena sejak
berdirinya telah memiliki status sebagai televisi lokal berjaringan.
Terlepas dari permasalahan itu berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan
bahwa keseluruhan LPS televisi jaringan yang telah melakukan EDP sejak
diberlakukannya Permen Kominfo No 43/2009 dan telah mengantongi Rekomendasi
Kelayakan (RK) dari KPIDSU, hingga kini belum menindaklanjutinya dengan
melakukan pemenuhan kelengkapan lanjutannya, berupa pengadaan sarana dan
prasarana kantor, seperti : studio produksi, peralatan teknis operasional SSJ, jumlah
SDM, maupun tindak lanjut dari konsep pelaksanaan program siaran (pola siaran)
sesuai ketentuan yang berlaku.
Mestinya fenomena ini tidak harus terjadi jika ditinjau dari komitmen yang
dicanangkan oleh penanggung jawab/pengelola induk jaringan sebagaimana yang
peneliti peroleh dari jawaban tertulis sebelumnya.
Disamping itu, sebagai sebuah lembaga resmi yang terikat dengan peraturan dan
perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa kejadian seperti ini dapat
dianggap sebagai sebuah penyimpangan terhadap konstitusi.
Dengan tidak terpenuhinya persyaratan secara menyeluruh oleh lembaga siaran
mengimplementasikan peraturan tentang Sistem Stasiun Jaringan maka dapat peneliti
katakan bahwa terdapat dua aspek yang menjadi dampaknya, yakni aspek dari sisi
pemerintah melalui aturan yang telah dikeluarkan (UU,PP,Permen) maupun dari sisi
kepentingan masyarakat lokal, khususnya masyarakat dengan haknya untuk
mendapatkan informasi lokal .
Dari sisi kepatuhan kepada aturan dapat dinilai bahwa pengelola lembaga
penyiaran tidak taat aturan. Sedangkan dari sisi masyarakat, lembaga penyiaran
sebagai sebuah institusi media massa tidak menjalankan kewajibannya dalam
penyebarluasan informasi lokal sebagai sebuah kebutuhan sekaligus hak dari setiap
warga Negara untuk memperoleh informasi. Sebagaimana yang termaktub di dalam
UU no 40 tahun 1999 tentang Pers, BAB II pasal (3), bahwa pers nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial dan pers
nasional berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pada akhirnya apa yang menjadi kekhawatiran berbagai pihak bahwa semakin
pudarnya kesadaran lokal dan partisipasi masyarakat yang berisikan potensi daerah
mencakup budaya dan adat istiadat daerah, potensi sumber daya manusia, sumber
daya alam, serta sumber-sumber lain yang menjadi ciri khas daerah.
Seiring dengan kenyataan itulah, peneliti tertarik untuk mengkaji dan
mengetahui lebih mendalam tentang apa yang menjadi penyebab para pengelola
lembaga penyiaran televisi swasta lokal berjaringan bersikap tidak konsisten dalam
melaksanakan ketentuan yang ada sekaligus mengabaikan kebutuhan masyarakat
13
Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan selama ini terhadap keberadaan
lembaga televisi lokal, maka peneliti mencoba untuk melakukan penelitian kepada
lembaga penyiaran televisi swasta lokal berjaringan yang berdomisili di daerah
Medan dan sekitarnya melalui pimpinan/penanggung jawab/pengelola stasiun pada
masing-masing lembaga televisi lokal berjaringan yang ada di kota Medan dan
Sekitarnya, dengan judul penelitian:
“Pelaksanaan Program Sistem Stasiun Jaringan pada Lembaga Penyiaran Televisi Swasta Lokal di Sumatera Utara dalam Perspektif Tanggung Jawab
sosial Media ”
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan dengan uraian yang peneliti ungkapkan pada latar belakang
masalah, maka peneliti mencoba untuk merumuskannya dalam beberapa pertanyaan
dan sekaligus menjadikannya sebagai suatu permasalahan yang peneliti jadikan
sebagai fokus untuk dicarikan jawabannya melalui penelitian yang akan peneliti
lakukan, yakni :
1. Bagaimana responsibilitas pengelola lembaga penyiaran televisi swasta Biro
Medan dalam menyikapi aturan Pemerintah tentang Sistem Stasiun Jaringan
(SSJ).
2. Hal-hal apa saja yang menjadi kendala bagi para pengelola lembaga
penyiaran televisi swasta lokal Biro Medan menjalankan agenda program
stasiun televisi swasta lokal berjaringan, dalam kerangka memberdayakan
3. Strategi apa yang dilakukan oleh Lembaga Penyiaran Televisi Swasta lokal berjaringan biro Medan terhadap implikasi pemberlakuan aturan tentang
Sistem Stasiun Jaringan dalam pemenuhan kebutuhan informasi masyarakat
lokal, sebagai wujud tanggung jawab media kepada publik.
1.3 Tujuan Penelitian
Melalui beberapa tahapan penganalisisan penelitian ini memiliki tujuan antara
lain :
1. Untuk mengetahui sejauh mana responsibilitas para pengelola lembaga
penyiaran televisi swasta lokal berjaringan dalam mematuhi peraturan Sistem
Stasiun Jaringan (SSJ) sesuai dengan UU No. 32 thn 2002, PP No. 50 thn
2005 serta Permen Kominfo RI No. 43 tahun 2009 tentang Sistem Stasiun
Jaringan.
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh pengelola Lembaga Penyiaran
Televisi Swasta lokal berjaringan biro Medan dalam menjalankan agenda
program Stasiun Lokal Berjaringan.
3. Untuk mengetahui strategi seperti apa yang telah dan akan dilakukan oleh
lembaga penyiaran televisi swasta lokal berjaringan biro Medan dalam
15
aturan tentang Sistem Stasiun Jaringan, dalam rangka mewujudkan peran
tanggung jawab sosial media.
1.4 Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian dilakukan tentu dengan maksud untuk mendapatkan manfaat
tertentu baik untuk diri si peneliti sendiri maupun untuk pihak lain. Dalam penelitian
ini minimal penulis berharap akan memberi manfaat antara lain :
1. Menambah pemahaman dan kesadaran bagi penanggung jawab/pengelola
Lembaga Penyiaran khususnya Lembaga Penyiaran Swasta Televisi berjaringan
sebagai sebuah lembaga publik dalam menyikapi segenap aturan, baik secara
institusional maupun konstitusional.
2. Mendorong masyarakat untuk lebih sadar akan haknya dalam mendapatkan
informasi secara luas dan mendalam tentang situasi, perkembangan dan
peristiwa lokal sebagai salah satu dari tanggung jawab yang harus dilakukan
oleh setiap lembaga informasi publik dalam hal ini stasiun televisi swasta lokal
berjaringan.
3. Memberi masukan kepada setiap pengelola Lembaga Penyiaran Televisi Swasta
Lokal Berjaringan untuk mendapatkan alternatif pemecahan masalah dalam
mengatasi kendala yang umumnya dihadapi oleh para penanggung jawab
dan/atau pengelola media televisi swasta dalam melaksanakan agenda/ program
4. Memberi dorongan dan stimuli kepada setiap penanggung jawab dan atau
pengelola Lembaga Televisi swasta lokal berjaringan agar dalam menjalankan
kegiatan penyiarannya senantiasa berada dalam kerangka acuan hukum positif
yang berlaku dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
menjalankan tanggung jawab sosialnya dalam penyebarluasan informasi kepada
masyarakat khususnya masyarakat lokal.
5. Memberi gambaran serta masukan kepada pemerintah terhadap situasi yang
terjadi di lapangan dalam pemberlakuan peraturan terkait dengan pelaksanaan
Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), khususnya di daerah Medan dan Sekitarnya.
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Media Penyiaran Televisi
Munculnya media penyiaran televisi di segenap antero dunia membuka
cakrawala baru dalam dunia komunikasi massa. Meski sebelumnya telah ditemukan
mesin cetak maupun pesawat radio, namun dari aspek karakteristiknya penemuan
pesawat televisi lebih memberi efek yang cukup spektakuler di tengah-tengah
masyarakat dunia.
Kehadiran media televisi tidak dapat melupakan nama Fransworth (USA) sebagai
seorang yang pertama sekali menemukan tabung vakum untuk menangkap gambar
bergerak dan dapat ditampilkan secara elektronik di layar pada tahun 1920.
Kemudian pada tahun 1927 Philo Fransworth berhasil menyebarluaskan gambar
bergerak melalui peralatan transmissi sehingga era audio-visual berkembang sampai
sekarang.
Tabung vakum yang oleh Frasnworth diberi nama Image Dissector itulah
kemudian disebut sebagai momentum pertama ditemukannya pesawat televisi, meski
pada saat itu sempat diperdebatkan karena masih ada pihak lain yang menggugat,
yakni sebuah institusi laboraturium Rusia. Laboraturium dengan label RCA
yang sama dengan nama Iconoscope.
Namun setelah diselesaikan di pengadilan akhirnya diputuskan bahwa ternyata
Zworykin melakukan pembajakan terhadap temuan Fransworth. (Vivian 228:2008).
Di Indonesia media televisi pertama sekali mengudara saat dilangsungkannya
upacara hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-17 pada 17 agustus 1962 dalam siaran
percobaan oleh TVRI. Barulah kemudian secara definitif TVRI menyiarkan secara
langsung pembukaan Asian Games ke-4 pada tahun yang sama, sekaligus dinyatakan
bahwa tanggal 24 agustus 1962 sebagai siaran yang secara resmi pertama sekali
media tetevisi mengudara di bumi Indonesia.
Kemajuan media elektronik di Indonesia mengalami pergerakan yang cukup
pesat, seiring dengan perkembangan dalam bidang media massa elektronik dunia
termasuk era teknologi satelit dengan beragam varian yang populer disebut sebagai
news media, menjadikan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari konstelasi media
informasi global sekaligus sebagai bahagian dari komunitas masyarakat informasi
dunia.
Mengingat betapa pentingnya media penyiaran televisi sebagai sebuah sarana
informasi elektronik yang sekaligus memiliki multilinier efek, maka masing-masing
negara memiliki rambu-rambu tersendiri yang secara khusus mengatur tentang
aktivitas media ini, baik dari aspek legalitas kelembagaan, isi siaran, maupun etika
19
hukum positif dengan diterbitkannya undang-undang maupun Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Menteri ditambah dengan pembentukan lembaga pengawasan
independen.
Dalam perjalanannya, siaran televisi selama beberapa dekade dimonopoli oleh
TVRI sebagai media informasi pemerintah. Barulah sejak tahun 1989 bermunculan
lembaga penyiaran swasta yang diawali oleh RCTI dan diikuti oleh lembaga
penyiaran televisi swasta lainnya.
Pada tahun 2002, dengan terbitnya undang-undang penyiaran maka lembaga
televisi yang ada melakukan penyesuaian dengan status yang beragam, TVRI menjadi
lembaga penyiaran publik dan semua televisi swasta wajib menjadi lembaga siaran
berjaringan.
2.2 Lembaga Penyiaran Indonesia
Menurut Undang-Undang no 32 tahun 2002 tentang penyiaran, dalam ketentuan
umum Bab I pasal (1) dikatakan : Lembaga penyiaran adalah penyelenggara
penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga
penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam
melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan tentang jasa penyiaran radio maupun televisi dalam kategori tersebut
1. Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial
berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara, bersifat independen, netral,
tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
2. Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial
berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan
jasa penyiaran radio atau televisi.
3. Lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk
badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan
tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauannya wilayah terbatas,
serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.
4. Lembaga penyiaran berlangganan merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan
hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran
berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran
berlangganan.
Lembaga penyiaran berlangganan terdiri atas :
a. Lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit
b. Lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel
21
Setiap lembaga penyiaran dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengacu
kepada aturan yang ditetapkan baik melalui undang-undang maupun ketentuan
lainnya berupa peraturan serta keputusan-keputusan pemerintah.
Adanya peraturan yang bersifat mengikat itu tidak terlepas dari konsep dan
strategi informasi yang telah dirumuskan secara nasional sekaligus menjadi
komitmen bagi setiap aparat yang terkait di dalamnya, baik aparat pemerintah
maupun masyarakat penyiaran dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rumusan konsep dimaksud disebut sebagai “Tatanan informasi nasional”.
Sebagaimana yang terdapat di dalam UU penyiaran, bahwa Tatanan informasi
nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib,
teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran
antara pusat dan daerah, antar wilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia
Internasional. Lebih lanjut diterakan bahwa Penyiaran diselenggarakan dalam satu
sistem penyiaran nasional. (BAB III pasal 6).
Dalam pasal 6 ayat (3) dikatakan bahwa : Dalam sistem penyiaran nasional
terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang
dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.
Sebagai konsekuensi dari aturan dalam pasal 6 ayat (3) ini, maka pemerintah
nomor 50 tahun 2005, khusus dalam memberi pedoman umum terhadap pelaksanaan
Sistem Jaringan terdapat pada BAB VI, pasal 34 sebagai berikut:
1. Sistem stasiun jaringan terdiri atas Lembaga Penyiaran swasta induk satsiun
jaringan dan Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan yang
membentuk sistem stasiun jaringan.
2. Lembaga Penyiaran Swasta induk stasiun jaringan merupakan Lembaga
Penyiaran Swasta yang bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlay
oleh Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan dalam sistem
stasiun jaringan.
3. Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan merupakan Lembaga
Penyiaran Swasta yang tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang
melakukan relay siaran pada waktu-waktu tertentu dari Lembaga Penyiaran
Swasta induk stasiun jaringan.
4. Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) hanya dapat berjaringan dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran
Swasta induk stasiun jaringan.
5. Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan/atau jasa penyiaran
televisi yang menyelenggarakan siarannya melalui sistem stasiun jaringan
23
6. Setiap penyelenggaraan siaran melalui sistem stasiun jaringan dan setiap
perubahan jumlah anggota stasiun jaringan yang terdapat dalam sistem stasiun
jaringan wajib dilaporkan kepada menteri.
Dalam merespon aturan yang ada maka Departemen Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia mengeluarkan Permen Kominfo RI nomor :
43/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Stasiun
Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi.
Menindak lanjuti amanat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP) dan juga
peraturan menteri (Permen), maka Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga
Negara yang diberi tugas melakukan tata kelola lembaga penyiaran di Indonesia serta
merta mencantumkan aturan pelaksanaan penyiaran melalui sistem jaringan di dalam
buku Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standard Progaram Siaran (SPS) untuk
dijadikan acuan bagi seluruh pengelola lembaga penyiaran di Indonesia tertutama
terdapat pada pasal 31 yang menyebutkan bahwa “ Lembaga penyiaran wajib
menyiarkan program siaran lokal dalam sistem stasiun jaringan sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku.”
2.3 Penyelenggaraan Sistem Stasiun Jaringan
Sistem jaringan televisi dimulai dalam sejarah pertelevisian Amerika Serikat
dengan munculnya tiga jaringan besar yang menyediakan acara untuk stasiun lokal,
dimana sebelumnya ABC sebagai pesaing mereka. Jaringan tiga besar (Big Three)
ini masing-masing memiliki 200 outlet di AS sehingga acara-acara dari ketiga stasiun
besar ini menjangkau seluruh pelosok negeri.
Pada tahun 1941 NBC memberi program acaranya kepada perusahaan
affiliasinya dengan menggunakan sambungan jalur microwave yang menghubungkan
pantai timur dan barat AS. Selain itu pada tahun 2004 General Electric membeli
studio film Universal dan menggabungkan diri dengan NBC. Selanjutnya jaringan
televisi CBS dikembangkan pada tahun 1982 oleh William Paley yang sebelumnya
telah berjaringan dengan CBS bersamaan dengan kehadiran seorang raja hotel
Amerika Laurence Tisch memperkuat keberadaan perusahaan televisi CBS.
Dengan kekuatan yang dimilik kemudian Televisi ABC mendirikan jaringan
televisi pada tahun 1948 dan berikutnya ABC melakukan merger dengan United
Paramount Theaters dengan propertinya yang mencakup beberapa stasiun televisi.
Setelah itu stasiun ABC membeli Capcities Communications pada 1985 yakni sebuah
stasiun televisi di Kansas City yang beroperasi dengan nama ABC/Cap Cities dan
akhirnya dibeli oleh Disney dengan mengganti sedikit label nama menjadi ABC
Disney.
Pada tahun 1986 Rupert Murdoch seorang yang terkenal sebagai raja media
internasional tidak mau ketinggalan dengan membeli tujuh stasiun non-jaringan di
25
Fox menjadikannya sebuah lembaga televisi berjaringan baru yang dimotori oleh
Barry Diller.
Di pihak lain Time Warner meluncurkan WB television Net Work pada tahun
1995 untuk dijadikannya sebagai outlet bagi unit produksi Warner Brothers dan
kemudian ia membentuk United Paramount Net Work (UPN). Kemudian pada tahun
2006 Viacom dan Time Warner menggabungkan WB dengan UPN menjadi jaringan
televisi baru yang disebut dengan jaringan CW-C untuk CBS dan W untuk Warner
dengan segmentasi audience berusia 18-34 tahun.
Sistem akuisisi muncul dalam dunia broadcast, yakni pada dekade 1980 an. Pada
saat itu perusahaan media mulai membeli perusahaan luar negeri. Sebut saja
Bertelsman (Jerman) yang mengakuisisi perusahaan rekaman RCA dan Arista di AS.
Setelah itu ia juga mengakuisisi 14 majalah wanita yang dibeli dari perusahaan New
York Times.
Beberapa perusahaan media telah melakukan merger untuk mendapatkan sinergi.
Merger Hachette (Prancis) dengan Filapacchi (Italia) menghasilkan profit yang cukup
signifikan. Demikian pula aliansi Vicom dengan menjual acara televisinya ke
beberapa jaringan dan stasiun televisi yang ada di beberapa Negara. (Vivian:2008)
Dari sejarah pertelevisian Amerika tersebut kemudian diikuti oleh Indonesia
dengan memproduksi sebuah peraturan tentang sistem jaringan melalui
latar belakang pembentukannya apa yang terjadi di Indonesia tidak sama persis
dengan perjalanan sistem jaringan yang telah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat.
Menurut hemat peneliti, sistem jaringan di Amerika Serikat dilatarbelakangi oleh
adanya keinginan pemilik modal untuk lebih memperluas jangkauan produk program
siarannya maka diperlukan stasiun penyiaran lain di beberapa wilayah, dengan
membentuk sebuah sistem jaringan. Perluasan jaringan dilakukan dengan cara
membeli, merger ataupun mengakuisisi stasiun penyiaran lokal yang memang sudah
ada sebelumnya.
Namun di Indonesia dengan kondisi saat ini proses dalam penerapan sistem
stasiun jaringan justeru terbalik jika dibandingkan dengan yang terjadi di Amerika.
Berdasarkan aturan yang ada, stasiun penyiaran televisi nasional yang secara
kebetulan kesemuanya berada di ibu kota negara, Jakarta, dan sesuai dengan amanat
UU,PP maupun Permen kepada semua stasiun nasional diharuskan mendirikan
stasiun-stasiun lokal di daerah ibukota provinsi, kabupaten/kota yang kemudian
dijadikan sebagai anggota jaringannya. Pada saat yang sama Lembaga penyiaran
nasional itu wajib melepaskan hak kepemilikannya atas anggota jaringannya dengan
memberikan peluang sebesar besarnya kepada investor lokal, maksudnya agar terjadi
pembagian pemusatan kepemilikan (diversity of ownerships) sekaligus membagi
sebahagian produk isi siarannya kepada anggota jaringannya dengan volume
27
Head dan Sterling (1982) menyatakan, jaringan adalah : “two or more stations
interconnected by some means of relay (wire, cable, teresterial micro wave, satellite)
so as to anable simultaneous broadcasting of the same program…” yakni : dua atau
lebih stasiun yang saling berhubungan melalui relay (kawat, kabel, gelombang mikro
teresterial, satelit) yang memungkinkan terjadinya penyiaran program secara
serentak.
Sedangkan Willis dan Aldridge (1992) menambahkan ketentuan atau kriteria
pengertian jaringan dengan menyebutkan : There are several different kinds of
networs, but all of them have one thing in common: They distribute program
simultaneously to affiliated stations. ( terdapat beberapa jenis jaringan, namun
semuanya memiliki satu kesamaan : Jaringan menyiarkan program secara serentak
kepada stasiun afiliasinya).(86-87:2005)
Penjelasan tentang Sistem Stasiun Jaringan di dalam Peraturan Menteri Kominfo
No 43 tahun 2009 tentang Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) antara lain terdapat di psl (1)
: “Sistem stasiun jaringan adalah tata kerja yang mengatur relay siaran secara tetap
antar lembaga penyiaran.” Sedangkan dalam psl (2) disebutkan “Sistem stasiun
jaringan dilaksanakan oleh stasiun penyiaran lokal berjaringan yang terdiri atas :
a. Stasiun induk, berkedudukan di ibukota provinsi.
Sementara itu dalam pasal (5) menyebutkan :
1. Stasiun induk merupakan stasiun penyiaran yang bertindak sebagai koordinator
yang siarannya direlay oleh stasiun anggota dalam sistem stasiun jaringan.
2. Stasiun anggota merupakan stasiun penyiaran yang tergabung dalam suatu sistem
stasiun jaringan yang melakukan relay siaran pada waktu-waktu tertentu dari
stasiun induk.
3. Setiap lembaga penyiaran swasta hanya dapat berjaringan dalam satu sistem
stasiun jaringan.
4. Lembaga penyiaran swasta yang menjadi stasiun anggota dalam sistem jaringan
hanya dapat berjaringan dengan 1 (satu) stasiun induk.
Dalam pengaturan tentang volume isi siarannya terdapat dalam pasal (8), yaitu :
1. Dalam sistem stasiun jaringan stasiun yang direlay oleh stasiun anggota dari
stasiun induk, dibatasi dengan durasi paling banyak 90% dari seluruh waktu
siaran per hari.
2. Berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga penyiaran
swasta, program siaran yang direlay oleh stasiun anggota dari stasiun induk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bertahap turun menjadi paling
29
3. Dalam sistem stasiun jaringan, setiap stasiun penyiaran lokal harus memuat
siaran lokal dengan durasi paling sedikit 10% dari seluruh waktu siaran per
hari.
4. Berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga penyiaran
swasta keharusan memuat siaran lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
secara bertahap naik menjadi paling sedikit 50% dari seluruh waktu siaran
per hari.
Selanjutnya dalam pasal (9) dijelaskan tentang maksud siaran lokal, seperti berikut :
Siaran lokal adalah siaran dengan muatan lokal pada daerah setempat yang kriterianya ditentukan lebih lanjut oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No.02/P/KPI/12/2009 tentang
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), pasal 1 ayat (12) yang dimaksud dengan Program siaran lokal adalah : program siaran dengan muatan lokal, baik program faktual maupun non-faktual, yang mencakup peristiwa, isu-isu, latar belakang cerita, dan
sumber daya manusia, dalam rangka pengembangan budaya dan potensi daerah
setempat.
Sementara itu dalam P3 pasal (52) diatur tentang volume penayangan Program
1. Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi
minimal 10% (sepuluh perseratus) dari total durasi siaran berjaringan per
hari.
2. Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) minimal 30%
(tiga puluh peseratus) diantaranya wajib ditayangkan pada waktu prime time
waktu setempat.
3. Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) secara
bertahap wajib ditingkatkan hingga 50% (lima puluh per seratus) dari total
durasi siaran berjaringan per hari.
Berdasarkan UU no 32 tahun 2002 tentang penyiaran, secara tegas memberi
tuntunan kepada setiap penyelenggara penyiaran, bahwa setiap kegiatan penyiaran di
Indonesia harus diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun
1945 dengan azas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan,
keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan bertanggung jawab.
Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi
nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka
membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera serta
31
Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Selain itu
penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, khususnya tentang kemandirian, demokratisasi,
rasa keadilan dan fungsi ekonomi serta kebudayaan dalam rangka terbinanya watak
dan jati diri bangsa sekaligus terwujudnya semangat otonomi daerah dengan tumbuh
dan berkembangnya potensi daerah, maka kehadiran Permen kominfo no 43 tahun
2009 dipandang relevan dalam kondisi saat ini.
Berkaitan dengan hal tersebut, Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang
pers, pasal (6) mengamanatkan bahwa pers nasional wajib :
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati Kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat,
dan benar,
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
2.4 Kepemilikan Lembaga Penyiaran
Pada dasarnya pengelola stasiun penyiaran dapat dibagi dua macam : a)
pengelola perorangan atau individu (single owners); b) pengelola kelompok atau
group ownership (perusahaan atau lembaga lainnya)…Sebahagian besar stasiun
penyiaran yang berada di kota-kota besar dimiliki oleh korporasi atau perusahaan
yang umumnya memiliki kekuatan modal yang lebih besar daripada pemilik
perorangan. (Morrisan 85,86:2008)
Ketentuan undang-undang penyiaran menyebutkan bahwa pemusatan
kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu
badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran,
dibatasi.
Berkaitan dengan kepemilikian lembaga penyiaran diatur dalam PP no 50 than
2005 menyebutkan bahwa lembaga penyiaran swasta didirikan dengan modal awal
seluruhnya hanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia, jika kemudian akan
ditambah dengan modal asing hanya dibatasi sampai 20% atas jumlah keseluruhan
saham.
Dalam Permen Kominfo RI No. 28 tahun 2008, pasal (11) menyebutkan :
Lembaga penyiaran swasta yang sudah mempunyai stasiun relay di ibu kota provinsi
wajib melepas kepemilikannya atas stasiun relaynya.
Oleh karena itu segala kepentingan dan urusan administrasi, birokrasi dan
program siarannya secara penuh dikelola oleh penanggung jawab LPS lokal yang