• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku

Budiarto, M. Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980.

Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2003.

Fuady, Munir. Hukum Perbankan di Indonesia, Seri Buku Ketiga. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.

Garnasih, Yenti. Kriminalisasi Pencucian Uang, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.

Irman, TB. Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publishing & CV Alyces Group, Bandung, 2006.

Mamoedin, A.S. Analisis Kejahatan Perbankan, Rafflesia, Jakarta, 1997, Cetakan Pertama..

Parthiana, I. Wayan. Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1983.

Parthiana, I Wayan. Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya, Bandung, 2009.

Senja, R.A. Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Difa Publisher, Jakarta, 1998.

Siahaan, NHC. Money Laundering, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 2003.

Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Edisi Kesepuluh Jilid 2.

(2)

MAJALAH

Nasution, Anwar. Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 3, 1998.

Yenti, Garnasih. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Fenomena Baru di Indonesia dan Permasalahannya, Makalah Seminar Sosialisasi, Medan, 2004.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 1 Tahun 1979, tentang Ekstradisi.

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, tentang Perubahan atas Undang-Undang No.

15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 82 Tahun 2003, tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan.

Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP/PPATK/2003, tentang Pedoman Umum Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

INTERNET

http://www.antikorupsi.org/poin-poin-penting-perjanjian-ektradisi-RI-Singapura

(3)

http:

(4)

BAB III

URGENSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG

MELARIKAN DIRI KE LUAR NEGERI

A. Adanya Hambatan-Hambatan yang Dihadapi Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Kesulitan Melakukan Pelacakan Harta yang Dihasilkan Oleh Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana pencucian uang lazimnya ditempatkan oleh pelaku kejahatan di dalam sistem finansial maksudnya agar mengaburkan asal-usul uang tersebut yang bermula dari kejahatan asal (predicate crime).54

Prinsip hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan undang-undang yang lahir dalam rangka menunjang Melalui mekanisme ini aparat penegak hukum sangat mudah melakukan pelacakan harta, penyebabnya adalah adanya indikasi transaksi keuangan mencurigakan. Masalah yang timbul dan menjadi hambatan apakah telah terbukti telah melakukan tindak pidana pencucian uang yang bisa dikategorikan sangat rumit dalam membuktikannya. Kemudian dilakukan pelacakan harta kekayaan (trace the money atau follow money) dan bagaimana kalau tindak pidana pencucian uang yang dimaksud tidak terbukti, apakah dapat dilakukan pelacakan harta kekayaan ataukah dapat menggunakan prinsip harta kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar, walaupun cara penanganan undang-undang anti pencucian uang mengikuti alur harta kekayaan.

54

(5)

perekonomian nasional, sehingga mengatur prinsip-prinsip tersendiri di luar ketentuan hukum acara pidana, misalnya prinsip hukum pembuktian yang menekankan pada terdakwa untuk membuktikan sendiri tindak pidana yang dilakukan berdasarkan penyidikan dan penuntutan diduganya melakukan tindak pidana yang dimaksud.

Konsekuensi hukum yang timbul dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Pembuktian tindak pidana pencucian uang yang diperoleh dari hasil tindak pidana asal memerlukan perangkat hukum yang sistematik dengan memperhatikan proses pencucian uang yang sangat sulit untuk dijangkau dengan sistem hukum konvensional55

55

http:/

, tanpa memperbaiki sistem hukum yang diadakan menjadi penghambat proses pencucian uang melalui 3 tahap, yaitu penempatan, pelapisan, dan penggabungan. Pada tahap penempatan bentuk uang dirubah karena sebagian besar aktivitas kejahatan modern khususnya pengedaran obat bius (narkoba), bergantung pada uang tunai sebagai alat pertukaran utama, mekanisme penempatan biasanya melibatkan pengubahan mata uang menjadi bentuk lainnya, contohnya sejumlah besar uang tunai yang diterima oleh penjual narkoba didepositokan dalam transaksi berulang dalam rekening bank, sehingga bentuk uang tersebut telah berubah dan sekarang uang itu satu langkah lebih jauh dari asal ilegalnya semua uang tunai sekarang telah menjadi satu bagian elektronik

(6)

dalam lautan uang.56

2. Kurangnya Kerjasama Instansi Terkait di Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang

Pada tahap pelapisan pelaku pencucian uang berusaha mengurangi dampak jejak di atas kertas asal mula uang tersebut sesuai namanya, lapisan transaksi berupa unit-unit usaha permukaan atau mekanisme penutupan lain dijalankan antara uang dan sumbernya lapisan-lapisan itu mungkin melibatkan tempat-tempat atau bank di negara lain, tempat-tempat dimana kerahasiaan bank menyulitkan pelacakan jejak uang. Jika pada tahap penempatan dan pelapisan telah berhasil diselesaikan, maka pelaku akan berusaha menggabungkan kembali dana yang dicuci dalam bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku, mekanisme integrasi menggunakan institusi finansial atau penyedia jasa keuangan dan alat yang sama yang digunakan dalam tahap-tahap lainnya, pada tahap ini pelaku pencucian sekarang perlu membuat dana tersebut terlihat seperti sah asalnya.

Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang telah dikategorikan sebagai money is the root of all evil,57

56

TB. Irman, Op.cit, hal 41.

57

(7)

Pemberantasan Korupsi (KPK). Keterkaitan kedua lembaga ini sangat penting terutama dalam rangka perkembangan suatu prinsip pembuktian di dalam menangani tindak pidana pencucian uang, yakni patut diduganya harta kekayaan berasal dari suatu tindak pidana.

Dalam lingkup nasional, PPATK antara lain telah melakukan kerjasama yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) dengan Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lembaga pemerintah di bidang kehutanan (Center for International Forestry Research).

Pasal 26 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam melaksanakan fungsinya PPATK mempunyai tugas sebagai berikut:

a) mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;

b) memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;

c) membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;

d) memberi nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini;

e) mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;

f) memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

g) melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan;

(8)

Pembentukan lembaga PPATK sebagaimana dimaksud dalam konsiderans Undang-Undang Anti Pencucian Uang adalah dalam rangka mencegah dan memberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan negara terjaga, di samping itu untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang. Dimana undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran harta kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan serta meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan setiap hal yang telah dilaporkan PPATK baik itu sebagai tersangka atau terdakwa dalam kasus tindak pidana pencucian uang. Dalam rangka melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK dapat melakukan kerjasama dengan pihak terkait baik nasional maupun internasional dalam forum bilateral dan multilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kerjasama dapat dilakukan dengan atau tanpa perjanjian tertulis. Dalam Pasal 9 ayat (3) Keppres RI No. 82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yaitu kerjasama dapat berupa pertukaran informasi, bantuan teknis, dan atau pendidikan dan pelatihan.

(9)

a) analisis terhadap laporan-laporan transaksi keuangan yang diterima oleh PPATK;

b) pemberian dan permintaan informasi dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang;

c) pendidikan dan pelatihan; dan

d) hal-hal lain yang akan ditentukan bersama oleh PPATK dengan Kepolisan Negara RI.

Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang PPATK juga melakukan kerjasama dengan Kejaksaan RI. Hal ini dicantumkan dalam Pasal 11 Keppres Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan PPATK dalam ayat 2 dinyatakan:

a) permintaan informasi dalam rangka analisis terhadap laporan-laporan transaksi keuangan yang diterima oleh PPATK;

b) pemberian dan permintaan informasi dalam rangka penuntutan; c) pemberian dan permintaan informasi mengenai eksekusi putusan

pengadilan atas perkara tindak pidana pencucian uang; d) pendidikan dan pelatihan;

e) hal-hal lain yang akan ditentukan bersama oleh PPATK dengan Kejaksaan RI.

Begitu juga dengan Dirjen Bea Cukai, PPATK juga membuat kerjasama untuk memberantas dan mencegah tindak pidana pencucian uang. Kerjasama itu dituangkan dalam Pasal 12 ayat (2) yaitu:

a) penyampaian laporan dan informasi tambahan yang berkaitan dengan pembawaan uang rupiah secara tunai ke dalam atau ke luar wilayah Republik Indonesia;

b) permintaan informasi dalam rangka analisis terhadap laporan-laporan transaksi keuangan yang diterima oleh PPATK;

c) permintaan informasi dalam rangka pencegahan uang; d) pendidikan dan pelatihan; dan

e) hal-hal lain yang akan ditentukan bersama oleh Kepala PPATK dengan Direktur Jederal Bea Cukai.

(10)

kekayaan yang tidak sah maka berdasarkan undang-undang tersebut telah dibentuk PPATK yang tugas pokoknya adalah membantu penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana berat lainnya dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPATK berkewajiban antara lain membuat pedoman bagi PJK dalam mendeteksi perilaku pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan.

Dalam Keputusan Kepala PPATK No.2/1/Kep.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan dinyatakan bahwa selanjutnya untuk meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaannya, PPATK senantiasa melakukan kajian dan penyempurnaan terhadap pedoman yang hasilnya akan diterbitkan secara berkala. Selain itu dimungkinkan pula untuk memberikan penjelasan terhadap hal-hal penting yang mungkin timbul dalam implementasinya. PPATK akan menerbitkan pula pedoman yang lebih rinci dan sifatnya lebih teknis antara lain:58

a) Pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan;

b) Pedoman pelaporan transaksi keuangan mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan;

c) Pedoman pelaporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai bagi penyedia jasa keuangan.

58

(11)

Oleh karena itu disinilah letak pentingnya kerjasama instansi terkait yang berperan dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang, seperti PPATK, kepolisan, kejaksaan serta juga pihak-pihak yang bekerja sama dengan PPATK.

Kelemahan koordinasi dan kerjasama di antara instansi tersebut yang tampaknya merupakan faktor pemicu kemandulan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pencucian uang di Indonesia sedangkan dari sisi perundang-undangan yang berlaku tampak tidak ada kelemahan-kelemahan mendasar apalagi setelah dilakukan perubahan-perubahan yang signifikan di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.59

Vincentius yang merupakan mantan Financial Controller Asian Agri Group ini diduga melakukan pencucian uang lewat pembobolan uang Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd di Singapura sebesar US$ 3,1 juta (sekitar Rp28 miliar).

Bahkan perubahan berarti dalam undang-undang ini adalah dimasukkannya ketentuan mengenai kerjasama bantuan timbal balik dalam masalah pidana sehingga dengan ketentuan tersebut pemerintah Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat untuk melakukan kerjasama dengan negara lain dalam pemberantasan kasus pencucian uang.

3. Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Tersebut Melarikan Diri ke Luar Negeri

60

59

Vincent melakukan aksi pembobolan pada bulan November 2006 dengan cara mengirim surat perintah transfer ke Bank Fortis (Singapura) agar mentransfer US$ 3,1 juta ke Bank Panin, Jakarta.

60

(12)

Dalam surat itu Vincent memalsukan tanda tangan dua petinggi Asian Agri di Singapura. Adapun penadah uang panas itu adalah PT Asian Agri Jaya dan PT Asian Agri Utama, perusahaan fiktif yang didirikannya bersama rekannya, Hendri Susilo. Baru Rp200 juta dana dicairkan, aksi tersebut keburu terbongkar. Vincent lalu kabur ke Singapura sebelum akhirnya menyerahkan diri ke kepolisian. Ia sempat meminta ampun kepada Sukanto Tanoto, tapi tidak dikabulkan. Karena itulah, ia mengadukan dugaan manipulasi pajak Asian Agri ke KPK. Dari hasil penyelidikan aparat gabungan Dirjen Pajak dan KPK terhadap 14 unit usaha Asian Agri, ada indikasi kuat telah terjadi manipulasi isi surat pemberitahuan tahunan pajak sepanjang 2002-2005 lewat berbagai modus. Negara kehilangan penerimaan Pajak Penghasilan Rp786 miliar.61

Vincentius diduga terpaksa memalsukan tanda tangan dua pejabat Asian Agri untuk melaksanakan perintah transfer sekaligus memastikan transfer sudah mencapai USD 3,1 juta pada 16 November 2006, Vincentius lantas mencairkan Rp 200 juta. Namun, upaya ini tak berlanjut, ulah Vincentius terendus polisi setelah diadukan Asian Agri. Vincentius pun melarikan diri ke Singapura, jelas

Mereka diduga menggelapkan uang USD 3,1 juta milik Asian Agri. Mereka lantas membentuk dua perusahaan, PT Asian Agri Jaya, Asian Agri Utama. Atas perintah Vincentius, PT AAJ an AAU lantas membuka rekening penampung (escrow account) di Bank Panin Cabang Lindeteves, Jakarta Pusat. Dari rekening tersebut pada 13 November 2006, dilakukan transfer dari Fortis Bank Singapore (FBS) ke Bank Panin sebesar USD 1,2 juta.

(13)

Sutarto. Lantas polisi memasukkan nama Vincentius dalam daftar pencarian orang (DPO).

Begitu juga contoh kasus sulitnya mengekstradisi Hendra Raharja dari Australia kendati Indonesia dan Australia sudah memiliki perjanjian ekstradisi, Havas, yang juga Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Deplu-RI itu, menjamin bahwa dengan Singapura kasus seperti itu akan sulit terjadi. Alasan yang mencolok, adalah sistem pengadilan antara Australia dan Singapura menyangkut ekstradisi yang berbeda. Di Australia, permintaan ekstradisi dapat diajukan banding hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Sedangkan di Singapura hanya sampai di Pengadilan Negeri.

Indonesia dan Australia telah mempunyai perjanjian ekstradisi sejak tahun 1992, namun dalam kasus Hendra Raharja, koruptor yang lari ke Australia, proses ekstradisi berjalan alot karena harus melalui sejumlah proses hukum yang bertingkat dan memakan waktu lama. Hingga akhir hayat Hendra, Jakarta tidak berhasil membawa koruptor tersebut untuk dihukum di dalam negeri sementara Indonesia hanya mendapatkan sebagian kecil dari harta Hendra yang diduga kuat dilarikan ke Australia.

"Menurut hukum internasional yang disebut rule of speciality, negara manapun tidak bisa meloloskan permintaan ekstradisi terhadap seseorang jika tuntutan kejahatannya ternyata berbeda," papar Harvas Oegroseno.62

62 Ibid

(14)

mengajukan agar orang tersebut diekstradisi karena kejahatan korupsi, bukan karena penipuan.

Larinya pelaku pencucian uang tersebut sudah sangat menyulitkan dan menjadi hambatan dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang. Belum lagi apabila pelaku tindak pidana tersebut menjadi warganegara bagi negara diminta tentu akan lebih menyulitkan dalam memulangkannya ke negara asal. Masalah ini bisa timbul apabila si pelaku berkewarganegaran rangkap, karena salah satu dari prinsip ekstradisi yaitu asas tidak menyerahkan warga negara sendiri sangat menyulitkan bagi tanah air untuk memintanya pada negara diminta. Misalnya Hendra Raharja menjadi warganegara Australia, tentu pemerintah Australia tidak akan mau menyerahkan warganegaranya pada Indonesia.

B. Perjanjian Ekstradisi sebagai Upaya Kerjasama dengan Negara Lain dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang yang Melarikan Diri ke Luar Negeri

(15)

sedangkan sebagai bagian dari hukum nasional ekstradisi tampak dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara tentang ekstradisi.63

Memang tidak semua kaidah hukum tentang ekstradisi itu sudah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional, terutama kaidah-kaidah hukumnya yang baru pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang tergolong ke dalam kaidah-kaidah hukum internasional yang berkembang secara progresif (progressive development of international law). Namun demikian, mungkin saja kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang kini masih dipandang belum atau bukan sebagai hukum kebiasaan internasional, pada suatu waktu akan diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Hal ini adalah suatu yang wajar saja dalam proses perkembangan hukum pada umumnya, hukum internasional pada khususnya.

Sudah tentu pula substansi antara pranata hukum ekstradisi yang terdapat di dalam perjanjian-perjanjian internasional antara pranata hukum ekstradisi yang terdapat di dalam perjanjian-perjanjian internasional antara satu dengan lainnya pada satu pihak dan demikian juga antara substansi pranata hukum ekstradisi dalam hukum nasional negara-negara pada lain pihak, mengandung kesamaan-kesamaan. Kesamaan-kesamaan substansi tersebutlah yang menjadikan pranata hukum ekstradisi berlaku umum dan oleh karena itu diakui sebagai hukum kebiasaan internasional.

64

Pranata hukum ekstradisi ini cukup ideal karena dipengaruhi oleh nilai-nilai hak asasi manusia, namun pada lain pihak justru menjadi sangat ketat dalam

63

I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Op.cit, hal. 19.

(16)

pengimplementasiannya, mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, negara-negara justru mencari terobosan lain di luar pranata hukum ekstradisi dalam usahanya untuk mengadili atau menghukum seorang pelaku kejahatan yang berada di wilayah negara lain, baik yang legal maupun ilegal. Meskipun demikian, hal ini tidaklah menggeser kedudukan dan peranan ekstradisi sebagai pranata hukum yang sudah mapan.

Sebagai buktinya, negara-negara sejak dahulu hingga kini, dan tampaknya demikian juga pada masa-masa yang akan datang, masih tetap bersemangat dalam membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi baik bilateral maupun multilateral regional. Kini di seluruh kawasan di dunia ini terdapat banyak sekali perjanjian-perjanjian ekstradisi. Tentu saja pada masa yang akan datang akan lebih banyak lagi.

(17)

yang saling berhadapan, tegasnya antara negara atau negara-negara peminta pada satu pihak berhadapan dengan negara diminta pada lain pihak.65

Negara peminta tentu saja tidak boleh secara langsung menangkap dan membawa kembali secara langsung orang yang diminta yang sedang berada di wilayah negara diminta sebab penangkapan secara langsung tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan negara diminta, kecuali negara diminta sebelumnya sudah mengijinkannya. Cara yang legal adalah melalui pranata hukum ekstradisi, dengan meminta kepada negara diminta supaya negara diminta menyerahkan orang yang diminta kepadanya.

Kepentingan negara peminta terhadap orang yang diminta adalah dalam rangka mengadili dan menghukumnya jika dia terbukti bersalah disebabkan karena dia diduga telah melakukan kejahatan atau tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi kriminalnya. Di samping itu jika orang yang diminta sudah berstatus sebagai terhukum, kepentingan negara peminta adalah untuk melaksanakan hukuman ataupun melanjutkan hukuman ataupun melanjutkan pelaksanaan sisa hukumannya.

Sedangkan kepentingan dari negara diminta terhadap orang yang diminta adalah tentang keberadaannya di wilayahnya. Masuknya orang yang diminta ke dan selanjutnya berada di wilayah negara diminta, boleh jadi melalui prosedur yang legal maupun ilegal. Sebagai orang yang masuk dan berada di wilayahnya baik dengan cara legal ataupun ilegal, negara diminta tentu saja memiliki yurisdiksi teritorial atas dirinya, antara lain memberlakukan hukum nasionalnya.

65

I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,

(18)

Terkait dengan kejahatan yang telah dilakukannya dan yang dijadikan sebagai dasar oleh negara peminta untuk memintanya kepada negara diminta, boleh jadi kejahatan itu juga mengandung dimensi internasional, meskipun tidak selalu. Misalnya, kejahatan dilakukan di wilayah negara peminta dan menimbulkan akibat atau korban tidak saja di wilayah negara peminta melainkan juga di wilayah negara diminta ataupun di wilayah negara ketiga sehingga masing-masing negara memiliki yurisdiksi kriminal atas kejahatan dan atau si pelakunya.66

Apabila atas kejahatannya itu sudah ada satu negara yang mengadili orang yang bersangkutan berdasarkan hukum pidana nasionalnya, maka negara lainnya haruslah menghormati proses peradilan dan putusan pengadilan dari negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tidak boleh lagi mengadili untuk kedua kalinya atas kejahatannya itu. Ini sesuai dengan asas ne/non bis in idem yang merupakan salah satu asas hukum pidana yang sudah diakui secara universal.

Masalah inilah yang kemudian menimbulkan konflik atau pertautan yurisdiksi kriminal. Konflik yurisdiksi kriminal dalam hukum pidana (internasional) relatif lebih mudah penyelesaiannya, yakni jika dua atau lebih negara memiliki yurisdiksi kriminal atas satu atau lebih jenis kejahatan.

67

Kerjasama internasional yang lain adalah tentang prosedur pengajuan permintaan untuk pengekstradisian orang yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta dan prosedur pemberitahuan atas dikabulkan ataupun

66

Ibid, hal. 65.

(19)

ditolaknya permintaan negara peminta oleh negara diminta yang semua itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik sebagai pertanda bahwa masalah ekstradisi adalah masalah antar negara. Jika permintaan dikabulkan, maka dilanjutkan dengan proses penyerahannya oleh negara diminta kepada negara peminta, setelah lebih dahulu ditentukan tentang tempat dan waktu penyerahannya maupun persyaratan-persyaratan lainnya, demikian pula mengenai pejabat negara peminta yang akan menerima dan pejabat negara diminta yang akan menyerahkannya serta sarana transportasi yang digunakan.

Kerjasama dengan negara lainnya lagi adalah tentang alat-alat bukti yang terkait dengan kejahatan yang dilakukan dan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta ataupun menyerahkannya, yang boleh jadi alat-alat bukti tersebut ada atau berada di wilayah negara diminta, tetapi sangat dibutuhkan sebagai alat bukti oleh negara peminta. Demikian juga dengan harta benda milik pribadinya, seperti pakaian, perhiasan, uang tunai, dan lain-lain yang harus tetap diperlakukan sesuai dengan hukum nasional dari kedua pihak. Dalam prakteknya, keduanya itu dapat disertakan dalam proses penyerahan orang yang diminta walaupun tidak selalu, sehingga negara diminta disamping menyerahkan orangnya dapat pula disertai dengan menyerahkan alat-alat bukti itu berupa benda-benda bergerak yang tidak terlarang untuk di bawa ke luar wilayah negara diminta dan yang secara teknis dan konkrit dapat diserahkan serta harta benda milik pribadinya kepada negara peminta.68

68

Ibid, hal. 66.

(20)

sesuai dengan hukum nasionalnya. Sedangkan negara diminta sudah tidak lagi memikul tanggung jawab.

Ekstradisi adalah suatu pranata hukum yang dilakukan berdasarkan perjanjian. Perjanijan yang dimaksud adalah perjanjian (Treaty) yang diadakan oleh satu negara dengan negara lain. Dalam hal belum terdapat perjanjian maka dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Masalah ekstradisi sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah yang sederhana, karena terdapat syarat dan prosedur yang rumit dalam pelaksanaan ekstradisi yang harus dipatuhi oleh negara-negara yang terikat pada perjanjian ekstradisi tersebut. Dalam ekstradisi terdapat azas-azas yang menjadi landasan bagi peraturan dan penerapan ekstradisi, yang harus dihormati tiap negara, oleh karena itu pemahaman tentang azas-azas ekstradisi ini merupakan suatu keharusan bagi penerapan ekstradisi.69

Azas-azas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi juga tidak jauh berbeda dari azas-azas ekstradisi pada umumnya. Ekstradisi pertama-tama merupakan masalah antar negara dan oleh karena itu pengaturannya terdapat dalam hukum internasional, khususnya dalam bentuk perjanjian internasional. Disamping itu, dalam batas-batas tertentu ekstradisi juga merupakan masalah domestik negara-negara dan oleh karenanya diatur di dalam hukum nasional, khususnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi.

(21)

Adanya perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi, menunjukkan bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu ekstradisi sebagai suatu pranata hukum secara resmi telah diakui dan diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Selain itu didalam suatu perjanjian ekstradisi juga perlu dibuat suatu daftar kejahatan yang dapat mencantumkan kejahatan-kejahatan apa saja yang dapat diekstradisi, yang pada umumnya adalah kejahatan-kejahatan berat. Sedangkan praktek pelaksanaan ekstradisi di masing-masing negara berbeda sesuai dengan hukum nasional masing-masing, ada negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan tanpa ada perjanjian ekstradisi sebelumnya, namun ada juga yang menolak dengan alasan tidak terdapatnya perjanjian ekstradisi.70

70 Ibid.

(22)

Setelah menanti 28 tahun, perjanjian ekstradisi RI dan Singapura ditandatangani Jumat (27/4/2007). Selain perjanjian ekstradisi, juga akan ditandatangani perjanjian kerja sama pertahanan antardua negara. Penandatanganan kedua perjanjian itu akan dilakukan di Istana Tampaksiring, Bali, oleh Menlu RI dan Menlu Singapura, disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Perjanjian ekstradisi tersebut memberikan harapan kepada Indonesia untuk dapat memulangkan para penjahat ekonomi seperti koruptor, pencuci uang, dsb. Perjanjian ini membuka babak baru dalam hubungan RI-Singapura.71

Penandatanganan perjanjian ekstradisi telah lama dinanti-nantikan, terutama oleh Indonesia yang merasa dirugikan oleh Singapura yang bersikap mengulur-ulur waktu saat Indonesia mengajukan usul pengembalian para kriminal ekonomi. Indonesia pertama menggagas perjanjian itu pada 1979, namun baru 28 tahun kemudian hal tersebut benar-benar terwujud. Penolakan Singapura itu menjadi salah satu kerikil yang mewarnai hubungan baik keduanya. Adalah hal yang sangat menarik, setelah 28 tahun Singapura bersikeras menolak perjanjian ekstradisi, apakah hal yang membuat negara itu tiba-tiba berubah pikiran?72

Apalagi bila mengingat baru-baru ini terjadi ketegangan hubungan antara kedua negara. Ketegangan hubungan RI-Singapura itu muncul saat Indonesia melarang ekspor pasir ke Singapura. Keputusan Indonesia menghentikan penjualan pasir ke Singapura tersebut merupakan salah satu cara menekan

Wardhani, diakses tanggal 3-8-2010.

(23)

Singapura agar negara itu bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi yang selama ini diabaikan negara kota tersebut.

Selama ini Singapura selalu menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Faktor pasir itu jelas menyumbang peranan penting sebagai penekan terhadap Singapura untuk menandatangani perjanjian tersebut. Singapura merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara itu atas aset pihak asing.73

Menghadapi tuntutan tersebut, Singapura menyatakan adalah tanggung jawab Indonesia untuk menyelesaikan sendiri urusannya dengan para koruptor itu. Indonesia menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura. Negara itu memetik keuntungan besar dengan masuknya uang haram yang dilarikan para penjahat ekonomi tersebut. Memang benar pencucian uang adalah masalah internal Indonesia. Namun, Indonesia berharap kerja sama Singapura karena sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdiksi hukum negara kita.74

Ketidaksediaan Singapura bekerja sama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi mengganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara. Kesediaan Singapura tidak lepas dari beberapa faktor yang menguntungkan kedua belah pihak, terutama Singapura. Perjanjian ekstradisi itu menyangkut 42 butir tindak pidana.

73 Ibid.

(24)

Beberapa tindak pidana yang akan masuk dalam perjanjian ekstradisi, antara lain, korupsi, pencucian uang, dan sejumlah kejahatan transnasional yang diperjuangkan selama ini. Dengan keengganan Singapura bekerja sama dengan negara-negara tetangganya yang merasa menjadi korban kejahatan yang dilakukan para kriminalnya yang berlindung di Singapura, maka predikat good governance

Singapura yang bersih dan tidak korup dipertaruhkan. Tidak ada pilihan lain bagi Singapura untuk menerima tawaran penandatanganan perjanjian ekstradisi.75

Ada hal-hal krusial yang harus dipertimbangkan Indonesia dalam perjanjian tersebut. Apakah sistem hukum Singapura dalam hal ekstradisi dapat secara efektif mengembalikan para kriminal ekonomi Indonesia? Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan mengejar materi namun kehilangan substansi dari perjanjian yang sudah lama kita perjuangkan itu. Materinya adalah penerimaan Singapura untuk menandatangani perjanjian itu, substansinya adalah efektivitas implementasi perjanjian tersebut yang berdampak pada pengembalian Namun ada hal yang perlu diingat, sekalipun perjanjian tersebut sudah ditandatangani masing-masing menteri luar negeri, kesepakatan tersebut tidak serta merta dapat langsung dilaksanakan. Perjanjian ekstradisi itu harus diratifikasi oleh parlemen masing-masing negara, dalam hal ini oleh DPR RI. Proses ratifikasi dari parlemen membutuhkan waktu lama. Perlu kesabaran dari pihak RI yang lebih membutuhkan perjanjian itu dibandingkan dengan pihak Singapura.

(25)

para penjahat ekonomi itu dan penciptaan clean government di tanah air. Artinya, karena sistem hukum yang berbeda antara RI dan Singapura, perjanjian ekstradisi itu tidak efektif untuk mengembalikan para penjahat ekonomi tersebut ke Indonesia. Kita juga berharap bahwa Indonesia tidak memberikan konsesi terlalu besar kepada Singapura yang berdampak negatif pada kepentingan nasional dan terancamnya kedaulatan negara.

Perjanjian ekstradisi itu diharapkan bisa menjaring para koruptor dan para pelaku pencucian uang. Kembalinya mereka ke Indonesia diharapkan dapat mengembalikan aset nasional yang saat ini mengendap di Singapura. Dalam kaitan ini, masalah korupsi dan segala hal yang bersangkut paut dengan pelarian uang haram tersebut adalah masalah internal Indonesia.76

Ratifikasi Perjanjian maritim Indonesia (RI) – Singapura oleh DPR RI perlu menunggu ratifikasi yang sama terhadap Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura. Nampaknya, batas laut ini bagi Singapura sangat penting. Sementara bagi kita perbatasan laut itu penting, tapi ekstradisi dengan Singapura jauh lebih penting lagi, karena terkait dengan penyelamatan aset dana Indonesia yang dibawa lari ke Singapura oleh para koruptor dan pelaku pencucian uang.

77

Dalam hal ini terkait langsung juga dengan amanat Reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kita perlu perjuangan hal tersebut. Itu pun sejalan dengan semangat zero corruption yang sudah diterapkan

76 Ibid.

(26)

oleh Singapura. Sehingga seharusnya tidak ada alasan yang mendasar bagi Singapura untuk menolak perjanjian ekstradisi tersebut.78

78 Ibid.

Kalau kita mengkaitkan dua ratifikasi tersebut, hal itu pun pernah dilakukan Singapura pada saat DCA (Defence Cooperatif Agreement) antara RI dengan Singapura yang ditolak DPR periode lalu. Maka Singapura pun membalas untuk tidak bersedia meratifikasi perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura jika tidak disahkan bersama-sama dengan pengesahan DCA. Saya khawatir jika tidak diratifikasi bersamaan, maka Indonesia akan kehilangan “bargaining” dengan Singapura untuk meratifikasi perjanjian Ekstradisi tersebut.

Upaya perundingan perjanjian ekstradisi RI-Singapura telah dimulai sejak lebih kurang 30 tahun lalu. Perjanjian bercukup alot karena masing-masing pihak ingin mendapatkan perjanjian yang tidak merugikan kedua belah pihak dan sejalan dengan kerangka hukum nasional. Ekstradisi ini pada hakekatnya merupakan salah satu implementasi dari konvensi internasional anti korupsi dan pencucian uang dimana Indonesia telah meratifikasi, sementara Singapura baru menandatangani tetapi belum meratifikasi.

(27)

Perjanjian ekstradisi RI-Singapura pada hakekatnya adalah perjanjian dimana setiap pihak sepakat untuk mengekstradisi kepada pihak lainnya, dimana setiap orang yang ditemukan berada di wilayah pihak diminta dan dicari oleh pihak peminta untuk tujuan penuntutan (diartikan termasuk penyidikan) atau penerapan pelaksanaan hukuman atas suatu kejahatan yang dapat diekstradisikan yang dilakukan dalam yurisdiksi pihak peminta.

Poin-poin yang sangat penting dalam perjanjian ini adalah:79

1) Jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan adalah kejahatan yang ancaman pidananya sekurang-kurangnya 2 tahun dan memenuhi kriteria “double criminality” (kejahatan yang diakui oleh hukum kedua negara). Terdapat 30 jenis kejahatan yang memenuhi kriteria ini.

2) Dari sejumlah tindak pidana yang diekstradisikan diantaranya termasuk tindak pidana ekonomi yaitu korupsi, penyuapan, pemalsuan uang, kejahatan perbankan (perolehan kredit atau property melalui penipuan terhadap bank), pelanggaran hukum perusahaan, kepailitan dan pencucian uang hasil korupsi.

3) Selain 30 jenis kejahatan perjanjian ini juga menganut “open system” yang terbatas. Artinya ketigapuluh satu daftar tersebut tidak bersifat tertutup dan memungkinkan adanya penambahan daftar tindak pidana baru, khususnya jenis-jenis kejahatan baru.

79

(28)

4) Kedua belah pihak sepakat untuk tidak mempermasalahkan perbedaan kualifikasi kejahatan ataupun unsur-unsur kejahatan sepanjang hakekat keseluruhan kejahatan tersebut diakui oleh hukum kedua negara.

5) Perjanjian ini diberlakukan surut (retroaktif) dan dapat mencakup tindak kejahatan-kejahatan yang dapat diekstradisikan 15 tahun sebelum perjanjian ini berlaku setelah proses ratifikasi dilakukan parlemen kedua negara.

6) Perjanjian ini dapat menjangkau pelaku tindak kejahatan kedua negara yang melarikan diri dari wilayah jurisdiksi kedua negara tersebut. Dalam kaitan ini, disepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.

Perjanjian menentukan bahwa negara diminta dapat menolak permintaan, apabila buronan tersebut adalah warga negaranya. Namun hal ini tidak berlaku untuk kejahatan terorisme dan penyuapan serta kejahatan lain terkait korupsi. Dalam keadaan tertentu (urgen cases), penangkapan sementara dapat dilakukan atas permintaan negara peminta sejauh terdapat bukti-bukti yang memadai untuk melakukan penangkapan buronan yang dicari.

Landasan untuk melakukan ekstradisi bagi tersangka atau terdakwa adalah:80

1) Untuk Singapura apabila perkara tersebut telah memenuhi unsur “prima facie” (suatu perkara memenuhi syarat untuk limpahkan ke pengadilan)

80

tanggal 3-8-2010.

(29)

2) Untuk Indonesia apabila telah dipenuhi bukti yang cukup

3) Sedang untuk terpidana, ekstradisi dapat dilakukan apabila telah ada putusan pengadilan di negara peminta

4) Untuk “in absentia”, perjanjian ini mengakui putusan yang dijatuhkan sepanjang memenuhi persyaratan dimana terdakwa sebelumnya memiliki kesempatan untuk hadir dalam persidangan dan apabila diserahkan ia memiliki hak untuk diadili kembali dengan kehadirannya (menunjuk pada hak untuk mengajukan PK).

(30)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

(31)

pidana menurut hukum Indonesia. Adanya proses pencucian uang dibagi dalam 3 tahap, yaitu penempatan (placement), pelapisan (layering), dan penggabungan (integration).

(32)

B. Saran

1. Ketentuan dalam tindak pidana pencucian uang sebaiknya lebih disempurnakan agar para pelaku kejahatan tidak dapat lolos dari jeratan hukum. Dengan disempurnakannya ketentuan dalam undang-undang tersebut dapat mengidentifikasi masuknya dana dalam sistem keuangan, pembawaan uang tunai melewati batas negara, transfer sistem keuangan, transfer dari sistem keuangan ke luar sistem keuangan, pengambilalihan saham atau aset lainnya, penggabungan perusahaan, dan pembentukan kelompok usaha.

(33)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Perumusan Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003

1. Transaksi Keuangan yang Mencurigakan

Transaksi adalah salah satu unsur pokok money laundering, sedangkan unsur pokok lainnya adalah harta kekayaan dan perbuatan melanggar hukum. Transaksi menurut Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 adalah:

“Seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk

kegiatan pentransferan dan atau pemindahbukuan dan yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan”.

Transaksi menurut kamus,33

Awal mula adanya suatu transaksi adalah merupakan pertukaran kebutuhan hidup antar manusia yang lainnya disebut barter, barter terjadi ribuan tahun lalu di mana satu barang langsung ditukarkan dengan barang lain, yang makin lama berkembang. Salah satu alat tukarnya menjadi uang. Ide tentang uang

persetujuan tukar menukar antara dua pihak. Dari uraian di atas maka transaksi adalah suatu kejadian atau kegiatan, namun uraian di atas menguraikan kejadian tersebut pada saat zaman modern sekarang yang dinamakan suatu transaksi.

33

(34)

berasal dari ribuan tahun lalu sebelum adanya kertas atau alat cetak, yaitu beberapa objek benda dapat diberi nilai dan digunakan dalam sistem perdagangan kemudian nilai tersebut dibuat dalam bentuk uang saat ini sedangkan pada zaman dulu uang dapat berupa benda bukan kertas seperti sekarang yang dinyatakan dalam ukurannya, misalnya pada zaman Romawi memakai garam, kemudian memakai koin tembaga, perak, emas yang dibentuk seperti kapal namun mempunyai ukuran nilai yang berbeda kemudian saat ini digunakan dari kertas yang mempunyai nilai.34

Pada tahun 1967 seorang perompak lautan bernama Henry Every, dalam karirnya merompak setengah dunia lautan telah dijelajahi, pada perompakan terakhirnya Henry Every merompak kapal Portugis bernama Gung-i-Suwaie, mereka merompak kekayaan berupa berlian senilai £325.000 poundsterling atau dalam kurs sekarang setara Rp5.671.250.000 (₤1=Rp17.450) kemudian Henry Every dan anak buahnya memutuskan untuk membagi harta hasil rampokannya dan meninggalkan dunia perampokan kelautan selama-lamanya. Henry Every akhirnya menetap di sebuah kota kecil Devanshire di Bideford sebuah tempat dengan tradisi kelautannya yang kuat. Henry mengalihkan kekayaannya pada perdagangan Bideford, Henry hidup dalam kemiskinan bertahun-tahun.35

Pada saat Henry mengalihkan kekayaannya pada perdagangan Bideford adalah juga merupakan semacam perompak di daratan yang sama ahlinya dengan Henry saat merompak di laut, dengan adanya transaksi tersebut maka para pedagang adalah juga merupakan pelaku pencucian uang yang ahli dalam

34

Garnasih Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal 54.

(35)

transaksi maka pencucian uang telah ada dengan suatu transaksi sejak tahun 1697. Dalam kenyataan tersebut terdapat suatu pertukaran yaitu barang dengan uang, metode-metode tersebut adalah pertukaran atau sistem transaksi, apabila sistem transaksi tersebut memakai uang tunai maka disebut sistem transaksi tunai, kemudian berkembang melalui catatan-catatan, cek, surat jual beli, akta, pembukuan, menggunakan bank, institusi keuangan, lembaga keuangan, hasilnya adalah sistem transaksi usaha atau transaksi finansial (keuangan) yang lebih aman, memberikan catatan terperinci dan permanen secara luas digunakan dalam usaha di manapun.36

Transaksi yang mencurigakan atau suspicious transaction, merupakan suatu indikasi cara-cara dasar adanya kegiatan pencucian uang, satu situasi transaksi mencurigakan mungkin tidak mencukupi untuk menunjukkan bahwa pencucian uang telah terjadi. Suatu kombinasi dari situasi-situasi transaksi mencurigakan tersebut dapat menjadi indikasi adanya transaksi mencurigakan yang merupakan pencucian uang.

37

a) Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan.

Transaksi keuangan mencurigakan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, pada Pasal 1 butir 7 adalah:

b) Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini atau

36

Garnasih Yenti , Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Fenomena Baru di Indonesia dan Permasalahannya, Makalah Seminar Sosialisasi, Medan, 2004, hal. 27.

37

(36)

c) Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana.

2. Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang

Sanksi tindak pidana pencucian uang diatur dalam Bab II Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 3 diterangkan bahwa,

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:

a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri atau atas nama pihak lain;

e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;

f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;

g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;

h. menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patuit diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Dalam Pasal 5 dikatakan bahwa,

(37)

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi.

Dalam Pasal 6 dikatakan bahwa,

(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan;

Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia

Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

Ketentuan dalam Pasal 6 ayat 2 mengatakan bahwa tidak berlaku bagi PJK yang wajib menyediakan laporan kepada PPATK untuk:

a) Transaksi Keuangan Mencurigakan;

b) Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilainya yang setara, baik dilakukan dalam sekali transaksi maupun beberapa transaksi.

(38)

3. Subyek dan Hasil Tindak Pidana di Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Subyek tindak pidana pencucian uang yaitu orang/manusia dan korporasi. Dijelaskan bahwa sebagai orang perseorangan atau korporasi, sehingga tanggung jawab hukum pada umumnya yang biasanya berada pada seseorang akan bertambah luas menjadi korporasi, apabila kita lihat kepada tangung jawab perorangan telah dilewati dengan melengkapinya dengan ketentuan di luar KUHP. Sedangkan korporasi seperti tertera dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus atas nama korporasi maka penjatuhan pidana dilakukan terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, dengan demikian korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

(39)

bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.38

Rumusan delik dalam hukum pidana menunjukkan apa yang harus dibuktikan, delik atau unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah unsur-unsur, delik tertulis yang berarti persyaratan tertulis untuk dapat dipidana semua unsur-unsur harus dituduhkan dan dibuktikan. Hasil tindak pidana adalah unsur-unsur yang harus dibuktikan, sedangkan ketentuan umum adalah memuat penjelasan-penjelasan resmi atau tertulis di dalam undang-undang tentang istilah atau kata-kata yang dipakai, apabila kata-kata-kata-kata ini terdapat dalam ketentuan pidana maka kata-kata inilah yang merupakan delik atau unsur-unsur pidana, sehingga semua kata-kata yang terdapat dalam ketentuan pidana merupakan unsur-unsur atau delik yang harus dibuktikan dan dituduhkan, untuk melihat suatu ketentuan pidana biasanya terdapat ancaman pidana.39

Karena itu dalam setiap undang-undang terdapat bagian-bagian, biasanya yang paling depan adalah ketentuan umum, kemudian bagian-bagian lain yang berupa isi dari undang-undang yang kemudian

Rajagukguk, diakses pada tanggal 3 Agustus 2010.

39

(40)

diakhiri dengan ketentuan penutup, sebelum ketentuan penutup ada undang-undang yang memuat ketentuan pidana, namun ada juga yang tidak memuat ketentuan pidana. Apabila memuat ketentuan pidana ini maka ketentuan pidana inilah yang harus dibuktikan, tetapi ada juga yang tidak ditulis dengan jelas ketentuan pidana sehingga tidak mencantumkan kata ketentuan pidana. Tetapi akan dapat dilihat apakah unsur-unsur tersebut merupakan ketentuan pidana atau unsur-unsur yang harus dibuktikan atau bukan yaitu bila di akhir dari kata-kata memuat ancaman hukuman atau ancaman pidana maka itulah unsur-unsur yang harus dibuktikan.

Hasil tindak pidana dalam uraian di atas terletak dalam ketentuan umum yang berisi penjelasan asal muasal hasil tindak pidana tersebut, dalam uraian tersebut dijelaskan hasil pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan dan lain-lain di dalam pembuktian nantinya hasil tindak pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan, karena hasil tindak pidana nantinya akan berada pada pasal yang memuat ancaman hukuman, sehingga tindak pidana darimana hasil pidana itu diperoleh (tindak pidana asal atau semula), tidak tercantum dalam unsur-unsur delik pada pasal-pasal yang memuat ancaman pidana sehingga tindak pidana asal (predicate crime) tidak perlu dibuktikan.40

40

Ibid, hal 22.

(41)

maka barulah ada tindak pidana pencucian uang. Di sinilah kekhususan dari undang-undang tindak pidana pencucian uang karena pada pasal dalam bab ketentuan umum inilah dimulainya adanya salah satu unsur pokok pidana pencucian uang yaitu hasil tindak pidana berupa harta kekayaan.

B. Perbuatan Pidana Lain yang Termasuk Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

Perbuatan pidana ini tertera dalam Bab III Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dikatakan,

“Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Dalam Pasal 9 dikatakan,

“Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.

Dalam Pasal 10 dikatakan,

“PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.

(42)

bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

Dalam Pasal 10A dikatakan,

(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.

(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.

(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Yang dimaksud dengan sumber keterangan dalam ayat (2) diuraikan dalam Penjelasan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu,

“Yang dimaksud dengan ‘sumber keterangan’ dalam ketentuan ini adalah Penyedia Jasa Keuangan yang menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK. Kewajiban untuk merahasiakan sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan di persidangan pengadilan dimaksudkan untuk mendorong Penyedia Jasa Keuangan melaksanakan kewajiban penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan”.

C. Proses Pencucian Uang 1. Tahap Penempatan (Placement)

(43)

system). Karena uang itu sudah masuk ke dalam sistem keuangan perbankan, berarti uang itu juga telah masuk ke dalam sistem keuangan yang bersangkutan. Oleh karena uang yang telah ditempatkan di suatu bank itu selanjutnya dapat lagi dipindahkan ke bank lain baik di negara tersebut maupun di negara lain, uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan, melainkan juga telah masuk ke dalam sistem keuangan global atau internasional.

Jadi, placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain:41

a) Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.

b) Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan jasa keuangan lain sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.

c) Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.

d) Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.

e) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi atau membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan jasa keuangan lain.

41

(44)

Dengan “placement” dimaksudkan “the physical disposal of cash proceeds derived from illegal activity”42 yang berarti penjualan fisik tunai berproses diperoleh dari aktivitas yang tidak sah. Dengan perkataan lain, fase pertama dari proses pencucian uang haram ini ialah memindahkan uang haram dari sumber di mana uang itu diperoleh untuk menghindarkan jejaknya. Atau secara lebih sederhana agar sumber uang tersebut tidak diketahui oleh pihak penegak hukum.43

Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.

2. Tahap Pelapisan (Layering)

44

Bentuk kegiatan ini antara lain:

Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut.

45

a) Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan/atau antar wilayah/ negara. b) Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi

yang sah.

c) Memindahkan uang tunai lintas batas negara, baik melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.

42

R.A. Senja, Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Difa Publisher, Jakarta, 1998, hal. 827

43

Munir Fuady. Hukum Perbankan Modern, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2003, hal. 35.

44

NHC Siahaan, Money Laundering, Pustaka sinar Harapan, 2003, Jakarta, hal. 14.

45

(45)

Jadi dengan layering, pekerjaan dari pihak pencuci uang (launderer) belum berakhir dengan ditempatkannya uang tersebut ke dalam sistem keuangan dengan melakukan placement, seperti diterangkan di atas. Jumlah uang haram yang sangat besar yang ditempatkan di suatu bank, tetapi tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu akan sangat menarik perhatian otoritas moneter negara yang bersangkutan, yang pada gilirannya akan menarik perhatian para penegak hukum. Oleh karena itu, setelah dilakukan placement maka uang tersebut perlu dipindahkan lagi dari suatu bank ke bank yang lain dan dari negara yang satu ke negara yang lain sampai beberapa kali, yang sering pelaksanaannya dilakukan dengan cara memecah-mecah jumlahnya sehingga dengan pemecahan dan pemindahan beberapa kali itu asal-usul uang tersebut tidak mungkin lagi dapat dilacak oleh otoritas moneter atau oleh orang penegak hukum.

Sering kali nasabah penyimpan dana yang tercatat di bank justru bukan pemilik yang sesungguhnya dari uang tersebut. Nasabah penyimpan dana itu mungkin sudah merupakan lapis yang kesekian apabila diurut dari sejak pangkalnya yaitu pemilik yang sesungguhnya dari uang yang ditempatkan itu. Dari urutan mereka yang dilalui oleh pemilik yang sesungguhnya dari uang itu sampai pada lapis yang terakhir yaitu nasabah penyimpan dana yang secara resmi tercatat di bank tersebut maka pemakaian lapisan-lapisan yang demikian itu dapat pula disebut layering.

(46)

nama. Hubungan antara placement dan layering adalah jelas. Setiap prosedur

placement yang berarti mengubah lokasi fisik atau sifat haram dari uang itu adalah juga salah satu bentuk layering. Strategi layering pada umumnya meliputi, antara lain, dengan mengubah uang tunai menjadi aset fisik seperti kendaraan bermotor, barang-barang perhiasan dari emas atau batu-batu permata yang mahal, atau real estate, atau instrumen keuangan seperti money orders, cashiers cheques or securities and multiple electronic transfers of funds to so called ‘bank secrecy

havens’ , such as Switzweland or the Cayman Islands”.46

Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah baik dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam bentuk kekayaan materiil atau keuangan dipergunakan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering

maupun integration sehingga penanganannya pun menjadi semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building) secara sistematis dan

3. Tahap Penggabungan (Integration)

46

(47)

berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang bergantung dari kebutuhan pelaku tindak pidana.

Jadi, dalam integration, begitu uang tersebut telah dapat diupayakan proses pencuciannya berhasil melalui cara layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah menjadi halal (clean money) yang digunakan untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.

Dengan integration dimaksudkan ketetapan hak kekuasaan nyata untuk dengan jahatnya memperoleh kekayaan. Jika proses lapisan telah berhasil menggantikan, rencana pengintegrasian menempatkan yang dicuci berproses kembali ke dalam kegiatan ekonomi yang sedemikian sehingga kembalinya sistem keuangan menjadi bisnis normal. Dengan perkataan lain, si penjahat harus mengintegrasikan dana dengan cara legitimasi ke dalam proses ekonomi yang normal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyampaikan laporan palsu yang mengangkut pinjaman uang juga melalui pendapatan dan faktur korporasi atau lebih sederhananya melalui suatu perpindahan elektronik menyangkut dana dari suatu rahasia bank tempat berlindung kembali ke negeri asal uang.

(48)

menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi dan efisiensi transaksi. Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai money laundering adalah:

a. United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances (December 20, 1988);

b. Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No. 8, 1990); dan

c. European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering (June 10,1991).47

Proses pencucian uang menurut Anwar Nasution48

Proses pencucian uang dilakukan melalui empat proses

, ada empat faktor yang dilakukan dalam proses pencucian uang. Pertama, baik merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu. Kedua, mengubah bentuknya sehingga mudah dibawa kemana-mana. Ketiga, merahasiakan proses pencucian uang itu sehingga menyulitkan pelacakannya oleh petugas hukum. Keempat, mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.

49

47

Ibid, hal. 30

48

Anwar Nasution, Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 3, tahun 1998, hal.12-13.

49 Ibid.

(49)

dari permukaan. Dalam proses ini, uang hasil kejahatan ditempatkan dan dikonsolidasikan dalam bentuk dan tempat yang sulit oleh sistem pengawasan petugas hukum. Karena menggunakan sistem pembayaran yang sah, proses “pembenaman” uang yang sah dilakukan melaui rekening Koran, wesel pos (postal orders) traveler’s check, surat berharga atas unjuk, ataupun instrumen keuangan lainnya yang mudah dikonversi ke dalam bentuk uang tunai dan tabungan pada sistem perbankan.

Instrumen lain yang sering digunakan menutupi pemilik ataupun sumber uang haram adalah penggunaan transaksi kegiatan yang memang sulit dilacak dan dipajaki. Kesukaran itu mungkin bersumber dari sifat transaksi daripada kegiatan tersebut yang tidak memerlukan identitas baik pembeli maupun penjual komoditi yang diperjualbelikan. Berapa besarnya volume ataupun nilai transaksi sulit ditaksir karena transaksi bersifat “cash and carry” ataupun karena tidak ada standar yang baku. Pelacakan semakin sulit dilakukan jika transaksi lebih banyak menggunakan uang tunai. Kegiatan transaksi uang secara tunai tersebut, antara lain, seperti perdagangan eceran. Termasuk di dalamnya seperti restoran, bar dan klab malam, persewaan alat-alat hiburan ataupun perjudian, serta pelacuran yang dilegalisasi. Perdagangan batu mulia serta permata, barang antik, uang ataupun perangko tua yang tidak memiliki standar harga yang baku juga termasuk dalam kelompok ini.

(50)

yang dikontrol ketat oleh pemerintah. Dalam sistem tradisional itu baik uang maupun barang berharga dijual atau diagunkan oleh pemiliknya kepada pemegang emas ataupun valuta asing di suatu tempat ataupun di suatu negara. Pada gilirannya pedagang tersebut memberikan surat bukti penyimpanan baik uang maupun barang berharga itu. Surat bukti tersebut dapat diuangkan kembali oleh pemegangnya pada jaringan yang dimiliki oleh pedagang emas dan valuta asing yang mengeluarkan surat berharga itu di tempat lain di mancanegara. Biaya transaksi yang dipungut oleh jaringan pedagang seperti itu lebih mahal daripada biaya yang dipungut oleh sistem perbankan. Sistem seperti ini disebut “uang terbang.”

Pada tahap kedua, uang haram yang telah dibenamkan di bawah “permukaan air” tersebut diberi sabun dan diacak. Proses penyabunan dan pengacakan dilakukan baik dengan memanfaatkan Undang-Undang Kerahasiaan Bank maupun celah-celah peluang hukum, sistem politik yang “busuk”, kelemahan administrasi serta sistem pembayaran ataupun sistem perbankan yang ada di berbagai negara. Dengan demikian, peranan para ahli hukum serta pengacara, konsultan dan akuntan sangat menonjol dalam proses tersebut.50

Di samping itu, uang haram dipindah-pindahkan dari satu rekening ke rekening lain, baik di dalam negeri maupun melalui transaksi antarnegara. Tujuan transaksi tersebut adalah untuk semakin menutup identitas pemilik yang sebenarnya ataupun sumber uang haram tersebut. Untuk melayani transaksi semacam itu, pemilik uang haram membentuk prasarana jaringan transaksi

50

(51)

internasional yang sangat kompleks. Prasarana dapat berupa perusahaan gadungan yang sengaja dibentuk dan beroperasi di mancanegara, apakah dimiliki sendiri oleh pemilik uang haram ataupun cukup dapat dikontrol olehnya. Prasarana tersebut termasuk jaringan pedagang emas dan valuta asing pada sistem “uang terbang”. Transaksi juga dapat dilakukan melalui rekening perwalian (trust), baik milik pengacara, akuntan, maupun klien pemilik uang haram.

Tahap ketiga, proses pencucian uang haram disebut sebagai proses “pengeringan” atau repatriasi dan integrasi. Pada tahap ini uang haram telah “dicuci” bersih dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk yang menurut aturan hukum, telah berubah menjadi legal dan sudah membayar kewajiban pajak.51

Pada tahap keempat, tiap tahap proses pencucian uang dan besar kecilnya jaringan prasarana yang diperlukan untuk mendukung bergantung pada volume uang haram yang akan di-”putihkan”. Sebagai contoh, uang haram jumlah besar hasil kejahatan kelompok gangster Al Capone, diputihkan oleh Meyer Lansky, baik melalui perjudian legal. Untuk keperluan tersebut, kelompok Al Capone mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan di Las Vegas dan Nevada, dua negara bagian yang melegalisasi bisnis seperti itu. Dalam sekejap mata, Meyer Lansky membuat Havana (pada masa pemerintahan Presiden Fugencio Batista) menjadi pusat perjudian, hiburan dan “offshore banking” adalah untuk menjadi pelabuhan tempat transit uang haram. setelah Cuba jatuh ke tangan

(52)

rezim komunis di bawah Presiden Fidel Castro, Meyer Lansky pindah ke Bahama yang dikembangkannya sebagai pusat perjudian dan hiburan.52

Pada awalnya negara tempat penyimpanan uang haram adalah Swiss, Luxembourg, Lichtenstein, Hongkong dan Singapura. Daftar ini semakin bertambah dengan masuknya Panama, Antile Belanda dan Cayman Islands yang sekarang nyatanya paling disukai oleh bank-bank, baik swasta maupun BUMN. Selain menawarkan bebas pajak, negara-negara miskin tidak memiliki infrastuktur yang memadai untuk mengawasi bank ataupun transaksi keuangan masyarakat sehingga merupakan tempat yang sangat ideal bagi kegiatan pemutihan uang.

53

52

Ibid, hal. 15.

53

(53)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik pencucian uang bukan hal asing lagi di dunia internasional, bahkan dunia telah sepakat untuk mencegah dan memberantasnya dengan cara mengadakan kerjasama internasional dalam berbagai forum. Indonesia mengikuti perkembangan pencucian uang tersebut dengan bergabung dalam badan-badan atau organisasi internasional. Undang-undang Anti Pencucian Uang Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah diundangkan pada tanggal 17 April 2002 melalui Lembaran Negara No. 30 tahun 2002. Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui revisi rancangan undang-undang anti pencucian uang pada tanggal 25 Maret 2002, satu tahun setelah diajukan pertama kali ke DPR pada bulan Juni 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dengan adanya undang-undang tersebut yang pada intinya membuat pencucian uang sebagai suatu tindak terpisah dan tersendiri.1

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 masih mengandung beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar, antara lain: pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur, dan banyaknya unsur yang harus

1

Referensi

Dokumen terkait

Aqueous sodium hydroxide Akueus natrium hidroksida Aqueous barium chloride Akueus barium klorida A White precipitate Mendakan putih Yellow precipitate Mendakan kuning

2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru. Memahami pengetahuan

Mengamankan komunikasi adalah tantangan luas karena meningkatnya ancaman dan serangan yang dilakukan pada keamanan jaringan. Pengetahuan tentang berbagai ancaman dan

Kegiatan pembelajaran secara daring ini pada dasarnya sangat beragam, antara lain dapat dilaksanakan melalui google classroom, zoom, tv edukasi, belajar

[r]

Hasil dari penelitian ini adalah sistem dan prosedur persediaan yang ada pada rumah sakit islam unisma sudah cukup baik untuk mendukung dalam pengendalian intern hal ini

Berdasarkan data yang telah dijabarkan pada dalam hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa para validator sepakat jika perangkat pembelajaran IPA berbasis

Dengan mendapatkan data jumlah material yang harus dikerjakan untuk penanganan lumpur pada main sump , maka dapat diperkirakan lama waktu yang dibutuhkan oleh