• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Sistem dan Penanggulangan Kebakaran dalam ‘Makna’ dan Kajian

2.1.1 Makna sistem

Istilah ‘sistem’ menurut Giddens (1984) dalam ranah sosial adalah hubungan yang direproduksi oleh aktor-aktor atau kolektivitas yang diorganisasi sebagai praktek-praktek sosial reguler. Sistem merupakan sesuatu yang terus berubah atau beradaptasi terhadap suatu kondisi yang dihadapi dalam memudahkan penyelesaian permasalahan atau ketentuan aktivitas tertentu. Sistem lahir atas adanya struktur. Sedangkan ‘struktur’ dalam ranah sosial adalah aturan dan sumber daya atau tata-susun hubungan transformasi yang diorganisasi sebagai properti sistem sosial.

Sehingga ikatan struktur tersebut memiliki wewenang dalam menentukan sistem tertentu dalam menjalani aktivitas yang menyelesaikan permasalahan dengan sumberdaya pikiran melalui analisis tertentu.

Berdasarkan pemahaman istilah ‘sistem’ tersebut, kita dapat merumuskan bahwa sistem penanggulangan kebakaran adalah suatu ketetapan atas hubungan yang direproduksi untuk menetapkan penataan aktivitas terhadap peristiwa bencana kebakaran yang dalam hal ini di kawasan permukiman padat di Kecamatan Tanjung Balai Utara Provinsi Sumatera Utara. Sistem yang terbentuk pasti tidak sama pada setiap ranah, sebab setiap ranah memiliki kondisi yang berbeda-beda; dan sistem lahir sesuai dengan kondisi yang dihadapinya agar sistem tersebut dirasakan kemanfaatannya karena mampu menjawab permasalahan yang ada.

Dalam hal ini, studi tidak sanggup untuk merumuskan semua faktor-faktor yang ada hingga mampu melahir suatu ‘sistem’ yang dimaksud dalam penanggulangan bencana kebakaran oleh karena waktu studi yang terbatas. Studi hanya mengkaji sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan permukiman padat di Kecamatan Tanjung Balai Utara yang diharapkan sebagai masukan dalam sistem penanggulangan kebakaran yang akan disusun.

2.1.2 Pengaturan penanggulangan bencana secara umum

Menurut Departemen Sosial RI, pengaturan penanggulangan bencana bersifat dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan pengamatan setempat dan analisis bencana serta pencegahan,

mitigasi, kesiapsiagaaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Pengaturan bencana ini sangat baik diterapkan di lingkungan padat permukiman perkotaan yang diakibatkan oleh bencana agar dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan tersebut. Pada gambar 2.1 siklus atau daur penanganan bencana sebagai pemahaman aktivitas yang terjadi terus-menerus sebagai rangkaian respon dalam mengahadapi bencana sesuai permasalahan yang ditemui.

Gambar 2.1 Siklus Pengaturan Bencana Sumber: Cater, 1991

Siklus pengaturan bencana terdiri dari pencegahan yaitu langkah-langkah yang dilakukan untuk menghilangkan samasekali atau mengurangi secara drastis akibat dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsesuaian fisik dan lingkungan. Lalu mitigasi yaitu tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada pengurangan dampak dari ancaman sehingga demikian mengurangi kemungkinan dampak negatif kejadian bencana terhadap kehidupan. Berikutnya kesiapan yaitu perkiraan tentang kebutuhan yang akan timbul bila terjadi kedaruratan bencana dan pengenalan

sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan demikian membawa penduduk ke dalam tataran kesiapan lebih baik dalam menghadapi bencana. Penanggulangan kedaruratan/respon (early warning system) yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan seketika sebelum dan atau setelah terjadinya kejadian bencana. Kemudian pemulihan yaitu tindakan yang bertujuan untuk membantu masyarakat mendapatkan kembali sesuatu yang hilang dan membangun kembali kehidupan serta kempatan-kesempatan yang ada. Terakhir, pembangunan yaitu pembangunan kembali sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan.

Siklus pengaturan bencana merupakan acuan atau sasaran yang akan dicapai bila terjadi bencana. Sebagai pendekatan, akan tampil konsepsi manajemen bencana sebagai alat mempermudah menuju pengaturan bencana tersebut, yaitu:

1. Disaster Management Continuum Model

Model ini terfokus pada kejadian bencana dan tanggap darurat. Model ini juga mengasumsikan bahwa bencana tidak dapat dihindari, selain itu model ini menjelaskan bahwa bencana merupakan rangkaian yang terus berputar. 2. Pre-During-Post Disaster Model

Model ini sedikit berbeda dengan model sebelumnya yang menganggap perlunya campur tangan sebagai bentuk manajemen bencna dalam fase bencana. Bedanya adalah pada pandangan bahwa bencan dapat diakhiri atau

dihilangkan, selain itu kegiatan persiapan, mitigasi dan perbaikan dapat dilakukan sebelum, selama dan setelah terjadinya bencana.

3. Contract-Expand Model

Model ini mengasumsikan bahwa bencana terjadi ketika suatu bahaya melampaui kapasitas komunitas untuk manajemen bencana tersebut, semua komponen untuk pengurangan bencana dapat dilakukan bersamaan dengan penekanan yang berbeda-beda. Bencana tidak dapat dihindari dan datang dalam jangka waktu yang pendek.

4. Risk Reduction Disaster (RRD) Framework

Bencana akan lebih besar jika bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) meningkat dan kapasitas atau ketahanan menurun. Model ini memfokuskan pada manajemen resiko dengan mengurangi atau menghilangkan kerentanan, memahami karakteristik bahaya dan membangun ketahanan berdasarkan kerentanan dan bahaya yang dimiliki suatu wilayah dalam lingkup analisis sosial dan keilmuan.

5. Crunch Model

Awotona (1997) mengemukakan model ini adalah bahwa bencana merupakan produk dari kerentanan bertemu dengan bahaya. Model ini menunjukkan bahwa bencana hanya terjadi jika bahaya bertemu dengan kondisi yang membuat masyarakat atau elemen non-manusia mudah terkena dampak negatif dari suatu bahaya. Model ini juga memandang bencana sebagai konsep sosial yang perlu dilakukan penanganannya terhadap akar

penyebab munculnya kerentanan dan perlu dilakukan pemahaman terhadap terjadinya suatu bahaya. Fokus yang dilakukan adalah meningkatkan kapasitas suatu lingkungan serta analisis sosial untuk mengurangi kerentanan dan bahaya. Metodenya, dengan adanya pengurangan tingkat bahaya dapat digambarkan dengan peningkatan kapasitas atau ketahanan suatu lingkungan serta memperkecil tingkat kerentanan seuatu lingkungan terhadap suatu bahaya.

Atas pemahaman terhadap model Crunch, Pusat Mitigasi Bencana menterjemahkan model ini ke dalam rumus yang dapat mempermudah untuk menganalisis kualitas bencana terhadap dialektik antara bahaya, kerentanan dan ketahanan. Pada gambar 2.2 menerangkan model terjadinya bencana menurut pusat mitigasi Bencana ITB, resiko terjadinya bencana dapat dilihat dari bahaya yang bertemu dengan kerentanan serta tidak adanya ketahanan. Dengan adanya pemahaman rumusan ini, dapat dijustifikasi bahwa resiko bencana dapat dikurangi dengan meningkatkan nilai ketahanan dan memperkecil kerentanan yang ada. Sehingga resiko bencana kebakaran setiap kawasan dapat di ukur melalui sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan-nya.

Gambar 2.2 Model Terjadinya Bencana Menurut Pusat Mitigasi Bencana ITB

Dari ke lima konsepsi dalam memahami bencana serta proses dalam menanggapi bencana, model Crunch lebih relevan digunakan sebagai alat untuk menuju pendekatan sistem penanggulangan bencana kebakaran yang akan terbentuk atau sebagai masukan untuk sistem yang telah terbentuk, karena proses pemikirannya melibatkan aktor kunci (key-actor), ahli teknis dan pemerintah sebagai pe-bijak. Makna istilah ‘sistem’ oleh Giddens sejalan dengan konsep Crunch yang memikirkan dan mempertimbangkan segala aktor yang terlibat bersama-sama saling mendukung dalam menyelesaikan permasalahan bencana dengan menterjemahkan ‘bahaya’ di dukung oleh ‘kerentanan’ yang dapat diantisipasi ataupun ditekan dengan tindakan meningkatkan ‘ketahanan’. Apabila pemikiran ini dilaksanakan, maka dapat dipastikan bahwa kawasan tersebut akan jauh dari bahaya bencana karena menghapus tingkat kerentanan melalui pemenuhan ‘ketahanan’.

2.1.3 Bencana dan resiko

Menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, istilah bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Sedangkan potensi bencana yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yang dikutip dalam Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan Bakornas 2002

yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Kelompok potensi bahaya utama terdapat di wailayah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (lingkungan kumuh perkotaan) dan jumlah industri berbahaya yang tinggi.

Kemudian, di dalam UU RI No. 24 tahun 2007 juga terdapat tiga kelompok bencana yaitu:

1. Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, bunung meletus dan bencana alam lainnya.

2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non-alam yang diantaranya berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.

Ketiga kelompok bencana diatas muncul berdasarkan atas faktor penyebab terjadinya bencana. Sedangkan faktor penyebab terjadinya bencana tidak terlepas dari kerentanan kawasan setempat. Oleh karena itu, kerentanan menjadi faktor penentu atas besar kecilnya resiko terjadinya bencana.

Menurut Sanderson (1997), yang terdapat pada gambar 2.3 beberapa faktor resiko bencana merupakan hasil dari kerentanan bertemu dengan bahaya yang ada. Bahaya dapat dilihat berdasarkan tipe, frekuensi dan kualitas bahaya yang akan

muncul. Sedangkan kerentanan dilihat berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, infrastruktur, dan organisasi yang dimiliki suatu kawasan. Dalam konteks ini tidak terdapat suatu pertimbangan terhadap potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan dalam menghadapi bahaya yang mengancam.

Gambar 2.3 Faktor Resiko Menurut Sanderson Sumber: Diadaptasi dari bagan konsep bencana Sanderson

Sedangkan resiko menurut Naskah Undang Undang Penanggulangan Bencana yang ada pada gambar 2.4 menjelaskan bahwa resiko bencana merupakan fungsi dari ancaman (A) dengan keadaan (K) yang rentan, yang dapat dirubah dengan adanya kemampuan (m). Pemahaman resiko ini dapat dijadikan rumus dalam mengantisipasi bahaya yang akan muncul dengan nilai resiko yang dihasilkan adalah 0 (nol).

Sebagai pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan bencana kebakaran pada wilayah studi akan dibahas terlebih dahulu tentang konsepsi tipologi perumahan dan pemukiman perkotaan sebagai objek atau sasaran penyelesaian dalam lingkup fisik tempat tinggal, ekonomi, budaya dan sosial kemasyarakatannya. Kemudian pembahasan diteruskan tentang bahaya, kerentanan dan ketahanan sebagai proses

memunculkan variabel tolok ukur penanggulangan bencana kebakaran di permukiman padat Kecamatan Tanjung Balai Utara.