• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Identifikasi Faktor Teknis Penanggulangan Bencana Kebakaran

2.4.5 Penanggulangan kebakaran

Sistem penanggulangan kebakaran ada dua sistem yaitu perlindungan pasif dan perlindungan aktif. Perlindungan pasif yaitu sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan menggunakan pengaturan terhadap komponen bangunan dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Sedangkan sistem

perlindungan aktif yaitu sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan menggunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melakukan operasi pemadaman.

2.4.5.1 Perlindungan pasif

Dalam Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 terdapat tipe klasifikasi konstruksi bangunan berdasarkan ketahannya terhadap resiko kebakaran yang dimuat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Tipe Konstruksi Bangunan Berdasarkan Ketahanannya Terhadap Resiko Kebakaran

TIPE KONSTRUKSI KETERANGAN

Tipe I

Konstruksi Tahan Api

Bangunan yang dibuat dengan bahan tahan api (beton, bata dan bahan lainnya dengan bahan logam yang dilindungi) dengan struktur yagn dibuat sedemikian rupa sehingga tahan terhadap peruntukan dan perambatan api.

Tipe II dan IV Tidak Mudah Terbakar,

Konstruksi Kayu Berat

Bangunan yang seluruh bagian konstruksinya (termasuk dinding, lantai dan atap) terdiri dari bahan yang tidak mudah terbakar atau tidak termasuk sebagai bahan tahan api yaitu termasuk bangunan konstruksi kayu dengan dinding bata, tiang kayu 20,3 cm cm,lantai kayu 76 mm, atap kayu 51 mm dan balok kayu 15,2 x 25,4 cm.

Tipe III Biasa

Bangunan dinding luar bata atau bahan tidak mudah terbakar lainnya sedangkan bagian bangunan lainnya terdiri dari kayu atau bahan yang mudah terbakar. Tipe IV

Kerangka Kayu

Bangunan (kecuali bangunan rumah tinggal) yang strukturnya sebagaian atau seluruhnya terdiri dari kayu atau bahan mudah terbakar yang tidak tergolong dalam konstruksi bisa (tipe III)

Lingkungan permukiman padat di kota merupakan ruang komunal yang kaya akan kekurangan fisik tempat tinggalnya. Kondisi ini menghadapkan kita pada permasalahan yang kompleks. Perlindungan fisik permukiman padat dari bahaya kebakaran memerlukan kebijakan yang lengkap karena melibatkan berbagai pihak untuk menghapus bahaya kebakaran dalam meningkatkan kualitas hidup permukiman padat setempat pada kondisi yang lebih baik.

Mengingat perlindungan pasif tidak cukup dalam mengantisipasi dan menekan proses kebakaran, diperlukan perlindungan aktif yang melibatkan sumberdaya manusia atau pihak terkait sebagai tindakan awal dalam meredam kejadian kebakaran.

2.4.5.2 Perlindungan aktif

Sebelumnya telah kita ketahui bahwa sistem perlindungan aktif yaitu sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan menggunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melakukan operasi pemadaman. Namun pada saat ini begitu banyak peralatan perlindungan aktif dalam meredam kebakaran dan semuanya belum tentu sesuai di kawasan permukiman padat. Berikut akan tampil beberapa peralatan perlindungan aktif yang sesuai dengan permukiman padat. Air merupakan bahan utama, mendasar dan pertama dalam meredam kebakaran. Oleh karena itu kita juga akan menyinggung beberapa hal tentang pendistribusian air agar dapat

memanfaatkan peralatan perlindungan aktif secara maksimal dalam meredam peralatan.

a. Alat Pemadam Api Portable

Alat pemadam api portable (APAP) terdiri dari alat pemadam api ringan (APAR) dan alat pemadam api beroda (APAB). Biasanya kedua alat ini digunakan untuk tanggap awal pemadaman api. Kedua alat ini dapat disediakan oleh instansi setingkat keluarahan dan kecamatan serta tiap- tiap rumah tangga. Adapun spesifikasi kebaradaan alat ini akan di urai sebagai berikut:

1. Alat Pemadam Api Ringan

Alat pemadam api ringan merupakan salah satu perlengkapan pemadaman kebakaran yang memiliki berat sekitar 16 kg. Alat pemadam kebakaran ringan ini tidak hanya berisi air, namun ada juga yang berisikan foam, serbuk kimia atau CO2 sesuai dengan penggunaannya terhadap jenis kebakaran yang dihadapi.

2. Alat Pemadam Api Beroda

Alat pemadam api beroda merupakan alat pemadam yang memiliki berat sekitar 100 hingga 150 kg. Biasanya alat ini digunakan untuk daerah yang tidak bisa dimasuki kenderaan pemadam kebakaran. b. Hydrant

1. Hydrant Box, berdasarkan letaknya terbagi dua yaitu hydrant di dalam ruangan dan di luar ruangan. Pemasangan hydrant box biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dan luas ukuran ruangan. Tetapi untuk ukuran minimalnya diharuskan pada tiap lantai terdapat minimal satu unit. Pemasangan hydrant box di dalam ruangan (menempel pada dinding) biasanya harus disertai pemasangan alarm bel dibagian atas hydrant box. Pada Hydrant Box juga terdapat gulungan selang atau lebih dikenal dengan istilah hose reel. Biasanya peralatan ini terdapat di dalam gedung berlantai banyak, namun terdapat juga kemungkinan di letakkan melalui titik- titik dengan jangkauan tertentu di kawasan permukiman dengan pengamanan tertentu agar masyarakat setempat dapat menggunakannya terlebih dahulu sebelum keberadaan kebakaran semakin meluas sembari menunggu mobil pemadam kebakaran tiba. Oleh karena itu diperlukan perlindungan atau keamanan khusus serta penyuluhan kepada masyarakat setempat untuk menjaga hidrant box agar selalu siap pakai di saat terjadi kebakaran.

2. Hydrant Pillar, alat ini memiliki fungsi untuk menyuplai air dari PAM dan GWR gedung yang disalurkan ke mobil pemadam pebakaran agar dapat menyemprotkan air ke gedung yang sedang terbakar. Alat ini biasanya diletakan dibagian luar gedung yang jumlah dan peletakannya disesuaikan dengan luas gedung.

Pada saat ini hidrant pillar biasanya terkonsentarasi penyediaannya di titik-titik pusat kota yang dianggap penting. Hal ini dapat kita buktinya dengan adanya keberadaan hidran pillar di sisi jalan protokol. Besar kemungkinan penyediaan hidran pillar belum memiliki analisis khusus untuk penyediaannya di wilayah permukiman padat. Untuk mencapai tingkat efisiensi dalam meredamnya perluasan kebakaran, alat ini cukup sesuai penyediaannya di kawasan permukiman padat yang sangat rentan terjadinya bahaya kebakaran. Terlebih lagi bila penyediaannya berdampingan dengan hidran box yang langsung dapat digunakan oleh masyarakat setempat.

3. Siamese Connection

Alat ini memiliki fungsi untuk menyalurkan air dari mobil pemadam kebakaran untuk disalurkan ke dalam sistem instalasi pipa pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang terpasang di dalam gedung, dan selanjutnya dipancarkan melalui sprinkler- sprinkler dan hydrant box yang ada di dalam gedung. Alat ini diletakan pada bagian luar gedung yang jumlahnya serta peletakannya disesuaikan dengan luas dan kebutuhan gedung itu sendiri.

Dari cara kerja alat ini, dapat dipahami bahwa siamese connection hanya bersifat sebagai penghubung dari sumber air ke titik-titik

pancaran air yang biasanya hanya terdapat fasilitas tersebut di dalam gendung bertingkat banyak. Besar kemungkinan terjadi penyediaan alat siamese connection di kawasan permukiman padat karena cara kerja yang lebih cepat dan efisien. Tetapi memerlukan analisis khusus dan mendalam terhadap penyediaannya baik secara kualitas dan kuantitas serta secara teknis dan manajerial dalam pemanfaatannya yang tidak akan dibahas pada studi ini.

2.5 Kesimpulan

Sistem penanggulangan kebakaran pada suatu pemikiran ternyata tidak hanya terbatas terhadap penyediaan dan penempatan alat-alat pemadam kebaran saja, namun memerlukan analisis tentang bagaimana keberadaan bahaya kebakaran setempat yang dikaitkan dengan kerentanan yang ada baik secara fisik tempat tinggal maupun aktivitas yang terjadi di kawasan permukiman padat. Keluaran dari pergumulan antara bahaya dan kerentanan hanya bisa disikapi dengan ketahanan. Semakin rendah nilai kerentanan maka bahaya akan semakin sulit terjadi yang berarti memiliki nilai ketahanan yang tinggi, dan sebaliknya bila semakin tinggi nilai kerentanan maka bahaya akan semakin mudah terjadi yang berarti memiliki nilai ketahanan yang rendah.

Untuk mendekatkan kita kepada kesimpulan dalam menilai (tolok ukur) tingkat bahaya, kerentanan dan ketahanan di permukiman padat kawasan Tanjung Balai Utara, diperlukan identifikasi terhadap studi literatur yang sudah tampil menjadi suatu

variabel terhadap kondisi nyata di lapangan. Identifikasi di lingkupi oleh konsep tipologi perumahan dan pemukiman perkotaan yang terbagi menjadi keberadaan permukiman (KP); kelompok rumah atas prioritas dan kebutuhannya (KRAPK); daur hari bertinggal (DHB); aktivitas ekonomi (AE) dalam koridor bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) yang dinilai melalui ketahanan (capacity) yang berasal dari analisis teori budaya sosial kemasyarakatan (BSK) yang berisikan tentang standarisasi, peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang ada.

Hasil identifikasi merunut pada rumus Crunch untuk menghasilkan tolok ukur penanggulangan bencana kebakaran dengan model yang terlihat pada gambar 2.10.

Gambar dan uraian identifikasi berdasarkan literatur yang terkait dengan fisik lingkungan kawasan penelitian dan pemakaian yang bertinggal di lokasi tersebut dalam lingkup ekonomi, sosial dan budaya mereka yang dipahami bahwa sumber bahaya dan kerentanan diungkap melalui KP, KRAPKA, DHB dan AE. Sedangkan ketahanan hanya dijawab melalui pemahaman BSK. Atas susunan pemikiran ini, BSK merupakan pemahaman teori yang dapat menjadi tolok ukur untuk melahirkan status wilayah penelitian nantinya.

Pada tabel 2.4, 2.5, dan 2.6 merupakan hasil identifikasi awal atas pergulatan studi literatur yang dikelompokkan pada pemahaman teori yang ada (KP, KRAPKA, DHB, AE dan BSK) menjadi variabel-variabel yang dapat memudahkan penilaian untuk merumuskan status bahaya kebakaran di wilayah penelitian dengan menggunakan model Crunch.

Gambar 2.10 Identifikasi Penanggulangan Kebakaran Diadaptasi Melalui Rumus Crunch DISASTER

VULNERABILITY

HAZARD

C

A

P

A

C

I

T

Y

KRAPK KP DHB AE KRAPK KP DHB AE BSK SPK

Tabel 2.4 Variabel Identifikasi Bahaya Kebakaran Davidson URI (Urban Research Institute) Mantra NFPA (National Fire Protection Agency) FRA (Fire Risk Assessment) Rumusan Variabel KP (Kondisi Permukiman) Terdapatnya kerusakan pada pipa atau selang gas; Jatuhnya alat pemanas air. Hubungan singkat arus listrik. Kebocoran peralatan listrik; Korsleting listrik Listrik; Pemanas Listrik Kelengkapan kondisi permukiman terhadap jaringan listrik dan pemanas air sebagai penyulut atau sumber utama penyebab bahaya kebakaran

KRAPK (Kelompok Rumah

Atas Prioritas dan Kebutuhan) DHB (Daur Hari Bertinggal) Arus pendek listrik; Tumpahnya cairan kimia. Sambungan listrik yang tidak standar; Kesalahan pemakaian gas. Kompor minyak tanah; Perlengkapan peralatan non listrik (lampu tempel dan lilin)

Gas dan Minyak; Penggunaan minyak tanah dalam memasak; Perlengkapan Penerangan; Rokok; Korek Api; LPG; Penyalaan Api secara langsung

Aktivitas daur hari bertinggal terhadap penggunaan daya listrik dan non listrik serta kebiasaan merokokdan penyalaan api sembarangan adalah penyebab bahaya kebakaran. AE (Aktivitas Ekonomi)

Pompa bensin Pom bensin; Pemasok bahan bakar minyak dan LPG

Aktivitas lokasi karya di lingkungan permukiman seperti pom bensin, bahan bakar minya dan LPG sebagai penyebab kejadian kebakaran.

LITERATUR KONSEP

Tabel 2.5 Variabel Identifikasi Kerentanan Kebakaran Charlotte Benson

dan Jhon Twigg

Paul Venton dan Bob

Hansford Oetomo Rumusan Variabel

KP (Kondisi Permukiman)

Kerusakan dan kerugian; Fisik tempat tinggal yang tidak tahan api

Kondisi fisik bangunan yang buruk.

Kondisi fisik bangunan; Material bangunan; Konstruksi bangunan

Kondisi fisik permukiman yang memiliki material dan konstruksi yang rendah sangat rentan terhadap bahaya kebakaran sekaligus menjadi bahan bakar dalam perluasan proses kebakaran.

KRAPK (Kelompok Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhan) Ketergantungan terhadap sumberdaya pencaharian setempat; Keterampilan dan pengetahuan yang terbatas.

Kota merupakan tempat bergantung masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengeruk segala aktivitas yang ada dalam meraih pendapatan. Semakin tinggi tingkat aktivitas prekonomian suatu kota maka semakin tinggi pula kerentanan bahaya kebakarannya.

Lingkungan sosial yang buruk; Lingkungan Permukiman yang tidak mendukung. Lokasi lingkungan permukiman yang terlalu padat; Populasi lanjut usia dan balita yang tidak seimbang; Komunitas

terorganisasi; Kepemimpinan yang kurang baik.

Kepadatan penduduk populasi balita dan lanjut usia; segresi sosial dan disparitas ekonomi. Nilai kebudayaan dan politisasi.

Lingkungan permukiman yang buruk, populasi

permukiman yang rapat dan padat sangat mudah tertimpa bencana kebakaran dengan tingkat bahaya yang tinggi karena cepat meluas oleh material yang mudah terbakar dan menyulitkan mobil pemadam kebakaran berhadapan langsung dengan proses kebakaran. Populasi balita dan lansia akan menyulitkan proses evakuasi yang

menimbulkan banyak korban serta kondisi lingkungan yang mudah terjadinya sabotase oleh kepemimpinan yang buruk dan komunitas yang terorganisasi membuat kualitas hidup masyarakat permukiman padat semakin memburuk. DHB (Daur Hari Bertinggal) AE (Aktivitas Ekonomi)

Penghasilan yang tidak mapan; Kurangnya mendapat kesempatan kerja.

Pendapatan rendah Nilai pendapatan dibawah rata-rata membuat masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu untuk meningkatkan kualitas hidupnya, hidup hanya untuk makan dan tidak ada alokasi dana untuk membenahi sesuatu yang dapat mengancam bahaya kebakaran di tempat tinggalnya.

Tabel 2.5 (Lanjutan) Davidson URI (Urban Research Institut) Mantra Bakornas Penanggulangan

Bencana Rumusan Variabel

KP (Kondisi Permukiman) Kualitas bahan bangunan; Material bangunan; Kondisi fisik perumahan Kondisi fisik bangunan permukiman; struktur bangunan.

Kualitas fisik bangunan permukiman.

Kondisi fisik permukiman yang memiliki material dan konstruksi yang rendah sangat rentan terhadap bahaya kebakaran sekaligus menjadi bahan bakar dalam perluasan proses kebakaran.

KRAPK (Kelompok Rumah Atas Prioritas dan Kebutuhan) Kepadatan penduduk; Persentase populasi balita dan lansia yang terlalu banyak; Sakit, cacat dan hamil. Kejadian kebakaran masa lalu

Tidak ada akses jalan masuk; Tidak tersedia ruang terbuka untuk evakuasi; jarak antar bangunan yang terlalu rapat karena kepadatan.

Kepadatan penduduk; Laju pertambahan penduduk.

Lingkungan permukiman yang buruk, populasi permukiman yang rapat dan padat sangat mudah tertimpa bencana kebakaran dengan tingkat bahaya yang tinggi karena cepat meluas oleh material yang mudah terbakar dan menyulitkan mobil pemadam kebakaran berhadapan langsung dengan proses kebakaran. Populasi balita dan lansiayang tinggi serta tidak tersedianya ruang terbuka akan menyulitkan proses evakuasi yang menimbulkan banyak korban.

DHB (Daur Hari Bertinggal) AE (Aktivitas Ekonomi) Pendapatan ekonomi rendah.

Nilai pendapatan dibawah rata-rata membuat masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu untuk meningkatkan kualitas hidupnya, hidup hanya untuk makan dan tidak ada alokasi dana untuk membenahi sesuatu yang dapat

mengancam bahaya kebakaran di tempat tinggalnya.

KONSEP

LITERATUR

Tabel 2.6 Variabel Identifikasi Ketahanan Kebakaran Kemeneg

Ristek RI Oetomo Davidson

URI (Urban Research Institut) Mantra Kepmen PU No. 11 Thn 2000 Rumusan Variabel BSK (Badan Sosial Kemasayarakatan) Kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah; Kapasitas dan Potensi Masyarakat; Masyarakat.

Fasilitas gawat darurat kesehatan, fasilitas pemadam kebakaran, tempat-tempat evakuasi potensial ruang terbuka yang kokoh, fasilitas bangunan sebagai ruang sekretariat komando penanggulangan bencana; Sistem peringatan dini, sarana koordinasi, telekomunikasi dan informasi, sarana transportasi atau perhubungan, ambulan, mobil pemadam kebakaran yang sesuai dengan kebutuhan, hidran, tandon air bersih serta alat-alat berat yang mempercepat meredam bencana yang lebih meluas;

Tenaga medis, paramedik, polisi, petugas pemadam kebakaran, hansip, militer dan kelompok sukarelawan. Personel pemadam kebakaran; penyediaan kebutuhan air gawat darurat; Ketersediaan peralatan pemadam kebakaran seperti mobil pemadam kebakaran, pos pemadam kebakaran dan hidran. Kemampuan atau kefektifan pelayanan pemadam kebakaran pada lokasi kebakaran. Ketersediaan sensor pencegah kebakaran, hidran, detektor; Sarana komunikasi; Ruang terbuka yang luas. Lokasi pos pemadam kebakaran; Pasokan air ; Ketersediaan bahan pemadam bukan air ; Aksesbilitas; Ketersediaan sarana komunikasi.

Pada studi literatur yang ada, semua pemikiran tertuju kepada pebijak untuk menyiapkan sistem yang berisi tentang

kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana dalam menanggulangi kebakaran seta proses evakuasi. Selain itu jajaran pemerintah juga dituntut untuk mempersiapkan penanggulangan kebakaran secara struktural (strukturasi kemasyarakatan) dari tingkat pusat ke masyarakat seperti yang dikemukakan dalam Kemenristek RI. KONSEP LITERATUR