• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Penanggulangan Kebakaran Pada Permukiman Padat Perkotaan Studi Kasus Kecamatan Tanjung Balai Utara, Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sistem Penanggulangan Kebakaran Pada Permukiman Padat Perkotaan Studi Kasus Kecamatan Tanjung Balai Utara, Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENANGGULANGAN KEBAKARAN PADA

PERMUKIMAN PADAT PERKOTAAN

Studi Kasus Kecamatan Tanjung Balai Utara,

Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara

TESIS

OLEH

MARIATY PANE

097020014/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ISTEM PENANGGULANGAN KEBAKARAN PADA

PERMUKIMAN PADAT PERKOTAAN

Studi Kasus Kecamatan Tanjung Balai Utara,

Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik

Dalam Program Studi Teknik Arsitektur

Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARIATY PANE

097020014/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : SISTEM PENANGGULANGAN KEBAKARAN PADA PERMUKIMAN PADAT PERKOTAAN

STUDI KASUS KEC.TANJUNG BALAI UTARA, KOTA TANJUNG BALAI PROPINSI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : MARIATY PANE

Nomor Pokok : 097020014

Program Studi : Teknik Arsitektur

Menyetujui Komisi Pembimbing

(A/Prof. Abdul Majid Ismail,B.Sc,B.Arch, PhD) Ketua

(Ir. N. Vinky Rahman, MT) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc)

Dekan,

(4)

Tanggal Lulus: 21 Juli 2011

Telah diuji pada

Tanggal : 21 Juli 2011

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : A/Prof. Abdul Majid Ismail, B.Sc, B.Arch, Ph.D

Anggota Komisi Penguji : 1. Ir. N.Vinky Rahman, MT

2. Ir. Basaria Talarosha, MT

3. Ir. Novrial, M.Eng

(5)

PERNYATAAN

SISTEM PENANGGULANGAN KEBAKARAN PADA PERMUKIMAN PADAT PERKOTAAN

STUDI KASUS KECAMATAN TANJUNG BALAI UTARA, KOTA TANJUNG BALAI PROPINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan,

(6)

ABSTRAK

Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan merupakan fenomena yang selalu terjadi pada negara-negara berkembang. Perbaikan penghasilan dan kualitas hidup menjadi alasan utama masyarakat untuk bermigrasi ke kota. Tidak terkendalinya arus urbanisasi ini berakibat pada berubahnya lahan perkotaan menjadi lingkungan permukiman yang tidak tertata dan kualitas fisik yang tidak layak. Kondisi ini sangat rentan memicu terjadinya kebakaran yang secara materi akan sangat merugikan masyarakat kota. Tesis ini bertujuan untuk melengkapi sistem penanggulangan kebakaran di permukiman padat perkotaan dengan memilih Kota Tanjung Balai sebagai studi kasus.

Pendekatan dilakukan dengan melakukan penelitian pada wilayah studi yang penetapannya dilakukan melalui purposive sampling. Kemudian dilakukan identifikasi terhadap wilayah studi yang mengacu pada rumusan Model Crunch yang mengungkapkan bahwa tingkat resiko bencana kebakaran (R) merupakan penjumlahan atas sumber bahaya (H) dan kerentanan (V) dikombinasikan dengan teori tipologi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang meliputi keberadaan permukiman (KP); kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya (KRAPK); daur hari bertinggal (DHB); aktivitas ekonomi (AE), yang akan dikurangi dengan nilai ketahanan (C) yang dikombinasikan dengan budaya sosial kemasyarakatan (BSK). Tatanan identifikasi dalam mengungkap keberadaan lingkungan permukiman merujuk kepada pemikiran-pemikiran para ahli dan instansi, standarisasi serta peraturan pemerintah untuk mengetahui keberadaan suatu lingkungan permukiman terhadap tingkat resiko kebakaran yang ada.

Variabel-variabel tolok ukur tertentu seperti: sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan terhadap lingkungan permukiman menjadi dasar untuk dilakukan penilaian dengan model Crunch yang didukung dengan rumus Sturges untuk penilaian interval yang ada. Temuan penelitian pada wilayah studi terungkap bahwa wilayah studi memiliki status tingkat resiko bencana kebakaran yang cukup tinggi dengan nilai (-8).

Hasil studi dapat disimpulkan bahwa penanggulangan kebakaran tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas penanggulangan kebakaran seperti armada kebakaran serta personil, titik-titik hidran, rumah sakit yang layak, karena ditemui berbagai kesulitan dalam proses pemadaman kebakaran di wilayah studi yang berupa permukiman tidak tertata dan kualitas fisik bangunan yang rendah. Sistem swadaya penanggulangan bencana kebakaran di lingkungan padat perkotaan ditawarkan sebagai rumusan pemikiran yang diharapkan ideal bagi lingkungan permukiman seperti wilayah studi.

(7)

ABSTRACT

The increase in population in urban areas is phenomenon in developing countries. In search of job opportunities and quality of life becomes the main reason for people to migrate to the city. This uncontrolled urbanization turned urban land into slump neighborhoods that are not organized and poor physical qualities. This condition is very susceptible to trigger fires that materially would be very detrimental to the urban community. The thesis aims to examine the possibility of fire-fighting systems in dense urban settlements of Tanjung Balai.

The research was carried out by taking Tanjong Balai as a study area. To proceed with a study, a purposive sampling was implemented together with the formulation of Crunch Model. Crunch Model revealed that the level of risk of fire (R) is the sum of hazard (H) and vulnerability (V) combined with a theoretical typology of low-income housing in urban communities, including settlements (KP), group of houses on the priorities and needs (KRAPKA), cycle day to stay (DHB) and economic activity (AE); which will be reduced by the value of capacity (C) in combination with the social culture (BSK). Along with this model and combination of other technique as well as standardization and government regulations were also referred to determine the existence of a neighborhood against the existing level of fire risk.

Specific benchmarks variables such as: hazard, vulnerability and capacity to settlements became the basis for an assessment with the Crunch model supported by Sturges’ formula for the assessment of the existing intervals. The study's findings in the study area revealed that it has the status of disaster risk rate of fire is quite high with a value of (-8).

The results of study can be concluded that fire prevention is not enough just to provide fire prevention facilities such as fire fleet and personnel, hydrants, even hospitals, because the difficulties always encountered in the process of fire fighting in the settlements and unorganized physical buildings qualities. A self-help disaster response system is needed in a dense urban environment as Tanjung Balai.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat

Allah SWT atas karunia dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, khususnya dalam

proses penulisan thesis ini. Penulis menyadari bahwa baik dalam pengungkapan,

penyajian dan pemilihan kata-kata maupun pembahasan materi thesis ini masih jauh

dari sempurna. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan

saran, kritik dan segala bentuk pengarahan dari semua pihak untuk perbaikan thesis

ini.

Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih yang tak

terhingga kepada Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc; selaku Ketua Program Studi

Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara. A/Prof. Abdul Majid Ismail,

B.Sc, Ph.D; sebagai Dosen Pembimbing Utama dan Ir.N. Vinky Rahman, MT;selaku

Dosen Pembimbing Kedua, yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikirannya

dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan thesis ini.

Kepada Ir. Basaria Talarosha, MT; Ir. Novrial, M.Eng; dan Achmad Delianur

Nasution, ST, MT, IAI selaku Dosen Pembahas dan Penguji. Para pengelola

Administrasi Program Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara beserta

teman-teman Program Magister Teknik Arsitektur Manajemen Pembangunan Kota

Universitas Sumatera Utara serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

(9)

ini. Hanya doa yang dapat penulis panjatkan semoga Allah SWT berkenan membalas

semua kebaikan Bapak, Ibu, Saudara dan teman-teman sekalian.

Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang

berkepentingan.

Medan, 21 Juli 2011

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mariaty Pane

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/21 Pebuari 1969

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Alamat : Komplek Vetpurn Blok B No. 28 Laut Dendang .

Telepon/HP : 08126452856

Email : mariaty_pane69@yahoo.co.id

Warganegara : Indonesia

Anak Ke - : Sembilan

Nama Ayah : (Alm) Soaduon Pane

Nama Ibu : Sittah Siregar

Nama Suami : Erfin Muftiananto, ST

Nama Anak – Anak : 1. Atikah Rizkiyah

2. Ikhsan Moekhtar

Pendidikan/Tempat/Tahun

SD : SD Negeri 060874 Medan/Medan/1981

SMP : SMP Negeri 11 Medan/Medan/1984

SMU : SMA Negeri 8 Medan/Medan/1987

D-3 : Politeknik USU Medan/Medan/1990

S-1 : Program Studi Teknik Ekstension Fakultas Teknik

Universitas Sumatera Utara/Medan/1998

S 2 (Field of Study) : Magister Teknik Arsitektur

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Sasaran ... 6

1.4 Manfaat Studi ... 7

1.5 Ruang Lingkup Studi ... 8

1.5.1 Pemilihan wilayah studi ... 8

1.5.2 Substansi ... 11

1.6 Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1 Sistem dan Penanggulangan Kebakaran Dalam ‘Makna’ dan Kajian ... 15

(12)

2.1.2 Pengaturan dan penanggulangan bencana secara umum ... 16

2.1.3 Bencana dan resiko ... 21

2.2 Tipologi Perumahan Pemukiman Perkotaan ... 24

2.2.1 Keberadaan permukiman ... 25

2.2.2 Kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya ... 27

2.2.3 Daur hari bertinggal ... 29

2.2.4 Aktivitas ekonomi ... 32

2.2.5 Budaya dan sosial kemasyarakatan (strukturasi) ... 33

2.3 Identifikasi Faktor Teknis Penanggulangan Bencana Kebakaran ... 36

2.3.1 Bahaya (Hazard) ... 36

2.3.2 Kerentanan (Vulnerability) ... 37

2.3.3 Ketahanan (Capacity) ... 40

2.4 Kebakaran ... 45

2.4.1 Proses kebakaran ... 46

2.4.2 Sumber api ... 50

2.4.3 Klasifikasi kebakaran ... 51

2.4.4 Pola meluas kebakaran ... 54

2.4.5 Penanggulangan kebakaran ... 56

2.5 Kesimpulan ... 62

BAB III METODE PENELITIAN ... 69

3.1 Metode Pendekatan Studi ... 69

3.1.1 Populasi dan sampel studi ... 69

3.1.2 Lokasi dan waktu studi ... 76

3.1.3 Bahan dan Alat Studi ... 76

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 76

3.3 Metode Pengambilan Sampel ... 78

3.4 Metode Analisis ... 79

(13)

BAB IV ANALISIS KAWASAN PENELITIAN ... 85

4.1 Gambaran Umum Kota Tanjung Balai ... 85

4.1.1 Sejarah kota Tanjung Balai ... 85

4.1.2 Gambaran umum wilayah penelitian ... 88

4.2 Gambaran Kejadian Kebakaran di Wilayah Kota Tanjung Balai ... 96

4.3 Identifikasi Serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Potensi Sumber Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV) ... 100

4.3.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya kebakaran menurut kondisi pemukiman (KP) ... 100

4.3.2 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya kebakaran menurut Kelompok Rumah atas Prioritas dan Kebutuhan (KRAPK) ... 103

4.3.3 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya kebakaran menurut Daur Hari Bertinggal (DHB) ... 105

4.3.4 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya kebakaran menurut Aktivitas Ekonomi (AE) ... 108

4.3.5 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel potensi sumber bahaya kebakaran di kecamatan Tanjung Balai Utara ... 113

4.4 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Kerentanan Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV) ... 114

4.4.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut Kondisi Pemukiman (KP) ... 114

(14)

4.4.3 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut Daur Hari

Bertinggal (DHB) ... 123

4.4.4 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut Aktivitas Ekonomi (AE) ... 125

4.4.5 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan bahaya kebakaran di kecamatan Tanjung Balai Utara ... 126

4.5 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Ketahanan Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV) ... 127

4.5.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan terhadap terjadinya kebakaran menurut Badan Sosial Kemasyarakatan (BSK) ... 128

4.5.2 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan bahaya kebakaran di kecamatan Tanjung Balai Utara ... 139

4.6 Tingkat Resiko Bencana Kebakaran Kawasan Padat Pemukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara ... 141

4.7 Kesimpulan ... 144

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 146

5.1 Sumber Bahaya dan Kerentanan Kebakaran ... 146

5.1.1 Faktor manusia ... 146

5.1.2 Faktor ruang sebagai wadah bertinggal ... 148

5.2 Rumusan Sistem Penanggulangan Kebakaran ... 150

5.2.1 Aktor bertinggal ... 150

5.2.2 Keberadaan lingkungan pemukiman ... 153

5.3 Zonasi Sistem Swadaya Penanggulangan Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara ... 155

5.4 Kesimpulan ... 157

(15)

6.1 Temuan Studi ... 159

6.2 Kesimpulan ... 161

6.3 Rekomendasi Studi Lanjut ... 164

(16)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Siklus Pengaturan Bencana ... 17

2.2 Model Terjadinya Bencana Menurut Pusat Mitigasi Bencana ITB ... 20

2.3 Faktor Resiko Menurut Sanderson ... 23

2.4 Proses Perpindahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut Dwyer ... 25

2.5 Grafik Ruang Daur Hidup Manusia Menurut Erikson ... 32

2.6 Grafik Ruang Daur Hari Masyarakat Permukiman Padat di Kota ... 32

2.7 Klasifikasi Tipe Masyarakat Menurut Giddens ... 34

2.8 Tetrahedron Api ... 46

2.9 Kurva Suhu Api ... 47

2.10 Identifikasi Penanggulangan Kebakaran Diadaptasi Melalui Rumus Crunch ... 65

3.1 Perkembangan Kerentanan dan Keamanan Dalam Model Crunch ... 70

3.2 Tipologi Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah ... 73

3.3 Lingkup Studi Dalam Penyelesaian Permasalahan Bencana Kebakaran Permukiman Padat di Kota ... 75

3.4 Kerangka Pemikiran ... 84

4.1 Peta Administratif Kota Tanjung Balai ... 90

4.2 Peta Lokasi Wilayah Kota Tanjung Balai di Provinsi Sumatera Utara ... 91

(17)

4.4 Peta Situasi Wilayah Penelitian di Kecamatan Tanjung Balai Utara ... 93

4.5 Peta Kepadatan Ruang Wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara ... 94

4.6 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota III ... 102

4.7 Kondisi Penyediaan Arus Listrik di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV ... 102

4.8 Kondisi Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhannya ... 104

4.9 Lapangan Usaha yang Memicu Terjadinya Kebakaran ... 112

4.10 Rentannya Kualitas Fisik Pemukiman Terhadap Kebakaran ... 115

4.11 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat Tinggal di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III ... 118

4.12 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat Tinggal di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV ... 119

4.13 Kondisi Lingkungan Permukiman Padat Penduduk ... 122

4.14 Fasilitas Armada Kebakaran di Kota Tanjung Balai ... 130

4.15 Kondisi Sumur Dalam di Kelurahan Tanjung Balai Kota IV ... 135

5.1 Alur Sistem Swadaya Penanggulangan Bencana Kebakaran Oleh Relawan Sebagai Aktor ... 152

(18)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Laju Pertumbuhan Kebakaran ... 49

2.2 Klasifikasi Kebakaran ... 52

2.3 Tipe Konstruksi Bangunan Berdasarkan Ketahanannya Terhadap Resiko Kebakaran ... 57

2.4 Variabel Identifikasi Bahaya Kebakaran ... 66

2.5 Variabel Identifikasi Kerentanan Kebakaran... 67

2.6 Variabel Identifikasi Ketahanan Kebakaran ... 69

3.1 Cara Pemberian Nilai Tolok Ukur Pada Variabel Sumber Bahaya, Kerentanan dan Ketahanan Terhadap Bahaya Kebakaran... 83

4.1 Luas Daerah, Banyaknya Rumah Tangga, Penduduk, dan Kepadatan Penduduk per Km² Menurut Kecamatan Tahun 2009 ... 95

4.2 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Selatan Tahun 2009 ... 96

4.3 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Datuk Bandar Tahun 2009 ... 97

4.4 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Datuk Bandar Timur Tahun 2009 ... 97

4.5 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Sei Tualang Raso Tahun 2009 ... 97

4.6 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara Tahun 2009 ... 98

4.7 Kejadian Kebakaran di Kecamatan Teluk Nibung Tahun 2009 ... 98

4.8 Kejadian Kebakaran Menurut Kecamatan Tahun 2009... 99

(19)

4.10 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama seminggu

yang Lalu Menurut Jenis Kelamin dan Lapangan Usaha Utama ... 110 4.11 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu

yang Lalu Menurut Jenis Kelamin dan Status Pekerjaan Utama ... 111

4.12 Penilaian Terhadap Variabel Sumber Bahaya Kebakaran di Kecamatan

Tanjung Balai Utara ... 113

4.13 Penilaian Terhadap Variabel Kerentanan Kebakaran di Kecamatan

Tanjung Balai Utara ... 126

4.14 Penilaian Terhadap Variabel Ketahanan Kebakaran di Kecamatan

Tanjung Balai Utara ... 130

4.15 Hasil Penilaian Relatif Penentu Tingkat Resiko Bencana Kebakaran

di Kecamatan Tanjung Balai Utara ... 141

4.16 Penilaian Relatif Tingkat Resiko Bencana Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara ... 143

5.1 Jumlah Unit Fasilitas Setiap Blok di Kelurahan Tanjung Balai Kota

(20)

ABSTRAK

Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan merupakan fenomena yang selalu terjadi pada negara-negara berkembang. Perbaikan penghasilan dan kualitas hidup menjadi alasan utama masyarakat untuk bermigrasi ke kota. Tidak terkendalinya arus urbanisasi ini berakibat pada berubahnya lahan perkotaan menjadi lingkungan permukiman yang tidak tertata dan kualitas fisik yang tidak layak. Kondisi ini sangat rentan memicu terjadinya kebakaran yang secara materi akan sangat merugikan masyarakat kota. Tesis ini bertujuan untuk melengkapi sistem penanggulangan kebakaran di permukiman padat perkotaan dengan memilih Kota Tanjung Balai sebagai studi kasus.

Pendekatan dilakukan dengan melakukan penelitian pada wilayah studi yang penetapannya dilakukan melalui purposive sampling. Kemudian dilakukan identifikasi terhadap wilayah studi yang mengacu pada rumusan Model Crunch yang mengungkapkan bahwa tingkat resiko bencana kebakaran (R) merupakan penjumlahan atas sumber bahaya (H) dan kerentanan (V) dikombinasikan dengan teori tipologi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang meliputi keberadaan permukiman (KP); kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya (KRAPK); daur hari bertinggal (DHB); aktivitas ekonomi (AE), yang akan dikurangi dengan nilai ketahanan (C) yang dikombinasikan dengan budaya sosial kemasyarakatan (BSK). Tatanan identifikasi dalam mengungkap keberadaan lingkungan permukiman merujuk kepada pemikiran-pemikiran para ahli dan instansi, standarisasi serta peraturan pemerintah untuk mengetahui keberadaan suatu lingkungan permukiman terhadap tingkat resiko kebakaran yang ada.

Variabel-variabel tolok ukur tertentu seperti: sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan terhadap lingkungan permukiman menjadi dasar untuk dilakukan penilaian dengan model Crunch yang didukung dengan rumus Sturges untuk penilaian interval yang ada. Temuan penelitian pada wilayah studi terungkap bahwa wilayah studi memiliki status tingkat resiko bencana kebakaran yang cukup tinggi dengan nilai (-8).

Hasil studi dapat disimpulkan bahwa penanggulangan kebakaran tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas penanggulangan kebakaran seperti armada kebakaran serta personil, titik-titik hidran, rumah sakit yang layak, karena ditemui berbagai kesulitan dalam proses pemadaman kebakaran di wilayah studi yang berupa permukiman tidak tertata dan kualitas fisik bangunan yang rendah. Sistem swadaya penanggulangan bencana kebakaran di lingkungan padat perkotaan ditawarkan sebagai rumusan pemikiran yang diharapkan ideal bagi lingkungan permukiman seperti wilayah studi.

(21)

ABSTRACT

The increase in population in urban areas is phenomenon in developing countries. In search of job opportunities and quality of life becomes the main reason for people to migrate to the city. This uncontrolled urbanization turned urban land into slump neighborhoods that are not organized and poor physical qualities. This condition is very susceptible to trigger fires that materially would be very detrimental to the urban community. The thesis aims to examine the possibility of fire-fighting systems in dense urban settlements of Tanjung Balai.

The research was carried out by taking Tanjong Balai as a study area. To proceed with a study, a purposive sampling was implemented together with the formulation of Crunch Model. Crunch Model revealed that the level of risk of fire (R) is the sum of hazard (H) and vulnerability (V) combined with a theoretical typology of low-income housing in urban communities, including settlements (KP), group of houses on the priorities and needs (KRAPKA), cycle day to stay (DHB) and economic activity (AE); which will be reduced by the value of capacity (C) in combination with the social culture (BSK). Along with this model and combination of other technique as well as standardization and government regulations were also referred to determine the existence of a neighborhood against the existing level of fire risk.

Specific benchmarks variables such as: hazard, vulnerability and capacity to settlements became the basis for an assessment with the Crunch model supported by Sturges’ formula for the assessment of the existing intervals. The study's findings in the study area revealed that it has the status of disaster risk rate of fire is quite high with a value of (-8).

The results of study can be concluded that fire prevention is not enough just to provide fire prevention facilities such as fire fleet and personnel, hydrants, even hospitals, because the difficulties always encountered in the process of fire fighting in the settlements and unorganized physical buildings qualities. A self-help disaster response system is needed in a dense urban environment as Tanjung Balai.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan kepadatan serta pertumbuhan penduduk yang terpusat di perkotaan

menyebabkan aktivitas di kawasan ini menjadi semakin tinggi. Hal ini akan

menyebabkan peluang terjadinya kebakaran di kawasan perkotaan menjadi lebih

besar. Peningkatan pertumbuhan penduduk juga menyebabkan meningkatnya jumlah

permintaan permukiman. Tingginya permintaan permukiman oleh masyarakat di

perkotaan yang tidak diimbangi dengan perencanaan dan penyediaan lahan

permukiman yang layak, menjadikan masyarakat terpaksa menempati kawasan yang

rentan terhadap bencana kebakaran sebagai tempat tinggal mereka. Akibatnya akan

semakin banyak masyarakat kota yang terkonsentrasi menetap pada kawasan yang

rentan terhadap resiko bencana kebakaran, jika terjadi kebakaran di kawasan tersebut

makan probabilitas jatuhnya korban juga akan semakin besar. Berdasarkan hal

tersebut, diperlukan suatu usaha yang dapat digunakan sebagai cara untuk

mengurangi atau menghilangkan resiko akibat bencana kebakaran terhadap manusia

dan harta bendanya terutama di kawasan-kawasan terbangun seperti kawasan

permukiman padat yang memiliki tingkat kerentanan (vulnerability) yang relatif lebih

tinggi jika dibandingkan dengan kawasan kepadatan rendah. Definisi bencana

(23)

Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh

alam, maupun non-alam yaitu bersumber dari ulah manusia sehingga mengakibatkan

timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

dampak psikologis. Dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa kebakaran

termasuk ke dalam salah satu bencana. Berdasarkan penyebab kejadiannya,

kebakaran adalah bencana yang dikategorikan sebagai bencana alam (natural

disasters) maupun bencana non-alam yang diakibatkan oleh kelalaian manusia

(man-made disasters). Sumber bencana oleh alam yang menyebabkan terjadinya kebakaran

adalah petir, gempa bumi, letusan gunung api, kekeringan dan lain sebagainya.

Sementara itu, sedangkan sumber bencana oleh manusia yang menyebabkan

terjadinya kebakaran diantaranya adalah kebocoran gas LPG yang mudah terbakar,

hubungan arus pendek listrik, puntung rokok, sabotase, kurangnya pengamanan

konstruksi bangunan terhadap kebakaran, dan lain-lain.

Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kawasan perkotaan yang memiliki

tingkat pertumbuhan penduduk dan aktivitas penduduk yang tinggi (2.705

penduduk/km2, BPS Kota Tanjung Balai). Berdasarkan data unit Pemadam

Kebakaran Kota Tanjung Balai, selama tahun 2009 terjadi 21 kali kejadian kebakaran

sementara dari awal tahun hingga bulan Februari 2010 telah terjadi 6 bencana

kebakaran. Hal ini menunjukkan Kota Tanjung Balai memiliki rata-rata kejadian

kebakaran sebanyak 1,9 kali per bulan. Selain menimbulkan kerugian materi,

(24)

Kebakaran tersebut sekitar 80% disebabkan oleh hubungan pendek listrik, sedangkan

20% disebabkan oleh ledakan kompor, lampu, dan lain-lain. Sekitar 78% kejadian

kebakaran terjadi pada bangunan permukiman penduduk, hal ini dikarenakan pada

umumnya bahan bangunan rumah yang digunakan sangat rentan terhadap kebakaran.

Dengan demikian maka Kota Tanjung Balai termasuk pula ke dalam kawasan

perkotaan yang memiliki peluang besar terjadinya kebakaran.

Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota

Tanjung Balai yang memiliki peluang terjadinya kebakaran. Hal ini dikarenakan

kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan yang memiliki jumlah kepadatan

penduduk yang terbesar di Kota Tanjung Balai, yaitu sebesar 21.001 penduduk tiap

km2

Sistem proteksi kebakaran di Kota Tanjung Balai yang telah ada saat ini berupa

Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) yang menitikberatkan pada

sistem dan strategi pemadaman kebakaran. Sementara kajian tentang identifikasi

tingkat resiko kebakaran dan analisis kondisi fisik lingkungan permukiman belum

pernah dilakukan. Sehingga diperlukan penelitian terhadap lingkungan permukiman

kota untuk melihat tingkat resiko kebakaran yang meliputi sumber, kerentanan dan (BPS Kota Tanjung Balai Tahun 2008). Dengan jumlah kepadatan penduduk

tersebut, maka kecamatan ini memiliki tingkat aktivitas penduduk yang tinggi pula.

Selain itu, besarnya peluang terjadinya kebakaran di kecamatan ini didukung oleh

data Unit Pemadam Kebakaran Kota Tanjung Balai tahun 2010, yang menyatakan

bahwa Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan salah satu wilayah di Kota

(25)

ketahanan kebakaran yang diharapkan menjadi salah satu masukan dalam melengkapi

RISPK yang ada merujuk pada Kepmenneg PU No.11/KPTS/2000 yang didukung

Kepmenneg PU No.10/KPTS/2000, UU RI No.28 Tahun 2002, Kep. Dirjen Perkim

No. 58/KPTS/2002, Permen PU No. 20/PRT/M/2009 dan beberapa SNI terkait.

Fokus kepada Kecamatan Tanjung Balai Utara sebagai wilayah terpadat sebagai

studi kasus penelitian. Hasil kajian penelitian diharapkan mampu sebagai dasar yang

jelas untuk menentukan rangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana

kebakaran, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan kemampuan

menghadapi ancaman bencana. Rekomendasi akan dirumuskan setelah melakukan

identifikasi bahaya, kerentanan, ketahanan, dan tingkat resiko kebakaran kawasan

permukiman padat.

1.2 Rumusan Masalah

Kebakaran merupakan suatu kejadian dengan berbagai faktor penyebab yang

dapat terjadi dimana saja dan kapan saja,. Banyak yang memandang bencana

kebakaran, bukan sebagai resiko yang dapat diminimasi, melainkan sebagai musibah.

Juga masih kuat anggapan bahwa biaya untuk proteksi terhadap bahaya kebakaran

bukan biaya yang tergolong sebagai biaya investasi yang dapat dikembalikan dalam

waktu relatif cepat. Namun pada dasarnya kebakaran merupakan kejadian yang

sifatnya dapat dicegah melalui berbagai tindakan pencegahan seperti menjaga

(26)

Salah satu lokasi di perkotaan yang paling sering terjadi kebakaran adalah

permukiman penduduk terutama permukiman padat. Sering terjadinya kebakaran di

kawasan ini disebabkan oleh bahaya kebakaran yang dimiliki kawasan permukiman

padat, yang tidak didukung adanya ketahanan lingkungan dan masyarakat seperti

kondisi fisik, sosial-kependudukan, ekonomi kelembagaan, serta sarana dan prasarana

yang baik. Sebaliknya, potensi bahaya kebakaran di kawasan permukiman padat

tersebut didukung oleh adanya kerentanan lingkungan dan masyarakat seperti jarak

antar rumah yang terlalu rapat, bahan bangunan rumah yang mudah terbakar, tidak

tersedianya sarana dan prasarana pendukung pencegahan dan penanggulangan

kebakaran, dan lain sebagainya. Untuk mengurangi tingkat resiko terjadinya

kebakaran yang dapat menimbulkan kerugian material, moril, dan fisik, maka

kerentanan yang dimiliki oleh kawasan permukiman padat harus dikurangi bahkan

dihilangkan dan ketahanan yang dimiliki harus ditingkatkan.

Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Kota Tanjung Balai 2010

hanya menitikberatkan pada sistem dan strategi pemadaman kebakaran. Sementara

kajian tentang identifikasi tingkat resiko kebakaran dan analisis kondisi fisik

lingkungan permukiman belum pernah dilakukan. Studi ini dilakukan guna

menghasilkan sistem penanggulangan kebakaran dalam konteks tingkat resiko

bencana kebakaran di permukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara yang

mengidentifikasi sumber bahaya, ketahanan, dan kerentanan. Kondisi sosial

kependudukan dan budaya masyarakat, kondisi ekonomi masyarakat, kondisi sarana

(27)

masyarakat yang menangani bencana khususnya kebakaran di kawasan permukiman

padat. Pengidentifikasian tersebut dilakukan untuk menjawab empat pertanyaan

penelitian yang diajukan yaitu:

1. Sumber bahaya kebakaran apa saja yang terdapat di permukiman padat?

2. Kerentanan apa saja yang ada di kawasan permukiman padat dalam

menghadapi bahaya kebakaran?

3. Ketahanan apa saja yang ada di kawasan permukiman padat dalam

menghadapi bahaya kebakaran

4. Seberapa tinggi tingkat resiko bencana kebakaran di permukiman padat?

Pada akhirnya pertanyaan penelitian tersebut ditujukan untuk menjawab

pertanyaan penelitian utama dalam studi ini yaitu: penanggulangan bencana

kebakaran seperti apa yang sesuai dengan karakteristik lingkungan permukiman

padat di kota?

1.3 Tujuan dan Sasaran

Tujuan studi ini adalah guna melengkapi sistem penanggulangan bencana

kebakaran di permukiman padat Kota Tanjung Balai dengan wilayah penelitian di

Kecamatan Tanjung Balai Utara. Sedangkan sasaran yang digunakan untuk mencapai

tujuan tersebut adalah:

1. Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel sumber bahaya

(28)

2. Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan kawasan

permukiman padat

3. Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel ketahanan kawasan

permukiman padat

4. Penilaian tingkat resiko bencana kebakaran di kawasan permukiman padat.

1.4 Manfaat Studi

Studi ini dilakukan untuk memberikan masukan kepada:

1. Pemerintah Daerah Kota Tanjung Balai dalam mengantisipasi dan

memperkecil kemungkinan terjadinya bencana kebakaran di Kota Tanjung

Balai khususnya di Kecamatan Tanjung Balai Utara.

2. Instansi-instansi terkait seperti PDAM, PLN, Unit Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran Kota Tanjung Balai agar lebih meningkatkan

kapasitas kawasan permukiman padat di Kota Tanjung Balai dalam

menghadapi bahaya kebakaran melalui penyediaan infrastruktur sesuai

dengan standar yang ada.

3. Masyarakat Kecamatan Tanjung Balai Utara, untuk lebih mengenal

berbagai kerentanan dan ketahanan terhadap bahaya kebakaran serta

potensi kebakaran yang dimiliki wilayahnya sehingga dapat lebih waspada

(29)

1.5 Ruang Lingkup Studi

Ruang lingkup studi terdiri dari dua cakupan ruang yaitu ruang lingkup wilayah

dan ruang lingkup materi.

1.5.1 Pemilihan wilayah studi

1.5.1.1Keberadaan kota Tanjung Balai

Kota Tanjung Balai adalah salah satu wilayah kabupaten/kota yang ada di

Provinsi Sumatera, yang secara geografis terletak pada 20 58’ 00” LU dan 990

Dengan keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Kota Tanjung Balai Nomor 4

Tahun 2005 tanggal 4 Agustus 2005 tentang Pembentukan Kecamatan Datuk Bandar

Timur dan Nomor 3 Tahun 2006 tanggal 26 Pebruari 2006 tentang Pembentukan

Kelurahan Pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka wilayah Kota Tanjung

Balai menjadi 6 kecamatan dan 31 kelurahan. Adapun kecamatan dan kelurahan yang

ada di Kota Tanjungbalai adalah sebagai berikut:

48’ 00”

BT. Kota ini berada disebelah Tenggara yang berjarak lebih kurang 250 Km dari

Kota Medan. Kota ini berada di pinggir pantai yaitu Pantai Timur Sumatera yang

berhubungan langsung dengan Selat Malaka.

1. Kecamatan Datuk Bandar, terdiri dari 5 kelurahan yaitu: a. Kelurahan Sijambi

b. Kelurahan Pahang

c. Kelurahan Gading

(30)

e. Kelurahan Pantai Johor

2. Kecamatan Datuk Bandar Timur, terdiri dari 5 kelurahan yaitu: a. Kelurahan Bunga Tanjung

b. Kelurahan Selat Lancang

c. Kelurahan Selat Tanjung Medan

d. Kelurahan Semula Jadi

e. Kelurahan Pulau Simardan

3. Kecamatan Tanjungbalai Selatan, terdiri dari 6 kelurahan yaitu: a. Kelurahan Tanjungbalai Kota II

b. Kelurahan Tanjungbalai Kota I

c. Kelurahan Karya

d. Kelurahan Perwira

e. Kelurahan Indra Sakti

f. Kelurahan Pantai Burung

4. Kecamatan Tanjungbalai Utara, terdiri dari 5 kelurahan yaitu: a. Kelurahan Tanjungbalai Kota III

b. Kelurahan Mata Halasan

c. Kelurahan Kuala Silo Bestari

d. Kelurahan Tanjungbalai Kota IV

e. Kelurahan Sejahtera

(31)

b. Kelurahan Keramat Kubah

c. Kelurahan Sumber Sari

d. Kelurahan Muara Sentosa

e. Kelurahan Sei. Raja

6. Kecamatan Teluk Nibung, terdiri dari 5 kelurahan yaitu: a. Kelurahan Beting Kuala Kapias

b. Kelurahan Kapias Pulau Buaya

c. Kelurahan Sei. Merbau

d. Kelurahan Pematang Siantar

e. Kelurahan Perjuangan

Kota Tanjungbalai memiliki luas wilayah 60,529 Km2 (6.052,9 Ha), yang

terdiri dari 6 kecamatan dengan luas yang berbeda-beda.

1.5.1.2 Pemilihan lokasi studi

Wilayah yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kecamatan Tanjung Balai

Utara, Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari lima kelurahan

yaitu Kelurahan Tanjung Balai Kota III, Kelurahan Mata Halasan, Kelurahan Kuala

Silo Bestari, Kelurahan Tanjung Balai Kota IV dan Kelurahan Sejahtera. Wilayah ini

dipilih berdasarkan:

1. Dari enam kecamatan yang ada, wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara

merupakan Wilayah Terpadat di Kota Tanjung Balai Utara menurut data

(32)

2. Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan salah satu wilayah paling

rentan terjadinya kebakaran. Menurut data Satuan Pemadam Kebakaran,

wilayah ini mengalami sebanyak empat kali terjadi kebakaran di

lingkungan permukiman padat penduduk selama tahun 2009.

3. Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi

Sumatera Utara yang mencirikan perkembangan terpusat seperti wilayah

Ibukota Negara, Jakarta. Pencirian perkembangan kota terpusat ini

disebabkan oleh tindak masyarakat berpenghasilan rendah menjadikan

Kecamatan Tanjung Balai Utara sebagai sasaran wilayah lokasi karya

mereka sehingga kota terbentuk dari kantung-kantung permukiman yang

tidak tertata dan fisik permukiman bermaterial dibawah standar yang

sangat rentan terhadap bencana kebakaran.

4. Kecamatan Tanjung Balai Utara merupakan wilayah yang memiliki nilai

luas wilayah terkecil dari nilai luas wilayah kecamatan lainnya namun

memiliki tingkat kepadatan permukiman tertinggi dari wilayah lainnya.

Kondisi ini akan memudahkan peneliti untuk menyelesaikan

permasalahan penanggulangan kebakaran permukiman secara lengkap

dalam substansial yang akan ditetapkan dan diharapkan menjadi

batuloncatan pemikiran dalam merumuskan penyelesaian permasalahan

(33)

1.5.2 Substansi

Bencana kebakaran tidak hanya disebabkan oleh manusia (man-made

disaster), namun juga dapat disebabkan oleh alam (natural hazard). Studi ini hanya

membatasi penyelesaian permasalahan yang disebabkan oleh manusia karena

lingkungan binaan yang terbentuk oleh keberadaan manusia yang sangat berpotensi

sebagai penyebab bencana kebakaran yang terlingkup dalam sumber bahaya yang

berasal dari pemakaian peralatan yang memicu bencana kebakaran, tingkat

kerentanan keberadaan material dan properti sebagai tempat tinggal dan tingkat

ketahanan material yang berada di sekitar kerentanan bahaya kebakaran di wilayah

tersebut.

Selain pembatasan terhadap jenis bencana kebakaran, studi tidak melibatkan

gambaran masyarakat tentang makna bencana kebakaran. Makna bahaya, kerentanan

dan ketahanan bencana kebakaran akan merunut pada studi literatur seperti teori,

peraturan perundangan, kebijakan dan literatur lainnya yang bersifat formal.

Studi akan mengidentifikasi tingkat ketahanan dan kerentanan permukiman padat

penduduk berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, fisik, sarana dan prasarana serta

strukturasi setempat. Kemudian identifikasi bencana kebakaran di wilayah studi

untuk melihat sejauh mana tingkat resiko bencana kebakaran di permukiman padat.

1.6 Sistematika Pembahasan

(34)

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini akan dimulai dengan segala permasalahan yang melatarbelakangi studi yang

dilengkapi dengan rumusan masalah, tujuan dan sasaran studi, ruang lingkup studi

yang terdiri dari ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup substansi, metodologi

penelitian yaitu metode pendekatan studi, metode pengumpulan data dan metode

analisis, manfaat studi serta kerangka pemikiran.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini diawali dengan membahas kawasan permukiman melalui teori tipologi

permukiman perkotaan untuk menjelaskan karakteristik kawasan. Kemudian wacana

dikembangkan melalui teori-teori yang berkaitan dengan bencana kebakaran, yaitu

konsep kondisi permukiman, kelompok rumah berdasarkan prioritas dan

kebutuhannya, daur hari bertinggal, akitivitas ekonomi dan badan sosial

kemasyarakatan. Bab ini juga memaparkan jenis-jenis kebakaran dan karakteristik di

dalamnya, serta penjelasan konsep penanggulangan bencana kebakaran. Terakhir,

akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel dan tolok ukur bahaya kebakaran di

permukiman padat.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan jenis penelitian yang digunakan serta menjelaskan konsep dan

analisis resiko kebakaran di kawasan permukiman padat berdasarkan identifikasi

sumber munculnya api, kerentanan dan ketahanan di kawasan studi terhadap

(35)

munculnya api, kerentanan dan ketahanan yang telah ditentukan. Terakhir, bab ini

akan melahirkan penilaian relatif tingkat resiko bencana kebakaran di wilayah studi.

BAB IV. KAWASAN PENELITIAN

Bab ini menjelaskan wilayah studi yang telah dilakukan dan diteruskan berupa

rumusan yang dapat dijadikan sistem penanggulangan kebakaran di permukiman

padat di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan temuan dari studi yang telah dilakukan dan diteruskan berupa

rumusan yang dapat dijadikan sistem penanggulangan kebakaran di permukiman

padat di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara. Selain itu akan dijelaskan

mengenai kesimpulan studi berupa alternatif tindakan-tindakan guna mendukung

sistem penanggulan kebakaran yang dapat di rekomendasikan untuk memperkecil

resiko kerugian jika terjadi bencana kebakaran.

BAB VI. PENUTUP

Bab ini menjelaskan hasil rangkuman atau kesimpulan hasil penelitian serta saran

yang diharapkan berupa rumusan yang dapat dijadikan sistem penanggulangan

kebakaran di permukiman padat di wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Mengenai kesimpulan studi berupa alternatif tindakan-tindakan guna mendukung

sistem penanggulan kebakaran yang dapat di rekomendasikan untuk memperkecil

(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tentang teori-teori dan faktor-faktor yang harus diperhatikan

dalam sistem penanggulangan kebakaran, kemudian mengembangkannya melalui

variabel tertentu untuk merumuskan tolok ukur bencana kebakaran di kawasan

permukiman Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Selain rujukan terhadap dasar-dasar yang berkaitan tentang standarisasi,

peraturan atau ketetapan serta prinsip-prinsip yang diharapkan sebagai pendekatan

dalam melahirkan sistem penanggulangan kebakaran di wilayah studi, istilah ‘sistem’

akan dikaji merujuk kepada ranah sosial yang di kemukakan oleh Giddens (1984).

2.1 Sistem dan Penanggulangan Kebakaran dalam ‘Makna’ dan Kajian

2.1.1 Makna sistem

Istilah ‘sistem’ menurut Giddens (1984) dalam ranah sosial adalah hubungan

yang direproduksi oleh aktor-aktor atau kolektivitas yang diorganisasi sebagai

praktek-praktek sosial reguler. Sistem merupakan sesuatu yang terus berubah atau

beradaptasi terhadap suatu kondisi yang dihadapi dalam memudahkan penyelesaian

permasalahan atau ketentuan aktivitas tertentu. Sistem lahir atas adanya struktur.

Sedangkan ‘struktur’ dalam ranah sosial adalah aturan dan sumber daya atau

(37)

Sehingga ikatan struktur tersebut memiliki wewenang dalam menentukan sistem

tertentu dalam menjalani aktivitas yang menyelesaikan permasalahan dengan

sumberdaya pikiran melalui analisis tertentu.

Berdasarkan pemahaman istilah ‘sistem’ tersebut, kita dapat merumuskan

bahwa sistem penanggulangan kebakaran adalah suatu ketetapan atas hubungan yang

direproduksi untuk menetapkan penataan aktivitas terhadap peristiwa bencana

kebakaran yang dalam hal ini di kawasan permukiman padat di Kecamatan Tanjung

Balai Utara Provinsi Sumatera Utara. Sistem yang terbentuk pasti tidak sama pada

setiap ranah, sebab setiap ranah memiliki kondisi yang berbeda-beda; dan sistem lahir

sesuai dengan kondisi yang dihadapinya agar sistem tersebut dirasakan

kemanfaatannya karena mampu menjawab permasalahan yang ada.

Dalam hal ini, studi tidak sanggup untuk merumuskan semua faktor-faktor yang

ada hingga mampu melahir suatu ‘sistem’ yang dimaksud dalam penanggulangan

bencana kebakaran oleh karena waktu studi yang terbatas. Studi hanya mengkaji

sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan permukiman padat di Kecamatan Tanjung

Balai Utara yang diharapkan sebagai masukan dalam sistem penanggulangan

kebakaran yang akan disusun.

2.1.2 Pengaturan penanggulangan bencana secara umum

Menurut Departemen Sosial RI, pengaturan penanggulangan bencana bersifat

dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang

(38)

mitigasi, kesiapsiagaaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan

rekonstruksi bencana. Pengaturan bencana ini sangat baik diterapkan di lingkungan

padat permukiman perkotaan yang diakibatkan oleh bencana agar dapat

meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan tersebut. Pada gambar 2.1 siklus

atau daur penanganan bencana sebagai pemahaman aktivitas yang terjadi

terus-menerus sebagai rangkaian respon dalam mengahadapi bencana sesuai permasalahan

yang ditemui.

Gambar 2.1 Siklus Pengaturan Bencana Sumber: Cater, 1991

Siklus pengaturan bencana terdiri dari pencegahan yaitu langkah-langkah yang

dilakukan untuk menghilangkan samasekali atau mengurangi secara drastis akibat

dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsesuaian fisik dan lingkungan. Lalu

mitigasi yaitu tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada pengurangan

dampak dari ancaman sehingga demikian mengurangi kemungkinan dampak negatif

kejadian bencana terhadap kehidupan. Berikutnya kesiapan yaitu perkiraan tentang

(39)

sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan demikian membawa

penduduk ke dalam tataran kesiapan lebih baik dalam menghadapi bencana.

Penanggulangan kedaruratan/respon (early warning system) yaitu tindakan-tindakan

yang dilakukan seketika sebelum dan atau setelah terjadinya kejadian bencana.

Kemudian pemulihan yaitu tindakan yang bertujuan untuk membantu masyarakat

mendapatkan kembali sesuatu yang hilang dan membangun kembali kehidupan serta

kempatan-kesempatan yang ada. Terakhir, pembangunan yaitu pembangunan kembali

sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat

pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya

kegiatan perekonomian, sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan

bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan.

Siklus pengaturan bencana merupakan acuan atau sasaran yang akan dicapai

bila terjadi bencana. Sebagai pendekatan, akan tampil konsepsi manajemen bencana

sebagai alat mempermudah menuju pengaturan bencana tersebut, yaitu:

1. Disaster Management Continuum Model

Model ini terfokus pada kejadian bencana dan tanggap darurat. Model ini

juga mengasumsikan bahwa bencana tidak dapat dihindari, selain itu model

ini menjelaskan bahwa bencana merupakan rangkaian yang terus berputar.

2. Pre-During-Post Disaster Model

Model ini sedikit berbeda dengan model sebelumnya yang menganggap

perlunya campur tangan sebagai bentuk manajemen bencna dalam fase

(40)

dihilangkan, selain itu kegiatan persiapan, mitigasi dan perbaikan dapat

dilakukan sebelum, selama dan setelah terjadinya bencana.

3. Contract-Expand Model

Model ini mengasumsikan bahwa bencana terjadi ketika suatu bahaya

melampaui kapasitas komunitas untuk manajemen bencana tersebut, semua

komponen untuk pengurangan bencana dapat dilakukan bersamaan dengan

penekanan yang berbeda-beda. Bencana tidak dapat dihindari dan datang

dalam jangka waktu yang pendek.

4. Risk Reduction Disaster (RRD) Framework

Bencana akan lebih besar jika bahaya (hazard) dan kerentanan

(vulnerability) meningkat dan kapasitas atau ketahanan menurun. Model ini

memfokuskan pada manajemen resiko dengan mengurangi atau

menghilangkan kerentanan, memahami karakteristik bahaya dan

membangun ketahanan berdasarkan kerentanan dan bahaya yang dimiliki

suatu wilayah dalam lingkup analisis sosial dan keilmuan.

5. Crunch Model

Awotona (1997) mengemukakan model ini adalah bahwa bencana

merupakan produk dari kerentanan bertemu dengan bahaya. Model ini

menunjukkan bahwa bencana hanya terjadi jika bahaya bertemu dengan

kondisi yang membuat masyarakat atau elemen non-manusia mudah terkena

dampak negatif dari suatu bahaya. Model ini juga memandang bencana

(41)

penyebab munculnya kerentanan dan perlu dilakukan pemahaman terhadap

terjadinya suatu bahaya. Fokus yang dilakukan adalah meningkatkan

kapasitas suatu lingkungan serta analisis sosial untuk mengurangi kerentanan

dan bahaya. Metodenya, dengan adanya pengurangan tingkat bahaya dapat

digambarkan dengan peningkatan kapasitas atau ketahanan suatu lingkungan

serta memperkecil tingkat kerentanan seuatu lingkungan terhadap suatu

bahaya.

Atas pemahaman terhadap model Crunch, Pusat Mitigasi Bencana

menterjemahkan model ini ke dalam rumus yang dapat mempermudah untuk

menganalisis kualitas bencana terhadap dialektik antara bahaya, kerentanan dan

ketahanan. Pada gambar 2.2 menerangkan model terjadinya bencana menurut pusat

mitigasi Bencana ITB, resiko terjadinya bencana dapat dilihat dari bahaya yang

bertemu dengan kerentanan serta tidak adanya ketahanan. Dengan adanya

pemahaman rumusan ini, dapat dijustifikasi bahwa resiko bencana dapat dikurangi

dengan meningkatkan nilai ketahanan dan memperkecil kerentanan yang ada.

Sehingga resiko bencana kebakaran setiap kawasan dapat di ukur melalui sumber

bahaya, kerentanan dan ketahanan-nya.

(42)

Dari ke lima konsepsi dalam memahami bencana serta proses dalam

menanggapi bencana, model Crunch lebih relevan digunakan sebagai alat untuk

menuju pendekatan sistem penanggulangan bencana kebakaran yang akan terbentuk

atau sebagai masukan untuk sistem yang telah terbentuk, karena proses pemikirannya

melibatkan aktor kunci (key-actor), ahli teknis dan pemerintah sebagai pe-bijak.

Makna istilah ‘sistem’ oleh Giddens sejalan dengan konsep Crunch yang memikirkan

dan mempertimbangkan segala aktor yang terlibat bersama-sama saling mendukung

dalam menyelesaikan permasalahan bencana dengan menterjemahkan ‘bahaya’ di

dukung oleh ‘kerentanan’ yang dapat diantisipasi ataupun ditekan dengan tindakan

meningkatkan ‘ketahanan’. Apabila pemikiran ini dilaksanakan, maka dapat

dipastikan bahwa kawasan tersebut akan jauh dari bahaya bencana karena menghapus

tingkat kerentanan melalui pemenuhan ‘ketahanan’.

2.1.3 Bencana dan resiko

Menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, istilah

bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan

atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis.

Sedangkan potensi bencana yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi dua

(43)

yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral

hazard). Kelompok potensi bahaya utama terdapat di wailayah perkotaan yang

memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (lingkungan kumuh perkotaan) dan

jumlah industri berbahaya yang tinggi.

Kemudian, di dalam UU RI No. 24 tahun 2007 juga terdapat tiga kelompok

bencana yaitu:

1. Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi,

tsunami, bunung meletus dan bencana alam lainnya.

2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa non-alam yang diantaranya berupa gagal teknologi,

gagal modernisasi, epidemik dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik

sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.

Ketiga kelompok bencana diatas muncul berdasarkan atas faktor penyebab

terjadinya bencana. Sedangkan faktor penyebab terjadinya bencana tidak terlepas dari

kerentanan kawasan setempat. Oleh karena itu, kerentanan menjadi faktor penentu

atas besar kecilnya resiko terjadinya bencana.

Menurut Sanderson (1997), yang terdapat pada gambar 2.3 beberapa faktor

resiko bencana merupakan hasil dari kerentanan bertemu dengan bahaya yang ada.

(44)

muncul. Sedangkan kerentanan dilihat berdasarkan kondisi sosial, ekonomi,

infrastruktur, dan organisasi yang dimiliki suatu kawasan. Dalam konteks ini tidak

terdapat suatu pertimbangan terhadap potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan

dalam menghadapi bahaya yang mengancam.

Gambar 2.3 Faktor Resiko Menurut Sanderson Sumber: Diadaptasi dari bagan konsep bencana Sanderson

Sedangkan resiko menurut Naskah Undang Undang Penanggulangan Bencana

yang ada pada gambar 2.4 menjelaskan bahwa resiko bencana merupakan fungsi dari

ancaman (A) dengan keadaan (K) yang rentan, yang dapat dirubah dengan adanya

kemampuan (m). Pemahaman resiko ini dapat dijadikan rumus dalam mengantisipasi

bahaya yang akan muncul dengan nilai resiko yang dihasilkan adalah 0 (nol).

Sebagai pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan bencana kebakaran

pada wilayah studi akan dibahas terlebih dahulu tentang konsepsi tipologi perumahan

dan pemukiman perkotaan sebagai objek atau sasaran penyelesaian dalam lingkup

fisik tempat tinggal, ekonomi, budaya dan sosial kemasyarakatannya. Kemudian

pembahasan diteruskan tentang bahaya, kerentanan dan ketahanan sebagai proses

(45)

memunculkan variabel tolok ukur penanggulangan bencana kebakaran di

permukiman padat Kecamatan Tanjung Balai Utara.

2.2 Tipologi Perumahan Pemukiman Perkotaan

Salah satu faktor dominan yang memicu permasalahan penanggulangan

kebakaran secara kawasan perkotaan adalah pesatnya laju pertumbuhan

pembangunan di berbagai sektor yang menarik atau menyedot keberadaan penduduk

desa (rural) menuju kota (urban). Pergumulan modal di kota lebih besar dibanding

desa, sehingga terdapat pemikiran di masyarakat bahwa peluang dalam meningkatkan

pendapatan ekonomi lebih mudah dilakukan di lingkungan perkotaan dibanding

dengan desa. Proses perpindahan masyarakat berpenghasilan rendah dijelaskan pada

gambar 2.4.

Pada awalnya masyarakat tersebut hanya berkunjung ke kota, kemudian kota

memberikan peluang dan harapan bagi masyarakat tersebut untuk berkarya. Oleh

karena lokasi karya berjauhan dengan tempat tinggalnya di desa, kemudian mereka

tinggal di kota secara komunal dengan kualitas fisik tempat tinggal yang rentan

terhadap bencana seperti kebakaran.

Hal ini sejalan dengan pengamatan Dwyer dalam Potter dan Lloyd-Evans

(1998), di permukiman padat perkotaan, pada mulanya mereka datang ke kota

melakukan peningkatan peninjauan hingga wilayah terluas. Lalu mereka menuju

(46)

Agar kita memahami sasaran aktor tentang keberadaan dan kondisi yang

mendekatkan mereka terhadap kerentanan bahaya kebakaran, berikut akan dikaji

tempat tinggal dan lingkungan mereka serta faktor ekonomi dan sosial budaya

[image:46.612.184.456.189.525.2]

mereka.

Gambar 2.4 Proses Perpindahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut Dwyer

2.2.1 Keberadaan permukiman

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan konsep penyediaan perumahan

masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang dikemukakan oleh Drakakis,

konsep ini akan dikembangkan untuk memahami keberadaan permukiman perkotaan

Pusat Kota

Kesempatan kerja di kota

Pingiran Kota (Penyerbuan dan Pergantian)

Lokasi Ideal

Perpindahan

Pertumbuhan Squatter Beberapa

Squatter

Beberapa Squatter

Kondisi air buruk

Kondisi lahan sempit

(47)

terhadap faktor-faktor yang menyelimuti mereka dari bahaya kebakaran atas sumber

bahaya, kerentanan dan ketahanannya yang akan di urai sebagai berikut.

2.2.1.1 Permukiman konvesional

Istilah konvensional bermakna sesuatu lahir atas kesepakatan dari hubungan

tertentu yang berdasar atas pemikiran tertentu melalui analisis tertentu. Konvensi

merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan, kemudian dilaksanakan menjadi suatu hal

yang wajar. Rumah, merupakan suatu ruang dimana manusia menjalani daur harinya

secara lengkap bersama-sama anggota keluarga lainnya untuk saling menghormati,

belajar, menyayangi yang terlingkup di dalam nilai-nilai kemanusiaan. Tentu

keberadaan ‘rumah’ harus mampu melayani sifat ke-ruang-an tersebut.

Keberadaan permukiman konvensional lahir atas dasar material standar.

Material standar berarti material dengan daya tahan tertentu terhadap faktor-faktor

yang dapat merusak material tersebut melalui uji coba ketahanan tertentu. Kemudian

penyelenggaraannya menggunakan tenaga ahli tertentu yang dapat merumuskan

kemanfaatan tempat tinggal tersebut melalui perencanaan dengan keilmuan tertentu.

Setelah itu keberadaan permukiman yang berdiri diatas lahan resmi yang dapat

memperkuat perencanaan untuk melahirkan tempat tinggal untuk bertinggal dalam

jangka waktu yang tidak terbatas.

2.2.1.2 Permukiman non konvensional

Kondisi permukiman ini adalah kondisi berbalik dari permukiman

(48)

hanya bersifat menutupi atau melindungi dalam jangka waktu yang sangat pendek.

Pemakaian material tempat tinggal kerap kali tidak menggunakan material standar,

akibatnya sangat rentan rusak atau hancur terhadap bencana. Kemudian

penyelenggaraannya dilakukan secara pribadi sesuai dengan kebutuhan minimal

kegunaan ruang yang akan dipakai, sehingga ‘rumah’ tidak dapat melakukan daur

hari secara lengkap dan manusiawi.

Permukiman berdiri di atas lahan yang bukan miliknya atau berstatus ilegal,

yang sewaktu-waktu keberadaan mereka akan hilang karena diambil alih oleh yang

berhak atas lahan tersebut.

Dari kedua tipologi permukiman yang telah dikaji di atas akan

dikembangkan menjadi dasar dalam menciptakan elemen-elemen variabel yang akan

di analisis untuk melahirkan tolak ukur penanggulangan bencana kebakaran. Setelah

memahami konsep fisik tempat tinggal mereka, kita beranjak pada pembahasan

tentang aktivitas bertinggal.

2.2.2 Kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya

Ada tiga kelompok rumah di pemukiman padat perkotaan yang berdasarkan

atas prioritas dan kebutuhannya (Turner dalam Potter dan Lloyd-Evans, 1998), yaitu:

pertama, bridgeheader (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang

memandang rumah sebagai batu loncatan) menurut kamus Webster’s, kata

bridgeheader terdiri dari kata bridge-head yang artinya bergerak ke depan

(49)

yang dimaksud bukan kelompok militer yang sedang melakukan aksi tertentu, tetapi

masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki prioritas tempat untuk bertinggal

yang berdekatan dengan lokasi karyanya; posisi tembak adalah pusat kota

(mengandung segala ceruk ekonomi) yang dituju untuk mencari pendapatan. Selain

itu kelompok ini cenderung berprioritas hidup untuk makan, maka rumah hanya

menjadi sarana untuk istirahat belaka. Atas karakteristik ini dapat kita pastikan bahwa

kelompok ini pasti bertinggal di fisik tempat tinggal yang sangat rentan terhadap

bahaya bencana kebakaran.

Kedua adalah consolidator (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah

yang sudah melakukan konsolidasi) yaitu makna rumah sebagai tempat konsolidasi

(berkumpul), menjadikan hunian sebagai media antara untuk mengkonsolidasi

kehidupan rumah tangga. Kemampuan rumah tangga dalam melakukan pengelolaan

keuangan, maka prioritas kedekatan terhadap lokasi karya menjadi semakin kurang

penting dan sudah memikirkan tentang pendidikan serta memperhitungkan amenitas

(fasilitas) berhuni. Atas karakteristik ini, kondisi fisik tempat tinggalnya mulai lebih

baik dibanding kelompok sebelumnya karena ‘rumah’ merupakan tempat bernaung

yang sudah dianggap penting untuk melaksanakan daur hari di kota; sehingga tingkat

kerentanan fisik rumah dari bahaya kebakaran berkurang kadarnya.

Terakhir, status seeker (kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang

memandang rumah sebagai pembeda status) yaitu rumah sebagai status diri, terjelma

dalam bentuk kualitas fisik dan sarana penunjang yang berkualitas pula. Atas

(50)

nyaris jauh dari kerentanan bahaya bencana kebakaran, karena rumah terdiri dari

material standar yang memiliki kekuatan tertentu untuk mengahadapi bahaya seperti

bencana kebakaran.

Dari tiga kelompok rumah di permukiman padat perkotaan dapat diambil

kesimpulan bahwa bridgeheader adalah kelompok yang memiliki penjelmaan tempat

tinggal yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran.

2.2.3 Daur hari bertinggal

Manusia bergerak dalam ruang, dan akan selalu dalam ruang. Dalam menjalani

hidupnya, manusia melakukan beberapa kegiatan dan kegiatan itu terulang kembali

hingga menjadi suatu rutinitas.

Ruang akan terlihat keberadaannya melalui tempat. Tempat tinggal merupakan

tempat terjadinya proses bertinggal atas kegiatan tertentu yang terus berlangsung

melalui ruang, dan tempat tinggal sebagai jelmaannya. Relph (1976) mengungkapkan

bahwa tempat bukan sekedar sesuatu itu berada, tapi lebih dari itu, lokasi dan segala

sesuatu yang ada pada lokasi tersebut, dan tampil sebagai suatu gejala yang berarti

serta menyatu.

Manusia secara umum lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.

Di dalam rumah banyak terdapat properti atau barang-barang milik yang digunakan

sekaligus membantu kelangsungan daur hidup manusia. Penjelmaan pemakaian

rumah berpengaruh terhadap rentannya bahaya kebakaran. Pada gambar 2.5

(51)

akan melihat aktivitas masyarakat yang berada di permukiman padat perkotaan yang

[image:51.612.127.512.150.366.2]

dikonversi menjadi daur hari di tempat tinggal.

Gambar 2.5 Grafik Ruang Daur Hidup Manusia Menurut Erikson (1997)

Pada masa bayi hingga anak (0-5 tahun), waktu daur hidup manusia lebih

banyak dihabiskan di tempat tinggal karena pada masa tersebut ia membutuhkan

perawatan tubuh dan pikiran secara intensif dari orang tuanya di tempat tinggal. Pada

masa anak hingga remaja (5 hingga 18 tahun), waktu daur hidup remaja sudah mulai

menjalani aktivitas pendidikan untuk konsumsi pikiran (teknologi), namun waktu

daur hidupnya masih banyak dijalani di tempat tinggal. Pada masa dewasa (19 hingga

65 tahun), waktu daur hidup lebih banyak dihabiskan di kota dari pada di tempat

tinggal karena pada masa ini mencari penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya melalui kinerja, karya dan pikiran. Pada masa tua (65 hingga mati),waktu Usia Bayi: 0-3

Usia bermain: 3-5 Usia sekolah: 5-12

Remaja: 12-18

Dewasa muda: 19-40

Dewasa: 40-65

Usia Tua: 65-mati

Pra-natal Lingkungan tempat tinggal

s/d sekolah

Lingkungan perkotaan Lingkungan tempat tinggal Mati Aktivitas hidup lebih

banyak di dalam rumah Lahir Laju usia terhadap aktivitas yang meruang Aktivitas di luar tempat ti l Aktivitas di tempat tinggal

(52)

daur hidup kembali lebih banyak di rumah di banding di kota karena kondisi fisik

tubuh tidak mampu lagi mendukung aktivitas terutama karya.

Pada gambar 2.6 grafik ruang daur hari masyarakat permukimana padat di kota

terdapat garis putus-putus berbentuk kotak. Kotak tersebut melingkupi aktivitas

manusia yang banyak menghabiskan daur hidupnya lebih banyak di rumah dibanding

di luar rumah. Pada masa-masa tersebut manusia sangat membutuhkan bimbingan

dan pengayoman orang tua beserta saudara dalam proses menjalani kehidupan.

Dengan memahami secara jelas waktu-waktu beraktivitas di dalam tempat bertinggal

diharapkan dapat mempermudah identifikasi terhadap sumber-sumber yang dapat

memicu bahaya kebakaran, kemudian mengkaji segala keberadaanya melalui

kerentanan bahaya kebakaran serta menilai seberapa jauh ketahanan permukiman

mereka terhadap bahaya kebakaran untuk merumuskannya sebagai tolok ukur

penanggulangan bencana kebakaran pada sistem tertentu.

Gambar 2.6 Grafik Ruang Daur Hari Masyarakat Permukiman Padat di Kota Di Tempat Tinggal Di Lokasi Karya

Siang

Malam

Rentang waktu daur hari masyarakat permukiman padat di

Istirahat

Aktivitas pendidikan dan mencari pendapatan di lokasi karya.

Laju waktu terhadap aktivitas yang meruang

Aktivitas di luar tempat

(53)

2.2.4 Aktivitas ekonomi

Terkait dengan karakter kelompok masyarakat permukiman padat di kota,

Gilbert dan Gugler dalam Potter dan Lloyd-Evans (1998) merumuskan tiga kategori

pekerja di lingkungan perkotaan, pertama yaitu employment atau pekerja tetap dengan

tingkat kemapanan tertentu (elit sektor); kedua unemployment atau pengangguran;

biasanya mereka memperoleh subsidi dan kurang memikirkan kebutuhan makan;

ketiga, underemployment yang memiliki tiga definisi.

Pertama, jumlah pekerja sangat berlimpah dibanding dengan waktu bekerja

seharusnya. Biasanya definisi ini terdapat pada pekerja buruh, karena mereka mencari

penghasilan tambahan dari sisa waktu yang ada.

Kedua, aktivitas ekonomi yang terkait dengan tinggi rendah (fluktuasi)

beraktivitas yang dikelompokkan pada waktu sepanjang hari atau lebih dari

seminggu, atau waktu yang menjelaskan sedikit atau tidak bekerja.

Ketiga, dapat disebut sebagai ‘pekerja terselubung’ yaitu bekerja hanya pada

saat diperlukan karena opurtunis (pemberi kerjaan) tidak mampu menampung tenaga

kerja secara penuh.

Kehadiran tiga kategori pekerja di kota berpengaruh terhadap penjelmaan

kualitas fisik permukimannya. Bagi masyarakat yang berstatus employment,

kerentanan bahaya kebakaran hampir tidak ditemui karena rumah bukan merupakan

bagian tempat produksi untuk meningkatkan pendapatan karena penghasilan cukup

untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan masyarakat yang berstatus

(54)

kebakaran karena kategori masyarakat ini cenderung untuk maemanfaatkan setiap

ceruk ekonomi yang ada untuk meningkatkan pendapatan. Besar kemungkinan bahwa

tempat tinggal dijadikan tempat untuk memproduksi dan berniaga untuk

meningkatkan penghasilan. Hal ini dapat memicu bahaya atau berpotensi terjadinya

kebakaran di permukiman padat perkotaan.

2.2.5 Budaya dan sosial kemasyarakatan (strukturasi)

Masyarakat dalam konotasi umum yaitu asosiasi sosial atau interaksi dan dapat

juga diartikan sebagai unit mempunyai batas yang menandai dari masyarakat yang

lain. Dalam properti sosial, masyarakat memiliki prilaku tertentu untuk bertindak

hidup berdampingan dengan lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat dapat dipandang

secara dinamis karena dapat menjadi subjek sekaligus objek. Namun keberadaan

budaya dan sosial ‘masyarakat’ sangat menentukan kualitas bermukim di lingkungan

permukiman perkotaan.

Gambar 2.7 menjelaskan klasifikasi tipe masyarakat menurut Giddens (1984),

ada tiga klasifikasi masyarakat yaitu masyarakat suku (tribal society), masyarakat

terbagi atas kelas (class divided society) dan masyarakat kelas (class society).

Dalam masyarakat kesukuan atau budaya lisan, prinsip struktural yang dominan

bekerja sepanjang sumbu yang menghubungakan tradisi dan kekerabatan atau

kekeluargaan yang tersemat dalam ruang dan waktu. Media integrasi tergantung pada

(55)
[image:55.612.147.458.78.369.2]

Gambar 2.7 Klasifikasi Tipe Masyarakat Menurut Giddens (1984)

Pola pikir masyarakat dapat dilakukan secara bersama-sama, saling bahu

membahu dan bergotongroyong menuju kepentingan bersama. Atas hubungan

kelompok masyarakat ini, ia memiliki faktor ketahanan terhadap penanggulangan

bencana kebakaran serta mempermudah perwujudan membangun kembali pasca

bencana. Namun dengan pola pikir masyarakat ini juga akan berpotensi kerentanan

bahaya kebakaran sebab dapat melanggar peraturan demi kesejahteraan bersama.

Salah satu contoh relevan terhadap pola pikir masyarakat ini adalah dengan adanya

pencurian arus listrik yang dipakai secara bersama-sama atau juga menggunakan alat

masak yang ti

Gambar

Gambar 2.4 Proses Perpindahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut Dwyer
Gambar 2.5  Grafik Ruang Daur Hidup Manusia Menurut Erikson (1997)
Gambar 2.7 Klasifikasi Tipe Masyarakat Menurut Giddens (1984)
Gambar 2.8 Tetrahedron Api
+7

Referensi

Dokumen terkait