• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Kerentanan Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan Tanjung Balai

ANALISIS KAWASAN PENELITIAN

4.4 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Kerentanan Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara (Kelurahan Tanjung Balai

Kota III dan Kelurahan Tanjung Balai Kota IV)

Pada sub bab ini akan dilakukan analisis dengan cara identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan (V) bahaya kebakaran atas pengaruh yang menyebabkan munculnya api berdasarkan teori-teori ruang perkotaan yang didukung dengan acuan referensi tentang ketetapan pernyataan yang berkaitan dengan kerentanan terjadinya kebakaran.

4.4.1 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut kondisi Pemukiman (KP)

Berdasarkan referensi melalui kolektif yang berasal dari lembaga baik secara instansi dan perorangan yang terungkap sebagai identifikasi awal pada bab sebelumnya, rumusan aspek kerentanan kebakaran menurut kondisi pemukiman di dominasi oleh kualitas konstruksi dan fisik bangunan yang tidak standar atau memakai material bermutu rendah.

Menurut fakta yang terdapat di wilayah penelitian, populasi perumahan yang bersifat non-konvensional mendominasi disbanding perumahan yang bersifat konvensional. Fakta ini dapat kita lihat lingkungan perumahan yang berada di sepanjang pinggiran muara di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan lingkungan perumahan yang terdapat di pinggiran sepanjang rel kereta di Wilayah Keluarahan Tanjung Balai Kota IV seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Dari gambar 4.10 terlihat kondisi kualitas rumah-rumah yang ditampilkan terbuat dari material dibawah standar, idengan tingkat kepadatan pemukiman di wilayah studi terlalu tinggi. Oleh karena itu, kerentanan yang memudahkan penyebaran terjadinya kebakaran yang meluas disebabkan oleh fisik pemukiman masyarakat yang tidak standard dan berkualitas rendah.

Gambar 4.10 Rentannya Kualitas Fisik Pemukiman Terhadap Kebakaran Sumber: Observasi, Mei 2011

kondisi fisik bertinggal di wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III,

rumah-rumah terbuat dari material dibawah standar yang sangat mudah terbakar sehingga teerlalu rentan terjadinya

kebakaran

kondisi fisik bertinggal di wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV, rumah-rumah menempel pada bangunan kantor kereta api yang telah usang

Adapun tempat bernaung layak bertinggal sebagai tolok ukur adalah, berdirinya fisik tempat tinggal yang terbuat dari struktur dan dinding beton serta penutup atap yang tidak mudah terbakar seperti rangka baja dan tutupan genteng. Namun perbaikan kualitas material standar fisik tempat tinggal masyarakat tersebut sulit dicapai karena mereka masyarakat berpenghasilan rendah.

Berdasarkan penjelasan yang dilakukakn dalam konteks ini dapat diambil kesimpulan bahwa variabel kerentanan bahaya kebakaran dalam lingkup kondisi pemukiman bernilai 0.

4.4.2 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinyakebakaran menurut kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya (KRAPK)

Variabel kerentanan terjadinyua kebakaran menurut kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya biasanya dialami oleh kelompok masyarkat yang berstatus bridgeheader. Kelompok ini pasti selalu memanfaatkan peluang pendapatan yang ada karena tidak memiliki keahlian. Kurangnya tingkat keahlian yang ada disebabkan karena mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kapital atau modal yang dimiliki oleh mereka adalah tenaga sebagai imbal jasa dalam meraih penghasilan. Populasi mereka sangat mendominasi di wilayah perkotaan.

Untuk masyarakat perkotaan wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III, mendapatkan penghasilan yang sangat mudah dapat dijalani sebagai buruh nelayan. Menurut informasi yang ada di lapangan, mereka secara umum untuk mendapatkan pengahasilan tanpa memerlukan pendidikan dan keahlian standar dengan membantu

para nelayan di lautan. Tentang bagaimana spesifikasi pekerjaan nantinya secara langsung akan terpraktikkan secara praktis disaat proses aktivita nelayan berlangsung. Sebagai imbalannya, mereka akan mendapatkan hasil tangkapan di laut dan persentasi hasil penjualan penangkapan ikan di pelelangan ikan dengan nilai yang sedikit. Namun penghasilan di peroleh tergantung dari hasil pendapatan yang raih saat proses ber-nelayan yang sudah mulai terdapat kesulitan.

Menurut Keterangan Kepala Camat Kecamatan Tanjung Balai Utara, aktivitas nelayan dalam meraih pendapatan terdapat kesulitan karena para nelayan yang ada bertindak untuk memetakkan perairan laut yang ada sebagai ke-absahan dalam bernelayan atau terdapat batasan ruang dalam menangkap ikan. Walau permasalahn ini sudah ditangani oleh pihak yang berwenang, namun kepala camat juga tidak menjamin apakah permasalahan tersebut terselesaikan di lapangan.

Para nelayan yang mampu mengumpulkan pendapatannya hanya mampu untuk membeli kapal kecil yang memiliki kekuatan terbatas di arena laut. Sehingga dapat dipastikan bahwasanya seluruh nelayan yang terdapat di Kelurahan Tanjung Balai Kota III mengalami permasalahan tersebut. Terdapat pemikiran bahwa pemilik kapal saja menemukan kesulitan pendapatan saat mencari penghasilan, apalagi sesorang yang berstatus sebagai buruh di atas kapal nelayan tersebut.

Waktu bekerja mereka tidak menentu tergantung dari hasil penangkapan yang diraih. Kemudian proses daur hari mereka juga berada di atas kapal. Sehingga terbentuklah citra terhadap tempat tinggal mereka yang hanya sebagai tempat istrirahat belaka atau sebagai tempat berteduh istri dan anak-anaknya. Bagaimana

tentang kualitas fisik bertinggal mereka akan terlihat pada gambar 4.11 yang merupakan citra masyarakat berpenghasilan rendah dari sisi tempat tinggal di wilayah kelurahan Tanjung Balai Kota III.

Gambar 4.11 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat Tinggal di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota III

Sumber: Observasi, Mei 2011

Sedikit berbeda dengan kondisi masyarakat berpenghasilan rendah yang berada di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV. Waktu kerja mereka nyaris tetap karena pada umumnya mereka bekerja sebagai buruh di area perdagangan. Wilayah kota Kelurahan Tanjung Balai Kota IV terdapat pasar atau pusat perdagangan tradisional dan konvensional, seperti pasar daerah yang melayani kebutuhan sehari-hari dan toko-toko perlengkapan lainnya. Wilayah ini juga berdekatan dengan pusat perdagangan pakaian bekas (monza) yang berada di Kelurahan Matahalasan, sehingga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta terbatasnya keahlian dapat mencari penghasilan disana.

kondisi fisik bertinggal masyarakat berpenghasilan rendah sangat rentan menimbulkan dan menjadi penghantar terjadinya kebakaran ke rumah-rumah sekitarnya yang menyebabkan

Masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah Keluarahan Tanjung Balai Kota IV berdempetan mendiami tempat tinggal di pinggiran rel kereta api atau tepatnya mengisi ruang kosong sebagaian bidang lahan stasiun Kereta Api Kota Tanjung Balai. Menurut Kepala Camat Kecamatan Tanjung Balai Utara, keberadaan tempat tinggal mereka diragukan keabsahannya kerena menduduki lahan yang dimiliki oleh PT. KAI. Oleh karena itu terjadi penciptaan ruang permukiman yang tidak tertata atau terencana secara sepihak yang hendak bertinggal di wilayah tersebut dengan fisik tempat tinggal yang tidak standar. Berikut citra bertinggal mereka yang dapat diterjemahkan atas nilai penghasilan yang dimiliki sebagai masyarakat kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya dengan melihat gambar 4.12.

Gambar 4.12 Citra Masyarakat Berpenghasilan Rendah dari Sisi Tempat Tinggal di Wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV

Sumber: Observasi, Mei 2011

kondisi fisik bertinggal masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah Kelurahan Tanjung Balai Kota IV yang

rentan terjadinya proses kebakaran

salah satu aktivitas ekonomi sekitar tempat tinggal mereka sebagai ceruk pendapatan bagi

masyarakat berpenghasilan rendah yang melahirkan citra buruk terhadap kualitas fisik

Berdasarkan data statistik yang telah ditampilkan pada sub bab sebelumnya menjelaskan bahwa Wilayah Kecamatan Tanjung Balai Utara memiliki tingkat kepadatan populasi penduduk yang sangat tinggi dibanding dengan luas wilayah yang ada. Penjelasan secara empiris tersebut karena tutupan lahan lebih luas dibanding ruang terbuka. Potensi yang dimiliki wilayah menjadi magnet bagi masyarakat untuk berkarya dalam memanfaatkan segala ceruk ekonomi yang ada.

Atas kondisi tersebut seperti terlihat pada gambar 4.13 kantung-kantung permukiman yang tidak tertata atau terencana. Rumah-rumah berdiri saling berdempetan hingga melahirkan jalan-jalan kecil (gang atau jalan tikus) sebagai sarana pencapaian antar rumah dan dari rumah menuju lokasi karya. Selain itu juga terdapat ruang kosong yang dikelilingi deretan rumah-rumah tak terencana yang dapat dimanfaatkan anak-anak untuk bermain dan berkumpul. Sedangkan aktivitas sosialisasi antar tetangga yang pada umumnya dilakukan oleh ibu-ibu dapat dilakukan dengan bertandang ke teras-teras rumah tetangga.

Ungkapan kondisi tersebut menjelaskan pada kita bahwa akan mempersulit bagi armada kebakaran ke lokasi sasaran terjadinya kebakaran, sehingga menjalarnya api pada rumah yang lain akan terjadi dalam waktu yang singkat. Menurut keterangan melalui wawancara dengan petugas pemadaman kebakaran daerah setempat untuk mencapai sasaran terjadinya kebakaran dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan bangunan tinggi di sekitar wilayah terjadinya kebakaran. Cara lain yang dapat dilakukan petugas yaitu dengan menambah kapasitas panjang pipa penyemprotan air

agar mempermudah pencapaiannya ke lokasi kebakaran walau tekanan air menjadi berkurang.

Maka variabel kerentanan dalam lingkup kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya yang terkait dengan lokasi permukiman terlalu padat diberikan nilai 0,

sebab lingkungan permukiman yang terbentuk tidak menyediakan ruang sirkulasi armada kebakaran dalam mencapai lokasi kebakaran serta mempermudah meluasnya api membakar rumah-rumah di sekitarnya.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap masayarakat berpenghasilan rendah terhadap kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya dalam lingkup kerentanan terjadinya kebakaran mendapat nilai 0.

Adapun tolok ukur dalam menyelesaikan permasalahan pada konteks ini sangat kompleks, yaitu tidak hanya perbaikan terhadap kualitas fisik tempat tinggal mereka saja, namun juga tersedia luasnya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Istilah citra mengandung makna dialektik atau pergumulan penyelesaian permasalahan yang saling berpengaruh, atau penyelesaian satu permasalahan akan dapat diselesaikan bila permasalahan lain yang melingkupinya juga turut diproses untuk diselesaikan.

1.posisi rumah yang saling berhadapan terpisah dengan jalan setapak dengan muatan sirkulasi hanya untuk dua orang berselisih jalan.

2.lingkungan perumahan dengan letak yang tidak tertata.

3.anak-anak memanfaatkan lahan kosong yang ada ditengah-tengah kepadatan dempetan rumah.

4.akses jalan local yang tidak memadai untuk memeroses percepatan pemadaman kebakaran oleh damkar.

5. jalan tikus atau gang senggol yang hanya dapat dilalui oleh satu orang.

Gambar 4.13 Kondisi Lingkungan Permukiman Padat Penduduk Sumber: Observasi, Mei 2011

1

2

3

4

4.4.3 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut daur hari bertinggal (DHB)

Pada kegiatan dalam identifikasi yang terkait dengan daur hari bertinggal terlingkup terhadap kerentanan terjadinya kebakaran pada bab sebelumnya tidak terdapat variabel yang dilahirkan. Namun setelah menjalani studi observasi di lapangan serta dengan beberapa hasil wawancara yang dihasilkan ternyata menandung tingkat kerentanan terjadinya kebakaran terutama terhadap perluasan ruang yang terbakar di lingkungan wilayah studi.

Masyarakat pekerja yang ada di lingkungan permukiman pada pagi hingga sore hari pada umumnya di lokasi karya, maka masyarakat yang bertinggal di tempat tinggal di dominasi oleh kaum ibu dan anak-anak. Daur hari ibu rumah tangga dan anak-anak sebelum dan pulang sekolah di tempat tinggal biasanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Atas kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat yang berada di tempat tinggal akan memadati lingkungan permukiman di malam hingga pagi hari.

Kegiatan analisis dalam melihat kapasitas populasi masyarakat bertinggal di lingkungan permukiman akan menentukan percepatan atau lambatnya perluasan saat terjadinya kebakaran. Hal ini menjadi pembahasan karena kondisi kebakaran yang terjadi di malam hingga pagi hari dan pagi hingga sore hari memiliki penanganan pemadaman yang berbeda tergantung jumlah populasi masyarakat yang berada di lingkungan permukiman. Dengan pernyataan bahwa semakin tinggi jumlah populasi masyarakat di lingkungan permukiman, maka waktu pemadaman penyebaran api juga

akan semakin cepat karena volume air yang dikerahkan dalam pemadaman akan semakin besar. Begitu juga sebaliknya, bila kebakaran terjadi di pagi hingga sore hari maka pemadaman kebakaran akan berjalan lambat karena populasi masyarakat yang berada di lingkungan permukiman akan sedikit serta sedikitnya volume air yang dikerahkan untuk pemadaman api akan semakin sulit.

Hal ini dibuktikan dengan melihat kembali tabel peristiwa kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara di Jalan D.I. Panjaitan G. Amal pada tanggal 7 Desember 2009 telah membakar tujuh unit rumah (unit terbanyak dari peristiwa lainnya) yang terjadi di pagi hari, tepatnya pada waktu 09.19 WIB. Dengan tingginya tingkat kepadatan penduduk akan memudahkan perluasan api, dan hal ini hanya dapat di atasi dengan cara kebersamaan masyarakat bersama-sama untuk meredam laju perluasan api atas volume air sejalan dengan populasi masyarakat yang sedang bertinggal di permukiman.

Setelah menganalisis tingkat kerentanan kebakaran dalam lingkup daur hari bertinggal yang dikaitkan dengan jumlah populasi yang sedang bertinggal di lingkungan permukiman turut menentukan perluasan penyebaran api di saat terjadinya kebakaran, lokasi wilayah studi mendapat nilai 0 sebab populasi masyarakat bertinggal di waktu pagi hingga sore hari lebih sedikit dibanding dengan populasi masyarakat di waktu malam hingga pagi hari yang melahirkan tingkat kerentanan perluasan kebakaran yang cukup tinggi.

4.4.4 Identifikasi serta penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut aktivitas ekonomi (AE)

Menurut identifikasi awal yang berasal dari referensi yang ada pada bab sebelumnya, variabel kerentanan kebakaran dalam lingkup aktivitas ekonomi di dominasi dengan pemikiran tentang rendahnya penghasilan atau pendapatan masyarakat. Sebab, nilai pendapatan dibawah rata-rata membuat masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu meningkatkan kualitas atau kesejahteraan hidupnya, melainkan hidup hanya untuk makan dan tidak ada alokasi dana untuk membenahi sesuatu yang dapat mengancam terjadinya bahaya kebakaran di tempat tinggalnya.

Dengan adanya fakta yang telah dikemukakan sebelumnya tentang citra yang diambil dari tempat tinggal mereka dapat menginterpretasikan sebagai analisis dengan pemikiran yang tidak jauh berbeda bahwa pendapatan ekonomi atau penghasilan mereka berpengaruh besar terhadap kerentanan terjadinya kebakaran pada tempat tinggal mereka. Lingkungan pemukiman yang berada di sepanjang pinggiran muara di Kelurahan Tanjung Balai Kota III dan deretan rumah-rumah yang berada di sepanjang pinggiran rel kereta api di Keluarahan Tanjung Balai Kota IV merupakan terjemahan citra kerentanan yang ada yang berasal dari hasil aktivitas ekonomi mereka. Oleh karena itu, variabel kerentanan terjadinya kebakaran menurut aktivitas ekonomi mendapat nilai 0.

4.4.5 Rekapitulasi penilaian tolok ukur dan variabel kerentanan bahaya kebakaran di kecamatan Tanjung Balai Utara

Berdasarkan penjelasan berupa pengidentifikasian tolok ukur dan variabel kerentanan kebakaran (V) di Kecamatan Tanjung Balai Utara, maka pada tabel 4.13 dijelaskan tentang penilaian rentannya bahaya kebakaran di kawasan pemukiman padat Kecamatan Tanjung Balai Utara.

Tabel 4.13 Penilaian Terhadap Variabel Kerentanan Kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara

VARIABEL TOLOK UKUR PENILAIAN

KP Kondisi fisik tempat tinggal terdiri dari

material dibawah standar 0

KRAPKA

Masyarakat berpenghasilan rendah, pendidikan rendah dan keahlian yang rendah

0 Lingkungan permukiman berderetan

mempermudah penyebaran api 0

Kapasitas pemukiman yang terlalu padat 0

DHB

Terjadinya kebakaran dan cepat meluas disaat populasi masyarakat di lingkungan permukiman menurun karena berada di lokasi karya

0

AE

Penghasilan yang didapat hanya mempu untuk kebutuhan sehari-hari atau tidak memiliki keuangan cadangan

0

Jumlah Nilai Variabel Kerentanan Bahaya Kebakaran (V) 0

Berdasarkan rekapitulasi variabel kerentan bahaya kebakaran (V) di Kecamatan Tanjung Balai Utara berjumlah 0. Hal ini menjelaskan bahwa kerentanan bahaya kebakaran di Kecamatan Tanjung Balai Utara sangat tinggi; karena nilai 6 adalah nilai tertinggi variabel berstatus kerentanan bahaya kebakaran terendah (lingkungan padat pemukiman jauh dari kerentanan bahaya kebakaran); sedangkan nilai 0 adalah

nilai terendah variabel namun berstatus sangat rentan terjadinya bahaya kebakaran (lingkungan padat pemukiman yang sangat rentan sekali terhadap bahaya kebakaran).

4.5 Identifikasi serta Penilaian Tolok Ukur dan Variabel Ketahanan